Anda di halaman 1dari 50

1

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Tuberkulosis (TB) masih merupakan masalah penting bagi kesehatan karena merupakan salah satu penyebab utama kematian. Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis. Diperkirakan 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB di dunia, terjadi pada negara-negara berkembang (WHO, 2009). Data terbaru yang dikeluarkan WHO pada bulan Maret 2009 dalam Global TB Control Report 2009, menunjukkan bahwa pada tahun 2008, prevalensi TB dunia adalah 5-7 juta kasus, baik kasus baru maupun kasus relaps. Dari prevalensi ini, 2,7 juta diantaranya adalah kasus basil tahan asam (BTA) positif baru, dan 2,1 juta kasus BTA (-) baru. Tuberkulosis di Indonesia menduduki peringkat ketiga di dunia setelah India dan Cina (Depkes RI, 2006). Menurut WHO dalam Global TB Control Report (2009), prevalensi TB di Indonesia pada tahun 2008 adalah 296.514 ribu kasus baru maupun relaps. Angka insidensi kasus baru BTA positif TB di Indonesia berdasarkan hasil survei Depkes RI tahun 2007 pada 33 propinsi adalah 104 per 100.000 penduduk (Depkes RI, 2008). Diperkirakan jumlah pasien TB di Indonesia sekitar 10% dari total jumlah pasien TB di dunia. Menurut laporan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) pada tahun 2007 dalam Depkes RI (2009), menunjukkan bahwa penyakit TB merupakan penyebab kematian nomor dua setelah penyakit kardiovaskuler (stroke) pada semua kelompok usia, dan nomor satu dari golongan penyakit infeksi. Pada tahun 2008, angka temuan kasus baru (Case Detection Rate/CDR) di Indonesia sebesar 72,8% atau didapati 166.376 penderita baru dengan BTA positif. Angka kesembuhannya (Success Rate/SR) 89%. Hal ini melampaui target global,

yaitu CDR 70% dan SR 85% (Depkes RI, 2009). Sumatera Utara menduduki peringkat kelima dalam CDR TB paru menurut provinsi tahun 2008 (63,7%) setelah Sulawesi Utara, DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat (Depkes RI, 2009). Pada tahun 2007 sendiri di Sumatera Utara ditemukan 15.779 penderita TB untuk semua jenis kasus dan 13.369 diantaranya adalah kasus baru Depkes RI, 2008). Berdasarkan data kesehatan Depkes RI tahun 2007, di kota Medan terdapat 9.411 kasus dengan gejala klinis positif TB, 2.367 diobati dengan obat anti tuberkulosis (OAT) dan 1.172 dari kasus dinyatakan sembuh (49,51%). Data ini mewakili penderita TB yang mendatangi 14 Puskesmas dan Rumah Sakit di kota Medan (Depkes RI, 2008). Penyebab paling penting peningkatan TB adalah kemiskinan, ketidakpatuhan terhadap program, diagnosis dan pengobatan yang tidak adekuat, migrasi, endemik Human Immunodefisiency Virus (HIV), dan resistensi ganda (Multi Drug Resistance/MDR) (WHO, 2009). Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah pasien TB akan meningkat. Menurut data yang dikeluarkan WHO pada bulan Maret 2009, menunjukkan bahwa pada tahun 2008 angka kematian penderita TB adalah 1,1-1,7 juta pada penderita TB dengan HIV(-) dan 0,45-0,62 juta pada penderita TB dengan HIV(+). Pada tahun 2007 diestimasikan terdapat setengah juta kasus MDR (multi drug ressistance). Di Indonesia sendiri pada tahun 2007 terdapat 446 kasus yang terbukti MDR TB (7,5%) (WHO, 2009; USAID/Indonesia 2009). Resistensi obat terjadi karena buruknya kontrol TB dan adanya beberapa penyakit penyerta yang lain

seperti HIV/AIDS dan diabetes melitus (PDPI, 2006). Menurut penelitian yang dilakukan Tanjung (1998) terhadap penderita TB Paru sejak Januari 1992 Desember 1994 di RS Dr. Pirngadi/RS H. Adam Malik Medan, sebanyak 31.65% penderita TB diikuti oleh penyakit penyerta dan yang paling banyak adalah diabetes mellitus, yaitu 11.7%. Berdasarkan data-data di atas, masih banyak permasalahan dalam

menanggulangi TB, begitu juga dengan angka kematian yang masih tinggi. Salah satu penyebab masalah penanggulangan TB di Indonesia adalah terbatasnya data-data

epidemiologi (Aditama, 2002). Sejauh ini, belum didapatkan data yang tersedia dan akurat mengenai bagaimana profil dari penderita TB yang mendatangi pusat atau sentra kesehatan seperti RSUP Haji Adam Malik Medan.

1.2. Rumusan Masalah Dari permasalahan di atas, dapat dirumuskan masalah penelitan sebagai berikut: Bagaimana profil penderita Tuberkulosis Paru di Poliklinik Paru RSUP Haji Adam Malik Medan pada bulan Maret - September 2010?

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum Mengetahui profil penderita Tuberkulosis Paru di Poliklinik Paru RSUP Haji Adam Malik Medan pada bulan Maret - September 2010. 1.3.2. Tujuan Khusus Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah : 1. Mengetahui profil sosiodemografi (umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan) pada penderita Tuberkulosis Paru. 2. Mengetahui profil keluhan utama pada penderita Tuberkulosis Paru. 3. Mengetahui profil pemeriksaan hasil sputum (BTA positif, BTA negatif) pada penderita Tuberkulosis Paru. 4. Mengetahui profil berdasarkan kategori pengobatan pada penderita Tuberkulosis Paru. 5. Mengetahui profil tuberkulosis ekstraparu pada penderita Tuberkulosis Paru. 6. Mengetahui profil riwayat penyakit penyerta pada penderita

Tuberkulosis Paru. 7. Mengetahui kejadian MDR (multi drug resistance) pada penderita Tuberkulosis Paru.

1.4. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi : 1. Dinas Kesehatan Kota Medan, sebagai bahan masukan yang dapat dipergunakan sebagai bahan pertimbangan untuk membuat kebijakan dalam hal program penanggulangan TB Paru. 2. Tenaga kesehatan, sebagai informasi tambahan dalam membantu diagnosis dan menemukan kasus baru penderita TB Paru. 3. Peneliti lain, sebagai bahan informasi untuk melakukan penelitian yang lebih lanjut mengenai TB Paru.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Tuberkulosis Paru Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (Depkes, 2006). Tuberkulosis merupakan suatu penyakit granulomatosa kronis menular dimana biasanya bagian tengah granuloma tuberkular mengalami nekrosis perkijuan (Kumar, 2007).

2.2. Faktor Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Tuberkulosis Paru Adapun beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kejadian tuberkulosis paru adalah: 1. Umur Insidensi tertinggi tuberkulosis paru biasanya mengenai pada usia dewasa muda, pada usia produktif, yaitu umur 15 44 tahun (Crofton, 2002). Berdasarkan penelitian kohort Gustafon, et all (2004) terdapat suatu efek dosis respon, yaitu semakin tua umur akan meningkatkan risiko menderita tuberkulosis dengan odds rasio pada usia 25-34 tahun adalah 1, 36 dan odds rasio pada kelompok umur > 55 tahun adalah 4,08. Di Indonesia sendiri diperkirakan 75% penderita TB paru adalah kelompok usia produktif (Depkes, 2006). Usia yang lebih tua, melebihi 60 tahun, memiliki 4-5 kali risiko terinfeksi tuberkulosis, karena adanya defisit imun seiring dengan bertambahnya umur (Rao, 2009). Namun, berdasarkan penelitian meta analisis Guzman (1999) tidak ada perbedaan gejala klinis dan evaluasi diagnostik pada penderita TB dengan usia tua (> 60 tahun) dan penderita TB dengan usia muda.

2. Jenis Kelamin

Hampir tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan sampai pada umur pubertas. Namun, menurut penelitian Gustafon P., et al (2004) menunjukkan bahwa laki-laki mempunyai risiko 2,58 kali untuk menderita tuberkulosis dibandingkan dengan wanita. Mungkin hal ini berhubungan interaksi sosial. Walaupun insisden tuberkulosis paru pada wanita lebih rendah daripada pria, perkembangan infeksi TB paru menjadi penyakit TB paru pada wanita lebih cepat dibandingkan dengan pria (WHO, 2005). 3. Gizi Terdapat bukti yang jelas bahwa gizi buruk mengurangi daya tahan tubuh terhadap penyakit tuberkulosis. Faktor ini sangat penting, baik pada orang dewasa maupun pada anak (Crofton, 2002). Menurut Hernilla, et all. (2006) dalam Desmon (2006), orang yang menkonsumsi vitamin C lebih dari 90 mg/hari dan mengkonsumsi lebih dari rata-rata jumlah sayuran, buah-buahan, dan berry, secara signifikan dapat menurunkan risiko terjadinya penyakit tuberkulosis. 4. Kondisi Lingkungan Rumah Beberapa hal yang mempengaruhi kondisi lingkungan rumah dalam risiko kejadian infeksi tuberkulosis adalah kepadatan rumah, intensitas cahaya yang masuk, dan kelembapan udara (Crofton, 2002). Persentase rumah tangga di Indonesia yang masih tinggal di rumah yang padat pada tahun 2004 adalah sebesar 20% (Desmon, 2006). Menurut Dahlan (2001) dalam Desmon (2006), orang yang tinggal dengan tingkat kepadatan yang tidak memenuhi syarat kesehatan mempunyai risiko 3,8 kali untuk menderita tuberkulosis dibandingkan dengan orang yang tinggal dengan kepadatan hunian yang memenuhi syarat kesehatan. Menurut Supriyanto (1997) dalam Desmon (2006), luas lantai yang dibutuhkan oleh 1 orang adalah 8,3 m2. Intensitas cahaya yang alami, yaitu sinar matahari, sangat berperan dalam penularan kuman TB karena kuman TB relatif tidak tahan terhadap terhadap sinar matahari (Depkes, 2006). Menurut Musadad (2006) dalam Desmon (2006), rumah

yang tidak masuk sinar matahari mempunyai risiko 3,7 kali untuk menularkan tuberkulosis dibandingkan dengan rumah yang tidak dimasuki sinar matahari. Kelembapan udara mempengaruhi pertumbuhan bakteri. Menurut Desmon (2006) kelembapan udara dipengaruhi oleh ventilasi yang baik, yaitu minimal 10% dari luas lantai. Menurut Mulyadi (2003) dalam Desmon (2006), rumah yang memiliki kelembapan lebih dari 60% memiliki risiko terkena infeksi tuberkulosis 10,7 kali dibandingkan dengan rumah yang kelembapannya lebih kecil dari 60%. 5. Pendidikan Tingkat pendidikan berpengaruh terhadap perilaku kesehatan individu atau masyarakat dan perilaku terhadap penggunaan/sarana pelayanan kesehatan yang tersedia. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memanfaatkan pelayanan kesehatan yang lebih tinggi (Notoatmojo, 1993). Proporsi kejadian TB lebih banyak terjadi pada kelompok yang mempunyai pendidikan yang rendah, dimana kelompok ini lebih banyak mencari pengobatan tradisional dibandingkan pelayanan medis (Desmon, 2006). 6. Pendapatan Keluarga Pendapatan keluarga merupakan hal yang sangat penting dalam upaya pencegahan penyakit, karena dengan pendapatan yang cukup maka akan ada kemampuan menyediakan biaya kesehatan serta mampu menciptakan lingkungan rumah yang sehat dan makanan yang bergizi (Desmon, 2006). Kemiskinan memudahkan infeksi tuberkulosis berkembang menjadi penyakit tuberkulosis. Sembilan puluh persen penderita TB terjadi pada penduduk dengan status ekonomi rendah dan umumnya terjadi pada negara berkembang termasuk Indonesia (Crofton, 2002). Menurut Ibupertiwi (2004) dalam Desmon (2006), orang yang memiliki penghasilan yang rendah memilki risiko 2,4 kali untuk menderita penyakit TB dibandingkan dengan orang yang memiliki penghasilan yang tinggi.

7. Riwayat Penyakit Penyerta Beberapa penyakit penyerta tertentu rentan tertular penyakit tuberkulosis seperti penderita penyakit HIV/AIDS, hepatitis akut, kelainan hati kronik, gangguan ginjal, diabetes melitus, dan penderita pengguna kortikosteroid (Depkes, 2006; Zevitz. 2006). Penelitian yang dilakukan oleh Tanjung (1998) mendapatkan bahwa dari 733 penderita TB paru, penderita juga menderita diabetes melitus 11,7 %, hipertensi 9,28%, kelainan hati 2,7%, kelainan jantung 1,9%, kelainan ginjal 0,9% dan struma 0,4%. Penderita diabetes melitus memiliki risiko 2-3 kali lebih sering untuk terkena penyakit tuberkulosis paru. Efek hiperglikemi pada penderita diabetes melitus sangat berperan terhadap mudahnya pasien diabetes mellitus terkena infeksi (Crofton, 2002). Pada penderita TB paru dengan diabetes mellitus, kepekaan terhadap kuman TB meningkat, reaktifitas fokus infeksi lama, cenderung lebih banyak kavitas dan pada hapusan serta kultur sputum lebih banyak positif (Utami, 2005). Selain itu, pasien dengan TB dengan diabetes melitus memiliki respon yang rendah terhadap pengobatan OAT dan sering terjadi multi-drug resistant (Rao, 2009). Meningkatnya prevalensi HIV/AIDS di Indonesia membawa dampak peningkatan insidens TB serta masalah TB lainnya, seperti TB milier, TB ekstraparu, serta MDR-TB. Adanya imunokompromais pada penderita HIV/AIDS menyebabkan mudahnya penderita tersebut terinfeksi kuman TB dan cepatnya perkembangan infeksi TB menjadi penyakit TB (Rahajoe & Setyanto, 2008).

2.3. Etiologi Penyebab tuberkulosis paru adalah Mycobacterium tuberculosis. Mikobakterium adalah organisme berbentuk batang langsing, tidak berspora, tidak berkapsul, dan nonmotil yang tahan asam (yaitu mengandung banyak lemak kompleks dan mudah mengikat pewarna Ziehl-Neelsen dan kemudian sulit didekolorisasi) (Kumar, 2007).

Bakteri M. tuberculosis (MTB) adalah aerob obligat, oleh karena itu, kompleks MTB sering ditemukan di lobus paru bagian atas. Laju pertumbuhan bakteri ini cukup lambat, sekitar 15-20 jam, dengan bentuk saprofit cenderung tumbuh lebih cepat, berkembang baik pada suhu 22-230C (Todar, 2009; Jawetz, 1996). 2.4. Cara Penularan Sumber penularan infeksi Mycobacterium tuberculosis adalah pasien TB dengan BTA positif. Penularan ini terjadi secara inhalasi, yaitu bila pasien tersebut batuk atau bersin, pasien akan menyebarkan kuman udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali penderita TB BTA (+) batuk, akan dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak (Depkes RI, 2006). Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Percikan ini dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan ruangan yang gelap dan lembab. Sedangkan ventilasi yang baik, akan dapat mengurangi jumlah percikan, dan sinar matahari langsung dapat membunuh kuman TB (Depkes RI, 2006).

2.5. Patogenesis Tuberkulosis Paru 2.5.1 Tuberkulosis Primer Tuberkulosis primer merupakan bentuk penyakit yang terjadi pada orang yang belum pernah terpajan kuman TB, dengan sumber organisme adalah eksogen (Kumar, 2007). Tiga ribu droplet nuclei akan dikeluarkan oleh pasien TB dengan BTA (+) yang sedang batuk dan berbicara selama 5 menit. Droplet nuclei ini dapat terinhalasi oleh orang-orang yang ada disekitar penderita ini, sampai kejauhan sekitar 3m. Satu droplet nuclei mengandung 3 basil tuberkulosis (Todar, 2009). Ukuran basil tuberkulosis yang kecil (<5m), kuman TB yang ada dalam droplet nuclei yang terhirup, dapat menembus sistem mukosilier saluran napas sehingga dapat mencapai dan bersarang di bronkus dan alveoli. Oleh karena itu, paru merupakan port dentre lebih dari 98% kasus infeksi TB (Todar 2009).

10

Infeksi tuberkulosis dimulai saat kuman TB sudah memasuki alveolus. Pertama kali, kuman akan menghadapi neutrofil yang mengontrol penyebaran infeksi melalui produksi kemokin yang merupakan faktor kemotaktik, menginduksi pembentukan granuloma, dan mengarahkan molekul mikrobakteria ke makrofag. Kebanyakan partikel ini akan mati atau dibersihkan oleh makrofag, keluar dari percabangan trakeobronkial bersama gerakan silia dengan sekretnya (Amin, 2007). Sebagian kuman TB dapat bertahan hidup dengan cara menghambat pembentukan enzim-enzim pencernaan makrofag (Andreoli, 1997; Palomino 2007). Fase terdini pada tuberkulosis primer (<3 minggu) pada orang yang belum tersensitisasi ditandai dengan proliferasi basil tanpa hambatan di dalam makrofag alveolus dan rongga udara. Pada tahap ini, sebagian besar pasien asimptomatik atau mengalami gejala seperti flu (Kumar, 2007). Kuman yang bersarang di jaringan paru ini akan membentuk sarang tuberkulosis pneumonia kecil dan disebut sarang primer atau fokus Ghon. Fokus Ghon merupakan suatu daerah konsolidasi peradangan abuabu putih sebesar 1-1,5 cm (Amin, 2007). Basil tuberkel, baik dalam bentuk bebas maupun dalam fagosit, akan menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe regional. Penyebaran ini menyebabkan respon inflamasi yang terjadi pada saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Gabungan antara fokus primer (fokus Ghon), limfangitis, dan limfadenitis dinamakan kompleks primer (kompleks Ghon). Pada proses ini terbentuk formasi tuberkel. Bagian tengah dari tuberkel ini memiliki karakteristik, yaitu adanya nekrosis kaseosa yang konsistensinya semi-solid atau seperti keju. Pada bentuk tuberkel ini, kuman TB tidak dapat bermultiplikasi karena rendahnya pH dan lingkungan yang anoksik pada tuberkel. Walaupun demikian, kuman TB dapat bertahan hidup dorman pada tuberkel ini selama bertahun-tahun namun tidak menimbulkan gejala sakit TB (Todar, 2009). Dapat disimpulkan bahwa kompleks primer yang terbentuk pada tuberkulosis primer dapat menjadi:

11

1. Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat. Hal ini terjadi karena terbentuknya reaksi hipersensitivitas dan resistensi. Ada beberapa bukti klinis dimana kebanyakan orang yang diinfeksi oleh basilus tuberkel (90%) tidak mengalami penyakit ini selama hidupnya (Palomino, 2007; Kumar, 2007). 2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik, dan kalsifikasi di hilus. Keadaan ini terdapat pada lesi pneumonia yang luasnya lebih dari 5 mm dan kurang lebih 10% diantaranya terdapat reaktivasi lagi karena kuman yang dorman (Amin, 2007). 3. Berkomplikasi dan menyebar secara progresif, bronkogen pada paru yang bersangkutan maupun pada paru disebelahnya, secara limfogen dan hematogen ke organ tubuh lainnya (Amin, 2007). Menurut Kumar (2007), insidensi tuberkulosis primer progresif sangat tinggi pada pasien positif HIV dengan derajat imunosupresi lanjut (hitung CD4+ < 200 sel/mm3).

2.5.2. Tuberkulosis Sekunder Tuberkulosis sekunder adalah pola penyakit yang berkembang pada host yang dahulunya sudah tersensitisasi. Biasanya (90%) dihasilkan dari reaktivasi (reinfeksi) lesi primer dorman setelah beberapa dekade (Halim, 1998). Menurut Amin (2007) tuberkulosis sekunder terjadi karena imunitas yang menurun seperti malnutrisi, alkohol, penyakit maligna, diabetes, AIDS dan gagal ginjal. Lokasinya biasanya pada bagian apeks dari satu atau kedua lobus paru, dimana berkaitan dengan tingginya tegangan oksigen di apeks sehingga membantu kuman TB untuk tumbuh dengan baik (Crofton, 2002 ; Kumar 2007). Menurut Amin (2007), sarang dini dapat menjadi beberapa hal, tergantung dari jumlah kuman, virulensinya, dan imunitas pasien, sarang dini dapat menjadi: 1. Direabsorbsi kembali tanpa meninggalkan cacat. 2. Sarang yang mula-mula meluas, tetapi segera sembuh dengan serbukan jaringan fibrosis. Ada yang membungkus diri menjadi keras, menimbulkan perkapuran.

12

Sarang dini meluas sebagai granuloma berkembang menghancurkan jaringan ikat sekitarnya dan bagian tengahnya mengalami nekrosis, menjadi lembek dan membentuk suatu jaringan perkejuan (nekrosis kaseosa). Bila jaringan dibatukkan keluar, maka akan terbentuk kavitas. Kavitas ini mula-mula berdinding tipis, lamalama dindingnya menebal karena infiltrasi jaringan fibroblast dalam jumlah besar, sehingga menjadi kavitas sklerotik (kronik). Secara keseluruhan akan terdapat 3 macam sarang, yakni (Amin, 2007): 1. Sarang yang sudah sembuh. Sarang bentuk ini tidak perlu pengobatan lagi. 2. Sarang aktif eksudatif. Sarang bentuk ini perlu pengobatan yang lengkap dan sempurna. 3. Sarang yang berada antara aktif dan sembuh. Sarang bentuk ini dapat sembuh spontan, tetapi mengingat kemungkinan terjadinya eksaserbasi, sebaiknya diberi pengobatan yang lengkap dan sempurna.

2.6. Klasifikasi Tuberkulosis Paru Menurut PDPI (2006), terdapat beberapa klasifikasi TB paru, yaitu : 1. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak (BTA) a. Tuberkulosis paru BTA (+), yaitu: Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan radiologi menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan positif. b. Tuberkulosis paru BTA (-), yaitu: Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinis dan kelainan radiologi menunjukkan tuberkulosis aktif.

13

Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan M.tuberculosis positif. 2. Berdasarkan tipe pasien Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe pasien yaitu: a. Kasus baru Yaitu pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari 1 bulan. b. Kasus kambuh (relaps) Yaitu pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif biakan positif. c. Kasus defaulted atau drop out Yaitu pasien yang telah menjalani pengobatan 1 bulan dan tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai. d. Kasus gagal Yaitu pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau akhir pengobatan. atau

e. Kasus kronik Yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai pengobatan ulang dengan kategori 2 dan dengan pengawasan yang baik. f. Kasus Bekas TB Hasil pemeriksaan BTA negatif dan gambaran radiologi paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau foto serial menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT adekuat akan lebih mendukung.

14

Pada kasus dengan gambaran radiologi meragukan dan telah mendapat pengobatan OAT 2 bulan serta pada foto toraks ulang tidak ada perubahan gambaran radiologi.

2.7. Diagnosis Tuberkulosis Paru Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan bakteriologi, pemeriksaan radiologi, dan pemeriksaan penunjang lainnya. 2.7.1. Gejala Klinis Gejala klinis dari tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala respiratorik dan gejala sistemik. 2.7.1.1. Gejala Respiratorik 1. Batuk 2 minggu 2. Batuk darah 3. Sesak napas 4. Nyeri dada, timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura. Gejala respiratorik sangat bervariasi, mulai dari tidak ada gejala sampai gejala yang cukup berat, tergantung dari luas lesi. (PDPI, 2006). 2.7.1.2. Gejala sistemik 1. Demam 2. Gejala sistemik lain, seperti malaise, keringat malam, anoreksia dan berat badan menurun. (PDPI, 2006 ; Amin, 2007).

2.7.2. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin ditemukan pucatnya konjungtiva mata atau kulit pucat karena anemia, suhu demam subfebril, badan kurus atau berat badan menurun (Amin, 2007).

15

Tempat kelainan lesi tuberkulosis paru yang paling dicurigai adalah bagian apeks paru. Bila dicurigai adanya infiltrat yang agak luas maka didapatkan perkusi yang redup dan auskultasi suara napas bronkial. Akan ditemukan juga suara napas tambahan berupa ronki basah, kasar, dan nyaring. Tetapi bila infiltrat ini diliputi oleh penebalan pleura, suara napasnya menjadi vesikular melemah (Alsagaff, 1989). Pada keadaan konsolidasi dan fibrosis meningkatkan penghantaran getaran sehingga pada palpasi didapati stem frenitus meningkat serta pada auskultasi suara napas menjadi bronkovesikuler atau bronkhial. Bila tuberkulosis mengenai pleura, sering terbentuk efusi pleura. Paru yang sakit akan terlihat tertinggal dalam pernapasan. Perkusi memberikan suara pekak. Auskultasi memberikan suara lemah sampai tidak terdengar sama sekali (Halim, 1998).

2.7.3. Pemeriksaan Bakteriologik Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS) (Depkes RI, 2006). Pemeriksaan bakteriologik dari spesimen dahak dan bahan lainnya (cairan pleura, CSF, bilasan bronkus, bilasan lambung, urin, feses, dan jaringan biopsi dapat dilakukan dengan cara mikroskopis dan biakan (PDPI, 2006). Pemeriksaan mikroskopis dengan menggunakan pewarnaan Ziehl-Nielssen, sedangkan pemeriksaan biakan dengan menggunakan Egg Base Media LowensteinJensen atau Ogawa (PDPI, 2006).

2.7.4. Pemeriksaan Radiologi Pemeriksaan radiologi adalah pemeriksaan yang sensitif tapi tidak spesifik untuk mendiagnosa suatu tuberkulosis aktif (Barker, 2009). Beberapa pembagian kelainan yang dapat digunakan pada foto Rontgen adalah:

16

1. Sarang berbentuk awan dengan densitas rendah atau sedang dan batas tidak tegas. Sarang-sarang seperti ini biasanya menunjukkan bahwa proses aktif. 2. Lubang (kavitas) selalu berarti proses aktif kecuali bila lubang sudah sangat kecil yang dinamakan lubang sisa (residual cavity). 3. Sarang seperti garis-garis (fibrotik) atau bintik-bintik kapur yang

menunjukkan bahwa proses telah tenang (Rasad, 2008).

Indikasi pemeriksaan foto toraks Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakkan dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto toraks. Namun pada kondisi tertentu pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan sesuai dengan indikasi sebagai berikut (Depkes RI, 2006): 1. Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada kasus ini pemeriksaan foto toraks dada diperlukan untuk mendukung diagnosis TB paru BTA positif. 2. Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT. 3. Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang memerlukan penanganan khusus (seperti: pneumotoraks, pleuritis eksudatif, efusi perikarditis atau efusi pleural) dan pasien yang mengalami hemoptisis berat (untuk menyingkirkan bronkiektasis atau aspergiloma). Diagnosis TB Paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB (BTA) pada 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu-pagisewaktu (SPS). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan, dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan

17

pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis (Depkes RI, 2006).

2.8. Pengobatan Tuberkulosis Paru 2.8.1. Tujuan Pengobatan Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT (Depkes RI, 2006).

2.8.2. Prinsip pengobatan Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut (Depkes RI, 2006): 1. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan (Todar, 2009). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan. 2. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT= Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO). 3. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan. A. Tahap Intensif (2-3 bulan) 1. Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. 2. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. 3. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan. 4. Obat yang diberikan ada 4 jenis obat, yaitu isoniazid, rifampisin, pirazinamide, dan etambutol (HRZE) (Barker, 2009).

18

B. Tahap Lanjutan (4-7 bulan) 1. Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. 2. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah terjadinya kekambuhan. 3. Obat-obatan yang diberikan adalah isoniazid dan rifampisin (HR) (Barker, 2009).

2.8.3. Panduan Obat Antituberkulosis (OAT) Pengobatan tuberkulosis dapat dibagi menjadi beberapa bagian, sesuai dengan kategorinya (PDPI, 2006): 1. Kategori 1 a. TB paru (kasus baru), BTA positif atau pada foto toraks terdapat lesi luas. b. Paduan obat yang dianjurkan adalah 2 RHZE/4 RH atau 2 RHZE/6 HE atau 2 RHZE/4R3H3 2. Kategori 2 a. TB paru kasus kambuh. Panduan obat yang dianjurkan : 2 RHZES/1 RHZE sebelum ada hasil uji resistensi. Bila hasil uji resistensi telah ada, berikan obat sesuai dengan hasil uji resistensi. b. TB Paru kasus gagal pengobatan. Panduan obat yang dianjurkan adalah: Obat lini 2 sebelum ada hasil uji resistensi (contoh: 3-6 bulan kanamisin, ofloksasin, etionamid, sikloserin dilanjutkan 15-18 bulan ofloksasin, etionamid, sikloserin). Dalam keadaan tidak memungkinkan fase awal dapat diberikan 2 RHZES/1 RHZE. Fase lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi. Bila tidak terdapat hasil uji resistensi, dapat diberikan 5 RHE.

19

c. TB Paru kasus putus berobat. Berobat 4 bulan - BTA saat ini negatif. Klinis dan radiologi tidak aktif atau ada perbaikan maka pengobatan OAT dihentikan. Bila gambaran radiologi aktif, lakukan analisis lebih lanjut untuk memastikan diagnosis TB dengan

mempertimbangkan juga kemungkinan panyekit paru lain. Bila terbukti TB maka pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama (2 RHZES / 1 RHZE / 5R3H3E3). - BTA saat ini positif. Pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama. Berobat 4 bulan - Bila BTA positif, pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama (2 RHZES / 1 RHZE / 5R3H3E3). - Bila BTA negatif, gambaran foto toraks positif TB aktif, pengobatan diteruskan. 3. Kategori 3 a. TB paru (kasus baru), BTA negatif atau pada foto toraks terdapat lesi minimal. b. Paduan obat yang diberikan adalah 2 RHZE / 4 R3H3 4. Kategori 4 a. TB Paru kasus kronik. Paduan obat yang dianjurkan: Bila belum ada hasil uji resistensi, berikan RHZES. Bila telah ada hasil uji resistensi, berikan sesuai hasil uji resistensi (minimal OAT yang sensitif ditambah obat lini 2 (pengobatan minimal 18 bulan). b. MDR-TB, paduan obat yang dianjurkan sesuai dengan uji resistensi ditambah OAT lini 2 atau H seumur hidup.

20

2.9.

Multi-Drug Resistant (MDR) Multi-drug resistant tuberculosis adalah resistensi obat terhadap obat anti

tuberkulosis (OAT) isoniazid dan rifampisin, dengan atau tanpa resistensi terhadap OAT lainnya (Prasad, 2005). MDR-TB menyebabkan penyakit TB paru menjadi sangat fatal dan mematikan, (terutama terjadi pada pasien TB dengan HIV), dengan perkiraan terjadinya kematian 2-7 bulan setelah terinfeksi (Bang, 2009). MDR-TB dapat dibagi menjadi dua tipe, yaitu primary dan acquired. Tipe primary disebabkan karena penderita tidak diobati dengan OAT sebelumnya, sedangkan tipe acquired disebabkan karena adanya pengobatan kemoterapi pada penderita TB paru. Terdapat tiga faktor risiko penting yang mempengaruhi kejadian MDR-TB, yaitu: 1) pengobatan dengan OAT yang tidak sesuai; 2) pengobatan dengan OAT yang tidak lengkap; dan 3) adanya kontak dengan komunitas penderita TB yang memiliki prevalensi resistensi obat yang tinggi. Faktor risiko lain yang berperan adalah ko-infeksi HIV, sosioekonomi rendah, hidup di penjara, penyalahgunaan obat intravena, dan keadaan-keadaan imunokompromais seperti pasien tranplantasi, pasien dengan terapi anti-kanker, HIV/AIDS, dan diabetes mellitus (Prasad, 2005). Pengobatan dengan OAT yang lengkap (kombinasi isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol) selama 6-9 bulan adalah salah satu pencegahan yang utama MDR-TB. Bila MDR-TB telah terjadi, maka penatalaksanaan yang harus dilakukan adalah memberikan OAT lini kedua seperti levofloksasin, aminoglikosida, pirazinamid, etambutol, dan tioamida untuk jangka waktu yang lama, yaitu 18-24 bulan, dengan efek samping yang lebih lama dan biaya yang lebih mahal (Prasad, 2005).

2.10. Tuberkulosis Ekstraparu Tuberkulosis ekstraparu yang banyak ditemukan adalah tuberkulosis kelenjar, skrofuloderma, tuberkulosis pleura, meningitis tuberkulosis, tuberkulosis tulang, dan tuberkulosis abdomen. Tuberkulosis ekstrapulmonal biasanya sekunder terhadap

21

penyakit TB paru, akibat penyebaran limfo-hematogen, tetapi juga bisa akibat penyebaran lesi primer (Rahajoe & Setyanto, 2008)

2.10.1. Tuberkulosis Kelenjar Limfe Superfisialis Limfadenitis biasanya merupakan komplikasi dini TB primer, umumnya terjadi dalam 6 bulan pertama setelah infeksi. Sebagian besar infeksi kelenjar limfe superfisialis terjadi akibat penyebaran limfogen dan hematogen (Rahajoe & Setyanto, 2008 ; Baker, 2009). Manifestasi klinis sering terjadi di kelenjar leher, kemudian lebih sedikit di daerah aksila dan inguinal.

2.10.2. Tuberkulosis Pleura Efusi pleura adalah penumpukan abnormal cairan di dalam rongga pleura. Efusi pleura dan pleuritis biasanya merupakan komplikasi dini TB primer dan sering terjadi pada anak-anak. Efusi pleura TB dapat ditemukan dalam dua bentuk, yaitu serosa dan empiema (Rahajoe & Setyanto, 2008 ; Baker 2009). Pleuritis TB biasanya bermanifestasi sebagai penyakit demam akut yang disertai dengan batuk produktif, nyeri dada, penurunan berat badan dan malaise (Baker, 2009).

2.10.3. Tuberkulosis tulang Insidens tuberkulosis tulang dan sendi berkisar 1-7% dari seluruh tuberkulosis. TB tulang belakang merupakan kejadian tertinggi diikuti sendi panggul dan juga sendi lutut. Umumnya TB tulang mengenai satu tulang. TB pada tulang belakang dikenal sebagai spondilitis tuberkulosis, TB pada panggul disebut koksitis tuberkulosis, sedangkan pada sendi lutut disebut gonitis tuberkulosis (Rahajoe & Setyanto, 2008). Gejala spesifik yang timbul pada tuberkulosis tulang adalah bengkak, kaku, kemerahan, dan nyeri pada pergerakan. Kelainan pada tulang belakang disebut

22

gibbus, yang menampakkan gejala benjolan pada tulang belakang yang tidak menunjukkan tanda-tanda peradangan, tidak nyeri tekan, dan menimbulkan abses dingin (Rahajoe & Setyanto, 2008).

2.10.4. Tuberkulosis Sistem Saraf Pusat Tuberkulosis pada sistem saraf pusat ditemukan dalam tiga bentuk, yaitu meningitis, tuberkuloma, dan araknoiditis spinalis. Fokus tuberkel tersebar di otak atau selaput otak, yang terbentuk pada saat penyebaran hematogen selama masa inkubasi infeksi TB primer. Meningitis tuberkulosis memiliki proporsi yang kecil pada penyakit tuberkulosis, tetapi kejadian ini sangat penting karena angka kematiaan dan morbiditas yang tinggi (Baker, 2009.

23

BAB 3 KERANGKA KONSEP PENELITIAN dan DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah: Profil Penderita TB Paru: 1. Sosiodemografi, yaitu: a. Umur b. Jenis kelamin c. Pendidikan d. Pekerjaan 2. Keluhan Utama Penyakit Tuberkulosis Paru 3. Hasil Pemeriksaan Sputum (BTA positif / BTA negatif) 4. Kategori Pengobatan 5. Riwayat Penyakit Penyerta 6. Tuberkulosis Ekstraparu 7. Multi-drug Ressistant (MDR) Tuberkulosis

3.2. Definisi Operasional Tuberkulosis paru adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis), dimana kuman ini paling banyak menyerang organ paru. Diagnosis TB paru ditegakkan ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB (BTA) pada 3 spesimen dalam 2 hari. Diagnosis

24

penyakit tuberkulosis paru diperoleh dari diagnosis dokter yang tertera dalam rekam medis pasien. Profil pasien Tuberkulosis Paru meliputi: 1. Sosiodemografi berasal dari dua kata, sosial dan demografi. Demografi adalah suatu ilmu yang mempelajari penduduk di suatu wilayah terutama mengenai jumlah, struktur (umur, jenis kelamin, agama, dll), dan proses perubahannya (kelahiran, kematian, perkawinan, dll). Sedangkan sosial adalah salah satu komponen variabel nondemografi, mencakup pendidikan, pekerjaan, dll. Dalam penelitian ini, sosiodemografi meliputi beberapa hal, yaitu: a. Umur adalah usia pasien dihitung dari tanggal lahir yang tertulis dalam rekam medis sampai waktu pengambilan data dalam ukuran tahun. Informasi ini dapat diperoleh dari rekam medis. Hasil dari umur dibagi dalam beberapa kelompok umur, yaitu: 1) 15-24 tahun; 2) 25-34 tahun; 3) 35-44 tahun; 4) 4554 tahun; 5) 55-64 tahun; dan 6) 65 tahun. Dalam penelitian ini, umur termasuk ke dalam skala interval. b. Jenis kelamin adalah jenis kelamin yang tercantum dalam rekam medis, akan diperoleh hasil apakah laki-laki atau perempuan. Dalam penelitian ini, jenis kelamin termasuk ke dalam skala nominal. c. Pendidikan adalah jenjang pendidikan formal yang pernah dilalui pasien, dimana informasi ini diperoleh dari rekam medis pasien. Hasil yang didapatkan dari pendidikan dibagi dalam beberapa kelompok, yaitu: 1) Tidak sekolah; 2) SD; 3) SMP; 4) SMA; 5) D3/D4/S1. Dalam penelitian ini, pendidikan termasuk ke dalam skala ordinal. d. Pekerjaan adalah jenis pekerjaan penderita yang dilakukan untuk membiayai kehidupannya, yang diperoleh dari informasi rekam medis pasien. Hasil yang didapatkan dari pekerjaan dibagi dalam beberapa kelompok, yaitu: 1) Petani; 2) PNS/ TNI/ POLRI; 3) Wiraswasta; 4) Pegawai Swasta; 5) Pensiunan PNS/

25

TNI/ POLRI; 6) Tidak Bekerja, dll. Dalam penelitian ini, pekerjaan termasuk ke dalam skala nominal. 2. Keluhan utama adalah keluhan yang paling dirasakan pasien dan menjadi penyebab pasien datang berobat. Keluhan utama pasien diperoleh melalui indormasi yang terdapat dalam rekam medis pasien. Dalam penelitian ini, keluhan utama termasuk ke dalam skala nominal. Keluhan utama dibagi dalam 2 kelompok, yaitu: a. gejala respiratorik Batuk 2 minggu Batuk darah Sesak napas

c. Nyeri dada b. gejala sistemik d. Demam e. Gejala sistemik lain, seperti malaise, keringat malam, anoreksia dan berat badan menurun c. gejala tuberkulsis ekstraparu benjolan di leher kaku kuduk gibus dan lain-lain

3. Hasil pemeriksaan sputum adalah hasil yang didapatkan dari pemeriksaan dahak sebanyak tiga kali (sewaktu-pagi-sewaktu). Hasil yang didapatkan bisa BTA (+) atau BTA (-), di mana hasil ini diperoleh dari informasi yang terdapat dalam rekam medis pasien. Dalam penelitian ini, hasil pemeriksaan sputum termasuk ke dalam skala nominal. 4. Kategori pengobatan adalah pengkategorian pasien sesuai dengan kasus penderita dan panduan pengobatannya. Kategori pengobatan ini diperoleh dari informasi

26

yang terdapat dalam rekam medis pasien. Dalam penelitian ini, kategori pengobatan termasuk ke dalam skala ordinal. Hasil yang akan didapatkan yaitu adanya 5 kategori pengobatan, yaitu: a. Kategori 1 : f. TB paru (kasus baru), BTA positif atau pada foto toraks terdapat lesi luas. g. Paduan obat yang dianjurkan adalah 2 RHZE/4 RH atau 2 RHZE/6 HE atau 2 RHZE/4R3H3 b. Kategori 2 : d. TB paru kasus kambuh. Paduan obat yang dianjurkan : 2 RHZES/1 RHZE sebelum adahasil uji resistensi. Bila hasil uji resistensi telah ada, berikan obat sesuai dengan hasil uji resistensi. e. TB paru kasus gagal pengobatan. Paduan obat yang dianjurkan adalah: Obat lini 2 sebelum ada hasil uji resistensi (contoh: 3-6 bulan

kanamisin, ofloksasin, etionamid, sikloserin dilanjutkan 15-18 bulan ofloksasin, etionamid, sikloserin). Dalam keadaan tidak memungkinkan fase awal dapat diberikan 2 RHZES/1 RHZE. Fase lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi. Bila tidak terdapat hasil uji resistensi, dapat diberikan 5 RHE.

f. TB Paru kasus putus berobat. 1) Berobat 4 bulan - BTA saat ini negatif. Klinis dan radiologi tidak aktif atau ada perbaikan maka pengobatan OAT dihentikan. Bila gambaran radiologi aktif, lakukan analisis lebih lanjut untuk memastikan diagnosis TB dengan mempertimbangkan juga kemungkinan panyekit paru lain. Bila terbukti TB maka pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama (2 RHZES / 1 RHZE / 5R3H3E3).

27

- BTA saat ini positif. Pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama 2) Berobat 4 bulan

- Bila BTA positif, pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama (2 RHZES / 1 RHZE / 5R3H3E3). - Bila BTA negatif, gambaran foto toraks positif TB aktif, pengobatan diteruskan. c. Kategori 3 : g. TB paru (kasus baru), BTA negatif atau pada foto toraks terdapat lesi minimal. h. Paduan obat yang diberikan adalah 2 RHZE / 4 R3H3 d. Kategori 4 : h. TB paru kasus kronik. Paduan obat yang dianjurkan: - Bila belum ada hasil uji resistensi, berikan RHZES. - Bila telah ada hasil uji resistensi, berikan sesuai hasil uji resistensi (minimal OAT yang sensitif ditambah obat lini 2 (pengobatan minimal 18 bulan). i. MDR TB, paduan obat yang dianjurkan sesuai dengan uji resistensi ditambah OAT lini 2 atau H seumur hidup. 5. Riwayat penyakit penyerta adalah jenis penyakit lain yang diderita pasien selain TB paru yang terdapat dalam rekam medis. Informasi riwayat penyakit penyerta diperoleh dari rekam medis pasien. Riwayat penyakit penyerta yang bisa didapatkan yaitu: 1) HIV/AIDS; 2) diabetes mellitus; 3) hipertensi; 4) dan lainlain. Dalam penelitian ini, riwayat penyakit penyerta termasuk ke dalam skala nominal. 6. Tuberkulosis ekstraparu adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya kelenjar getah bening, selaput otak, tulang, ginjal, saluran

28

kencing, dll. Informasi adanya tuberkulosis ekstraparu pada pasien diperoleh dari rekam medis. Dalam penelitian ini, tuberkulosis ekstraparu termasuk ke dalam skala nominal. 7. Multi-drug resistant (MDR) tuberkulosis adalah resistensi obat terhadap obat anti tuberkulosis (OAT) isoniazid dan rifampisin, dengan atau tanpa resistensi terhadap OAT lainnya. Informasi kejadian MDR ini diperoleh melalui rekam medis, berdasarkan diagnosis dokter yang tertera dalam rekam medis. Hasil yang akan didapatkan adalah ada atau tidaknya MDR-TB. Dalam penelitian ini, MDR-TB termasuk ke dalam skala nominal.

29

BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif dengan desain cross sectional.

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian 4.2.1. Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret sampai September 2010. 4.2.2. Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di Poliklinik Paru RSUP Haji Adam Malik Medan.

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian 4.3.1. Populasi Populasi penelitian ini adalah seluruh penderita TB Paru yang berobat jalan di Poliklinik Paru RSUP H. Adam Malik Medan. 4.3.2. Sampel Sampel adalah semua populasi dari penelitian ini, yaitu semua penderita TB Paru yang berobat jalan di Poliklinik Paru RSUP H. Adam Malik Medan dari bulan Maret 2010 sampai bulan September 2010 (total sampling).

4.4. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data diperoleh dari data sekunder, yaitu rekam medis penderita TB Paru yang berobat jalan di Poliklinik Paru RSUP Haji Adam Malik Medan, kemudian hal hal yang diperlukan dicatat dan ditabulasikan sesuai dengan kebutuhan peneliti.

30

4.5. Pengolahan dan Analisis Data Semua data yang telah dikumpulkan diolah dan disajikan dengan bantuan program Statistical Product and Service Solution (SPSS) 17.0, kemudian disusun dalam bentuk tabel distribusi sesuai dengan tujuan penelitian dan kemudian dituangkan dalam bentuk diagram bila diperlukan.

31

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Deskripsi Lokasi Penelitian Penelitian ini berlangsung di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik yang beralamat di Jalan Bunga Lau no. 17 Kecamatan Medan Tuntungan Kotamadya Medan Provinsi Sumatera Utara. Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik merupakan rumah sakit kelas A, sesuai dengan SK Menkes

No. 335/Menkes/SK/VII/1990 dan sesuai dengan SK Menkes No. 502/Menkes /SK/IX/1991, RSUP H. Adam Malik juga merupakan pusat rujukan wilayah Pembangunan A yang meliputi Provinsi Sumatera Utara, Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat dan Riau. Penelitian ini dilakukan di Subbagian Poliklinik Paru dan Subbagian Rekam Medis Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik.

32

5.2. Karakteristik Subjek Penelitian 5.2.1 Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Sosiodemografi Tabel 5.1. Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Sosiodemografi
Sosiodemografi Umur 15-24 tahun 25-34 tahun 35-44 tahun 45-54 tahun 55-64 tahun >65 tahun Jenis Kelamin laki-laki perempuan Pendidikan Tidak sekolah SD SMP SMA D3/D4/S1 Pekerjaan petani PNS/TNI/POLRI wiraswasta pegawai swasta pensiunan PNS/TNI/POLRI tidak bekerja supir tukang pekerja lepas N 65 44 40 68 27 9 173 80 4 51 72 101 25 26 25 70 35 2 84 5 1 5 %Frekuensi 25,7 17,4 15,8 26,9 10,7 3,6 68,4 31,6 1,6 20,2 28,5 39,9 9,9 10,3 9,9 27,7 13,8 0,8 33,2 1,9 0,4 1,9

5.2.2. Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Keluhan Utama Tabel 5.2. Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Keluhan Utama
Keluhan Utama gejala sistemik gejala respiratorik gejala TB ekstraparu Total N 16 227 10 253 % Frekuensi 6.3 89.7 4.0 100.0

33

Tabel 5.3. Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Keluhan Keluhan batuk batuk dahak batuk darah nyeri dada sesak nafas demam keringat malam lemas BB menurun benjolan di leher nyeri ulu hati nyeri perut N 219 176 64 51 73 88 56 49 50 13 2 2 % Frekuensi 86,6 69,6 25,3 20,2 28,9 34,8 22,1 19,4 19,8 5,1 0.8 0.8

5.2.3. Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Hasil Pemeriksaan Sputum BTA, Kategori Pengobatan dan MDR TB Tabel 5.4. Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Hasil Pemeriksaan Sputum BTA, Kategori Pengobatan dan MDR TB Karakteristik Hasil Sputum BTA positif negatif Kategori Pengobatan kategori 1 kategori 2 kategori 3 kategori 4 MDR TB positif negatif N 209 44 202 34 13 4 4 249 %Frekuensi 82,6 17,4 79,8 13,4 5,1 1,6 1,6 98,4

34

5.2.4. Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Riwayat Penyakit Penyerta Tabel 5.5. Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Riwayat Penyakit Penyerta
Penyakit Penyerta Ca ovarium Dispepsia DM + hipertensi DM tipe 2 Hepatitis akut Hipertensi HIV/AIDS Mikosis paru NPC PPOK Tumor paru Ulkus peptikum Tidak ada Total N 1 8 4 42 7 2 4 3 3 1 1 2 175 253 % Frekuensi 0.4 3.2 1.6 16.6 2.8 0.8 1.6 1.2 1.2 0.4 0.4 0.8 69.2 100.0

5.2.5. Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Tuberkulosis Ekstraparu Tabel 5.6. Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Tuberkulosis Ekstraparu
Jenis TB ekstraparu kolitis TB dan pleuritis TB efusi perikard empiema TB faringitis TB laringitis TB limfadenitis TB pleuritis TB spondilitis TB TB kulit TB milier TB peritoneum TB wrist joint tuberkuloma otak tidak ada Total N 1 1 1 1 1 13 21 3 2 3 2 1 1 202 253 % Frekuensi 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 5.1 8.3 1.2 0.8 1.2 0.8 0.4 0.4 79.8 100.0

35

5.2.6. Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Umur dan Hasil Pemeriksaan BTA Tabel 5.7. Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Umur dan Hasil Pemeriksaan BTA
Hasil Pemeriksaan BTA positif negatif 52 13 20.6% 5.1% 39 5 15.4% 2.0% 33 7 13.0% 2.8% 55 13 21.7% 5.1% 23 4 9.1% 1.6% 7 2 2.8% 0.8% 209 44 82.6% 17.4% Total 65 25.7% 44 17.4% 40 15.8% 68 26.9% 27 10.7% 9 3.6% 253 100.0%

15-24 thn 25-34 thn Umur pasien 35-44 thn 45-54 thn 55-64 thn > 65 thn Total

N % Frekuensi N % Frekuensi N % Frekuensi N % Frekuensi N % Frekuensi N Frekuensi N % Frekuensi

5.2.7. Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Umur dan MDR TB Tabel 5.8. Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Umur dan MDR TB
multi-drug resistance TB positif negatif 0 65 .0% 25.7% 2 42 0.8% 16.6% 1 39 0.4% 15.4% 0 68 0% 26.9% 1 26 0.4% 10.3% 0 9 0% 3.6% 4 250 1.6% 98.8% Total 65 25.7% 44 17.4% 40 15.8% 68 26.9% 27 10.7% 9 3.6% 253 100.0%

15-24 thn 25-34 thn 35-44 thn umur pasien 45-54 thn 55-64 thn > 65 thn Total

N % Frekuensi N % Frekuensi N % Frekuensi N % Frekuensi N % Frekuensi N % Frekuensi N % Frekuensi

36

5.2.8. Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin dan MDR TB Tabel 5.9. Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin dan MDR TB multi-drug resistance TB positif negatif 4 169 1.6% 66.8% 0 80 0 31.6% 4 249 1.6% 98.4% Total 173 68.4% 80 31.6% 253 100.0%

jenis kelamin pasien Total

laki-laki perempuan

N % frekuensi N % frekuensi N % frekuensi

5.2.9. Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Hasil Pemeriksaan BTA dan MDR TB Tabel 5.10. Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Hasil Pemeriksaan BTA dan MDR TB

hasil pemeriksaan BTA Total

positif negatif

N % Frekuensi N % Frekuensi N % Frekuensi

multi-drug resistance TB positif negatif 4 205 1.6% 81.0% 0 44 .0% 17.4% 4 249 1.6% 98.4%

Total 209 82.6% 44 17.4% 253 100.0%

37

5.2.10. Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Riwayat Penyakit Penyerta dan MDR TB Tabel 5.11. Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Riwayat Penyakit Penyerta dan MDR TB
multi-drug resistance TB positif negatif 0 1 0.0% 0.4% 1 0.4% 0 0.0% 1 0.4% 0 0.0% 0 0.0% 0 0.0% 0 0.0% 0 0.0% 0 0.0% 0 0.0% 0 0.0% 2 0.8% 4 1.6% 7 2.8% 4 1.6% 41 16.2% 7 2.8% 2 0.8% 4 1.6% 3 1.2% 3 1.2% 1 0.4% 1 0.4% 2 0.8% 173 68.4% 249 98.4% Total 1 0.4% 8 3.2% 4 1.6% 42 16.6% 7 2.8% 2 0.8% 4 1.6% 3 1.2% 3 1.2% 1 0.4% 1 0.4% 2 0.8% 175 69.2% 253 100.0%

Ca ovarium

Dyspepsia

DM + hipertensi

DM tipe 2

Riwayat penyakit penyerta TB

hepatitis akut

Hipertensi

HIV/AIDS

mikosis paru

NPC

PPOK

tumor paru

ulkus peptikum

tidak ada

Total

N % Frekuensi N % Frekuensi N % Frekuensi N % Frekuensi N % Frekuensi N % Frekuensi N % Frekuensi N % Frekuensi N % Frekuensi N % Frekuensi N % Frekuensi N % Frekuensi N % Frekuensi N % Frekuensi

38

5.3. Pembahasan Dari hasil penelitian diperoleh bahwa penderita tuberkulosis paru banyak yang berada pada kelompok umur 45 54 tahun dengan jumlah 68 orang (26,9%). Jumlah ini tidak berbeda jauh dengan kelompok umur 15 24 tahun yaitu 65 orang (25,7%). Hasil penelitian ini sesuai dengan pedoman yang diungkapkan oleh Depkes RI (2006) bahwa 75% penderita tuberkulosis berada pada usia produktif, yaitu kelompok umur 15 44 tahun. Namun begitu, hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian kohort yang dilakukan oleh Gustafon, et al (2004), dimana diungkapkan bahwa terdapat suatu efek dosis respon, yaitu semakin tua umur akan semakin meningkatkan risiko menderita tuberkulosis dengan odds rasio pada usia 25-34 tahun adalah 1, 36 dan odds rasio pada kelompok umur > 55 tahun adalah 4,08. Hal ini dikarenakan pada penelitian Gustafon, et al dilakukan di negara maju yang memiliki karakteristik umur terbanyak pada usia lanjut. Berdasarkan penelitian Rasmin dkk (2006) di RS Persahabatan, kelompok umur terbanyak yang menderita tuberkulosis paru adalah pada umur 26 36 tahun yaitu 111 orang (42,0%) dan kelompok umur terkecil adalah umur 66 75 tahun yaitu 15 orang (5,7%). Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa mayoritas penderita tuberkulosis paru di RSUP Haji Adam Malik Medan berjenis kelamin laki-laki yaitu 173 orang (68,4%). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Gustafon , et al (2004) yang menunjukkan bahwa laki-laki mempunyai risiko 2,58 kali untuk menderita tuberkulosis dibandingkan dengan wanita, dimana hal ini mungkin berhubungan dengan interaksi sosial laki laki lebih tinggi dibandingkan wanita sehingga kemungkinan transmisi TB lebih besar. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa subjek penelitian banyak yang memiliki tingkat pendidikan cukup yaitu tamat SMA sebanyak 101 orang (39,9%). Hal ini tidak sesuai dengan penelitian Desmon (2006) yang mengungkapkan bahwa orang dengan tingkat pendidikan menengah ke bawah memiliki risiko 2,51 kali lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang tingkat pendidikannya lebih tinggi. Kondisi

39

ini dapat disebabkan oleh kesadaran yang tinggi untuk memeriksakan kondisi kesehatannya pada pasien yang berobat ke Poliklinik Paru di RSUP Haji Adam Malik Medan. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa sebagian besar subjek penelitian tidak bekerja yaitu 84 orang (32,2%). Hal ini sejalan dengan penelitian Rusnoto (2006) bahwa proporsi pekerjaan penderita tuberkulosis pada 106 subjek penelitian adalah petani sebanyak 43 orang (43,6%). Berdasarkan teori dalam Crofton (2002), diungkapkan bahwa 90% penderita TB terjadi pada penduduk dengan status ekonomi rendah. Selain itu, menurut penelitian Desmon (2006), orang yang memiliki pendapatan yang lebih kecil dari rata-rata pendapatan per kapita nasional berisiko 1,64 kali untuk menderita TB paru dibandingkan dengan pendapatan yang lebih tinggi. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa mayoritas subjek penelitian memiliki keluhan utama berupa gejala respiratorik yaitu 228 orang (89,7%). Pada subjek penelitian, keluhan yang ditemukan dapat lebih dari satu. Keluhan yang paling banyak dikeluhkan adalah batuk sebanyak 219 orang (86,6%). Menurut penelitian Tanuwiharja (2001) pada 109 subjek penelitian yang memiliki keluhan utama batuk kronik, 79 orang diantaranya (72,5%) adalah penderita TB dengan PCR TB (+). Hal ini juga sesuai dengan teori yang terdapat dalam Crofton (2002) bahwa gejala yang paling banyak dikeluhkan oleh penderita TB adalah batuk kronik (> 3 minggu). Berdasarkan hasil pemeriksaan sputum BTA, sebagian besar subjek penelitian pada penelitian ini memiliki sputum BTA positif yaitu 209 orang (82,6%). Hal ini sejalan dengan penelitian Rasmin dkk (2006) dimana didapatkan sebanyak 227 orang (86%) yang memiliki BTA positif. Berdasarkan teori Crofton (2002) pasien TB paru yang memiliki sputum BTA positif adalah orang yang sangat infektif menularkan infeksi TB kepada orang lain. Menurut Schoch & Rieder (1996) dalam penelitiannya di Zimbabwe, didapatkan bahwa dari 196 pasien TB dengan sputum BTA (+), 127 orang diantaranya menderita HIV/AIDS (65%). Sehingga pasien TB dengan BTA (+) selain merupakan media transmisi yang paling efektif bagi orang lain disekitarnya,

40

juga merupakan faktor risiko untuk terjadinya HIV/AIDS positif. Dalam penelitian tersebut dinyatakan bahwa risiko ini tidak ada perbedaan antara negara dengan prevalensi HIV/AIDS yang tinggi dengan negara dengan prevalensi yang rendah, karena adanya kesamaan karakteristik dan demografi pada penderita TB tersebut. . Dari hasil penelitian, sebagian besar subjek penelitian mendapatkan pengobatan kategori 1 yaitu 202 orang (79,8%). Kategori 1 adalah kategori pengobatan untuk TB paru dengan kasus baru dengan BTA positif atau BTA negatif dengan lesi luas pada gambaran radiologi. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Rasmin dkk (2006) di RS Persahabatan dengan jumlah sampel 264 orang, dimana didapatkan sebanyak 225 orang (85,2%) mendapatkan pengobatan kategori 1. Dari hasil penelitian, hanya sebagian kecil subjek penelitian yang mendapatkan pengobatan kategori 4 yaitu 4 orang (1,6%). Kondisi ini dapat disebabkan karena di Poliklinik Paru RSUP Haji Adam Malik Medan banyak didapatkan kasus baru TB dan pasien yang datang memiliki kesadaran untuk mengkonsumsi OAT secara adekuat atau kurangnya pemeriksaan kultur dan uji sensitivitas. Dari hasil penelitian, mayoritas subjek penelitian tidak mengalami MDR TB yaitu 249 orang (98,4%) dan hanya empat orang (1,6%) subjek penelitian saja yang mengalami MDR TB. Hal ini sejalan dengan penelitian Rasmin dkk (2006) di RS Persahabatan dimana jumlah penderita TB dengan kasus MDR (+) ditemukan sebanyak 12 orang (4,5%) dan jumlah penderita TB dengan kasus MDR (-) ditemukan lebih banyak yaitu 252 orang (95,5%). Namun begitu, hasil ini tidak sejalan dengan penelitan Tanjung (1998) di RS Pirngadi dimana ditemukan 96% TB yang resisten dengan satu atau lebih gabungan OAT. Kejadian MDR TB dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti pengobatan yang tidak adekuat, koinfeksi HIV/AIDS, lingkungan dimana banyak yang juga mengalami MDR TB, keadaan imunosupresif dan adanya penyakit penyerta seperti DM tipe 2 (Prasad, 2005). Kondisi ini dapat disebabkan oleh karena pasien TB paru yang berobat di Poliklinik Paru RSUP Haji Adam Malik Medan memiliki kesadaran yang tinggi untuk menuntaskan pengobatan

41

OAT secara adekuat atau mungkin kurang dilakukannya uji kultur dan sensitivitas pada pasien TB Paru di RSUP Haji Adam Malik Medan. Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar subjek penelitian tidak memiliki riwayat penyakit penyerta yang merupakan faktor risiko untuk mendapatkan penyakit tuberkulosis paru, yaitu 175 orang (69,2%). Adapun riwayat penyakit penyerta yang paling banyak diderita pada pasien TB paru adalah diabetes mellitus tipe 2 yaitu 42 orang (16,6%). Hal ini sesuai dengan teori dalam Crofton (2002) bahwa penderita diabetes mellitus memiliki risiko 2-3 kali terkena penyakit tuberkulosis paru. Begitu juga dengan penelitian Tanjung (1998), ada 11,7% penderita tuberkulosis paru dengan riwayat penyakit penyerta diabetes mellitus. Menurut Ljubic, et all (2005), diabetes mellitus tipe 2 memiliki insidensi tinggi untuk terjadinya TB paru, respon OAT yang buruk sehingga rentan untuk terjadinya resistensi OAT dan perkembangan TB yang sangat cepat. Hal ini dikarenakan keadaan hiperglikemia kronik yang membuat respon imun menjadi buruk dan memberikan tempat yang baik bagi perkembangan Mikobakterium tuberkulosis dan juga dikarenakan status nutrisi yang tidak seimbang pada pasien DM tipe 2. Dari data hasil penelitian sebagian besar subjek penelitian tidak menderita tuberkulosis ekstraparu yaitu 202 orang (79,8%). Pada subjek penelitian yang memiliki tuberkulosis ekstraparu, sebagian besar menderita pleuritis TB yaitu 21 orang (8,3%) dan limfadenitis TB 13 orang (5,1%). Hal ini sesuai dengan teori Crofton (2002) bahwa tuberkulosis ekstraparu yang paling sering dialami adalah pleuritis TB dan limfadenitis TB. Peneliti belum menemukan penelitian lain yang mengungkapkan prevalensi tuberkulosis ekstraparu mana yang paling banyak diderita. Dalam suatu statistika, dapat dilakukan suatu distiribusi silang. Dalam distibusi subjek penelitian berdasarkan kelompok umur dan hasil pemeriksaan BTA, kelompok umur terbanyak, yaitu umur 45 54 tahun, terdapat 21% (55 orang) yang memiliki hasil sputum BTA positif. Sama halnya dengan penelitian Rasmin dkk (2006) di RS Persahabatan Jakarta, pada kelompok umur terbanyak pada penelitian

42

tersebut (26 35 tahun) didapatkan sebanyak 88,3% diantaranya (98 orang) adalah BTA positif. Akan tetapi, berdasarkan penelitian meta analisis Guzman (1999) didapatkan bahwa kelompok umur > 60 tahun lebih banyak mendapatkan hasil sputum BTA positif, dimana hal ini dihubungkan dengan menurunnya fungsi imun tubuh, namun belum ditemukan penelitian lebih lanjut. Perbedaan ini dikarenakan penelitian tersebut dilakukan pada negara maju dengan angka prevalensi yang rendah dan sebagian besar penderita TB di negara tersebut adalah usia tua. Kejadian MDR TB pada penelitian ini terbanyak pada kelompok umur 25 34 tahun (dua orang dari empat orang yang ditemukan dari seluruh subjek

penelitian). Hal ini sesuai dengan penelitian Munir, Nawas & Sutoyo (2009) pada 101 subjek penelitian dengan MDR TB, didapatkan 36 orang diantaranya (35,6%) berada pada kelompok umur 25 34 tahun. Begitu juga dengan penelitian Rasmin dkk (2006) didapatkan bahwa penderita MDR TB terbanyak pada kelompok umur 26 35 tahun, yaitu tujuh orang (6,3%) dari 12 orang MDR TB yang ditemukan dalam 264 subjek penelitian. Seperti halnya pada TB paru, semua kejadian MDR TB pada penelitian ini terjadi pada jenis kelamin laki-laki, yaitu empat orang (1,6%) dari 169 orang subjek penelitian yang berjenis kelamin laki-laki. Hal ini sejalan dengan penelitian Munir, Nawas & Sutoyo (2009) didapatkan 53 orang (52,5%) dari 101 orang subjek penelitian yang MDR TB adalah laki-laki. Angka kejadian TB baik MDR TB negatif atau MDR TB positif selalu ditemukan lebih tinggi pada laki-laki. Hal ini selalu dikaitkan dengan tingginya kehidupan sosial laki-laki. Namun belum ditemukan adanya penelitian yang mengungkapkan bagaiman hubungan kejadian TB paru pada laki-laki. Seluruh subjek penelitian yang mengalami MDR TB mempunyai hasil sputum BTA positif. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan dalam penelitian Rasmin dkk (2006) dimana seluruh MDR TB yang ditemukan pada 264 subjek penelitian (12 orang) memiliki hasil sputum BTA positif.

43

Dari hasil penelitian terdapat empat orang subjek penelitian yang mengalami MDR TB, dengan satu diantaranya disertai dengan penyakit penyerta diabetes meliitus, satu orang diantaranya disertai dengan dispepsia, dan dua orang lagi tidak disertai dengan penyakit penyerta. Menurut Prasad (2005) keadaan-keadaan imunokompromais seperti diabetes mellitus, HIV/AIDS, transplantasi, pengobatan kemoterapi, dan lain-lain merupakan faktor risiko yang memudahkan pasien tuberkulosis paru untuk mengalami MDR TB. Selain itu menurut Ljubic, et all (2005) keadaan hiperglikemia kronik pada pasien TB dengan diabetes mellitus tipe 2 membuat respon penderita terhadap OAT buruk dan meningkatkan kerentana pasien terhadap terjadinya MDR TB. Sementara itu berdasarkan penelitian Sembiring

(2008) di RSUP Haji Adam Malik Medan pada 25 orang penderita DM tipe 2 dan 25 orang penderita non DM tipe 2, didapatkan bahwa terjadi perbedaan bermakna (p=0,01) dimana delapan orang (32%) penderita DM tipe 2 mengalami MDR TB dan hanya satu orang (4%) penderita non DM tipe 2 yang mengalami MDR TB.

44

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.1

KESIMPULAN Adapun kesimpulan dari penelitian ini adalah: 1. Penderita tuberkulosis paru yang berobat jalan di Poliklinik Paru sebagian besar berada di kelompok umur 44 54 tahun (26,9%) dan kelompok umur 15 24 tahun (25,7%). 2. Penderita tuberkulosis paru yang berobat jalan di Poliklinik Paru mayoritas berjenis kelamin laki-laki (68,4%). 3. Penderita tuberkulosis paru yang berobat jalan di Poliklinik Paru sebagian besar memiliki tingkat pendidikan tamat SMA (39,9%). 4. Penderita tuberkulosis paru yang berobat jalan di Poliklinik Paru sebagian besar bekerja sebagai tidak bekerja (32,2%). 5. Penderita tuberkulosis paru yang berobat jalan di Poliklinik Paru mayoritas memiliki keluhan utama gejala respiratorik (89,7%). 6. Penderita tuberkulosis paru yang berobat jalan di Poliklinik Paru mayoritas memilik hasil pemeriksaan sputum dengan BTA positif (82,6%). 7. Penderita tuberkulosis paru yang berobat jalan di Poliklinik Paru mayoritas mendapatkan pengobatan dengan kategori 1 (79,8%). 8. Penderita tuberkulosis paru yang berobat jalan di poliklinik penyakit paru sebagian besar tidak memiliki riwayat penyakit penyerta (69,2%). Penderita tuberkulosis dengan riwayat penyakit penyerta sebagian besar menderita diabetes mellitus (16,6%).

45

9. Penderita tuberkulosis paru yang berobat jalan di Poliklinik Paru mayoritas tidak mengalami tuberkulosis ekstraparu (79,8%). Penderita dengan tuberkulosis ekstraparu sebagian besar menderita pleuritis TB (8,3%). 10. Penderita tuberkulosis paru yang berobat jalan di Poliklinik Paru mayoritas tidak mengalami MDR TB (98,4%).

6.2

SARAN

Beberapa saran yang dapat diberikan oleh peneliti bagi semua pihak yang dapat berperan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Diharapkan kepada pihak RSUP H. Adam Malik Medan, kepada para petugas kesehatan yang berperan dalam pencatatan rekam medis pasien agar dapat menyelaraskan jumlah pasien yang berobat di Poliklinik dengan informasi rekam medis di bagian rekam medis. Hal ini dikarenakan peneliti menjumpai jumlah pasien yang berbeda antara di Poliklinik paru dengan informasi yang diperoleh dari bagian rekam medis. Selain itu peneliti juga menemukan nomor rekam medis pasien yang saling tumpang tindih. Diharapkan kepada pihakpihak yang terlibat memperhatikan rekam medis dan isi rekam medis pasien dengan baik. Peneliti juga mengharapkan agar semua penderita TB Paru dapat dilakukan uji kultur dan uji sensitivitas agar kejadian adanya resistensi OAT pada pasien TB dapat terdeteksi secara dini. 2. Diharapkan kepada masyarakat agar lebih memperdalam pengetahuannya mengenai tuberkulosis paru, penularan, dan pencegahannya. 3. Bagi penelitian selanjutnya agar lebih memperdalam cakupan penelitiannya mengenai tuberkulosis paru ini. Seperti misalnya penelitian hubungan kejadian tuberkulosis paru pada laki-laki, penelitian mengenai MDR TB secara khusus, dan lain-lain.

46

DAFTAR PUSTAKA

Aditama, T. Y., 2002. Tuberkulosis: Diagnosis, Terapi, & Masalahnya. Edisi 4. Jakarta: Yayasan Penerbit Ikatan Dokter Indonesia. Amin, Z., Bahar, A., 2007. Tuberkulosis Paru. Dalam: Sudoyo, Aru W et al, ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi IV. Jakarta: Balai Penerbit FK UI, 988993. Bang, E., 2009. Tuberculosis, State University of New York. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/787841-overview. [Accessed 19 April 2010]. Barker, R. D., 2009. Clinical Tuberculosis. Medical Progress, June 2009: 280-284. Crofton, J., Horne, N., Miller, F., 2002. Clinical Tuberculosis. England: TALC IUATLD. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1995. Survei Kesehatan Rumah Tangga. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. _________, 2006. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, Edisi 2. Cetakan Pertama. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. _________, 2008. Profil Kesehatan Indonesia 2007. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. _________, 2009. Profil Kesehatan Indonesia 2008. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

47

Desa, Mhd. S., 2008. Pengaruh Sosiodemografi dan Karakteristik Pekerjaan Terhadap Keinginan Pindah Kerja Bidan di Kabupaten Serdang Bedagai. Universitas Sumatera Utara. Dikutip dari: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6765/1/08E00463.pdf. [Diakses 28 April 2010]. Desmon, F., 2006. Hubungan antara Merokok, Kayu Bakar, dan Kondisi Rumah dengan Kejadian Penyakit Tuberkulosis Paru. Fakultas Kedokteran Masyarakat Universitas Indonesia, Dikutip dari: http://www.digilib.ui.ac.id//opac/themes/libri2/detail.jsp?id=108418&lokasi=lo kal. [Diakses 12 April 2010]. Gustafon, P., et all. 2004. Tuberculosis in Bissau: incidence and risk factor in an urban community in sub-Saharan Africa. International Journal of Epidemiology 33(1): 24-28. Guzman, C. P., Vargas, M. H., Cruz, A. T., Velarde, H. V., 1999. Does Aging Modify Pulmonary Tuberculosis. CHEST, 116 (4): 961-967. Isa, Mhd., Khairiah, S., 2003. Prevalensi Panderita TB Paru Bagian Rawat Inap Paru RSUD Ulin Banjarmasin Tahun 1999-2000. DEXA MEDICA. 4 (16): 123-133. Kumar, V., 2007. Tuberkulosis. Dalam: Robbins, Cotran, Kumar ed. Buku Ajar Patologi. Edisi 7. Volume 2. Jakarta: EGC, 544-551. Ljubic, S. et all, 2005. Pulmonary Infections in Diabetes Meliitus. Diabetologia Croatica. 33(4): 203-210. Munir, S.M., Nawas, A., Sutoyo, D., 2009. Pengamatan Pasien Tuberkulosis Paru dengan Multi Drug Resistant (TB-MDR) di Poliklnik Paru RS Persahabatan. Universitas Indonesia. Dikutip dari: http://www.pulmo-ui.com/tesis/MunirSM.pdf. [Diakses 16 November 2010]

48

Notoatmojo, S., 1993. Pengantar Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku Kesehatan. Yogyakarta: Andi Offset. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Prasad, R., 2005. MDR TB: Current Status. Indian J Tub, 52: 121-131. Rahajoe, N.N., Setyanto, D.B., 2007. Patogenesis dan Perjalanan Alamiah. Dalam: Rahajoe, N.N., Supriyatno, B., Setyanto, D.B. ed. Respirologi Anak. Edisi 1. Jakarta: IDAI, 169-177.

Rao, P. V., 2009. TB and Diabetes, Joint Effort tu Eradicate Tuberculosis. Available from: http://www.ourjeet.com/index2.asp. [Accessed 20 April 2010]. Rasad, S., 2009. Radiologi Diagnostik. Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Rasmin, dkk, 2006. Profil Penderita Tuberkulosis Paru di RS Persahabatan JanuariJuli 2005. Jurnal Respirologi Indonesia, 27 (1): 402-408 Rusnoto, Rahmatullah P., Udiono A., 2006. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian TB Paru Pada Usia Dewasa. Universitas Diponoegoro. Dikutip dari : http://eprints.undip.ac.id/5283/1/Rusnoto.pdf [Diakses 28 April 2010]

Schoch, O.D., Rieder H.L. 1996. Characteristics of sputum smear-positive tuberculosis patients with and without HIV infection in a hospital in Zimbabwe. Eur Respir J, 9: 284287 Sembiring, S., 2008. Multi Drug Resistance (MDR) pada Penderita Tuberkulosis Paru dengan Diabetes Mellitus. Universitas Sumatera Utara. Dikutip dari:

49

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6406/1/08E00290.pdf. [Diakses 16 November 2010]

Tanjung, A. Dkk, 1998. Masalah Tuberkulosis Paru di Bagian Penyakit Dalam RS Pirngadi Medan. Medika, 48 (10): 804-810 Tanuwiharja, B.Y., 2001. Chronic Cough and Tuberculosis. Jurnal Respirologi Indonesia, 21 (1): 510-514 Todar, K, 2009. Mycobacterium tuberculosis and Tuberculosis. University of Wisconsin. Available from: http://www.textbookofbacteriology.net/tuberculosis.html. [Accessed 12 April 2010]. USAID, 2009. Indonesia Profile of Tuberculosis. Washington DC: USAID. Available from: http://www.usaid.gov/our_work/global_health/id/tuberculosis/countries/asia/ind onesia_profile.html . [Accessed 12 April 2010]. Utami, M. R., 2006. Perbedaan Derajat Lesi Radiologi pada Pasien Tuberkulosis Paru dengan Diabetes Melitus dan Non-Diabetes Melitus di RSUD Dr. Moewardi Surakarta, Universitas Negeri Surakarta. Dikutip dari: http://digilib.uns.ac.id/abstrakpdf_2879_perbedaan-derajat-lesi-radiologi-padapasien-tuberkulosis-paru-dengan-diabetes-melitus-dan-non-diabetes-melitus-dirsud-dr.-moewardi-surakarta.pdf. [Diakses 20 April 2010]. World Health Organization, 2006. The Stop TB Strategy. Geneva: World Health Organization. Available from: http://www.who.int/tb/publications/stoptbstrategy/2006/update/en/index.html. [Accessed 12 April 2010].

50

_______, 2009. Basic TB Facts. Geneva: World Health Organization. Available from: http://www.who.int/mediacentre/basictbfacts/fs104/en/index.html. [Accessed 12 April 2010]. ______, 2009. Global tuberculosis control: a short update to the 2009 report. Geneva: World Health Organization. Available from: http://www.who.int/tb/publications/global_report/2009/update/en/index.html. [Accessed 12 April 2010]. ______, 2005. Gender in Tuberculosis Research. Geneva: World Health Organization. Available from: http://www.who.int/gender/documents/TBlast2.pdf. [Accessed 30 April 2010]. Zevitz, M., Lendhart, R., 2006. Pulmonary Medicine Review. USA: McGraw-Hill

Anda mungkin juga menyukai