"Tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah سبحانه وتعالى."
Ada beberapa penafsiran yang salah tentang makna kalimat ( ل إله إل الlaa ilaaha
illallaah), dan kesalahan tersebut telah menyebar luas. Di antara kesalahan tersebut
adalah: [1]
Disalin dari Kitab Syarah ’Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Penulis Yazid bin
Abdul Qadir Jawas, halaman 132-133, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i PO.BOX
7803/JACC 13340 A. Cetakan Keempat: Sya’ban 1427 H/ September 2006 M.
[1] Lihat ’Aqiidatut Tauhid (hal. 39-40) oleh Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin ’Abdullah
al-Fauzan.
laa ilaaha illallah adalah sebuah kata yang sedemikian akrab dengan kita. Sejak
kecil (kalau kita hidup di tengah keluarga muslim), kita akan begitu familiar
dengan ucapan tersebut. Mungkin karena terlalu biasa mengucapkan kita sering
tak peduli dengan makna yang hakiki dari kalimat tersebut. Malahan boleh jadi
kita belum paham dengan maknanya. Sehingga bisa saja perilaku kita terkadang
bertentangan dengan kandungan dari laa ilaaha illallah itu sendiri tanpa kita
sadari.
Hal ini tentunya sangat berbahaya bagi kehidupan keagamaan kita. Kalimat
tersebut secara pasti menentukan bahagia dan celakanya kehidupan seseorang di
dunia dan akhirat. Terus apakah terlambat bagi kita untuk tahu tentang makna
syahadat tersebut di usia kita sekarang ini.? Jawabnya tidak ada kata terlambat
sebelum nyawa sampai di tenggorokan kita, mari kita mulai dari sekarang untuk
memahaminya. Untuk itu kami mencoba mengangkat masalah makna syahadat ini
untuk kemudian dipahami, agar melempangkan jalan kita meraih kebahagiaan di
dunia maupun di akhirat.
Kalau kita tinjau sebenarnya kalimat laa ilaaha illallah mengandung dua makna,
yaitu makna penolakan (nafi) segala bentuk sesembahan selain Allah, dan makna
menetapkan bahwa satu-satunya sesembahan yang benar hanyalah Allah semata.
Berkaitan dengan mengilmui kalimat ini Allah ta'ala berfirman:
Berdasarkan ayat ini, maka mengilmui makna syahadat tauhid adalah wajib dan
mesti didahulukan daripada rukun-rukun islam yang lain. Disamping itu nabi kita
pun menyatakan
"Barang siapa yang mengucapkan laa ilaaha illallah dengan ikhlas maka akan
masuk ke dalam surga" ( HR Ahmad)
Seorang ulama besar Ibnu Rajabb mengatakan: Al ilaah adalah yang ditaati dan
tidak dimaksiati, diagungkan dan dibesarkan dicinta, dicintai, ditakuti, dan
dimintai pertolongan harapan. Itu semua tak boleh dipalingkan sedikit pun kepada
selain Allah. Kalimat laa ilaaha illallah bermanfaat bagi orang yang
mengucapkannya selama tidak membatalkannya dengan aktifitas kesyirikan.
Inilah sekilas tentang makna laa ilaaha illallah yang pada intinya adalah pengakuan
bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah ta'ala semata.
makna…
Kata "La" secara harfiahnya berarti tidak/ menidakkan berarti tiada Illah yang pantas
disembah/dipatuhi/diikuti selain dari Allah, jadi apapun yg dilakukan oleh diri taklain dan
bukan hanya mengharap Ridho Allah semata.
لالهartinya tiada tuhan yang (yang berhak) untuk diibadahi padanya ...
ini adalah kalimat pe-nafi-an yang artinya tidak ada sama sekali (yang berhak diibadahi)
لاله ال الartinya Tidak ada tuhan yang berhak untuk disembah kecuali ALLAH.
Allahu a'lam.
.
Pembahasan edisi kali ini dimulai dari prinsip yang paling mendasar dari ajaran Islam,
sebagai pengingat bagi yang lupa, nasehat bagi yang lalai dan meluruskan bagi yang
salah dalam memahaminya. Dalam rangka menjalankan perintah Allah:
َ ن الّذْكَرى َتْنَفُع اْلُمْؤِمِنْي
ن ّ …َفَذّكْر َفِإ
"Maka ingatkanlah, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi kaum
mukminin. "(adz-Dzariyat: 55)
Dalam sebuah hadits masyhur disebutkan: Dari Umar -Radhiallahu 'anhu- , beliau
berkata: “Tatkala kami sedang duduk bersama Rasulullah -Shallalahu 'alaihi wa sallam-
pada suatu hari, tiba-tiba muncul di hadapan kami seorang lelaki yang berpakaian sangat
putih, berambut hitam legam, tidak ada padanya tanda-tanda selepas bepergian dan tidak
ada seorangpun di antara kami yang menge-nalinya. Dia datang dan duduk menghadap
Nabi -Shallalahu 'alaihi wa sallam- kemudian merapatkan lututnya kepada lutut Nabi dan
meletakkan kedua tangannya di atas kedua paha Nabi -Shallalahu 'alaihi wa sallam-
seraya berkata: “Wahai Muhammad terangkan kepadaku apa itu Islam?”. Rasulullah
-Shallalahu 'alaihi wa sallam- menjawab:
،ي الّزَكاَة
َ َوُتْؤِت،لَة
َصّ َوُتِقْيَم ال،ل
ِ لا ُ سْو
ُ حّمًدا َرَ ن ُمّ ل ال َوَأ ّ ل ِإَلَه َإ
َ ن ْ شَهَد َأ
ْ ن َت
ْ لُم َأ
َ لسِ ْا
ً سِبْي
ل َ ت ِإَلْيِه
َ طْع
َ سَت
ْ نا ِ ت ِإ
ِ ج اْلَبْي
ّح ِ َوُت،ن َ ضاَ صْوَم َرَم ُ َوَت.
"Islam itu ialah engkau bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi
kecuali Allah dan bahwasanya Muhammad adalah rasul (utusan) Allah dan engkau
menegakkan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadahan, dan menjalani
ibadah haji di Baitullah (al-Haram) jika engkau mampu mengadakan perjalanan
kepadanya”. (HR. Muslim juz 1 hal 133)
ِ سَمَوا
ت ّ ب ال
ّ ن َرْ ل َمْ ُق.ن
َ ل َتَذّكُرْو َ ل َأَفْ ل ُق
ِّ ن ّ سَيُقْوُل
َ ن َ ن ُكْنُتْم َتْعَلُمْوْ ن ِفْيَها ِإ
ْ ض َوَم
ُ لْر َ ن ْا
ِ ل ِلَم
ْ ُق
ئ َوُهَو
ٍ شْي
َ لّ ت ُكُ ن ِبَيِدِه َمَلُكْو
ْ ل َم ْ ُق.ن َ ل َتّتُقْو
َ ل َأَفْ ل ُق
ُ نا ّ سَيُقْوُل
َ ظْيِمِ ش اْلَعِ ب اْلَعْر
ّ سْبِع َوَرّ ال
89-84 : )المؤمنون.ن َ حُرْو َس ْ ل ُتَ ل َأَفْ ل ُق
ُ نا ّ سَيُقْوُل
َ نِ ن ُكْنُتْم َتْعَلُمْوْ عَلْيِه ِإ
َ جَاُر
ُليَ )ُيجِْيُر َو
"Katakanlah: “Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu
mengetahui?” Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.” Katakanlah: “Maka
apakah kamu tidak ingat?” Katakanlah: “Siapakah yang Empunya langit yang tujuh dan
yang Empunya ‘Arsy yang besar?” Me-reka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.”
Katakanlah: “Maka apakah kamu tidak bertaqwa.” Katakanlah: “Siapakah yang ada di
tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedangkan Dia melindungi, tetapi
tidak ada yang dapat dilindungi dari (azab)-Nya, jika kamu mengetahui?” Mereka akan
menjawab: “Kepunyaan Allah.” Kata-kanlah: “(Kalau demikian), maka dari jalan
manakah kamu ditipu?” (al-Mu’minun: 84-89)
Sesungguhnya dalam Tauhid Rububiyah pun terkandung konsekwensi Tauhid Uluhiyah
juga. Artinya orang yang mengerti bahwa Allah adalah penguasa, pencipta dan pemilik
alam semesta, maka sudah seharusnya ia beribadah hanya kepada Allah, meminta dan
berdoa hanya kepada-Nya. Oleh karena itu Allah mempertanyakan orang yang mengerti
bahwa Allah sebagai penguasanya, namun ia berdo’a dan beribadah kepada selain-Nya
dengan kalimat ( َافل تسللللحرونmaka dari jalan manakah kamu ditipu?)
Oleh karena itulah kalimat لإله إل الlebih luas dan lebih lengkap kandungan maknanya
daripada kalimat “( ل خالق إل الTidak ada pencipta kecuali Allah” ) atau kalimat ل
“( مالك إل الTidak ada penguasa kecuali Allah”). Belum dapat dikatakan masuk Islam
seorang kafir musyrik yang mengatakan: “Saya percaya bahwa yang menciptakan langit
dan bumi adalah Allah”, sampai ia mengikrarkan bahwa “tiada yang berhak diibadahi
kecuali Allah” dengan yakin dan kemudian dibuktikan dengan amalannya.
Dengan demikian tiga macam Tauhid tersebut yakni Uluhiyah, Rububiyah dan asma wa
sifat adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Dan semuanya terkandung dalam
kalimat syahadat لإله إل اللyang merupakan ma’rifatullah atau pengenalan seorang
hamba terhadap Allah:
1. Mengenal hak-hak-Nya; yaitu hak untuk diibadahi, ditaati, dicintai dengan setinggi-
tingginya cinta, berharap kepada-Nya, bergantung kepada-Nya, takut kepada-Nya dan
sebagainya.
2. Mengenal Rububiyah-Nya yaitu bahwa Allah-lah yang menciptakan langit dan bumi
serta seluruh alam semesta. Dialah yang memilikinya, yang mengaturnya dan yang
berhak menakdirkan segala sesuatu yang terjadi dengan hikmah dan keadilan-Nya.
3. Mengenal nama-nama, sifat-sifat dan perbuatan-Nya yakni menetapkan dengan
keimanan dan keyakinan seluruh nama-nama dan sifat-sifat Allah yang Allah kenalkan
diri-Nya dalam al-Qur’an dan yang dikenalkan oleh Rasulullah dalam riwayat-riwayat
yang shahih. Dalam mengenal dan mengimani nama dan sifat Allah harus dengan syarat-
syarat sebagai berikut:
a. Menetapkan semua itu dengan lafadz dan maknanya sekaligus. karena sebagian ahlul
bid’ah dari kalangan ahlul kalam, mu’tazilah dan asy’ariyah dan sejenisnya menerima
lafadz-lafadznya tetapi menolak maknanya dengan tahrif (penyimpangan maknanya) atau
tafwidh (tidak mau menerjemahkannya secara dhahir dengan alasan menyerahkannya
kepada Allah).
Tidak seperti ahlut tahrif, mereka menerima sifat ( يدtangan) bagi Allah tetapi mereka
mengatakan bahwa يدmaknanya bukan tangan tetapi kekuatan. Mereka menerima sifat
( غضبmarah) tetapi mereka mengatakan bahwa غضبmaknanya bukan marah tetapi
berkehendak untuk membalas. Dengan kata lain ahlul bid’ah tersebut menerima
lafadznya tetapi menyimpangkan maknanya kepada makna-makna lain yang diistilahkan
oleh Ibnu Taimiyah dengan “at-tahrif”.
Tidak pula seperti golongan ahlu tafwid yang tidak mau menterjemahkan makna dari
lafadz-lafadz tersebut dan menyatakan bahwa Allah memiliki يدtapi kami tidak tahu
maknanya; Allah memiliki sifat غضب. Tetapi kami tidak tahu maknanya, kami serahkan
semuanya kepada Allah. Dan mereka tidak mau mengartikan يدdengan tangan dan
غضلللللللللللللللللللللللللللللللللللللللللللللللللللبdengan marah.
Pendapat mereka ini bertentangan dengan hikmah diturunkannya al-Qur’an dengan
bahasa Arab, yaitu untuk dipahami maknanya sebagaimana Allah berfirman:
َ عَرِبّيا َلَعَلُكْم َتْعِقُلْو
ن َ ِإّنا َأْنَزْلَناُه ُقْرَءاًنا. …
"Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa al-Qur’an dengan berbahasa Arab, agar
kalian memahaminya." (Yusuf: 2)
b. Kita menetapkan nama dan sifat Allah dengan yakin bahwa Allah tidak sama dengan
makhluk-Nya.
صْيُر
ِ سِمْيُع اْلَب
ّ ئ َوُهَو ال
ٌ شْي
َ س َكِمْثِلِه
َ َلْي.
"Tidak ada yang serupa dengan-Nya, dan Ia Maha Mendengar lagi maha Melihat". (asy-
Syura: 11)
Maka kita harus meyakini Allah memiliki ( يدtangan), tetapi tidak sama dengan tangan
makhluk-Nya. Kita juga meyakini bahwa Allah mempunyai sifat ( غضبmarah), tetapi
tidak sama dengan kemarahan makhluk-Nya.
Tidak seperti golongan lain dari ahlul bid’ah yaitu para mumatsilin yang mengatakan
bahwa Allah mempunyai tangan seperti kita dan memiliki sifat marah seperti kita marah.
Maha suci Allah dari apa yang mereka katakan.
c. Tanpa menanyakan bagaimananya. Menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah
seperti apa adanya di dalam al-Qur’an dan dalam hadits-hadits yang shahih tanpa
menanyakan seperti apa atau bagaimana? Kita beriman dengan apa yang Allah beritakan
kepada kita tentang diri-Nya dan kita tidak tahu apa yang tidak diberitakan kepada kita.
Karena masalah ini adalah perkara ghaib yang tidak mungkin kita mengetahuinya kecuali
sebatas apa yang diberitakan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Wahyu telah berhenti, Rasulullah I telah wafat, Islam telah sempurna. Maka siapakah
yang akan menjawab pertanyaan kita tentang apa yang tidak diberitakan kepada kita oleh
Allah dan Rasul-Nya?!!!
Pertanyaan ف َ كْيللل. (seperti apa atau bagaimana) adalah pintu setan. Sedemikian
berbahayanya pintu takyif sampai-sampai para ulama bersikap keras kepada mereka yang
memiliki pikiran-pikiran usil dan kotor. Tercatat diantaranya Imam Malik bin Anas,
pemilik Kitab Al-Muwatha’, menunjukan rasa marahnya saat seseorang bertanya –
tepatnya mempertanyakan— bagaimana istiwanya Allah di atas arsy-Nya. Beliau
rahimahulllah menjawab:
َوَما.عٌة
َ عْنُه ِبْد
َ ل
ُ سَؤا
ّ َوال،ب
ٌ ج
ِ ن َوا
ُ لْيَما
ِ َوْا،ل ٍ غْيُر َمْعُقْو
َ فُ َواْلَكْي،ل ٍ جُهْوْ غْيُر َم
َ سِتَواُءْلِ ْا
سِه
ِ جِل
ْ ن َمْ ج ِمَ خَر
ْ ن ُي
ْ ل َوُأِمَر ِبِه َأ
ّ ضاَ ل ّ ك ِإ
َ َأدَْرا.
"al-istiwa’ adalah bukan (kalimat) yang asing, kaifiyah (bagaimana istiwa’nya Allah)nya
adalah tidak mungkin diketahui, beriman terhadapnya adalah wajib dan bertanya
tentangnya adalah bid’ah. Tidaklah aku melihat engkau kecuali orang yang sesat".
Kemudian diperintahkan agar ia dikeluarkan dari majlisnya
Dengan demikian dalam beriman kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah, kita harus
memenuhi syarat-syarat di atas yaitu:
1. Menerima lafadz dengan maknanya secara dhahir.
2. Tanpa tahrif (penyimpangan makna).
3. Tanpa ta’thil (penolakan sebagian maupun keseluruhan).
4. Tanpa tafwidh (tidak mau menerjemahkannya secara dhahir dengan alasan
menyerahkannya kepada Allah).
5. Tanpa tasybih atau tamtsil, yaitu tidak menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya.
6. Tanpa Takyif, yaitu tdak menanyakan seperti apa dan bagaimananya.