Anda di halaman 1dari 41

Ringkasan Home Education--Volume 1 dari Seri Tulisan Charlotte Mason

Bagian I Beberapa Pertimbangan Awal (hlm 1-6) Ketika kesempatan mengenyam pendidikan semakin luas, semakin tinggi pula hasrat perempuan masa kini untuk terjun ke dunia kerja. Tidak semuanya bekerja demi memenuhi kebutuhan finansial. Sebagian hanya ingin merasa puas karena bisa mengerjakan sesuatu yang mereka anggap penting. Namun sesungguhnya pekerjaan yang paling penting di masyarakat ialah membesarkan anak-anak: di sekolah iya, tapi terutama di rumah. Tidak ada pengaruh lain yang lebih menentukan jalan hidup karakter dan karir seseorang ketimbang pengaruh yang ia terima dari rumah. Menjadi orangtua itu luar biasa: tidak ada promosi atau kehormatan yang sebanding dengannya. Orangtua seorang anak mungkin sekali sedang membesarkan sosok yang kelak terbukti menjadi berkat bagi dunia. Maka, kata Charlotte, orangtua tidak boleh seenaknya berkata, Aku bebas melakukan apa saja kepada anakku, karena dia kepunyaanku. Sesungguhnya anak bukanlah aset pribadi orangtua, melainkan titipan dari masyarakat, untuk dibesarkan menjadi manusia yang bermanfaat bagi masyarakat. Dan tanggung jawab mendidik itu memang tidak terbagi rata antara ayah dan ibu, sebab di tangan ibulah terletak kendali terbesar dalam tahun-tahun pertama kehidupan anak. Adalah baik jika para ibu menerima panggilan ini dengan bekal pengetahuan. Untuk mendesain sepatu atau membangun rumah, untuk mengelola kapal atau mesin kereta api, dibutuhkan program magang yang panjang. Apakah menyingkapkan potensi kemanusiaan seorang anak dalam tubuh dan pikirannya dianggap lebih sederhana dari itu sehingga siapa pun boleh memegang kekuasaan dan mengelolanya tanpa persiapan apa pun? Ibu memerlukan cinta yang berpikir (a thinking love) agar dapat menunaikan tugasnya dengan baik. Ia perlu punya bekal teori pendidikan dan minimal memahami dasar-dasar fisiologi dan psikologi. Ada hukum-hukum alamiah yang melandasi segala sesuatu, termasuk proses membesarkan anak-anak. Orangtua harus mengikuti hukum-hukum ini (memberinya makan, mencintainya) supaya anak bisa bertahan hidup . Sepanjang orangtua memberikan kasih sayang, makanan bergizi, beragam permainan dan kegiatan, anak bisa belajar sendiri dengan baik untuk sementara waktu. Dia akan bertumbuh bahagia sepenuhnya. Tapi orangtua, bahkan semua orang dewasa dalam masyarakat, berhutang kepada anak lebih daripada itu. Idealnya, it takes a village (semua harus terlibat) untuk membesarkan seorang anak, walaupun kata village (desa) tidak lagi berarti sama sekarang ini ingat betapa dulu orang-orang dewasa sangat menjaga omongan mereka di sekitar anak-anak? Sayangnya, masyarakat bukan lagi kekuatan positif dalam memberi teladan dan melindungi anak-anak seperti seharusnya. ISebuah Metode Pendidikan hlm. 6-10 1

Cara membesarkan anak sering berayun di antara dua ekstrim dari model Spartan yang bersikap keras kepada anak-anak supaya mereka menjadi tangguh sampai ke model pemujaan anak ketika orangtua bersujud untuk menyenangkan apa pun keinginan anak. Sebagian anak diabaikan dan sebagian yang lain terlalu dimanjakan. Pada masa Charlotte Mason pun sudah terjadi pertentangan di antara kubu yang menjunjung otoritas orangtua (parent-centered) dan kubu yang mensakralkan otonomi anak (children-centered). Membesarkan anak, sama seperti proyek lain, paling baik dikerjakan ketika kita punya ide atau visi tentang hasil akhir yang kita harapkan. Kita mudah tergoda untuk terlalu fokus pada satu aspek dalam tumbuh kembang anak sehingga aspek lain kita lupakan, misalnya demi prestasi akademis kegembiraan masa kecil anak dikorbankan. Jauh lebih sulit untuk tetap menjaga visi tentang anak secara utuh, bersikap seimbang dan tidak terobsesi dengan salah satu aspek. Pendidikan Charlotte Mason sangat menekankan supaya kita melihat anak sebagai pribadi utuh, dengan hasrat untuk mempelajari beragam hal. Tujuan akhir kita adalah seorang anak yang bisa berguna bagi dunianya, terlatih untuk memilih dengan benar, dan yang cintanya untuk mempelajari banyak hal yang berbeda memberinya kegembiraan sepanjang hayatnya. Sekali kita tahu apa yang kita inginkan sebagai hasil akhir, kita tinggal membuat rencana bagaimana kita ingin sampai ke sana. Karena anak-anak adalah makhluk hidup yang punya benak mereka sendiri, sebuah sistem kaku yang gurunya mengikuti resep langkah A, B, dan C untuk memperoleh hasil Anak D, tidak mungkin berhasil. Yang kita perlukan adalah metode, semacam rencana untuk sampai di tujuan yang kita inginkan dan sejumlah prinsip pemandu untuk diingat-ingat sepanjang jalan. Tepat seperti itulah yang ingin dijabarkan oleh Charlotte Mason. IIKedudukan Anak hlm. 10-13 Tidak akurat menggambarkan anak-anak seperti lembaran kosong mereka tidak terlahir melompong, tetapi manusia yang lengkap dengan tanda keilahian padanya, karena kita semua diciptakan dalam citra ilahi. Faktanya, anak-anak bisa punya insight yang tidak dimiliki orang-orang dewasa karena kepolosan kanak-kanak mereka. Ada tiga perintah yang diberikan Yesus dalam Bibel tentang anak-anak, Jangan melecehkan, merendahkan, atau menghalang-halangi salah satu dari anak-anak kecil ini. IIIMelecehkan Anak hlm. 13-17 Kita melecehkan anak-anak ketika kita melukai rasa keadilan yang mereka bawa sejak lahir. Nakal kamu ya! kata kita bercanda, tapi membuat martabat anak jatuh. Bukannya menguatkan kesadarannya tentang keadilan dengan mendorong melakukan yang benar dan menjauhi yang salah, kita menertawakan pelanggaran-pelanggaran kecil mereka karena mereka terlihat menggemaskan, lalu membiarkan mereka berperilaku salah. Dengan cara ini, hati nurani dan kepekaan mereka tentang yang baik dan buruk dilemahkan. Mereka belajar untuk melakukan apa saja yang mereka sukai asal mereka bisa lolos dari konsekuensi, bukannya melakukan sesuatu karena hal itu benar. Orangtua musti mengajari anak-anak mereka bahwa mereka tidak boleh berperilaku buruk karena 2

memang itu tidak benar, tanpa memandang suasana hati si orangtua waktu itu seperti apa. Untuk itu, anak-anak perlu melihat bahwa orangtua mereka sama tunduknya pada kebenaran dan aturan seperti yang dituntutkan kepada mereka. Anak-anak juga terlecehkan ketika orangtua lalai mengajarkan pola hidup yang baik seperti tidak membiasakan makan makanan sehat, membiarkan mereka tidur terlalu malam, dan membiarkan mereka memanjakan diri secara intelektual dalam kegiatankegiatan yang tidak menantang, membuat anak-anak itu malas berpikir. Bersikap pilih kasih juga melecehkan anak-anak dan menimbulkan perpecahan dan persaingan di antara saudara-saudara kandung. IVMerendahkan Anak-anak hlm. 17-19 Seorang ibu merendahkan anak-anaknya ketika ia meninggalkan mereka bersama pengasuh yang kasar dan tidak berpengetahuan. Ia juga merendahkan mereka dengan tidak memberikan yang terbaik dari dirinya yakni waktu-waktu ketika ia paling bugar, jam-jam tersegar dan terbaiknya, untuk mendampingi anak-anak itu. Memberikan yang terbaik kepada anak-anak mencakup bersikap teliti saat memilih mana pengasuh yang punya pengaruh positif dan tahu cara menangani anak. Ibu juga merendahkan anakanaknya jika ia, alih-alih segera menyiangi sifat dan perilaku buruk si anak, justru mengabaikannya dengan harapan anak-anak itu akan menjadi baik dengan sendirinya kelak. Hasilnya, anak-anak dibiarkan mengembangkan kebiasaan buruk sebagai bagian permanen dari kepribadian mereka. VMenghalang-halangi Anak-anak hlm. 19-20 Jangan pernah pikir anak-anak terlalu muda untuk belajar tentang kasih Tuhan, dan jangan pula orangtua memakai nama Tuhan sebagai alat mengancam saat anak-anak berperilaku buruk. Anak-anak sepatutnya melihat teladan orangtua dalam mengasihi dan menghormati Tuhan, dan para orangtua sepatutnya membantu anak-anak mereka membangun relasi dengan Tuhan. VISyarat-syarat Kegiatan Otak yang Sehat hlm. 20-37 Setelah menjelaskan apa yang jangan dikerjakan, Charlotte sekarang akan memberi tahu apa yang sepatutnya kita kerjakan. Salah satu yang terpenting adalah mengoptimalkan daya kerja otak. Ia menjabarkan, otak adalah organ yang hidup dan aktif, perlu olahraga, istirahat, dan pemeliharaan (termasuk nutrisi). Olahraga Adanya tantangan mental setiap hari membantu otot-otot otak anak tetap kuat. Benak yang tidak mendapat tugas-tugas secara teratur akan menjadi malas dan tidak efektif bahkan mungkin akan mengarah pada depresi dan kekacauan fungsi. Istirahat Setelah latihan mental atau tugas jasmaniah yang melelahkan, otak perlu istirahat. Anak yang baru saja makan besar butuh banyak energi untuk mencerna makanan, jadi tidak sepatutnya disuruh beraktivitas fisik yang berat atau pelajaran yang 3

menguras pikiran tubuhnya perlu fokus kepada satu pekerjaan satu waktu supaya bisa menyelesaikannya dengan baik. Pagi hari setelah sarapan ringan sampai jam makan siang adalah waktu terbaik untuk pelajaran akademis. Waktu setelah makan siang bagus untuk kegiatan rekreatif di luar ruangan atau tugas-tugas keterampilan tangan seperti prakarya. Setelah makan malam, anak-anak membutuhkan energi mereka untuk mencerna makanan dan memproses informasi yang mereka serap seharian, sehingga sebaiknya tidak ada pekerjaan rumah atau tugas akademis lagi. Mencacah pekerjaan mental (short lessons), maksimal 20 menit per pelajaran bagi anak usia 8 tahun ke bawah, dan menyajikan pelajaran secara bervariasi membantu pikiran anak tidak kelelahan. Prinsip short lessons ini adalah salah satu pembeda antara metode Charlotte Mason dengan metode klasik yang menyuruh anak mengerjakan tiap pelajaran dalam rentang waktu panjang dengan tujuan membangun ketahanan mental anak. NutrisiSebagaimana tubuh memakai energi untuk hidup, bergerak, dan berkegiatan, begitu pula otak membutuhkan suplai energi untuk menyala, berpikir, dan bekerja. Sebagai bagian dari tubuh dan seperti bagian tubuh yang lain, kinerja otak seorang anak akan sangat diuntungkan apabila ia mengkonsumsi makanan sehat yang bervariasi, sehingga semua nutrisi yang ia perlukan tersedia dalam aliran darah. Waktu-waktu makan haruslah menjadi waktu-waktu yang menyenangkan agar proses mencerna makanan berlangsung optimal. Sistem pencernaan makanan tidak akan bekerja dengan baik dalam kondisi stres. Makanan yang disajikan bagi anak-anak pun haruslah tidak monoton supaya mereka tetap berselera. Anak-anak butuh berlimpah udara segar dalam aliran darah dan banyak sinar matahari supaya bisa mencapai performa puncak. Charlotte menganjurkan para orangtua memfasilitasi anak-anak mereka berjalan-jalan di alam dan berkegiatan luar ruangan lebih dari satu jam setiap hari. Dia berharap anak-anak bisa sesering mungkin menghirup udara murni pedesaan, bukan udara kota yang kotor. Setiap kamar rumah, apalagi kamar anak, harus punya aliran udara yang baik. Kulit juga perlu bernafas, maka anak perlu membersihkan badan setiap hari dan mengenakan pakaian yang tidak menyekap keringat. Organ-organ tubuh darah, perut, otak saling terkait. Kesehatan badaniah memang tidak menjamin kekuatan mental, tapi benak manusia tidak mungkin bekerja secara baik dan optimal jika tubuhnya lemah. VII Hukum-hukum Pendidikan hlm. 38-42 Sembilan puluh persen kegagalan orangtua dalam mendidik anak disebabkan oleh kurangnya pengetahuan tentang ilmu mendidik. Mereka terlalu yakin bahwa cinta dan akal sehat sudah cukup sebagai bekal. Itikad baik dan akal sehat memang penting, tapi belum menjamin apa-apa kalau orangtua buta tentang hukum-hukum pendidikan. Orangtua paling bernalar sekalipun perlu belajar tentang hukum-hukum ini dan 4

mempraktekkannya secara konsisten. Orangtua yang fanatik kepada ajaran agama barangkali akan kelimpungan saat ditanya mengapa anak-anak dari keluarga sekuler bisa sama, atau malah lebih, cemerlang dan berintegritas dibandingkan anak-anaknya. Sesungguhnya, sama seperti hukum alam dan hukum-hukum Tuhan lainnya, hukum-hukum pendidikan berlaku tanpa kecuali baik bagi golongan religius ataupun sekuler. Orang yang jujur akan dipercaya, misalnya, adalah prinsip yang berlaku universal melintasi sekat-sekat agama. Seorang tak beragama pun akan menuai manfaat jika mematuhinya. Oleh karena itu, sungguh disayangkan apabila ada orangtua yang terlalu membanggakan dirinya sebagai manusia rohani tetapi secara sengaja abai mempelajari tentang, misalnya, bagaimana hukum-hukum kerja otak. Mereka mungkin menganggap pengetahuan seperti itu adalah ilmu sekuler yang tak berharga. Padahal, besar sekali kemungkinan orangtua sekuler yang serius mempelajari fisiologi dan psikologi akhirnya bisa mengentaskan anak yang lebih kokoh karakternya dibandingkan anak-anak dari orangtua religius yang mengandalkan restu Tuhan tapi tidak pernah menggarap pekerjaan rumah mereka. Orangtua tidak bisa sekedar berdoa supaya anak-anak tumbuh jadi pribadi yang jujur, baik hati, dan sebagainya, tanpa secara aktif mencoba berbagai cara untuk menumbuhkan karakter-karakter itu dalam diri anak-anaknya. Membesarkan anak perlu lebih dari sekedar berharap dan berdoa!

Bagian IIKegiatan Luar Ruangan bagi Anak-anak


I Masa Pertumbuhan hlm. 42-45 Charlotte menekankan pentingnya seorang anak banyak-banyak menghabiskan waktu di luar ruangan. Jangan tinggal di dalam kalau ada kesempatan menghabiskan waktu di luar ruangan! Sering-sering berpiknik, makan di tengah alam terbuka, sangat menyegarkan pikiran anak. Tugas pertama ibu, kata Charlotte, adalah memastikan anaknya menghabiskan enam tahun pertama kehidupannya sebagian besar di luar ruangan, tanpa tekanan akademis. Biarkan ia sepuas-puasnya menikmati udara segar dan mengamati alam. Ini bukan sekedar karena udara segar itu sehat bagi tubuhnya, tapi anak yang menghabiskan banyak waktu di tengah alam tanpa tekanan akademis cenderung bertumbuh kembang dengan baik, bersahaja, dan bahagia. Ini berarti tidak perlu ada pelajaran akademis di usia muda, cukuplah kebebasan untuk menikmati ciptaan Tuhan. Inilah yang Charlotte sebut masterly inactivity membiarkan anak berproses sendiri dalam mengumpulkan dan menghubung-hubungkan berbagai pengalamannya. Pengamatan yang anak lakukan di usia dini menjadi landasan dari segala sesuatu yang akan dia pelajari di sisa hidupnya. Semakin banyak asosiasi pengalaman dalam benak si anak semasa kecil, semakin ia punya latar belakang dan konteks mental bagi informasi-informasi baru yang ia terima kelak. 5

Lebih bagus lagi daripada sekedar menyuruh mereka bermain di luar adalah menemani mereka. Satu-dua jam sehari belum cukup, melainkan empat, lima, bahkan enam jam sehari apabila cuaca memungkinkan sepanjang tahun. Mustahil! Banyak ibu akan berseru demikian. Charlotte tersenyum dan menjawab, Saya tidak sedang bicara tentang hal yang praktis dan mudah, tapi apa yang saya yakini sebagai pilihan terbaik bagi anakanak. Asal sudah punya niat, seorang ibu selalu bisa mencari cara untuk melakukannya. Dan jika di luar rumah cuma ada trotoar aspal, maka pergi agak jauh ke taman terdekat atau desa di pinggir kota adalah gagasan bagus. Bagaimana menghabiskan jam-jam di luar ruangan ini? Harus ada perencanaan, kalau tidak ibu-ibu akan kewalahan dan anak-anak akan bosan. Situasi muram seperti ini jangan sampai terjadi. Ada banyak hal yang bisa dikerjakan dengan anak-anak. Pertamatama, satu-dua jam olahraga penuh semangat berlari ke sana kemari, berteriak-teriak, jumpalitan baru, kalau diperlukan, satu-dua pelajaran. Sedikit ide dan bimbingan ibu diperlukan supaya hari itu terus segar dan menarik, tapi sebagian besar waktu anak harus dibiarkan bermain berdasarkan inisiatifnya sendiri dengan apa yang tersedia di alam. Tanggalkan penyakit pendidikan modern, yakni ocehan tanpa henti para guru yang membuat si anak malang tidak punya waktu dan ruang untuk kagum, merenung, dan bertumbuh. Biarkan anak mengamati dan melakukan apa yang ia minati di alam terbuka itu. Jam-jam di luar ruangan ini harus semaksimal mungkin digunakan sebagai latihan supaya anak-anak menjadi pengamat yang peka. Sebaiknya tidak membawa buku cerita atau permainan buatan lain, karena alam sudah menyediakan hiburannya sendiri. II Menceritakan Pemandangan hlm. 45-48 Setelah anak-anak bermain bebas sementara waktu di alam terbuka, ibu bisa mengutus mereka dalam ekspedisi penjelajahan Siapa yang bisa melihat paling banyak, bercerita paling banyak, tentang bukit, atau sungai, atau tumbuh-tumbuhan, atau hutan di seberang sana? Ini seperti permainan, tapi sebetulnya dengan cara ini ibu melatih mereka menjadi pengamat yang cermat, sementara ia mendorong mereka bercerita lebih rinci atau lebih akurat lagi tentang apa yang mereka lihat. Manfaat lainnya dari latihan narasi ini, panorama yang mereka lihat itu akan meninggalkan jejak yang lebih dalam di benak mereka, menjadi gambaran mental yang kelak akan bisa mereka ingat ulang dengan rasa gembira saat mereka sudah tua. IIIMelukis Pemandangan hlm. 48-51 Latihan lain yang berguna adalah mengarahkan anak untuk melihat ke pemandangan tertentu, lalu meminta mereka menutup mata dan mencoba menceritakan kembali pemandangan itu dalam kata-kata. Akan sangat menyenangkan anak apabila ibu juga memberi contoh, melukiskan secara lisan berbagai pemandangan yang pernah ia saksikan dahulu, sebegitu rupa sehingga anak seolah bisa melihatnya sendiri. Latihan ini tidak perlu sering-sering dilakukan, namun baik sekali jika secara berkala diulang supaya anak makin terampil mengamati. IVBebungaan dan Pepohonan hlm. 51-56 6

Anak-anak seharusnya dibuat akrab dengan berbagai jenis pohon dan tanaman di sekitarnya tumbuhan apa saja yang tumbuh di suatu tempat, apa bedanya pohon ini dan pohon itu, di mana bisa mencari jenis bunga liar tertentu, dan apa ciri-ciri bunga liar itu secara rinci dengan cara mengumpulkan atau menggambar tanaman-tanaman itu. Bahkan pepohonan pun berbunga, dan mengamati hal ini selalu menyenangkan bagi anak-anak. Mereka juga bisa membuat kalender alam, mencatat berbagai musim buah-buahan dan daur hidup berbagai tanaman. Mereka bisa memakai kalender ini sebagai pedoman untuk menanti musim tertentu tahun berikutnya. V Makhluk-makhluk Hidup hlm. 56-62 Anak-anak perlu mengembangkan kebiasaan mengamati alam sekeliling mereka dengan penuh kesabaran dan perhatian. Dengan memelihara kecebong untuk melihatnya bermetamorfosis menjadi katak, mengamati koloni semut, lebah, atau burung pipit, ia belajar sesuatu tentang kebiasaan makhluk-makhluk itu. Bahkan anak kota pun bisa melakukannya. Rasa jijik pada kumbang, laba-laba, ulat atau cacing biasanya ditiru anak dari orangtua. Anak-anak akan terinspirasi oleh antusiasme orangtua mereka terhadap alam, atau belajar tak peduli kalau orangtua juga tak peduli. Yang pasti, mereka akan belajar lebih banyak tentang alam dengan menjadi pengamat langsung ketimbang belajar dari buku. Ajari anak menyimpan catatan harian tentang pengamatannya. Kalau anak belum pandai menulis, ibu bisa membantu menuliskan: makhluk apa yang dilihat, bentuknya dan warnanya, di mana ia melihatnya, dan apa yang makhluk itu sedang kerjakan; atau halhal-hal menarik lain yang mereka lihat di alam: ada tiga tupai di pohon kelapa, seekor burung blekok terbang melintasi tambak di dekat pantai, seekor ulat hijau merayap di sela-sela daun pohon pace, seekor bekicot makan daun kobis, seekor laba-laba menganyam jaring di atas kolam, dan seterusnya. Mulai umur lima tahun, anak sudah bisa memberi ilustrasi untuk catatan harian itu dengan cat air. Mereka mungkin butuh dibantu untuk mencampurkan warna, tetapi setelah itu dibiarkan berkreasi sendiri. Jenis tugas seperti ini akan mencegah mereka merasa bosan. Sekali kebiasaan mengamati alam tertanam sebagai minat pada kehidupan alam, anak telah memperoleh karunia seumur hidup yang yang akan terus menjadi sumber hiburannya seumur hidup. Latihan menjadi pengamat yang teliti ini sekaligus sangat bagus untuk membantu anak-anak mengembangkan rentang perhatian yang kuat. Selain itu, dengan mengamati alam sekitarnya, perhatian anak teralih dari diri sendiri sehingga mereka bertemperamen lebih baik. VI Hikmah Alam dan Buku-buku Para Naturalis hlm. 62 Anak-anak kecil belum perlu diajari meneliti dengan cara merusak tanaman atau membedah binatang. Teknik itu bisa disimpan untuk penelitian tingkat lanjut setelah mereka lebih dewasa. Tanamkan dulu dalam diri mereka rasa takzim pada nyawa dan kehidupan. Keterampilan yang mereka perlu miliki sekarang adalah dasar-dasar mengklasifikasi. Mereka belajar mengamati secara cermat dan mencatat ciri khas 7

tumbuhan atau binatang: bentuk daun dan tipe tulangnya, jumlah kelopak bunganya, nama tiap bagiannya, hewan ini bertulang punggung atau tidak, makan rumput atau makan daging, dan lain-lain. Anak-anak jangan sekedar diberitahu, apalagi disuruh menghafalkan, klasifikasi ini dari buku. Biarkan mereka membuat asosiasi sendiri dari pengamatan secara langsung. Dengan cara ini, kemampuan pikir anak dipertajam dan ia memupuk benih-benih karakter seorang ilmuwan sejati. Buku-buku panduan menjelajah alam boleh dipakai sekedar untuk memantik ide atau mengarahkan pengamatan. Yang terbaik adalah membacakan buku-buku tentang alam yang ditulis sedemikian rupa sehingga anak terpesona oleh keajaiban alam dan terinspirasi untuk mencari tahu lebih banyak. Orangtua pun perlu memupuk bagi dirinya sendiri hobi membaca buku pengetahuan alam supaya semakin mampu memfasilitasi proses belajar anaknya. VII Anak Belajar Lewat Inderanya hlm. 65-69 Anak-anak memperhatikan segala sesuatu itu adalah cara pertama mereka menyerap pengetahuan. Bayi mengujicoba benda-benda baru yang ia lihat: meraih, memasukkan ke mulut, membanting, meraba, tanpa perlu disuruh-suruh. Dia sudah diprogram dari sononya untuk mengamati dunia dan menaut-nautkan informasi dalam benaknya, sebagai fondasi dari keterampilan berpikirnya di kemudian hari. Proses belajar yang alami ini harus dibiarkan selama enam-tujuh tahun awal kehidupan anak. Terlalu dini memberi anak pendidikan formal punya dua risiko. Pertama, membebani mental anak secara berlebihan. Kita orang dewasa yang inteleknya telah matang cenderung belajar lewat kata-kata. Namun ketika kita mengajar anak-anak semata lewat kata-kata, kita dapati mereka melongo dan lamban. Problemnya bukan mengajarkan terlalu banyak, tapi memberikan jenis pelajaran yang salah, yang tidak sesuai dengan tahap perkembangan mereka. Yang anak minati adalah dunia nyata. Tunjukkan kepada mereka sesuatu yang nyata untuk diamati dan dicoba, maka mereka mungkin akan memahaminya dua puluh kali lebih cepat daripada kita. Risiko kedua, sebaliknya, adalah menyediakan terlalu sedikit. Dibandingkan pelajaran yang disediakan oleh Alam, apa yang bisa diperoleh anak dari ruang kelas ibarat seseorang yang hanya boleh makan sebutir kacang sehari. Sungguh, anak akan sangat dirugikan kalau dia disuruh duduk terus sepanjang pelajaran di usia yang terlalu dini. Alam adalah buku pelajaran yang tak pernah habis dibaca. Yang orangtua butuhkan hanyalah metode yang tepat agar anak tidak kehilangan minat belajar dan kepekaannya. Barangkali bagi kita, seorang anak kelihatan seolah tidak belajar apa-apa dari kegiatannya, bukan belajar, cuma bermain, karena ia tidak punya cukup kata untuk mengungkapkan apa yang ia lihat dan temukan. Namun pengalaman-pengalaman itu terus menumbuhkembangkan kemampuan pikirnya. Kecintaan pada pengetahuan alam akan tumbuh pada usia dini ini, atau mungkin tidak akan tumbuh sama sekali. VIII Mengakrabkan Anak dengan Alam hlm. 69-72 8

Secara alami anak suka mengamati, kini tugas orangtua adalah memastikan ia mendapatkan hal-hal yang berharga untuk diamati. Pengetahuan praktis kehidupan kota seperti lokasi toko ini ada di jalan anu tidak betul-betul memperkaya pikiran anak dan meluaskan jiwanya. Memang ada sejumlah pengetahuan yang perlu dimiliki supaya seseorang bisa bertahan hidup di kota, tapi pikiran seorang anak akan bertumbuh kembang lebih baik jika ia akrab dengan jalannya alam yang selalu berubah, selalu baru, dan selalu mengandung sesuatu yang halus tersirat tapi menarik untuk dia amati. Anak yang akrab dengan alam sedang mengembangkan pola pikir ilmiah. Jika energinya tercurah untuk mengamati alam, pikiran anak jadi selalu bergairah, sehingga ia tak lagi butuh kesenangan atau hiburan yang semu. IX Geografi Luar Ruangan hlm. 72-78 Pelajaran ilmu bumi, yang di kelas begitu teoritis, bisa menyenangkan bagi anak jika ia pelajari langsung di alam. Ibu mengajak anak membayangkan kolam ikan seolah-olah Samudera Hindia, kali yang mengalir seolah-olah Sungai Nil, bukit kecil seolah-olah Pegunungan Himalaya anak akan memahami konsep variasi permukaan bumi di negerinegeri lain jika dia akrab dengan situasi geografis daerahnya sendiri. Ajari pula anak-anak menemukan arah mata angin barat, timur, utara, selatan dan menentukan waktu berdasarkan posisi matahari. Setelah itu, mereka perlu memiliki sebuah kompas dan belajar cara membacanya. Ajak mereka memperhatikan variasi awan dan cuaca. Lalu mereka belajar tentang konsep jarak. Diawali dengan jarak yang pendek menyeberangi ruangan atau pekarangan mereka belajar mengukur berapa jauh jarak satu benda dari benda lain, seberapa jauh perjalanan yang telah mereka tempuh, dengan memakai hitungan langkah kaki. Pelajaran praktis tentang arah, jarak, dan waktu bisa dikombinasikan dan dibuat lebih kompleks secara bertahap, misalnya: Dalam berapa menitkah kita bisa menempuh jarak 100 meter dengan berjalan kaki? Jika gedung itu berjarak 1 kilometer dari sini, berapa menit yang kita butuhkan? Di arah mata angin manakah letak gedung itu persisnya?. Semua ini sebaiknya dilakukan sebagai permainan. Jika anak telah menguasai konsep-konsep dasar ini, mereka dengan mudah belajar tentang konsep batas-batas satu petak lokasi dan membuat peta. X Anak dan Ibu Bumi hlm. 78-80 Anak-anak sangat suka bercengkerama dengan ibu mereka, tapi mereka juga harus diajari bersekutu dengan Ibu Bumi, dengan cara mengamati alam bagi diri mereka sendiri. Ibu mungkin sulit menahan diri, tapi terlalu banyak khotbah menghalangi terjalinnya relasi ini. Boleh saja ibu mengajak anak memperhatikan sesuatu, menyebutkan nama dari hal yang diamati anak, menjelaskan keistimewaannya, tapi singkat saja dan jangan terlalu sering. Anak yang mengamati sikap takzim ibunya terhadap Alam, diajak berefleksi tentang rancangan ilahi dalam setiap aspek jalannya dunia, dalam dirinya telah tertabur benih-benih relasi dengan Sang Pencipta. XI Permainan Luar Ruangan hlm. 80-85

Kalau ada waktu, pelajaran bahasa asing di usia muda, pelajaran bahasa asing cukuplah secara lisan dapat dikerjakan selama sepuluh menit dengan menyebutkan nama tanaman dan benda-benda dalam bahasa asing yang sedang dipelajari si anak. Anak-anak harus diijinkan berlari-lari dan membuat banyak suara ribut, sebab itu bagus bagi jiwa-raga mereka. Menari dan menyanyi bebas sangat bagus untuk anak-anak. Tarian rakyat dan tembang-tembang dolanan (nursery rhymes) perlu diajarkan. Ajari pula mereka berbagai permainan. Olahraga permainan yang rumit seperti tenis sangat bagus untuk anak-anak yang lebih besar, tapi anak-anak usia sembilan tahun ke bawah sebaiknya bermain permainan yang mereka ciptakan sendiri: kejar-kejaran, ikuti komandoku, dan segala macam permainan heboh lain yang mereka buat sendiri. Lompat tali tepat sekali untuk usia ini, juga badminton dan berenang. Rasa takut akan terjadi luka atau celaka jangan sampai membuat kita menghalangi anakanak memanjat batu-batu dan pohon-pohon lebih baik mengajari mereka keterampilan memanjat dan meloncat dan lalu biarkan mereka melakukannya. Cermati pakaian anak, biarkan mereka mengenakan baju yang nyaman untuk bergerak dan bermain. XII Berjalan-jalan di Cuaca Buruk hlm. 85-88 Bahkan berjalan-jalan di musim salju bisa menarik pohon-pohon tanpa daun memperlihatkan struktur mereka dengan lebih jelas, burung-burung keluar dari sarang, dan ada binatang-binatang yang sedang mencari makanan. Oleh karena jarak pandang lebih pendek, ini bisa jadi kesempatan bagi anak-anak untuk melihat lebih fokus dan menajamkan daya perhatian mereka. Dalam cuaca hujan, anak-anak jangan ditutupi dengan baju-baju anti air yang tidak berpori-pori. Mereka baiknya diijinkan berbasah-basah lantas berganti baju kering kalau sudah tiba di rumah. Anak-anak suka hujan-hujanan dan itu tidak akan merugikan kesehatan anak kecuali dia sedang demam, dan asalkan dia langsung berganti baju kering begitu sampai di rumah. XIII Kehidupan Suku Indian hlm. 88-92 Mempelajari keterampilan mencari jejak yang biasa dimiliki suku Indian sangat bagus untuk siapa saja. Charlotte merekomendasikan buku karya bapak pramuka dunia Baden Powell tentang kepanduan (scouting). Menjadi pengamat burung (bird stalking) juga suatu pengalaman yang mendidik. Seseorang harus bisa sangat diam tenang supaya bisa mengendap-endap cukup dekat untuk melihat seekor burung dengan jelas dan mengamati kebiasaan-kebiasaannya. XIV Anak-anak Butuh Udara Pedesaan hlm. 92-96 Terlalu banyak menghirup udara tercemar dan kekurangan sinar matahari akan membuat pikiran anak menjadi lamban. Kebutuhan akan udara segar dan sinar matahari ini paling terpenuhi saat anak berkegiatan di alam terbuka di pedesaan. 10

Charlotte mengingatkan agar orangtua sebaiknya tidak beranggapan bahwa anak gendut adalah anak sehat. Kemungkinan yang dia maksudkan adalah postur gendut karena anak-anak boleh makan apa saja sesukanya dan hidup santai karena selalu dilayani pembantu. Lebih baik seorang anak dengan gerak lincah, pikiran tangkas, dan mata berseri-seri karena tertarik pada alam sekitar, sebagai cerminan kesehatan jiwa-raganya. Di zaman kita sekarang, makin banyak anak yang kegemukan (obesitas). Kalau masih hidup, Charlotte pasti terbelalak cemas melihat begitu banyak anak setiap hari menyantap makanan cepat saji, permen, kue-kue, minum soda dan menghabiskan waktu mereka di depan TV dan main video games.

Bagian III Kebiasaan Jauh Lebih Kuat daripada Sifat Bawaan Lahir
I Pendidikan Berlandaskan Hukum Alam hlm. 96-98 Pendidikan Charlotte Mason dilandaskan pada hukum-hukum alam tentang bagaimana cara terbaik manusia dalam belajar. Secara fisiologis telah dibahas di bagian sebelumnya apa saja hukum yang harus dipatuhi agar otak dan kesehatan anak berkembang prima. Prioritas tertinggi orangtua di enam-tujuh tahun awal kehidupan anak adalah mengoptimalkan baginya kesempatan untuk menjelajah bebas dan mengenal dunia di sekitarnya. Berikutnya, orangtua perlu menguasai keterampilan bagaimana membangun kebiasaan-kebiasaan baik dalam diri anak. Pada anak ada banyak potensi, pada orangtua ada visi masa depan, kini yang diperlukan ialah instrumen untuk mengaktualisasikannya. Bagi Charlotte, pendidikan identik dengan pembentukan kebiasaan-kebiasaan baik, the formation of habits is education and education is the formation of habits. II Anak-anak Belum Mampu Membentuk Diri Sendiri hlm 98-100 Sejak awal mengajar di sekolah, Charlotte sudah memperhatikan bahwa anak-anak yang berprestasi baik pun ternyata tetap tersandung oleh kelemahan-kelemahan karakter tertentu. Di sini ajaran agama bisa memotivasi mereka untuk berperilaku lebih baik, tetapi sayangnya walaupun pada dasarnya semua anak ingin menjadi baik, hanya sedikit yang betul-betul berhasil mengatasi kelemahan-kelemahannya. Anak-anak masih kurang berpengalaman dan belum mahir mengendalikan kehendak. Mengatasi banjir dorongan naluriah (impuls), mental mereka kelelahan dan akhirnya menyerah. Bukankah tugas seorang pendidik untuk membantu anak-anak ini agar mampu menjadi tuan atas diri mereka sendiri? Anak bisa dilatih untuk dengan tangkas mengatasi impuls-impulsnya, bahkan tanpa harus berpikir panjang, yakni jika hal yang benar telah tertanam dalam dirinya sebagai kebiasaan. III Apa itu Kodrat Bawaan Lahir (Nature)? hlm. 100-104 Kodrat bawaan lahir anak adalah gabungan dari banyak aspek: potensi fisik dan genetik dari orangtuanya, hasrat-hasrat alaminya sebagai manusia akan pengetahuan, kebanggaan diri, cinta dan persahabatan, serta kemampuan merasakan berbagai emosi, hati nurani, dan kerinduan akan Yang Ilahi. Kodrat ini ibarat kuda liar. Jika engkau tidak berhasil menjinakkannya, engkau mungkin akan disepak dan dinjak-injaknya. 11

Setiap anak terlahir dengan potensi kelemahan dan bakat tertentu. Haruskah ia dibiarkan berjuang sendiri menjinakkan kodrat lahirnya? Orangtua berkewajiban membantu anak mereka memiliki kendali atas sifat-sifat bawaan lahirnya sendiri, memupuk segala yang baik dan mengatasi segala yang buruk. Bahkan sifat baik pun, katakanlah kedermawanan, bisa menghancurkan hidup seseorang apabila dibiarkan berlebihan tak seimbang. Kita mendzalimi anak jika sekedar beriman bahwa Tuhan akan turut campur tangan dalam kehidupan anak kita, tetapi membiarkannya bertumbuh liar dan bebas. Ya, Tuhan bisa membuat hidupnya berubah, tetapi ongkos yang harus dibayar jiwa anak untuk itu mungkin akan terlalu mahal. Ia harus terbentur-bentur dulu pada hidup yang keras dan berbatu-batu karena orangtua tidak memberikan bimbingan, meratakan jalan di depannya. IV Kebiasaan Bisa Menggantikan Sifat Bawaan Lahir hlm. 105-107 Charlotte suatu kali mendengar seorang pengkhotbah berkata: Kebiasaan sepuluh kali lebih kuat daripada kodrat bawaan lahir. Ia mengalami pencerahan seketika itu juga, aha moment. Kalau kodrat bawaan lahir memberi pengaruh kuat pada diri anak, kebiasaan bisa sepuluh kali lebih kuat. Seorang ibu bisa melatih seorang anak memiliki kebiasaankebiasaan baik untuk mengatasi kecenderungan-kecenderungannya yang buruk. Sebetulnya seorang ibu pasti membangun kebiasaan-kebiasaan tertentu dalam diri anakanaknya, entah secara sadar dan terencana ataupun tidak. Lewat sikapnya sehari-hari apakah ia suka menghakimi tetangga melalui penampilan atau bicara yang baik tentang mereka? dan aturan-aturan apa pun yang ia buat di rumah, ia sudah melatihkan kebiasaan-kebiasaan tertentu dalam diri mereka. Dan kita tahu betapa kebiasaankebiasaan yang dipupuk di rumah itu cenderung menetap seumur hidup dan menjadi bagian dari karakter kita. Kalau saja orangtua mau mencurahkan perhatian untuk memilih tindakan-tindakan positif untuk dibiasakan dalam diri anak-anaknya, mereka bisa mempengaruhi karakter anak-anak itu seumur hidup mereka. V Memasang Rel Kebiasaan hlm. 107-111 Begitu satu gagasan merasuk ke dalam benak, dengan sendirinya ia berkembang biak. Gagasan-gagasan buruk merasuki pikiran, lalu berkembang dan berbuah, sama mudahnya dengan gagasan-gagasan bajik. Sebagai orang dewasa kita barangkali lebih awas terhadap jalannya gerbong-gerbong pikiran kita, memperkirakan arahnya, lantas menghentikannya supaya tidak melaju lebih lanjut jika kita tidak menyukai arahnya itu. Tapi seorang anak belum terampil melakukan ini seketika. Ia bergantung kepada orangtuanya; orangtualah yang berperan memantik pikiran-pikirannya, hasrat-hasrat yang akan ia pupuk, perasaanperasaan yang akan ia ijinkan. Manusia adalah makhluk yang terbentuk oleh kebiasaan, kita berpikir sebagaimana kita terbiasa berpikir, kita berperilaku sebagaimana kita terbiasa berperilaku. Di sinilah pentingnya peran orangtua dalam menaburkan secara terencana benih-benih kebiasaan berpikir dan berperilaku yang baik ke dalam diri anak, yang akan menentukan arah pertumbuhan karakternya. Seorang anak yang telah terbiasa memikirkan perkara-perkara mulia dan luhur, sampai kebiasaan itu terbentuk sebagai karakternya, akan lebih sulit 12

mengubah dirinya menjadi pribadi yang suka berpikir jahat. Charlotte mengumpamakan habit training ini seperti proses memasang rel-rel kereta api. Sudahkah orangtua secara serius memikirkan jalur mana yang musti ditempuh anak agar gerbong-gerbong kehidupannya bisa sampai ke stasiun tujuan? Maka ke sanalah sepatutnya mereka secara konsisten memasang lintasan-lintasan yang nyaman untuk dilewati agar si pelancong kecil bisa melaju dengan kecepatan penuh. Para pengkritik behaviorisme barangkali menganggap saran Charlotte Mason ini seperti Ivan Pavlov yang bereksperimen dengan anjingnya atau pembuat robot yang memprogram si robot sesukanya. Apakah secara terencana melatihkan kebiasaankebiasaan tertentu berarti orangtua merebut kebebasan berkehendak anak? Charlotte tidak menganggapnya begitu. Entah direncanakan atau tidak, anak tetap akan membangun kebiasaan-kebiasan tertentu yang terus memandu sebagian besar kehidupannya, entah kebiasaan itu sesuatu yang anak peroleh secara kebetulan (meniru teman sebayanya dan orang-orang di sekitarnya) ataupun dilatihkan secara sengaja oleh orangtua. Agar tidak terjebak ke dalam perangkap behaviorisme, kita perlu membaca konsep Charlotte secara lengkap dan memahami betapa habit training bukan metode yang berdiri sendiri, melainkan harus dibarengi dengan prinsip-prinsip pendidikannya yang lain. VI Fisiologi Kebiasaan hlm. 111-119 Secara fisiologis, otak dan otot akan menyesuaikan diri dengan tindakan yang terus diulang-ulang. Jaringan-jaringan baru dalam otak dan otot terbentuk sesuai apa yang dituntut dari keduanya. Sekarang sudah banyak penelitian yang menyingkap bagaimana simpul otak (sinapsis) terbentuk dan terus menebal setiap kali seseorang mengulangulang satu kebiasaan baru. Ini menjelaskan mengapa susah sekali menghapuskan kebiasaan lama yang sudah dijalankan bertahun-tahun. Tidak semua kebiasaan bisa dikembangkan dengan mudah di segala usia. Banyak keterampilan mekanis yang sulit dikuasai di usia lanjut jika orang tersebut tidak melatihnya sejak masa kanak-kanak, seperti tampak ketika kita coba mengajari seseorang yang seumur hidupnya bertani untuk memegang pena dan menulis. Ajarilah anak-anak menggunakan semua otot tubuhnya semasa kecil berenang, senam, menari, naik kuda, dan sebagainya maka otak dan otot yang bertumbuh kembang optimal di usia muda akan mereka dapati sangat bermanfaat untuk menekuni berbagai kegiatan dan minat mereka pada masa dewasa. Di sisi lain, jika sejak masa kecilnya, tunas-tunas kebiasaan buruk anak tidak disiangi, maka otak dan otot juga akan beradaptasi untuk melanggengkan kebiasaan buruk itu. Postur tubuh yang keliru atau cara pengucapan yang sulit dimengerti (terlalu cepat, kurang jelas, dan sejenisnya) akan sulit dibenarkan saat ia sudah besar nanti. Begitu pula sikap tidak bisa serius, ceroboh, atau tidak jujur, janganlah dibiarkan menjadi kebiasaan berpikirnya. Mengingat anak-anak bisa sepuluh kali lebih cepat daripada kita dalam mempelajari kebiasaan baru, kita tidak boleh meremehkan situasi ketika anak mulai meniru kebiasaan buruk teman atau orang-orang di sekitarnya. Waktu untuk membetulkan kebiasaan-kebiasaan buruk itu adalah semasa kanak-kanak. Setiap pendidik 13

bertanggung jawab untuk melatihkan kebiasaan-kebiasaan positif, baik perilaku maupun pikiran, dalam diri anak-anaknya, alih-alih sekedar berharap kalau sudah besar mereka kelak akan jadi baik dengan sendirinya. VII Membentuk Kebiasaan: "Tutup Pintu" hlm. 119-124 Kebiasaan buruk tidak bisa disembuhkan oleh hukuman atau hadiah, dan tidak akan hilang sekalipun anak bertambah umur. Harus ada kebiasaan baru yang dikembangkan untuk menggantikannya. Seorang ibu yang baik akan mencurahkan banyak waktu, mungkin beberapa minggu, untuk menyembuhkan anak dari kebiasaan buruk itu sama seriusnya seperti saat ia merawat sang anak supaya sembuh dari campak. Untuk menyembuhkan anak dari satu kebiasaan buruk, ibu harus mendapatkan kemauan bekerja sama dari anak. Charlotte memberi contoh seorang ibu yang ingin menyembuhkan anaknya dari kebiasaan berlambat-lambat (dawdling). Si ibu menjelaskan secara bersahabat dan tidak emosional kesusahan-kesusahan yang pasti timbul dari kebiasaan itu sehingga anak paham dan mau berubah. Setelah anak sepakat untuk bekerja sama, ibu secara konsisten mengingatkannya. Anaknya kembali berlambatlambat, namun ibu menahan diri untuk tidak melontarkan komentar apa pun. Mata yang penuh harap bukan jengkel saat anak terdiam melamun di tengah tugasnya, sedikit sentuhan lembut, sudah cukup untuk mengingatkan si anak. Si anak melamun saat menalikan sepatu jari-jarinya berhenti bergerak tapi nuraninya tetap terjaga; dia tergerak untuk memandang ke atas, mata sang ibu sedang memandanginya, penuh harapan dan menunggu-nunggu. Dia tanggap akan harapan ibu dan melanjutkan gerakan jarinya. Sesaat kemudian ketika akan menalikan sepatu yang sebelah, ada jeda lagi, kali ini lebih singkat; dia memandang ibunya, dan lagi-lagi ia segera melanjutkan. Di harihari berikutnya kita mendengar ibu bertanya, Apa kamu yakin kamu bisa siap dalam lima menit hari ini, tanpa Mama? Oh ya, Mama! Jangan bilang ya kecuali kamu benar-benar yakin. Aku akan mencoba. Dan si anak mencoba, dan berhasil. Setelah beberapa minggu, si anak tidak lagi berlambat-lambat dan kebiasaan buruk itu disembuhkan tanpa ada omelan (nagging) atau hukuman dari sang ibu. Bisa mengembangkan kebiasaan baik sudah merupakan kepuasan tersendiri bagi si anak, tidak perlu ada hadiah khusus (reward) yang ibu berikan kepadanya. Justru yang harus diwaspadai adalah jangan sampai kebiasaan lamanya kambuh lagi, sebab kebiasaan baik yang baru tertanam itu masih rapuh. Barangkali akan muncul rasa iba pada diri ibu, keinginan untuk memberi anaknya sedikit istirahat dari habit training itu, namun: Ini sangat fatal. Sebab, kebiasaan berlambat-lambat sudah terukir lama dalam substansi otak anak. Selama beberapa minggu kebiasaan baru mulai menggantikan jalur lama itu, jalur kebiasaan baru mulai terbentuk. Mengijinkan anak kembali ke kebiasaan lamanya adalah mengorbankan semua hasil yang diperoleh selama ini. Membentuk kebiasaan baru bisa dilakukan beberapa minggu, tetapi memeliharanya adalah suatu pekerjaan terus-menerus, dengan sangat teliti. Begitu ibu mengijinkan anaknya satu-dua kali mengulangi kebiasaan lamanya, kebiasaan baru itu akan gagal terbentuk, dan ibu harus memulai prosesnya dari awal lagi.

14

Charlotte memberi ilustrasi tentang proses dan bahaya jebakan dalam habit training ini, yakni kisah tentang membiasakan seorang anak untuk selalu menutup pintu. Untuk memperoleh pemahaman utuh, kisah ini tidak akan diringkas, namun dikutip seluruhnya. * * * *

Bintang, panggil Mama, suaranya cerah dan ramah, Mama ingin kamu mengingat sesuatu dengan sekuat tenagamu: jangan pernah masuk atau keluar dari suatu ruangan yang di dalamnya ada orang lain tanpa menutup pintu. Tapi kalau Bintang lupa bagaimana, Ma? Mama akan mengingatkanmu. Tapi mungkin Bintang sedang buru-buru. Pastikan kamu selalu menyempatkan untuk melakukannya. Tapi kenapa, Ma? Karena tidak sopan membuat orang dalam ruangan itu merasa tidak nyaman. Tapi kalau Bintang cuma masuk sebentar dan mau langsung keluar lagi? Tetap, tutup dulu pintunya waktu kamu masuk. Kamu bisa membukanya lagi waktu mau keluar. Menurutmu, kamu bisa ingat itu? Kucoba, Ma. Bagus sekali; Mama yakin kamu akan jarang sekali lupa. Selanjutnya dua-tiga kali Bintang ingat, tapi suatu ketika ia lupa. Ia melesat keluar pintu dan sudah separuh jalan menuruni tangga. Terdengar Mama memanggilnya untuk kembali. Mama tidak berteriak: Budi, ayo kembali ke sini, tutup pintu! karena ia tahu panggilan semacam itu membuat anaknya kesal. Mama berjalan ke pintu dan memanggil dengan suara ramah, Bintang! Bintang sama sekali tidak terpikir soal pintu. Dia bertanya-tanya apa yang Mama inginkan dan karena ingin tahu, ia kembali, mendapati Mama sudah duduk dan melanjutkan pekerjaan seperti sebelumnya. Mama mendongak, melirik ke arah pintu, dan berkata, Mama sudah bilang Mama akan bantu mengingatkanmu. Oh ya, aku lupa, kata Bintang, martabatnya tidak jatuh, dan ia menutup pintu saat itu, dan saat berikutnya, dan berikutnya lagi. Tapi sobat kecil kita belum mampu mengingat terus kebiasaan baru ini. Mama musti memakai berbagai cara dan sarana untuk mengingatkannya, tapi Mama teliti dalam dua hal bahwa Bintang tidak akan keluar dari ruangan tanpa menutup pintu, dan bahwa Mama tidak akan membiarkan kebiasaan baru ini menjadi penyebab perseteruan antara ia 15

dan anaknya. Mama bersikap sebagai sekutu yang membantu Bintang untuk mengatasi ingatannya yang masih pendek. Waktu berlalu. Setelah sekitar, katakan, dua puluh kali tidak pernah lupa menutup pintu, kebiasaan itu mulai terbentuk. Bagi Bintang menutup pintu sekarang sudah jadi hal biasa, dan Mama menonton dengan sukacita saat Bintang masuk ke dalam ruangan, menutup pintu, mengambil sesuatu dari meja, lalu keluar, dan lagi-lagi menutup pintu. Tahap Berbahaya Sekarang setelah Bintang selalu menutup pintu, rasa girang dan kemenangan Mama mulai bercampur dengan iba yang tak beralasan. Anakku malang, batinnya, betapa baiknya dia mau menjalani latihan seketat ini untuk soal seremeh itu, hanya karena dia ingin mematuhiku! Mama salah paham. Pikirnya, Bintang masih harus terus berupaya keras demi Mamanya. Ia lupa pada fakta bahwa kebiasaan itu telah menjadi hal yang mudah dan alamiah, bahwa sebetulnya Bintang menutup pintu tanpa lagi harus memikirkannya secara sengaja. Kini datanglah momen kritis itu. Suatu hari Bintang begitu tergesa-gesa sehingga kebiasaan menutup pintu, yang belum terbentuk sempurna, terlupakan sesaat dan tahutahu dia sudah menuruni separuh tangga ketika dia sadar bahwa dia belum menutup pintu. Dia terhenti, hati nuraninya sedikit tertusuk, namun tidak cukup kuat untuk membuatnya kembali ke pintu. Dia hanya sempat terdiam sesaat untuk menunggu apakah Mama akan memanggilnya kembali. Mama juga menyadari kelalaian Bintang ini, tapi dia membatin: Anak malang, dia sudah begitu taat selama ini, biarlah untuk sekali ini dia bebas. Bintang yang ada di luar tidak mendengar panggilan dari Mama, berkata pada dirinya sendiri -- satu kalimat fatal: Oh, tidak apa-apa! lalu melenggang pergi. Kali berikutnya, Bintang kembali membiarkan pintu terbuka, tapi ini bukan karena lupa. Bunda memanggilnya kembali dengan suara lemah. Telinga Bintang peka menangkap ketidakseriusan dalam nada panggilan Mama dan, tanpa kembali lagi, dia berseru, Maaf, Ma, aku sedang terburu-buru nih! dan Mama tidak memanggil lagi, membiarkannya pergi. Lagi-lagi Bintang masuk ke ruangan, membiarkan pintu terbuka lebar. Bintang! amar Mama. Bintang cuma sebentar kok, Ma, langsung keluar, dan setelah sepuluh menit berkutat di dalam Bintang keluar, dan lupa lagi menutup pintu. Kelonggaran yang tidak pada waktunya membuat Mama kehilangan pijakan yang telah dengan susah payah ia bangun selama ini. * * * *

VIII -- Kebiasaan Semasa Bayi hlm. 124-132 Bagian tulisan Charlotte yang ini sedikit banyak mencerminkan situasi zamannya, yang tentu saja berbeda dari masa hidup kita sekarang. Ia menekankan masa bayi sebagai landasan karakter kehidupan seorang anak di masa depan, maka sejak awal ia harus diekspos pada kebiasaan-kebiasaan hidup yang positif seperti kebersihan, kerapian, keteraturan, kesopanan, dan ketaatan pada orangtua.

16

Bayi-bayi harus dibiasakan makan, tidur, dan mandi secara teratur. Hidungnya dilatih untuk peka, mengenali udara segar dengan sering diajak berjalan-jalan di alam yang bersih. Peralatan untuk bayi harus selalu rapi, apa-apa yang rusak segera dibetulkan atau diganti, mainan yang bobrok disingkirkan, supaya ia sejak dini terbiasa menganggap kerapian dan keindahan sebagai hal yang wajar. Tambah besar, sejak sekitar usia 2 tahun, ia semustinya mulai bisa merapikan mainannya sendiri. Membiasakan hidup bersih bukan berarti permainan anak harus selalu steril. Ia boleh saja main lumpur, asal setelah itu badannya betul-betul dibersihkan. Lebih baik lagi kalau sejak kecil ia dibiasakan membersihkan badannya sendiri. Di usia 5-6 tahun, seharusnya anak-anak sudah bisa mandi sendiri, membersihkan sudut-sudut mata dan telinga secara cermat, dan mengawasi kebersihan kukunya. Satu lagi, bayi harus belajar sejak awal bahwa kesopanan adalah normal: berlari ke sana kemari seperti di Taman Eden (alias telanjang) bukan hal yang patut. Walaupun bayi seolah-olah tak paham atau tak peduli, sebetulnya selera artistiknya di masa depan sedang dibentuk, sehingga penataan rumah yang artistik sangat dianjurkan. Pilihlah baginya mainan-mainan dan buku-buku yang bermutu bukan yang asal-asalan, murahan dan vulgar. IX Latihan Fisik hlm. 132-134 Kemampuan otot, mata, telinga, suara semuanya perlu diasah sejak kecil. Latihan fisik seperti menari, Swedish drill, kalistenik dan permainan seperti Simon Says (meniru gerakan-gerakan tubuh) sangat bagus untuk membangun koordinasi, daya perhatian, dan respons yang cepat. Keluwesan tubuh dalam bersikap bisa dipelajari lewat permainan peran: Maria, kamu jadi nyonya yang ingin ke pasar; Adam, kamu jadi penjual sayur, dan seterusnya. Kepekaan telinga dibangun sejak masa kanak-kanak lewat eksposur kepada alunan musik dan lagu. Permainan nada bisa melatih mereka untuk menyanyi dengan nada yang tepat serta menirukan dan membedakan bunyi-bunyi nada. Mereka juga sebaiknya dilatih mengucapkan kata-kata sulit seperti: abrakadabra, memprakarsai, partisipasi, dan sejenisnya, untuk keterampilan pengucapan.

Bagian IV -- Beberapa Kebiasaan Mental dan Moral hlm. 135-137


Charlotte percaya orangtua memiliki kemampuan melebihi siapa pun di luar sana untuk membimbing anak-anaknya, karena ia jauh lebih mengenal mereka. Namun, dalam mendidik anak, ia tidak boleh sekedar mengandalkan intuisi, melainkan juga harus paham ilmu mendidik, termasuk tentang cara menanamkan kebiasaan-kebiasaan baik di dalam diri anak-anak itu. Melatih anak-anak sedini mungkin dalam kebiasaan-kebiasaan baik memberi keuntungan bagi semua pihak di masa depan dan seterusnya. Ibu dapat menghembuskan nafas lega karena anak-anaknya telah memiliki kebiasaan berpikir dan berperilaku yang patut. Tidak perlu lagi ia menghabiskan hari-harinya mengomeli anakanak untuk hal yang itu dan itu lagi. Habit training membuat hari-hari ibu lebih mudah dan menyenangkan.

17

Sekilas dengar, seorang ibu bisa jadi merasa tertekan akan besarnya cakupan tugas habit training. Charlotte berkata, kuncinya adalah jangan memaksakan diri menjalankan semuanya seketika dan sekaligus. Lakukan sedikit demi sedikit, tanamkan satu demi satu kebiasaan, jalani sehari demi sehari, dan akhirnya akan kita dapati ternyata tugas ini tak seberat yang kita bayangkan sebelumnya. Faktanya, mengajarkan kebiasaan-kebiasaan baik itu akhirnya juga jadi kebiasaan tersendiri bagi orangtua! I -- Kebiasaan Memperhatikan hlm. 137-149 Dari semua kebiasaan mental, kebiasaan yang satu ini harus jadi prioritas pertama karena pencapaian intelektual tertinggi bergantung kepada kebiasaan memperhatikan. Benak kita selalu sibuk sejak terbangun, pikiran kita meloncat dari satu lamunan ke lamunan lain, dan bahkan ketika tidur, benak kita terus bekerja, bermimpi. Seorang anak yang sedang mengoceh bisa berpindah-pindah dari satu pikiran ke pikiran lain secara acak, mengikuti apa saja rentetan topik yang muncul di kepalanya. Kemampuan menghubungkan satu pikiran dengan pikiran lain (asosiasi) ini, kata Charlotte, adalah hamba yang baik, tapi majikan yang buruk. Asosiasi bisa membantu kita mengingat berbagai hal, tapi ketika benak tidak bisa mengendalikan pikiran-pikiran mana yang ingin dia jadikan fokus, dia akan hanyut ke berbagai arah yang tidak terkait dengan apa yang sedang dia hadapi. Benak dipermainkan oleh pikiran yang terus meloncat-loncat. Barangkali situasi inilah yang dihadapi oleh anak-anak sekarang yang divonis mengidap ADD/ADHD mereka tidak bisa memusatkan pikiran pada satu hal bahkan sekalipun sebenarnya mereka ingin. Konsentrasi yang mudah pecah seperti ini harus disiangi dari karakter anak-anak kita. Mereka perlu belajar mengendalikan arus pikiran mereka. Tapi bagaimana caranya? Kebiasaan memperhatikan bisa dipupuk sejak masa bayi dengan membiasakan bayi tidak lekas bosan dengan satu mainan. Baru sebentar memainkan sesuatu, ia sudah ingin pindah ke mainan yang lain, itulah saatnya ibu membantu bayi memperpanjang fokusnya selama mungkin pada mainan yang pertama. Ketika anak balita memetik bunga lalu ingin lekas membuangnya, Ibu bisa menceritakan cerita tentang bunga yang baru saja dipetik itu sehingga ada minat (fokus yang lebih panjang) terhadap bunga itu. Begitulah seorang ibu mengupayakan cara-cara untuk membuat setiap objek dalam dunia anaknya terlihat menggugah minat dan kesenangan. Pelajaran-pelajaran harus dibuat singkat dan menarik jangan beri kesempatan benak anak jadi bosan dan mengembara. Saat benaknya mulai mengembara, berarti sudah waktunya mengesampingkan pelajaran itu sehingga kebiasaan membiarkan pikiran melayang ke mana-mana tidak berakar dalam diri anak. Biarkan anak tahu berapa lama pelajarannya akan berlangsung sehingga dia siap mencurahkan perhatiannya secara penuh untuk tenggang waktu itu. Untuk anak di bawah 8 tahun, 20 menit untuk satu pelajaran adalah batasannya. Pelajaran-pelajaran pun musti divariasi belajar membaca diikuti pelajaran di luar ruangan, misalnya, membuat benak anak tetap segar. Kalau seorang anak bisa menyelesaikan pelajarannya sebelum waktu habis, dia seharusnya boleh memakai sisa waktu itu untuk kegiatan yang ia sukai. 18

Paling baik jangan membuat peringkat (ranking) di antara anak-anak. Menghadiahi satu anak yang dianggap berprestasi terbaik cenderung membesarkan semangat berkompetisi yang bisa memupuk rasa sombong pada anak yang berprestasi, kebencian dan pemberontakan dari anak-anak yang lain, dan harga diri yang semu (vanity) dalam diri mereka semua. Hadiah terbaik dari belajar adalah kesenangan dalam belajar itu sendiri. Sayang sekali jika kepuasan positif ini dibajak atau bahkan mati gara-gara anak-anak memburu hadiah demi hasrat terlihat menonjol. Kalaupun diperlukan, perhatian dan afeksi sebaiknya tidak dipakai untuk menghadiahi prestasi intelektual, melainkan prestasi akhlak yakni, prestasi yang bisa dicapai oleh siapa saja, tanpa tergantung pada kecerdasan bawaannya. Keterampilan memusatkan perhatian secara sadar sangat berharga, sebab hal ini adalah kunci untuk menguasai disiplin-disiplin mental lainnya. Orangtua seharusnya betul-betul serius membangun keterampilan ini dalam diri anak-anak mereka. Salah satu caranya adalah dengan tidak memaksa anak menekuni pelajaran yang dia tidak sukai, sebab konsentrasi harus berangkat dari niat anak sendiri. Memaksa anak terus belajar padahal ia sudah kelelahan juga bisa merusak baik kesehatan badan maupun kekuatan berpikirnya. Charlotte berpesan agar orangtua mewaspadai apa pun yang bisa menyebabkan terbentuknya kebiasaan tidak memperhatikan. Pesan ini bisa kita maknai sebagai: apa saja yang membuat rentang perhatian anak menjadi pendek lebih baik disingkirkan atau dibatasi, seperti misalnya terlalu banyak menonton televisi atau main video games. Anak-anak semustinya dibuat merasa berprestasi atas apa yang mereka telah selesaikan, ketimbang dibuat merasa tertekan atas apa yang belum mereka kerjakan. Pelajaranpelajaran yang tidak selesai dikerjakan karena pikiran mereka sudah tidak bisa berkonsentrasi akan menciptakan perasaan tertekan, sama seperti yang kita rasakan sebagai orang dewasa dalam situasi serupa. Maka, berilah anak-anak jatah waktu untuk mengerjakan pelajarannya barangkali satu jam, dan kalau sudah habis waktunya, jangan diperpanjang, agar tidak terbentuk kebiasaan berlambat-lambat (dawdling). Kalau mereka tahu bahwa ada kegiatan yang asyik setelahnya, mereka akan mau memusatkan penuh perhatian mereka selama satu jam itu dan membuat waktu itu produktif. Lebih bagus lagi kalau sekolah tidak usah memberikan PR terlalu banyak sehingga anak-anak terpaksa masih harus melanjutkan tugas pelajarannya di luar jam sekolah. Anak-anak sepatutnya belajar tentang kenyataan hidup lewat konsekuensi alamiah. Hukuman janganlah dibuat-buat, tapi sebaiknya sepadan dengan pelanggaran. Anakanak perlu belajar menerima konsekuensi dari pilihan mereka. II Kebiasaan Berpikir Cepat hlm. 149-150 Metode melatih kegesitan mental dan tindakan kurang lebih sama dengan metode melatih kebiasaan memperhatikan. Anak-anak bisa dilatih menjadi lebih gesit, tapi gurunya sendiri juga harus selalu siaga: mengharapkan jawaban-jawaban segera, pikiran cepat, dan kerja yang tidak berlambat-lambat. Kura-kura memang tidak akan secepat kelinci, tiap anak punya batasan kemampuan, tapi bahkan seekor kura-kura pun bisa dilatih

19

sedikit lebih cepat setiap hari. Bersungguh-sungguh mengerjakan sesuatu harus dipuji, namun perhatian yang ala kadarnya dan kerja serampangan harus dicabut sejak tunasnya. III Kebiasaan Berpikir Logis hlm. 150-151 Berpikir logis adalah upaya mental yang tertib dan sadar, bukan ceracau ide yang meloncat-loncat secara acak. Charlotte memberi contoh seorang lelaki yang melihat burung elang botak terbang berputar-putar di angkasa; lelaki itu lalu menyimpulkan bahwa pasti ada singa berkeliaran di dekat situ karena hanya singa yang bisa membuat elang botak takut hinggap di atas bangkai. Anak-anak semustinya melewati proses berpikir semacam ini dalam pelajaran mereka. Mereka perlu bisa melacak sebuah akibat kembali pada sebabnya, atau merunut dari sebab pada akibat terakhirnya. Mereka perlu bisa membuat perbandingan antara berbagai hal untuk mengetahui di mana persamaan dan perbedaan hal-hal itu, lalu mereka membuat dugaan logis mengapa demikian. Berpikir adalah keterampilan yang harus terus dilatih, sehingga lebih bagus membiarkan anak memecahkan sendiri pertanyaan-pertanyaan ketimbang mendapatkan jawaban cepat saji bagi setiap pertanyaan mereka. Orangtua juga perlu melontarkan pertanyaanpertanyaan kepada anak, Mengapa sebutir kerikil tenggelam, bukannya mengapung? untuk mendorong anak merenung. Orangtua bisa memberikan jawabannya setelah si anak menghabiskan beberapa saat untuk memikirkan pertanyaan itu. IV -- Kebiasaan Berimajinasi hlm. 151-154 Anak-anak seharusnya mendapatkan buku-buku yang memupuk imajinasi mereka mereka berkhayal menjadi tokoh dari Swiss Family Robinson atau Robinson Crusoe dalam petualangan-petualangan yang mendebarkan. Tidak semua jenis buku bisa memupuk subur imajinasi anak. Buku absurd macam Alice in Wonderland, misalnya, terlalu membingungkan dan justru bisa menghambat berkembangnya imajinasi. Bukubuku lelucon yang konyol pun perlu dibatasi supaya benak anak punya ruang lebih banyak bagi kisah-kisah yang lebih seru. Biarkan mereka membaca kisah-kisah khayali, adegan-adegan yang terjadi di negeri nun jauh di zaman yang berbeda, petualanganpetualangan gagah berani, upaya meloloskan diri yang menegangkan, dongeng-dongeng sedap tempat khayalan anak tidak dibatasi oleh yang mustahil yang bahkan walaupun anak-anak tahu sebenarnya itu mustahil, mereka tetap meyakini dan menghayati cerita itu. Imajinasi tidak datang dari ruang hampa ia butuh ide-ide untuk jadi bahan bakarnya. Oleh karena itu, bahkan buku-buku yang anak baca di masa senggang pun harus dipilih dengan hati-hati. V -- Kebiasaan Mengingat hlm. 154-159 Secara mekanis, otak mempunyai kemampuan untuk merekam kesan apa saja yang ia tangkap. Tapi apa gunanya jika kita tidak bisa mengingat ulang hal-hal itu secara akurat saat kita membutuhkannya? Kita sering melihat anak-anak sekolah yang menjejali pikirannya menjelang ujian dengan sistem kebut semalam, tapi mereka segera lupa semua yang mereka pelajari. Charlotte mengutip komentar Ruskin tentang hal ini, kalau anak20

anak itu menghafal supaya lulus, bukan supaya paham, maka mereka lulus, dan tetap tidak paham. Kunci dari memori yang kuat adalah perhatian yang dicurahkan penuh ketika menghadapi apa yang sedang dipelajari. Otak anak semestinya bukan hanya merekam cuilan fakta melainkan gambaran mental (mind painting) yang utuh, supaya ia bisa terus mengingatnya sampai jauh hari kemudian. Sepertinya ini berarti kita perlu memastikan bahwa anak cukup punya minat terhadap setiap pelajarannya. Langkah berikutnya adalah membuat tautan-tautan antara satu pelajaran dengan pelajaran yang lain, sehingga membentuk kesatuan pemahaman. Dalam pelajaran akademis, proses belajar sebaiknya selalu dimulai dengan mengingat kembali materi pelajaran terdahulu. Jika Anda membacakan buku, ulanglah singkat inti bab sebelumnya sebelum mulai membaca yang baru sehingga kisah buku itu mengalir sebagai satu kesatuan dalam benak anak. Fakta-fakta dan pelajaran-pelajaran yang disajikan secara acak kecil peluangnya untuk terasosiasikan dan bisa jadi tak bisa diingat dengan baik oleh anak. Tak kalah penting adalah membuat anak menerapkan kegunaan praktis dari pengetahuan itu. Misalnya, setelah menghafalkan kata kerja to go dengan berbagai perubahannya gowent-gone, ia juga bercakap-cakap dalam bahasa Inggris memakai kata kerja itu. Melalaikan aspek praktek inilah yang sering membuat pelajaran yang baik menjadi siasia. Pengetahuan yang tak pernah lagi dipakai dengan sendirinya akan berkarat dan terlupakan. VI -- Kebiasaan Mengerjakan dengan Sempurna hlm. 159-160 Membiarkan anak-anak menggarap suatu hal secara asal-asalan, dengan alasan mereka masih kecil, mendorong kebiasaan bekerja setengah hati. Harapkanlah karya istimewa (excellence) dan anak akan naik ke standar itu: dia akan merasa puas pada dirinya sendiri setelah menggarap sesuatu dengan sebaik-baiknya, dan sebaliknya, nuraninya akan merasa terganggu jika dia belum menyelesaikan tugasnya sekuat tenaga. Jangan menugaskan kepada seorang anak sesuatu yang tidak bisa ia kerjakan dengan sempurna. Katakanlah dia sedang belajar menulis: mungkin dia belum mampu menulis banyak kata, maka cukup beri tugas menulis satu kata saja, kalau perlu kata yang pendek. Tapi pastikan bahwa kata yang pendek itu ditulis dengan benar, bentuk dan jarak antar hurufnya. Kalau ia belum bisa melakukannya hari ini, minta dia mengulang lagi hari berikutnya, dan hari berikutnya lagi, sampai pekerjaan itu sempurna. Lalu rayakanlah momen kesempurnaan itu. Kebiasaan bekerja dengan sempurna juga mencakup kebiasaan menyelesaikan apa yang telah dimulai. Jangan biarkan anak-anak memulai satu proyek baru tanpa menyelesaikan proyek sebelumnya. VII Kebiasaan Taat hlm. 160-164

21

Ketaatan adalah tugas anak. Orangtua berhutang kepada masyarakat untuk membesarkan anak-anak yang taat pada hukum, hati nurani, dan kebenaran Tuhan. Ketaatan anak ini seharusnya bukan karena takut, tapi karena ia tahu bahwa apa yang orangtua minta atau perintahkan itu memang benar untuk dikerjakan. Hanya ketika seorang anak secara sukarela menundukkan kehendaknya untuk melakukan apa yang benar, tercipta kebiasaan taat yang Charlotte maksudkan. Ketaatan yang muncul karena paksaan atau ancaman, atau manipulasi apa pun terhadap perasaan dan keinginan anak, bertentangan dengan hakikat pendidikan. Ibu bisa melatih anaknya untuk taat sejak bayi. Anak-anak akan terbiasa untuk bersikap taat apabila mereka sadar bahwa ketaatan bukan pilihan. Dan ini tidak perlu dipaksakan dengan bersitegang. Cukup bagi seorang ibu untuk berkata, lakukan ini dengan intonasi yang tenang dan berwibawa lalu mengharapkan hal itu dikerjakan. Syaratnya, ibu jangan gampang-gampang melontarkan perintah. Hanya perintah yang ia niati betulbetul terlaksana yang boleh ia lontarkan, dan sekali perintah itu disampaikan, jangan beri kesempatan anak mengabaikannya satu kali pun. Sekali saja anak-anak menyadari bahwa ibu tidak selalu serius dalam perintahnya, ibu akan kehilangan respek. Ia terpaksa berjuang untuk membuat mereka menaatinya seketika di lain waktu. Anak juga akan tergoda untuk tidak taat kalau ibu memberondongnya dengan terlalu banyak perintah, karena itu akan membuatnya bersungut-sungut. Anak-anak yang taat bisa dipercaya ke mana pun mereka pergi. Buatlah anak-anak paham bahwa bisa membuat diri sendiri melakukan dengan segera suatu hal yang baik, sekalipun hasrat hatinya sedang menginginkan hal yang lain, sungguh suatu sikap terpuji. VIII -- Kejujuran hlm. 164-169 Dusta punya tiga sebab abai dalam mencari tahu kebenaran, abai dalam menyatakan kebenaran, dan niat sengaja untuk menipu. Orangtua suka mengabaikan dua yang pertama dan fokus pada yang ketiga saja. Tapi anak-anak harus diajak memegang standar yang tinggi dalam ketiganya mereka harus merasa diharapkan untuk berbicara secara rinci dan akurat tanpa membual (misalnya dengan mengatakan, semua temanku melakukannya padahal hanya tiga teman yang seperti itu; mengatakan banyak sekali anjing di luar sana padahal hanya ada dua; dan sejenisnya). Anak-anak mudah sekali tergoda untuk melebih-lebihkan cerita, sementara orangtua cenderung tergoda untuk mengabaikannya karena menganggapnya lucu atau wajar. Namun, sejak dini membiasakan anak berkata-kata seakurat mungkin dan apa adanya tentang segala sesuatu akan mencegahnya dari kebiasaan dengan santai membumbui ceritanya untuk mencari keuntungan diri sendiri, menyembunyikan fakta, membuat dalih. Kebiasaan menyebar gosip yang belum diyakini kebenarannya harus dilenyapkan dari dalam rumah. Dalam perilaku sehari-hari, anak-anak harus dididik punya pertimbangan dan menghargai orang lain dan properti orang lain. Merebut mainan teman atau sikap menang-menangan bukanlah perilaku yang bisa dibiarkan dan janganlah dianggap sebagai sikap bawaan 22

anak. Untuk membantu anaknya untuk mengatasi sikap-sikap negatif yang demikian, ibu perlu sigap membaca tanda-tanda emosional anaknya itu. Sebelum ia mulai merengek, bawalah dia pergi ke tempat lain, atau alihkan perhatiannya ke kesibukan yang menyenangkan, maka pikiran kesal anak akan menguap tanpa merasa keinginannya ditolak. Dengan tekun membiasakan anak memupuk pikiran-pikiran menyenangkan, ia akan terhindar dari kebiasaan berpikir negatif.

Bagian V -- Pelajaran Akademis sebagai Sarana Pendidikan


I -- Materi dan Metode Pelajaran hlm. 169-178 Zaman ini, yang namanya pendidikan identik dengan memasrahkan beban mengajar kepada guru dan sekolah sementara orangtua tinggal terima beres. Di sini Charlotte berpesan kepada para orangtua, Sesibuk apa pun kalian, janganlah pasrah bongkokan kepada sistem pendidikan. Kalian juga harus paham dan punya pendapat sendiri tentang apa itu pendidikan. Idealnya, orangtua musti ikut campur tangan dalam pendidikan anak mereka, terutama di usia dini, sebab pengasuh atau guru TK/PAUD belum tentu seorang pendidik yang kompeten. Jika anak ditangani orang semacam ini, konsekuensinya mungkin bukan hanya waktu anak terbuang percuma untuk belajar hal-hal yang tidak penting, tapi juga bisa terbentuk dalam dirinya kebiasaan-kebiasaan buruk, mental maupun moral, yang merugikannya dalam jangka waktu panjang. Walaupun tidak semua orangtua bisa menjalankan pendidikan rumah (homeschooling), orangtua yang cukup paham ilmu mendidik akan tahu cara mendukung para guru yang mengajar anak-anaknya. Orangtua seharusnya tahu persis standar apa yang ia minta dalam soal pendidikan dan mencari guru-guru yang bisa mengajar anak-anaknya sesuai standar itu. Tanyailah diri sendiri tiga pertanyaan mendasar: mengapa anak-anak harus belajar? yakni tujuan dari proses pembelajaran, apa yang wajib mereka pelajari? yakni prioritas materi yang perlu dipelajari, dan bagaimana sepatutnya mereka mempelajari hal-hal itu? yakni teknik dan gaya belajar. Memang yang paling sulit adalah mencari guru yang bukan hanya pandai dalam materi pelajaran, tapi juga cukup paham tentang seluk beluk kejiwaan anak dan filosofi pendidikan. Mengapa anak belajar? Ini sama dengan pertanyaan 'mengapa anak harus makan?'. Seperti tubuh perlu asupan nutrisi untuk bertumbuh, begitu pula pikiran. Makanan bagi pikiran adalah ide. Anak-anak harus terus belajar hal baru karena pikiran mereka perlu diberi makan setiap hari dengan ide-ide. Proses pendidikan mustilah ibarat menaburi ladang subur pikiran anak dengan benih-benih gagasan. Setiap ide yang tertanam punya daya hidup, ibarat mikroorganisme spiritual ide itu akan berkembang biak dalam benak anak, menginspirasi kehidupan dan menentukan arah karirnya. Itu sebabnya pelajaranpelajaran anak jangan cuma dijejali oleh fakta, melainkan harus pula menyajikan ide-ide: semua ide terhebat, terindah, termulia yang pernah ada dalam sejarah pemikiran manusia dan bangsa. Setiap kegiatan belajar-mengajar yang tidak membuat pikiran anak diperkaya dengan ide-ide baru adalah sia-sia.

23

Soal menyajikan pengetahuan kepada anak-anak, orang dewasa, khususnya guru dan penulis buku anak, sering meremehkan kemampuan berpikir makhluk-makhluk kecil ini. Alih-alih mengajak anak berdiskusi tentang berbagai hal secara realistis, mereka mendangkalkan (talking down) pembicaraan. Alih-alih membiarkan anak mencerna gagasan lewat kemampuan berpikirnya sendiri, mereka merasa perlu berkhotbah, membungkus sebiji kecil kecil pengetahuan dalam segalon penjelasan panjang lebar. Akhirnya, anak-anak terpaksa bekerja keras mengais-ngais inti dari pelajaran itu, kalau mereka cukup beruntung menemukannya. Ibu yang cukup intim dengan anak-anak tahu persis bahwa mereka sanggup mencerna pengetahuan sungguhan. Sangat disayangkan kalau anak hanya disediakan buku-buku picisan (twaddle) sebagai makanan mentalnya sehari-hari; kosong gagasan, selera sastranya rendah, percakapannya remeh-temeh, atau berisi kekonyolan-kekonyolan yang tidak cerdas. Charlotte mengajukan empat kriteria pelajaran-pelajaran anak: 1. Menyediakan bahan untuk pertumbuhan mental 2. Melatih kekuatan pikiran anak 3. Meningkatkan pengetahuan anak 4. Mengandung nilai serta cukup menarik dan menyenangkan untuk diingat-ingat kembali bertahun-tahun kemudian Ingatlah bahwa anak-anak sebaiknya memperoleh pengetahuan secara langsung (firsthand) dengan mengalami sendiri dunia dan alam ini. Biarkan mereka secara mandiri membuat kesimpulan-kesimpulan tentang apa yang mereka amati, dengan sesedikit mungkin petunjuk dari orang dewasa. Bermain harus dipandang sama pentingnya dengan pelajaran akademis. Maka, jadwal belajar setiap hari harus memberi ruang bagi anak untuk punya banyak waktu bermain di luar ruangan. Beri mereka sesuatu yang spesifik dari alam sekitarnya sebagai fokus pengalaman luar-ruangan mereka setiap hari. Anak yang bahagia akan lebih cepat mencatat kemajuan, maka pelajaran-pelajaran harus dibuat menarik dan menyenangkan. II -- Taman Kanak-Kanak sebagai Tempat Pendidikan hlm. 178-182 Taman Kanak-kanak bisa sangat bermanfaat bagi perkembangan anak tergantung siapa gurunya. Bukankah esensi pendidikan anak usia dini adalah pembentukan karakter lewat pengaruh kepribadian sang guru? Jadi, sebetulnya ibu bisa menjadi guru Taman KanakKanak terbaik bagi anaknya, karena padanya terdapat kearifan, simpati, pemahaman akan kejiwaan si kecil, dan praktek kehidupan berbudaya yang dibutuhkan setiap anak secara spesifik. Ibu yang mendidik sendiri anak-anaknya di rumah tidak perlu mengubah kamar bermain mereka menjadi ruang kelas yang formal. Anak akan belajar paling optimal jika kegiatannya tidak dipersempit, melainkan jika diajak langsung melatih semua indranya:

24

menyentuh, melihat, mendengar, mengamati benda-benda berbagai ukuran, warna, angka, lalu menyalin dengan cermat dan menceritakannya. Anak-anak di bawah usia 6 tahun tidak perlu diberi target pelajaran macam-macam, cukuplah ia dibiasakan melakukan setiap tugasnya dengan sebaik mungkin. Ibu jangan membiarkan ia bekerja tidak rapi karena menganggapnya masih kecil. Memasang taplak meja, menggantungkan handuk, membungkus kado, sebetulnya di rumah tersedia banyak sekali kesempatan belajar bagi seorang anak lewat kegiatan sehari-hari seperti ini. Ada kalanya anak tidak memenuhi harapan ibu (atau guru) untuk bermain secara harmonis dalam kelompok; dia mengacau atau tidak mau bekerja sama. Situasi seperti ini jangan sampai melenyapkan atmosfir kasih sayang di antara mereka. Dengan sikap tegas namun lembut, ibu perlu memisahkannya untuk sementara dari kawan-kawannya, supaya dia bisa menyibukkan diri dengan kegiatan yang dia suka kerjakan. III Pemikiran-pemikiran Lebih Lanjut tentang PAUD hlm. 182-199 Di bagian ini Charlotte mengajak kita memikirkan dengan sungguh-sungguh pertanyaan, Apakah Taman Kanak-kanak (PAUD) adalah tempat terbaik untuk mendidik anak-anak usia dini? Barangkali istilah taman kanak-kanak awalnya berangkat dari konsep sebuah taman terbuka tempat anak-anak bisa bermain bebas. Namun, kemudian, di tangan pola pikir Jerman yang sangat logis, runtut, dan kaku, Kindergarten lalu berkonotasi sebagai suatu sistem pendidikan tempat semua kegiatan anak dijadwalkan secara tertib dan pasti setiap harinya untuk mencapai hasil tertentu yang terukur. Adalah Froebel yang menerjemahkan prinsip-prisip edukasi ke dalam sistem pendidikan anak usia dini. Charlotte menghargai jasa Froebel dalam membangkitkan minat masyarakat terhadap seluk beluk pendidikan anak, tapi dia juga mengkritik berbagai kelemahan sistem pendidikan Froebelian. Sistem ini membayangkan anak ibarat tanaman yang proses pertumbuhannya serba pasti dan seragam, dan akhirnya mengabaikan aspek individualitas dan keunikan anak sebagai pribadi. Bahkan, dengan tuntutan yang makin berlebihan dari berbagai pihak, konsep taman yang rileks kemudian bergeser menjadi rumah kaca pendidikan (hothousing) nan intensif dan eksklusif. Padahal sejatinya anak lebih dari sekedar tanaman; ia adalah pribadi utuh yang musti menemukan dan memenuhi panggilan hidupnya secara otentik. Bisa jadi anak-anak balita itu tampak gembira mengikuti pelajaran di sekolah, namun kelihatan gembira belum tentu berarti betul-betul gembira dan betul-betul memperoleh manfaat. Tidak mudah menyelami pikiran seorang anak di balik tampilannya yang lugu dan lucu. Anak-anak sering tidak menceritakan pikiran dan perasaan mereka yang terpendam karena beranggapan orang dewasa tidak akan paham. Ketika orang dewasa menuntut mereka mengikuti sebuah sistem pendidikan, seringkali anak-anak akhirnya belajar beradaptasi dan memuaskan diri dengan apa yang tersedia, sekalipun sebenarnya mereka jenuh dan bosan. 25

Bahaya berikutnya yang membayangi sistem pendidikan adalah dominasi guru yang terlalu besar. Guru paling berdedikasi sekalipun cenderung tergoda untuk menyaring pengetahuan menjadi sebuah rencana belajar (lesson plan) yang serba manis dan sentimental yang menurutnya cocok untuk tahap usia murid-muridnya, padahal dengan cara itu ia justru telah menghalangi siswa-siswanya berkomunikasi langsung dengan para penulis buku, pelukis, atau komposer hebat, juga dunia nyata. Supaya tidak kewalahan menghadapi begitu banyak anak, guru memaksakan penyeragaman kepribadian lewat perintah-perintah seperti: harus diam, harus duduk, harus menurut, dan seterusnya. Supaya bisa memenuhi target-target yang terukur, semua kegiatan anak serba direncanakan, diperintahkan, dan diarahkan. Hasilnya, anak-anak yang semula begitu spontan, penuh inisiatif, keajaiban dan keluarbiasaan, bertumbuh menjadi orang-orang dewasa yang pasaran dan menjemukan. Salah satu alasan yang sering dikemukakan oleh orangtua kalau ditanya mengapa mereka buru-buru mengirimkan anaknya kadang belum lagi genap 2 tahun ke sekolah adalah supaya anak belajar bersosialisasi. Memang anak akan gembira bermain bersama sesama anak yang sebaya, tetapi ada risiko kalau seorang anak terlalu lama dan terlalu sering terekspos pada teman-teman sebaya. Besar kemungkinan akan terjadi peer pressure dan overstimulation, yakni tekanan dan gesekan emosional di antara anak-anak yang samasama belum pandai mengendalikan diri. Hanya bergaul dengan teman-teman yang seusia, bahkan sering juga satu agama dan satu kelas sosial, membuat sosialisasi yang diperoleh anak tidak realistis dan justru bisa menghambat perkembangan kepribadiannya. Sebaliknya, bertemu dengan orang-orang yang beragam usia dan latar belakang, seperti biasa terjadi dalam interaksi di tengah keluarga besar, membuat anak lebih terampil membawa diri dalam pergaulan di kehidupan masyarakat sesungguhnya. Apakah pendidikan formal tidak perlu? Di usia 6-7 tahun, pelajaran-pelajaran yang lebih formal bisa dimulai, tetapi jangan sebelumnya. Pada tahun-tahun pertama kehidupannya, secara alamiah anak sudah punya banyak agenda, berbagai hal menarik tentang dunia ini yang ingin ia pelajari. Memaksakan target-target belajar lain, yang tidak datang dari keinginannya sendiri, membuat anak kelelahan dan justru tidak sempat mengejar pengetahuan yang sebetulnya ia minati. Tak heran jika banyak anak yang terlalu dini disekolahkan akhirnya berpikir belajar itu beban, tidak menyenangkan. Dalam masa dewasa kelak, mereka harus memenuhi banyak sekali tuntutan dan tenggat waktu; itu sebabnya, baik kiranya membiarkan anak-anak merasakan periode kehidupan yang merdeka, berkegiatan tanpa dijadwal, untuk melakukan apa yang ia suka lakukan, sebelum dia kehilangan kesempatan untuk itu. Anak-anak usia dini butuh kebebasan bermain, untuk mengamati alam dan merenungkannya secara mandiri. Yang mereka perlukan adalah pembimbing yang penuh perhatian namun pasif, yang tidak selalu berkata, Jangan begini! atau Harus begitu, melainkan menghormati pilihan-pilihan mereka dan hanya memberi petunjuk ketika betul-betul diperlukan. Anak-anak yang sehat dan gembira mampu menciptakan permainan-permainan sendiri, dan ini akan mendorong kebiasaan berinisiatif terbentuk, satu kekuatan karakter yang jauh lebih berharga ketimbang pengetahuan akademis apa pun yang mereka bisa peroleh dari bangku sekolah. Dan semua proses ini paling baik 26

dijalankan dalam lingkungan keluarga sehari-hari, bukan dalam ruang kelas yang semuanya serba diarahkan dan tertata. Anak-anak bisa tampil otentik, menampilkan diri apa adanya, paling baik di antara keluarga besarnya sendiri. Anak-anak itu cerdas, sehingga nutrisi yang dibutuhkan oleh pikiran mereka juga haruslah ide-ide cerdas. Kalau anak dididik langsung oleh orangtuanya, keuntungannya ganda: anak makin paham dinamika emosi orangtua, sementara orangtua menantang dirinya sendiri untuk mempelajari hal-hal baru demi menyemangati anaknya. Cara ini jauh lebih unggul daripada rancangan pendidikan lembaga PAUD mana pun. Tugas orangtua atau pendidik hanyalah memfasilitasi, yakni menciptakan kesempatankesempatan lalu menyingkir dan mundur ke belakang untuk berjaga-jaga kalau sewaktuwaktu bantuannya dibutuhkan darurat. Kata-kata Charlotte ini mengingatkan kita kepada filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara yang serupa: ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Para pendidik bisa belajar dari cara Annie Sullivan membantu Helen Keller yang buta dan tuli sejak bayi (baca http://id.wikipedia.org/wiki/Helen_Keller). Fokus Annie adalah membangunkan Helen secara utuh; dia mengajar bukan hanya dengan menyentuh kepala, tapi juga hati muridnya. Maka, Annie meninggalkan sama sekali kurikulum standar sekolah-sekolah zaman itu demi mengikuti irama belajar Helen, sesuai dengan kebutuhan khususnya. Dia memberi Helen kesempatan dan waktu seluas-luasnya untuk mengalami langsung dan menarik simpulan-simpulan sendiri seperti apa dunia itu sebenarnya. Seandainya dulu Annie menyuruh Helen duduk di dalam kelas sepanjang hari, mengerjakan materi belajar paketan seperti layaknya siswa sekolah lain, dunia mungkin tidak akan pernah diperkaya oleh pikiran dan tulisan seorang Helen Keller yang begitu visioner dan menggugah. Pendidikan artifisial hanya akan membimbing seorang anak pada kehidupan yang sangat tidak berwarna dan tidak nyata. Bukan berarti aktivitas sekolah sama sekali tidak menarik anak, tapi seringkali pelajaran sekolah tidak menambahkan apa-apa kepada lumbung ide dan imajinasi mereka. IV -- Membaca hlm. 199-207 Kita barangkali berpikir mengajari anak membaca itu sulit, tapi ternyata toh kebanyakan kita tidak ingat lagi bagaimana dulu kita jadi bisa membaca. Kemampuan membaca datang begitu alamiah orang-orang dewasalah yang lebih ribut berpusing-pusing tentangnya dibanding anak-anak. Kalau ada anak yang sampai menangis waktu diajar membaca, itu adalah kesalahan gurunya. Anak-anak seringkali belajar membaca sendiri, namun ibu boleh memberitahunya bagaimana cara membentuk suatu huruf, mengenalinya pada bacaan, dan cara menyuarakannya. Ini bukan beban berat, tapi seperti permainan saja bagi seorang anak. Anak-anak semestinya diajari selama dia masih merasa senang dalam proses belajar itu. Tapi jangan pernah memaksa dia, menuntutnya memamerkan kemampuannya, membujuk-bujuknya untuk belajar membaca sementara hatinya sudah tertuju pada permainan yang lain.

27

Charlotte bilang, teknik belajar membaca tergantung kepada tipe bahasanya juga. Kalau sebuah bahasa punya aturan baca baku bahasa Indonesia tergolong bahasa tipe ini akan mudah mempelajarinya secara fonetis. Tapi bahasa yang rumit aturan bacanya, seperti bahasa Inggris dengan kasus-kasus irregular-nya, musti didekati dengan metode lihat-baca (sight reading). Pelajaran pertama membaca bisa diisi dengan permainan menyambung-nyambung huruf magnetik menjadi kata-kata pendek. Misalnya d dan i menjadi di, lalu Ibu memberi contoh pemakaiannya seperti di toko, di sana, dan seterusnya. Selalu ajarkan menyusun kata yang bermakna bon, bos, bor, bom boleh, tapi bok, bol, bof jangan. Kalau anak sudah bisa membaca satu kata pendek yang dia susun, kita bisa memintanya mengeja kata itu sambil menutup mata. Bisa membaca belum tentu bisa mengeja. Memiliki dua keterampilan ini sekaligus sejak dini akan sangat bermanfaat untuk anak. Bahkan di tahap-tahap paling awal belajar membaca, sangat tidak dianjurkan untuk memberi buku-buku murahan ke tangan anak-anak. Bahan pelajaran membaca lebih baik kita ambil dari puisi atau lagu yang mereka kenal. Cukup 2-3 baris saja: Balonku ada lima, rupa-rupa warnanya. Bacakan secara lambat, supaya ia bisa mencermati bagaimana susunan huruf bisa terbaca sebagai kata, lalu ajak anak untuk membaca tiap kata bersama-sama. Biasakan anak untuk membaca dengan ekspresi. Metode membaca CM mungkin butuh waktu lebih lama, hanya beberapa kata baru setiap hari, tapi akan menghindarkan anak-anak terjatuh ke dalam perangkap bahan-bahan bacaan murahan atau belajar membaca tanpa minat dan tanpa perasaan. Mereka harus memperoleh kesan bahwa membaca itu kegiatan yang menarik. Dan karena yang dibaca adalah puisi atau lagu sungguhan, kita tidak perlu membatasi bahan bacaan anak-anak pada kata-kata mudah saja. V. Pelajaran Membaca Pertama hlm. 207-214 Charlotte menuliskan percakapan antara dua ibu yang menceritakan secara rinci langkahlangkah belajar membaca lewat permainan. Di dalam percakapan ini, Charlotte menyelipkan harapan bahwa para penerbit mau menyiapkan dan menjual perangkat potongan (semacam flashcards) kata-kata untuk pelajaran membaca. VI Membaca dengan Melihat dan Bunyi hlm. 214-222 Walaupun anak-anak seolah-olah mendapat ilham langit ketika bisa membaca, sama misteriusnya ketika mereka tiba-tiba bisa berjalan dan bicara, belajar memecahkan kode deretan garis dan lengkung di selembar kertas bukanlah keterampilan alamiah, dan membutuhkan sejumlah upaya dari si kecil untuk memahaminya. Belajar membaca terasa berat bagi seorang anak ketika itu dilakukan secara membosankan, sementara begitu banyak permainan menarik lain yang ingin ia kerjakan. Tapi ia butuh keterampilan dan disiplin dari proses ini, sehingga kita perlu membantunya dengan menciptakan proses belajar membaca yang menyenangkan. Maka, berikan materi dan metode belajar yang menarik, bukan sekedar drill membaca kata-kata yang acak maknanya. Dengan belajar 28

membaca semua kata dalam puisi atau lagu kesukaannya, anak meraup pengetahuan tentang ratusan kata kata-kata berguna yang bisa kita pakai setiap hari. Kita kembali ke contoh teks lagu: Balonku ada lima, rupa-rupa warnanya. ibu menulis salah satu kata, misalnya lima, di papan, meminta anak melihat kata itu sementara ibu membacakannya, lalu anak menutup mata untuk mengejanya. Setelah itu, ibu menyerahkan satu kotak huruf magnetik dan meminta si anak menyusun kata tadi sesuai ejaan yang tadi diingatnya. Kemudian, ibu memberikan selembar kertas berisi seluruh teks lagu dan anak diminta menemukan kata itu di sana. Proses ini diulang satu demi satu kata. Setelah semua kata ia pelajari, anak boleh menyusun potongan-potongan kata untuk menjadi baris-baris kalimat utuh, untuk ia baca dari awal sampai akhir dengan rasa kemenangan. Semua ini dilakukan dalam satu hari anak memulai dari tidak tahu, dan mengakhiri pelajaran dengan kemampuan membaca sendiri 1-2 kalimat dari lagu (atau puisi) kesukaannya. Pada pelajaran berikut keesokan harinya, anak menyusun kembali kata yang kemarin dia pelajari (kalau bisa di luar kepala), lalu Ibu menunjukkan apa yang terjadi kalau ada satu huruf yang diganti lima menjadi lama, misalnya. Atau anak menyusun kalimat-kalimat baru dari kata-kata yang telah ia pelajari. Atau ibu mendiktekan sebuah kalimat pendek balonku ada dua dan sejenisnya, memakai 1-2 kata baru yang belum anak pelajari. Anak akan tambah penasaran untuk belajar lebih banyak. Hanya beberapa kali pertemuan, anak sudah akan menyelesaikan pelajaran membaca satu lagu atau puisi utuh. Dia akan merasa berprestasi karena sanggup membacanya dari awal sampai akhir tanpa tersendat-sendat. Keberhasilan itu memotivasi dia untuk terus antusias belajar membaca. Lewat cara ini, anak akan menganggap membaca sebagai kegiatan yang menyenangkan, bukan beban yang membuat frustrasi. VII Deklamasi hlm. 222 Untaian kalimat sastrawi, seperti dalam puisi atau mazmur (hymns), membangun dalam diri anak kepekaan terhadap keindahan bahasa. Daya ingat anak-anak itu luar biasa. Tanpa beban, mereka bisa hafal begitu saja sebuah puisi kalau orangtua berulang kali melantunkannya dari hari ke hari: saat bermain, menjelang tidur, atau sembari ia melakukan kegiatan-kegiatan lain. Mulailah dengan puisi-puisi pendek yang sesuai dengan tahap pemahaman anak dan menarik minatnya. Lebih baik lagi ketimbang sekedar menghafal teks puisi adalah jika anak bisa mendeklamasikannya secara ekspresif dan penuh makna. Perlu latihan tersendiri agar anak bisa mendeklamasikan puisi dengan apik. Awalnya, anak diajak untuk bereksperimen dengan berbagai intonasi untuk kalimat yang sama. Anak akan terheranheran, kalimat pendek seperti Tidak mau! ternyata bisa punya banyak makna jika dilantunkan dengan cara berbeda. Dari situ, ia didorong untuk mengucapkan secara ekspresif potongan-potongan kalimat puisi yang indah dan menyenangkan. Selain memperindah bahasanya, anak juga akan menjadi terampil menafsirkan makna dari cara suatu kalimat diucapkan atau, di sisi lain, menyampaikan makna dengan cara pengucapan 29

tertentu. Catatan dari Charlotte, orangtua tidak perlu terlalu ambisius dalam hal ini. Jangan membuat anak merasa terbeban, tapi jangan pula melewatkan kesempatan yang muncul dengan sia-sia. VIII Membaca bagi Anak-Anak Lebih Tua (8-9 Tahun) hlm. 226-230 Menjadi seorang pembaca mandiri adalah kebiasaan yang perlu dikembangkan sejak dini. Pelajaran sekolah yang disajikan lewat ceramah dan lembar-lembar kerja membuat pikiran anak menjadi malas untuk membaca dan mencerna sendiri buku-buku sumbernya. Oleh karena itu, begitu anak bisa membaca, harusnya kita letakkan dalam jangkauannya segala macam buku: sejarah, legenda, dongeng, apa saja yang menarik untuk tahap usianya, dan biarkan dia membaca sendiri. Orangtua jangan terbujuk untuk terus-menerus membacakan buku bagi anaknya, sekalipun anak itu meminta. Sekolah seharusnya melatih anak agar gesit menyerap pengetahuan dari sebuah buku secara efektif dan efisien. Charlotte merekomendasikan teknik membaca durasi pendek (10-15 menit per sesi), teknik memahami lewat sekali baca (single reading), dan teknik menceritakan kembali (narasi) untuk meningkatkan daya perhatian anak atas bacaan. Secara berkala, anak perlu disuruh membaca materi pelajarannya dengan bersuara, khususnya untuk puisi. Selain membuat pelafalan mereka makin tepat, membaca dengan bersuara membuat keindahan kata-kata itu makin nyata baginya dibanding jika ia hanya membacanya dalam hati. Sayang sekali, terlalu sering sekolah memakai buku-buku teks picisan yang sungguh tidak membangkitkan selera baca anak. Anak-anak sebetulnya mampu mencerna ide sehebat apa pun, barangkali dalam hal ini mereka bahkan lebih peka dan cerdas daripada orang dewasa. Tapi kalau buku itu disajikan dalam bentuk penjelasan panjang lebar soal proses-proses teknis, daftar-daftar fakta, ringkasan-ringkasan tak berjiwa, anak yang pikirannya paling cemerlang pun akan merasa jemu. Begitu anak berhasil memiliki kebiasaan membaca sendiri buku-buku cerdas dengan penuh minat dan kegembiraan, suksesnya dalam pendidikan sudah di depan mata. Ketika anak sedang asyik membaca, kita tidak boleh bolak-balik menginterupsinya untuk menanyakan apakah dia paham bacaan itu atau apakah dia paham arti kata-kata sulit tertentu. Bukankah kita sendiri pun akan jengkel jika diperlakukan seperti itu? Anak-anak juga bisa menebak-nebak makna sebuah kata asing dari konteks kata itu dipergunakan dalam kalimat. Kalau anak tidak tahu, ia mungkin akan mencoba membaca ulang materi itu beberapa kali dan jika ia tetap belum paham, ia akan bertanya. Saat itulah guru bisa ikut campur. Namun, pertanyaan terbuka yang membuatnya tertarik berdiskusi, seperti Apa yang akan kamu lakukan kalau kamu jadi dia? boleh saja diajukan. IX Seni Menceritakan Kembali hlm. 231-233 Pada dasarnya potensi bercerita (narasi) ada secara alamiah dalam diri anak. Ia suka menceritakan kembali apa yang ia lihat, dengar, alami, pikirkan dan rasakan. Dalam membuat sebuah narasi, pikiran anak akan mengerahkan segenap kemampuannya: 30

ingatannya, imajinasinya, perbendaharaan konsepnya, dan daya nalarnya. Charlotte menganggap teknik narasi ini sebagai sarana paling menyeluruh untuk mengevaluasi seberapa jauh anak menyerap pelajarannya. Mulai usia enam tahun, bukan sebelumnya, anak-anak sudah mulai bisa diminta membuat narasi dari materi pelajaran yang ia baca. Dalam standar Charlotte, yang layak menjadi materi pelajaran anak adalah buku-buku klasik ia mencontohkan Robinson Crusoe, Tanglewood Tales, Pilgrims Progress, dan Heroes of Asgard atau buku-buku lain yang sekaliber itu. Meskipun anak-anak biasanya sudah mulai bisa membaca, mereka masih akan kesulitan membaca buku-buku ini, sehingga pada awalnya orangtua (atau guru) yang membacakannya bagi mereka. Dalam satu sesi pelajaran sepanjang 10-15 menit, di sini konteksnya adalah anak usia 6-9 tahun, orangtua (atau guru) mempunyai cukup waktu untuk membaca satu babak atau sekitar 2-3 halaman. Proses membaca ini tidak boleh dicemari oleh penjelasan-penjelasan atau disela oleh tes-tes ujian pemahaman tipikal lembar kerja siswa. Buku dibaca bagian per bagian per sesi secara berkesinambungan kadang sampai beberapa tahun kalau bukunya sangat tebal - dan anak membaca atau mendengarnya dibacakan satu kali saja dengan menyadari bahwa di akhir bacaan nanti namanya mungkin akan dipanggil untuk memberikan narasi. Orangtua (atau guru) tidak usah berkomentar untuk membetulkan kesalahan tata bahasa atau kesalahan lainnya dalam narasi anak. Wajar saja jika narasi-narasi pertamanya banyak mengandung eee, nnggg, atau terus tapi lambat laun ia akan semakin terampil menyerap gaya bercerita si penulis buku. Prinsipnya, terima dan apresiasi apa saja yang dinarasikan oleh anak. Setelah itu, kedua pihak bisa berdiskusi bebas sebentar tentang nilai atau pesan moral dari bacaan itu. Sebelum memulai bagian baru, sebaiknya orangtua (atau guru) meninjau ulang sekilas materi yang telah dibaca pada sesi sebelumnya. Atau, untuk membangkitkan minat anak, kita bisa memberi bocoran tentang apa yang menarik dari bacaan anak kali ini sebelum memulai proses membaca. X -- Menulis hlm. 233-238 Mengerjakan sesuatu dengan sempurna harus dibiasakan sejak awal pelajaran menulis, dengan memastikan anak menulis setiap huruf dengan rapi, meskipun pelajaran pertamanya mungkin baru satu huruf saja. Kualitas harus didahulukan ketimbang kuantitas. Pelajaran di tahun-tahun pertama ini tidak usah lama-lama, cukup 5-10 menit. Dan sebaiknya jangan langsung menulis di atas kertas dengan pensil atau pena, melainkan di atas papan tulis dengan kapur (barangkali, kalau anak suka, spidol nonpermanen juga boleh) yang bisa dihapus jika anak merasa kurang puas dengan hasil tulisannya. Charlotte merekomendasikan anak belajar menulis dari huruf yang bentuknya sederhana seperti i dan j, lalu ke huruf-huruf yang lebih rumit. Belajar menulis dilakukan bertahap: diawali dari satu per satu huruf, lalu kata pendek, lalu kata yang lebih panjang. Tidak perlu tergesa-gesa, tetapi pastikan setiap huruf ditulis dengan sempurna. Berikan contoh

31

huruf yang baik untuk ditiru Charlotte lebih menyukai huruf kursif dan italik. Arahkan anak untuk menulis huruf-huruf berukuran sedang. XI Menyalin hlm. 238-240 Setelah mahir menulis huruf dan kata, anak masuk ke pelajaran menyalin. Lewat menyalin kata per kata sebaris puisi atau kalimat dari buku kesukaannya, anak juga belajar mengeja. Ijinkan anak memilih sendiri kalimat yang ingin dia salin, kemudian minta dia menutup mata dan membayangkan kalimat itu dalam kepalanya sebelum mulai menyalin. Bahan yang akan disalin jangan terlalu panjang supaya anak tidak kelelahan dan tidak menjadi jemu pada puisi yang akan ia salin itu. Awalnya, gunakan kertas bergaris ganda sebagai alat bantu supaya tulisan anak tetap rapi. Durasi satu sesi pelajaran menyalin cukup 10-15 menit. Awasi benar tidaknya postur tubuh dan cara tangan anak memegang pensil saat menulis, juga atur supaya posisi cahaya lampu dalam ruangan serta ketinggian kursi dan meja membuat anak nyaman menulis. XII Ejaan dan Dikte hlm. 240-243 Pelajaran mendikte (guru membacakan sesuatu sementara murid menulisnya) harus dikerjakan dengan hati-hati. Setiap kata yang anak tulis meninggalkan bekas dalam ingatannya. Sekali anak keliru menulis ejaan sebuah kata, ia bisa seterusnya kesulitan menuliskan kata itu dengan ejaan yang benar. Tugas guru bukan hanya mencorat-coret kesalahan ejaan anak dengan tinta merah, tapi sejak awal memastikan bahwa anak tahu bagaimana setiap kata seharusnya dieja dengan benar. Beberapa langkah pelajaran mendikte yang membuat anak-anak terampil mengeja adalah: Pertama, beri anak waktu untuk lebih dulu mempelajari bagian bacaan yang akan didiktekan (beberapa baris di kelas kecil sampai beberapa halaman untuk kelas besar). Tanyai dia, kata mana yang menurutnya sulit diingat ejaannya. Guru secara khusus mengajarkan cara mengeja kata-kata sulit itu sampai anak bisa. Baru setelah anak yakin telah menguasainya, dikte dimulai. Bacakan satu frase demi satu frase, hanya boleh diulang sekali saja. Bacalah dengan ekspresi tanpa menyebutkan tanda-tanda baca dalam kalimat seperti koma atau titik supaya anak belajar menangkap pemenggalan kalimat dari mendengar intonasinya. Kalau masih juga ada kesalahan cara mengeja kata di dalam hasil dikte, kata yang salah itu harus dihapus dan diganti dengan pengejaan yang benar (bukan cuma dicoret lalu ditulisi lagi di atasnya). Kemampuan mengeja yang buruk terjadi karena anak belum berhasil memvisualisasikan kata-kata di dalam benaknya saat ia membaca. Hal ini biasanya disebabkan oleh kurang membaca atau membaca terlalu cepat atau membaca tidak cermat. Solusinya adalah sering-sering bermain latihan visualisasi kata, khususnya saat anak sedang membaca materi pelajaran-pelajarannya yang lain. XIII Mengarang hlm. 243-247

32

Sekolah jangan terlalu dini memaksakan tugas membuat esai kepada anak-anak. Mereka masih pada tahap mengumpulkan dan memilah informasi, sehingga kalaupun disuruh mengarang, umumnya itu hanya akan mendorong mereka menjahit dan mengoplos kalimat-kalimat dari sana-sini, bukannya mengungkapkan refleksi dari diri mereka sendiri, sehingga bisa memicu kebiasaan mencontek (plagiarisme) atau bergantung kepada pemikiran orang lain. Pelajaran mengarang atau membuat esai sebaiknya ditunda sampai anak berusia sepuluh tahun. Sebelum itu, biarkan anak menyelami kekayaan bahasa dan ide-ide dari kegiatan membaca, membuat narasi, dan menyalin. Selain menarasikan buku-buku, anak bisa diminta bercerita tentang kegiatan atau peristiwa sehari-hari. Kelak setelah tiba waktunya belajar mengarang, keterampilan bercerita itu akan mengalirkan secara luwes kekayaan bahasa dan ide yang sudah anak serap menjadi karangan-karangan orisinil. XIV Pelajaran Alkitab hlm. 247-253 Meskipun mereka masih kecil, kita jangan buru-buru menganggap anak-anak itu tidak sanggup mencerna ide-ide mendalam kitab suci. Oleh karena itu, orangtua perlu memperkenalkan anak kepada cerita-cerita dan ayat-ayat Alkitab sebagaimana tertulis, tidak perlu disederhanakan atau diringkas. Sejak umur enam tahun, anak sudah harus mulai dibacakan Alkitab, sehingga di umur sembilan tahun setidaknya ia telah selesai membaca beberapa perikop kisah Perjanjian Lama dan dua kitab Injil. Charlotte merekomendasikan versi terjemahan King James. Anak-anak belum memusingkan soal ilmiah tidaknya kisah-kisah Alkitab, sehingga kita tidak perlu membebani mereka dengan pertanyaan-pertanyaan a la kritikus Alkitab. Yang kita harapkan adalah benak anak menangkap gambaran besar Alkitab, tentang drama besar pergulatan kasih sayang Tuhan dan kebebalan manusia serta heroiknya para pahlawan iman dalam berdiri menentang kejahatan, sehingga tanpa digurui ia akan terinspirasi untuk berpihak kepada Tuhan dan kebenarannya. Kelak setelah bertambah besar, anak-anak dengan sendirinya akan menyusun persepsi mereka tentang kisah mana yang betul-betul terjadi dan mana yang alegoris. Pelajaran Alkitab pertama cukuplah dengan membacakan beberapa ayat yang berisi satu babak pendek, bacakan dengan sikap hormat dan cermat serta ekspresif. Kemudian, minta anak membuat narasi. Setelah itu, kita bisa berdiskusi dengannya seputar apa yang telah ia baca, tapi janganlah menggurui dia tentang bagaimana cara menerapkan pesan moral bacaan itu dalam kehidupannya. Biarkan anak mencerna dan menyimpulkan sendiri makna bacaan itu bagi dirinya. Perlakukanlah selalu Alkitab dengan sikap hormat yang berbeda dari buku-buku lain. Kalau memakai Alkitab bergambar, pilihlah ilustrasi yang takzim dan akurat. Lukisan adegan-adegan Alkitab dari para maestro, seperti Rembrandt, bisa dipakai sebagai materi pelengkap pelajaran. Kita minta anak-anak mengamati lukisan itu dengan cermat lalu menceritakan apa yang mereka lihat di sana (picture study). 33

Mulai usia enam tahun, anak sudah bisa mulai belajar menghafalkan ayat-ayat Alkitab. Setiap ayat yang tersimpan dalam hati anak ibarat perbendaharaan kekayaan yang bisa bermanfaat baginya sewaktu-waktu saat mengarungi perjalanan kehidupan. XV Berhitung hlm. 253-264 Berhitung sangat bermanfaat bagi kehidupan praktis sehari-hari, tapi manfaat yang paling penting adalah meningkatkan kekuatan dan ketajaman daya nalar anak. Pelajaran matematika dengan simbol-simbol abstrak harus ditaruh di urutan belakang. Langsung menyuruh anak berkutat dengan simbol abstrak dan bentuk-bentuk geometris tanpa lebih dulu memantapkan berbagai konsep matematis itu lewat pengalaman konkret akan membuat anak bosan dan kesulitan. Perkenalkan anak lebih dulu kepada ilmu berhitung sebagai sesuatu yang nyata bagi mereka. Beri mereka soal-soal cerita yang jawabannya bisa didemonstrasikan dengan alat peraga (manipulatif) seperti kancing atau kacang. Setelah anak paham betul konsep berhitung secara konkret, baru latihan soal dengan simbol-simbol matematis bisa dimulai. Lambat laun, alat peraga pun harus makin ditinggalkan sampai akhirnya anak terampil untuk berhitung sepenuhnya dengan simbol-simbol matematis. Setelah anak terampil dalam proses tambah dan kurang sampai angka 20, berikan soalsoal cerita yang lebih kompleks untuk masuk ke pelajaran pembagian dan perkalian. Di sini tugas guru adalah membuat anak memahami hakikat dari pembagian dan perkalian sebagai perhitungan ringkas dari penambahan dan pengurangan. Alat peraga boleh dipakai selama anak masih memerlukannya, tapi dorong anak untuk merasa nyaman berhitung di luar kepala tanpa terus tergantung kepada alat-alat peraga itu. Selanjutnya anak bisa belajar sistem bilangan (sepuluhan) dan nilai mata uang. Belajar tentang nilai setiap jenis uang logam dan uang kertas serta praktek langsung membeli atau menjual akan memperkokoh pemahaman anak tentang konsep matematika. Untuk memahami konsep ukuran dan berat, biarkan anak belajar dengan timbangan dan alat ukur lainnya untuk mengetahui berapa centimeterkah satu meter itu, berapa cangkirkah satu liter itu, dan seterusnya. XVI Ilmu Pengetahuan Alam hlm. 264-271 Charlotte menceritakan dua karakter yang berjalan bersama-sama menjelajahi satu area. Yang satu pulang dengan rasa bosan, yang satu lagi bergairah karena mengamati berbagai hal menarik sepanjang perjalanannya. Perbedaan di antara kedua respons itu disebabkan oleh peka atau tidaknya seseorang kepada cara kerja alam yang luar biasa. Minat dan rasa ingin tahu ini musti dipupuk sejak kecil. Semua saran yang telah Charlotte berikan sebelumnya: banyak-banyak berkegiatan di alam terbuka, mempelajari objek-objek alam (benda langit, tanaman, binatang, cuaca) lewat pengamatan, sentuhan, dan pendengaran langsung, terbiasa untuk mencatat pengamatan dan bertanya mengapa? lalu sedapat mungkin mencari jawabannya sendiri adalah fondasi pengetahuan ilmiah anak di masa depannya. 34

Alam ini berjalan tertib dan logis. Buku pelajaran sains harus bisa menggambarkan itu kepada anak secara hidup, sekaligus berisi contoh-contoh eksperimen sederhana yang anak bisa kerjakan untuk mengalami langsung bagaimana alam ini bekerja. Biarkan anak membuat simpulan-simpulan sendiri dulu tentang apa yang ia alami dan amati. Teoriteori dan istilah-istilah ilmiah (seperti nama-nama Latin) bisa menyusul belakangan. Dengan cara ini, ilmu pengetahuan alam bagi anak tidak akan menjadi sekedar hafalan tetapi juga pengetahuan yang bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari. XVII Geografi hlm. 271-279 Ingatlah selalu untuk memperlakukan anak-anak itu sebagai pribadi hidup, bukan burung kakaktua yang bertugas menghafalkan nama-nama provinsi, jarak antar kota, atau produk ekspor dari negara tertentu. Semua itu tidak penting bagi mereka. Yang mereka inginkan adalah ide-ide: kisah-kisah dan gambaran-gambaran hidup dari berbagai lokasi geografis. Kalau pelajaran geografi selalu disajikan sebagai daftar fakta dan angka yang garing, tak perlu heran jika anak membencinya. Memperkenalkan anak kepada konsep geografi harus dimulai dengan kegiatan luar ruangan, sebagaimana telah dijelaskan Charlotte sebelumnya. Anak-anak belajar mengamati lingkungan mereka: sungai, bukit, tanah lapang, kolam, dan lain-lain. Dari situ anak bisa membayangkan permukaan bumi di tempat-tempat lain dari cerita-cerita yang ia baca. Biarkan anak merasa akrab dengan suatu negeri atau kisah seorang penjelajah lewat buku seperti Missionary Travels David Livingstone. Dia harus menandai lokasi adegan-adegan yang ia baca pada peta negeri itu. Proses membaca ini tidak harus dijadwalkan dalam jam belajar resminya, tapi bisa juga sebagai bacaan di kala senggang. Apabila minat anak telah berhasil dibangkitkan lewat pendekatan awal tadi, selanjutnya anak harus diarahkan untuk mencapai inti pelajaran geografi, yakni keterampilan membuat dan menggunakan peta. Awali dengan memetakan ruang-ruang di rumah sendiri, lalu lingkungan di sekitar rumah, sampai memetakan seluruh kota tempat ia tinggal. Mereka harus paham betul arah mata angin dan bagaimana memakai kompas. Mereka juga belajar memahami kode-kode dalam peta: yang mana dataran tinggi, yang mana dataran rendah, apa itu garis lintang dan garis bujur, dan seterusnya. Ajak mereka mencari tahu tempat berbagai negara dalam bola dunia. Kalau bepergian, biasakan anak memegang peta untuk melacak keberadaannya di peta itu. Dengan mengetahui kegunaan praktis dari pelajaran geografi, anak-anak akan bisa menikmatinya. XVIII Sejarah hlm. 279-295 Seperti geografi, pelajaran sejarah juga semestinya diperkenalkan kepada anak-anak sebagai lumbung ide. Ketimbang menyuruh anak menghafalkan tanggal-tanggal atau fakta-fakta, biarkan mereka mendengar berbagai kisah inspiratif, heroik ataupun tragik, tentang para tokoh atau jalannya peristiwa sejarah. Anak-anak cukup cerdas untuk menyimpulkan bagi diri mereka sendiri apa pesan moral dari kisah-kisah itu tanpa harus digurui secara eksplisit, dan dengan sendirinya karakter mereka terbentuk menjadi lebih bijaksana lewat proses perenungan internal ini. 35

Menyajikan skema (outline) sejarah secara umum bukanlah pendekatan yang tepat untuk pelajaran sejarah. Lebih baik anak-anak dibiarkan intim dengan seorang tokoh dari masa tertentu. Sementara mengenali detil kehidupan si tokoh, mereka akan belajar tentang periode sejarah yang menjadi konteksnya. Anak jadi paham betul siapa saja tokoh penting di zaman itu, bagaimana karakter masyarakatnya, seperti apa sistem sosialnya, hal apa saja yang terjadi di negeri-negeri lain selama periode itu dan seterusnya. Pemahaman yang intim tentang tokoh-tokoh dan periode spesifik ini akan menjadi semacam titik pijak anak untuk memahami babak-babak sejarah lainnya. Kalau anak sudah terpikat oleh tokoh atau kisah sejarah, tidak akan sulit bagi mereka untuk mengingat soal tanggal-tanggal atau nama-nama tempat. Bagi anak-anak, sejarah adalah panggung aksi manusia-manusia. Jauhkan dari mereka buku-buku pelajaran yang hanya berisi ringkasan fakta membosankan. Kalau tidak tersedia buku pelajaran sejarah khusus anak yang memenuhi standar living books, lebih baik anak dibacakan buku-buku sejarah untuk orang dewasa, kita tinggal menyunting atau melompati bagian bacaan yang tidak perlu ia cerna. Yang terbaik adalah kisah sejarah yang dituturkan oleh pelakunya langsung. Mitos dan legenda klasik tentang masa prasejarah dari suatu negeri, seperti Illiad dan Odyssey dalam literatur Yunani, juga layak diceritakan kepada anak-anak. Ini memperkaya perbendaharaan sastrawi mereka. Sejarah awal kemunculan bangsa atau negerinya juga sangat menarik bagi anak-anak. Kita perlu mencari buku-buku seperti Lives karya Plutarch yang berisi riwayat tokoh-tokoh historis Yunani dan Romawi. Setelah makin banyak cerita sejarah yang mereka dengarkan, anak-anak perlu membuat Buku Peradaban (book of century). Di buku itu, mereka menuliskan nama-nama tokoh atau peristiwa penting dari bacaan ke kolom-kolom abad yang sesuai. Mencatat tanggal yang akurat belum diperlukan di sini, karena tujuannya baru sebatas memantapkan konsep kronologis sejarah dari berbagai peristiwa dan pelaku sejarah dalam benak anak. Kalau anak menikmati pelajaran sejarahnya, kita akan lihat mereka membuat narasi dengan bergairah. Menggambar adegan-adegan kisah sejarah atau memainkannya sebagai drama pun mereka tidak akan kesulitan. Keuntungan intelektual dan kesenangan dalam model pembelajaran sejarah seperti ini jauh melampaui apa yang bisa anak peroleh lewat drill hafalan panjang fakta-fakta sejarah, sehebat apa pun kemampuan menghafalnya. XIX Tata Bahasa pg. 295-300 Tata bahasa adalah pelajaran abstrak, sehingga anak cenderung tidak terlalu meminatinya. Charlotte pun menganjurkan untuk tidak terburu-buru mengajarkan tata bahasa secara formal kepada anak usia muda, apalagi masih di bawah usia 9 tahun. Inti dari pelajaran tata bahasa adalah logika berbahasa. Yang perlu anak-anak pelajari awalnya adalah membedakan subjek dan kata kerja, baru kemudian bagian-bagian kalimat lainnya. Charlotte memberikan beberapa contoh latihan pelajaran tata bahasa (Inggris) yang sederhana dan mudah dicerna anak-anak. Kumpulan latihan tata bahasa

36

dari Charlotte itu kini telah diterbitkan ulang oleh Karen Andreola menjadi buku berjudul Simply Grammar. XX Bahasa Perancis hlm. 300-307 Bahasa asing wajib di era Charlotte adalah bahasa Perancis. Dalam belajar bahasa asing apa pun, organ yang harus pertama kali diandalkan adalah telinga, bukan mata. Oleh karena itu, yang perlu orangtua lakukan adalah membuat anak mendengar kata-kata dalam bahasa asing itu diucapkan dengan benar dan memastikan anak menirukan bunyinya dengan tepat pula. Anak tidak perlu melihat ejaan tertulis dari kata-kata asing tersebut sebelum ia bisa mengucapkannya dengan sempurna. Belajar bahasa baru paling mudah terjadi pada usia muda. Charlotte tidak mewajibkan anak dikondisikan multibahasa sejak bayi, namun ia merasa yakin tidak ada anak yang kesulitan belajar bahasa asing kalau cara mengajarnya pas. Yang paling ideal adalah teknik imersi, membuat anak bergaul sehari-hari dengan pembicara asli bahasa itu (native speakers). Tapi, jika kesempatan itu tidak ada, anak bisa diperkenalkan pada kosakata bahasa asing lewat percakapan sehari-hari. Kalau anak bisa belajar enam kata asing per hari, dalam setahun ia sudah akan mengumpulkan 1500 kata dalam perbendaharaan kosakatanya. Dengan memperkenalkan kosakata dalam bentuk idiom atau frase, pada akhirnya anak akan bisa mengungkapkan sedikit demi sedikit pikirannya dalam bahasa asing itu. Charlotte setuju dengan seorang pengarang program bahasa asing bernama Francois Gouin, bahwa kosakata yang penting untuk dikuasai pertama-tama adalah kata kerja ketimbang kata benda. Lewat perbendaraan kata kerja, anak bisa belajar berpikir dalam bahasa asing. Gouin juga menganjurkan anak belajar bahasa asing pertama-tama secara lisan; membaca dan menulis bisa dikerjakan belakangan setelah anak merasa sudah cukup nyaman mengucapkan bahasa itu. XXI Pelajaran Seni pg. 307-317 Pelajaran seni pada dasarnya ada dua: menciptakan karya seni dan mengapresiasi karya seni, dan sebetulnya anak lebih dulu mampu mengapresiasi sebelum ia terampil mengekspresikan pikiran atau imajinasinya lewat karya seni. Seorang anak akan membangun selera seninya dari karya-karya seni yang biasa ia jumpai. Maka, sayang sekali kalau ia hanya kenal ilustrasi pasaran, yang kelihatan mencolok tapi tak berkarakter, populer namun klise. Sejak usia 6 tahun, pelajaran apresiasi seni bisa dilakukan dengan memberi anak enam mahakarya dari salah satu maestro per caturwulan sebagai bahan studi lukisan. Di akhir caturwulan, kita minta anak bercerita tentang salah satu lukisan yang paling ia sukai. Kita tidak bisa meremehkan pengaruh satu atau beberapa maestro pada selera keindahan anak, daya pengamatannya tentang detil kehidupan dalam sebuah lukisan; anak akan diperkaya lebih daripada yang bisa kita bayangkan lewat mengamati dengan sungguhsungguh sebuah lukisan. 37

Di bagian ini, Charlotte memberi dua contoh proses pembelajaran apresiasi seni, bagaimana membuat anak mengenal latar belakang si pelukis dan tema lukisannya, membuat narasi tentang lukisan itu, sampai mereproduksinya secara sederhana, tanpa mendikte persepsi anak tentang lukisan itu. Kita harus percaya bahwa setiap anak punya jiwa seni dalam dirinya. Jangan menyetir apa yang ingin ia ekspresikan. Karya seni sebagai medium curahan hati adalah prinsip yang harus dipelihara sejak dini. Mengajari anak trik-trik memanipulasi satu gambar supaya kelihatan lebih mengesankan (supaya menang lomba lukis?), padahal anak tidak merasa terinspirasi untuk melakukannya, justru merusak jiwa seni anak. Bantuan yang kita berikan kepadanya cukuplah sebatas teknis, misalnya bagaimana mencampur warna. Arahkan anak-anak untuk suka melukis apa yang mereka amati di alam, sebagai ilustrasi bagi jurnal pribadi mereka tentang alam (nature notebooks). Ijinkan mereka menggambar dengan bentuk dan warna apa saja yang mereka inginkan, kita tidak perlu mengkoreksi atau memberi saran. Memakai cat air atau arang (pensil lunak tipe 3B ke atas?) mungkin lebih mudah bagi mereka ketimbang pensil berujung runcing. Ada beberapa pelajaran seni lain yang Charlotte anjurkan: seni rupa dengan tanah liat atau lilin plastis (malam atau playdough); seni musik, yakni memainkan instrument dan menyanyi; seni olah tubuh seperti kalistenik atau Swedish drill, menari, dan berbagai latihan jasmani yang ritmis dan musikal lainnya. Hastakarya (handicraft) perlu diajarkan untuk melatih anak terampil menciptakan sesuatu yang bermanfaat dan bermutu tinggi, sesuai tingkat kemampuannya, bukan sekedar untuk membuat dia sibuk. Prakarya yang hasil akhirnya hanya untuk dibuang di tong sampah lebih baik tidak usah dikerjakan. Dalam setiap kegiatan ini, kebiasaan mengerjakan sesuatu dengan sungguh-sungguh harus dibangun. Dengan bahasan terakhir ini, Charlotte mengakhiri daftar apa saja yang anak usia 6-9 tahun patut pelajari dan bagaimana caranya. Ia berharap setelah membaca ini, orangtua makin sadar betapa pentingnya tugas mendidik anak itu, tidak asal-asalan memilih materi pelajaran dan tidak sembarangan menyerahkan anaknya ke tangan orang lain yang kurang kompeten dalam mendidik.

Bagian IV Kehendak, Nurani, dan Bimbingan Ilahi dalam Diri Anak


I -- Kehendak hlm. 317-329 Tugas yang diemban orangtua tidak terbatas pada pengembangan kekuatan intelektual dan akademis anak. Ada tugas lain yang lebih penting daripada itu, yakni mendidik anak supaya ia menjalani kehidupan yang patut di bumi, dengan harapan memperoleh kehidupan yang lebih mulia lagi di akhirat. Untuk itu, anak harus belajar bagaimana mengendalikan seluruh tubuh dan segenap potensi dalam dirinya. Jiwa anak ibarat sebuah pemerintahan, Charlotte menamainya Kerajaan Jiwa Manusia (Kingdom of Mansoul), dan orangtua wajib mengajari anak cara menunaikan tanggung jawab mengelola kerajaannya

38

itu. Catatan: tentang seluk beluk konsep Kingdom of Mansoul, Charlotte menjabarkannya lebih lengkap dalam buku Ourselves (volume 4). Ada tiga kekuatan yang mengatur jalannya Kerajaan Jiwa Manusia. Yang pertama, kekuasaan eksekutif pemangku wewenang mengatur lalu lintas kehidupan sehari-hari anak adalah Kehendak. Kalau kehendak anak kuat, ia bisa membuat dirinya melakukan apa yang ia ingin dirinya lakukan, apa yang ia tahu harus ia lakukan. Tapi kalau kehendaknya lemah, kerajaannya yang malang akan dipenuhi kekacauan dan pemberontakan; anak akan menjadi hamba dari berbagai hasrat, selera, emosi, gairah, dan nafsu badaniahnya. Anak perlu memiliki kehendak yang kuat supaya berkuasa mengendalikan perilakunya sendiri, sehingga ia mampu menuntaskan apa yang ia pilih untuk ia kerjakan. Inilah garis yang memisahkan antara pribadi efektif dan tidak efektif, orang besar dengan kebanyakan, mereka yang berprestasi dengan yang sekedar ingin berprestasi. Orangtua perlu ingat, anak yang cerdas belum tentu pandai mengendalikan diri. Anak yang berperilaku baik pun belum bisa dikatakan berkehendak kuat kalau bukan ia sendiri yang memutuskan untuk berperilaku baik. Jangan menyalah artikan berkemauan keras dengan berkehendak kuat. Anak yang keras kepala dan selalu meminta keinginannya dituruti tidak bisa dibilang berkehendak kuat. Sebaliknya, kenyataan bahwa perilakunya diperhamba oleh emosi dan hasrat justru menunjukkan bahwa kehendaknya lemah. Selain melatih kekuatan kehendak untuk mengendalikan segenap tubuh dan proses mentalnya, anak juga perlu dibekali dengan moralitas. Tanpa moralitas, kehendak yang kuat bisa jadi berbahaya (misalnya, orang yang melatih dirinya untuk menjadi pembunuh bayaran), tapi tidak mungkin seseorang menjadi pribadi bermoral tanpa kehendak yang kuat. Sebab, kehendaklah yang memampukan kita untuk melakukan apa yang kita tahu benar sekalipun sebenarnya hal itu bertentangan dengan perasaan dan hasrat kita. Sama seperti anggota tubuh lainnya, supaya bisa mencapai kekuatan optimal, kehendak harus dipupuk dan dilatih. Orangtua bisa melatih anak dalam dua hal: membuat dia tahu betul apa yang ia mau kerjakan dan memfokuskan pikirannya pada tujuan itu. Kekuatan rahasia dari orang besar adalah ia bisa menyuruh dirinya sendiri memikirkan apa yang ia pilih untuk pikirkan. Di sini, anak perlu menguasai teknik distraksi pikiran, yaitu mengalihkan perhatiannya dari pikiran-pikiran penghambat ke arah pikiran-pikiran pendorong yang membuat ia termotivasi untuk menyelesaikan tugasnya. Kekuatan kehendak seperti ini menuntut kemampuan konsentrasi yang besar, yakni daya perhatian. Itu sebabnya membangun kebiasaan anak berkonsentrasi dan memperhatikan, seperti yang Charlotte sarankan di bagian-bagian sebelumnya, adalah tahap awal latihan kehendak. Musuh terbesar dari kehendak adalah kebiasaan-kebiasaan yang kontraproduktif. Katakan anak sangat ingin menyelesaikan suatu proyek, tapi ia terus terperangkap dalam kebiasaan menunda-nunda, sehingga akhirnya proyek itu melewati tenggat waktu dan gagal, betapa kondisi seperti itu pasti membuatnya frustrasi! Maka, 39

orangtua perlu membantu anak untuk merancang eksperimen-eksperimen latihan mengelola diri (self-management). Dalam bukunya yang lain Formation of Character (volume 5), Charlotte memberi cukup banyak contoh kasus bagaimana orangtua bisa membantu anaknya membangun kebiasaan baru yang baik sebagai ganti kebiasaan lamanya yang buruk. II Nurani hlm. 329-341 Kehendak memampukan anak untuk memutuskan dan menuntaskan rencana tindakan tertentu, tetapi di belakang Kehendak ada suara Nurani yang memberitahunya rencana tindakan mana yang boleh atau tidak boleh dipilih. Nurani berperan ibarat hakim atau pemberi hukum. Tetapi, tidak ada manusia yang terlahir dengan nurani yang sudah matang dan terlatih membedakan baik-buruk, benar-salah. Kita semua melihat betapa manusia bisa tertipu oleh kata hatinya sehingga menganggap yang jahat itu baik dan yang baik itu jahat, membuat alasan-alasan pembenar (rasionalisasi) untuk keputusannya lalu betul-betul meyakini itu sebagai benar. Supaya berfungsi dengan baik, Nurani harus didampingi oleh penasihat bernama Akal Sehat, yakni daya nalar yang cerdas menelaah dan membedakan mana yang betul-betul benar dan baik dari sekedar mitos, prasangka, fanatisme, atau kekurangpahaman. Nurani yang didampingi Akal sehat akan secara imbang menilai aspek pro dan kontra dari setiap situasi sebelum memutuskan sikap. Apa yang bisa orangtua lakukan untuk membantu pendewasaan nurani anak? Intinya adalah bagaimana agar anak peka mendeteksi dan menolak kejahatan dan sesat pikir. Kepekaan ini tidak dibangun lewat diskusi moral yang teoritis, tetapi imersi ke dalam nilai-nilai yang diajarkan agama. Jangan mengindoktrinasi, ini justru melemahkan kemampuan inteleknya. Semakin sedikit ceramah, kata Charlotte, semakin baik. Sajikan kisah-kisah bermuatan moral, terutama yang langsung tertulis dalam kitab suci, tanpa menggurui dan biarkan anak merenungkan sendiri apa pesan yang terkandung dalam kisah-kisah itu. Cegahlah tumbuhnya kebiasaan menyalahkan dan mengkritik orang lain dalam diri anak, sebab sikap menghakimi seperti ini cenderung menumpulkan hati nurani. Alih-alih, dorong dia untuk menjadikan berbagai aksi yang orang lain lakukan sebagai bahan refleksi supaya dirinya sendiri bisa berperilaku lebih baik sesuai standar moral dan agamanya. Tapi, batasi fokus refleksi ini pada membedakan perilaku yang baik dan buruk saja. Anak berusia muda jangan terlalu dalam diekspos pada introspeksi batin tentang dosa, sebab itu bisa membuatnya tenggelam ke dalam perasaan bersalah. Tujuan introspeksi dirinya cukuplah sebatas bagaimana saya bisa mengendalikan perilaku saya. Kalau anak melakukan kesalahan atau dosa, cari tahu dulu apakah ia melakukannya karena ia belum tahu itu salah atau meskipun ia sudah tahu itu salah. Dua situasi ini membutuhkan penanganan yang berbeda. Kebanyakan perilaku buruk anak-anak usia dini umumnya aksi impulsif. Mereka, misalnya, menggigit atau memukul atau merampas mainan teman mereka, sekedar mengikuti dorongan ego yang sedang tumbuh. Mereka belum paham bahwa itu salah, jadi jangan perlakukan seolah-olah mereka sudah tahu Sana masuk ke kamar, renungkan perbuatanmu! tidak bermakna apa-apa bagi mereka. 40

Kita harus percaya anak punya kemampuan membedakan baik dan jahat, sekalipun awalnya mereka belum punya konsep yang baik itu apa, yang jahat itu apa. Tugas orangtualah untuk mengajarkan konsep-konsep moral itu secara teratur dan bertahap. Kenalkan satu demi satu konsep moral melalui percakapan ringan sehari-hari. Perumpamaan adalah sarana bagus untuk menjelaskannya. Sebagai contoh, ibu bisa bicara tentang kebaikan dengan menggambarkan kepada anak bahwa di dalam hatinya ada sumur yang tersembunyi, air sumur itu sangat manis namun orang tidak akan pernah tahu rasanya sebelum air itu meluap dalam wujud tindakan-tindakan. Menyusul setelah itu adalah percakapan tentang bagaimana menunjukkan kebaikan kepada kakak, adik, teman, orangtua, para pelayan, orang-orang yang berkekurangan, makhluk-makhluk hidup, orang-orang yang belum kita kenal tapi bisa kita pikirkan yang sedang menderita kesusahan satu gagasan demi satu gagasan. Percakapan semacam ini harusnya singkat saja, jangan bertele-tele. Lebih baik mengkaji hal-hal secara positif (bagaimana bersikap jujur, sopan, menghargai orang, dan seterusnya) ketimbang memberi contoh-contoh perilaku buruk yang tidak boleh dilakukan, yang berarti memasukkan ide-ide tentang perilaku buruk itu ke dalam otak mereka. III Bimbingan Ilahi dalam Diri Anak hlm. 341-352 Anak-anak yang terdidik dalam karakter kebiasaan baik, penguasaan emosi, ketajaman daya nalar, kekuatan kehendak, dan kepekaan hati nurani akan menjadi warga negara yang berguna. Tapi masih ada satu hal genting yang tertinggal. Seorang anak bukan hanya warga negara dunia, tetapi ia juga calon warga negara surga. Roh di dalam dirinya selalu haus untuk berkomuni dengan Tuhan yang hidup. Memperkenalkan Tuhan kepada jiwa anak adalah amanah tertinggi orangtua, dan sepatutnyalah orangtua waspada menghindari kekeliruan fatal dalam hal ini. Tuhan jangan ditampilkan sekedar sebagai sosok penghukum dosa dan pengganjar kebaikan. Anak-anak perlu berkenalan dengan aspek Tuhan yang bersifat intim, bahwa Ia penuh kasih sayang, pemurah dan pengampun, mengenal setiap makhluknya secara pribadi. Orangtua sebaiknya mengajarkan hanya yang mereka betul-betul imani dan tak usah menyusahkan diri berkhotbah tentang doktrin agama yang mereka sendiri tidak terlalu paham. Membaca dan belajar Alkitab memang penting, tapi jangan terlalu sering atau terlalu panjang sehingga anak merasa terbeban, bosan, dan kehilangan rasa takzim. Hindarkan memakai pelajaran agama sebagai sarana mengkritik perilaku anak. Lebih baik biarkan firman Tuhan menjelaskan dirinya sendiri. Hikmah kitab suci yang disampaikan pada momen inspiratif akan melekat seterusnya di hati anak ketimbang kuliah-kuliah yang panjang dan menjemukan. Pujian atau ucapan syukur kepada Tuhan yang terlontar spontan dari mulut orangtua membuat anak merasakan kehadiran Tuhan dalam kegiatan sehari-hari.

Diterjemahkan oleh Ellen Kristi (2011) 41

Anda mungkin juga menyukai