Anda di halaman 1dari 8

Mengapa Islam Turun di Arab?

Assalamu ''alaikum, Ustadz Ahmad yang mulia, Mohon dijelaskan tentang rahasia atau hikmah yang terkandung di balik ketentuan Allah menurunkan Islam di negeri Arab. Adakah lantaran negeri itu paling jahiliyah di seluruh dunia, ataukah karena hal-hal lain. Walau pun sebenarnya Islam bukan hanya untuk bangsa Arab, namun karena turun pertama kali di negeri itu, otomatis bangsa Arab jadi naik pamor ke seantero jagad. Minimal bahasa Arab menjadi bahasa bangsa-bangsa di dunia. Maka adakah rahasia di balik ketetapan Allah atas bangsa Arab, pak Ustadz? Mohon maaf bila mengganggu, namun sekedar ingin tahu lebih dalam. Terima kasih atas kesediaan ustadz menjawab pertanyaan saya ini. Semoga Allah SWT membalas dengan balasan yang lebih baik. Amien Wassalamu ''alaikum warahmatullahi wabarakatuh jawaban Assalamu ''alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Para penulis sirah nabawiyah seperti Syeikh Dr. Said Ramadhan Al-Buthi danbeberapa ulama lainnya memang pernah menuliskan apa yang anda tanyakan. Yaitu tentang beberapa rahasia dan hikmah di balik pemilihan Allah SWT atas jazirah arabia sebagai bumi pertama yang mendapatkan risalah Islam. Rupanya turunnya Islam pertama di negeri arab bukan sekedar kebetulan. Juga bukan semata karena di sana ada tokoh paling jahat semacam Abu Jahal cs. Namun ada sekian banyak skenario samawi yang akhir-akhir ini mulai terkuak. Kita di zaman sekarang ini akan menyaksikan betapa rapi rencana besar dan strategi Allah jangka panjang, sehingga pilihan untuk menurunkan risalah terakhir-Nya memang negeri Arabia. Meski tandus, tidak ada pohon dan air, namun negeri ini menyimpan banyak alasan untuk mendapatkan kehormatan itu. Beberapa di antaranya yang bisa kita gali adalah: I. Di Jazirah Arab Ada Rumah Ibadah Pertama Tanah Syam (Palestina) merupakan negeri para nabi dan rasul. Hampir semua nabi yang pernah ada di tanah itu. Sehingga hampir semua agama dilahirkan di tanah ini. Yahudi dan Nasrani adalah dua agama besar dalam sejarah manusia yang dilahirkan di negeri Syam. Namun sesungguhnya rumah ibadah pertama di muka bumi justru tidak di Syam, melainkan di Jazirah Arabia. Yaitu dengan dibangunnya rumah Allah (Baitullah) yang pertama kali di tengah gurun pasir jazirah arabia. Rumah ibadah pertama itu menurut riwayat dibangun jauh sebelum adanya peradaban manusia. Adalah para malaikat yang turun ke muka bumi atas izin Allah untuk membangunnya. Lalu mereka bertawaf di sekeliling ka''bah itu sebagai upaya pertama menjadikan rumah itu sebagai pusat peribadatan umat manusia hingga hari kiamat menjelang. Ketika Adam as diturunkan ke muka bumi, beliau diturunkan di negeri yang sekarang dikenal dengan India. Sedangkan isterinya diturunkan di dekat ka''bah. Lalu atas izin Allah keduanya dipertemukan di Jabal Rahmah, beberapa kilometer dari tempat dibangunnya ka''bah. Maka jadilah wilayah sekitar ka''bah itu sebagai tempat tinggal mereka dan ka''bah sebagai tempat pusat peribadatan umat manusia. Dan di situlah seluruh umat manusia berasal dan di tempat itu pula manusia sejak dini sudah mengenal sebuah rumah ibadah. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT:

Sesungguhnya rumah yang pertama dibangun untuk manusia beribadah adalah rumah yang di Bakkah (Makkah) yang diberkati dan menjadi petunjuk bagi manusia. (QS. Ali Imran: 96) II. Jazirah Arabia Adalah Posisi Strategis Bila kita cermati peta dunia, kita akan mendapati adanya banyak benua yang menjadi titik pusat peradaban manusia. Dan Jazirah Arabia terletak di antara tiga benua besar yang sepanjang sejarah menjadi pusat peradaban manusia. Sejak masa Rasulullah SAW, posisi jazirah arabia adalh posisi yang strategis dan tepat berada di tengah-tengah dari pusat peradaban dunia. Bahkan di masa itu, bangsa Arab mengenal dua jenis mata uang sekaligus, yaitu dinar dan dirham. Dinar adalah jenis mata uang emas yang berlaku di Barat yaitu Romawi dan Yunani. Dan Dirham adalah mata uang perak yang dikenal di negeri timur seperti Persia. Dalam literatur fiqih Islam, baik dinar maupun dirham sama-sama diakui dan dipakai sebagai mata uang yang berlaku. Ini menunjukkan bahwa jazirah arab punya akses yang mudah baik ke barat maupun ke timur. Bahkan ke utara maupun ke selatan, yaitu Syam di utara dan Yaman di Selatan. Dengan demikian, ketika Muhammad SAW diangkat menjadi nabi dan diperintahkan menyampaikannya kepada seluruh umat manusia, sangat terbantu dengan posisi jazirah arabia yang memang sangat strategis dan tepat berada di pertemuan semua peradaban. Kita tidak bisa membayangkan bila Islam diturunkan di wilayah kutub utara yang dingin dan jauh dari mana-mana. Tentu akan sangat lambat sekali dikenal di berbagai peradaban dunia. Juga tidak bisa kita bayangkan bila Islam diturunkan di kepulauan Irian yang jauh dari peradaban manusia. Tentu Islam hingga hari ini masih mengalami kendala dalam penyebaran. Sebaliknya, jazirah arabia itu memiliki akses jalan darat dan laut yang sama-sama bermanfaat. Sehingga para dai Islam bisa menelusuri kedua jalur itu dengan mudah. Sehingga di abad pertama hijriyah sekalipun, Islam sudah masuk ke berbegai pusat peradaban dunia. Bahkan munurut HAMKA, di abad itu Islam sudah sampai ke negeri nusantara ini. Dan bahkan salahseorang shahabat yaitu Yazid bin Mu''awiyah ikut dalam rombongan para dai itu ke negeri ini dengan menyamar. III. Kesucian Bangsa Arab Stigma yang selama ini terbentuk di benak tiap orang adalah bahwa orang arab di masa Rasulullah SAW itu jahiliyah. Keterbelakangan teknologi dan ilmu pengetahuan dianggap sebagai contoh untuk menjelaskan makna jahiliyah. Padahal yang dimaksud dengan jahiliyah sesungguhnya bukan ketertinggalan teknologi, juga bukan kesederhanaan kehidupan suatu bangsa. Jahiliyah dalam pandangan Quran adalah lawan dari Islam. Maka hukum jahiliyah adalah lawan dari hukum Islam. Kosmetik jahiliyah adalah lawan dari kosmetik Islam. Semangat jahiliyah adalah lawan dari semangat Islam. Bangsa arab memang sedikit terbelakang secara teknologi dibandingkan peradaban lainnya di masa yang sama. Mereka hidup di gurun pasir yang masih murni dengan menghirup udara segar. Maka berbeda dengan moralitas maknawiyah bangsa lain yang sudah semakin terkotori oleh budaya kota, maka bangsa arab hidup dengan kemurnian niloai kemanusiaan yang masih asli. Maka sifat jujur, amanah, saling menghormati dan keadilan adalah ciri mendasar dari watak bangsa yang hidup dekat dengan alam. Sesuatu yang telah sulit didapat dari bangsa lain yang hidup di tengah hiruk pikuk kota. Sebagai contoh mudah, bangsa Arab punya akhlaq mulia sebagai penerima tamu. Pelayanan kepada seorang tamu yang meski belum dikenal merupakan bagian dari harga diri seorang arab sejati. Pantang bagi mereka menyia-nyiakan tamu yang datang. Kalau perlu semua persediaan makan yang mereka miliki pun diberikan kepada tamu. Pantang bagi bangsa arab menolak permintaan orang yang kesusahan. Mereka amat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang paling dasar.

Ketika bangsa lain mengalami degradasi moral seperti minum khamar dan menyembah berhala, bangsa arab hanyalah menjadi korban interaksi dengan mereka. 360 berhala yang ada di sekeliling ka''bah tidak lain karena pengaruh interaksi mereka dengan peradaban barat yang amat menggemari patung. Bahkan sebuah berhala yang paling besar yaitu Hubal, tidak lain merupakan sebuah patung yang diimpor oleh bangsa Arab dari peradaban luar. Maka budaya paganisme yang ada di arab tidak lain hanyalah pengaruh buruk yang diterima sebagai imbas dari pergaulan mereka dengan budaya romawi, yunani dan yaman. Termasuk juga minum khamar yang memabukkan, adalah budaya yang mereka import dari luar peradaban mereka. Namun sifat jujur, amanah, terbuka dan menghormati sesama merupakan akhlaq dan watak dasar yang tidak bisa hilang begitu saja. Dan watak dasar seperti ini dibutuhkan untuk seorang dai, apalagi generasi dai pertama. Mereka tidak pernah merasa perlu untuk memutar balik ayat Allah sebagaimana Yahudi dan Nasrani melakukannya. Sebab mereka punya nurani yang sangat bersih dari noda kotor. Yang mereka lakukan adalah taat, tunduk dan patuh kepada apa yang Allah perintahkan. Begitu cahaya iman masuk ke dalam dada yang masih bersih dan suci, maka sinar itu membentuk proyeksi iman yang amal yang luar biasa. Berbeda dengan bani Israil yang dadanya sesat dengan noda jahiliyah, tak satu pun ayat turun kecuali ditolaknya. Dan tak satu pun nabi yang datang kecuali didustainya. Bangsa Arab tidak melakukan hal itu saat iman sudah masuk ke dalam dada. Maka ending sirah nabawiyah adalah ending yang paling indah dibandingkan dengan nabi lainnya. Sebab pemandangannya adalah sebuah lembah di tanah Arafah di mana ratusan ribu bangsa arab berkumpul melakukan ibadah haji dan mendengarkan khutbah seorang nabi terakhir. Sejarah rasulullah berakhir dengan masuk Islamnya semua bangsa arab. Bandingkan dengan sejarah kristen yang berakhir dengan terbunuhnya (diangkat) sang nabi. Atau yahudi yang berakhir dengan pengingkaran atas ajaran nabinya. Hanya bangsa yang hatinya masih bersih saja yang mampu menjadi tiang pancang peradaban manusia dan titik tolak penyebar agama terakhir ke seluruh penjuru dunia. VI. Faktor Bahasa Sudah menjadi ketetapan Allah SWT untuk mengirim nabi dengan bahasa umatnya. Agar tidak terjadi kesalahan dalam komunikasi antara nabi dan umatnya. Namun ketika semua nabi telah terutus untuk semua elemen umat manusia, maka Allah menetapkan adanya nabi terakhir yang diutus untuk seluruh umat manusia. Dan kelebihannya adalah bahwa risalah yang dibawa nabi tersebut akan tetap abadi terus hingga selesainya kehidupan di muka bumi ini. Untuk itu diperlukan sebuah bahasa khusus yang bisa menampung informasi risalah secara abadi. Sebab para pengamat sejarah bahasa sepakat bahwa tiap bahasa itu punya masa eksis yang terbatas. Lewat dari masanya, maka bahasa itu akan tidak lagi dikenal orang atau bahkan hilang dari sejarah sama sekali. Maka harus ada sebuah bahasa yang bersifat abadi dan tetap digunakan oleh sejumlah besar umat manusia sepanjang masa. Bahasa itu ternyata oleh pakar bahasa adalah bahasa arab, sebagai satu-satunya bahasa yang pernah ada dimuka bumi yang sudah berusia ribuan tahun dan hingga hari ini masih digunakan oleh sejumlah besar umat manusia. Dan itulah rahasia mengapa Islam diturunkan di arab dengan seorang nabi yang berbicara dalam bahasa arab. Ternyata bahasa arab itu adalah bahasa tertua di dunia. Sejak zaman nabi Ibrahim as bahasa itu sudah digunakan. Bahkan sebagian ulama berpendapat bahwa bahasa arab adalah bahasa umat manusia yang pertama. Logikanya sederhana, karena ada sebuah hadits yang menyebutkan bahwa bahasa ahli surga adalah bahasa arab. Dan asal-usul manusia juga dari surga, yaitu nabi Adam dan isterinya Hawwa yang keduanya pernah tinggal di surga. Wajar bila keduanya berbicara dengan bahasa ahli surga. Ketika keduanya turun ke bumi, maka bahasa kedua ''alien'' itu adalah bahasa arab, sebagai bahasa tempat asal mereka. Dan ketika mereka berdua beranak pinak, sangat besar

kemungkinannya mereka mengajarkan bahasa surga itu kepada nenek moyang manusia, yaitu bahasa arab. Sebagai bahasa yang tertua di dunia, wajarlah bila bahasa arab memiliki jumlah kosa kata yang paling besar. Para ahli bahasa pernah mengadakan penelitian yang menyebutkan bahwa bahasa arab memiliki sinonim yang paling banyak dalam penyebutan nama-nama benda. Misalnya untuk seekor unta, orang arab punya sekitar 800 kata yang identik dengan unta. Untuk kata yang identik dengan anjing ada sekitar 100 kata. Maka tak ada satu pun bahasa di dunia ini yang bisa menyamai bahasa arab dalam hal kekayaan perbendaharaannya. Dan dengan bahasa yang lengkap dan abadi itu pulalah agama Islam disampaoikan dan Al-Quran diturunkan. V. Arab Adalah Negeri Tanpa Kemajuan Material Sebelumnya Seandainya sebelum turunnya Muhammad SAW bangsa arab sudah maju dari sisi peradaban materialis, maka bisa jadi orang akan menganggap bahwa Islam hanyalah berfungsi pada sisi moral saja. Orang akan beranggapan bahwa peradaban Islam hanya peradaban spritualis yang hanya mengacu kepada sisi ruhaniyah seseorang. Namun ketika Islam diturunkan di jazirah arabia yang tidak punya peradaban materialis lalu tibatiba berhasil membangun peradana materialis itu di seluruh dunia, maka tahulah orang-orang bahwa Islam itu bukanlah makhluq sepotong-sepotong. Mereka yakin bahwa Islam adalah sebuah ajaran yang multi dimensi. Islam mengandung masalah materi dan rohani. Ketika sisi aqidah dan fikrah bangsa Arab sudah tertanam dengan Islam, ajaran Islam kemudian mengajak mereka membangun peradaban materialis yang menakjubkan dalam catatan sejarah manusia. Pusat-pusat peradaban berhasil dibangun bangsa-bangsa yang masuk Islam dan menjadikan peradaban mereka semakin maju. Logikanya, bila di tanah gersang padang pasir itu bisa dibangun peradaban besar dengan berbekal ajaran Islam, maka tentu membangun peradaban yang sudah ada bukan hal sulit. Wallahu a''lam bishshawab, wassalamu ''alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Ahmad Sarwat, Lc

Proses komunikasi secara tertulis sangat bergantung pada bahasa yang digunakan, mencakup unsurunsur bentuk, makna, fungsi, dan nilai, di mana antara satu unsur dan unsur yang lainnya saling berhubungan dalam satu jenis wacana tertentu. Artinya, penggunaan bahasa dengan bentuk, makna, fungsi, dan nilai tertentu menjadi karakteristik yang membedakan satu wacana komunikasi dengan wacana lain. Misalnya, wacana sastra tulis akan berbeda dengan wacana berita surat kabar berdasarkan penggunaan bahasanya, mencakup keempat unsur tersebut. Media massa cetak, khususnya surat kabar, adalah salah satu media pengguna bahasa Indonesia ragam tulis yang berkembang sangat pesat dewasa ini. Wacana berita pada media massa cetak surat kabar adalah satu jenis wacana penggunaan bahasa tulis yang menggunakan tipe bahasa standar. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Oktavianus (2006), sebagai berikut: Sebagian berita yang disampaikan melalui surat kabar, surat, buku-buku teks dapat dikategorikan sebagai wacana tulis. Memahami wacana tulis agak mudah, namun ada hal-hal khusus yang tidak dapat diamati melalui wacana tulis. Hal-hal yang berkaitan dengan penggunaan unsur suprasegmental tidak dapat diamati karena tidak ada petunjuk ke arah itu. Berbeda dari wacana lisan, wacana tulis pada umumnya telah diedit terlebih dahulu sehingga tipe bahasa yang digunakan adalah bahasa standar (Oktavianus, 2006:45). 1. Kaedah Pembakuan Arwan Tuti Artha, seorang pemakalah pada Kongres Bahasa Indonesia VIII bulan Oktober 2003 di Jakarta, dalam makalahnya yang berjudul Kearifan Bahasa Lokal pada Pers Berbahasa Indonesia, mengemukakan bahwa bahasa terutama dalam pers cetak sangat besar pengaruhnya bagi masyarakat. Oleh karena itu, pers cetak harus bisa menjadi referensi penggunaan bahasa Indonesia yang benar. Artinya, pers cetak tidak bisa membebaskan diri dari aturan kebahasaan dengan kesadaran untuk meningkatkan kualitas penggunaan bahasa Indonesia (Arwan, 2003:1). Penggunaan bahasa dalam media massa cetak, khususnya dalam wacana berita, diharapkan dapat menjalankan fungsinya untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat pembaca dengan baik sehingga pembaca dapat menangkap setiap esensi pikiran yang disampaikan berita tersebut dengan benar. Artinya, penggunaan bahasa dalam wacana berita surat kabar mengacu pada bentuk standar atau bentuk baku, mencakup semua aspek kebahasaan berupa struktur internal (fonologi, morfologi, sintaksis dan gramatika), aspek semantik, aspek leksikon, serta didukung dengan penggunaan ejaan dan tanda baca yang tepat. Penggunaan bentuk-bentuk bahasa yang tidak standar dan tanda baca yang tidak tepat dalam wacana berita surat kabar dikhawatirkan dapat mengacaukan pemahaman terhadap pikiran yang dikomunikasikan karena dalam proses hal ini, pihak-pihak yang berkomunikasi tidak sedang bersemuka. Dalam perkembangan ketatabahasaan bahasa Indonesia, pembakuan kaidah memang masih terbatas pada kaidah bahasa ragam tulis, sedangkan kaidah bahasa ragam lisan masih sebatas wacana asal tidak menunjukkan kekhasan logat bahasa daerah tertentu. Pembakuan bahasa ragam lisan belum bisa dilakukan disebabkan latar belakang etnis masyarakat bahasa Indonesia yang sangat beragam dengan logat dan dialek yang juga sangat beragam. Situasi ini menyulitkan pembakuan ragam lisan terkait standardisasi lafal dan penetapan transkripsi fonetis baku. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Halim (dalam Alwi dkk., 2000): Kajian tentang pembakuan ragam lisan bahasa Indonesia hampir-hampir tak tersentuh. Seratus persen perhatian tertuju pada pembakuan bahasa Indonesia ragam tulis. Masalah yang belum banyak dibicarakan adalah mencakup soal suprasegmental yang mencakup tekanan dan lagu atau intonasi. Boleh dikatakan penelitian mengenai ciri-ciri prosodi atau ciri suprasegmental ragam lisan bahasa Indonesia masilt merupakan lapangan yang belum tersentuh. Sementara itu, pembakuan bahasa Indonesia ragam tulis sudah dimulai secara resmi sejak penerbitan buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (TBBBI) edisi pertama untuk menyongsong Kongres Bahasa Indonesia V yang diselenggarakan di Jakarta pada 28 Oktober 1988. Pembakuan tata bahasa ini seiring dengan penerbitan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi pertama yang memuat kosa kata baku. Dalam makalah berjudul Perkembangan Bahasa Indonesia dari Aspek Teori Linguistik, yang dibacakan pada Kongres Bahasa VIII di Jakarta pada 1417 Oktober 2003, ahli bahasa Indonesia berkebangsaan Belanda, Heins Steinhauer, menyimpulkan bahwa dalam menghadapi kenyataan banyaknya varietas bahasa Indonesia yang menjadikannya sebagai kontinum yang tidak jelas batasnya, kita (peserta kongres yang mewakili seluruh elemen masyarakat Indonesia) harus berpegang pada penafsiran bahwa bahasa Indonesia (standar) merupakan bahasa yang didefinisikan tata bahasanya dalam TBBBI dan kosakatanya dalam KBBI (Steinhauer, 2003:2). Pernyataan ini menggiring kita pada konsekuensi harus mengacu kepada TBBBI dan KBBI bila kita ingin menggunakan bahasa Indonesia ragam tulis yang

baku. 2.Tata Bahasa: Kesalahan Penulisan Salah satu kesalahan penulisan yang banyak terjadi yaitu penulisan kata penghubung dan, yakni menulis kata dan di awal kalimat. Penulisan demikian jelas salah atau menyalahi kaidah tata bahasa. Pasalnya, kata penghubung harus digunakan untuk menghubungkan dua hal atau kalimat, bukan untuk mengawali sebuah kalimat. Kesalahan penulisan itu terjadi, utamanya di kalangan wartawan/media, kemungkinan karena salah satu dari dua hal ini: kemalasan atau kebodohan. Sang wartawan malas mengecek ejaan atau penulisan yang baik dan benar sesuai dengan kaidah ahasa; atau memang ia (maaf) bodoh, tidak well educated, sehingga menulis semaunya. Kalau karena malas, tidak bisa dimaafkan. Jika karena bodoh, dapat dimaafkan, karena bisa diatasi dengan belajar atau diajari. Sama halnya dengan wartawan/media yang masih saja menggunakan kata-kata mubazir dan katakata jenuh dalam penulisan berita, seperti penggunaan kata sementara itu, dalam rangka, perlu diketahui, seperti kita ketahui, dapat ditambahkan, selanjutnya, dan sebagainya. Hal itu karena dua hal tadi, malas atau bodoh. Bukan hanya itu, kesalahan penulisan dan juga sering terjadi dalam cara penulisan dan ketika menghubungkan lebih dari dua hal/benda, misalnya: di kamar itu ada kursi, meja dan tempat tidur (tanpa koma). Mestinya, menurut Ejaan Yang Disempuranakan (EYD), harus menggunakan koma sebelum kata dan: di kamar itu ada kursi, meja, dan tempat tidur. Ada juga kesalahan penulisan sehingga di awal kalimat. Contoh: melakukan aksi perlawanan. Sehingga, polisi menggunakan. . Mestinya, melakukan perlawanan sehingga polisi menggunakan; melakukan perlawanan. Akibatnya, polisi menggunakan.. Pedoman penulisan bahasa Indonesia yang baik dan benar membahas juga soal kata-kata penghubung lain yang harus dihindari. Untuk menghubungkan dua klausa tidak sederajat, bahasa Indonesia tidak mengenal bentuk di mana (padanan dalam bahasa Inggris adalah who, whom, which, atau where) atau variasinya (dalam mana, dengan mana, hal mana, dalam pada itu, yang mana dan sebagainya). Wartawan kita juga sering membuat judul dengan awal angka/bilangan. Misalnya, 12 Orang Tewas Tertimbun Longsor. Mestinya, Dua Belas Orang Tewas atau Belasan Orang Tewas Tertimbun Longsor. Lambang bilangan pada awal kalimat harus ditulis degan huruf. Jika perlu, susunan kalimat diubah sehingga bilangan yang tidak dapat dinyatakan dengan satu atau dua kata tidak terdapat lagi pada awal kalimat. Misalnya, Longsor Tewaskan 12 Orang. 3.Media: Guru Bahasa Menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar masih belum membudaya di kalangan media/wartawan. Buktinya masih banyak kesalahan penulisan di media cetak. Padahal, disadari atau tidak, media atau wartawan adalah guru bahasa bagi publik, bahkan lebih berpengaruh ketimbang guru bahsa di sekolah-sekolah atau kampus-kampus. Bahasa di media menjadi rujukan (referensi) sekaligus panutan bagi masyarakat pembaca. Kata, istilah, dan kalimat dan tata cara penulisannya di media akan menjadi perhatian, bahkan menjadi trendsetter dalam hal penggunaan bahasa Indonesia. Penulisan kata, kalimat, ungkapan, atau istilah yang muncul di media akan dianggap benar oleh publik. Contoh paling menonjol dalam hal akronim. Masyarakat tidak menemukan, misalnya, istilah minah dalam kamus bahasa Indonesia. Mereka menemukannya dalam pemberitaan media. Minah adalah singkatan dari minyak tanah demi efisiensi atau penghematan kata (economy of word). Demikan halnya tilang (bukti pelanggaran), curas (pencurian disertai kekerasan), curanmor (pencurin kendaraan bermotor), dan banyak lagi. Salah satu fungsi media (pers) adalah mendidik masyarakat (to educate) masyarakat agar melakukan sesuatu, bertindak benar, mematuhi aturan, bersikap baik, dan sebagainya. Pers adalah guru bagi masyarakat, kata Wilbur Schramm (1973), selain sebagai pengamat (watcher) dan forum dikusi (forum). Karenanya, insan pers harus benar-benar menguasai bahasa Indonesia yang baik dan benar. Pakar media dari Lembaga Pers Dr. Soetomo, Maskun Iskandar, menegaskan, bahasa jurnalistik, yakni bahasa pers, bahasa koran, atau bahasa media massa, hanyalah salah satu variasi bahasa. Demikian pula bahasa jurnalistik, katanya, adalah salah satu variasi bahasa yang tetap berinduk pada bahasa Indonesia. Tetap terikat pada sifat, adat, dan kaidah bahasa baku, baik tata bahasanya, istilah, maupun ejaan bahasa Indonesia, katanya (kapanlagi.com). Setidaknya ada tiga hal yang membuat bahasa pers

membentuk variasi tersendiri, yaitu karena fungsi media massa, karakteristik cara kerja pers, dan keadaan media, katanya. Lewat pers kita mengenal anjuran untuk menggunakan bahasa yang baik dan benar, namun pers sendiri tidak memedulikan bahasa yang baik dan benar, kata Maskun. Pers sering menyimpang dari kaidah bahasa yang sudah ditetapkan oleh Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional. Media massa juga sering mengekor memakai istilah yang salah kaprah. Para pakar dan pemerhati bahasa Indonesia merasa prihatin tentang pemakaian bahasa di media massa, seperti dikemukakan Kepala Pusat Bahasa, Dendy Sugono. Ia menyatakan, pemakaian bahasa Indonesia di media massa memprihatinkan. Salah satu contoh yang sering dikemukakan adalah penggunaan bahasa gado-gado, yaitu pencampuradukan bahasa Indoensia dengan bahasa asing, terutama Inggris. Bahasa di media massa selalu menjadi bahan pergunjingan orang, hal itu mungkin karena bahasa media massa itu terbuka. Setiap saat orang membaca atau mendengarnya. Boleh jadi karena mereka menggaggap bahwa bahasa jurnalistik merupakan cermin masyarakat kita dalam berbahasa, katanya. 4. Kaedah Pembakuan Arwan Tuti Artha, seorang pemakalah pada Kongres Bahasa Indonesia VIII bulan Oktober 2003 di Jakarta, dalam makalahnya yang berjudul Kearifan Bahasa Lokal pada Pers Berbahasa Indonesia, mengemukakan bahwa bahasa terutama dalam pers cetak sangat besar pengaruhnya bagi masyarakat. Oleh karena itu, pers cetak harus bisa menjadi referensi penggunaan bahasa Indonesia yang benar. Artinya, pers cetak tidak bisa membebaskan diri dari aturan kebahasaan dengan kesadaran untuk meningkatkan kualitas penggunaan bahasa Indonesia (Arwan, 2003:1). Penggunaan bahasa dalam media massa cetak, khususnya dalam wacana berita, diharapkan dapat menjalankan fungsinya untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat pembaca dengan baik sehingga pembaca dapat menangkap setiap esensi pikiran yang disampaikan berita tersebut dengan benar. Artinya, penggunaan bahasa dalam wacana berita surat kabar mengacu pada bentuk standar atau bentuk baku, mencakup semua aspek kebahasaan berupa struktur internal (fonologi, morfologi, sintaksis dan gramatika), aspek semantik, aspek leksikon, serta didukung dengan penggunaan ejaan dan tanda baca yang tepat. Penggunaan bentuk-bentuk bahasa yang tidak standar dan tanda baca yang tidak tepat dalam wacana berita surat kabar dikhawatirkan dapat mengacaukan pemahaman terhadap pikiran yang dikomunikasikan karena dalam proses hal ini, pihak-pihak yang berkomunikasi tidak sedang bersemuka. Dalam perkembangan ketatabahasaan bahasa Indonesia, pembakuan kaidah memang masih terbatas pada kaidah bahasa ragam tulis, sedangkan kaidah bahasa ragam lisan masih sebatas wacana asal tidak menunjukkan kekhasan logat bahasa daerah tertentu. Pembakuan bahasa ragam lisan belum bisa dilakukan disebabkan latar belakang etnis masyarakat bahasa Indonesia yang sangat beragam dengan logat dan dialek yang juga sangat beragam. Situasi ini menyulitkan pembakuan ragam lisan terkait standardisasi lafal dan penetapan transkripsi fonetis baku. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Halim (dalam Alwi dkk., 2000): Kajian tentang pembakuan ragam lisan bahasa Indonesia hampir-hampir tak tersentuh. Seratus persen perhatian tertuju pada pembakuan bahasa Indonesia ragam tulis. Masalah yang belum banyak dibicarakan adalah mencakup soal suprasegmental yang mencakup tekanan dan lagu atau intonasi. Boleh dikatakan penelitian mengenai ciri-ciri prosodi atau ciri suprasegmental ragam lisan bahasa Indonesia masilt merupakan lapangan yang belum tersentuh. Sementara itu, pembakuan bahasa Indonesia ragam tulis sudah dimulai secara resmi sejak penerbitan buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (TBBBI) edisi pertama untuk menyongsong Kongres Bahasa Indonesia V yang diselenggarakan di Jakarta pada 28 Oktober 1988. Pembakuan tata bahasa ini seiring dengan penerbitan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi pertama yang memuat kosa kata baku. Dalam makalah berjudul Perkembangan Bahasa Indonesia dari Aspek Teori Linguistik, yang dibacakan pada Kongres Bahasa VIII di Jakarta pada 1417 Oktober 2003, ahli bahasa Indonesia berkebangsaan Belanda, Heins Steinhauer, menyimpulkan bahwa dalam menghadapi kenyataan banyaknya varietas bahasa Indonesia yang menjadikannya sebagai kontinum yang tidak jelas batasnya, kita (peserta kongres yang mewakili seluruh elemen masyarakat Indonesia) harus berpegang pada penafsiran bahwa bahasa Indonesia (standar) merupakan bahasa yang didefinisikan tata bahasanya dalam TBBBI dan kosakatanya dalam KBBI (Steinhauer, 2003:2). Pernyataan ini menggiring kita pada konsekuensi harus mengacu kepada TBBBI dan KBBI bila kita ingin menggunakan bahasa Indonesia ragam tulis yang baku. 5. Kadang Penulisan dalam Media Massa tidak Harus Sepenuhnya Sesuai dengan Kaidah karena

Beberapa Hal Mengambil salah satu kutipan dalam buku Digital Fortres, seringkali masyarakat butuh kebenaran yang tidak seterusnya di bungkus dalam sebuah 'kebakuan'. Maksudnya, bahasa ntidak baku terkadang dibutuhkan media massa untuk menarik minat pembacanya, karena segmentasi juga sudah dipikirkan oleh yang memiliki kebijakan di media. Contohnya, segmen Koran Tempo tentu berbeda dengan segmen Majalah Bobo, yang pembacanya memang anak-anak yang masih memerlukan bimbingan. Media massa punya ragam bahasa Jurnalistik . Akan tetapi, yang perlu kita Ingat sekarang adalah pesan Rosihan Anwar bahwa menarik minat pembaca jangan sampai mengorbankan kebenaran berbahasa. Media massa cetak harus memberikan pembelajaran bahasa kepada pembacanya.

Anda mungkin juga menyukai