Teori Teori Pembangunan Klasik Kontemporer 2006
Teori Teori Pembangunan Klasik Kontemporer 2006
Arya Hadi Dharmawan – MK Dinamika Masyarakat Pedesaan PS Sosiologi Pedesaan Pasca Sarjana IPB 2007/2008
1
Tulisann ini dikembangkan dari makalah penulis yang disampaikan pada acara “Apresiasi Perencanaan
Pembangunan Pertanian Daerah bagi Tenaga Pemandu Teknologi Mendukung Prima Tani”,
diselenggarakan di Hotel Jaya-Raya, Cisarua Bogor, 19-25 November 2006.
1
Dr. Arya Hadi Dharmawan – MK Dinamika Masyarakat Pedesaan PS Sosiologi Pedesaan Pasca Sarjana IPB 2007/2008
2
Dr. Arya Hadi Dharmawan – MK Dinamika Masyarakat Pedesaan PS Sosiologi Pedesaan Pasca Sarjana IPB 2007/2008
ketidakadilan bagi masyarakat lapisan bawah sebagaimana kritik yang telah disinggung
di atas.
Secara garis besar, paling tidak ada tiga kubu yang mempertanyakan efektivitas konsep
pembangunan ala modernisasi dalam memfasilitasi proses-proses transformasi sosial-
ekonomi dan budaya masyarakat di negara sedang berkembang. Ketiga kubu tersebut
adalah: (1) kubu penganut teori ketergantungan; dan (2) kubu penganut teori sistem-
dunia, serta (3) kubu penganut teori pemberdayaan, yang berusaha memandirikan
masyarakat, tanpa harus bergantung pada sistem eksternal. Ketiga kubu, sesungguhnya
mengambil posisi kritis atas teori modernisasi dan berusaha keluar dengan solusi efektif.
Kubu pengkritik yang pertama (teori ketergantungan) utamanya didukung oleh mereka
yang berasal dari kawasan Amerika Latin. Mereka menganggap bahwasanya modernisasi
adalah “strategi-licik” Barat atau negara maju untuk membuat negara-negara sedang
berkembang tergantung secara ekonomi kepada mereka. Investasi-asing berskala besar
yang terus-menerus memasuki negara-negara Amerika Latin sejak tahun 1950an-1970an,
awalnya disambut baik. Modernisasi melalui investasi asing, tersebut dianggap sebagai
motor perluasan kesempatan kerja. Dalam jangka panjang, investasi asing ternyata
mensubstitusi dan meminggirkan semua moda produksi asli-lokal, karena secara
teknologi dan manajemen mereka memang kalah bersaing. Investasi asing juga telah
mengakibatkan terbentuknya struktur sosial pekerja (buruh) di negara periferi dimana
investasi tersebut ditanam. Pada taraf lanjut, negara-negara tujuan investasi asing tersebut
hanyalah berisi kelas pekerja yang menjadi pasar bagi produk-produk dari investasi asing
tersebut. Mereka adalah sumber pendapatan yang sangat substansial bagi negara maju. P
ada titik inilah berlangsung proses “economic leakage” (pembocoran sumberdaya
ekonomi) dari negara-negara periferal ke negara maju (pemilik dana investasi).
Kebocoran itu tidak dapat dibendung, oleh karena semua sendi perekonomian di negara-
negara periferal telah sepenuhnya berada dalam kontrol konglomerasi korporat
internasional (Trans-National Corporation/TNCs). Kenyataan inilah yang dianggap
sebagai sindroma ketergantungan struktural yang terjadi akibat pembangunan
mengambil jalan modernisasi via pertumbuhan ekonomi yang berbasiskan pada investasi
asing. Isyu utama teori pembangunan ketergantungan adalah pada “rasa ketidakadilan”
yang dialami negara-negara periferal yang perekonomiannya tereksploitasi oleh negara
maju. Solusi politik proteksionisme dan nasionalisasi kepemilikan saham korporasi
TNCs dipandang sebagai pendekatan utama untuk menetralisir derajat ketergantungan
yang telah diciptakan oleh negara maju di kawasan periferal.
Kubu pengkritik kedua (teori sistem-dunia), menggunakan teori ketergantungan sebagai
basis teoretik utamanya. Teori sistem-dunia dianggap sebagai kelanjutan dari teori
ketergantungan, dimana Wallerstein (1976) sebagai penggagasnya menggunakan analogi
imperialisme untuk menerangkan proses dan akibat dari ekspansi-kapital TNCs ke
segala penjuru dunia. Sistem produksi-distribusi serta konsumsi lokal digantikan oleh
sistem global sehingga menjadi seragam dan mendunia. Anggapan akan kegagalan
modernisasi ala investasi Barat di negara sedang berkembang bermula pada titik ini,
dimana proses-proses integrasi sistem ekonomi lokal terhadap moda produksi kapitalisme
global telah membentuk struktur world-economy dan hegemoni kapital. Struktur
hegemonik terhadap perekonomian lokal tersebut dianggap sebagai struktur yang tidak
adil dan tidak demokratis, karena men-displace perekonomian lokal. Bagian-bagian
3
Dr. Arya Hadi Dharmawan – MK Dinamika Masyarakat Pedesaan PS Sosiologi Pedesaan Pasca Sarjana IPB 2007/2008
terkecil perekonomian di setiap kawasan dunia lenyap karena tidak dapat bertahan hidup
kecuali mereka meleburkan diri mereka ke dalam “jebakan sistem ekonomi kapitalisme
dunia”. Demikianlah, sejarah peradaban perekonomian saat ini sangat kuat ditandai oleh
gambaran world capitalist imperium sebagai hasil ekspansi TNCs ke seluruh penjuru
dunia. Struktur hegemoni perekonomian global oleh korporasi Barat, mengakibatkan
polarisasi penguasaan perekonomian pada segelintir korporasi global (misal: Coca-cola,
McDonald, General Electric, Bayer, Nestle, Toyota, Nokia, BASF). Di kutub yang lain,
negara-negara sedang berkembang menjadi kumpulan entitas yang tidak berdaya
dihantam oleh kapitalisme global. Dalam hal ini, redistribusi ekonomi dari negara maju
ke negara sedang berkembang dipandang sebagai satu-satunya solusi keadilan.
Konsep pembangunan via modernisasi-Westernisasi tidak dapat dielakkan, juga terjadi
dan berlangsung sangat ekspansif di Indonesia. Pertanyaannya adakah model
pembangunan alternatif yang dapat “membebaskan entitas-entitas sosial lokal dari segala
ketergantungan”? Dapatkah model alternatif tersebut operasional?
Dari pertanyaan tersebut, muncullah kubu ketiga dalam teori pembangunan kontemporer
(teori pemberdayaan) yang menentang modernisasi ala westernisasi-kapitalisme.
Secara teoretik, basis ideologi pemberdayaan adalah Neo-Marxisme, karena
menggunakan asumsi pembebasan dari ketertindasan. Beberapa asumsi-kerja yang
mendasari teori pemberdayaan tersebut. Fakta pertama adalah keterbelakangan atau
keterpinggiran (diukur oleh derajat pendidikan, kesehatan, status pangan, status
pendapatan, pemenuhan papan dan akses terhadap informasi, hingga kepada akses pada
aktivitas politik) sebagai akibat kapitalisme global. Fakta kedua adalah ketertinggalan
(diukur dari angka pencapaian sasaran indikator-kemajuan yang dibandingkan secara
relatif antara suatu kelompok dengan kelompok lainnya). Fakta ketiga adalah
kemiskinan (diukur melalui angka pendapatan atau pengeluaran per kapita ataupun oleh
pemenuhan kebutuhan fisik minimum seperti pangan, sandang, papan, kesehatan,
pendidikan, serta “martabat” individu sebagai manusia). Fakta keempat adalah
ketergantungan (diukur oleh derajat kebebasannya dalam menentukan nasib sendiri).
Semua fakta itu bermuara ke satu persoalan, yaitu sindroma ketidakberdayaan dan
ketidakmandirian.
Benarkah konsep pembangunan berideologikan empowerment mampu menjadi solusi
atas segala persoalan di atas? Bagaimana konsep tersebut diimplementasikan di
lapangan? Sebelum membahas pembangunan ala pemberdayaan, ada baiknya ditinjau
secara sekilas prestasi serta “potret suram” pembangunan pedesaan dan pertanian di
Indonesia selama 60 tahun terakhir.
4
Dr. Arya Hadi Dharmawan – MK Dinamika Masyarakat Pedesaan PS Sosiologi Pedesaan Pasca Sarjana IPB 2007/2008
5
Dr. Arya Hadi Dharmawan – MK Dinamika Masyarakat Pedesaan PS Sosiologi Pedesaan Pasca Sarjana IPB 2007/2008
6
Dr. Arya Hadi Dharmawan – MK Dinamika Masyarakat Pedesaan PS Sosiologi Pedesaan Pasca Sarjana IPB 2007/2008
Meski demikian, kebutuhan fisik dan ekonomi bukan berarti menjadi tidak penting lagi,
pada fase ini. Melainkan, penyaluran aspirasi politik menjadi sama pentingnya dengan
pemenuhan kebutuhan ekonomi dan fisik, karena selama rezim-otoritarianisme semua
saluran untuk menyuarakan pendapat, benar-benar tersumbat. Sejak saat itu, maka
pembangunan pedesaan mengambil format yang sangat berbeda. Perbaikan
7
Dr. Arya Hadi Dharmawan – MK Dinamika Masyarakat Pedesaan PS Sosiologi Pedesaan Pasca Sarjana IPB 2007/2008
8
Dr. Arya Hadi Dharmawan – MK Dinamika Masyarakat Pedesaan PS Sosiologi Pedesaan Pasca Sarjana IPB 2007/2008
9
Dr. Arya Hadi Dharmawan – MK Dinamika Masyarakat Pedesaan PS Sosiologi Pedesaan Pasca Sarjana IPB 2007/2008
10
Dr. Arya Hadi Dharmawan – MK Dinamika Masyarakat Pedesaan PS Sosiologi Pedesaan Pasca Sarjana IPB 2007/2008
atas pendekatan modernisme via globalisme yang dibawa oleh pemodal asing. Sebagai
pendekatan yang berbasis pada karakter lokal, maka pemberdayaan komunitas lebih
kental mencirikan pendekatan sesuai potensi dan setting sosio-budaya tempatan, sehingga
bisa mewakili aliran pembangunan berorientasi pada lokalisme.
Satu hal terpenting yang perlu diingat dalam aliran pembangunan berorientasi
lokalisme adalah adanya “dilema-lokalitas”, yaitu ketidakberfungsian sebuah program
yang semula berjalan dengan baik di tingkat lokal, manakala program tersebut harus
dijalankan atau dioperasionalisasikan di skala yang lebih luas dari skala lokal (supra-
lokal). Inefektivitas pembangunan lokalistik tersebut disebabkan hadirnya faktor
ketidakcukupan prasyarat kekhasan sosio-ekonomi-budaya-politik lokal yang diperlukan
untuk menopang berfungsinya sebuah program. Jadi, dilema-lokalitas muncul oleh karena
persoalan inkompatibilitas atau ketidakcukupan prasyarat yang dimiliki oleh supra-
lokalitas (beyond locality).
Transformasi Outcomes:
Livelihood Assets Struktur dan Perbaikan nafkah
Proses Peningkatan taraf
Struktur: hidup
Konteks • Birokrasi- Mengurangi
Kerentanan pemerintahan kerentanan Æ
HC
• Bencana Pengaruh • Keterkaitan Strategi Nafkah kehidupan lebih
SC NC
mendadak dan dengan Swasta fleksibel terhadap
• Ketersediaan PC FC
Akses Proses-Proses: berbagai ancaman
sumberdaya • Hukum Mengembangkan
• Variasi • Kebijakan ketahanan pangan
musiman • Budaya/kultur Jaminan hidup
• Kelembagaan generasi mendatang
Keterangan:
SC : Social capital (modal sosial) HC : Human capital (modal manusia)
NC : Natural capital (modal alam) FC : Financial capital (modal keuangan)
PC : Physical capital (modal fisik)
Gambar 1. Sustainable Livelihoods Framework (diadaptasi dari Farrington et. al. : 1999)
11
Dr. Arya Hadi Dharmawan – MK Dinamika Masyarakat Pedesaan PS Sosiologi Pedesaan Pasca Sarjana IPB 2007/2008
Konsep ini sesungguhnya dikembangkan pertama kali di Inggris pada akhir dekade
1990an, namun didisain sedemikian rupa sehingga sangat relevan untuk kawasan sedang
berkembang. Pendekatan pembangunan ala sustainable livelihood system adalah
pendekatan pembangunan kontemporer (konsep pembangunan dekade 1990an) yang
berusaha mengoreksi pendekatan pembangunan ala modernisasi yang dikenal sangat
tidak akrab terhadap lingkungan. Pendekatan sistem nafkah berkelanjutan berusaha
mencapai derajat pemenuhan kebutuhan sosial, ekonomi, dan ekologi secara adil dan
seimbang. Pencapaian derajat kesejahteraan sosial didekati melalui kombinasi aktivitas
dan utilisasi modal-modal yang ada dalam tata sistem-nafkah (lihat Tabel 2).
Tabel 2. Sistem Nafkah Rumahtangga Desa Sekitar Hutan
12
Dr. Arya Hadi Dharmawan – MK Dinamika Masyarakat Pedesaan PS Sosiologi Pedesaan Pasca Sarjana IPB 2007/2008
13
Dr. Arya Hadi Dharmawan – MK Dinamika Masyarakat Pedesaan PS Sosiologi Pedesaan Pasca Sarjana IPB 2007/2008
Ketiga bentuk modal lain telah jelas yaitu human capital berupa kemampuan,
keterampilan dan kapasitas sumberdaya manusia, financial capital atau uang dan
physical capital berupa infrastruktur fisik penopang pembangunan. Kelima bentuk modal
dimanfaatkan searif mungkin untuk menyongsong derajat kesejahteraan masyarakat serta
kelestarian alam.
6. Penutup
Mengenal perjalanan epistemologis (theory of knowledge), ontologis (konsep relevan),
serta axiologis (dasar etika) dari pemikiran-pemikiran atau gagasan pembangunan, akan
memberikan kearifan bagi seseorang dalam menentukan pilihan paradigma apa yang
tepat digunakan untuk memecahkan suatu persoalan. Harus diakui bahwa konsep
“pembangunan” tetap menjadi instrumen dan approach penting perubahan sosial
berencana. Namun, pengalaman pembangunan telah memberikan banyak pilihan atas
varian-varian baru konsep pembangunan yang layak diperhatikan dan diperhitungkan.
Rujukan
Anonymous, 2003. Celebrating Indonesia: Fifty Years with the Ford Foundation 1953-
2003. Ford Foundation. Jakarta.
Bossel, H. 1999. Indicators for Sustainable Development: Theory, Method, Application.
International Institute for Sustainable Development. Manitoba.
Brox, O. 2006. The Political Economy of Rural Development: Modernization Without
Centralization? Eburon Publisher. Delft.
Castro, C. J. 2004. Sustainable Development: Mainstream and Critical Perspectives.
Organization and Environment, Vol. 17/2, pp. 195-225.
de Haan, L. J. 2000, Globalization, Localization and Sustainable Livelihood, Sociologia
Ruralis, Volume 40, Number 3, July 2000.
Dharmawan, A. H. 2000. Poverty, Powerlessness, and Poor People Empowerment: A
Conceptual Analysis with Special Reference to the Case of Indonesia. Paper
presented in the Workshop on Rural Institutional Empowerment held in the
Indonesian Consulate General of the Republic of Indonesia in Frankfurt am Main
Germany, August 26th 2000.
Elliot, J. A. 1996. An Introduction to Sustainable Development: The Developing World.
Routledge. London and New York.
Ellis, F. 2000, Rural Livelihoods and Diversity in Developing Countries, Oxford
University Press, New York.
Farrington, J. et. al. 1999. Sustainable Livelihoods in Practice : Early Applications of
Concepts in Rural Areas’. ODI Natural Resources Perspectives. Number 42. June
1999. Overseas Development Institute. London.
Fear, F. A and Schwarzweller, H.K. 1985. Introduction: Rural Sociology, Community
and Community Development, in Fear, F. A and Schwarzweller, H. K. (eds.). 1985.
14
Dr. Arya Hadi Dharmawan – MK Dinamika Masyarakat Pedesaan PS Sosiologi Pedesaan Pasca Sarjana IPB 2007/2008
15
Dr. Arya Hadi Dharmawan – MK Dinamika Masyarakat Pedesaan PS Sosiologi Pedesaan Pasca Sarjana IPB 2007/2008
16
Dr. Arya Hadi Dharmawan – MK Dinamika Masyarakat Pedesaan PS Sosiologi Pedesaan Pasca Sarjana IPB 2007/2008
18