PENGERTIAN KEADILAN
PERMASALAHAN
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota
Please direct any suggestion to Media Team
Sikap semacam ini tentunya tak memuaskan banyak pihak dan dari
hari ke hari pembahasan masalah-masalah metaforis dalam
teks-teks keagamaan tumbuh dengan pesatnya. Agaknya al-Jahiz
(w. 255 H/868 M) merupakan tokoh pertama yang menghasilkan
pemikiran-pemikiran jernih menyangkut masalah tersebut.
Walaupun harus diakni bahwa kitab tafsir pertama, karya Abu
Ubaidah Mu'ammar bin Al-Mustana (w. 209 H) bernama Majazat
al-Qur'an. Namun nama ini tak berkaitan dengan pengertian
majaz atau metafora yang dimaksud di sini.
Ibnu Qutaibah (w. 276 H/889 M), murid al-Jahid walau pun bukan
penganut aliran Muitazilah bahkan dinilai sebagai "juru bicara
Ahl-u'l-Sunnah" (5) melanjutkan dan mengembangkan usaha-usaha
gurunya dalam memahami teks-teks keagamaan dengan berbagai
motif yang berkembang dengan sangat pesat; dan tentu
menggunakan segala cara dan argumentasi, baik logika maupun
kebahasaan.
Dalam hal ini tentunya kita tak dapat menyalahkan mereka yang
memahami Firman Allah dalam QS. al-Baqarah 243, "Apakah kamu
tak mengetahui orang-orang yang keluar dari kampung halaman
mereka yang jumlah mereka beribu-ribu (keluar) karena takut
mati, maka Allah berfirman kepada mereka 'matilah kamu,'
kemudian Allah menghidupkan mereka, sesungguhnya Allah
mempunyai karunia terhadap manusia tetapi kebanyakan manusia
tak bersyukur."
CATATAN
9. Ibid.
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
PENUTUP
CATATAN
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
Salah satu masalah yang banyak dibahas oleh para ahli agama,
khususnya segi-segi tertentu ajaran agama di bidang hukum,
ialah sejauh mana nilai atau ketetapan hukum dalam Islam
ditentukan oleh keadaan ruang dan waktu. Para ahli fiqih
sepakat bahwa dalam hukum berubah menurut peruhahan zaman dan
tempat. Kaidah mereka mengatakan, "Taghayyur al-ahkam bi
thagayyur al-zaman wa al-makan" (Perubahan hukum oleh
perubahan zaman dan tempat). Tetapi mereka berselisih tentang
batas terjauh dibenarkannya perubahan itu.
Maka berdasarkan tindakan Umar itu, para ahli hukum Islam masa
lalu, seperti, misalnya, Muhamad ibn al-Husain, mengatakan,
"Kita ikuti pendapat Umar itu, namun kita tidak memandang
perkara tersebut (lelaki muslim kawin dengan wanita Ahl
al-Kitab) sebagai terlarang. Kita hanya berpendapat hendaknya
para wanita muslim diutamakan, dan itulah juga pendapat Abu
Hanifah." Kemudian rektor universitas al-Azhar, Dr.
Abd-al-Fattah Husaini al-Syaikh, mengatakan bahwa tindakan
khalifah kedua itu menyalahi nas atau lafal Kitab Suci, juga
menyalahi apa yang dilakukan sebagian para Sahabat Nabi.
Sebab, selain Hudzaifah, ada beberapa tokoh Sahabat Nabi yang
beristrikan wanita Ahl al-Kitab, seperti, misalnya, Utsman bin
Affan, khalifah ketiga, yang beristrikan wanita Kristen Arab,
Na'ilah al-Kalbiyah, dan Thalhah ibn Ubaid-Allah yang
beristrikan seorang wanita Yahudi dari Syam (Syiria). Tetapi,
kata rektor al-Azhar lebih lanjut, Umar tidak melakukan
larangan itu kecuali setelah melihat adanya hal yang kurang
menguntungkan bagi masyarakat Islam. Dan Umar tidaklah
mengatakan sebagai haram --hal mana tentu akan berarti
menentang hukum Allah-- melainkan hanya sekedar menjalankan
suatu patokan yang sudah tetap dikalangan para ahli, bahwa
pemerintah boleh melarang sementara sesuatu yang sebenarnya
halal jika ada faktor yang merugikan masyarakat. Tetapi faktor
itu lenyap, maka dengan sendirinya lenyap pula alasan
melarangnya. [4]
Jika cara turunnya ajaran ke dalam jiwa para Nabi itulah yang
dimaksud dengan kesatuan cara yang diturunkannya semua ajaran
(dari Tuhan), lalu mengapa agama para Nabi itu berbeda-beda?
Jawabnya ialah, karena terdapat perbedaan kesiapan antara
berbagai umat maka berbeda pula bentuk-bentuk jalan tauhid dan
bagaimana jalan itu ditempuh, sementara maksud, tujuan dan
hakikat metode itu semuanya satu, seperti jari-jari yang
menghubungkan garis luar lingkaran dengan titik pusat
lingkaran itu. Jari-jari tersebut merupakan jalan-jalan yang
berbeda-beda menurut perbedaan garis yang menghubungkan antara
titik pusat lingkaran itu dengan setiap titik yang ditentukan
pada garis lingkar luarnya. Sama juga dengan cara pengobatan
yang berbeda-beda, namun tujuannya adalah satu, yakni
kesehatan, dan semua cara pengobatan itu sebagai cara
menyingkirkan penyakit dan mengembalikan kesehatan adalah
satu. Maka begitu pula cara turunnya ajaran kepada Para Nabi
adalah satu, dan tujuannya ialah hidayah ke arah kebenaran.
Jadi jalan tauhid pun satu, tetapi perbedaan kesiapan umat
manusia mengakibatkan perbedaan agama dan aliran. Sebab
perbaikan setiap umat adalah dengan menghilangkan keburukan
yang khusus ada padanya, dan hidayah mereka bersumber dari
berbagai sentra dan martabat yang berbeda-beda menurut tabiat
dan kejiwaan mereka. [10]
CATATAN
5. Ibid., h.175.
6. Ibid., h.177.
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ASAS
PENGERTIAN
JENIS-JENIS NASKH
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
KEDUDUKAN NASKH
CATATAN
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
Perjanjian itu pula yang terjadi antara Tuhan dan Adam, namun
kemudian Adam melupakannya dan tergoda setan, yang membuatnya
diusir dari surga.[8] Karena itu manusia diharapkan memenuhi
perjanjiannya dengan Tuhan, agar Tuhan pun memenuhi
perjanjian-Nya dengan manusia.[9] Maka kaum beriman sejati
ialah mereka yang memenuhi janjinya, dengan Allah dan tidak
membatalkan kesepakatan antara dia dan Allah itu.[l0]
Sebaliknya orang itu kafir, jika menyalahi perjanjiannya
dengan Allah setelah perjanjian itu menjadi kesepakatan.[11]
Pesan dasar itu, sebagai pesan Tuhan kepada semua Nabi dan
Rasul --dan melalui mereka kepada seluruh ummat manusia
membentuk makna "generik" agama, yaitu makna dasar dan
universal sebelum suatu agama terlembagakan menjadi
bentuk-bentuk formal dan parokial. Karena itu, sepanjang
penjelasan al-Qur'an, agama yang benar ialah agama yang
memiliki makna generik itu, yang titik tolaknya ialah sikap
pasrah dan berdamai dengan Allah (dalam bahasa Arab disebut
Islam).[21] Maka, misalnya, al-Qur'an menolak klaim kaum
Yahudi atau Nasrani bahwa Nabi Ibrahim adalah seorang Yahudi
atau Nasrani, sebab dalam pandangan Kitab Suci al-Qur'an
keyahudian dan kenasranian adalah bentuk-bentuk pelembagaan
formal dan bahkan parokial dari suatu agama generik, yang
sesungguhnya tidak memerlukannya. Yang pertama (Yahudi)
merupakan pelembagaan berdasarkan kebangsaan (atau malah
kesukuan, yaitu suku keturunan Yehuda, anak pertama Israil
atau Ya'qub), sedangkan yang kedua (Nasrani) konon berdasarkan
nama tempat (Nazaret).
PENUTUP
CATATAN
7. QS. al-A'raf/7:172.
28. Ibid.
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISTIHSAN
Dari uraian ini dapat ditangkap, ada empat elemen dari analogi
qias itu, yakni ketentuan pokok (ashl), landasan penyamaan
('illah), kejadian baru (far), ketentuan yang dihasilkan dari
pengaitan (ilhaq) tersebut di atas dan inilah yang disebut
hukum qias. Sebagian ahl al-ijtihad menganggap qias ini
merupakan upaya final dalam penggalian dan penemuan
hukum-hukum dari sumber syari'ah atau sumber yang dipersamakan
(ijma'), tapi sebagian yang lain beranggapan, masih ada upaya
penalaran yang lain seperti Istihsan dan istislah dan
seterusnya.
ISTISHLAH
AL-MASHLAHAH AL-'AMMAH
DAFTAR KEPUSTAKAAN
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
PENGERTIAN ISTIHSAN
(4) Dulukan yang lebih penting dari pada yang penting. Anda
wajib melakukan haji dan pada saat yang sama Anda harus
membayar hutang. Bayarlah hutang Anda lebih dulu.
PENUTUP
CATATAN
2. Ada empat rukun qiyas: (1) asalnya, yakni kasus yang ada
dalam nas, misalnya minum khamar; (2) hukumnya, yakni haram;
(3) far', kasus baru yang akan ditetapkan hukumnya, misalnya
bir; (4) illat atau washf jami', yakni sebab yang menyamakan
kedua kasus itu, misalnya memabukkan atau minuman keras.
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
TAQLID
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
HIKMAH AGAMA
Sesuatu dari ajaran Kitab Suci yang abadi dan tak terikat
oleh waktu dan ruang (eternal and independent of time and
space) dalam pengertian tentang muhkam itu tidak lain ialah
makna, semangat, atau tujuan universal yang harus ditarik
dari suatu materi ajaran agama yang bersifat spesifik, atau
malah mungkin ad-hoc. Kadang-kadang makna dan tujuan
universal dibalik suatu ketentuan spesifik itu sekaligus
diterangkan langsung dalam rangkaian firman itu sendiri.
Tapi, kadang-kadang makna itu harus ditarik melalui proses
konseptualisasi atau ideasi (ideation). Contoh yang pertama
ialah firman Ilahi yang mengurus perceraian Zaid (seorang
bekas budak yang dimerdekakan dan diangkat anak oleh Nabi)
dari istrinya, Zainab (seorang wanita bangsawan Quraisy
dengan status sosial tinggi dan rupawan), dan perceraian itu
kemudian diteruskan dengan dikawinkannya Nabi dengan Zainab
oleh Tuhan. Maka terlaksanalah perkawinan seseorang -dalam
hal ini Nabi menikahi bekas isteri anak angkatnya. Namun
kejadian yang bagi orang-orang tertentu terdengar sebagai
skandal ini justru -katakanlah- dirancang oleh Tuhan untuk
suatu maksud yang mendukung nilai universal yang sejak
semula menjadi klaim ajaran Islam, yaitu nilai sekitar
konsep kealamian (naturalness) yang suci, yakni konsep
fithrah. Dalam hal ini, anak angkat bukanlah anak alami
seperti anak (biologis) sendiri, sehingga juga tidaklah
alami dan tidak pula wajar jika hubungannya dengan ayah
angkatnya dikenakan ketentuan yang sama dengan anak alami,
termasuk dalam urusan nikah. Maka, kejadian ad-hoc yang
menyangkut Zaid, Zainab dan Nabi itu langsung diterangkan
tujuan universalnya, yaitu "agar tidak ada halangan bagi
kaum beriman untuk mengawini (bekas) isteri-isteri anak-anak
angkat mereka." [10] Tujuan ini jelas langsung terkait
dengan segi universal yang lebih menyeluruh, yaitu konsep
atau ajaran fithrah, yang mengimplikasikan bahwa segala
sesuatu dalam tatanan hidup manusia ini hendaknya diatur
dengan ketentuan yang sealami mungkin sesuai dengan hukum
alam (Qadar) [11] dan hukum sejarah (Sunnat-u 'l-Lah) yang
pasti dan tak berubah-ubah. [12] Pandangan bahwa segala
sesuatu harus sealami mungkin adalah benar-benar sentral
namun menuntut pemahaman mendalam yang disebut sebagai agama
ftthrah yang hanif.
IJTIHAD
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
CATATAN
8. Yaitu QS. Hud 11:1, "Alif Lam Ra, (Inilah) Kitab yang
ayat-ayatnya dibuat jelas maknanya (digunakan kata kerja
pasif "uhkimat" yang sama artinya dengan kata sifat atau
participte pasif "muhkam"), kemudian dirinci, dari sisi Yang
Maha Bijaksana dan Maha Teliti," dan QS. Al-Zumar 39:23,
"Allah telah menurunkan sebaik-baik Firman dalam bentuk
sebuah Kitab yang mutasyabih (serasi, yakni serasi antara
berbagai ajarannya, konsisten) namun matsani
(berulang-ulang, yakni dalam mengungkapkan ajaran-ajaran
itu) ..." A Yusuf Ali mengartikan perkataan mutasyabih di
sini berbeda dengan yang ada pada 3:7 di atas. Sebab,
mutasyabih di sini dikontraskan terhadap matsani, sedangkan
di 3:7 dengan muhkam. Namun, ide pokoknya atau "Form of
Ideas"-nya sama, yaitu bahwa ajaran al-Qur'an membentuk
suatu kesatuan yang utuh, yang manusia sedapat mungkin
berusaha keras menangkapnya, tanpa dogmatik dan tertutup.
(Lihat A.Yusuf Ali, The Holy Qur'an (Jeddah: Dar al-Qiblah
for Islamic Literature, tt), hal. 514, catatan 1493 dan hal.
1243, catatan 4276).
(bersambung 4/4)
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
13. Yaitu judul sebuah kitab yang cukup terkenal, oleh Ali
Ahmad al-Jurjawi yang mencoba melihat hikmah setiap bentuk
ibadat serta ajaran dan praktek keagamaan yang lain.
(Beirut: Dar al-Fikr, tt). Pendekatannya kurang meyakinkan
dan berbau apologetik, tetapi cukup mewakili suatu contoh
pencarian makna umum ibadat, ajaran dan praktek keagamaan
itu secara rinci. Namun isinya masih jauh dari klaim judul
buku itu sendiri, yaitu filsafat at-tasyri' (filsafat
penetapan hukum syari'at atau agama).
20. Al-Makki, op. Cit., hal. 48. Dari beberapa contoh yang
dituturkan al-Makki, salah satunya ialah ijtihad Nabi di
waktu menyiapkan Perang Badar. Nabi berijitihad untuk tidak
usah menguasai sumber air yang vital, supaya musuh pun dapat
pula memanfaatkannya, maka datanglah al-Khabbab ibn
al-Mundzir bertanya, "Ini dari wahyu atau dari pendapat
(ijtihad)?" Nabi menjawab, "Pendapat." Yaitu, karena Beliau
melakukan analogi bahwa menghalangi mereka (musuh) dari
memperoleh air yang vital itu sama dengan menghalangi
binatang dari air, sedangkan menyiksa binatang seperti itu
tidaklah diperbolehkan. Padahal Nabi s.a.w. mempunyai naluri
amat kuat untuk bersikap kasih kepada sesama hidup. Kemudian
al-Khabab membalas, "Pendapat yang benar ialah kita harus
menghalangi mereka (musuh) itu dari air yang vital ini,
karena menghalangi mereka dari air termasuk taktik perang
dan menjadi sebab kemenangan. Musuh dalam perang bukanlah
orang yang harus dihormati sehingga tidak diperbolehkan
dihalangi dari air." Inipun, kata al-Makki, termasuk
pendekatan analogis, salah satu metode ijtihad yang amat
penting.
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
1. IJTIHAD
PENGERTIAN IJTIHAD
MEDAN IJTIHAD
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
SYARAT-SYARAT IJTIHAD.
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
2. TAQLID
Taqlid di bidang hukum inilah yang kita maksud dan yang akan
kita bicarakan dalam tulisan ini.
PENGERTIAN TAQLID
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
TINGKATAN TAQLID/MUQALLID
MASALAH TALFIQ
Contoh Talfiq
a. Dalam Ibadat.
b. Masalah Kemasyarakatan
Kesimpulan
DAFTAR KEPUSTAKAAN
1. Al-Syafi'i, al-Risalah
2. Muhammad bin 'Ali al-Bashri, al-Mu'tamad
3. Al-Juwaini, al-Burhan
4. Al-Ghazali, al-Musthafa
5. Fakhruddin al-Razi, al-Mahshul
6. Al-Amidi, Inkamu 'l-Ihkam
7. Al-Baidlawi, Minhaju 'l-Ushul
8. Al-Asnawi, Nihayatu 'l-Sul
9. Al-Subki, Jam'ul Jawami'
10. Ushulus-Sarkhasi
11. Ushulul-Bazdawi
12. Al-Nasafi, al-Manar
13. Al-Baghdadi, Badi'un-Nidham
14. Shadrus-Syari'ah Al-Bukhari, Ranqikhu 'l-Ushul
15. Al-Kamal Ibnul-Hammam, al-Tahrõr
16. Muhammad bin Amir al-Halabi, Taisirut-Tahrir
17. Al-Syaukani, Irsyadu 'l-Fukhul
18. Muhibbu 'l-Lah "Abdus-Syakur," Musallamu 'l-Tsubur
19. al-Syathibi, al-Muwafaqat
20. Ibnul Qayyim, A'lamu 'l-Muwaqq'in
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
"Yang dimaksud Ammar," kata Ibn Hajar, [2] "Aku melihat memang
lebih baik tidak meriwayatkan hadits ini ketimbang
meriwayatkannya Aku setuju denganmu, dan menahan diriku. Toh,
aku sudah menyampaikannya, sehingga aku tidak bersalah."
KESIMPULAN
Jadi pada zaman sahabat pun, sunnah Nabi sudah banyak diubah.
Salah satu sebab utama perubahan adalah campur tangan
penguasa. Karena pertimbangan politik, Bani Umayyah telah
mengubah sunnah Nabi, khususnya yang dijalankan secara setia
oleh Ali dan para pengikutnya. Ibn 'Abbas berdoa: Ya Allah,
laknatlah mereka. Mereka meninggalkan sunnah karena benci
kepada Ali. [49] Contohnya, menjaharkan basmalah, sebagai
upaya menghapus jejak Ali. [50] Contoh yang lain adalah sujud
di atas tanah, yang menjadi tradisi Rasulullah saw dan para
sahabat Nabi seperti Abu Bakar, Ibn Mas'ud, Ibn 'Umar, Jabir
ibn Abdullah dan lain-lain. Dalam perkembangannya, sujud di
atas kain menjadi syi'ar Ahl al-Sunnah; sedangkan sujud di
atas tanah dianggap musyrik dan dihitung sebagai perbuatan
zindiq". [51]
Ja'far ibn Muhammad ibn Ali ibn Husain (ibn Ali) ibn Fathimah
binti Rasulullah saw lahir di Madinah tahun 82 H pada masa
pemerintah Abd al-Malik ibn Marwan. Selama lima belas tahun ia
tinggal bersama kakeknya, Ali Zainal Abidin keturunan Rasul
yang selamat dari pembantaian di Karbela. Setelah Ali wafat,
ia diasuh oleh ayahnya Muhammad al-Baqir dan hidup bersama
selama sembilan belas tahun.
"Shalat"
IMAM MALIK
IMAM SYAFI'I
IMAM HANBALI
FANATISME MADZHAB
SEBAB-SEBAB STAGNASI
KEGAGALAN SKRIPTURALISME
Salah satu murid terkemuka dari Abu Hanifah adalah Abu Yusuf.
Ia memegang jabatan qadhi pada masa-masa kekhalifahan
'Abbasiyyah, antara lain pada masa al-Mahdi, al-Hadi dan
al-Rasyid. Lewat tangan-tangan kekuasaan, madzhab Hanafi
tersebar ke seluruh kekuasaan Islam. Daerah-daerah madzhab
Hanafi antara lain Mesir dan Pakistan. Di Mesir, Ibrahim Hosen
mereguk ilmunya. Di Pakistan, Fazlur Rahman dilahirkan. Tidak
heran kalau Fazlur Rahman sering --bahkan paling sering--
menyebut Abu Yusuf, ketika merumuskan metodologi ijtihadnya.
Ia memuji Abu Yusuf karena memberikan penafsiran yang
situasional kepada hadits yang "berdiri sendiri", menerima
hadits dengan sikap kritis, dan menetapkan "sunnah yang
dikenal baik" sebagai kriteria terhadap "semangat dan sikap
kolektif" dari hadits.
CATATAN
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota
Please direct any suggestion to Media Team
Matan: Air yang boleh untuk menyucikan ada tujuh air: air
langit, air laut, air sungai, air sumur, air sumber, air
salju, dan air embun. [3]
KESIMPULAN
CATATAN
2. Ibid., h. 12.
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
(bersambung 3/3)
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
CATATAN
3.Ibid., h. 17.
5.Ibid., h. 223.
6.Ibid. h. 222.
LANGKAH-LANGKAH REAKTUALISASI
DAFTAR KEPUSTAKAAN
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
Maka turunnya ayat itu tidak lain ialah untuk menegaskan bahwa
kedua nama itu sama saja, dan keduanya menunjuk kepada
Hakikat, Dzat atau Wujud yang satu dan sama. Zamakhsyari,
al-Baidlawi dan al-Nasafi menegaskan bahwa kata ganti nama
"Dia" dalam kalimat "maka bagi Dia adalah nama-nama yang
terbaik" dalam ayat itu mengacu tidak kepada nama "Allah" atau
"al-Rahman", melainkan kepada sesuatu yang dinamai, yaitu Dzat
(Esensi) Wujud Yang Maha Mutlak itu. Sebab suatu nama tidaklah
diberikan kepada nama yang lain, tetapi kepada suatu dzat atau
esensi. Jadi, Dzat Yang Maha Esa itulah yang bernama "Allah"
dan atau "al-Rahman" serta nama-nama terbaik lainnya, bukannya
"Allah" bernama "al -Rahman" atau "al-Rahim".
CATATAN
1. QS. al Ma'un/107:1-7. Perkataan "yahudldlu" yang
diterjemahkan dengan "berjuang" di sini mempunyai asal
arti "menganjurkan dengan kuat". A. Hassan dalam
Al-Furqan, menerjemahkan perkataan itu dengan
"menggemarkan," Departemen Agama menerjemahkan dengan
"menganjurkan" sedangkan Mahmud Yunus dalam tafsir
Qur'an Karim menggunakan perkataan "menyuruh". Dan
Muhammad Asad, dalam The Message of the Qur'an,
menerjemahkannya dalam bahasa Inggeris dengan "feels no
urge" (tidak merasakan adanya dorongan), karena baginya
perkataan "yahudldlu" mempunyai makna "mendorong diri
sendiri" (sebelum mendorong orang lain). Jadi, perkataan
"yahudldlu" menunjuk pada adanya komitmen batin yang
tinggi, yakni usaha mengangkat dan menolong nasib kaum
miskin. Berarti bahwa indikasi ketulusan dan kesejatian
dalam beragama ialah adanya komitmen sosial yang tinggi
dan mendalam kepada orang bersangkutan.
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
BENTUK-BENTUK KEMUSYRIKAN
Dan Kami tunjuki ia dua jalan. Tapi tak mau ia menempuh jalan
mendaki. Tahukah engkau jalan mendaki itu. Memerdekakan budak
sahaya. Atau memberi makanan di masa kelaparan. Pada anak
yatim yang punya tali kekerabatan. Atau orang papa yang
terlunta-lunta.
Pesan-pesan al-Qur'an di atas, yang diwahyukan justru di masa
yang sangat awal dari kenabian, sangat jelas dan sama sekali
tidak memerlukan penafsiran. Ia memperlihatkan betapa, dalam
al-Qur'an masalah kekayaan, keserakahan dan ketidakpedulian
sosial mempunyai perspektif teologis. Ia tidak sekedar masalah
etik dan moral. Ia langsung menyangkut kebertauhidan kita.
REFORMASI SOSIAL
Anjuran Nabi agar kita selalu memulai kegiatan dan kerja kita
dengan ucapan "Bismillahirrahmanirrahim" (bism-i 'l-Lah-i
'l-rahman-i 'l-rahim), memberikan suatu isyarat kepada kita
agar kita menjadikan diri kita sebagai perwujudan dari
nilai-nilai rahmah itu bagi sesama makhluk Tuhan. Dengan
perkataan lain apapun profesi kita, motivasi dan orientasi
kita tidak boleh bergeser dari ide untuk menciptakan --atau
setidak-tidaknya menjadi bagian dari proses menciptakan--
suatu tata kehidupan yang dilandasi nilai-nilai rahmah itu.
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
Apa yang kiranya dapat kita harapkan dari orang ini andaikata
ia diminta memberikan penafsiran (bukan sekadar salinan
kata-kata) ayat-ayat tersebut? Tentu saja ia akan memberikan
interpretasi yang sesuai dengan persepsinya tentang langit,
serta ardh yaitu bumi yang datar yang dikurung oleh bola
langit. Dan mungkin sekali ia akan mengatakan bahwa ayat 30
surah al-Anbiya' itu melukiskan peristiwa ketika Tuhan
menyebutkan langit menjadi bola, setelah ia sekian lama
terhampar di permukaan bumi seperti layaknya sebuah tenda yang
belum dipasang. Dapat kita lihat dalam kasus ini bahwa konsep
kosmologis dalam al-Qur'an, mengenai penciptaan alam semesta,
yang dikemukakan orang itu sangatlah sederhana. Dan itu
tidaklah benar, karena konsepsinya tidak mampu
mengakomodasikan gejala yang dinyatakan ayat 4 surah
al-Dzariyat.
Sudah tentu konsep kosmologi sains abad yang lalu ini tidak
sesuai dengan konsep al-Qur'an, karena tak dapat mengakomodasi
peristiwa yang: dilukiskan ayat 30 surah al-Anbiya' dan ayat
47 surah al-Dzariyat. Lebih dari itu bahkan bertentangan
dengan ajaran agama kita; sebab alam semesta yang tak terbatas
dan tak berhingga besarnya, dianggap tak berawal dan tidak
berakhir. Dan kita akan melihat sepanjang pertumbuhan sains
selanjutnya bahwa ide-ide semacam ini, yang mengandung
konsepsi tentang alam yang langgeng, ada sejak dulu dan akan
ada seterusnya, selalu timbul-tenggelam. (Karena itu, maka
saya selalu menganjurkan agar umat Islam yang ingin mengejar
ketinggalan mereka dalam sains dan teknologi akhir-akhir ini
bersiap-siap mengadakan langkah-langkah pengamanan dengan
meng-Islamkan sains, sehingga sains kembali dapat berkembang
dalam kerangka sistem nilai yang Islami).
Maka Dia menjadikannya tujuh sama' dalam dua hari, dan Dia
mewahyukan kepada tiap sama' peraturannya masing-masing; dan
kami hiasi langit dunia dengan pelita-pelita, dan Kami
memeliharanya; demikianlah ketentuan Yang Maha Perkasa lagi
Maha Mengetahui. (QS. Fushshilat: 12)
Allah-lah yang menciptakan sama' dan ardh dan apa yang ada di
antara keduanya dalam enam hari, dan pada waktu itu pula
bersemayam di arsy-Nya [5] (QS. al-Sajadah:4)
Dan Dialah yang telah menciptakan sama' dan ardh dalam enam
hari, ada pun Arsy-Nya telah tegak pada ma' [6] untuk menguji
siapakah di antara kalian yang lebih baik amalnya (QS. Hud: 7)
Dan tidakkah orang yang kafir itu mengetahui bahwa ruang waktu
dan energi-materi itu dulu sesuatu yang padu (dalam
singularitas), kemudian kami pisahkan keduanya itu (QS.
al-Anbiya': 30)
CATATAN
6. Ma', air atau zat alir; karena dalam fase penciptaan alam
itu air yang terdiri dari atom oksigen dan atom-atom hidrogen
belum dapat berbentuk, maka saya memilih maknanya sebagai zat
alir. Dan karena pada saat itu isi alam semesta yakni radiasi
dan materi pada suhu yang sangat tinggi itu wujudnya lain
daripada yang kita dapat temui di dunia sekarang ini, maka
penggunaan istilah "sop kosmos" sebagai keterangan melukiskan
zat yang sangat rapat tapi dapat mengalir pada suhu yang amat
tinggi, tidaklah terlalu aneh.
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
CATATAN
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Izutsu, Toshihiko. 1964, God and Man in The Koran, Tokyo Keio
Institute of Cultural and Linguistic Studies.
------, 1966, Ethico Religious Concepts in the Qur'an,
Montreal: McGill University Press.
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
Penjelasan lebih jauh tentang qadar itu dapat kita simak dari
beberapa ayat, diantaranya, Sesungguhaya Kami menciptakan
segala sesuatu dengan qadar. [12] Kata bi qadar (dengan
qadar) di sini ditafsirkan, menurut ukuran. Isyarat yang ada
dibalik kalimat ini dapat ditangkap lebih jelas dengan bantuan
ilmu fisika yang membahas tentang materi dan unsur.
Benda-benda yang ada disekeliling kita, yang merupakan
bahan-bahan kebutuhan dalam hidup kita seperti kayu, besi,
seng, perak, emas, hewan, tumbuh-tumbuhan, air dan sebagainya,
semuanya itu termasuk dalam kategori materi. Sebahagian besar
dari materi-materi yang kita kenal terdiri dari unsur-unsur.
Tergabungnya dua unsur atau lebih melalui pola persenyawaan
atau pola percampuran membentuk suatu materi tertentu.
Misalnya unsur oksigen bergabung dengan hidrogen membentuk
senyawa cair, dan disebut air. Unsur-unsur yang tergabung
dalam suatu senyawa selalu mempunyai proporsi tertentu. Air
murni selalu mempunyai proporsi oksigen dan hidrogen yang
sudah tertentu dan tetap, demikian pula dengan proporsi
nitrogen dan hidrogen dalam amoniak. Dalam kasus-kasus seperti
ini, unsur-unsur telah bergabung membentuk suatu senyawa,
mengikuti suatu aturan yang dikenal hakam proporsi yang sudah
tertentu.
Ciri utama agama Islam, ialah ajarannya yang cukup praktis dan
realistis menghadapi kenyataan sosial dengan langkah-langkah
pemecahan yang praktis pula. Maka dengan adanya perjuangan
antara kebenaran dengan kebatilan, yang menandai kehidupan
sosial, maka keharusan memenuhi segala persyaratan-persyaratan
itu adalah suatu hal yang mutlak. Sebab-sebab keberhasilan dan
kemenangan dalam suatu perjuangan dapat dipelajari dari
sejarah dan harus dipersiapkan dengan sebaik-baiknya.
Sebaliknya juga segala penyebab terjadinya suatu kegagalan
atau kehancuran harus disadari dan dihindari.
CATATAN
3) QS. al-Nisa':68.
4) QS. al-Maidah:42
5) QS. al-Maidah:8.
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota
Please direct any suggestion to Media Team
Jika Hari (Kiamat) itu telah tiba, maka tiada seorang pun akan
berbicara kecuali dengan izin-Nya Mereka manusia akan terbagi
menjadi dua; yang sengsara dan yang bahagia.
Ada pun mereka yang sengsara, maka akan tinggal dalam neraka
di sana mereka akan berkeluh kesah semata. Kekal abadi di
dalamnya, selama langit dan bumi masih ada, kecuali jika
Tuhanmu menghendaki hal berbeda. Sebab Tuhanmu pasti
melaksanakan apa saja yang menjadi kehendak-Nya.
Ada pun mereka yang bahagia, maka akan berada dalam surga,
kekal abadi di dalamnya, selama langit dan bumi masih ada
kecuali jika Tuharmu menghendaki hal berbeda, sebagai anugerah
yang tiada batasnya. (QS. Hud/11:105-108)
MASALAH INTERPRETASI
Jalan Allah yang harus ditempuh melalui ketiga fase itu juga
disebut "jalan lurus" (al-shirath al-mustaqim), karena jalan
itu membentang langsung antara diri kita yang paling suci,
yaitu fitrah kita dalam hati nurani (nurani, artinya, bersifat
terang, sebagai sumber kesadaran akan kebenaran), lurus ke
arah (sekali lagi ke arah) Kebenaran Mutlak. Tapi justru
karena kemutlakanNya, maka Sang Kebenaran itu sungguh mutlak
dan tak akan terjangkau. Akibatnya, dalam menempuh jalan lurus
itu kita tidak boleh berhenti, sebab perhentian berarti
menyalahi seluruh prinsip tentang Kebenaran Mutlak. Maka dalam
perjalanan menempuh jalan yang lurus itu justru kita harus
terus menerus bertanya dan bertanya, apa selanjutnya? Apakah
tak ada kemungkinan sama sekali bahwa jalan yang telah kita
tempuh apalagi yang masih akan kita tempuh, akan menyesatkan
kita dari Kebenaran, karena tidak lurus lagi? Siapa Tahu?
Jalan Allah yang harus ditempuh melalui ketiga fase itu juga
disebut "jalan lurus" (al-shirath al-mustaqim), karena jalan
itu membentang langsung antara diri kita yang paling suci,
yaitu fitrah kita dalam hati nurani (nurani, artinya, bersifat
terang, sebagai sumber kesadaran akan kebenaran), lurus ke
arah (sekali lagi ke arah) Kebenaran Mutlak. Tapi justru
karena kemutlakanNya, maka Sang Kebenaran itu sungguh mutlak
dan tak akan terjangkau. Akibatnya, dalam menempuh jalan lurus
itu kita tidak boleh berhenti, sebab perhentian berarti
menyalahi seluruh prinsip tentang Kebenaran Mutlak. Maka dalam
perjalanan menempuh jalan yang lurus itu justru kita harus
terus menerus bertanya dan bertanya, apa selanjutnya? Apakah
tak ada kemungkinan sama sekali bahwa jalan yang telah kita
tempuh apalagi yang masih akan kita tempuh, akan menyesatkan
kita dari Kebenaran, karena tidak lurus lagi? Siapa Tahu?
Ilmu tradisional
Abu Bakar dan Umar adalah dua khalifah pertama yang termasuk
al-Khulafa' al-Rasyidun. Tidak heran bila sebagian besar
sahabat, juga sebagian besar tokoh tabi'un seperti Sa'id ibn
Jubair, al-Nakha'i, al-Hasan bin Abu al-Hasan, Sa'id bin
Musayyab tidak mau menuliskan hadits. Situasi seperti ini
berlangsung sampai paruh terakhir abad kedua Hijrah, ketika
beberapa orang mulai merintis pengumpulan dan penulisan
hadits. Mereka adalah Ibnu Jurayj di Makkah, Malik di Madinah.
Al-Awza'i di Syria, Sa'id bin Abu 'Urwah di Basrah, Mu'ammar
di Yaman, dan Sofyan al-Tsawry di Kufah.
Selama rentang waktu yang cukup panjang itu, kepada apa Umar
merujuk selain al-Qur'an? Ketika mereka ingin mengetahui
cara-cara shalat yang tidak diuraikan al-Qur'an atau
menghadapi masalah-masalah baru yang timbul dalam perkembangan
Islam, apa yang mereka jadikan acuan? Fazlur Rahman menjawab,
mula-mula umat Islam merujuk kepada sunnah, tapi sesudah itu
mereka melihat hadits. Sekarang, dalam rangka membuka pintu
ijtihad, kita harus kembali lagi kepada sunnah. Saya melihat
perkembangan sebaliknya: dari hadits ke sunnah. Untuk membuka
pintu ijtihad, kita harus mulai dari peninjauan ulang kepada
kedua konsep itu.
DARI SUNNAH KE HADITS
Hadits ini adalah hadits No. 4826 dalam hitungan Ibnu Hajar
al-Asqalani (lihat Fath al-Bari 8:576). Yang menarik kita
bukanlah apa yang dibuang Bukhari, tetapi "perang hadits"
antara dua orang sahabat --Marwan ibn Hakam dan 'Aisyah. Yang
pertama menyebutkan, asbab al-nuzul ayat al-Ahqaf itu
berkenaan dengan 'Abd-u 'l-Rahman ibn Abu Bakar. Yang kedua
menegaskan bahwa yang pertama berdusta, karena ayat itu turun
berkenaan dengan orang lain. 'Aisyah malah menegaskan dengan
hadits yang menyatakan bahwa Marwan adalah orang yang dilaknat
Allah dan Rasul-Nya.
PENUTUP.
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
PENGERTIAN SUNNAH
Tetapi justru karena itu maka memahami sunnah Nabi tidak dapat
lepas dari memahami Kitab Suci sendiri. Sebab sesungguhnya
akhlak Nabi yang mulia itu tidak lain adalah semangat Kitab
Suci al-Qur'an itu sendiri, sebagaimana dilukiskan A'isyah,
isteri beliau. Dari Kitab Suci kita mengetahui lebih banyak
perkembangan kepribadian Nabi yang menggambarkan pengalaman
Nabi, baik yang menyenangkan atau tidak, yang keseluruhannya
menampilkan sosok Nabi yang berkeprlbadian mulia. Dari
pengamatan atas gambaran itu kita dapat memperoleh ilham
tentang peneladanan pada beliau, dan keseluruhan sasaran
peneladanan itu tidak lain ialah sunnah nabi. Sebagai contoh,
dua surat yang termasuk paling banyak dibaca dalam sembahyang
dapat kita renungkan maknanya di sini:
Demi pagi yang cerah dan demi malam ketika telah kelam.
Tidaklah Tuhanmu meninggalkan engkau (Muhammad), dan tidak
pula murka. Dan pastilah kemudian hari lebih baik bagimu
daripada yang sekarang ada. Dan juga pastilah Tuhanmu akan
menganugerahimu, maka kamu akan lega. Bukankah Dia mendapatimu
yatim, kemudian Dia melindungimu?! Dan Dia mendapatimu
bingung, kemudian Dia membimbingmu?! Dan Dia mendapatimu
miskin, kemudian Dia memperkayamu?! Maka kepada anak yatim,
janganlah engkau menghardik! Dan kepada peminta-minta,
janganlah kamu membentak! Sedangkan berkenaan dengan nikmat
karunia Tuhanmu, engkau harus nyatakan! (QS. al-Dluha 93:1-11)
[Tulisan Arab]
[Tulisan Arab]
[Tulisan Arab]
CATATAN
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
Jadi, jiwa mempunyai tiga buah sifat, yaitu jiwa yang telah
menjadi tumpukan sifat-sifat yang tercela, jiwa yang telah
melakukan perlawanan pada sifat-sifat tercela, dan jiwa yang
telah mencapai tingkat kesucian, ketenangan dan ketentraman,
yaitu jiwa muthmainnah. Dan jiwa muthmainnah inilah yang telah
dijamin Allah langsung masuk surga.
AKAL
Akal yang dalam bahasa Yunani disebut nous atau logos atau
intelek (intellect) dalam bahasa Inggris adalah daya berpikir
yang terdapat dalam otak, sedangkan "hati" adalah daya jiwa
(nafs nathiqah). Daya jiwa berpikir yang ada pada otak di
kepala disebut akal. Sedangkan yang ada pada hati (jantung) di
dada disebut rasa (dzauq). Karena itu ada dua sumber
pengetahuan, yaitu pengetahuan akal (ma'rifat aqliyah) dan
pengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah). Kalau para filsuf
mengunggulkan pengetahuan akal, para sufi lebih mengunggulkan
pengetahuan hati (rasa).
Adapun yang dimaksud hati di sini adalah hati dalam arti yang
halus, hati-nurani --daya pikir jiwa (daya nafs nathiqah) yang
ada pada hati, di rongga dada. Dan daya berfikir itulah yang
disebut dengan rasa (dzauq), yang memperoleh sumber
pengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah). Dalam kaitan ini Allah
berfirman, "Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan
memahaminya." (QS. 7:1-79).
DAFTAR KEPUSTAKAAN
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
(5) Maqam Faqir, yaitu tenang serta tabah sewaktu melarat dan
mengutamakan orang lain di kala berada.
(7) Maqam Khauf, ialah rasa ngeri dalam menghadapi siksa Allah
atau tidak tercapainya kenikmatan dari Allah.
(8) Maqam Raja', yakni hati yang diliputi rasa gembira karena
mengetahui kemurahan dari Allah yang menjadi tumpuan
harapannya.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
DAFTAR KEPUSTAKAAN
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ASAL-USUL TASAWUF
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
PENGALAMAN SUFI
Sirr adalah daya terpeka dari kalbu dan daya ini keluar
setelah sufi berhasil menyucikan jiwanya sesuci-sucinya.
Dalam bahasa sufi, jiwa tak ubahnya sebagai kaca, yang kalau
senantiasa dibersihkan dan digosok akan mempunyai daya
tangkap yang besar. Demikian juga jiwa, makin lama ia
disucikan dengan ibadat yang banyak, makin suci ia dan makin
besar daya tangkapnya, sehingga akhirnya dapat menangkap
daya cemerlang yang dipancarkan Tuhan. Ketika itu sufi pun
bergemilang dalam cahaya Tuhan dan dapat melihat
rahasia-rahasia Tuhan. Karena itu al-Ghazali mengartikan
ma'rifat, "Melihat rahasia-rahasia Tuhan dan mengetahui
peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada."
(bersambung 3/4)
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
(bersambung 4/4)
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
Lahut dan nasut, yang bagi al-Hallaj merupakan dua hal yang
berbeda, ia satukan menjadi dua aspek. Dalam pengalamannya,
tiap makhluk mempunyai dua aspek. Aspek batin yang merupakan
esensi, disebut al-haqq, dan aspek luar yang merupakan
aksiden disebut al-khalq. Semua makhluk dalam aspek luarnya
berbeda, tetapi dalam aspek batinnya satu, yaitu al-haqq.
Wujud semuanya satu, yaitu wujud al-haqq.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
Dari warga negara non Islam ini timbul satu golongan yang
tidak senang dengan kekuasaan Islam dan oleh karena itu ingin
menjatuhkan Islam. Mereka pun menyerang agama Islam dengan
memajukan argumen-argumen berdasarkan falsafat yang mereka
peroleh dari Yunani. Dari pihak umat Islam timbul satu
golongan yang melihat bahwa serangan itu tidak dapat ditangkis
kecuali dengan memakai argumen-argumen filosofis pula. Untuk
itu mereka pelajari filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani.
Kedudukan akal yang tinggi dalam pemikiran Yunani mereka
jumpai sejalan dengan kedudukan akal yang tinggi dalam
al-Qur'an dan Sunnah Nabi.
Menurut pemikiran filsafat kalau ada yang benar maka mesti ada
"Yang Benar Pertama" (al-Haqq al-Awwal). Yang Benar Pertama
itu dalam penjelasan Al-Kindi adalah Tuhan. Filsafat dengan
demikian membahas soal Tuhan dan agama. Filsafat yang termulia
dalam pendapat Al-Kindi adalah filsafat ketuhanan atau
teologi. Mempelajari teologi adalah wajib dalam Islam. Karena
itu mempelajari filsafat, dan berfalsafat tidaklah haram dan
tidak dilarang, tetapi wajib.
Dalam diri yang esa atau Akal I inilah mulai terdapat arti
banyak. Obyek pemikiran Akal I adalah Tuhan dan dirinya
sendiri. Pemikirannya tentang Tuhan menghasilkan Akal II dan
pemikirannya tentang dirinya menghasilkan Langit Pertama. Akal
II juga mempunyai obyek pemikiran, yaitu Tuhan dan dirinya
sendiri. Pemikirannya tentang Tuhan menghasilkan Akal III dan
pemikirannya tentang dirinya sendiri menghasilkan Alam
Bintang. Begitulah Akal selanjutnya berfikir tentang Tuhan dan
menghasilkan Akal dan berpikir tentang dirinya sendiri dan
menghasilkan planet-planet. Dengan demikian diperolehlah
gambaran berikut:
Ibn Tufail (w. 1185 M) dalam bukunya Hayy Ibn Yaqzan malahan
menghidupkan pendapat Mu'tazilah bahwa akal manusia begitu
kuatnya sehingga ia dapat mengetahui masalah-masalah keagamaan
seperti adanya Tuhan, wajibnya manusia berterimakasih kepada
Tuhan, kebaikan serta kejahatan dan kewajiban manusia berbuat
baik dan menjauhi perbuatan jahat. Dalam hal-hal ini wahyu
datang untuk memperkuat akal. Dan akal orang yang terpencil di
suatu pulau, jauh dari masyarakat manusia, dapat mencapai
kesempurnaan sehingga ia sanggup menerima pancaran ilmu dari
Tuhan, seperti yang terdapat dalam falsafat emanasi Al-Farabi
dan Ibn Sina.
Di sini yang ada di samping Tuhan adalah uap, dan air serta
uap adalah satu. Selanjutnya ayat 30 dari surat al-Anbia'
mengatakan pula,
Ayat ini mengandung arti bahwa langit dan bumi pada mulanya
berasal dari unsur yang satu dan kemudian menjadi dua benda
yang berlainan.
Dalam pada itu Ibn Rusyd, sebagaimana para filsuf Islam lain,
menegaskan bahwa antara agama dan falsafat tidak ada
pertentangan, karena keduanya membicarakan kebenaran, dan
kebenaran tak berlawanan dengan kebenaran. Kalau penelitian
akal bertentangan dengan teks wahyu dalam al-Qur'an maka
dipakai ta'wil; wahyu diberi arti majazi. Arti ta'wil adalah
meningga]kan arti lafzi untuk pergi ke arti majazi. Dengan
kata lain, meninggalkan arti tersurat dan mengambil arti
tersirat. Tetapi arti tersirat tidak boleh disampaikan kepada
kaum awam, karena mereka tak dapat memahaminya.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota
Please direct any suggestion to Media Team
Sebenarnya, nama asli Imam Asy'ari adalah Ali Ibn Ismail [2]
-keluarga Abu Musa al-Asy'ari. [3] Panggilan akrabnya Abu
al-Hasan [4]. Dia dilahirkan di Bashrah pada 260 H./875 M
[5] -saat wafatnya filsuf Arab muslim al-Kindi. [6] Ia wafat
di Baghdad pada tahun 324 H./935 M.
Bagi yang kafir lebih tidak punya alasan lagi. Sebab, Tuhan
lebih memperhatikan kemaslahatannya di dunia. Tuhan tidak
menghendaki kekafirannya. Berarti, jika ia kafir sama
artinya dengan kehendak diri sendiri. Sementara, dia sendiri
sudah tahu akibat kekafirannya, karena ia diberi akal dan
petunjuk. [13] Jadi, kalau yang kafir harus menyalahkan
Tuhan atas kehendak dan perbuatannya sendiri, maka ia
dianggap oleh Memorandum suatu pemikiran yang tidak
rasional.
(bersambung 2/3)
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang YayasanISNET Homepage | MEDIA
Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota
Please direct any suggestion to Media Team
CATATAN
2.Ali Ibn Ismail Ibn Abi Basyar Ishak Ibn Salim Ibn Ismail
Ibn Abdullah Ibn Musa Ibn Bilal Ibn Abi Burdah Ibn Musa
al-Asy'ari (Lihat Abu al-Hasan al-Asy'ari, Al-lbanah 'an
Ushul al-Dinyanah, Ed, Dr. Fauqiyah Husein Mahmud, Mesir,
1977, h. 9 (Selanjutnya disebut, Fauqiyah, al-lbanah). Lihat
juga Abu al-Hasan al-Asy'ari, maqalat al-Islamiyyin wa
Ikhtilaf al-Mushallin, ed., M. Mahyudin Abdul Hamid, Mesir,
1969, h. 3
4.Fauqiyah, Al-Ibanah, h. 10
5.Terdapat beberapa variasi pendapat dalam menetapkan tahun
lahirnya: 270 H./885 M. Ibn Atsir, dalam al-Lubab I. h. 52
270 H./881 M. Al-Makrizi, dalam al-Khutbath III, h. 303
(dikutip dari Fanqiyah, Ibid., h. 13 Penulis lebih cenderung
menetapkan sejarah lahirnya pada ketika memisahkan diri dari
Mu'tazilah adalah pada tahun 300 H. Sedangkan usianya waktu
itu sudah umum diketahui empat puluh tahun. (lihat M. Ali
Abu Rayyan, Tarikh al-Fikri al-Falsafi Fi al-lslam,
Iskandariyah, 1980, h. 310
14.Fauqiyah, Al-Ibanah, h. 31
15.Ibid., h. 34
18.Faiqiyah, Al-Ibanah, h. 35
27.Al-Asy'ari, Al-Ibanah, h. 16
29.Ibid., h. 101
30.Ibid
31.Al-Asy'ari, Al-Luma', h. 71
34.Ibid.
36.Al-Asy'ari, al-Luma', h. 76
37.Ibid., h. 70
38.Ibid., h. 72
39.Al-Asy'ari, Al-Ibanah, h. 51
40.Al-Asy'ari, Al-Luma', h. 57
41.Ibid, h. 41
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
Pertama, bobot dan relevansi suatu amal (dalam hal ini amal
pemikiran) pada dasarnya adalah relatif dan bisa berubah,
justru lantaran konteks yang melahirkannya adalah juga
bersifat relatif dan berubah. Kedua, bobot dan relevansi
suatu amal pemikiran pertama-tama tidak ditentukan penilaian
benar tidaknya dari sudut doktrin, melainkan lebih pada
kenyataan sejauh mana ia mengena pada realitas yang
diresponsnya. Ketiga, karena setiap amal adalah respons
terhadap realitas yang didefinisikannya. Maka bobot dan
relevansinya juga tergantung pada sejauh mana definisi atas
realitas itu memiliki ketepatan. Semakin tepat definisi
realitas yang ditangkap, semakin tinggi pula bobot dan
relevansi pemikiran yang diresponinya.
Saya kira, Hasan Basri selaku pemimpin dan tokoh yang merasa
harus menjaga keutuhan umat berada dalam arus kecenderungan
umum ini, yaitu bahwa identitas seseorang apakah ada "di
dalam" (minna) atau "di luar" (minhum) harus benar-benar
jelas. Itulah sebabnya ketika Washil melontarkan pendapatnya
yang melawan arus tadi, dengan nada menyesal Hasan
berkomentar: Ia telah keluar dari kita. I'tazala'anna!. Kata
i'tazala (hengkang) yang jadi sebutan Mu'tazilah (yang
hengkang dari arus umum) itu pun kemudian ditempelkan kepada
Washil bin Atha dan segenap pengikutnya.
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
TIGA KRITIK
TAWARAN ALTERNATIF
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
Dimensi sosial
Karena imam itu ditunjuk oleh nash, maka tentu imam adalah
orang yang terbaik, bahkan terpelihara dari dosa. Ini
melahirkan kontroversi al-fadhil dan al-mafdhul. Al-Hilli
(dalam Al-Hasan, 1396: 27) menulis:
SKISME INTELEKTUAL
Apa yang dimaksud "air"? Kata mazhab Hanafi, air itu termasuk
air mutlak (H2O), juga air mudhaf (seperti air jeruk, air
teh). Kata mazhab yang lain, air mutlak saja. "Debu" meliputi
pasir dan tanah, kata Syafi'i; tanah saja, kata Hambali;
tanah, pasir, batuan, salju dan logam, kata Maliki; tanah,
pasir, dan batuan, kata Hanafi dan Hambali; sebagian wajah
oleh Ja'fari (al-Jaziri, 1986; al-Mughniyah, 1960).
CATATAN
DAFTAR PUSTAKA
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
Sudah sejak masa Umar banyak orang Arab Quraisy yang kaya,
yakni para pedagang Mekkah, yang pergi ke daerah-daerah
taklukan, terutama Mesopotamia di Irak, dan meneruskan usaha
perdagangan mereka di sana. Ini acapkali menimbulkan rasa
keberatan dari pihak orang-orang Arab yang kurang mampu,
khususnya orang-orang Arab setempat. Utsman pun tidak bisa
mengatasi situasi warisan pendahulunya itu, meskipun
sebenarnya ia berhasil sedikit mengubah keadaan dengan
mengarahkan sebagian investasi dari Lembah Mesopotamia ke
Hijaz, berbentuk proyek-proyek irigasi di berbagai oase.
Kebijaksanaan Utsman itu membantu mengurangi kecenderungan
emigrasi ke luar Hijaz dan memperkuat kekuasaan pusat di
Madinah secara fisik (sumber daya manusia). Kebijaksanaan itu
juga mengurangi ancaman bahwa budaya Arab akan terserap ke
dalam budaya daerah-daerah Bulan Sabit Subur (Fertile
Crescent, daerah subur yang membentuk konfigurasi bulan sabit
dari pantai timur Laut Tengah naik ke utara, ke daerah
pegunungan Anatolia sebelah selatan membentang ke timur dan
kembali ke selatan, ke Lembah Mesopotamia).
Yang lebih parah, dengan akibat yang amat jauh dalam bidang
sosial-keagamaan, ialah permusuhan antara Ali dan Mu'awiyah.
Juga disebabkan oleh kecakapan militernya, Ali agaknya akan
akhirnya memenangkan pertempurannya melawan Mu'awiyah. Tetapi
mungkin sebagai gabungan antara kesalihan yang lebih
mementingkan perdamaian dan sikap meremehkan kepintaran, jika
tidak bisa disebut kelicikan, diplomatik Mu'awiyah dan para
pendukungnya, Ali secara iktikad baik dan "polos" menerima
usul arbitrasi di Shiffin. Akibatnya ialah bahwa ia justru
kehilangan dukungan dari para sponsornya yang gigih dan
militan, yang sejak semula menginginkan penyelesaian militer
terhadap Mu'awiyah. Mereka ini kemudian membentuk kelompok
ketiga, dan menamakan diri mereka kaum al-Syurat, yakni,
"orang-orang yang menjual diri (kepada Allah)," dengan secara
total menyerahkan dan mengorbankan diri untuk agama yang
benar. (Sebutan ini merujuk kepada firman Allah, "Dan di
antara manusia ada yang 'menjual' dirinya demi memperoleh
ridla Allah. Dan Allah itu Maha Penyantun kepada para
hamba-Nya." [12]
Maka dalam usaha memahami lebih baik Kitab Suci itu dan
melaksanakannya dalam kehidupan nyata, kaum Muslimin, terlebih
lagi para penguasa Umawi, semakin banyak merasakan perlunya
bahan rujukan dari kebiasaan mapan (sunnah) masa lalu Islam,
yang sebenarnya belum lama berselang itu. Nampaknya masa lalu
Islam itu yang paling otoritatif, sudah tentu, ialah masa Nabi
sendiri. Tetapi, sepanjang mengenai pelaksanaan pemerintahan
sehari-hari, masa Umar ibn al-Khathab nampak paling banyak
dijadikan rujukan. Maka kaum Umawi di Damaskus itu, dalam
masalah pemerintahan menurut pengertian seluas-luasnya, jika
pemerintahan itu harus dijalankan dengan norma-norma
keislaman, banyak melanjutkan rintisan dan percontohan Umar
ibn al-Khathab, dengan berbagai modifikasi dan penyesuaian.
Karena itu ketika para qadli sebagai pemegang semacam
kekuasaan yudikatif di daerah-daerah (Abd al-Malik adalah
orang pertama melembagakan jabatan qadli itu), banyak
referensi dilakukan kepada preseden yang ada dalam sejarah
Islam. Maka dengan begitu secara berangsur tumbuhlah
yurisprudensi Islam, yang kelak melahirkan disiplin terpisah
dalam ilmu-ilmu keagamaan Islam, yaitu ilmu fiqh. [16]
PENUTUP
CATATAN
1. QS. al-Mu'minun/23:51-52.
2. QS. al-Baqarah/2:213.
3. QS. Hud/11:118-119.
4. QS. Yunus/10:19..tb5.tb5
11. Perdebatan itu terekam dalam karya seorang murid Imam Abu
Hanifah, Abu Ya'quh Yusuf, Kitab al-Kharaj.
19. QS. Ali 'Imran/3:95. Bahwa agama yang dibawa Nabi Muhammad
adalah juga agama Ibrahim ditegaskan dalam cukup banyak
ayat-ayat suci, antara lain, "Katakan Muhammad, 'Sesungguhnya
aku diberi petunjuk oleh Tuhanku ke arah jalan yang lurus,
yaitu agama yang teguh (konsisten), agama (Nabi) Ibrahim yang
hanif ." (QS. al-An'am/6:161).
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
(bersambung 2/2)
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
CATATAN
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
Seperti kita baca dari sejarah klasik Islam, proses itu sudah
mulai sejak berakhirnya masa Khulafa-u 'l-Rasjid-in. Kekuasaan
Islam yang semula bersumbu pada ikatan keagamaan (umat)
pelan-pelan terbawa kembali ke dalam ikatan kesukuan
(qabilah). Hal ini terus terjadi sampai kepada tergesernya
kekuasaan itu dari bangsa Arab sampai kemudian berakhir pada
masa Turki Usmani. Keummatan memang masih menjadi dasar
legitimasi tetapi kekuasaan riil mulai bertumpu kepada ikatan
kesukuan bahkan cabang-cabang keluarga. Dari segi agama
barangkali kita bisa menganggap ini sebagai kemerosotan,
tetapi dari segi sejarah tampaknya hal itu menunjukkan
kemustahilan menegakkan republik keagamaan dalam susunan
masyarakat feodal.
Seperti kita baca dari sejarah klasik Islam, proses itu sudah
mulai sejak berakhirnya masa Khulafa-n 'l-Rasjid-in. Kekuasaan
Islam yang semula bersumbu pada ikatan keagamaan (umat)
pelan-pelan terbawa kembali ke dalam ikatan kesukuan
(qabilah). Hal ini terus terjadi sampai kepada tergesernya
kekuasaan itu dari bangsa Arab sampai kemudian berakhir pada
masa Turki Usmani. Keumatan memang masih menjadi dasar
legitimasi tetapi kekuasaan riil mulai bertumpu kepada ikatan
kesukuan bahkan cabang-cabang keluarga. Dari segi agama
barangkali kita bisa menganggap ini sebagai kemerosotan,
tetapi dari segi sejarah tampaknya hal itu menunjukkan
kemustahilan menegakkan republik keagamaan dalam susunan
masyarakat feodal.
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
Eksperimen Madinah
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
Ajaran Islam tentang sikap pasrah kepada Tuhan Yang Maha Kuasa
dan tentang takdir Ilahi adalah ajaran positif. Bukan ajaran
yang menghendaki manusia menjadi fatalistis. Namun dalam
kenyataan kita dapatkan cukup banyak sikap fatalistis di
lingkungan umat Islam dewasa ini. Manusia menganggap tidak ada
gunanya mengembangkan prakarsa dan inisiatif, oleh karena
berpendapat semua toh sudah diatur oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.
Kehidupan menjadi pasif tanpa dinamika yang memungkinkan
kemajuan. Sikap demikian merugikan modernitas Pancasila. Sebab
justru dalam modernitas Pancasila diperlukan prakarsa lebih
banyak dari manusia Indonesia, sekalipun disadari bahwa segala
kesudahan dari prakarsa ada di tangan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Soal prakarsa ini erat hubungannya dengan faktor geografis
dimana bangsa Indonesia hidup berkembang. Ada orang mengatakan
bahwa karena kita lahir dan dibesarkan dalam lingkungan
geografis yang panas, dengan alam yang subur makmur, maka
manusia Indonesia seakan-akan ditakdirkan untuk menjadi malas
dan kurang minat untuk mencapai kemajuan. Sebab itu sudah
ditakdirkan untuk dikuasai dan didominasi oleh bangsa-bangsa
yang hidup di utara yang lahir dan dibesarkan dalam lingkungan
yang keras yang menuntut perjuangan lahir-bathin untuk tetap
hidup. Sudah jelas bahwa pandangan demikian tentang takdir
untuk bangsa Indonesia adalah tidak benar. Adalah sepenuhnya
di tangan bangsa dan manusia Indonesia, apakah ia mau menjadi
bangsa yang penuh prakarsa dan justru memanfaatkan kemurahan
Tuhan yang dilimpahkan kepada kita untuk memperoleh kehidupan
yang maju dan sejahtera, atau menjadi bangsa yang malas tanpa
banyak prakarsa karena berpikir bahwa hidup ini toh mudah
dengan akibat dikuasai dan dikalahkan oleh bangsa-bangsa lain
yang lebih giat dan malahan dapat memanfaatkan kemurahan Tuhan
yang sebenarnyaa dilimpahkan kepada bangsa Indonesia. Ini
adalah tantangan keempat dan sangat mendasar untuk kehidupan
iman kita.
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
Masalah pelik kedua yang dihadapi oleh kaum Muslim masa awal
itu adalah masalah siapa yang disebut mukmin dan siapa yang
disebut kafir. Al-Qur'an dan hadits Nabi memang memberikan
kriteria-kriteria tentang mukmin dan kufur. Namun karena tidak
adanya penjelasan yang pasti tentang itu, menimbulkan berbagai
pandangan yang berbeda pula.
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
Suatu hal yang sudah pasti amat berharga bagi dunia Islam pada
umumnya ialah bahwa Turki telah melakukan eksperimen sejarah,
secara terang-terangan menyatakan sebagai negara sekuler serta
mengambil Barat sebagai model modernisasinya.
PENUTUP
CATATAN
9. Ibid, p. fi2
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
Konsep bahwa Nabi Muhammad saw adalah penutup para Nabi dan
Rasul adalah cukup sentral dalam sistem kepercayaan Islam.
Dan implikasi konsep itu cukup luas dan penting. Hal itu
terbukti antara lain dari adanya beberapa kontroversi yang
memakan korban akhir-akhir ini di kalangan ummat Islam,
seperti pengkafiran kaum Ahmadiyah oleh Rabithat al-Alam
al-Islami dengan dampak pengucilannya di Pakistan. Juga,
yang lebih dramatis, sikap permusuhan yang sengit pemerintah
Republik Islam Iran terhadap kaum Baha'i (jika memang kaum
Baha'i masih dapat dipandang sebagai bagian dari Islam; jika
tidak, maka penyebutannya disini menjadi tidak relevan).
Buku itu ditulis oleh banyak Nabi kuna dengan ruh kenabian
dan wahyu. Kata-kata mereka, tertulis pada lempengan-
lempengan emas, dikutip dan diringkas oleh seorang nabi dan
ahli sejarah, bernama Mormon... [4]
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
Dan Kami susuli atas jejak mereka dengan Isa putera Maryam
sebagai pendukung bagi kitab yang ada sebelumnya, yaitu
Taurat. Dan Kami karuniakan kepadanya Injil, didalamnya ada
hidayah dan cahaya, sebagai mendukung kebenaran kitab yang
ada, yaitu Taurat, dan sebagai petunjuk dan nasihat bagi
mereka yang bertaqwa.
Jadi paham Tawhid atau Ketuhanan Yang Maha Esa adalah inti
ajaran al-Qur'an, sebagaimana juga inti ajaran para Nabi
yang lain. Kita diperintahkan untuk tunduk (Islam) kepada
Tuhan Yang Maha Esa itu. Dan ajaran inti ini telah
disampaikan Nabi kepada ummat manusia tanpa perbedaan.
Dengan kata-kata lain, ajaran adalah universal. Muhammad
Asad menjelaskan segi-segi yang mendukung universalitas
al-Qur'an, yaitu, pertama, seruan al-Qur'an tertuju kepada
seluruh ummat manusia, tanpa mempedulikan keturunan, ras dan
lingkungan budayanya: kedua, fakta bahwa al-Qur'an menyeru
semata-mata kepada amal manusia dan karenanya, tidak
merumuskan dengan yang bisa diterima atas dasar kepercayaan
buta semata; dan akhirnya, fakta bahwa -berbeda dari semua
kitab suci yang diketahui dalam sejarah- al-Qur'an tetap
seluruhnya tak berubah dalam kata-katanya sejak ia
diturunkan dalam belasan abad yang lalu dan akan selamanya
demikian keadaannya, karena ia diantara sedemikian luas,
sesuai dengan janji Illahi. "Dan Kami-(Tuhan)-lah yang pasti
menjaganya" (QS. al-Hijr/15:9). Berdasarkan tiga daftar isi
muka al-Qur'an merupakan tahap akhir wahyu Tuhan, dan Nabi
Muhammad adalah penutup segala Nabi. [15]
(bersambung 3/3)
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
CATATAN
1. Lihat Muhammad Sayyid Qutb, Fi Dhilal al Qur'an, 8 jilid
(1386 H/1967 M), jil. 6, juz 22, hh. 30. Di situ masalah
Nabi Muhammad s.a.w. sebagai penutup para Nabi disinggung
secara sangat minimal hanya dalam dua baris.
7. QS. al-Ahzab/33:40.
8. QS. al-Ahzab/33:6.
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
Maka diajarkan kepada kita bahwa yang kita mohon kepada Allah
ialah jalan hidup mereka terdahulu yang telah mendapat karunia
kebahagiaan dari Dia, bukan jalan mereka yang terkena murka,
dan bukan pula jalan mereka yang sesat. Ini berarti adanya
isyarat pada pengalaman berbagai umat masa lalu. Maka ia juga
mengisyaratkan adanya kewajiban mempelajari dan belajar dari
sejarah, guna menemukan jalan hidup yang benar. [13]
CATATAN
3. Ibid.,hal. 13
4. Ibid., hal. 24
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
[Tulisan Arab]
[Tulisan Arab]
Juga sabda Nabi, "Demi Dia yang diriku ada di Tangan-Nya, kamu
tidak akan masuk surga sebelum kamu beriman, dan kamu tidak
beriman sebelum kamu saling mencintai. Belumkah aku beri
petunjuk kamu tentang sesuatu yang jika kamu kerjakan kamu
akan saling mencintai? Sebarkanlah perdamaian di antara sesama
kamu!"
[Tulisan Arab]
[Tulisan Arab]
Oleh karena itu perkataan iman yang digunakan dalam Kitab Suci
dan sunnah Nabi sering memiliki makna yang sama dengan
perkataan kebajikan (al-birr), taqwa, dan kepatuhan (al-din)
pada Tuhan (al-din) (Lihat Ibn Taimiyah, al-Iman, hal.
162-153).
Siapakah yang lebih baik dalam hal agama daripada orang yang
memasrahkan (aslama) dirinya kepada Allah dan dia adalah orang
yang berbuat kebaikan (muhsin), lagi pula ia mengikuti agama
Ibrahim secara tulus mencari kebenaran (hanif-an) (QS.
al-Nisa: 4:125).
[Tulisan Arab]
Oleh karena Tuhan adalah Maha Esa (ahad; wahid), maka tidak
mungkin Wujud-Nya terdiri dari dua bagian, pertama sebagai
Yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang, dan kedua sebagai yang
azab-Nya amat pedih. Paradoks itu hanyalah suatu wujud nisbi,
sedangkan wujud mutlaknya berada di balik paradoks itu, yang
justru karena kemutlakannya maka manusia tidak akan mampu
menangkapnya. Manusia hanya harus melatih diri untuk melihat
paradoks-paradoks, den mencoba memperoleh cita rasa (menurut
istilah al-Ghazali, dzawq) kebenaran yang utuh di balik
paradoks-paradoks, tanpa mesti mengetahui hakikatnya yang
mutlak dan tak mungkin diraih yang nisbi itu.
Dengan mengutip Risalah Qusyayriyyah den syarahnya, KH. Hasyim
Asy'ari bahwa tauhid mengenal tigajenjang: pertama penilaian
bahwa Allah satu adanya; kedua, pengetahuan (dengan ilmu den
teori) bahwa Allah itu satu adanya; den ketiga, timbulnya cita
rasa penglihatan pada Yang Maha Benar (al-Haqq). Yang pertama,
adalah tauhid kaum awam; yang kedua, tauhid para ulama kaum
eksoteris (ahl al-zhahir); dan yang ketiga, adalah tauhid kaum
sufi yang telah mencapai ma'rifat dan yang memiliki pengalaman
tentang hakikat. (Hasyim Asy'ari, "Al-Durrar," dalam op. cit.,
hal. 10-11).
PENUTUP
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan