Anda di halaman 1dari 10

BERIMAN KEPADA ALLAH

A. Pengertian Iman Kepada Allah SWT

Arti iman kepada Allah adalah membenarkan tentang adanya Allah SWT dengan
keyakinan dan pengetahuan bahwa sesungguhnya Allah SWT wajib ada-Nya dengan
dzat nya. Dia Maha Esa, yang menguasai langit dan bumi beserta isinya, Yang Maha
Kuasa, Yang Hidup, Yang Berdiri Sendiri, Yang Kekal. Sesungguhnya Allah SWT
mengetahui atas segala sesuatu dan Maha Kuasa. Allah melakukan apa yang Dia
Kehendaki, dan Allah Maha Bijaksana terhadap apa yang DIA kehendaki. Tidak ada
sesuatu apapun yang menyerupai DIA. Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat,
Maha Suci dan Maha Tinggi (Mulya) Allah dari sesuatu yang menyerupai dan
menandingi, dan Maha Suci Allah dari teman dan pembantu (mitra dan asisten). Allah
tiak membatasi waktu, tidak ada yang menyibukan atau merepotkan Allah, dan Allah
tidak terbatasi dengan arah, Allah Maha Kaya, artinya dengan mutlak Allah tidak
butuh terhadap segala sesuatu.1

Akan tetapi segala sesuatu selain Allah sangat butuh kepada-Nya. DIA (Allah) yang
telah menciptakan perbuatan-perbuatan mereka, baik dan buruknya, manfaat dan
madharatnya, DIA (Allah) yang memberi hidayah kepada orang yang DIA kehendaki,
dan menyesatkan kepada orang yang DIA kehendaki, dan DIA (Allah) yang
mengampuni kepada orang yang DIA kehendaki, dan menyiksa kepada orang yang
DIA kehendaki. Allah, tidak layak dipertanyakan atas apa yang DIA lakukan dan
makhluk lah (manusia dan jin) yang pantas ditanya atas apa yang mereka lakukan.
Artinya manusia harus mempertanggungjawabkan atas segala perbuatannya. Dan
tidak wajib atas Allah kepada seseorang atas segala sesuatu, artinya Allah tidak
terbebani atas segala kepentingan makhluknya. Karena DIA Maha Menguasai
terhadap segala –Nya dan DIA lah yang mengendalikan segala-Nya, maka tidak ada
seorangpun yang bersekutu dengan DIA (Allah) didalam kerajaan-Nya. Dan tidak ada
hak bagi seorangpun atas sesuatu yang ada di sisi Allah.

Allah berjanji kepada orang-orang yang berbuat kebaikan dengan pahala (Surga)
semata-mata karena rahmat-Nya. Dan Allah mengancam kepada orang-orang yang
berbuat keburukan dengan siksaan (Neraka) semata-mata karena keadilan-Nya.

B. Bukti Wujud Allah

“Maka Allah SWT adalah Dzat yang bersifat Wujud (Ada), Qadim (tidak ada
permulaan-Nya), Kekal, dan berbeda dengan makhluk secara mutlak” Syarh
(Penjelasan): Dzat disana bukanlah dzat dalam lisan orang indonesia yang
mempunyai arti materi datu benda, akan tetapi Dzat disana adalah Dzat dalam lisan
orang arab yang mempunyai arti “Dirinya sendiri”, “Haqiqat-nya” karena Allah ada
tanpa membutuhkan bentuk, tempat dan tidak membutuhkan makhluqnya, karena
semuanya adalah ciptaanya dan Allah berdiri sendiri tanpa ada yang menciptakan
dan tidak membutuhkan pertolongan makhluqnya. Sifat wajib Allah SWT yang dua
puluh tersebut yang pertama adalah sifat Nafsiyah Wujud.

Sifat Wujud pengertiannya tetapnya sesuatu dan pasti adanya, sifat wujud ini wajib
bagi Allah SWT. Dzatnya bukan Illat (Pengaruh Luar) maksudnya bahwa selain Allah
(Makhluk) tidak dapat mempengaruhi adanya Allah. Adapun sifat wujud tanpa Dzat
itu terjadi seperti keberadaan kita yaitu melalui perbuatan Allah Ta’ala. Adapun
bukti adanya Allah yaitu adanya makhluk ini, jika Allah SWT tidak ada, maka tidak
akan ada satu makhlukpun. Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya Aku ini adalah
Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku”. (QS.
Thaha : 14) dan firman Allah Ta’ala
“Tidaklah mereka memikirkan tentang kejadian diri mereka? Allah tidak menjadikan
langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya melainkan dengan kebenaran
dan waktu yang ditetapkan. Dan sesungguhnya kebanyakan diantara manusia benar-
benar ingkar akan pertemuan dengan Tuhannya”. (QS. Ar Rum :8)3

Seseorang muslim yang beriman kepada Allah adalah yang membenarkan adanya
Tuhan Yang Maha Agung Tuhan maha Pencipta langit dan bumi. Dia mengetahui alam
ghaib dan alam nyata, maha Pengatur, Raja segala sesuatu. Tiada Tuhan melainkan
Dia. Dialah Yang Maha Agung, yang memiliki sifat-sifat maha sempurna. Untuk
pertama kalinya kita mendapat petunjuk dari petunjuk-Nya. (Allah berfirman :
Kalaulah bukan karena petunjuk Allah, tidaklah kita mendapat petunjuk). Kemudian
petunjuk untuk beriman itu kita peroleh berdasarkan dalil naqli dan aqli.

Dalil naqli
1. Di dalam Al-quran Allah memberitakan keberadaan, pengaturan, nama, dan sifat-
sifat-Nya. Allah berfirman :

“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi
dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas Arasy. Dia menutupkan malam
kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan diciptakan-Nya pula matahari,
bulan, dan bintang-bintang (masingmasing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah !
Menciptakan dan memerintahkan itu hanyalah hak Allah. Mahasuci Allah Tuhan
semesta alam.” (QS. Al-A’raaf : 54).

Firman-Nya menyeru nabi-Nya, Musa a.s., sewaktu ia sampai ke tempat api. Musa
diseru dari lembah sebelah kanan, tempat yang diberkahi sebatang pohon kayu.
“Wahai, Musa. Sesungguhnya Aku adalah Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al-
Qashash : 30).

2. Berita dari sekitar 124.000 nabi dan rasul yang menyebutkan adanya Tuhan Allah
SWT., tentang rububiyyah terhadap alam semesta, penciptaan-Nya, pengembangan,
nama-nama, dan sifat-sifat-Nya. Tidak seorang nabi atau rasul pun kecuali hanyalah
Allah telah berbicara kepadanya atau mengutus hanya seorang utusan atau Allah
telah memasukkan ke dalam hatinya sesuatu yang meyakinkannya bahwa itu kalam
Allah dan wahyu-Nya yang diberikan kepadanya. Pemberitaan sejumlah makhluk dan
manusia pilihan ini memustahilakn akal manusia untuk membohongkannya atau
menyebabkan orang sebanyak ini sepakat untuk berdusta. Begitu juga pemberitaan
sesuatu yang belum diketahui mereka, tidak diselidiki oleh mereka kebenarannya,
dan yang belum pasti kepada mereka, padahal mereka itu manusia-manusia pilihan,
manusi terbaik. Mereka itu manusiamanusia yang mempunyai alasan rasional yang
lebih kuat, dan mereka itu manusia-manusia yang terpercaya dalam pembicaraannya.
3. Berimannya berjuta-juta manusia kepada adanya Allah SWT., penyembahan serta
ketaatan mereka kepada-Nya, padahal pada saat itu berlaku adat kebiasaan manusia
bahwa membenarkan satu atau dua orang lebih patut daripada mebenarkan suatu
kelompok atau umat manusia atau suatu julah besar manusia yang tidak dapat
dihitung, berdasarkan kesaksian rasio dan fitrah terhadapap kebenaran mengenai
apa yang diberitakan kepada mereka, dan mengenai apa yang mereka mendekatkan
diri kepada-Nya.
4. Berita dari berjuta-juta ulama tentang Allah, sifat-sifat, nama-nama, dan pengaturan-
Nya terhadap segala sesuatu, kemampuan-Nya terhadap segala sesuatu,
kemampuan-Nya terhadap segala sesuatu, kerana itulah mereka menyembah dan
menaati, mencitai-Nya, serta menentang keras demi diri-Nya.

Dalil aqli
1. Wujud macam-macam alam, juga makhluk, menjadi bukti adanya pencipta karena
selain diri-Nya (Allah), tidak ada yang mengaku telah menciptakan ini semua. Akal
manusia mustahil akan mengatakan adanya sesuatu itu tak ada yang
mengadakan. Bahkan mustahil pula adanya sesuatu yang jelasitu tanpa ada yang
mengadakan. Demikian pula, seperti halnya makanan, tak mungkin ada tanpa ada
yang memasaknya, dan tak mungkin ada hamparan tanah di planet bumi ini tanpa
ada yang menciptakannya. Jadi, bagaimana mungkin alam semesta seperti langit,
planet, matahari, bintang-bintang, bulan, padahal semuanya berbeda serta jarak
masing-maasing berjauhan, dan berputar. Planet bumi dan apa-apa yang ada
seperti manusia, jin, dan binatangbinatang yang beraneka macam jenisnya itu
berbeda pengetahuan dan pemahamannya, keistimewaan dan ilmunya, juga
barang-barang yang bermanfaat yang ada padanya. Tak mungkin semua ini ada
tanpa adanya Pencipta. Demikian pula hal nya dengan sungai yang airnya
mengalir, uapnya mengepul, tumbuh-tumbuhan yang tumpul dan buahbuahan
yang beraneka rasa dan warna serta ciri-ciri khusus dan manfaatnya.
2. Adanya firman Allah yang sampai kepada kita, yang kita renungrenungkan dan
kita pahami makna-maknanya merupakan bukti akan adanya Pencipta semua itu,
yaitu Allah SWT. Mustahil ada kalau tanpa Mutakallim, dan mustahil ada ucapan
tetapi tidak ada yang mengucapkannya.
Oleh karena itu, kalau Allah menjadi bukti terhadap wujud-Nya lebihlebih kalam
Allah ini merupakan syariat yang paling benar sejauh yang diketahui oleh
manusia. Hukum-hukum- Nya merupakan hukum-hukum yang terbaik bagi
manusia, sebagaimana pula bahwa Firman Allah itu mengandung teori-teori
ilmiah yang paling benar, meliputi hal-hal yang ghaib, juga peristiwa-peristiwa
sejarah. Semua itu adalah hal yang memang benar bagi siapa saja yang mau
membenarkan, dan hukum syariat, dan faedahnya tidak terbatas untuk
sepanjang masa walaupun dengan perbedaaan waktu dan tempat, dan tidak ada
teori ilmiah apapun hal menolak hal itu, dan tidak ada satu berita ghaib pun yang
meleset dari yang diberiatakan didalamnya, sama sekali tidak mengurangi arti
faedah hukum-Nya walaupun masa telah berlalu sekian lama. Demikian pula
sejarawan tidak akan bisa menolak dan mendustakan berbagai kisah yang
disebutkan didalamnya atau memeperkuat pendustaan atau penolakan peristiwa-
peristiawa sejarah yang diisyaratkan dan dijelaskan oleh-Nya.
Terhadap kalam Allah yang bijak seperti ini mustahil akal mengatakan bahwa ia
adalah ciptaan seorang manusia karena kalam itu betul-betul berada diatas
kemampuan dan pengetahuan manusia. Adalah salah bila kalam itu kalam
manusia. Dialah kalam Pencipta Manusia, yang menjadi bukti terhadap adanya
Allah, kemampuan, serta kebijaksanaan-Nya.

3. Adanya system yang sangat akurat didalam hukum alam semesta dalam
penciptaan, pembentukan, peredaran, dan pertumbuhan wujud hidup dialam ini,
sesungguhnya semuanya tunduk kepada tananan hukum alam ini, terikat olehnya,
dan sama sekali tidak ada yang bisa keluar dari tananan tersebut. Seorang suami,
misalnya, menyemburkan spermanya kedalam Rahim istrinya sehingga terjadi
pembuahan yang menakjubkan, yang tidak dibantu oleh seorang manusia pun.
Hanya Allah lah yang dapat memasukan benih janin itu sampai keluar menjadi
bayi. Ini dalam hal penciptaan awal, demikian pula dalam menumbuhkan dan
mendewasakannya, mulai dari bayi dan anak kecil sampai menjadi pemuda, orang
dewasa, dan kakek-kakek.
Ini hukum umum yang terjadi pada manusia, binatang, dan tumbuhtumbuhan.
Hal yang sama juga terjadi pada planet-planet angkasa dan bintang-bintang
dilangit. Semuanya tunduk, patuh, saling berkaitan, dan tidak ada hukum yang
keluar daripadanya. Jika penyimpangan terjadi dari hukumnya, maka hal itu
pertanda telah matinya planet tersebut. Berdasarkan dalil aqli yang rasional dan
dalil naqli yang dapat didengar, manusiapun meyakini Allah dan pengurusan-Nya
terhadap segala sesuatu, ketuhanan-Nya (bagi orang- orang yang terdahulu dan
orang-orang yang datang kemudian). Atas dasar inilah maka kehidupan Muslim,
dalam segala aspeknya, sangat bergantung pada keimanan terhadap Allah
SWT.4

C. Menatap Wajah Allah


Kata Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah, “Ini merupakan puncak kerinduan pecinta surga dan
bahan kompetisi mereka. Dan untuk hal ini seharusnya orang-orang bekerja keras
untuk mendapatkannya.” Nabi Musa pernah meminta hal ini. Dijawab oleh Allah SWT
seperti yang tertera di ayat 143 surat Al-A’raf

Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami
tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa, “Ya
Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada
Engkau.” Tuhan berfirman, “Kamu sekalikali tidak sanggup melihat-Ku. Tapi lihatlah
ke gunung itu, jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat
melihat-Ku”. Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya
gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar
kembali, dia berkata, “Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku
orang yang pertama-tama beriman.”

Ada tujuh pelajaran dari ayat di atas:


1. Tidak boleh menuduh kepada Nabi Musa bahwa ia meminta sesuatu yang tidak
diperkenankan oleh Allah swt.
2. Allah tidak memungkiri permintaan Nabi Musa.
3. Allah menjawab dengan kalimat, “Kamu tidak akan sanggup melihatKu.” Bukan
mengatakan, “Aku tidak bisa dilihat.
4. Allah Mahakuasa untuk menjadikan gunung itu tetap kokoh di tempatnya, dan ini
bukan hal mustahil bagi Allah, itu merupakan hal yang mungkin. Hanya saja dalam hal
ini Allah juga mempersyaratkan adanya proses ru’yah (melihat). Jadi, seandainya hal
itu merupakan sesuatu yang mustahil, sudah tentu Allah tidak akan
mempersyaratkan hal itu.
5. Kalimat “tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya
gunung itu hancur luruh” adalah bukti bahwa bolehnya melihat Allah swt. Jika boleh
bagi-Nya menampakkan diri kepada gunung, bagaimana terhalang untuk
menampakan diri kepada para nabi, rasul, dan wali-Nya di kampung akhirat?
6. Di ayat itu Allah swt. memberitahu kepada Nabi Musa bahwa gunung saja tidak
mampu melihat-Nya di dunia, apalagi manusia yang lebih lemah dari gunung. 7. Allah
swt. telah berbicara dengan Nabi Musa. Nabi Musa juga telah mendengar perkataan
Allah swt. tanpa perantara. Maka, melihat-Nya sudah pasti sangat bisa.5

Firman Allah Ta’ala,

“Wajah-wajah (orang-orang mu’min) pada hari itu berseri-seri (indah). Kepada


Rabbnyalah mereka melihat” (QS al-Qiyaamah:22-23) .

Ayat ini menunjukkan bahwa orang-orang yang beriman akan melihat wajah Allah
Ta’ala dengan mata mereka di akhirat nanti, karena dalam ayat ini Allah Ta’ala
menggandengakan kata “melihat” dengan kata depan “ilaa” yang ini berarti
bahwa penglihatan tersebut berasal dari wajah-wajah mereka, artinya mereka
melihat wajah Allah Ta’ala dengan indera penglihatan mereka.

Bahkan firman Allah Ta’ala ini menunjukkan bahwa wajah-wajah mereka yang
indah dan berseri-seri karena kenikmatan di surga yang mereka rasakan, menjadi
semakin indah dengan mereka melihat wajah Allah Ta’ala. Dan waktu mereka
melihat wajah Allah Ta’ala adalah sesuai dengan tingkatan surga yang mereka
tempati, ada yang melihat-Nya setiap hari di waktu pagi dan petang, dan ada
yang melihat-Nya hanya satu kali dalam setiap pekan.
Firman Allah Ta’ala,
“Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan
tambahannya (melihat wajah Allah Ta’ala). Dan muka mereka tidak ditutupi debu
hitam dan tidak (pula) kehinaan. Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di
dalamnya” (QS Yunus:26).

Arti “tambahan” dalam ayat ini ditafsirkan langsung oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam hadits yang shahih, yaitu kenikmatan melihat wajah Allah
Ta’ala, dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling
memahami makna firman Allah Ta’ala. Dalam hadits yang shahih dari seorang
sahabat yang mulia, Shuhaib bin Sinan radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika penghuni surga telah masuk surga, Allah Ta’ala
Berfirman: “Apakah kalian (wahai penghuni surga) menginginkan sesuatu sebagai
tambahan (dari kenikmatan surga)? Maka mereka menjawab: Bukankah Engkau
telah memutihkan wajah-wajah kami? Bukankah Engkau telah memasukkan kami
ke dalam surga dan menyelamatkan kami dari (azab) neraka? Maka (pada waktu
itu) Allah Membuka hijab (yang menutupi wajah-Nya Yang Maha Mulia), dan
penghuni surga tidak pernah mendapatkan suatu (kenikmatan) yang lebih mereka
sukai daripada melihat (wajah) Allah Ta’ala”. Kemudian Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam membaca ayat tersebut di atas. Bahkan dalam hadits ini
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa kenikmatan melihat
wajah Allah Ta’ala adalah kenikmatan yang paling mulia dan agung serta
melebihi kenikmatankenikmatan di surga lainnya.

Imam Ibnu Katsir berkata, ”(Kenikmatan) yang paling agung dan tinggi (yang
melebihi semua) kenikmatan di surga adalah memandang wajah Allah yang maha
mulia, karena inilah “tambahan” yang paling agung (melebihi) semua
(kenikmatan) yang Allah berikan kepada para penghuni surga. Mereka berhak
mendapatkan kenikmatan tersebut bukan (sematamata) karena amal perbuatan
mereka, tetapi karena karunia dan rahmat Allah”.

Lebih lanjut imam Ibnu Qayyim Al Jauziyyah dalam kitab beliau “Ighaatsatul
lahafaan” menjelaskan bahwa kenikmatan tertinggi di akhirat ini (melihat wajah
Allah Ta’ala) adalah balasan yang Allah Ta’ala berikan kepada orang yang
merasakan kenikmatan tertinggi di dunia, yaitu kesempurnaan dan kemanisan
iman, kecintaan yang sempurna dan kerinduan untuk bertemu dengan-Nya, serta
perasaan tenang dan bahagia ketika mendekatkan diri dan berzikir kepada-Nya.
Beliau menjelaskan hal ini berdasarkan lafazh do’a Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam dalam sebuah hadits yang shahih,

[As-aluka ladzdzatan nazhor ila wajhik, wasy-syauqo ilaa liqo’ik] “Aku meminta
kepada-Mu (ya Allah) kenikmatan memandang wajah-Mu (di akhirat nanti) dan
aku meminta kepada- Mu kerinduan untuk bertemu dengan-Mu (sewaktu di
dunia).

Firman Allah Ta’ala,“Mereka di dalamnya (surga) memperoleh apa yang mereka


kehendaki; dan pada sisi Kami (ada) tambahannya (melihat wajah Allah Ta’ala)” (QS
Qaaf:35).

Firman Allah Ta’ala


“Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka (orang-orang kafir) pada hari kiamat
benar-benar terhalang dari (melihat) Rabb mereka” (QS alMuthaffifin:15).

Imam asy-Syafi’i ketika menafsirkan ayat ini, beliau berkata, “Ketika Allah
menghalangi orang-orang kafir (dari melihat-Nya) karena Dia murka (kepada
mereka), maka ini menunjukkan bahwa orang-orang yang dicintai-Nya akan
melihat-Nya karena Dia ridha (kepada mereka)”.

Demikian pula dalil-dalil dari hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam


yang menetapkan masalah ini sangat banyak bahkan mencapai derajat mutawatir
(diriwayatkan dari banyak jalur sehingga tidak bisa ditolak).

Imam Ibnu Katsir berkata, “(Keyakinan bahwa) orang-orang yang beriman akan
melihat (wajah) Allah Ta’ala di akhirat nanti telah ditetapkan dalam hadits-hadits
yang shahih, dari (banyak) jalur periwayatan yang (mencapai derajat) mutawatir,
menurut para imam ahli hadits, sehingga mustahil untuk ditolak dan diingkari”

Demikian pula hadits yang diriwayatkan oleh Jarir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya kalian
akan melihat Rabb kalian (Allah Ta’ala pada hari kiamat nanti) sebagaimana
kalian melihat bulan purnama (dengan jelas), dan kalian tidak akan berdesak-
desakan dalam waktu melihat-Nya…”6

Namun, bukan sebuah perkara mudah untuk bisa mendapatkan kenikmatan ini.
Melainkan dengan usaha berupa amal saleh saat menjalani kehidupan di dunia.
Berikut ini tiga amalan yang bisa dilakukan manusia agar kelak di akhirat dapat
melihat wajah Allah SWT.

1. Iman dan Ihsan (Merasa Selalu Diawasi oleh Allah) Iman dan ihsan menjadi pintu
untuk bisa melihat wajah Allah SWT. Dengan Iman dan ihsan seorang mukmin akan
senantiasa merasa diawasi oleh Allah SWT dalam setiap ibadahnya. Seakan-akan dia
melihat-Nya dengan hatinya di saat beribadah kepada-Nya. Maka ganjarannya adalah
dengan melihat wajah Allah dengan mata kepala di akhirat.

Penghulu Ulama` Madzhab Hanabilah, Al-Hafiz Ibn Rajab al-Hanbali


Rahimahullahu Ta’ala berkata, bahwa “Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala
dalam QS Yunus : 26 yang artinya: “Bagi orang yang berbuat ihsan, ada pahala
yang terbaik (surga) dan tambahannya (kenikmatan melihat Allah).” (QS Yunus
[10]: 26) Telah sahih dalam Ṣafiīfi Muslim dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam menafsirkan ziyādah (tambahan) dalam ayat ini dengan melihat wajah
Allah di Surga. “Wajah–wajah orang-orang yang beriman pada hari itu berseri–
seri kepada Rabbnya mereka melihat.” (QS. Al-Qiyamah: 22-23)

2. Menjaga Salat Subuh dan Ashar.


Amalan selanjutnya yang dapat membuat manusia dapat melihat wajah Allah
di akhirat adalah menjaga salat Subuh dan Ashar. Salat merupakan ibadah
wajib yang paling mulia dan bisa mengantarkan seorang hamba untuk meraih
kenikmatan melihat Allah.

Dari Jarir Radhiallahu ‘Anhu berkata, “Ketika kami duduk-duduk bersama Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, tiba-tiba beliau melihat ke arah bulan di malam
purnama seraya berkata, ’Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian
sebagaimana kalian melihat bulan ini. Kalian tidak samar dalam melihatnya.
Jika kalian mampu untuk tidak meninggalkan salat sebelum terbitnya matahari
(Subuh) dan salat sebelum terbenamnya matahari (Asar), maka lakukanlah.”
(HR al-Bukhari: 7434, Muslim: 1432 )

Nabi Muhammad menjelaskan secara jelas bahwa ada hubungan erat antara
menjaga salat dan rukyah (melihat Allah). Nabi dalam hadist ini menjelaskan
bahwa melihat wajah Allah SWT bukan sekedar angan-angan, melainkan
sebuah kepastian yang hanya akan didapatkan kesungguhan dalam beramal
dan menjalankan ibadah. Rasulullah SAW juga mengajarkan kita agar
memperhatikan dan menjaga dua salat yang agung yaitu salat Fajar (Subuh)
dan salat Asar yang memiliki banyak keutamaan dan berat bagi orang munafik.

3. Doa
Berdoa merupakan ibadah yang mulia dan menunjukan bagaimana
kesungguhan Hamba dalam meminta kepada Rabb-nya. Ternyata Rasulullah
SAW juga telah mengajarkan kepada umatnya sebuah doa yang agar bisa “
melihat Allah” di kahirat nanti .

“Aku meminta kepada-Mu (ya Allah) kenikmatan memandang wajah-Mu (di


akhirat nanti) dan aku meminta kepada-Mu kerinduan untuk bertemu dengan-
Mu (sewaktu di dunia) tanpa ada mara bahaya dan fitnah yang menyesatkan.”
Diriwayatkan oleh al- Nasa’i: 1305, al-Bazzar: 1393, Ibn Hibban: 1971 dan
dinilai sahih oleh alAlbani dalam Ṣafiīfi al-Jāmi‘ 1301. Baginda Rasulullah
memunajatkan doa ini dalam ibadah yang paling utama yaitu salat. 7

KESIMPULAN :
1. Iman kepada Allah adalah membenarkan tentang adanya Allah SWT dengan
keyakinan dan pengetahuan bahwa sesungguhnya Allah SWT wajib ada-Nya dengan
dzat nya.
2. Sifat Wujud pengertiannya tetapnya sesuatu dan pasti adanya, Allah SWT adalah Dzat
yang bersifat Wujud (Ada), Qadim (tidak ada permulaan-Nya), Kekal, dan berbeda
dengan makhluk secara mutlak.
3. Tiga amalan yang bisa dilakukan manusia agar kelak di akhirat dapat melihat wajah
Allah SWT.
a. Iman dan Ihsan (Merasa Selalu Diawasi oleh Allah) Iman dan ihsan menjadi pintu
untuk bisa melihat wajah Allah SWT.
b. Menjaga Salat Subuh dan Ashar.
c. Do’a.

DAFTAR PUSTAKA :

Alhabib Zaen bin Ibrahim bin Sumait Al-Husaeni Al-Alawi. 2007. Syarah Hadits
Jibril atau Hidayah At-Tholibin Fii Bayani Muhimati. Yaman.
El-Jazair, Abu Bakar Jabir. 1990. Pola Hidup Muslim atau Minhajul Muslim.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya
https://www.dakwatuna.com/2007/02/02/89/menatap-wajah-allahswt/
#ixzz4xYN7zKJK http://www.infoyunik.com/2015/12/tiga-amalan-agar-
dapat-melihat-wajah.html
https://muslim.or.id/2343-memandang-wajah-allah-kenikmatan-tertinggi-
diakhirat.htm

Anda mungkin juga menyukai