BAB 1
PENDAHULUAN
yaitu CDR 70% dan SR 85% (Depkes RI, 2009). Sumatera Utara menduduki
peringkat kelima dalam CDR TB paru menurut provinsi tahun 2008 (63,7%) setelah
Sulawesi Utara, DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat (Depkes RI, 2009). Pada tahun
2007 sendiri di Sumatera Utara ditemukan 15.779 penderita TB untuk semua jenis
kasus dan 13.369 diantaranya adalah kasus baru Depkes RI, 2008). Berdasarkan data
kesehatan Depkes RI tahun 2007, di kota Medan terdapat 9.411 kasus dengan gejala
klinis positif TB, 2.367 diobati dengan obat anti tuberkulosis (OAT) dan 1.172 dari
kasus dinyatakan sembuh (49,51%). Data ini mewakili penderita TB yang
mendatangi 14 Puskesmas dan Rumah Sakit di kota Medan (Depkes RI, 2008).
Penyebab paling penting peningkatan TB adalah kemiskinan, ketidakpatuhan
terhadap program, diagnosis dan pengobatan yang tidak adekuat, migrasi, endemik
Human Immunodefisiency Virus (HIV), dan resistensi ganda (Multi Drug
Resistance/MDR) (WHO, 2009). Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka
jumlah pasien TB akan meningkat. Menurut data yang dikeluarkan WHO pada bulan
Maret 2009, menunjukkan bahwa pada tahun 2008 angka kematian penderita TB
adalah 1,1-1,7 juta pada penderita TB dengan HIV(-) dan 0,45-0,62 juta pada
penderita TB dengan HIV(+).
Pada tahun 2007 diestimasikan terdapat setengah juta kasus MDR (multi drug
ressistance). Di Indonesia sendiri pada tahun 2007 terdapat 446 kasus yang terbukti
MDR TB (7,5%) (WHO, 2009; USAID/Indonesia 2009). Resistensi obat terjadi
karena buruknya kontrol TB dan adanya beberapa penyakit penyerta yang lain
seperti HIV/AIDS dan diabetes melitus (PDPI, 2006). Menurut penelitian yang
dilakukan Tanjung (1998) terhadap penderita TB Paru sejak Januari 1992 – Desember
1994 di RS Dr. Pirngadi/RS H. Adam Malik Medan, sebanyak 31.65% penderita TB
diikuti oleh penyakit penyerta dan yang paling banyak adalah diabetes mellitus, yaitu
11.7%.
Berdasarkan data-data di atas, masih banyak permasalahan dalam
menanggulangi TB, begitu juga dengan angka kematian yang masih tinggi. Salah satu
penyebab masalah penanggulangan TB di Indonesia adalah terbatasnya data-data
3
epidemiologi (Aditama, 2002). Sejauh ini, belum didapatkan data yang tersedia dan
akurat mengenai bagaimana profil dari penderita TB yang mendatangi pusat atau
sentra kesehatan seperti RSUP Haji Adam Malik Medan.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2. Jenis Kelamin
6
Hampir tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan sampai pada
umur pubertas. Namun, menurut penelitian Gustafon P., et al (2004)
menunjukkan bahwa laki-laki mempunyai risiko 2,58 kali untuk menderita
tuberkulosis dibandingkan dengan wanita. Mungkin hal ini berhubungan interaksi
sosial. Walaupun insisden tuberkulosis paru pada wanita lebih rendah daripada
pria, perkembangan infeksi TB paru menjadi penyakit TB paru pada wanita lebih
cepat dibandingkan dengan pria (WHO, 2005).
3. Gizi
Terdapat bukti yang jelas bahwa gizi buruk mengurangi daya tahan tubuh
terhadap penyakit tuberkulosis. Faktor ini sangat penting, baik pada orang dewasa
maupun pada anak (Crofton, 2002). Menurut Hernilla, et all. (2006) dalam
Desmon (2006), orang yang menkonsumsi vitamin C lebih dari 90 mg/hari dan
mengkonsumsi lebih dari rata-rata jumlah sayuran, buah-buahan, dan berry,
secara signifikan dapat menurunkan risiko terjadinya penyakit tuberkulosis.
4. Kondisi Lingkungan Rumah
Beberapa hal yang mempengaruhi kondisi lingkungan rumah dalam risiko
kejadian infeksi tuberkulosis adalah kepadatan rumah, intensitas cahaya yang
masuk, dan kelembapan udara (Crofton, 2002).
Persentase rumah tangga di Indonesia yang masih tinggal di rumah yang
padat pada tahun 2004 adalah sebesar 20% (Desmon, 2006). Menurut Dahlan
(2001) dalam Desmon (2006), orang yang tinggal dengan tingkat kepadatan yang
tidak memenuhi syarat kesehatan mempunyai risiko 3,8 kali untuk menderita
tuberkulosis dibandingkan dengan orang yang tinggal dengan kepadatan hunian
yang memenuhi syarat kesehatan. Menurut Supriyanto (1997) dalam Desmon
(2006), luas lantai yang dibutuhkan oleh 1 orang adalah 8,3 m2.
Intensitas cahaya yang alami, yaitu sinar matahari, sangat berperan dalam
penularan kuman TB karena kuman TB relatif tidak tahan terhadap terhadap sinar
matahari (Depkes, 2006). Menurut Musadad (2006) dalam Desmon (2006), rumah
7
yang tidak masuk sinar matahari mempunyai risiko 3,7 kali untuk menularkan
tuberkulosis dibandingkan dengan rumah yang tidak dimasuki sinar matahari.
Kelembapan udara mempengaruhi pertumbuhan bakteri. Menurut Desmon
(2006) kelembapan udara dipengaruhi oleh ventilasi yang baik, yaitu minimal
10% dari luas lantai. Menurut Mulyadi (2003) dalam Desmon (2006), rumah yang
memiliki kelembapan lebih dari 60% memiliki risiko terkena infeksi tuberkulosis
10,7 kali dibandingkan dengan rumah yang kelembapannya lebih kecil dari 60%.
5. Pendidikan
Tingkat pendidikan berpengaruh terhadap perilaku kesehatan individu atau
masyarakat dan perilaku terhadap penggunaan/sarana pelayanan kesehatan yang
tersedia. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memanfaatkan pelayanan
kesehatan yang lebih tinggi (Notoatmojo, 1993). Proporsi kejadian TB lebih
banyak terjadi pada kelompok yang mempunyai pendidikan yang rendah, dimana
kelompok ini lebih banyak mencari pengobatan tradisional dibandingkan
pelayanan medis (Desmon, 2006).
6. Pendapatan Keluarga
Pendapatan keluarga merupakan hal yang sangat penting dalam upaya
pencegahan penyakit, karena dengan pendapatan yang cukup maka akan ada
kemampuan menyediakan biaya kesehatan serta mampu menciptakan lingkungan
rumah yang sehat dan makanan yang bergizi (Desmon, 2006). Kemiskinan
memudahkan infeksi tuberkulosis berkembang menjadi penyakit tuberkulosis.
Sembilan puluh persen penderita TB terjadi pada penduduk dengan status
ekonomi rendah dan umumnya terjadi pada negara berkembang termasuk
Indonesia (Crofton, 2002). Menurut Ibupertiwi (2004) dalam Desmon (2006),
orang yang memiliki penghasilan yang rendah memilki risiko 2,4 kali untuk
menderita penyakit TB dibandingkan dengan orang yang memiliki penghasilan
yang tinggi.
8
2.3. Etiologi
Penyebab tuberkulosis paru adalah Mycobacterium tuberculosis. Mikobakterium
adalah organisme berbentuk batang langsing, tidak berspora, tidak berkapsul, dan
nonmotil yang tahan asam (yaitu mengandung banyak lemak kompleks dan mudah
mengikat pewarna Ziehl-Neelsen dan kemudian sulit didekolorisasi) (Kumar, 2007).
9
Bakteri M. tuberculosis (MTB) adalah aerob obligat, oleh karena itu, kompleks
MTB sering ditemukan di lobus paru bagian atas. Laju pertumbuhan bakteri ini cukup
lambat, sekitar 15-20 jam, dengan bentuk saprofit cenderung tumbuh lebih cepat,
berkembang baik pada suhu 22-230C (Todar, 2009; Jawetz, 1996).
1. Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat. Hal ini terjadi karena terbentuknya
reaksi hipersensitivitas dan resistensi. Ada beberapa bukti klinis dimana
kebanyakan orang yang diinfeksi oleh basilus tuberkel (90%) tidak mengalami
penyakit ini selama hidupnya (Palomino, 2007; Kumar, 2007).
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik, dan
kalsifikasi di hilus. Keadaan ini terdapat pada lesi pneumonia yang luasnya lebih
dari 5 mm dan kurang lebih 10% diantaranya terdapat reaktivasi lagi karena kuman
yang dorman (Amin, 2007).
3. Berkomplikasi dan menyebar secara progresif, bronkogen pada paru yang
bersangkutan maupun pada paru disebelahnya, secara limfogen dan hematogen ke
organ tubuh lainnya (Amin, 2007).
Menurut Kumar (2007), insidensi tuberkulosis primer progresif sangat tinggi
pada pasien positif HIV dengan derajat imunosupresi lanjut (hitung CD4+ < 200
sel/mm3).
e. Kasus kronik
Yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai
pengobatan ulang dengan kategori 2 dan dengan pengawasan yang baik.
f. Kasus Bekas TB
• Hasil pemeriksaan BTA negatif dan gambaran radiologi paru menunjukkan
lesi TB yang tidak aktif, atau foto serial menunjukkan gambaran yang
menetap. Riwayat pengobatan OAT adekuat akan lebih mendukung.
14
Tempat kelainan lesi tuberkulosis paru yang paling dicurigai adalah bagian apeks
paru. Bila dicurigai adanya infiltrat yang agak luas maka didapatkan perkusi yang
redup dan auskultasi suara napas bronkial. Akan ditemukan juga suara napas
tambahan berupa ronki basah, kasar, dan nyaring. Tetapi bila infiltrat ini diliputi oleh
penebalan pleura, suara napasnya menjadi vesikular melemah (Alsagaff, 1989).
Pada keadaan konsolidasi dan fibrosis meningkatkan penghantaran getaran
sehingga pada palpasi didapati stem frenitus meningkat serta pada auskultasi suara
napas menjadi bronkovesikuler atau bronkhial. Bila tuberkulosis mengenai pleura,
sering terbentuk efusi pleura. Paru yang sakit akan terlihat tertinggal dalam
pernapasan. Perkusi memberikan suara pekak. Auskultasi memberikan suara lemah
sampai tidak terdengar sama sekali (Halim, 1998).
1. Sarang berbentuk awan dengan densitas rendah atau sedang dan batas tidak
tegas. Sarang-sarang seperti ini biasanya menunjukkan bahwa proses aktif.
2. Lubang (kavitas) selalu berarti proses aktif kecuali bila lubang sudah sangat
kecil yang dinamakan lubang sisa (residual cavity).
3. Sarang seperti garis-garis (fibrotik) atau bintik-bintik kapur yang
menunjukkan bahwa proses telah tenang (Rasad, 2008).
pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang
khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis (Depkes RI, 2006).
gibbus, yang menampakkan gejala benjolan pada tulang belakang yang tidak
menunjukkan tanda-tanda peradangan, tidak nyeri tekan, dan menimbulkan abses
dingin (Rahajoe & Setyanto, 2008).
BAB 3
KERANGKA KONSEP PENELITIAN dan DEFINISI OPERASIONAL
1. Sosiodemografi, yaitu:
a. Umur
b. Jenis kelamin
c. Pendidikan
d. Pekerjaan
2. Keluhan Utama
Penyakit Tuberkulosis Paru
3. Hasil Pemeriksaan Sputum (BTA
positif / BTA negatif)
4. Kategori Pengobatan
6. Tuberkulosis Ekstraparu
penyakit tuberkulosis paru diperoleh dari diagnosis dokter yang tertera dalam
rekam medis pasien.
TNI/ POLRI; 6) Tidak Bekerja, dll. Dalam penelitian ini, pekerjaan termasuk
ke dalam skala nominal.
2. Keluhan utama adalah keluhan yang paling dirasakan pasien dan menjadi
penyebab pasien datang berobat. Keluhan utama pasien diperoleh melalui
indormasi yang terdapat dalam rekam medis pasien. Dalam penelitian ini, keluhan
utama termasuk ke dalam skala nominal. Keluhan utama dibagi dalam 2
kelompok, yaitu:
a. gejala respiratorik
• Batuk ≥ 2 minggu
• Batuk darah
• Sesak napas
c. Nyeri dada
b. gejala sistemik
d. Demam
e. Gejala sistemik lain, seperti malaise, keringat malam, anoreksia dan berat
badan menurun
c. gejala tuberkulsis ekstraparu
• benjolan di leher
• kaku kuduk
• gibus
• dan lain-lain
3. Hasil pemeriksaan sputum adalah hasil yang didapatkan dari pemeriksaan dahak
sebanyak tiga kali (sewaktu-pagi-sewaktu). Hasil yang didapatkan bisa BTA (+)
atau BTA (-), di mana hasil ini diperoleh dari informasi yang terdapat dalam rekam
medis pasien. Dalam penelitian ini, hasil pemeriksaan sputum termasuk ke dalam
skala nominal.
4. Kategori pengobatan adalah pengkategorian pasien sesuai dengan kasus penderita
dan panduan pengobatannya. Kategori pengobatan ini diperoleh dari informasi
26
yang terdapat dalam rekam medis pasien. Dalam penelitian ini, kategori
pengobatan termasuk ke dalam skala ordinal. Hasil yang akan didapatkan yaitu
adanya 5 kategori pengobatan, yaitu:
a. Kategori 1 :
f. TB paru (kasus baru), BTA positif atau pada foto toraks terdapat lesi luas.
g. Paduan obat yang dianjurkan adalah 2 RHZE/4 RH atau 2 RHZE/6 HE atau
2 RHZE/4R3H3
b. Kategori 2 :
d. TB paru kasus kambuh. Paduan obat yang dianjurkan :
- 2 RHZES/1 RHZE sebelum adahasil uji resistensi.
- Bila hasil uji resistensi telah ada, berikan obat sesuai dengan hasil uji
resistensi.
e. TB paru kasus gagal pengobatan. Paduan obat yang dianjurkan adalah:
- Obat lini 2 sebelum ada hasil uji resistensi (contoh: 3-6 bulan
kanamisin, ofloksasin, etionamid, sikloserin dilanjutkan 15-18 bulan
ofloksasin, etionamid, sikloserin).
- Dalam keadaan tidak memungkinkan fase awal dapat diberikan 2
RHZES/1 RHZE.
- Fase lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi.
- Bila tidak terdapat hasil uji resistensi, dapat diberikan 5 RHE.
f. TB Paru kasus putus berobat.
1) Berobat ≥ 4 bulan
- BTA saat ini negatif. Klinis dan radiologi tidak aktif atau ada
perbaikan maka pengobatan OAT dihentikan. Bila gambaran radiologi
aktif, lakukan analisis lebih lanjut untuk memastikan diagnosis TB
dengan mempertimbangkan juga kemungkinan panyekit paru lain. Bila
terbukti TB maka pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat
yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama (2
RHZES / 1 RHZE / 5R3H3E3).
27
- BTA saat ini positif. Pengobatan dimulai dari awal dengan paduan
obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama
2) Berobat ≤ 4 bulan
- Bila BTA positif, pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat
yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama (2
RHZES / 1 RHZE / 5R3H3E3).
- Bila BTA negatif, gambaran foto toraks positif TB aktif, pengobatan
diteruskan.
c. Kategori 3 :
g. TB paru (kasus baru), BTA negatif atau pada foto toraks terdapat lesi
minimal.
h. Paduan obat yang diberikan adalah 2 RHZE / 4 R3H3
d. Kategori 4 :
h. TB paru kasus kronik. Paduan obat yang dianjurkan:
- Bila belum ada hasil uji resistensi, berikan RHZES.
- Bila telah ada hasil uji resistensi, berikan sesuai hasil uji resistensi
(minimal OAT yang sensitif ditambah obat lini 2 (pengobatan minimal 18
bulan).
i. MDR TB, paduan obat yang dianjurkan sesuai dengan uji resistensi ditambah
OAT lini 2 atau H seumur hidup.
5. Riwayat penyakit penyerta adalah jenis penyakit lain yang diderita pasien selain
TB paru yang terdapat dalam rekam medis. Informasi riwayat penyakit penyerta
diperoleh dari rekam medis pasien. Riwayat penyakit penyerta yang bisa
didapatkan yaitu: 1) HIV/AIDS; 2) diabetes mellitus; 3) hipertensi; 4) dan lain-
lain. Dalam penelitian ini, riwayat penyakit penyerta termasuk ke dalam skala
nominal.
6. Tuberkulosis ekstraparu adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain
selain paru, misalnya kelenjar getah bening, selaput otak, tulang, ginjal, saluran
28
kencing, dll. Informasi adanya tuberkulosis ekstraparu pada pasien diperoleh dari
rekam medis. Dalam penelitian ini, tuberkulosis ekstraparu termasuk ke dalam
skala nominal.
7. Multi-drug resistant (MDR) tuberkulosis adalah resistensi obat terhadap obat anti
tuberkulosis (OAT) isoniazid dan rifampisin, dengan atau tanpa resistensi terhadap
OAT lainnya. Informasi kejadian MDR ini diperoleh melalui rekam medis,
berdasarkan diagnosis dokter yang tertera dalam rekam medis. Hasil yang akan
didapatkan adalah ada atau tidaknya MDR-TB. Dalam penelitian ini, MDR-TB
termasuk ke dalam skala nominal.
29
BAB 4
METODE PENELITIAN
BAB 5
Penelitian ini berlangsung di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik
yang beralamat di Jalan Bunga Lau no. 17 Kecamatan Medan Tuntungan Kotamadya
Medan Provinsi Sumatera Utara. Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik
merupakan rumah sakit kelas A, sesuai dengan SK Menkes
No. 335/Menkes/SK/VII/1990 dan sesuai dengan SK Menkes No. 502/Menkes
/SK/IX/1991, RSUP H. Adam Malik juga merupakan pusat rujukan wilayah
Pembangunan A yang meliputi Provinsi Sumatera Utara, Nangroe Aceh Darussalam,
Sumatera Barat dan Riau. Penelitian ini dilakukan di Subbagian Poliklinik Paru dan
Subbagian Rekam Medis Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik.
32
Keluhan N % Frekuensi
batuk 219 86,6
batuk dahak 176 69,6
batuk darah 64 25,3
nyeri dada 51 20,2
sesak nafas 73 28,9
demam 88 34,8
keringat malam 56 22,1
lemas 49 19,4
BB menurun 50 19,8
benjolan di leher 13 5,1
nyeri ulu hati 2 0.8
nyeri perut 2 0.8
multi-drug resistance
TB
positif negatif Total
N 4 205 209
hasil positif % Frekuensi 1.6% 81.0% 82.6%
pemeriksaan N 0 44 44
BTA negatif % Frekuensi .0% 17.4% 17.4%
N 4 249 253
Total % Frekuensi 1.6% 98.4% 100.0%
37
5.3. Pembahasan
Dari hasil penelitian diperoleh bahwa penderita tuberkulosis paru banyak yang
berada pada kelompok umur 45 – 54 tahun dengan jumlah 68 orang (26,9%). Jumlah
ini tidak berbeda jauh dengan kelompok umur 15 – 24 tahun yaitu 65 orang (25,7%).
Hasil penelitian ini sesuai dengan pedoman yang diungkapkan oleh Depkes RI (2006)
bahwa 75% penderita tuberkulosis berada pada usia produktif, yaitu kelompok umur
15 – 44 tahun. Namun begitu, hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian
kohort yang dilakukan oleh Gustafon, et al (2004), dimana diungkapkan bahwa
terdapat suatu efek dosis respon, yaitu semakin tua umur akan semakin meningkatkan
risiko menderita tuberkulosis dengan odds rasio pada usia 25-34 tahun adalah 1, 36
dan odds rasio pada kelompok umur > 55 tahun adalah 4,08. Hal ini dikarenakan pada
penelitian Gustafon, et al dilakukan di negara maju yang memiliki karakteristik umur
terbanyak pada usia lanjut. Berdasarkan penelitian Rasmin dkk (2006) di RS
Persahabatan, kelompok umur terbanyak yang menderita tuberkulosis paru adalah
pada umur 26 – 36 tahun yaitu 111 orang (42,0%) dan kelompok umur terkecil adalah
umur 66 – 75 tahun yaitu 15 orang (5,7%).
Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa mayoritas penderita tuberkulosis
paru di RSUP Haji Adam Malik Medan berjenis kelamin laki-laki yaitu 173 orang
(68,4%). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Gustafon , et al (2004) yang
menunjukkan bahwa laki-laki mempunyai risiko 2,58 kali untuk menderita
tuberkulosis dibandingkan dengan wanita, dimana hal ini mungkin berhubungan
dengan interaksi sosial laki laki lebih tinggi dibandingkan wanita sehingga
kemungkinan transmisi TB lebih besar.
Dari hasil penelitian didapatkan bahwa subjek penelitian banyak yang
memiliki tingkat pendidikan cukup yaitu tamat SMA sebanyak 101 orang (39,9%).
Hal ini tidak sesuai dengan penelitian Desmon (2006) yang mengungkapkan bahwa
orang dengan tingkat pendidikan menengah ke bawah memiliki risiko 2,51 kali lebih
tinggi dibandingkan dengan orang yang tingkat pendidikannya lebih tinggi. Kondisi
39
ini dapat disebabkan oleh kesadaran yang tinggi untuk memeriksakan kondisi
kesehatannya pada pasien yang berobat ke Poliklinik Paru di RSUP Haji Adam Malik
Medan.
Dari hasil penelitian didapatkan bahwa sebagian besar subjek penelitian tidak
bekerja yaitu 84 orang (32,2%). Hal ini sejalan dengan penelitian Rusnoto (2006)
bahwa proporsi pekerjaan penderita tuberkulosis pada 106 subjek penelitian adalah
petani sebanyak 43 orang (43,6%). Berdasarkan teori dalam Crofton (2002),
diungkapkan bahwa 90% penderita TB terjadi pada penduduk dengan status ekonomi
rendah. Selain itu, menurut penelitian Desmon (2006), orang yang memiliki
pendapatan yang lebih kecil dari rata-rata pendapatan per kapita nasional berisiko
1,64 kali untuk menderita TB paru dibandingkan dengan pendapatan yang lebih
tinggi.
Dari hasil penelitian didapatkan bahwa mayoritas subjek penelitian memiliki
keluhan utama berupa gejala respiratorik yaitu 228 orang (89,7%). Pada subjek
penelitian, keluhan yang ditemukan dapat lebih dari satu. Keluhan yang paling
banyak dikeluhkan adalah batuk sebanyak 219 orang (86,6%). Menurut penelitian
Tanuwiharja (2001) pada 109 subjek penelitian yang memiliki keluhan utama batuk
kronik, 79 orang diantaranya (72,5%) adalah penderita TB dengan PCR TB (+). Hal
ini juga sesuai dengan teori yang terdapat dalam Crofton (2002) bahwa gejala yang
paling banyak dikeluhkan oleh penderita TB adalah batuk kronik (> 3 minggu).
Berdasarkan hasil pemeriksaan sputum BTA, sebagian besar subjek penelitian
pada penelitian ini memiliki sputum BTA positif yaitu 209 orang (82,6%). Hal ini
sejalan dengan penelitian Rasmin dkk (2006) dimana didapatkan sebanyak 227 orang
(86%) yang memiliki BTA positif. Berdasarkan teori Crofton (2002) pasien TB paru
yang memiliki sputum BTA positif adalah orang yang sangat infektif menularkan
infeksi TB kepada orang lain. Menurut Schoch & Rieder (1996) dalam penelitiannya
di Zimbabwe, didapatkan bahwa dari 196 pasien TB dengan sputum BTA (+), 127
orang diantaranya menderita HIV/AIDS (65%). Sehingga pasien TB dengan BTA (+)
selain merupakan media transmisi yang paling efektif bagi orang lain disekitarnya,
40
juga merupakan faktor risiko untuk terjadinya HIV/AIDS positif. Dalam penelitian
tersebut dinyatakan bahwa risiko ini tidak ada perbedaan antara negara dengan
prevalensi HIV/AIDS yang tinggi dengan negara dengan prevalensi yang rendah,
karena adanya kesamaan karakteristik dan demografi pada penderita TB tersebut. .
Dari hasil penelitian, sebagian besar subjek penelitian mendapatkan
pengobatan kategori 1 yaitu 202 orang (79,8%). Kategori 1 adalah kategori
pengobatan untuk TB paru dengan kasus baru dengan BTA positif atau BTA negatif
dengan lesi luas pada gambaran radiologi. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil
penelitian Rasmin dkk (2006) di RS Persahabatan dengan jumlah sampel 264 orang,
dimana didapatkan sebanyak 225 orang (85,2%) mendapatkan pengobatan kategori 1.
Dari hasil penelitian, hanya sebagian kecil subjek penelitian yang mendapatkan
pengobatan kategori 4 yaitu 4 orang (1,6%). Kondisi ini dapat disebabkan karena di
Poliklinik Paru RSUP Haji Adam Malik Medan banyak didapatkan kasus baru TB
dan pasien yang datang memiliki kesadaran untuk mengkonsumsi OAT secara
adekuat atau kurangnya pemeriksaan kultur dan uji sensitivitas.
Dari hasil penelitian, mayoritas subjek penelitian tidak mengalami MDR TB
yaitu 249 orang (98,4%) dan hanya empat orang (1,6%) subjek penelitian saja yang
mengalami MDR TB. Hal ini sejalan dengan penelitian Rasmin dkk (2006) di RS
Persahabatan dimana jumlah penderita TB dengan kasus MDR (+) ditemukan
sebanyak 12 orang (4,5%) dan jumlah penderita TB dengan kasus MDR (-)
ditemukan lebih banyak yaitu 252 orang (95,5%). Namun begitu, hasil ini tidak
sejalan dengan penelitan Tanjung (1998) di RS Pirngadi dimana ditemukan 96% TB
yang resisten dengan satu atau lebih gabungan OAT. Kejadian MDR TB dipengaruhi
oleh beberapa faktor, seperti pengobatan yang tidak adekuat, koinfeksi HIV/AIDS,
lingkungan dimana banyak yang juga mengalami MDR TB, keadaan imunosupresif
dan adanya penyakit penyerta seperti DM tipe 2 (Prasad, 2005). Kondisi ini dapat
disebabkan oleh karena pasien TB paru yang berobat di Poliklinik Paru RSUP Haji
Adam Malik Medan memiliki kesadaran yang tinggi untuk menuntaskan pengobatan
41
OAT secara adekuat atau mungkin kurang dilakukannya uji kultur dan sensitivitas
pada pasien TB Paru di RSUP Haji Adam Malik Medan.
Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar subjek penelitian tidak memiliki
riwayat penyakit penyerta yang merupakan faktor risiko untuk mendapatkan penyakit
tuberkulosis paru, yaitu 175 orang (69,2%). Adapun riwayat penyakit penyerta yang
paling banyak diderita pada pasien TB paru adalah diabetes mellitus tipe 2 yaitu 42
orang (16,6%). Hal ini sesuai dengan teori dalam Crofton (2002) bahwa penderita
diabetes mellitus memiliki risiko 2-3 kali terkena penyakit tuberkulosis paru. Begitu
juga dengan penelitian Tanjung (1998), ada 11,7% penderita tuberkulosis paru
dengan riwayat penyakit penyerta diabetes mellitus. Menurut Ljubic, et all (2005),
diabetes mellitus tipe 2 memiliki insidensi tinggi untuk terjadinya TB paru, respon
OAT yang buruk sehingga rentan untuk terjadinya resistensi OAT dan perkembangan
TB yang sangat cepat. Hal ini dikarenakan keadaan hiperglikemia kronik yang
membuat respon imun menjadi buruk dan memberikan tempat yang baik bagi
perkembangan Mikobakterium tuberkulosis dan juga dikarenakan status nutrisi yang
tidak seimbang pada pasien DM tipe 2.
Dari data hasil penelitian sebagian besar subjek penelitian tidak menderita
tuberkulosis ekstraparu yaitu 202 orang (79,8%). Pada subjek penelitian yang
memiliki tuberkulosis ekstraparu, sebagian besar menderita pleuritis TB yaitu 21
orang (8,3%) dan limfadenitis TB 13 orang (5,1%). Hal ini sesuai dengan teori
Crofton (2002) bahwa tuberkulosis ekstraparu yang paling sering dialami adalah
pleuritis TB dan limfadenitis TB. Peneliti belum menemukan penelitian lain yang
mengungkapkan prevalensi tuberkulosis ekstraparu mana yang paling banyak
diderita.
Dalam suatu statistika, dapat dilakukan suatu distiribusi silang. Dalam
distibusi subjek penelitian berdasarkan kelompok umur dan hasil pemeriksaan BTA,
kelompok umur terbanyak, yaitu umur 45 – 54 tahun, terdapat 21% (55 orang) yang
memiliki hasil sputum BTA positif. Sama halnya dengan penelitian Rasmin dkk
(2006) di RS Persahabatan Jakarta, pada kelompok umur terbanyak pada penelitian
42
tersebut (26 – 35 tahun) didapatkan sebanyak 88,3% diantaranya (98 orang) adalah
BTA positif. Akan tetapi, berdasarkan penelitian meta analisis Guzman (1999)
didapatkan bahwa kelompok umur > 60 tahun lebih banyak mendapatkan hasil
sputum BTA positif, dimana hal ini dihubungkan dengan menurunnya fungsi imun
tubuh, namun belum ditemukan penelitian lebih lanjut. Perbedaan ini dikarenakan
penelitian tersebut dilakukan pada negara maju dengan angka prevalensi yang rendah
dan sebagian besar penderita TB di negara tersebut adalah usia tua.
Kejadian MDR TB pada penelitian ini terbanyak pada kelompok umur 25 –
34 tahun (dua orang dari empat orang yang ditemukan dari seluruh subjek
penelitian). Hal ini sesuai dengan penelitian Munir, Nawas & Sutoyo (2009) pada
101 subjek penelitian dengan MDR TB, didapatkan 36 orang diantaranya (35,6%)
berada pada kelompok umur 25 – 34 tahun. Begitu juga dengan penelitian Rasmin
dkk (2006) didapatkan bahwa penderita MDR TB terbanyak pada kelompok umur 26
– 35 tahun, yaitu tujuh orang (6,3%) dari 12 orang MDR TB yang ditemukan dalam
264 subjek penelitian.
Seperti halnya pada TB paru, semua kejadian MDR TB pada penelitian ini
terjadi pada jenis kelamin laki-laki, yaitu empat orang (1,6%) dari 169 orang subjek
penelitian yang berjenis kelamin laki-laki. Hal ini sejalan dengan penelitian Munir,
Nawas & Sutoyo (2009) didapatkan 53 orang (52,5%) dari 101 orang subjek
penelitian yang MDR TB adalah laki-laki. Angka kejadian TB baik MDR TB negatif
atau MDR TB positif selalu ditemukan lebih tinggi pada laki-laki. Hal ini selalu
dikaitkan dengan tingginya kehidupan sosial laki-laki. Namun belum ditemukan
adanya penelitian yang mengungkapkan bagaiman hubungan kejadian TB paru pada
laki-laki.
Seluruh subjek penelitian yang mengalami MDR TB mempunyai hasil sputum
BTA positif. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan dalam penelitian Rasmin dkk
(2006) dimana seluruh MDR TB yang ditemukan pada 264 subjek penelitian (12
orang) memiliki hasil sputum BTA positif.
43
Dari hasil penelitian terdapat empat orang subjek penelitian yang mengalami
MDR TB, dengan satu diantaranya disertai dengan penyakit penyerta diabetes
meliitus, satu orang diantaranya disertai dengan dispepsia, dan dua orang lagi tidak
disertai dengan penyakit penyerta. Menurut Prasad (2005) keadaan-keadaan
imunokompromais seperti diabetes mellitus, HIV/AIDS, transplantasi, pengobatan
kemoterapi, dan lain-lain merupakan faktor risiko yang memudahkan pasien
tuberkulosis paru untuk mengalami MDR TB. Selain itu menurut Ljubic, et all
(2005) keadaan hiperglikemia kronik pada pasien TB dengan diabetes mellitus tipe 2
membuat respon penderita terhadap OAT buruk dan meningkatkan kerentana pasien
terhadap terjadinya MDR TB. Sementara itu berdasarkan penelitian Sembiring
(2008) di RSUP Haji Adam Malik Medan pada 25 orang penderita DM tipe 2 dan 25
orang penderita non DM tipe 2, didapatkan bahwa terjadi perbedaan bermakna
(p=0,01) dimana delapan orang (32%) penderita DM tipe 2 mengalami MDR TB dan
hanya satu orang (4%) penderita non DM tipe 2 yang mengalami MDR TB.
44
BAB 6
6.1 KESIMPULAN
6.2 SARAN
Beberapa saran yang dapat diberikan oleh peneliti bagi semua pihak yang
dapat berperan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Diharapkan kepada pihak RSUP H. Adam Malik Medan, kepada para petugas
kesehatan yang berperan dalam pencatatan rekam medis pasien agar dapat
menyelaraskan jumlah pasien yang berobat di Poliklinik dengan informasi
rekam medis di bagian rekam medis. Hal ini dikarenakan peneliti menjumpai
jumlah pasien yang berbeda antara di Poliklinik paru dengan informasi yang
diperoleh dari bagian rekam medis. Selain itu peneliti juga menemukan nomor
rekam medis pasien yang saling tumpang tindih. Diharapkan kepada pihak-
pihak yang terlibat memperhatikan rekam medis dan isi rekam medis pasien
dengan baik. Peneliti juga mengharapkan agar semua penderita TB Paru dapat
dilakukan uji kultur dan uji sensitivitas agar kejadian adanya resistensi OAT
pada pasien TB dapat terdeteksi secara dini.
2. Diharapkan kepada masyarakat agar lebih memperdalam pengetahuannya
mengenai tuberkulosis paru, penularan, dan pencegahannya.
3. Bagi penelitian selanjutnya agar lebih memperdalam cakupan penelitiannya
mengenai tuberkulosis paru ini. Seperti misalnya penelitian hubungan
kejadian tuberkulosis paru pada laki-laki, penelitian mengenai MDR TB
secara khusus, dan lain-lain.
46
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Z., Bahar, A., 2007. Tuberkulosis Paru. Dalam: Sudoyo, Aru W et al, ed. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi IV. Jakarta: Balai Penerbit FK UI, 988-
993.
Bang, E., 2009. Tuberculosis, State University of New York. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/787841-overview. [Accessed 19 April
2010].
Barker, R. D., 2009. Clinical Tuberculosis. Medical Progress, June 2009: 280-284.
Crofton, J., Horne, N., Miller, F., 2002. Clinical Tuberculosis. England: TALC
IUATLD.
Desmon, F., 2006. Hubungan antara Merokok, Kayu Bakar, dan Kondisi Rumah
dengan Kejadian Penyakit Tuberkulosis Paru. Fakultas Kedokteran Masyarakat
Universitas Indonesia, Dikutip dari:
http://www.digilib.ui.ac.id//opac/themes/libri2/detail.jsp?id=108418&lokasi=lo
kal. [Diakses 12 April 2010].
Gustafon, P., et all. 2004. Tuberculosis in Bissau: incidence and risk factor in an
urban community in sub-Saharan Africa. International Journal of Epidemiology
33(1): 24-28.
Guzman, C. P., Vargas, M. H., Cruz, A. T., Velarde, H. V., 1999. Does Aging
Modify Pulmonary Tuberculosis. CHEST, 116 (4): 961-967.
Isa, Mhd., Khairiah, S., 2003. Prevalensi Panderita TB Paru Bagian Rawat Inap Paru
RSUD Ulin Banjarmasin Tahun 1999-2000. DEXA MEDICA. 4 (16): 123-133.
Kumar, V., 2007. Tuberkulosis. Dalam: Robbins, Cotran, Kumar¸ ed. Buku Ajar
Patologi. Edisi 7. Volume 2. Jakarta: EGC, 544-551.
Munir, S.M., Nawas, A., Sutoyo, D., 2009. Pengamatan Pasien Tuberkulosis Paru
dengan Multi Drug Resistant (TB-MDR) di Poliklnik Paru RS Persahabatan.
Universitas Indonesia. Dikutip dari:
http://www.pulmo-ui.com/tesis/MunirSM.pdf. [Diakses 16 November 2010]
48
Prasad, R., 2005. MDR TB: Current Status. Indian J Tub, 52: 121-131.
Rahajoe, N.N., Setyanto, D.B., 2007. Patogenesis dan Perjalanan Alamiah. Dalam:
Rahajoe, N.N., Supriyatno, B., Setyanto, D.B.¸ ed. Respirologi Anak. Edisi 1.
Jakarta: IDAI, 169-177.
Rao, P. V., 2009. TB and Diabetes, Joint Effort tu Eradicate Tuberculosis. Available
from:
http://www.ourjeet.com/index2.asp. [Accessed 20 April 2010].
Rasad, S., 2009. Radiologi Diagnostik. Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Sembiring, S., 2008. Multi Drug Resistance (MDR) pada Penderita Tuberkulosis Paru
dengan Diabetes Mellitus. Universitas Sumatera Utara. Dikutip dari:
49
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6406/1/08E00290.pdf. [Diakses
16 November 2010]
Utami, M. R., 2006. Perbedaan Derajat Lesi Radiologi pada Pasien Tuberkulosis
Paru dengan Diabetes Melitus dan Non-Diabetes Melitus di RSUD Dr.
Moewardi Surakarta, Universitas Negeri Surakarta. Dikutip dari:
http://digilib.uns.ac.id/abstrakpdf_2879_perbedaan-derajat-lesi-radiologi-pada-
pasien-tuberkulosis-paru-dengan-diabetes-melitus-dan-non-diabetes-melitus-di-
rsud-dr.-moewardi-surakarta.pdf. [Diakses 20 April 2010].
World Health Organization, 2006. The Stop TB Strategy. Geneva: World Health
Organization. Available from:
http://www.who.int/tb/publications/stoptbstrategy/2006/update/en/index.html.
[Accessed 12 April 2010].
50
______, 2009. Global tuberculosis control: a short update to the 2009 report.
Geneva: World Health Organization. Available from:
http://www.who.int/tb/publications/global_report/2009/update/en/index.html.
[Accessed 12 April 2010].
Zevitz, M., Lendhart, R., 2006. Pulmonary Medicine Review. USA: McGraw-Hill