Anda di halaman 1dari 3

AL – QIYAS

1. Ta’rif
Yang dinamakan Qiyas, menurut para ahli Ushul Fiqh, adalah mempersamakan
hukum suatu peristiwa yang tidak ada nashnya dengan hukum suatu peristiwa
yang sudah ada nashnya lantaran adanya persamaan ‘illat hukumnya dari kedua
peristiwa itu.
Sesuai dengan ta’rif tersebut, apabila ada suatu peristiwa yang hukumnya telah
ditetapkan oleh suatu nash dan ‘illat hukumnya telah diketahui menurut satu cara
dari cara-cara mengetahui ‘illat-‘illat hukum, kemudian didapatkan suatu
peristiwa lain yang hukumnya tidak ditetapkan oleh suatu nash, tetapi ‘illat
hukumnya adalah sama dengan ‘illat hukum dari peristiwa yang sudah
mempunyai nash tersebut, maka hukum peristiwa yang tidak ada nashnya ini
disamakan dengan hukum peristiwa yang ada nashnya, lantaran adanya persamaan
‘illat hukum pada kedua peristiwa itu. Sebab hukum itu tidak aka ada sekiranya
tidak ada ‘illatnya. Misalnya :
a. Jual beli pada waktu adzan Jum’at diserukan adalah suatu peristiwa yang
telah ditetapkan hukumnya oleh nash, yaitu makruh. Nash yang
menetapkannya adalah Firman Tuhan :
‘Illat hukum dimakruhkan berjual beli pada waktu adzan Jum’ah diserukan
ialah karena perbuatan tersebut melalaikan sembahyang.
b. Peristiwa seorang ahli waris membunuh seseorang yang akan mewariskan
harta peninggalannya adalah suatu peristiwa yang sudah tetap hukumnya
dengan suatu nash. Hukum itu ialah terhalangnya si pembunuh
mempusakai harta peninggalan orang yang dibunuhnya. Nash yang
menetapkan hukum tersebut adalah sabda Nabi Muhammad saw :
c. Adanya wilayatulijbar (wewenang mengawinkan anak perempuan tanpa
persetujuan anak perempuan yang dikawinkan) bagi wali mujbir (ayah dan
kakek) terhadap anak perempuannya yang masih gadis lagi belum dewasa
adalah berdasarkan nash ijma’ dari para mujtahid. Hukum mengawinkan
anak perempuan yang masih gadis lagi belum dewasa bagi wali mujbir
adalah boleh, menurut ijma’. Illat hukum bolehnya ialah karena belum
dewasa (shighar).
2. Kehujjahan Qiyas
Jumhur Ulama berpendirian bahwa Qiyas itu adalah menjadi hujjah syar’iyah
(sumber hukum syari’at) bagi hukum-hukum amal perbuatan manusia, dan berada
pada tingkatan keempat dari dalil-dalil syari’at. Yang demikian itu apabila pada
suatu peristiwa itu tidak ada ketetapan hukumnya dari suatu nash atau ijma’ dan
mempunyai persamaan ‘illat dengan peristiwa yang mempunyai nash. Golongan
ini, oleh para ahli Ushul, dinamai Mutsbitul Qiyas (golongan yang menetapkan
kehujjahan qiyas). Ulama Nizhamiyah, Zhahiryah dan sebagian ulama aliran
Syi’ah berpendapat bahwa Qiyas itu bukan menjadi hujjah syar’iyah yang dapat
untuk menetapkan hukum. Mereka ini kemudian terkenal dengan nama Nufatul
Qiyas (golongan yang mengingkari/manafikan kehujjahan qiyas).
Alasan yang dikemukakan oleh Jumhur Ulama dalam menetapkan kehujjahan
Qiyas terdiri atas Al-Qur’an, As-Sunnah, pendapat dan perbuatan para sahabat,
dan logika.
 Al-Qur’an
Dalil-dalil dari Al-Qur’an yang mereka kemukakan sebagai alas an
menetapkan kehujjahan Qiyas, ialah :
Pertama, Surat An-Nisa’ : 59
Dalam ayat tersebut Tuhan memerintahkan kepada orang-orang Mu’min, bila
terjadi perselisihan pendapat perihal hukum sesuatu peristiwa yang di dalam Al-
Qur’an, As-Sunnah dan putusan dari orang-orang yang diserahi kekuasaan tidak
ada, maka hendaklah dikembalikan kepada Alloh dan Rasul-Nya.

Kedua, Surat Al-Hasyr : 2


Alloh swt, setelah menerangkan peristiwa yang terjadi pada bani An-Nadhir,
disebabkan tindakan mereka melanggar janji yang pernah mereka adakan dengan
Rasulullah saw, Dia memerintahkan kepada orang-orang yang berpandangan luas
untuk mengambil ibarat kejadian tersebut dalam firman-Nya : “fa’tabiru ya ulil
abshar.”
 As-Sunnah
Dalil-dalil As-Sunnah itu, antara lain adalah :
1. Sabda Rasulullah saw, dalam membai’rat Mu’adz bin Jabal sebagai Walikota
di Yaman, katanya :
Hadits ini menerangkan pengakuan Rasulullah saw, terhadap bolehnya
berijtihad, bila tidak didapat nash dari Al-Qur’an maupun dari Al-Hadits. Ijtihad
itu tidak lain dari usaha yang sungguh-sungguh untuk mencapai suatu ketetapan
hukum.

d. Dalam nash yang menasakh membawa hukum baru yang berbeda dengan
hukum yang dinasakh. Sedang pada taqyid nash yang muqayyad
menetapkan hukum yang ditetapkan oleh nash mutlaq, bila nash itu nash
tasyir’ (menetapkan syari’at) dan menetapkan pemberitaan sebagaimana
ditetapkan dalam nash-mutlaq, bila nash itu berupa nash khabari, sekalipun
hukum atau pemberitaan itu lebih terbatas atau sempit cakupannya.

Menurut Imam Syafi’i, Taqyid, Takhshish, Istisna’ dan lain sebagainya pada
hakikatnya bukan termasuk nasakh.
Catatan kaki :
19. Al-Jum’ah : 9
20. Rw. An-Nasa’i
21. An-Nisa : 59
22. Al-Hasyr : 2
23. Rw. Abu Dawud, at-Turmudzi dan an-Nasa’i

Di buat :
Nama : Emi Sriwahyuni

Anda mungkin juga menyukai