Anda di halaman 1dari 9

Ajaran Kaum Sufi Tentang (Batas) Kemampuan Mereka mengakui bahwa setiap tarikan nafas, setiap lirikan mata

dan setiap gerakan mereka bisa terjadi berkat indera yang diberikan oleh Tuhan kepada mereka, dan merupakan suatu kemampuan yang Dia ciptakan untuk mereka bersamaan dengan tindakan-tindakan mereka, bukan sebelumnya atau sesudahnya, dan bahwa tidak ada tindakan yang dapat dilaksanakan tanpa ini semua; sebab, kalau tidak, berarti mereka memiliki sifat Tuhan, bisa melakukan segala yang mereka inginkan dan menetapkan segala yang mereka kehendaki, dan Tuhan tidak lagi akan menjadi Yang Maha Kuat, Yang Maha Berkuasa seperti dalam firman-Nya: "Begitulah Allah berbuat menurut kehendak-Nya, tidak lebih dari budak yang melarat, lemah dan hina. Jika saja kemampuan ini ditentukan oleh pemilikan anggota badan yang sehat, maka tiap orang yang memiliki karunia itu akan dapat mencapai taraf yang sama; tapi pengalaman menunjukkan bahwa seseorang dapat saja memiliki anggota badan yang sehat, sedang tindakannya bisa jadi tidak sama sehatnya. Dengan demikian maka kemampuan tidak berasal dari indera dan menjelmakan dirinya dalam badan yang sehat; indera adalah sesuatu yang beragam tingkatannya pada berbagai saat, seperti yang bisa dilihat oleh orang pada dirinya sendiri. Lebih-lebih, karena indera itu merupakan suatu aksiden, dan aksiden itu tidak dapat bertahan sendiri, atau bertahan lewat sesuatu yang bertahan di dalamnya sebab jika sebuah benda tidak ada dengan sendirinya, dan tidak sesuatu pun bisa jadi ada karenanya, maka benda itu tidak dapat bertahan lewat pertahanan benda lain, sebab pertahanan benda lain itu tidak mengandung arti pertahanan untuknya, maka hal itu berarti benda itu tidak memiliki pertahanan sendiri; dan karenanya, tidak dapat tidak, kesimpulannya adalah indera masingmasing tindakan itu berbeda dari indera tindakan lain. Jika halnya tidak demikian, maka manusia tidak akan membutuhkan pertolongan Tuhan pada saat mereka bertindak, dan firman Tuhan, "Dan kepada Engkaulah kami mohon pertolongan", tidak akan ada artinya. Lebih jauh lagi, jika indera itu tidak ada sebelum adanya tindakan, dan tidak dapat bertahan sampai adanya tindakan tersebut, maka tindakan itu pasti dilakukan dengan indera yang telah tiada, yaitu tanpa indera apa pun; yang mengisyaratkan putusnya hubungan antara Tuhan dan hamba sekaligus. Sebab jika demikian halnya, maka jelas mungkin bahwa tindakan-tindakan itu bisa ada dengan sendirinya, tanpa perantara. Tapi Tuhan berfirman, dalam kisah Musa dan hamba-Nya yang kuat (Khidzir), "Sesungguhnya engkau tidak akan sanggup sabar bersamaku" dan juga, "Demikianlah penjelasan persoalan yang kamu tidak sanggup sabar menghadapinya itu, yang Dia maksudkan sebagai yang tidak kamu miliki indera untuk melakukannya. Mereka mengakui bahwa mereka diberi kepercayaan dengan tindakan-tindakan dan tanggung jawab dalam arti sejatinya, yang untuknya mereka diberi pahala dan dihukum; dan oleh sebab itu Tuhan mengeluarkan perintah dan larangan, dan menyampaikan berita gembira serta ancaman-ancaman. Arti istilah tanggung jawab itu adalah bahwa manusia bertindak karena sebuah indera yang dibuat (oleh Tuhan). Seorang tokoh Sufi berkata: Makna tanggung jawab adalah bahwa manusia itu bertindak demi mencari keuntungan atau menolak kesialan, maka Tuhan berfirman, Hasil kerjanya yang baik untuknya sendiri, dan yang tidak baik menjadi tanggungannya sendiri pula. Lebih jauh mereka akui bahwa mereka melaksanakan kehendak dan keinginan bebas yang menyangkut tanggung jawab mereka, dan bahwa mereka tidak dipaksa atau ditekan di luar kemauan mereka. Yang kami maksud dengan kehendak-bebas Tuhan dipatuhi bukan karena terpaksa, atau tidak dipatuhi dikarenakan tekanan yang berlebihan; Dia tidak meninggalkan hamba-Nya sama sekali tanpa melakukan sesuatu di kerajaan-Nya. Sahl ibn Abdillah berkata: Tuhan tidak memberi kekuatan kepada orang yang

saleh lewat paksaan, Dia menguatkan mereka lewat iman. Salah seorang tokoh besar Sufi berkata: Siapa pun yang tidak percaya pada takdir adalah orang kafir, dan siapa pun yang mengatakan bahwa mustahil bagi seseorang untuk tidak patuh pada Tuhan adalah seorang pendosa. Ajaran Kaum Sufi Tentang Keesaan Tuhan Orang-orang Sufi mengakui bahwa Tuhan itu Satu, Sendiri, Tunggal, Kekal, Abadi, Berpengetahuan, Berkuasa, Hidup, Mendengar, Melihat, Kuat, Kuasa, Agung, Besar, Dermawan, Pengampun, Bangga, Dahsyat, Tak Berkesudahan, Pertama, Tuhan, Rabb, Penguasa, Pemilik, Pengasih, Penyayang, Berkehendak, Berfirman, Mencipta, Menjaga. Bahwa Dia diberi sifat dengan segala gelar, yang dengan itu Dia telah memberi sifat pada diri-Nya sendiri; dan Dia diberi nama yang dengan itu pula Dia telah memberi nama pada diri-Nya sendiri; bahwa karena sifat-Nya yang kekal maka demikian pula nama-nama dan sifat-sifat-Nya sama sekali tak sama dengan makhluk-makhluk-Nya. Esensi-Nya tidak sama dengan esensi-esensi lain, tak pula sifat-Nya sama dengan sifat-sifat lain; tak satu pun dari istilah-istilah yang diterapkan pada makhluk-makhluk ciptaan-Nya dan yang mengacu pada penciptaan mereka dari waktu ke waktu, membawa pengaruh atas-Nya; bahwa Dia tak hentihentinya menjadi Pemimpin, Terkemuka di hadapan segala yang dilahirkan dari waktu ke waktu, Ada sebelum segala yang ada; dan bahwa tiada sesuatu pun yang kekal kecuali Dia, dan tiada Tuhan di samping Dia; bahwa Dia bukan badan, potongan, bentuk, tubuh, unsur atau aksiden; bahwa dengan Dia tidak ada penyimpangan maupun pemisahan, tidak ada gerakan maupun kediaman, tidak ada tambahan maupun pengurangan; bahwa Dia bukan merupakan bagian, atau partikel, atau anggota, atau kaki-tangan, atau aspek, atau tempat: bahwa Dia tidak terpengaruh oleh kesalahan, atau kantuk, atau berubah-ubah dikarenakan waktu, atau disifatkan oleh kiasan bahwa Dia tidak terpengaruh oleh ruang dan waktu; bahwa dia tidak dapat dikatakan sebagai yang dapat disentuh, atau dikucilkan, atau mendiami tempat-tempat; bahwa Dia tidak dibatasi oleh pemikiran, atau ditutupi selubung, atau dilihat mata Salah seorang tokoh besar Sufi mengatakan dalam wacananya: "Sebelum tidak mendahuluiNya, setelah tidak menyela-Nya, daripada tidak bersaing dengan Dia dalam hal keterdahuluan; dari tidak sesuai dengan Dia, ke tidak menyatu dengan Dia, di tidak mendiami Dia, kala tidak menghentikan Dia, jika tidak berunding dengan Dia, atas tidak membayangi Dia, di bawah tidak menyangga Dia, sebaliknya tidak menghadapinya, dengan tidak menekan Dia, di balik tidak mengikat Dia, di depan tidak membatasi Dia, terdahulu tidak memameri Dia, di belakang tidak membuat Dia luruh, semua tidak menyatukan Dia, ada tidak memunculkan Dia, tidak ada tidak membuat Dia lenyap. Penyembunyian tidak menyelubungi Dia, pra-eksistensi-Nya mendahului waktu, adanya Dia mendahului yang belum ada, kekekalan-Nya mendahului adanya batas. Jika engkau berkata kala, maka eksistensi-Nya telah melampaui waktu; jika engkau berkata sebelum, maka sebelum itu sesudah Dia, jika engkau berkata Dia, maka D, i dan a adalah ciptaan-Nya; jika engkau berkata bagaimana, maka esensi-Nya terselubung dari pemberian; jika engkau berkata di mana, maka adanya Dia mendahului ruang; jika engkau berkata tentang ke-Dia-an, maka ke-Diaan-Nya terpisah dari segala sesuatu. Selain Dia, tidak ada yang bisa diberi sifat dengan dua sifat (yang berlawanan) sekaligus, dan toh dengan-Nya kedua sifat itu tidak menciptakan keberlawanan. Dia tersembunyi dalam penjelmaan-Nya menjelma dalam persembunyian-Nya. Dia ada di luar dan di dalam, dekat dan jauh; dan dalam hal itu Dia tidak sama dengan makhlukmakhluk. Dia bertindak tanpa menyentuh, memerintah tanpa bertemu, memberi petunjuk

tanpa menunjuk. Kehendak tidak bertentangan dengan-Nya, pikiran tidak menyatu denganNya; esensi-Nya tanpa kualitas (takyif), tindakan-Nya tanpa upaya (taklif). Mereka mengakui bahwa Dia tidak bisa dilihat oleh mata, atau dibantah oleh pikiran; bahwa sifat-sifat-Nya tidak berubah dan nama-nama-Nya tidak berganti; bahwa Dia tidak pernah lenyap dan tidak akan pernah lenyap; Dia yang Pertama dan Terakhir, Zahir dan Batin; bahwa Dia mengenal segala sesuatu, bahwa tidak ada yang seperti Dia dan bahwa Dia Melihat dan Mendengar. Ajaran Kaum Sufi Tentang Penglihatan (Nazhar) Para Sufi mengakui bahwa Tuhan akan bisa dilihat dengan mata di dunia mendatang, dan bahwa orang-orang yang beriman akan bisa melihat-Nya sedang orang-orang yang tak beriman tidak. Sebab, itu merupakan karunia Tuhan sebagaimana yang difirmankan: "Untuk orang-orang yang berbuat kebaikan, ada pahala dan bahkan ada pula tambahannya." Mereka berpendapat bahwa penglihatan itu, lewat akal, mungkin, dan lewat pendengaran, pasti. Mengenai kemungkinan melihat melalui akal, hal ini mungkin karena Tuhan itu maujud, dan segala sesuatu yang maujud (logisnya) bisa dilihat. Sebab Tuhan telah menanamkan daya lihat dalam diri kita; dan jika daya lihat Tuhan itu tidak ada, maka permohonan Musa, "Wahai Tuhanku! Perlihatkanlah diri-Mu kepadaku, agar aku dapat melihat-Mu," akan merupakan (bukti) kebodohan dan kekafiran. Lebih-lebih, ketika Tuhan menjadikan penglihatan itu tergantung pada syarat bahwa gunung itu harus tetap tegak (Dia berfirman, "Kalau bukit itu masih tetap tegak di tempatnya semula, mungkin engkau dapat melihat Aku."), dan mengingat juga bahwa tetap tegaknya bukit itu secara nalar mungkin kalau memang Tuhan membuatnya tetap tegak maka hal ini berarti bahwa penglihatan yang tergantung pada hal itu (tetap tegaknya gunung) pun secara nalar mungkin dan bisa diterima. Maka, karena telah ditetapkan bahwa penglihatan lewat akal itu mungkin, dan lebih-lebih karena telah dibuktikan bahwa penglihatan lewat pendengaran tersebut pasti Tuhan berfirman, "Saat wajah orang-orang yang beriman pada hari itu berseri-seri, melepas pandang kepada Tuhan-nya," dan lagi, "Untuk orang-orang yang berbuat kebaikan, ada pahala yang baik dan bahkan ada pula tambahannya," dan lagi, "Tidak, yang sebenarnya mereka pada waktu itu benar-benar ditutup dari rahmat Tuhan." dan karena hadits menegaskan bahwa penglihatan itu memang ada, seperti kata Nabi, "Sesungguhnya kamu akan melihat Tuhanmu seperti kamu melihat bulan purnama di malam hari, tanpa kebingungan mencari-cari Dia," yang mengenainya banyak kisah masyhur dan sahih, maka perlulah kita menegaskan hal ini, dan percaya bahwa hal itu benar. Penafsiran esoteris (batiniah) orang-orang yang menyangkal kemungkinan penglihatan akan Tuhan, seperti misalnya mereka yang menafsirkan melepas pandang kepada Tuhannya, sebagai memandang kepada pahala Tuhannya, sama sekali tak bisa dibenarkan, sebab pahala dari Tuhan itu tidak sama dengan Tuhan. Demikian juga dengan mereka yang mengatakan bahwa perlihatkanlah diri-Mu kepadaku, agar aku dapat melihat-Mu, merupakan permohonan akan sebuah tanda; hal ini tak bisa dibenarkan, sebab Tuhan sebelumnya telah memperlihatkan tanda-tanda-Nya kepada Musa. Demikian pula halnya dengan mereka yang menafsirkan ayat: "Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata," dengan pengertian: karena Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata di dunia ini, maka begitu juga di dunia nanti. Tuhan memang menyangkal bahwa Dia dapat dicapai oleh penglihatan, sebab penglihatan seperti itu akan mengisyaratkan cara (kaifiyah) dan pembatasan. Dengan demikian, yang disangkal-Nya adalah penglihatan yang mengisyaratkan cara dan pembatasan, bukan penglihatan yang di dalamnya tidak ada cara, tidak pula pembatasan.

Mereka mengakui bahwa Tuhan tidak dapat dilihat di dunia ini, baik dengan mata maupun dengan hati, kecuali dari sudut pandang iman; sebab penglihatan ini merupakan puncak karunia dan rahmat paling mulia, dan karena itu tidak dapat terjadi kecuali di tempat yang paling mulia. Jika mereka telah diberi rahmat yang paling mulia itu di dunia ini, maka tidak akan ada bedanya antara dunia ini, yang akan lenyap nanti, dengan surga yang. abadi; dan karena Tuhan telah mencegah manusia yang diajak-Nya berbicara itu dari mendapatkannya di dunia kini, wajarlah kalau manusia-manusia lain yang berada di tingkat lebih di bawah dicegah juga. Lebih-lebih, dunia ini merupakan tempat tinggal sementara, sehingga mustahillah kalau Yang Kekal dapat dilihat di tempat tinggal yang sementara itu. Lebih jauh lagi, jika mereka telah melihat Tuhan di dunia ini, kepercayaan mereka terhadap-Nya akan bersifat aksiomatis (dharurah). Pendeknya, Tuhan telah menyatakan bahwa penglihatan itu akan diberikan-Nya di dunia nanti, bukan di dunia ini. Oleh sebab itu, perlulah seseorang membatasi diri pada apa yang telah dinyatakan dengan jelas oleh Tuhan. Pembahasan Ibadah-ibadah Shalat dengan Hati Khusyu Apabila fajar sidiq telah terbit, maka bersegeralah melaksanakan Shalat Fajar, lalu fardlu Shubuh dengan hati yang khusyu. Pahamilah makna setiap bacaan tersebut. Dirikanlah shalat dengan sempurna sesuai dengan sunah Nabi SAW, kaifiyah dan adab-adabnya. Yang sangat penting adalah dengan khusyu. Para ulama berbeda pendapat tentang pengertian khusyu, ada pendapat yang menyebutkan, bahwa khusyu dalam shalat dapat diperoleh dengan memejamkan mata, merendahkan suara dan tidak menoleh ke kiri dan ke kanan. Pendapat lain mengatakan, apabila shalat telah dimulai hendaklah tidak memperdulikan sekelilingnya, atau merasa tidak ada orang di kanan atau kirinya. Pendapat yang paling tepat adalah yang mengatakan bahwa khusyu adalah berkumpulnya perasaan takut dan merasa kuatir berpaling dari keadaan yang bukan shalat. Sebab khusyu adalah perbuatan badan dan hati. Oleh sebab itu kekhusyuan itu akan diperoleh dengan hadirnya hati ketika shalat, pikiran yang terkonsentrasi secara penuh. Orang yang sedang shalat harus merasakan bahwa Allah selalu berada di hadapannya, menilai seluruh perbuatan dan ucapannya, dan mengetahui semua yang nampak dan dirahasiakan. Hadirnya hati orang yang shalat di hadapan Allah menunjukkan keberadaanya dan penyerahannya sepenuh hati dan jiwa. Sehingga saat itu tinggallah dirinya sendiri di hadapan Dzat Yang Maha Mengetahui. Itulah cara shalat yang sebenarnya. Allah SWT selalu hadir serta menyirami orang yang shalat dengan rahmat-Nya disaat ia mengerjakannya dengan khusyu. Hudlur Dalam melaksanakan semua shalat wajib atau sunat, hendaklah diusahakan agar terjadinya hudlur (hadirnya hati), selama melakukan shalat. Sebab hanya dengan cara inilah seorang hamba akan mendapatkan keutamaan. Nabi SAW bersabda : "Sesungguhnya nilai shalat seseorang, bukan dinilai dari seperenam atau seperpuluh dari shalatnya itu, melainkan yang dinilai adalah yang dapat ia hayati dari shalatnya itu". Hadits yang semakna diriwayatkan pula oleh Abu Dawud.

Hasan al-Bashry berkata : "Shalat yang dikerjakan dengan kehadiran hati akan lebih membuat perasaan sangat tersiksa". An-Naisabury berkata : "Shalat itu mempunyai empat konsentrasi yaitu, khudlur, syuhud, khudlu dan khusyu." Khudlur adalah perilaku tubuh orang yang tidak menghadirkan dirinya ketika shalat dia termasuk orang yang lalai. Barangsiapa yang tidak syuhud hatinya, ia termasuk orang yang hanya bermain-main. Barangsiapa yang tidak khudlu dengan rukun-rukun shalat, maka ia termasuk orang yang lemah. Barangsiapa yang tidak khusyu maka ia termasuk orang yang sendirian, tidak merasa adanya kehadiran Allah bersamanya. Allah SWT berfirman : "Sungguh berbahagialah orang-orang mukmin, yaitu orang-orang yang khusyu dalam shalatnya". Sangat perlu untuk diingat bagi orang yang shalat, bahwasannya Allah adalah Dzat yang selalu memperhatikannya, hadir menyaksikan keadaannya di waktu shalat serta takutlah pada Allah bila melihat hatinya sedang lalai ketika shalat karena kelalaian seperti itu adalah sejelek-jelek perbuatan. Kisah-kisah Indah. Seorang guru Thariqat mengisahkan bahwa pada suatu malam ia mengerjakan shalat beberapa rakaat, lalu ia tidur. Dalam tidurnya ia bermimpi melihat sebuah istana yang besar dan tinggi. Ia sangat kagum melihat bangunan istana itu. Dalam hatinya ia berkata, "Aduhai untuk siapa kiranya bangunan istana ini? Siapakah pemiliknya?". Tiba-tiba ia mendengar suara jawaban, "Sesungguhnya istana ini adalah milikmu, dari pahala beberapa rakaat shalatmu semalam". Iapun berjalan mengelilinginya melihat-lihat keindahan istana itu. Tiba-tiba ia melihat dua buah kubah yang telah jatuh. Dalam hati ia berkata, "Alangkah indahnya apabila dua kubah ini tetap berada di tempatnya". Terdengarlah kembali suara yang sama, "Sesungguhnya dua buah kubah itu semula masih berada di tempatnya, namun ketika shalat tadi malam, hatimu sedikit berpaling, sehingga jatuhlah dua kubah itu". Rabi'ah al-Adawiyah, pada suatu malam melakukan shalat beberapa rakaat, lalu ia tidur. Dalam tidurnya ia melihat sebatang pohon yang indah subur menghijau, daunya rimbun, ranting-rantingnya kokoh, sangat banyak dan teratur. Buah-buahnya pun tampak begitu lebat. Yang sangat mengherankan adalah bahwa buah-buah tersebut berbentuk buah dada wanita. Pohon itu mengeluarkan sinarnya di waktu siang seperti matahari, dan di waktu malam seperti rembulan. Maka Rabi'ah al-Adawiyah bertanya dalam hati, "Siapakah gerangan pemilik pohon itu". Lalu terdengarlah jawaban, "Sesungguhnya pohon itu untukmu, sebagai anugerah dari shalatmu tadi malam". Ia berjalan-jalan di bawah rimbun pohon itu, ketika dia menemukan beberapa buahnya telah jatuh berwarna kuning emas murni, hati Rabi'ah alAdawiyah berkata, "Alangkah indahnya jika buah-buah yang bagus ini tetap berada di rantingnya dan bergantungan di sana. Sungguh akan terlihat begitu indah". Lalu terdengarlah suara yang menjawab, "Ketahuilah bahwa sesungguhnya buah-buahan ini semula berada di tempatnya. Namun ketika engkau mengerjakan shalat pikiranmu tergoda oleh pekerjaan dapurmu pada roti yang sedang engkau kukus maka jatuhlah buah-buah itu terlepas dari rantingnya". Shalat Berjamaah Perhatikanlah shalat berjamaah jangan engkau tinggalkan keutamaannya. Sungguh indah hidup bersama ketika berada dalam satu jamaah. Buat apa mendalami pelajaran, bila yang

utama dikesampingkan. Jikalau jamaah ditinggalkan mudahlah dirimu diterkam serigala, karena melihat engkau berdiri sendirian. Itulah sunah Nabi SAW yang hidup sepanjang masa. Janganlah meninggalkan shalat berjamaah, karena pahalanya besar dan berlipat ganda. Diriwayatkan dari hadits Nabi Muhammad SAW bahwa pahala shalat berjamaah dilipatkan hingga 25 atau 27 kali lipat. Sabda beliau, "Tiadalah tiga orang di suatu kota atau desa tidak mendirikan shalat berjamaah melainkan mereka akan dikalahkan oleh setan, sebab akan mudah bagi serigala menerkam seekor kambing yang terpisah dari kelompoknya". (HR. Abu Daud dan Nasai, dan disahihkan oleh Ibnu Hiban dan al-Hakim). Rasulullah SAW bersabda pula : "Shalat satu orang, bersama satu orang lagi lebih utama daripada shalat sendirian. Shalat bersama dua orang lebih utama daripada shalat bersama satu orang. Sedangkan shalat bersama banyak orang sangat disukai oleh Allah" (HR. Abu Daud dan lainnya, disahihkan oleh Ibnu Hibban). Sebagian ulama mengatakan bahwa jika shalat jamaah telah usai dikerjakan, maka Allah SWT memperhatikan hati dan keiklasan, lalu Allah menurunkan ridla-Nya kepada para jamaah itu, menerima shalat dan mengampuni dosa-dosa mereka. Jika kebaikan dan keiklasan tidak ditemukan pada hati imamnya, maka Allah melihat hati para makmumnya. Jika dalam hati salah seorang makmum itu ditemukan kebaikan dan keikhlasan maka Allah ridla dan menerima shalat mereka semuanya. Jika tidak ditemukan kebaikan-kebaikan tersebut, maka Allah melihat kaifiyah shalatnya, berdiri, ruku dan sujudnya, lalu Allah pun menurunkan keridlaan-Nya, mengampuni dosa-dosa mereka." Diriwayatkan pula dari sabda Nabi SAW, bahwa Allah SWT menciptakan sebuah kota di surga yang dinamakan Madinatul Jalal. Di dalam kota itu terdapat bangunan istana yang bernama al-Uzmah. Di dalam istana itu terdapat kamar-kamar yang berisi yang diberi nama Baiturrahman. Setiap kamar berisi empat ribu tempat tidur dengan empat ribu Bidadari. Di dalam kota surgawi itu terdapat banyak hal yang belum pernah terlihat oleh mata, terdengar oleh telinga, terlintas pada pikiran, atau pun terbetik dalam hati. Ditanyakan : "Ya Rasulullah untuk siapakah semuanya itu?" Beliau menjawab : "Itulah buah bagi orang-orang yang mendirikan shalat lima waktu dengan berjamaah." Dalam ungkapan syair berhubungan dengan shalat berjamaah ini salah satu untaiannya berbunyi "Walima Ta'allum" artinya Untuk apa mempelajari ilmu apabila meninggalkan keutamaan sebagian pokok perdagangan di akhirat. Karena buah dari ilmu yang bermanfaat adalah dengan mengamalkannya. Itulah keutamaan shalat berjamaah di masjid. Kecuali jika berhalangan, maka boleh dilaksanakan di rumah bersama keluarga. Kisah Teladan Dikisahkan bahwa ada seorang laki-laki buta yang amat rajin mengerjakan shalat berjamaah. Pada suatu hari ia datang ke masjid untuk shalat berjamaah tanpa ada yang menuntunnya. Di tengah perjalanan ia terpeleset lalu jatuh, hingga kepalanya terluka. Ketika ia diangkat oleh jamaah lain pulang ke rumah, isterinya marah-marah seraya mengatakan bahwa orang seperti dia tidak wajib berjamaah di masjid. Laki-laki itu menanggapi kemarahan isterinya dengan kelembutan dan kasih sayang. Dia berkata: "jika Allah memberi cahaya di mata hatiku, mengapa aku tidak boleh berjamaah di masjid?". Pada suatu malam ia bermimpi berjumpa dengan Nabi SAW, lalu beliau bersabda : "Mengapa engkau berbeda pendapat dengan isterimu?". Ia menjawab, "Karena aku ingin mengikuti sunahmu ya Rasulullah!", Nabi pun

mengusapkan kedua telapak tangannya ke permukaan mata orang buta tersebut, dan saat itu pula matanya pulih kembali dan dapat melihat sebagai barakah Nabi dan Sunah Rasul yang telah dia kerjakan. Mudah-mudahan kita semua mendapat pertolongan dari Allah, diberi kekuatan melaksanakan shalat berjamaah dan memakmurkan masjid, serta menjauhkan kaum muslimin dari kemalasan mendirikan shalat berjamaah.

Membaca Wirid dan Dzikir Selesai mendirikan shalat Shubuh dengan menjaga seluruh adab shalat sebagaimana sudah dijelaskan maka ikutilah dengan mewirid dzikir, tasbih, tahmid, tahlil dan doa. Demikian juga membaca ayat-ayat Al-Qur'an yang telah mashur keutamaannya, hingga terbit matahari. Hujjatul Islam Al-Ghazali mengatakan, "Sesungguhnya waktu fajar, sebelum terbitnya matahari adalah waktu yang utama". Tanda keutamaannya adalah seperti firman Allah SWT berikut ini, Wasshubhi Idz Tanaffas, artinya : "Dan demi Shubuh apabila fajarnya mulai menyingsing." (QS. At-Takwir : 18). Faliqul Ashbah, "Dialah yang menyingsingkan pagi." (QS. Al-An'm : 96). "Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu, sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya dan bertasbih juga di malam hari dan di siang hari, agar kamu mendapat keridlaan Allah". (QS. Thha : 130). "Dan berdzikirlah kepada Allah Tuhanmu di waktu pagi dan sore". (QS. Al-Insn : 25). Apabila telah jelas keutamaannya seperti ini maka hendaklah para hamba Allah duduk (berzikir) dan tidak berbicara hingga matahari terbit. Ada empat hal yang utama sekali diamalkan sebelum matahari terbit. 1. Mengadakan introspeksi diri (muhasabah) serta menghidupkan cita-cita untuk melaksanakan amal, mengingat kembali perbuatan dosa yang pernah dilakukan, diikuti dengan amal ibadah dan berniat memperbanyak amalan pada hari-hari selanjutnya. 2. Bertafakur untuk sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya agar tampak nikmat-nikmat Allah yang telah dianugrahkan kepadanya. Agar makrifat tasyakkurnya bertambah. Terus menerus mengingat Allah merupakan ibadah karena pada dasarnya itulah makna dzikir kepada Allah. Bertafakur itu sendiri akan menghasilkan dua hal. Yakni akan meningkatkan makrifat karena tafakkur merupakan kunci makrifat dan kasyaf. Akan meningkatkan rasa mahabbah, karena kecintaan itu tumbuh hanya kepada yang diagungkan. Sedangkan keagungan Allah dan keluhuran-Nya tidak akan terbuka kecuali dengan mengetahui sifat-sifat-Nya. Dengan tafakur akan memperoleh makrifat, dengan makrifat akan mendapatkan ta'zhim, dengan ta'zhim akan memperoleh mahabbah. 3. Tata cara berwirid adalah tidak berbicara ketika subuh, menghadap kiblat, mengadakan muraqabah, lalu membaca tahlil. Ada yang dengan cara mengucapkan kalimat L Ilha Illallh di dalam hati, seakan-akan dari hati suci ini keluar cahaya Allah. Menggerakkan leher ke kiri dan ke kanan, diikuti dengan mengucapkan

kalimat Illallh dari kedalaman hati, seakan-akan cahaya Allah masuk ke dalamnya. Dengan melaksanakan tahlil seperti tata cara tersebut, dapat diketahui adanya nar sebagai api pembersih hawa nafsu, dan nur cahaya yang menerangi hati. Nur sebagai cahaya dzikrullh, nar api pembakar hawa nafsu dan kelalaian manusia untuk berdzikir. Apabila nur itu telah menguasai hati, maka ia akan memberikan cahaya cemerlang meliputi seluruh permukaan hati. Apabila hati sudah dibersihkan dari sifat-sifat yang tercela lalu terhias dengan sifatsifat terpuji, maka nar itu akan berlipat ganda terangnya, kelak akan membentuk manusia musyhadah sebagai karunia besar dari Allah. Itulah buah dari dzikir yang terus menerus diwiridkan. Dengan zikir hati manusia akan terang benderang , menjadi segar dan longgar. Hilang rasa sedih, lalu hati menjadi lunak. Maka hilanglah bermacam-macam penyakit hati yang biasanya membelenggu manusia, karena sifat-sifat manusiawi yang biasa merongrong hingga sakit dan menderita. 4. Demikian juga dengan banyak membaca shalawat, akan membuat hati menjadi gembira, meneranginya dengan cahaya Allah dan berkah Nabi Muhammad SAW. Melanggengkan shalawat Nabi, baik diucapkan secara lahiriah atau batiniah akan memberi dorongan hamba Allah untuk senantiasa mensucikan hati dan jiwanya dari godaan hawa nafsu. Shalat Isyraq Shalat Isyraq dilakukan pada pagi hari, setelah matahari naik kira-kira empat hasta. Shalat Isyraq ini bukan shalat Dhuha. Dilakukan sebelum mengerjakan shalat Dhuha, sebanyak dua rakaat. Ini adalah amalan para sufi yang dilakukan secara rutin. Pada rakaat pertama setelah membaca surat al-Ftihah, lalu membaca ayat-ayat Al-Qur'an surat an-Nr ayat 35. (Allhu Nrus Samwti wal Ardh). Pada rakaat kedua, setelah membaca al-Ftihah, diikuti dengan membaca surat an-Nr ayat 36-38. (F Buyti Adzinallh). Para ulama berbeda pendapat tentang shalat Isyraq, apakah sama dengan shalat Dhuha atau tidak. Sebagian ulama berpendapat tidak sama dengan shalat Dhuha. Yang lain berpendapat sama dengan shalat Dhuha. Setelah melaksanakan shalat Isyraq, lalu membaca Al-Qur'an untuk mendapat nasihat dari Kitab Suci, yang akan diperoleh dengan membaca secara tadabbur. Dalam membaca AlQur'an ini pun hendaklah dengan adab dan tata cara pula. Seperti tidak lalai dan tenang, suci, serta menghadap kiblat. Memakai pakaian yang sopan dan bersih, umpamanya berpakaian kebesaran Ulama, seperti mengenakan sorban di kepala dan berbaju jubah. Dikerjakan dengan sungguh-sungguh, khusyu, seakan-akan berdialog dengan Allah SWT, atau seakanakan ia sedang menerima dan menelaah firman-firman Allah dan membahas kenikmatan Allah kepada dirinya. Nabi SAW bersabda : "Bacalah Al-Qur'an dan menangislah. Jika tidak dapat menangis, maka berusahalah untuk menangis." Demikian juga dalam membaca Al-Qur 'an hendaklah dengan tartil. Sebab tartil itu akan menghidupkan rasa tadabbur. Tartil artinya membaca semua huruf dengan jelas, memisahkan satu huruf dengan huruf lainnya, dan membaca setiap huruf sesuai dengan makhrajnya. Demikian juga menempatkan waqaf pada tempatnya masing-masing.

Anda mungkin juga menyukai