Anda di halaman 1dari 80

MATERI ILMU TAUHID

Oleh : Masykurillah, S. Ag., MA. dan Asip Abdullah, Lc.

1. IMAN KEPADA ALLAH

A. Hakikat Beriman Kepada Allah


Yaitu pembenaran yang pasti akan wujud (keberadaan) Allah mengakui
Rububiyah, Uluhiyah serta Asma dan Sifat-Nya.1
Berdasarkan pengertian di atas, maka beriman kepada Allah meliputi
empat perkara, yaitu (1) Beriman kepada Wujud Allah. (2) Beriman kepada
Rububiyah Allah. (3) Beriman kepada Uluhiyah Allah. (4) Beriman kepada Asma
dan Sifat Allah.
Selanjutnya di bawah ini penulis uraikan satu-persatu makna yang
terkandung di dalam iman kepada Allah tersebut:

1. Beriman Kepada Wujud Allah


Beriman kepada wujud Allah yaitu beriman bahwa Allah itu ada.
Sebenarnya persoalan tentang wujud Allah sudah sangat jelas, hakikat yang tidak
perlu lagi diragukan kebenarannya, tidak ada jalan untuk mengingkarinya.
Wujudnya Allah adalah terang bagaikan terang benderangnya matahari yang
bersinar, dan juga sudah jelas sejelas-jelasnya bagaikan bagaikan cahaya mentari
di pagi yang cerah. Namun di bawah ini penulis kemukakan beberapa bukti
wujud Allah tersebut sekedar untuk menambah referensi pembaca yang sudah
paham, dan sebagai bantuan bagi pembaca yang memang ingin mengetahui dalil-
dalil wujud Allah

a. Alam Semesta Adalah Bukti Wujud Allah Sang Maha


Pencipta
Semua yang ada dilingkungan alam semesta ini dapat digunakan sebagai
bukti tentang wujudnya Tuhan. Bahkan benda-benda yang terdapat di sekitar alam
semesta dan unsur-unsurnya dapat pula mengokohkan atau membuktikan bahwa
benda-benda itu pasti ada pencipta dan pengaturnya.
Periksalah alam cakrawala yang ada di atas kita itu yang didalamnya
terlihat pula matahari, bulan, bintang, dan sebagainya. Demikian pula alam yang
berbentuk bumi ini dengan segala sesuatu yang ada disitu, baik yang berupa
1
Abdul Aziz Bin Muhammad Abd Lathif, Pelajaran Tauhid Untuk Tingkat Lanjutan
(Jakarta: Darul Haq, 1998) h. 7

1
manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan dan benda padat, juga perihal adanya
hubungan yang erat dengan perimbangan yang pelik yang merapikan susunan
diantara alam-alam yang beraneka warna itu serta menguatkan keadaannya
masing-masing. Semuanya tidak lain kecuali merupakan tanda dan bukti perihal
wujudnya Allah.
Manakala akal memustahilkan bahwa ada kapal terbang yang melayang-
layang di udara atau ada kapal selam yang menyelam di dasar lautan tanpa ada
pembuat dari kapal terbang dan kapal selam itu, maka jikalau hal-hal diatas itu
dimustahilkan, akal akan menetapkan secara pasti tentang kemustahilannya alam
semesta yang amat indah permai tanpa adanya Maha Pencipta yang
menciptakannya serta adanya Maha Pengatur yang mengatur segala urusannya.2
Jadi setiap yang baru pasti ada yang membuatnya. Dan mahluk-mahluk
yang banyak ini serta apa saja yang kita saksikan setiap saat pastilah ada yang
menciptakannya. Dan pencipta itu adalah Allah SWT. Mustahil ada makhluk
tanpa ada yang menciptakannya, sebagaimana mustahil pula mahluk itu
menciptakan dirinya sendiri, sebab sesuatu tidak mungkin menciptakan dirinya
sendiri.3
Sudah menjadi kebiasaan dalam cara manusia befikir yaitu kalau terjadi
sesuatu yang diketahui siapa pembuatnya, maka dia katakan "tak tahu siapa yang
membuatnya". Dan dia tidak mengatakan, " tak ada yang membuatnya".4
Dengan demikian, bukti alam semesta yang menunjukkan wujud Allah
adalah merupakan bukti yang paling tua, paling mudah, dan paling kuat. Secara
ringkas bukti adanya alam semesta ini mengharuskan adanya Zat yang
mengadakannya, yaitu Allah.

b. Fitrah Sebagai Bukti Adanya Allah


Fithrah adalah keaslian yang di atasnya itulah Allah SWT menciptakan
makhluk manusia ini.5 Ruh Allah yang ditiupkan kepada jasad, sehingga manusia
disebut sebagai makhluk yang berada pada pada puncak ciptaan Allah. Hal ini
mengisyaratkan bahwa Allah ada dalam diri setiap manusia.6

2
Sayid Sabiq,Aqidah IslamPola Hidup Manusia Beriman. (Bandung: CV Diponegoro
Bandung, 2005)h. 60-61
3
Abdul Aziz Bin Muhammad Abd Lathif, Op.cit. h. 8
4
Hamka, Pelajaran Agama Islam ( Jakarta: Bulan Bintang,1989) h. 32
5
Sayid Sabiq, Aqidah IslamPola Hidup Manusia Beriman. (Bandung: CV Diponegoro
Bandung, 2005) h. 73
6
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran(Bandung: Mizan, 1996) h. 15-18

2
“Maka apabila aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniup
kan kedalamnya ruh-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud”.
(QS. Al-Hijr: 29)
Naluri manusia yang suci telah bersaksi atas keberadaan Allah tanpa
kebutuhan apa pun lagi terhadap dalil selanjutnya. Itu pulalah sebabnya Al-
Qur'an tidak membahas secara panjang lebar perihal pembuktian wujud Allah. Al-
Qur'an menyatakan bahwa naluri manusia yang suci, dan pikiran-pikiran yang
belum terkontaminasi dengan kotoran syirik, akan mengakui keberadaannya
Tuhan Yang Maha Esa.7
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah;
(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.
tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (QS. Al Rum: 30)
Maka sekalipun manusia tersebut adalah kaum musyrik , tapi mereka pasti
mengakui keberadaan Allah Sang Maha Pencipta. Mereka mengakui bahwa hanya
Allah yang Maha Pencipta alam semesta ini. Mereka juga percaya bahwa hanya
Allah Yang Maha Pemberi rezeki dan hanya Dia-lah yang dapat memberikan
keuntungan atau menyebabkan kerugian.
"Dan sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka, Siapakah
yang menciptakan seluruh langit dan bumi?' Mereka akan menjawab, 'Allah!
Katakanlah Segala Puji bagi Allah," tetapi kebanyakan mereka tidak
mengetahuinya." (QS. Luqman: 25).8
Dengan demikian percaya kepada adanya Allah yang menciptakan dan
mengatur seluruh alam beserta isinya adalah sesuatu yang asli di dalam jiwa setiap
manusia.9

c. Bukti Kejadian Dan Pengalaman-Pengalaman


Bukti lain wujud Allah ialah apa yang pernah terjadi atas manusia itu
sendiri atau kejadian-kejadian yang dialami manusia.
Setiap manusia tentu pernah berdoa kepada Tuhannya, kemudian
dikabulkannya apa yang menjadi permintaannya. Pernah pula meminta kepada-
Nya dan apa yang diminta itu pun diberikan-Nya. Manusia pernah pula
menyerahkan sesuatu urusan bulat-bulat pada-Nya serta bertawakal sepenuhnya,

7
Umar Al Asyqar, Belajar Tentang Allah (Jakarta: SAHARA publishers, 2008) h. 101
8
Ibid. h. 105
9
Hamka, Pandangan Hidup Muslim. (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1984) h. 197

3
kemudian Allah menjamin kebaikan bagi dirinya. Yang sakit memohon
kesembuhan dari-Nya disamping tetap berusaha dengan pengobatan dan ia pun
sembuh kembali sebagaimana semula. Banyak juga penyakit yang diringankan
penderitaannya, sementara itu berlimpah-limpah rizki yang telah dikaruniakan
padanya, malahan tidak sedikit kesusahan yang telah dilapangkan untuknya atau
kesedihan yang telah dilenyapkan darinya.
Diantara pengalaman-pengalaman manusia dalam kehidupannya tersebut,
sebenarnya sudah membimbing dirinya sendiri untuk dapat sampai kepada wujud
Allah dengan kesadaran. Pengalaman-pengalaman itu dapat membuka segala
macam hakikat yang ia sendiri pasti tidak merasakan dengan panca inderanya.
Hakikat inilah yang sebenarnya mengatur kesempurnaan susunan alam jagad raya
yang amat luas ini.10

d. Bukti-Bukti Dari Naqal (Keterangan Agama)


Diantara bukti-buktinya yang dapat kita saksikan tentang wujud Allah
ialah bahwa para Nabi dan Rasul yang terpilih dari sekian banyak hamba-hamba-
Nya, mereka itu semua adalah manusia pilihan, semuanya sejak zaman nabiullah
Adam a.s. sampai ke zaman Rasulullah Muhammad s.a.w. mempunyai satu garis
penyiaran yang benar-benar sama dan sejalan, yaitu memberitahukan dengan pasti
kepada seluruh ummat manusia bahwa di alam semesta ini ada Tuhan yang Maha
Bijaksana. Oleh sebab itu ajaran pokok dan terpenting dari semua Nabi dan Rasul
adalah sama yaitu bahwa Allah itu ada dan Maha Esa.11
Al-Quran sebagai Kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW, sejak awal telah mengajukan tantangan kepada orang yang meragukannya
untuk membuat yang serupa walaupun hanya satu ayat saja, tetapi sampai kapan
pun tidak tidak akan ada seorangpun yang mampu menandinginya, walaupun
mereka bersama-sama membuatnya yang satu ayat tersebut. Ini membuktikan
bahwa adanya Dzat yang Maha Besar dan Maha Sempurna yang telah me-
wahyukan Al-Quran.12
Di dalam Al-Quran inilah dijumpai ayat-ayat yang menyebutkan
keberadaan Allah. Karena merupakan Kitab yang sumber kebenarannya mutlak,
maka Al-Quran wajib kita percayai. (2: 163 dan 30:25).13

10
Sayid Sabiq,Op.cit. h. 74
11
Ibid. 77
12
Rosihan Anwar, Akidah Akhlak (Bandung: Pustaka Setia, 2008) h. 95
13
Ibid. h. 92

4
Disamping dalil-dalil yang telah dikemukakan di atas, masih ada dalil-dalil
lain yang membuktikan wujud Allah. Akan tetapi, cukuplah beberapa dalil-dalil
yang telah dikemukakan tersebut dapat dijadikan pegangan dalam upaya
membuktikan wujud Allah SWT.14

2. Beriman Kepada Rububiyah Allah


Beriman Kepada Rububiyah Allah yaitu mengakui bahwasanya Allah
adalah Rabb segala sesuatu; pemilik, pencipta, pemberi rizki, yang
menghidupkan, yang mematikan, yang bagi-Nya segala urusan, yang di tangan-
Nya segala kebaikan, dan bahwasanya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan
Dia tidak memiliki sekutu apapun.15
Rububiyah yaitu bahwa sesungguhnya Allah adalah Tuhan yang
memonopoli penciptaan (al-khaliq, creator), pemeliharaan (al-murabbi),
pengaturan (al-mudabbir) penguasaan (al-sultan, malik al-mulk: dan pemilikan
(al-malik). Manusia adalah makhluk (ciptaan)-Nya yang senantiasa tergantung
kepada-Nya dalam memenuhi kebutuhan psikis-rohaninya, dan dalam
memecahkan masalah-masalah hidup yang dihadapinya.16
Beriman kepada Rububiyah Allah berarti kepercayaan yang pasti
bahwasanya Allah adalah rabb yang tidak ada sekutunya baginya, dan
mengesakan Allah dengan perbuatan-perbuatan-Nya, dengan meyakini
bahwa Allah lah dzat satu-satunya yang menciptakan segala apa yang ada di
alam semesta ini.17 Jadi istilah Allah Rabbul ‘alamin; Rabb sekalian alam
adalah bahwa Allah adalah pencipta mereka, yang menguasai, yang
memperbaiki dan yang memelihara dengan segala nikmat dan anugerah-
Nya.18
Tetapi jenis cakupan ini tidak cukup untuk menjadikan seseorang masuk
ke dalam Islam. Kaum musyrikin dahulu mengakuinya. Namun, hal itu tidak
bermanfaat bagi mereka dan belum memasukkan mereka ke dalam Islam, karena
mereka melakukan kemusyrikan dalam tauhid Uluhiyah. Mereka memalingkan
sebagian jenis peribadatan, seperti doa, sembelihan dan istighatsah kepada
sembahan mereka seperti berhala, malaikat dan selainnya. Kaum musyrikin
14
Ibid. h. 98
15
Abdul Aziz Bin Muhammad Abd Lathif, Op.cit. h. 9
16
Didik Ahmad Supadie & Sarjuni, Pengantar studi Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 2011)
h. 117
17
Abdul Aziz Bin Muhammad Abd Lathif, Op. cit. h. 9
18
Ibid. h. 10

5
mengakui Allah itu ada dan Pencipta segala sesuatu serta mereka tidak
mengingkarinya.19
Maka cakupan iman kepada Rububiyah akan berkonsekwensi pada iman
kepada Uluhiyah. Barang siapa yang mengakui, Allah lah Penciptanya yang
menciptakannya dari ketiadaan, yang menguasainya, yang memberi rizki
kepadanya, yang memberikan kepadanya berbagai macam kenikmatan yang tak
terhingga dan terus berkesinambungan di segala waktu dan keadaan sejak
dilahirkan sampai mati, bahkan sebelum itu, dan bahwa Allah yang mengatur
segala urusannya, maka ia wajib bersyukur kepada Allah atas nikmat tersebut,
dengan hanya beribadah kepada-Nya, mentaati perintah-Nya, menjauhi larangan-
Nya, dan ia tidak boleh menyekutukan-Nya dengan seorang pun dari hamba-Nya
dalam beribadah kepada-Nya.
Karena itu, Allah mencela kaum musyrikin yang telah mengakui tauhid
Rububiyah, kemudian melakukan kemusyrikan dalam beribadah kepada-Nya.
Dengan menyuguhkan sebagian macam peribadatan, seperti doa, menyembelih
dan lainnya kepada selain Allah.20

3. Beriman Kepada Uluhiyah Allah


Makna Beriman Kepada Uluhiyah Allah. yaitu kepercayaan yang secara
pasti bahwa hanya Allah semata yang berhak segala bentuk ibadah, baik yang
lahir maupun batin.21 Jadi, hamba tersebut yakin bahwa Allah adalah al-ma’bud
(dzat yang disembah), yang tidak ada sekutu baginya. Karena itu, tidak ada
sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah.
Beriman Kepada Uluhiyah Allah yaitu mengakui bahwa hanya Allah lah
Tuhan yang berhak disembah, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan ilah artinya adalah
ma’luh maksudnya, yang disembah dengan penuh kecintaan dan pengagungan.
Yakni, mengesakan Allah dengan segala bentuk ibadah, sehingga kita tidak
berdo’a kecuali kepada Allah, tidak takut kecuali kepada Allah, tidak bertawakal
kecuali kepada Allah, tidak sujud kecuali kepada Allah dan kita tidak tunduk
kecuali kepada Allah. Dan tidaklah ada berhak disembah kecuali Allah.22
Iman kepada Uluhiyah disebut juga dengan Tauhid Ubudiyah, yaitu
mengesakan Allah dalam peribadatan. Jadi jika dihubungkannya kepada Allah,
19
Abdullah bin Abdul Aziz al Jibrin, Cara Mudah Memahami Aqidah Sesuai al-Quran
dan as-Sunnah serta Pemahaman Salafus Sholih (Jakarta: Pustaka at-Tazkia, 2006) h. 26-27
20
Ibid. h. 29
21
Abdul Aziz Bin Muhammad Abd Lathif, Op.cit. h. 12
22
Abdul Aziz Bin Muhammad Abd Lathif, Op cit. h. 13

6
tauhid ini dinamakan tauhid Uluhiyah. Namun, jika dihubungkan kepada
makhluk, tauhid ini dinamakan tauhid Ibadah, atau tauhidatul Ubudiyah.(QS. Adz
Dzariat:56).23
Tauhid Ubudiyah, artinya ibadah hanya kepada Allah semata atas dasar
cinta yang tulus dan murni dengan disertai tunduk patuh kepada-Nya secara
sempurna. Indikasi ibadah semacam itu adalah penghambaan secara total.
Manusia harus siap menjadi hamba (budak, abdi) Allah. Setiap hamba
mengarahkan seluruh aktivitas hidupnya hanya untuk Allah, kegiatan seluruh
anggota badannya untuk melaksanakan syariat-Nya, menegakkan agama-Nya, dan
senantiasa berjalan di atas sunnah-sunnah-Nya, menjadikan seluruh ucapan,
perbuatan, pikiran, sikap, dan gerak hatinya ditujukan kepada pencapaian ridha
Allah. Seorang muslim yang telah memenuhi indikasi seperti itu berarti dia telah
mampu merealisasikan makna dalam ucapan dan perbuatan. Muslim yang
demikian itu telah menunjukkan kebenaran dan kejujuran ikrar syahadah yang
telah diucapkannya.24
Jadi di dalam iman kepada uluhiyah juga terkandung iman kepada
Rububiyah dan iman al Asma wa ash-Shifat. Barang siapa yang hanya beribadah
kepada Allah, dan beriman bahwa Dialah semata-mata yang berhak untuk
disembah, maka itu menunjukkan bahwa ia beriman kepada Rububiyah-Nya dan
Asma wa Shifat-Nya. Sebab, ia tidak melakukan hal itu kecuali ia meyakini
bahwa Allah sematalah yang memberikan karunia kepadanya dan kepada semua
hamba-Nya dengan menciptakan, memberi rizki, mengatur, dan sifat-sifat
Rububiyah lainnya yang merupakan kekhususan Rububiyah. Demikian pula Dia
memiliki nama-nama yang indah dan sifat-sifat yang luhur, yang menunjukkan
bahwa hanya Dia-lah yang berhak untuk diibadahi satu-satunya yang tiada sekutu
bagi-Nya.25

4. Beriman Kepada Asma (Nama-nama) dan Sifat Allah


Makna beriman kepada asma dan sifat Allah berdasarkan apa yang
ditetapkan oleh Allah untuk diri-Nya di dalam Al-Qur’an maupun sunnah Rasul-
Nya, sesuai dengan apa yang pantas bagi Allah.26

23
Abdullah bin Abdul Aziz al Jibrin, Op.cit h. 33
24
Didik Ahmad Supadie & Sarjuni,Op.cit. h. 118
25
Abdullah bin Abdul Aziz al Jibrin, Op. cit. h. 34
26
Abdul Aziz Bin Muhammad Abd Lathif, Op. cit. h. 27

7
Pengertian lain tentang beriman dengan asma dan sifat Allah adalah
meyakini dengan sepenuh hati bahwa: (1) Allah telah menetapkan untuk diri-Nya
nama-nama dan sifat-sifat-Nya. (2) Nama dan sifat Allah khusus hanya milik
Allah saja, Dia berbeda dengan seluruh makhluk-Nya. Sebagai contoh sifat ilmu.
Allah berilmu, dan manusia juga berilmu. tetapi sifat ilmu Allah dan Ilmu
manusia sangat jauh berbeda.27
Nama-nama Allah dan sifat-Nya adalah merupakan perkara ghaib yang
tidak bisa diketahui oleh manusia secara detail kecuali lewat jalan wahyu. Karena
manusia tidak bisa meliputi Allah dengan ilmunya. (QS.Thaha:110)
Pembahasan mengenai sifat adalah bagian dari pembahasan tentang dzat.
Dengan alasan tersebut, tidak mungkin akal manusia mampu dengan sendirinya
mengkaji nama-nama dan sifat-sifat Allah serta mengetahuinya secara terperinci,
baik menetapkan atau menafsirkannya. Oleh karena itu, seorang hamba wajib
berhenti pada Kalam Allah dan sabda Rasul-Nya. Ia mengimani semua nama dan
sifat Allah yang disebutkan dalam nash-nash syariat, serta menafikan darinya
segala hal yang dinafikan oleh Allah dan Rasul-Nya.28
Maka hal-hal yang perlu diperhatikan dalam iman kepada asma Allah
adalah:
1. Beriman dengan semua nama-nama Allah, baik yang terdapat dalam al-Quran
mapun dalam Hadis tanpa menambah dan mengurangi.
2. Beriman bahwa Allah sendiri yang telah menamakan diri-Nya dengan nama-
nama itu. Tidak seorang makhluk pun yang memberi nama kepada-Nya.
3. Beriman bahwa nama-nama Allah yang agung tersebut mengandung makna
yang maha sempurna; tidak ada kekurangan sedikitpun pada-Nya, dan wajib
kita mengimani kandungan makna dari nama-nama tersebut sebagaimana kita
wajib mengimani nama-nama tersebut.
4. Wajib memuliakan kandungan makna nama-nama tersebut.
5. Beriman dengan hukum-hukum yang dikandung oleh nama-nama tersebut,
begitu pula dengan segala perbuatan dan kesan yang lahir dari nama-nama
itu.29

27
Didik Ahmad Supadie & Sarjuni, Op cit.h. 119
28
Abdullah bin Abdul Aziz al Jibrin, Op. cit. h. 53
29
Erwandi Tarmizi, Rukun Iman (Riyad-Madinah: Maktab Dakwah dan Bimbingan Jaliyat
Rabwah, 2007) h. 18-21

8
Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan dalam iman kepada sifat Allah
adalah:
1. Menetapkan semua sifat-sifat-Nya yang terdapat dalam al Quran dan Hadits
secara hakiki, tanpa ada penyelewengan dan penapian maknanya.
2. Keyakinan yang pasti bahwa Allah mempunyai sifat yang sempurna dan
maha suci dari kekurangan.
3. Tidak menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk
4. Kesadaran penuh bahwa kita tidak mungkin mengetahui kaifiyat sifat-sifat
Allah itu, kecuali oleh Dia.
5. Mengimani segala yang menjadi konsekwensi dari sifat-sifat itu baik berupa
hukum atau kesan-kesan yang dilahirkan dengan beriman dengan sifat
tersebut. Maka setiap sifat mengandung penghambaan diri kepada Allah.30

B. Urgensi Mengenal Allah


Karena Allah Maha Besar, maka pengetahuan tentang Allah adalah
pengetahuan yang maha besar, pengetahuan yang maha tinggi dan maha penting
dari pengetahuan lainnya.
Oleh sebab itu, maka sangatlah mengherankan jika seseorang tertarik
mempelajari tentang bumi, bintang, dan matahari, tetapi tidak tertarik hatinya
untuk memepelajari tentang Allah Yang Maha Menciptakan dirinya dan semua
makhluk yang ada. Tidak layak rasanya kalau tentang nyamuk atau hama kita
pelajari sedalam-dalamnya, tetapi untuk mempelajari tentang Allah Tuhan Yang
Maha besar tidak tertarik hatinya. Sungguh tidak layak jika tentang tanah dan air
kita pentingkan sepenting-pentingnya, tapi tentang Allah kita abaikan. Sangat
tidak layak jika setiap hari kita bicara tentang makanan, cabe, gula, dan beras,
tetapi sedikit sekali atau bahkan tidak pernah bicara tentang Allah yang telah
memberikan semua kebutuhan hidup tersebut kepada kita.31
“Mereka tidak hargai Allah dengan harga yang sebenarnya.
Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa”. (QS. Al
Haj:74)
Setelah ayat ini turun dan dibacakan oleh Rasul kepada para sahabat, maka
para sahabat banyak yang menangis tersedu-sedu dengan mencucurkan air mata
sedih. Ada yang sedih karena memang merasa dirinya belum dapat menghargakan
Allah dengan harga yang sebenarnya. Kita dihidupkan setiap detik, paru-paru kita
30
Ibid. h. 22-23
31
Bey Arifin, Mengenal Tuhan (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1964) h. 14

9
digerakkan, ribuan nikmat setiap detik kita terima dari Allah, tetapi kita lalai
untuk bersyukur sholat sujud kepada-Nya. Ada yang sedih karena masih banyak
manusia lain yang tidak menghargai Allah dengan harga yang sebenarnya. Lalu
bagaimana dengan kita. Sudahkah kita menghargai Allah dengan harga yang
sebenarnya? Mungkin kita sudah sering sedih atau menangis karena menderita
sakit atau ekonomi sulit, ditinggal salah seorang anggota keluarga kita, atau
karena kehilangan uang, karena tidak mendapatkan jabatan dan duniawiyah
lainnya. Tapi semua tangis karena makhluk dan duniawiyah itu adalah kecil,
tangis yang tidak ada nilai dan harganya. Air mata yang diteteskan karena benda
sekalipun seton banyaknya, tidak ada nilai dan harganya, justru menunjukkan
lemahnya jiwa. Tetapi orang yang menangis karena Allah, sekalipun kecil tapi
nilainya lebih tinggi dari seton emas berlian. inilah tangis orang yang berjiwa
besar, tangis yang sangat berharga, tangis suci.32
Pribadi termulia adalah seorang yang paling mengenal Allah. Mengenal
Allah merupakan suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan setiap manusia.
Karena dengan mengenal Allah, seseorang akan lebih dapat mengenali dirinya
sendiri. Dengan mengenal Allah seseorang juga akan dapat memahami mengenai
hakekat keberadaannya di dunia ini; untuk apa ia diciptakan, kemana arah dan
tujuan hidupnya, serta tanggung jawab yang dipikulnya sebagai seorang manusia
di muka bumi. Dengan lebih mengenal Allah, seseorang juga akan memiliki
keyakinan bahwa ternyata hanya Allah-lah Yang Maha Pencipta, Maha Penguasa,
Maha Pemelihara, Maha Pengatur dan lain sebagainya. Maka seseorang yang
mengenal Allah, seakan-akan ia sedang berjalan pada sebuah jalan yang terang,
jelas dan lurus.
Sebaliknya, tanpa pengenalan terhadap Allah, manusia akan dilanda
kegelisahan dalam setiap langkah yang dilaluinya. Ia tidak dapat memahami
hakekat kehidupannya, dari mana asalnya, kemana arah tujuannya dan lain
sebagainya. Seakan-akan ia sedang berjalan di sebuah jalan yang gelap, tidak
tentu dan berkelok. Maka mengenal Allah adalah Puncak segala nikmat di dunia.33
Mengenal Allah SWT adalah suatu keniscayaan bagi seorang muslim dan
wajib hukumnya. Mengenal Allah adalah pangkal pokok agama. Menjadi pondasi
kekuatan beragama, tanpa mengenal-Nya, pengamalan beragama akan rapuh
seperti rapuhnya buih di lautan. Maka Kekuatan energi beragama  bergantung
sampai sejauh mana seseorang mengetahui Allah.
32
Ibid. h. 23
33
Hamka, Op. cit. h. 384

10
C. Metode Mengenal Allah
Secara garis besarnya ada tiga cara/jalan mengenal Allah:
a. Jalan naluri/pembawaan yang dibawa sejak lahir yang itu disebut dengan
fitrah.
b. Jalan wahyu, yang tersurat dalam kitab-kitab yang diturunkan Allah dengan
perantaraan Rasul-Nya.
c. Jalan hikmah, yaitu kepandaian menggunakan akal pikiran dengan
memperhatikan alam semesta dan kejadiannya.34
Sementara Sayid Sabiq mengatakan bahwa untuk mengenal Allah itu ada
dua cara, yaitu:
Pertama: Dengan menggunakan akal fikiran dan memeriksa secara teliti
apa-apa yang diciptakan oleh Allah yang berupa benda-benda yang beraneka
ragam ini.
Kedua: Dengan mema’rifati nama-nama Allah serta sifat-sifat-Nya.
Baiklah disini penulis uraikan yang dua cara tersebut, karena yang
disebutkan oleh Hamzah Ya’qub di atas telah disinggung pada uraian sub bab
tentang bukti wujud Allah:

1. Mengenal Dengan Fikiran


Sesungguhnya setiap anggota tubuh itu tentu ada tugasnya, sedang tugas
akal ialah membayangkan, meneliti, memikirkan dan mengamati. Jikalau
kekuatan-kekuatan semacam ini menganggur maka hilang pulalah pekerjaan akal,
juga menganggurlah tugas yang terpenting baginya, dan ini pasti akan diikuti oleh
terhentinya kegiatan hidup. Jikalau ini sudah terjadi, akan menyebabkan pula
adanya kebekuan, kematian dan kerusakan akal itu sendiri. Makanya Islam
menghendaki agar akal itu dipergunakan untuk mengadakan perenungan dan
pemikiran. Pekerjaan yang sedemikian ini termasuk inti peribadatan kepada
Allah.35
Menganggurkan akal dari tugas yang semestinya itu akan menurunkan
manusia itu sendiri ke suatu taraf yang lebih rendah dan lebih hina dari taraf
hewan. Allah sendiri telah mencela sekali orang tidak menggunakan akal
pikirannya sebagaimana mestinya itu.36

34
Hamzah Ya’kub, Ilmu Ma’rifah( CV. Aziza, 1988) h. 41
35
Sayid Sabiq,Op. cit. h. 31
36
Ibid. h. 33

11
Tidak ada sebuah pemikiran pun yang dilarang oleh Allah, melainkan
memikirkan Dzatnya Allah, sebab soal yang satu ini adalah sudah pasti diluar
kekuatan akal manusia. Maka yang dianjurkan oleh Islam untuk difikirkan ialah
dalam hal ciptaan Allah, yakni apa-apa yang ada di langit, di bumi, dalam dirinya
sendiri, dalam masyarakat manusia dan lain-lain.37
Al-Quran telah mendorong akal fikiran manusia dengan mengemukakan
ayat-ayat tentang ilmu alam yang menjelaskan segala isi dalam dunia semesta ini,
dengan menggunakan hasil dari pemikiran itu nanti akan terciptalah pengetahuan
tentang Allah. Inilah hakikat terbesar yang dicapai oleh akal yaitu berma’rifat
kepada Allah. Kema’rifatan ini terdiri dari hal-hal seperti mengenal kesempurnaan
sifat-sifat-Nya, keagungan-keagungan hal ikhwal-Nya, kenyataan-kenyataan dari
kebesaran dan keluhuran-Nya, bukti-bukti kesucian-Nya, kelengkapan ilmu-Nya,
kelangsungan kekuasaan-Nya dan keesaan-Nya dalam hal menciptakan dan
membuat yang baru.38

2. Mengenal Allah Dengan Jalan Memahami Nama-Nama Dan Sifat-


Sifat Allah
Jalan lain dalam mencapai ma’rifat kepada Allah adalah dengan
memahami nama-nama Allah yang baik-baik serta sifat-sifatNya yang luhur dan
tinggi.Nama-nama dan sifat-sifat itu adalah merupakan perantara yang digunakan
oleh Allah agar makhluk-Nya ini dapat mengenal-Nya. Inilah yang dapat
dianggap sebagai saluran yang dari sinilah hati manusia dapat mengenal Allah
secara spontan. Bahkan dengan hal itu pula yang dapat menggerakkan cara
penemuan yang hakiki dan membuka alam yang amat luas terhadap kerohanian
guna menyaksikan cahaya Allah.39

D. Pengaruh Iman Kepada Allah


Diantara pengaruh keimanan kepada Allah ialah:
1. Iman dapat memerdekakan jiwa dari penjajahan atau perbudakan dunia
dengan segala isinya
Iman dapat memerdekakan jiwa dari penjajahan atau perbudakan dunia
dengan segala isinya sebabnya adalah karena dengan beriman hanya percaya
kepada kekuatan dan kekuasaan Allah Yang Maha Kuasa atas segala-galanya,

37
Ibid. h. 35
38
Ibid. h. 35-36
39
Sayid Sabiq,Op. cit. h. 78

12
hanya Allah saja yang kuasa memberikan bentuk kehidupan. Perasaan demikian
menghilangkan ketergantungan kepada dunia dengan segala isinya. Dengan iman
dia telah menjadikan dirinya abdi Allah, maka dunia dengan segala isinya hanya
sebagai alat baginya untuk mengabdi kepada Allah, apabila jiwa seorang sudah
bebas dari pengaruh dunia atau dari kekuasaan orang lain, berarti dia telah menuju
menjadi jiwa yang sempurna.40 Dengan demikian, keimanan kepada Allah pada
akhirnya dapat menuntut suatu kehidupan yang merdeka dari perbudakan dunia,
dan itulah yang disebut dengan kemerdekaan sesungguhnya.
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka
dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka
itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk”. (QS. 82)

2. Memberikan ketentraman jiwa


Pengaruh iman juga memberikan ketentraman jiwa. Hal ini disebabkan
karena dia memiliki tempat mengadu, pembela, pelindung, pemelihara, penolong,
pemberi rizki dan segalanya baginya didalam hidup ini, yakni Allah SWT.
Jika hati sudah tenang dan jiwapun sudah tenteram, maka manusia itu
pasti akan dapat merasakan kelezatannya beristirahat, juga kenikmatan keyakinan
dalam kalbu. Disamping itu ia akan berani menanggung segala kesukaran dan
kesengsaraan dengan sikap yang berani, ia akan tabah menghadapi segala
marabahaya sekalipun betapa besar dan dahsyatnya. Sementara itu ia meyakini
pula bahwa pertolongan Allah pasti akan diulurkan pada dirinya, karena hanya
Dialah yang Maha Kuasa untuk membuka segala pintu yang tertutup dan
mendobrak segala jendela yang terkunci. Dengan kepercayaan seperti ini, maka
tidak mungkin akan dihinggapi oleh rasa kesedihan, penyesalan atau pun hendak
mundur ke belakang. Apalagi putus asa, karena sifat ini tidak akan terdapat dalam
kamus hidup orang yang beriman dengan Allah.
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan
mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi
tenteram”.(QS. Ar Rad: 28)

40
Sayyid Sabiq, Unsur-unsur Dinamika Dalam Islam, Terjemahan Haryono S. Yusuf,
(Jakarta :PT Djaya Pirusa, 1981), h. 11

13
3. Keimanan yang hakiki itu dapat menimbulkan jiwa keberanian dan ingin
terus maju karena membela kebenaran.
Kematian akan dianggap tidak berharga sama sekali, diremehkan dan
sebaliknya malahan akan dicari kematian secara syahid, demi untuk menuntut
tegaknya keadilan dan kejujuran serta hak.
Timbul jiwa berani itu ialah karena keimanan itu akan mengajarkan bahwa
yang kuasa memberikan umur itu hanyalah Allah saja. Umur itu tidak akan
berkurang sebab manusia itu menjadi berani dan terus maju, tetapi tidak pula akan
bertambah dengan adanya sikap pengecut dan licik. Alangkah banyaknya manusia
yang mati di atas kasurnya yang empuk, tetapi alangkah banyak pula orang yang
selamat ditengah berkecamuknya peperangan yang maha dahsyat dan pertarungan
yang amat sengit.41
Jika keimanan kepada Allah telah menjadi suatu kenyataan yang sehebat-
hebatnya, maka ia akan dapat berubah dan beralih sehingga merupakan suatu
tenaga atau kekuatan yang muncul dengan sendirinya dalam kehidupan ini.
Keimanan akan mengubah manusia yang asalnya lemah menjadi kuat, baik dalam
sikap dan kemauan, mengubah kekalahan menjadi kemenangan, keputus-asaan
menjadi penuh harapan, dan harapan ini akan dicetuskan dalam perbuatan yang
nyata.42
Oleh sebab itu keimanan kepada Allah dapat menimbulkan perjuangan
(jihad) dan berkurban untuk meninggikan kalimatullah yakni bahwa agama Allah
harus di atas segala-galanya. Juga mengadakan pembelaan untuk mengibarkan
setinggi-tingginya untuk menolak adanya penganiayaan, kezaliman dan kerusakan
yang dibuat oleh manusia yang sewenang-wenang di atas permukaan bumi ini.43

4. Memunculkan sifat-sifat mulia


Keimanan itu akan menimbulkan keyakinan yang sesungguh-sungguhnya
bahwa hanya Allah sajalah yang Maha Kuasa memberikan rizki, rizki itu tidak
dapat dicapai karena kelobaanya orang yang bersifat tamak.44
Manakala akidah yang sebenar-benarnya itu sudah mendalam sekali
meresapnya dalam jiwa, maka sudah pasti manusia yang memilikinya itu akan
terlepas dari hinanya sifat-sifat kikir, tamak, rakus, loba, dan sebagai gantinya ia

41
Ibid., h. 134-135
42
Ibid., h. 132
43
Ibid., h. 126
44
Ibid., h. 136

14
akan bersifat dengan sifat yang mulia dan berbudi yang utama seperti dermawan,
suka memberikan bantuan, gemar menolong, suka memaafkan, pandai bergaul
dan lain-lain. Ia akan menjadi manusia yang dapat diharapkan kebaikannya.45
Orang yang beriman dengan nama-nama Allah, diantaranya adalah
al-‘Afw (Maha Pemaaf), al-Ghafur (Maha Pengampun), dan ar-Rahim (Maha
Penyayang), dan diantara sifat-sifatNya adalah memberikan ampunan bagi orang-
orang yang melakukan dosa, kasih sayang dan memberi ampunan, maka semua itu
akan memotivasinya untuk tidak putus asa dari rahmat Allah. Bahkan dadanya
menjadi lapang, karena mengharapkan rahmat dan ampunan-Nya.46
Barang siapa yang mengetahui, diantara sifat-sifat Allah adalah “sangat
pedih siksa-Nya”, “cemburu jika larangan-laranganNya dilanggar”, “marah”, dan
“Sesungguhnya Dia membalas kepada siapa saja yang bermaksiat kepada-Nya”,
maka semua itu mendorongnya untuk menjauhi kemaksiatan.47
Orang yang meyakini diantara nama-nama Allah adalah al-Bashir (yang
Maha Melihat), dan “Dia melihat semut hitam yang berjalan di atas batu hitam di
malam yang gelap gulita.” Demikian pula jika ia mengetahui diantara nama-
naman Allah adalah ar-Raqib (Yang Maha Mengawasi), al-‘Alim (Yang
Mahatahu), dan “Dia mengetahui niat-niat hamba serta gejolak jiwanya”, maka
hal itu akan mendorongnya untuk menjauhi maksiat, berusaha agar Allah tidak
melihatnya di tempat yang dilarang-Nya, dan merasa diawasi oleh Allah dalam
setiap perbuatan yang dilakukannya.
Kesan keimanan kepada Allah itu juga tampak nyata sekali dalam
ketakutan seseorang kepada Allah serta segan kepada-Nya. Sebabnya ialah karena
seseorang yang sudah mengetahui dan menginsafi benar-benar akan kedudukan
Allah, menyadari pula akan kemaha-agungan-Nya, merasakan kebesaran
kekuasaan dan kemuliaanNya, kemudian mengerti pula keadaan dirinya sendiri
yang sangat lalai, gegabah dan kurang banyak menaruh perhatian pada hak-
haknya Allah, maka tentulah orang yang sedemikian ini akan menjadi sangat takut
dan segan kepada Tuhannya.48
Dengan memiliki semua itu, manusia akan dapat lebih tinggi
kedudukannya daripada segala yang ada, ia dapat melepaskan diri dari berbagai
materi keduniaan, menghindarkan diri dari semua macam kesyahwatan, tidak lagi

45
Sayid Sabiq, Op. cit.h. 137
46
Abdullah bin Abdul Aziz al Jibrin, Op. cit.h. 73
47
Ibid. h. 74
48
Sayid Sabiq,op.cit, h. 127-128

15
mengindahkan kelezatan-kelezatan duniawiah dan lain-lain hal yang tidak ada
kemanfaatannya. Sebaliknya ia akan meyakinkan bahwa kebaikan dan
kebahagiaan itu terletak dalam kesucian dan kemuliaan budi serta merealisasikan
segala tindakan yang baik dan bernilai tinggi. Dari sudut ini, seseorang akan
mengarahkan tujuannya yang benar-benar menjurus kearah kebaikan dalam segala
bidang, baik yang kemanfaatannya akan kembali pada dirinya sendiri, ummatnya
ataupun seluruh masyarakat ramai.
Inilah yang merupakan rahasia, mengapa amal saleh dengan segenap
cabang dan rantingnya itu selalu dihubungkan dengan keimanan. Tidak lain
sebabnya, hanyalah karena memang keimanan itulah yang merupakan pokok
pangkal yang dari situ akan muncullah amal perbuatan yang baik-baik itu, dan
dari padanya pula bercabangnya segala tindak tanduk yang menyebabkan
keridhaan Allah SWT.49

2. IMAN KEPADA MALAIKAT


A. Kejadian Malaikat
Malaikat adalah suatu alam yang halus, termasuk hal-hal yang ghaib.
Mereka tidak dihinggapi oleh sifat yang biasa diterapkan terhadap manusia,
misalnya hubungannya dengan kebendaan.50 Mereka tidak memerlukan makan
atau minum atau kebutuhan-kebutuhan lainnya seperti yang dibutuhkan manusia.51
Mereka diciptakan Allah dari cahaya dengan sifat atau pembawaan antara
lain , selalu taat dan patuh kepada Allah, dan senantiasa membenarkan dan
melaksanakan perintah Allah.52 Malaikat selalu bertasbih kepada Allah, mereka
tidak berjenis kelamin, memiliki rasa malu ketika melihat manusia tidak
mengenakan busana, mereka juga mempunyai kekuasaan dapat menjelma dalam
rupa manusia atau lain-lain bentuk yang dapat dicapai oleh rasa dan penglihatan.
Suatu ketika Jibril a.s mendatangi sayidah Maryam, yang ia menjelmakan dirinya
dalam bentuk rupa manusia. Dalam waktu yang lain Malaikat Jibrilpernah
mendatangi Nabi Muhammad SAW. dalam bentuk manusia juga ketika beliau
sedang bersama-sama para sahabat. Waktu itu Malaikat Jibril turun untuk
menyampaikan pelajaran tentang makna iman, Islam, dan ihsan.53
49
Ibid. h. 138
50
Sayid Sabiq, Aqidah IslamPola Hidup Manusia Beriman. (Bandung: CV Diponegoro
Bandung, 2005) h. 174
51
Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam, (Pustaka Setia, 200) h. 129-130
52
Mohammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 2010)h. 210
53
Sayid Sabiq, Op. cit.h. 174-176

16
Jadi malaikat adalah makhluk ghaib yang diciptakan Allah dari cahaya
yang dapat berbentuk dengan aneka bentuk, yang mempunyai tugas-tugas tertentu
dari Allah, taat mematuhi perintah-Nya dan sedikitpun tidak membangkang. Allah
menganugerahkan kepada malaikat akal dan pemahaman, menciptakan bagi
mereka naluri untuk taat serta memberi mereka kemampuan untuk mengerjakan
pekerjaan yang berat dan kemampuan berbentuk dengan berbagai bentuk yang
indah, termasuk dalam bentuk manusia.
Namun walaupun demikian istimewanya malaikat, manusia tetap lebih
utama dan lebih mulia daripada malaikat.54Ketika menciptakan Nabi Adam a.s.
Allah memerintahkan para malaikat bersujud memberi hormat
kepadanya.Manusia dijadikan khalifah di bumi sedangkan malaikat tidak. Allah
memberi ilmu pengetahuan (akal) kepada Adam dan tidak kepada malaikat. Selain
itu, kepatuhan manusia kepada Allah harus diperjuangkan dengan melawan hawa
nafsu dan godaan setan, sedangkan malaikat disucikan dari naluri-naluri hewani
dan terhindar sama sekali dari keinginan atau hawa nafsu serta dijauhkan dari
perbuatan-perbuatan dosa dan salah. Dengan demikian kepatuhan malaikat kepada
Allah berdasarkan kepada kodratnya yang tidak memiliki nafsu.

B. Makna Beriman Kepada Malaikat


Beriman kepada para malaikat mencakup empat hal:
1. Beriman kepada keberadaan mereka.
2. Beriman kepada mereka yang kita ketahui nama-namanya seperti Jibril,
dan terhadap mereka yang tidak kita ketahui namanya-namanya, maka kita
beriman kepada mereka secara global.
3. Beriman kepada malaikat tentang apa yang kita ketahui sifat-sifat mereka.
4. Beriman kepada apa yang kita ketahui dari tugas-tugasnya seperti
bertasbih dan beribadah kepadanya siang malam tanpa letih atau lelah dan
jenuh.55
Iman kepada malaikat juga mencakup keimanan terhadap golongan-
golongan mereka dan amalan yang mereka lakukan sebagaimana disebutkan di
dalam Al Qur’an dan As Sunah, serta keutamaan mereka di hadapan Allah.56

54
Ibid. h. 177-178
55
Abdul Aziz Bin Muhammad Abd Lathif, Pelajaran Tauhid Untuk Tingkat Lanjutan
(Jakarta: Darul Haq, 1998) h. 36-37
56
Shalih bin Fauzan Al Fauzan, Sudah Benarkah Aqidah Kita? (Makasar Jaktim: Pustaka
Ash-Shahihah, 2009) h. 205

17
Keimanan kepada para malaikat ini, lebih bercorak dogmatis.Artinya kita
meyakininya berdasarkan firman Allah yang ada dalam AlQuran (sebagai dalil
Naqli). Oleh karena itu, Syekh Mahmoud Syaltout mengatakan: adapun orang-
orang Islam yang mempercayai bahwa sumber kepercayaan terhadap hal-hal yang
gaib adalah Al-Quran saja satu-satunya, dan hanya Al-Quran itulah yang benar
berita-beritanya tentang malaikat itu sebagai berita yang tidak mungkin diulas
(dikomentari) lagi. Demikian pula, tidak membolehkan diri mereka terseret
hingga dapat menimbulkan ekses di balik berita yang diyakini itu, baik dari segi
materi para malaikat tersebut (bagaimana cara-cara kejadian mereka) maupun dari
segi penjelmaan atau cara melihat mereka."57
Tidaklah sulit untuk meyakini adanya para malaikat karena kita sudah
bisa mengimani adanya hal-hal yang gaib lainnya semisal roh dan lain-lain.
Apalagi, bagi seorang muslim yang betul-betul sudah beriman kepada Allah,
niscaya akan beriman sepenuhnya kepada eksistensi malaikat ini, sebab sepanjang
ia beriman kepada Allah, pasti pula ia beriman kepada firman-Nya. (Al-Quran)
yang memberikan informasi dan bahkan memerintahkan untuk mengimani adanya
malaikat.
Beriman kepada malaikat Allah merupakan rukun iman yang kedua setelah
beriman kepada Allah. Tidak sah keimanan seseorang tanpa beriman kepada
malaikat. Malaikat adalah makhluk gaib, karenanya hakikat malaikat sangat
tersembunyi sehingga kita wajib mengimaninya saja sesuai perintah Allah dan
Rasul-Nya. Siapa yang mengingkarinya keberadaan malaikat atau sebagian
malaikat yang telah disebutkan oleh Allah dalam al Quran, maka jatuhlah dia
kepada kekafiran karena telah menyalahi kebenaran al Quran.58
       
           
        


“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan


Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab
yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah,
malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan Hari Kemudian,
Maka Sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya”.(QS. Annisa’: 136)

57
Rosihan Anwar, Akidah Akhlak (Bandung: Pustaka Setia, 2008) h. 125
58
Tim Ahli Tauhid, Kitab Tauhid (Jakarta: Darul Haq, 1998) h. 52

18
C. Tugas Malaikat
Sesungguhnya seluruh malaikat setiap saat menjalankan tugas dan
fungsinya masing-masing. Ada yang berpindah-pindah mengikuti majlis
kebaikan dan zikir, ada yang ditugasi menjaga gunung, ada yang ditugasi menjaga
hamba pada waktu bermukim atau bepergian, waktu tidur atau ketika jaga dan
pada semua keadaannya, ada pula malaikat yang berbaris (menyembah Allah)
tiada pernah berhenti, mereka berdiri dihadapan Allah tanpa merasa lelah.59
Jadi para malaikat mempunyai tugas tertentu (a) di alam gaib, dan (b) di
alam dunia. Ketika di alam gaib diantara lain, para malaikat bertasbih memuji
dan menyucikan Allah, memikul Arsy, memohonkan ampunan bagi orang yang
beriman, memberi salam kepada ahli surga, dan menyiksa para ahli neraka.
Sedangkan ketika di alam dunia antara lain (1) menyampaikan wahyu Allah
kepada manusia melalui para Rasul-Nya, (2) mengukuhkan hati orang-orang yang
beriman, (3) memberi pertolongan pada manusia, (4) membantu perkembangan
rohani manusia, (5) mendorong manusia untuk berbuat baik, (6) mencatat
perbuatan manusia, dan (7) malaksanakan hukuman Allah.60
Ada 10 malaikat yang wajib kita imani. Adapun ke-10 malaikat tersebut
beserta tugas dan fungsinya adalah sebagai berikut:
1) Malaikat Jibril, Jibril disebut juga dengan nama Ruhul Qudus atau
Ruhul amin adalah kepala para malaikat. Malaikat Jibril bertugas
menyampaikan wahyu kepada para Nabi dan Rasul.
2) Malaikat Mikail, bertugas memberikan kemudahan atau rezeki
kepada seluruh mahluk Allah, termasuk juga mengatur hujan dan
menumbuhkan tumbuh-tumbuhan, angin serta bintang-bintang.
3) Malaikat Israfil, bertugas meniup sangkakala pada saat menjelang
datangnya Hari Kiamat dan menjelang seluruh manusia dibangkitkan dari
alam kubur.
4) Malaikat Izrail, bertugas mencabut ruh (nyawa) mahluk, termasuk
nyawa manusia dan nyawa para malaikat itu sendiri. Karena tugasnya itulah
maka Izrail dijuluki sebagai “Malaikat Maut”.
5) Malaikat Rakib, bertugas mencatat amal perbuatan baik yang
dilakukan manusia sejak akil balig selama hidup di dunia.
6) Malaikat Atid, bertugas mencatat amal perbuatan buruk atau
kejahatan yang dilakukan manusia sejak akil balig selama hidup di dunia.
59
Abdul Aziz Bin Muhammad Abd Lathif, Op. cit. h. 39-40
60
Mohammad Daud Ali, Op.cit. h. 210

19
7) Malaikat Munkar, bertugas sebagai penanya setiap manusia di alam
kubur. Pertanyaan yang diajukan kedua malaikat berkaitan dengan
keimanan seorang muslim dan keteguhannya dalam menjalankan keimanan
tersebut, serta pertanggungjawaban segala perbuatannya di dunia.
8) Malaikat Nankir, bertugas sama dengan malaikat Munkar.Bagi
manusia yang di dunianya taat dan beramal saleh pasti akan mampu
menjawab pertanyaan kedua malaikat ini dengan benar dan dia akan
mendapatkan nikmat kubur. Sedangkan bagi yang tidak taat dan
perbuatannya penuh keburukan, dia tidak akan mampu menjawab
pertanyaan kedua malaikat tersebut sehingga akan merasakan siksa kubur
sampai tiba Hari Kiamat.
9) Malaikat Malik, bertugas menjaga neraka dan memimpin para
malaikat yang bertugas menyiksa penghuni neraka. Malaikat yang bertugas
menyiksa penghuni neraka adalah malaikat Zabaniyah. Mereka sangat
kasar, keras dan bengis serta selalu patuh kepada Allah untuk tetap
melaksanakan tugasnya. Manusia menerima azab karena kejahatannya.
10) Malaikat Ridwan, betugas menjaga surga dan memimpin para
malaikat pelayan surga yang penuh damai dan kenikmatan. Para malaikat
penjaga surga akan mengantar orang-orang yang bertakwa dengan penuh
keramahan menuju surga yang pintu-pintunya telah terbuka menyambut
kedatangan mereka, dan mereka masuk dengan penuh suka cita.61
Allah telah menciptakan para malaikat yang memiliki tugas-tugas tertentu,
namun tidak dibenarkan memohon kepada malaikat, sebab malaikat adalah
makhluk Allah yang tidak memiliki kekuasaan untuk menentukan kecuali atas izin
Allah, sama seperti manusia. Oleh karena itu kita tidak boleh meminta rizki
kepada malaikat Mikail, walaupun tugasnya membagikan rizki. Kita juga tidak
boleh meminta umur panjang kepada malaikat Izrail, walaupun ia bertugas
mencabut nyawa manusia. Meminta atau berdo’a hanya ditujukan kepada Allah
saja.

D. Hubungan Malaikat Dengan Manusia


Jika diperhatikan tugas dan fungsi malaikat pada sub bab di atas, maka
jelaslah bahwa ada beberapa perbuatan malaikatdi dunia yang berhubungan
61
A. Zainudin dan Muhammad Jamhari, Al Islam 1:Akidah dan Ibadah, (Bandung:Pustaka
Setia, 1999) h. 106-108

20
dengan manusia. Disini akan disebutkan hubungan perbuatan malaikat selain dari
yang telah disebutkan di atas, diantaranya yaitu:
1. Mereka senantiasa menyertai manusia sepanjang hidupnya dan bahkan
setelah meninggalnya, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah s.a.w.
“Sesungguhnya ada makhluk yang menyertai kamu semua dan tidak
memisahkan diri dari padamu melainkan diwaktu kamu semua berada di
tempat sunyi (buang air besar atau kecil), juga ketika bersetubuh. Maka dari
itu bersikap malulah kepada mereka itu dan muliakanlah mereka”. Makhluk
yang dimaksud itu ialah para malaikat”.
2. Menggiatkan kekuatan rohani yang ada dalam diri manusia dengan
mengilhamkan kebaikan dan kebenaran.62
3. Do’a malaikat untuk orang-orang mukmin.Allah karena sangat mengampuni
dan juga karena sangat cinta kepada hamba-hamba-Nya, maka mengilhamkan
kepada para malaikat itu supaya mereka merendahkan diri kepada-Nya guna
memanjatkan do’a serta memohon dengan kerahmatan-Nya yang meluas pada
seluruh apa-apa yang maujud, juga dengan pengetahuannya yang merata atas
segala sesuatu yang ada ini, agar supaya Allah mengaruniakan pengampunan
kepada orang-orang yang suka bertaubat dan supaya dimasukkan dalam
golongan-golongan hamba-hamba-Nya yang saleh.
4. Bacaan ta’min malaikat bersama orang-orang yang
bersembahyang.Malaikat itupun mengikuti pula bacaan ta’min (amin)
bersama-sama dengan orang-orang yang bersembahyang.
5. Turunnya malaikat diwaktu ada bacaan Al Quran.Malaikat itu turun
ketika ada bacaan Al Quran untuk ikut mendengarkannya.
6. Kehadiran malaikat dalam majlis dzikir (pengajian dan lain-lain).
Malaikat selalu mencari majlis yang diadakan untuk berdzikir yakni ingat
kepada Allah yang berupa pengajian agama dan sebagainya. Kepentingannya
ialah untuk memberikan dorongan semangat kepada para hadirinnya dengan
kekuatan rohaniah.
7. Permohonan kerahmatan dari malaikat untuk kaum mukminin,
terutama para ahli ilmunya
8. Pemberian keberkahan dari malaikat kepada para ahli ilmu dengan
merendahkan dirinya
Dari Abuddarda r.a. bahwasannya Rasulullah s.a.w bersabda:

62
Sayid Sabiq, Op. cit.h. 187

21
“ Sesungguhnya para malaikat itu niscahya meletakkan sayapnya untuk
penuntut ilmu pengetahuan, sebab ridla dengan apa yang dilakukan oleh
penuntut ilmu pengetahuan itu”. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan
Tirmidzi.
9. Membawakan berita gembira
Ada kalanya malaikat itu juga membawakan berita gembira kepada seorang
yang tertentu, sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadis yang
diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah dari Nabi s.a.w, sabdanya:
“Ada seorang lelaki berziarah kepada saudaranya yang berdiam di sebuah
desa yang lain. Kemudian Allah menurunkan malaikat untuk menghadangnya
di jalan. Setelah orang itu bertanya: “Hendak kemana engkau pergi?” orang
itu menjawab: “Saya hendak pergi ke tempat saudaraku yang berdiam di
desa ini”. Malaikat bertanya lagi: “Apakah ada suatu kenikmatan dari
saudaramu itu yang diberikan padamu yang kau anggap baik (maksudnya:
Apakah engkau hendak membalas suatu jasa yang sudah diberikan olehnya,
sehingga engkau harus pergi ke tempatnya itu?). Orang itu menjawab:
“Tidak, hanya sebab saya mencintainya karena mengharapkan keridhaan
Allah SWT”. Malaikat itu berkata: “Sesungguhnya aku adalah utusan Allah
untuk menemuimu guna menyampaikan bahwa sesungguhnya Allah itu
mencintaimu sebagaimana engkau mencintai saudaramu itu”.63
10. Pemberitahuan malaikat terhadap orang yang dicintai atau dibenci oleh
Allah SWT
Rasulullah saw bersabda:
“Sesungguhnya Allah SWT itu apabila mencintai seseorang hambaNya, lalu
dipanggillah Jibril, kemudian berfirman: “Sebenarnya Aku ini mencintai si
Anu itu, maka cintailah dia. Orang itu pun dicintai oleh Jibril. Selanjutnya
Jibril berseru di langit dan berkata: “Allah mencintai si Anu, maka cintailah
orang itu.” Iapun lalu dicintai seluruh penghuni langit. Kemudian
diletakkanlah rasa penerimaan dalam hati penduduk bumi.
Sebaliknya apabila Allah membenci seseorang, lalu dipanggillah Jibril,
kemudian berfirman: “Sebenarnya aku ini membenci si Anu itu, maka
bencilah dia. Orang itupun dibenci oleh Jibril. Selanjutnya Jibril berseru di
langit dan berkata: “Allah membenci si Anu, maka bencilah orang itu”.
Iapun lalu dibenci oleh seluruh penghuni langit. Kemudian diletakkanlah

63
Sayid Sabiq,Op. cit.h. 198

22
rasa kebencian itu dalam hati penduduk bumi”. (Diriwayatkan oleh Imam
Muslim)
11. Pemberian pengokohan kepada kaum mukminin:Sebagian lagi ada
malaikat yang bertugas untuk memberikan perkokohan kepada kaum
mukminin agar mantaplah apa-apa yang ditanam dalam hati sanubari mereka
itu.64
Sebagai penutup dari sub bab ini marilah perhatikan pula apa yang
disampaikan oleh Tim Ahli Tauhid tentang hubungan malaikat dengan manusia.
Allah mewakilkan kepada malaikat urusan semua makluk termasuk urusan
manusia. Merekalah para walinya (penolongnya) di dunia dan akhirat. Mereka
yang menjanjikan kebaikan dan mengajak kepadanya, melarang kejahatan serta
memperingatinya. Maka mereka adalah para wali dan anshar-nya, penjaga dan
mualliam (pengajar)-nya, penasehat yang berdo'a dan beristigfar untuknya, yang
selalu bershalawat atasnya selama manusia mengerjakan kebaikan. Mereka yang
memberi kabar gembira dengan karamah Allah ketika tidur, mati dan ketika
dibangkitkan. Merekalah yang membuatnya zuhud di dunia dan menjadikan cinta
kepada akhiratnya. Mereka yang mengingatkan ketika ia lupa, yang mengingatkan
ketika ia malas, dan yang menenangkan ketika ia gelisah atau panik. Mereka yang
mengupayakan kebaikan di dunia dan di akhirat. Merekalah para utusan Allah
dalam mencipta dan mengurusnya. Mereka adalah safir (duta) penghubung antara
Allah dan hamba-Nya. Turun dengan perintah disisi-Nya diseluruh penjuru alam,
dan naik kepada-Nya dengan perintah (membawa urusan)''.65

E. Pengaruh Beriman Kepada Malaikat


Beriman kepada para malaikat memiliki pengaruh yang besar dalam
kehidupan setiap mukmin, diantaranya adalah:
1. Menambah kesadaran akan keagungan, kekuatan serta kesempurnaan
kekuasaan Allah. Sebab keagungan (sesuatu) yang diciptakan (al khaliq).
Dengan demikian akan menambah pengagungan dan pemuliaan seorang
mukmin kepada Allah, dimana Allah menciptakan para malaikat dari cahaya
dan diberiNya sayap-sayap.66 Kebesaran makhluk adalah sebagai bukti
kebesaran penciptanya.67
64
Ibid. h. 187-202
65
Tim Ahli Tauhid, Op. cit. h. 58-59
66
Abdul Aziz Bin Muhammad Abd Lathif, Op. cit. h. 40
67
Erwandi Tarmizi, Rukun Iman, (Madinah: Maktab Dakwah dan Bimbingan Jaliyat
Rabwah: 2007)h. 56

23
2. Bersabar dalam menta’ati Allah serta merasakan ketenangan dan
kedamaian. Karena sebagai seorang mukmin ia yakin bahwa bersamanya
dalam alam yang luas ini, ada ribuan malaikat yang mentaati Allah dengan
sebaik-baiknya dan sesempurna-sempurnanya.68
Malaikat yang senantiasa taat beribadah, akan menggugah hati kita untuk
mencontoh ketaatannya kepada Allah hingga menambah ketaatan ibadah kita.
Kita akan terhindar dari sifat ujub dalam beribadah karena yang kita lakukan
belum seberapa dibandingkan dengan malaikat.
Adapun nilai edukatifnya adalah bahwa dengan pemberian tugas-tugas
tertentu kepada para malaikat, akan mempengaruhi sisi psikologis anak didik
dalam proses pendidikannya. Dengan keberadaan malaikat dan penetapan tugas-
tugas tertentu kepada mereka serta ketaatan mereka dalam menjalankan tugas,
seorang anak didik dapat dipahamkan tentang pentingnya keteraturan,
kedisiplinan, dan ketaatan, dengan bercermin pada keteraturan dalam sisten
manajemen kerajaan Allah dan loyalitas tinggi para malaikat-Nya.69 Menambah
syukur kepada Allah atas perlindungannya kepada kita, dimana ia menjadikan di
antara para malaikat sebagai penjaga kita.70
Begitu besar perhatian Allah terhadap hamba-Nya, dengan menugaskan
malaikat untuk mendoakannya, dipelihara dari kesalahan, menjaga manusia, dan
mencatat amalan manusia serta kemaslahatan-kemaslahatan manusia yang lain.
Kemudian juga akan timbulkan rasa tenang, karena Allah telah
menetapkan bagi setiap manusia malaikat yg senantiasa menyertai manusia.
Disamping juga menambah rasa cinta kepada malaikat, kerena mereka
melaksanakan ibadah secara sempurna dan mereka mendoakan ampunan untuk
kita orang-orang mukmin.71 Dengan demikian pula akan membuat manusia
optimis dalam menghadapi masalah apa saja, baik di kala sendiri maupun
bersama-sama, sebab ada keyakinan bahwa Allah mempunyai petugas-petugas
bernama malaikat yang selalu siap memberikan bantuan dan pertolongan atas
kehendak Allah.
Senantiasa istiqamah (meneguhkan pendirian) dalam mentaati Allah.
Barang siapa yang beriman kepada para malaikat itu, menjadikan dirinya semakin
takut kepada Allah, sehingga ia tidak akan berbuat maksiat kepada-Nya, baik

68
Abdul Aziz Bin Muhammad Abd Lathif, Op. cit.
69
Afifuddin Harisah, Kependidikan Islam, Vol 2, no 1, 2004, h. 80
70
Abdul Aziz Bin Muhammad Abd Lathif, Op.cit. h. 40
71
Erwandi Tarmizi, Op. cit. h. 22-23

24
secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi.72 Sehingga selalu berhati-
hati dalam setiap perbuatan, perkataan, maupun niat, baik ditempat ramai atau
sunyi, ada yang manusia yang melihat atau tidak, karena malaikat pasti melihat
dan mencatat hingga selalu waspada, tidak satupun perbuatan yang lolos dari
catatan malaikat yang tidak akan mungkin kita dapat mengelak darinya.
Selalu sadar bahwa dunia ini fana; hanya sebentar, maka ketika sadar
dengan tugas malaikat maut yang suatu ketika akan diperintahkan untuk mencabut
nyawanya, maka ia akan semakin rajin mempersiapkan diri menghadapi Hari
Akhir dengan beriman dan beramal saleh.73
Nilai edukatifnya adalah keimanan kepada malaikat, misalnya kepada
malaikat Rakib dan Atid. Maka tentu akan memberikan pengaruh penting dalam
pendidikan moral. Keengganan untuk melanggar norma-norma tertentu, karena
hanya takut kepada hukum buatan manusia atau person tertentu, tidak dapat
memberi ekses edukatif dalam pembinaan kejiwaannya. Hukum dan pengawasan
manusia pada dasarnya belum mampu membina moral dan mengontrol perilaku
manusia. Tanpa kesadaran diri dan keimanan yang mendalam kepada adanya
pengawasan dari alam gaib, niscaya manusia akan dengan mudahnya menginjak-
injak dan mempermainkan norma hukum yang telah disepakati. Dengan
kepercayaan kepada malaikat tersebut, manusia dapat terdidik untuk berbuat
ikhlas dan secara internal mengontrol diri dari perbuatan buruk, baik dilakukan
secara terang-terangan ataupun sembunyi-sembunyi.
Dengan demikian Islam mendidik umatnya dengan menanamkan
keyakinan bahwa setiap perbuatan dan ucapan manusia diketahui oleh Allah, dan
mereka akan bertanggung jawab atas segala hal tersebut. Selain itu, akidah Islam
menekankan adanya pembalasan atau ganjaran amal perbuatan di Hari Kemudian.
Merupakan syarat mutlak dan utama bagi keislaman seseorang untuk meyakini
bahwa setiap ucapan dan perbuatan, baik atau buruk, seluruhnya akan dibalas oleh
Allah dengan balasan yang setimpal.74
3. IMAN KEPADA KITAB

A. Makna Iman Kepada Kitab

72
Abdul Aziz Bin Muhammad Abd Lathif, Op. cit. h. 40
73
Ibid. h. 41
74
Afifuddin Harisah, Kependidikan Islam, Vol 2, no 1, 2004, h. 80

25
Ada beberapa pengertian yang dikemukakan oleh para ahli tentang iman
kepada kitab. Walaupun berbeda redaksinya, namun pada intinya pengertian
tersebut adalah sama, sebagaimana terlihat di bawah ini:
1. Beriman kepada kitab-kitab Allah yaitu kepercayaan yang pasti bahwasanya
Allah memiliki kitab-kitab yang diturunkan kepada para Rasul-Nya untuk
disampaikan kepada hamba-Nya. Dan bahwa kitab-kitab tersebut adalah
Kalamullah yang dengannya Allah berbicara secara sesungguhnya sesuai
dengan yang pantas untuk Diri-Nya. Dan bahwa di dalam kitab-kitab tersebut
terdapat kebenaran, cahaya dan petunjuk bagi manusia, baik di dunia mapun
di akhirat.75
2. Beriman kepada kitab-kitab Allah adalah salah satu rukun iman. Maksudnya
yaitu membenarkan dengan penuh keyakinan bahwa Allah mempunyai kitab-
kitab yang diturunkan kepada hamba-hamba-Nya dengan kebenaran yang
nyata dan petunjuk yang jelas. Dan bahwasanya ia adalah Kalam Allah yang
Ia firmankan dengan sebenarnya, seperti apa yang Ia kehendaki dan menurut
apa yang Ia ingini.76
3. Iman kepada kitab-kitab Allah adalah salah satu pokok dari rukun iman. Yang
dimaksud dengan iman kepada kitab-kitab Allah adalah meyakini secara
mantap bahwa kitab-kitab tersebut adalah kebenaran petunjuk dan cahaya
serta segala sesuatu yang mencukupi kebutuhan diketahui oleh Allah SWT.77
Adapun jumlah kitab yang telah Allah turunkan, tidak ada yang
mengetahuinya karena Allah sendiri yang mengetahui jumlah yang sebenarnya.
Kitab-kitab yang telah diturunkan Allah kepada para Nabi dan Rasul-Nya yang
wajib diketahui oleh umat Islam, adalah:
1. Kitab Taurat, yang diturunkan kepada Nabi Musa a.s. pada kira-kira abad ke-
12 SM di daerah Israil dan Mesir.
2. Kitab Zabur, yang diturunkan kepada Nabi Daud a.s. pada kira-kira abad ke-
l0 SM di daerah Israil.
3. Kitab Injil, di turunkan kepada Nabi Isa.a.s di daerah Yerusalem pada
permulaan abad pertama Masehi.

75
Abdul Aziz Bin Muhammad Abd Lathif, Pelajaran Tauhid Untuk Tingkat Lanjutan
(Jakarta: Darul Haq, 1998) h. 42-43
76
Tim Ahli Tauhid, Kitab Tauhid (Jakarta: Darul Haq, 1998) h. 61-62
77
Shalih bin Fauzan Al Fauzan, Sudah Benarkah Aqidah Kita? (Makasar Jaktim: Pustaka
Ash-Shahihah, 2009) h. 216

26
4. Kitab Al-Quran, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. di daerah
Mekah dan di Madinah pada abad ke-6 M.78
Iman kepada kitab-kitab terdahulu hanya berlaku secara global, yakni
mengakui dengan hati dan lidah. Adapun iman kepada al-Qur’an haruslah secara
rinci, yakni mengakui dengan hati dan lidah, mengikuti segala petunjuknya,
menerapkannya pada seluruh aspek kehidupan.79
Berdasarkan pada pengertian di atas, maka ada empat unsur yang
terkandung di dalam keimanan kepada kitab-kitab Allah, yaitu:
1) Beriman bahwa kitab-kitab itu benar-benar diturunkan dari sisi Allah .
2) Beriman kepada apa yang telah Allah namakan dari kitab-kitab-Nya dan
mengimani secara global kitab-kitab yang kita tidak ketahui namanya.
3) Membenarkan berita-berita yang benar dari kitab-kitab tersebut sebagaimana
pembenaran kita terhadap berita-berita al-Qur’an dan juga berita-berita
lainnya yang tidak diganti atau diubah dari kitab-kitab terdahulu (sebelum al-
Quran).
4) Mengamalkan hukum-hukum yang tidak dihapus (nasakh) serta dengan rela
dan pasrah menerimanya, baik kita ketahui hikmahnya atau tidak. Ketahuilah,
bahwa seluruh kitab yang ada, telah terhapus (mansukh) dengan turunya al-
Qur’an.80

        


          
         
         
         
       

Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran,


membenarkan apa yang sebelumnya, Yaitu Kitab-Kitab (yang diturunkan
sebelumnya) dan batu ujianterhadap Kitab-Kitab yang lain itu; Maka
putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan
kebenaran yang telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat diantara kamu,
Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki,
niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji

78
Rosihan Anwar, Akidah Akhlak (Bandung:Pustaka Setia, 2008) h. 138-139
79
Shalih bin Fauzan Al Fauzan, Op. cit. h. 216
80
Ibid. h. 139

27
kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat
kebajikan.hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu
diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu”. (QS.
Almaidah:48)

B. Perubahan Kitab Terdahulu


1. Kitab Taurat
Beriman kepada kitab suci Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa a.s.
adalah merupakan salah satu rukun iman. Hanya saja kitab Taurat tersebut kini
sudah tidak ada sama sekali yang murni, sebagaimana yang sudah dikemukakan
oleh seluruh alim ulama dan kaum cendekiawan. Jadi sebenarnya Taurat yang
beredar sekarang adalah merupakan karangan yang ditulis oleh lebih dari seorang
penyusun dan ditulisnya itu pun di dalam masa yang berlain-lainan.
Ustadz Alkabir Wajdi berkata: “Salah satu bukti bahwa kitab Taurat itu
sudah berubah dari kemurniannya ialah bahwa Taurat yang beredar ditangan
kaum Nasrani adalah berbeda jauh dengan Taurat yang beredar di tangan kaum
Yahudi”.81
“Apakah kamu semua menaruh harapan yang besar bahwa mereka itu
akan beriman padamu, padahal sebagian dari mereka itu mendengar firman
Allah kemudian mereka mengubahnya sesudah mereka mengerti dan merekapun
mengetahui mana yang sebenarnya ?”(Q.S. Baqarah: 75)
Pada masa Nabi Musa a.s., bangsa Yahudi masih beriman dan mereka pun
mengetahuinya dan percaya bahwa akan ada Nabi yang diturunkan oleh Allah
pada akhir zaman, yaitu Nabi Muhammad SAW. Mereka mengetahui tentang
kedatangan Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi, setelah Nabi Musa wafat,
mereka mengubah isi Taurat dan banyak di antara mereka yang menjadi kafir
lagi.82
Sebenarnya bukan ummat Islam saja yang mengoreksi isi kitab Taurat itu,
bahkan dikalangan ummat Yahudi sendiri sudah muncul beberapa pengkritik yang
memberikan kecaman pedas mengenai pengubahan kitab Taurat yang tidak
sewajarnya itu. Pada ahli dari kitab suci itu yang ingin mengadakan perbaikan
agamanya, dengan terpaksa sekali mengakui adanya kenyataan yang pahit ini,
yakni bahwa kitab Taurat itu sudah diubah dan banyak yang diganti dari yang
81
Sayid Sabiq, Aqidah IslamPola Hidup Manusia Beriman. (Bandung: CV Diponegoro
Bandung, 2005) h. 268
82
Abdullah Zaky Al Kaaf dan Maman Abdul Djalil, Mutiara Ilmu Tauhid (Bandung:
Pustaka Setia Bandung, 1999) h. 118

28
sebenarnya. Seorang pemimpin mazhab dari golongan pembaharuan ini yang
bernama Hakam Paris Agulian Wyl banyak memberikan pendapatnya dalam
kitabnya yang berjudul “Agama Yahudi”.83

2. Kitab Zabur
Kitab Zabur diturunkan kepada Nabi Daud a.s, dalam bahasa Qibti sekitar
abad ke-10 SM. Zabur dalam bahasa Arab disebut mazmur / mazamir . Allah
menegaskan dalam firman-Nya:
'"... dan kami berikan Zabur (kepada) Daud." (Q.S. Al-Isra': 55)
Kitab Zabur berisi mazmur (nyanyian pujian kepada Tuhan) yang
melukiskan tentang nikmat Allah yang telah dilimpahkan kepada Nabi Daud,
namun tentang syariat dan hukum Nabi Daud mengikuti apa yang dibawa oleh
Nabi Musa dalam kitab Taurat. 84 Jadi meskipun kepada Nabi Daud a.s. Allah
turunkan kitab Zabur tetapi kitab Taurat yang berupa sepuluh perintah tetap
menjadi pedoman hidupnya dan umatnya.

3. Kitab Injil
Kitab Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa a.s adalah sama halnya
dengan kitab Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa a.s, keduanya adalah
firman Allah yang juga merupakan petunjuk dan cahaya penerangan bagi
manusia.85
Kitab Injil yang asli memuat keterangan-keterangan yang benar dan
nyata, yaitu perintah-perintah Allah SWT.kepada umat manusia untuk
memahasucikan Allah serta melarang menyekutukan-Nya dengan benda atau
makhluk lainnya. Di samping itu, dimuat keterangan-keterangan bahwa di akhir
zaman akan datang seorang Nabi terakhir (Nabi Muhammad).86
Hanya saja Injil ini pun sama nasibnya dengan Taurat, yakni sudah
mengalami berbagai perubahan dan penggantian yang dilakukan oleh tangan
manusia. Buktinya adalah bahwa kitab Injil yang beredar di tangan kaum Nasrani
sekarang ini, asal mulanya adalah dari kitab-kitab Injil yang amat banyak sekali,
yakni tujuh puluh buah naskah yang dibuat oleh Umat Kristen, terakhir dipilih
empat buah saja, yaitu Matius, Markus, Lukas dan Yahya (Yohana).

83
Sayid Sabiq, Op.cit. h. 271
84
Rosihan Anwar, Op. cit. h. 142
85
Sayid Sabiq, Op. cit.h. 271
86
Rosihan Anwar, Op cit. h. 143

29
Kitab-kitab Injil sebagaimana disebutkan di atas itu di dalamnya juga
memuat tulisan dan catatan perihal kehidupan atau sejarah hidup Nabi Isa a.s. para
pengarangnya dimaklumi dan nama-nama mereka pun tercantum di situ. Para
pengecam dari golongan ummat Kristen sudah mengakui bahwa apa-apa yang kini
menjadi akidah atau kepercayaan yang tertera dalam kitab Injil itu adalah semata-
mata pendapat Paulus saja dan bukan pendapat kaum awari (pengikut) nabiullah
Isa a.s. dan bukan pula pendapat orang-orang yang terdekat sekali kepada beliau. 87
Sementara di dalam Injil yang empat tersebut juga banyak sekali terdapat
perbedaan pendapat, dan saling bertentangan antar satu sama lainnya.88 Hamka
mengatakan bahwa injil yang empat, yang telah diakui dan disahkan itu masih
pula menjadi perbincanggan ahli-ahli sejarah Kristen, tentang siapa penulisnya,
siapakah yang dimaksud dengan nama Matius, Markus, Lukas dan Yahya
(Yohana), kapan ditulisnya dan dengan bahasa apa dia ditulis dan dimanakah
naskah yang aslinya.89
Jadi Injil yang sekarang beredar, di dunia hanyalah karanganmanusia,
diantaranya Matius, Markus, Lukas, Yahya (Yohana), dan lain-lain. Oleh karena
itu, Injil yang wajib diyakini oleh umat muslim adalah Injil yang asli yang
diturunkan Allah kepada Nabi Isa a.s., bukan Injil-Injil yang beredar saat ini.90

C. Pembenaran Al-Qur’an Pada Kitab-Kitab Terdahulu


Perubahan dan penggantian dalam kitab-kitab Taurat dan Injil sudah bukan
suatu yang perlu disangsikan lagi, yakni sudah pasti secara hakiki, bahkan tidak
perlu diragukan lagi hal itu, sebab telah dijelaskan sendiri dengan nash Al-Qur’an
dari satu sudut, juga dengan bukti yang dapat diketahui dari sudut lainnya yaitu
realita yang ada bahwa telah terjadi perubahan-perubahan pada kitab terdahulu
tersebut yang dibuktikan terdapatnya bermacam-macam naskah serta kontradiksi
yang terjadi di dalamnya antara satu Injil dengan Injil lainnya.
Jikapun ditemukan kitab Taurat dan Injil yang asli tersebut, namun kitab
tersebut telah di nasakh (dicabut masa berlakunya) dan diganti dengan Al-Quran
(QS. Albaqaroh:75).91
Al-Qur’an datang untuk mengkokohkan yang hak dan kebenaran yang
juga terdapat dalam kitab-kitab terdahulu, juga menunjukkan, menjelaskan dan
87
Sayid Sabiq, Op. cit. h. 272
88
Rosihan Anwar,Op. cit. h. 143
89
Hamka, Pelajaran Agama Islam ( Jakarta: Bulan Bintang,1989) h. 144-145
90
Rosihan Anwar, Op.cit h.143
91
Tim Ahli Tauhid, Op.cit h. 68

30
menyingkapkan semua kesalahan dan kekeliruan yang terdapat di dalamnya yang
disebabkan karena ulah tangan manusia.
Seandainya kesalahan-kesalahan dan kekeliruan-kekeliruan yang
dimasukkan oleh para pemimpin agama ke dalam kitab-kitab suci dari langit itu
tidak ada dan ditunjukkannya kitab-kitab itu dengan sebenarnya atas nama Allah,
maka sudah pastilah bahwa apa yang haq itu akan tampak kebenarannya, dan
sudah tentu pula bahwa Taurat dan Injil itu akan sejalan dengan Al Quran, karena
sama-sama dari Allah.92
Sebenarnya seseorang yang mencari kebenaran yang hakiki dan ingin
memperoleh ajaran-ajaran Ketuhanan yang sahih, maka tidak ada jalan lain
baginya kecuali harus mematuhi apa-apa yang tercantum dalam kitab suci Al
Quran. Sebabnya tidak lain, karena memang Al-Qur’an itulah satu-satunya kitab
suci yang masih murni dan asli, terjaga, dan Allah sendiri sudah menjamin
keterpeliharaannya (QS. Al Hijir: 9), ajaran-ajarannya masih terpelihara dari
perubahan dan penggantian. Itulah kitab suci yang berasal dari wahyu yang
diterima oleh Rasulullah Muhammad SAW dari Jibril dan Jibril dari Allah,
kemudian Nabi sendiri yang mengajarkan umatnya tanpa berbeda sedikitpun dari
keasliannya. Bukankah ini suatu hal yang amat sempurna yang tidak mungkin
dapat dicapai oleh kitab manapun jua dan sama sekali tidak ada yang dapat
menandinginya ?93
Al-Qur’an adalah sebuah kitab yang sempurna, ia memuat dan
menerangkan tujuan puncak umat manusia dengan bukti-bukti kuat dan sempurna.
Al-Qur’an menandaskan, bahwa manusia akan selalu mengalami pertentangan-
pertentangan, kecuali jika mereka merujuk kepada wahyu Illahi; Al-Qur’an.94
Al-Qur’an diturunkan untuk membimbing manusia, tanpa memperhatikan
ras, umur, warna kulit, dan wilayah dari mana pun ia berasal. Al-Qur’an
disampaikan untuk seluruh manusia di segala zaman dan ia merupakan
pemenuhan bagi segala kebutuhan manusia.95
Oleh sebab itu al-Qur’an merupakan sebuah kitab universal. Ia tidak
mengkhususkan untuk bangsa tertentu, melainkan untuk semua kelompok

92
Sayid Sabiq, Op. cit.h. 274
93
ibid., h. 275
94
Didiek Ahmad Supadie dan Sarjuni, Pengantar Studi Islam (Jakarta: Rajawali Pers,
2011) h. 175
95
Kaelany HD, Islam dan Aspek-Aspek Kemasyarakatan, (Jakarta : Bumi Aksara, 2000)h.
71

31
manusia dan bangsa sepanjang masa.96Keimanan kepada kitab Allah
mengharuskan berhukum kepadanya. Barangsiapa yang mengaku beriman kepada
kitab Al Qura’an, tetapi mengambil hukum selain Al-Qur’an, berarti itu adalah
pengakuan yang kontradiksi dengan perbuatan. Inilah faktor utama timbulnya
fitnah dan sengketa antar bangsa dan masyarakat dewasa ini.97
            
    

“Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan


Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik”. (QS. Almaidah: 47)

           
       

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga


mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan,
kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap
putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya”. (QS.
An Nisa’: 65)
Dalam ayat-ayat di atas, Allah bersumpah dengan tidak mengakui
keimanan mereka yang mengaku beriman, karena mereka tidak menjadikan ajaran
Rasul sebagai patokan dalam memutuskan suatu masalah, dan tidak menerapkan
hukum Allah. Allah mengatakan mereka adalah orang-orang kafir, zalim, dan
fasiq sekalipun mereka mengaku beriman dan bersikap adil. Karena tidak ada
bukti pengakuan iman itu dalam perbuatan mereka, mereka justru menukar
hukum-hukum buatan Allah dengan hukum-hukum buatan mereka sendiri.98

D. Makna Beriman Kepada Kitab Al-Qur’an


Berdasarkan pengertian iman kepada kitab sebagaimana yang
dikemukakan pada awal pembahasan dari bab ini, maka konsekwensi iman kepada
kitab Al-Qur’an adalah bahwa setiap pribadi muslim wajib merealisasikan Al-
Quran dalam kehidupannya sehari-hari. Al-Quran turun kepada setiap pribadi, al-
Quran adalah amanah yang diembankan Allah kepada setiap pribadi, maka
terapkanlah dalam kehidupan ini bagi setiap pribadi yang mengaku beriman.
96
Didiek Ahmad Supadie dan Sarjuni, Op.cit. h.177
97
Shalih bin Fauzan Al Fauzan, Op. cit. h. 216
98
Shalih bin Fauzan Al Fauzan, Op. cit. h. 217

32
Hidup di bawah al-Quran adalah suatu kenikmatan yang besar dari Allah
sebagai aturan yang paling lengkap dan jalan keluar dari setiap problem
kehidupan manusia. Ini adalah doa setiap muslim terutama ketika solat;
Ihdinassiroothol mustaqiim/memohon kepada Allah agar diberikan jalan hidup
yang lurus. Allah mengatakan bahwa jalan lurus tersebut adalah al- Qur’an.
"Sesungguhnya al-Qur'an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang
lebih lurus." (QS.Al Israa: 9)
Kita wajib istiqomah dengan doa kita ketika solat tersebut, jangan sampai
mendustakan atau bermain-main dengan doa kita kepada Allah. Jika setelah
berdoa ditunjuki jalan hidup yang lurus yaitu al-Qur’an, tapi kita justru
menempuh jalan hidup komunis, jalan hidup sosialis kapitalis, atau jalan nafsu
dirinya sendiri, dan meninggal jalan hidup yang sesuai dengan tuntunan al-
Qur’an, maka perbuatan seperti ini disebut sebagai manusia pembohong.
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka
lakukan itu), tentulah mereka akan manjawab, "Sesungguhnya Kami hanyalah
bersenda gurau dan bermain-main saja." Katakanlah: "Apakah dengan Allah,
ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?" (QS.At Taubah:65)
Diturunkannya al-Qur’an oleh Allah adalah sebagai wujud kasih sayang
yang maha besar kepada kita manusia makhluk-Nya agar manusia selamat
hidupnya di dunia dan di akhirat. Dengan demikian seorang mukmin sangat
sadar bahwa Allah SWT tidak akan membiarkan makhluk-Nya yang bernama
manusia hidup di dunia ini tanpa arah.
“...Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab
yang menerangkan, dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang
mengikuti keredhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah
mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang
benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus”. (QS.
Al Maidah:15-16)
Al-Qur’an datang dari yang menciptakan manusia yaitu Allah. Allah Maha
Mengetahui peraturan-peraturan, hukum-hukum yang pasti sesuai, yang pasti
cocok, dan yang pasti pas dengan kondisi kita manusia ciptaan Allah ini. Allah
Maha Mengetahui tentang diri manusia, sedangkan manusia jauh tidak banyak
tahu tentang dirinya sendiri apalagi yang akan terjadi pada masa depannya sendiri.
Jadi al-Qur’an bukan untuk kepentingan Allah, tapi semata-mata hanya untuk
kepentingan kebahagian manusia itu sendiri. Al-Qur’an adalah merupakan

33
anugerah terbesar dari Allah kepada umat manusia. Jadi petunjuk melalui wahyu
merupakan hidayah tertinggi yang diberikan Allah kepada manusia.99
Inilah sistem hidup dari Sang Maha Hidup Yang menciptakan manusia,
tapi keadaan sebagian manusia sekarang justru lebih percaya dengan sistem hidup
yang diciptakannya sendiri, sehingga hidup mereka penuh kegelapan. Jadi
Sungguh aneh dan sombong sekali jika manusia yang serba terbatas ini lebih
percaya dengan sistem hidup yang diciptakannya sendiri, karena dihadapan
mereka ada cahaya yang sempurna yaitu al-Quran sebagai sistem hidup dari Allah
Yamg Maha Pengasih dan Maha Penyayang kepada hamba-hamba-Nya.
Tujuan hidup mukmin adalah mencari ridho Allah. Maka tentunya orang
mukmin menerima dengan ikhlas semua hukum ketentuan Allah yang terdapat di
dalam Al Qur’an dan al Hadis. Maka makna hidup yang sesungguhnya adalah
adanya kesungguhan perjuangan menegakkan ajaran Allah dan Rasul dalam
kehidupan di permukaan bumi ini.
Bagaimana sikap seorang mukmim yang telah diturunkan al-Qur’an ketika
dipanggil untuk melaksanakan ajaran Al-Quran? Jawabannya adalah sebagaimana
firman Allah berikut ini:
“Sesungguhnya jawaban oran-orang mukmin, bila mereka dipanggil
kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara
mereka ialah ucapan. "Kami mendengar, dan kami patuh". dan mereka itulah
orang-orang yang beruntung” (QS. An Nur:51)
E. Kewajiban Mukmin Terhadap al-Qur’an
Adapun diantara kewajiban mukmin Terhadap Al-Qur’anadalah :
1. Mencintainya.
2. Megagungkannya.
3. Menghormati kedudukannya.
4. Membacanya.
5. Merenungkannya.
6. Mengikuti hukum-hukumnya.
7. Mentaati perintah-perintahnya dan adab-adabnya.100
Masih ada beberapa pendapat lain tentang kewajiban terhadap al-Qur’an
ini, namun pada intinya pendapat-pendapat tersebut tidak jauh berbeda dari
pendapat yang penulis kutibkan di atas. Pada dasarnya kewajiban paling pokok

99
Yusuf Al Qardawy, Pengantar Kajian Islam.(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1997) h. 70
100
Abdul aziz bin Muhammad Abdul latifOp. cit. h. 45-46

34
terhadap al-Qur’an adalah melaksanakan atau mengaplikasikannya dalam semua
aspek kehidupan kita.
Dari beberapa kewajiban muslim terhadap al-Qur’an, maka pada buku ini
penulis batasi hanya mengemukan lima kewajiban Muslim terhadap al-Qur’an
dengan merujuk kepada beberapa ayat al-Qur’an sebagaimana di bawah ini:

1. Belajar Membaca Dan Mengajarkannya


“Orang-orang yang telah Kami berikan Al kitab kepadanya, mereka
membacanya dengan bacaan yang sebenarnya mereka itu beriman kepadanya.
dan barangsiapa yang ingkar kepadanya, maka mereka Itulah orang-orang yang
rugi”. (QS. Almaidah:121)
Membaca tujuannya adalah untuk mengerti maknanya, dan dapat
mengamalkannya, bahkan menyampaikannya. Untuk dapat membaca dengan baik
maka tentu terlebih dahulu wajib pula mengetahui ilmu membacanya, yaitu ilmu
tajwid.
Membaca al-Qur’an merupakan ibadah. Begitu besar kelebihan dan
keutaman yang diberikan Allah kepada orang yang membaca al-Qur’an. Bukan
hanya membaca bahkan mendengarkan bacaan al-Quran juga adalah termasuk
ibadah. Untuk keutamaan membaca dan mendengarkan Al-Qur’an penulis
kutibkan beberapa hadits-hadits yang terdapat dalam buku “Keutamaan-
Keutamaan Al-Qur’an, karanganAthiq bin Ghaits Balady, yang diantara lain
adalah sebagaimana dibawah ini:
Orang Yang Disibukkan Al-Qur’an dan Ingat Kepada Allah
‫ َم ْن َش َغلَهُ ْالقُرْ آَنُ َو ِذ ْك ِر ع َْن‬:َّ‫ يَقُوْ ُل الرَّبُّ َع َّز َو َجل‬:‫ى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬ َ ِ‫ قَا َل َرسُوْ ُل هللا‬:‫ع َْن اَبِى َس ِع ْي ٍد قَا َل‬
َّ ‫صل‬
.‫َلى خَ ْلقِ ِه‬
َ ‫ض ُل َمااُ ْع ِطى السَّائِلِ ْينَ َوفَضْ ُل َكالَ ِم هللاِ َعلَى َسائِ ِر ْال َكالَ ِم َكفَضْ ِل هللاِ ع‬ َ ‫َم ْسئَالَتِى اَ ْعطَ ْيتُهُ اَ ْف‬
Dari Abu Said ia berkata: Rasulullah bersabda: Tuhan Maha Agung
lagi Maha Tinggi berfirman: Barangsiapa disibukkan oleh Al-Qur’an dan
mengingatKu karena untuk kepentinganKu maka Aku akan memberikan
sebaik-baik dari apa yang Aku berikan kepada orang-orang yang meminta
dan keutamaan kalam Allah atas semua kalam lainnya itu seperti keutamaan
Allah atas ciptaan-Nya. (At-Tirmidzy Juz V/ 184)
Besarnya Pahala Membaca Al-Qur’an
ِ ‫ َم ْن قَ„ َرأَ َحرْ ف„ا ً ِم ْن ِكتَ„„ا‬:‫ى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َس„لَّ َم‬
ِ‫ب هللا‬ َّ ‫صل‬ َ ِ‫ قَا َل َرسُوْ ُل هللا‬:ُ‫ض َي هللاُ َع ْنه‬ ِ ‫ع َْن َع ْب ِدهللاِ„ ْب ِن َم ْسعُوْ ٍد َر‬
.‫ف‬ ٌ ْ‫ف َو ِم ْي ٌم َحر‬ ٌ ْ‫ف َوالَ ٌم َحر‬ ٌ ْ‫ف َحر‬ ٌ ِ‫ف َولَ ِك ْن اَل‬ٌ ْ‫فَلَهُ بِ ِه َح َسنَةٌ َو ْال َح َسنَةُ بِ َع ْش ِر اَ ْمثَالِهَا الَ اَقُوْ ُل (الم) َحر‬
Dari Abdullah bin Mas’ud ra. Rasulullah bersabda: barang siapa
membaca satu huruf dari kitab Allah maka baginya kebajikan, sedang

35
kebajikannya adalah sepuluh kali lipatnya. Saya tidak mengatakan Alif Lam
Mim itu satu huruf, akan tetapi Alif satu huruf, Lam satu huruf, dan Mim satu
Huruf.(At-Tirmidzy)

Sebaik-Baik Kamu Sekalian Adalah Orang-Orang Yang Mempelajari Al-


Qur’an dan Mengajarkannya
‫ب هللاِ خَ ْي„ ٌر‬ ِ َ ‫ ِألَ ْن تَ ْغ ُد َو فَتَ َعلَّ َم آَيَ „ةً ِم ْن ِكت„ا‬,ٍّ‫ يَااَبا َ َذر‬:‫ى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
َّ ‫صل‬
َ ِ‫ال لِي َرسُوْ ُل هللا‬ َ َ‫ ق‬:‫ع َْن اَبِى َذ ٍّر قَا َل‬
َ‫ص „لِّ َي اَ ْل„„ف‬َ ُ‫ َوألَ ْن تَ ْغ ُد َو فَتَ َعلَّ َم بَابًا ِمنَ ْال ِع ْل ِم ُع ِم َل بِ ِه اَوْ لَ ْم يَ ْع َملْ خَ ْي„ ٌر ِم ْن اَ ْن ت‬,‫صلِّ َي ِماَئةَ َر ْك َع ٍة‬
َ ُ‫ك ِم ْن اَ ْن ت‬ َ َ‫ل‬
.‫َر ْك َع ٍة‬
Dari Abu Dzar, ia berkata: Telah bersabda kepadaku Rasulullah:
Wahai Abu Dzar, sungguh jika kamu berangkat pagi-pagi lalu kamu
mempelajari satu ayat dari kitabullah maka itu lebih baik bagimu dari kamu
mengerjakan sholat seratus raka’at dan sungguh jika kamu berangkat pagi-
pagi lalu kamu mempelajari satu bab ilmu pengetahuan baik sudah
diamalkan atau belum maka itu lebih baik bagimu daripada kamu sholat
seribu raka’at.(Ad-Darimy: II/ 429)
Sebagai Muslim yang mencintai al Qur’an, tentu sudah tertanam dalam
diri kita slogan “Tiada hari tanpa membaca al-Qur’an”. Oleh sebab itu hendaklah
kita membaca al-Qur'an secara rutin, meskipun sedikit. Alokasikan waktu untuk
membaca al-Qur’an dan harus direncanakan dalam setiap keseharian kita untuk
membaca al-Qur'an ataupun mendengarkan Al-Qur’an, serta harus pula
memperhatikan adab-adab membacanya dan mendengarnya.
2. Memahami Dan Mentadabburi Isinya
“Maka Apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an ataukah hati
mereka terkunci?”. (QS. Muhammad: 24).
Diwajibkannya memahami al-Qur’an karena salah satu tujuan membaca
adalah untuk memahami.Tentu dengan dapat memahaminya, akan mempermudah
kita dalam mengamalkan isinya. Setiap muslim dituntut untuk memahami dan
mampu mendalami maknanya dalam rangka menguak makna yang yang
terkandung di dalam al-Qur’an. Tanpa upaya ini, maka keagungan al-Quran tidak
akan dapat dirasakan dalam kehidupan.
Jika saudara menerima surat penting dalam bahasa yang tidak dimengerti
isinya oleh saudara, tentu saudara akan mencari orang lain yang memahami isi
bahasa surat tersebut. Begitu pula misalnya yang saudara lakukan terhadap surat-
surat dagang yang memberikan keuntungan ekonomi bagi saudara. Akan tetapi
surat yang dikirim oleh Penguasa dunia kepada saudara yang menerangkan semua

36
keuntungan tak terhingga di semua lapangan hidup saudara, tapi malah saudara
kesampingkan begitu saja tanpa mencoba memahami isinya. Bukankah ini sebagai
sesuatu yang mengherankan?101
Maka cara yang paling ideal untuk bisa memahami kandungan Al-Qur’an
tentu saja adalah dengan memahami bahasa Arab. Oleh karena itu, belajar bahasa
Arab itu penting. Namun jika kita belum atau tidak mampu memahami bahasa
Arab, maka dapat menggunakan sarana yang lain, diantaranya dengan Al-Qur’an-
Terjemahan, buku-buku tafsir, majlis-majlis taklim yang mengkaji Al-Qur’an, dan
sebagainya.
3. Menghafalnya
“Dan Sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Quran untuk pelajaran,
maka adakah orang yang mengambil pelajaran?”. (QS. AlQomar: 17)
Salah satu cara menjaga dan memelihara al-Qur’an adalah dengan cara
menghafalkannya. Dengan cara ini, maka lebih mendekatkan setiap muslim pada
al-Quran karena ia dapat membacanya di mana pun, kapan pun dengan mudahnya
karena al-Qur’an sudah tersimpan dalam ingatannya, dan kesempatan untuk
mendapatkan pahala pun semakin luas dan mudah.
Penghafal al-Quran juga termasuk salah satu yang dimaksud pada firman
Allah dalam Surat Al Hijir ayat 9. Diantara sarana pemeliharaannya, senantiasa
ada orang yang menghafalnya, dari generasi ke generasi.102 Maka alangkah
mulianya orang yang telah mewakili Allah dalam pemeliharaan al-Qur’an ini.
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya
Kami benar-benar memeliharanya” (QS. Al Hijir: 9)
4. Melaksanakan
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi
perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu
ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan
barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat,
sesat yang nyata”.(QS. Al Ahzaab: 36)
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga
mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan,
kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap

101
Abul A’la Maududi, Dasar-Dasar Islam, terjemahan Achsin Mohammad, (Bandung,
Pustaka: 2001) h. 22
102
Yusuf Al-Qaradhawi, Bagaimana Berinteraksi Dengan al-Qur’an, Terjemahan Katthur
Suhardi(Jakarta, Pustaka Al-Kautsar: 2000) h. 136.

37
putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya”. QS) An
Nisa:65)
“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan
Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. Barangsiapa tidak
memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu
adalah orang-orang yang zalim”. ( QS. Almaidah:44-45)
“Dan hendaklah memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah
di dalamnya. Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang di
turunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang fasik ?”. ( QS. Almaidah:47)
''Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki ? (hukum) siapakah
yang lebih baik dari pada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini
(Agamanya) ?"( QS. Almaidah:50)
“Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil
kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara
mereka ialah ucapan. "Hanya ucapan orangg-orang mukmin, yang apabila
mereka diajak ke jalan Allah dan Rasul-Nya agar Rasul memutus (perkara) di
antara mereka, mereka berkata, kami mendengar, dan kami patuh". dan mereka
itulah orang-orang yang beruntung”. (QS. An Nur: 51)
Melaksanakan isi al-Qur’an adalah kewajiban yang paling penting bagi
setiap muslim dan sebagai bukti iman kepadal al-Qur’an, karena dengan
mengamalkannya inilah terwujudnya tujuan Al-Qur’an diturunkan yaitu agar kita
hidup bahagia dan selamat di dunia dan di akhirat.
Kita wajib mengimani seluruh isi Al-Qur’an tanpa kecuali. Jangan sampai
kita hanya mengimani sebagian isi Al-Qur’an yang sesuai dengan selera dan
kehendak kita dan mengingkari sebagian yang lainnya yang tidak sesuai dengan
selera dan kehendak kita.
“Kemudian kamu (Bani Israil) membunuh dirimu (sesamamu), dan
mengusir segolongan dari kamu dari kampung halamannya, kamu saling
membantu (menghadapi) mereka kedalam kejahatan dan permusuhan. Dan jika
mereka datang kepadamu sebagai tawanan, kamu tebus mereka, padahal kamu
dilarang mengusir mereka. Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al kitab
dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang
berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan
pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah
tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan”.( QS. Al Baqaroh: 85)

38
“Tidaklah engkau (Muhammad) memperhatikan orang-orang yang
mengaku bahwa mereka telah beriman kepada apa yang telah diturunkan
kepadamu dan kepada yang diturunkan sebelummu? Tetapi mereka masih
menginginkan ketetapan hukum kepada taghut, padahal mereka telah
diperintahkan untuk mengingkari taghut itu, dan syetan bermaksud menyesatkan
mereka (dengan) kesesatan yang sejauh-jauhnya”. " dan apabila dikatakan
kepada mereka, " marilah (patuh) kepada apa yang diturunkan Allah dan
(patuh ) kepada Rasul," (niscaya) engkau (Muhammad) melihat orang munafik
menghalangi dengan keras darimu. (QS. An Nisa’:60-61)
Manusia sebagai ciptaan Allah, wajib tunduk kepada hukum yang telah
ditentukan oleh Allah Pencipta manusia ini. Allah menurunkan al-Qur’an untuk
mengatur hubungan manusia dengan Allah, hubungan dengan sesamanya serta
hubungan manusia dengan alam lingkungan hidupnya. Apabila manusia
mengetahui dirinya sebagai ciptaan dari Allah, maka tentunya mereka pasti
tunduk kepada aturan Allah yang telah ditetapkan-Nya dalam al-Qur’an.103
Al-Qur’an pasti memberikan manfaat apa pun yang kita inginkan,
sebanyak apa pun yang kita mau. Jika menginginkan puncak kebesaran rohani,
maka al-Qur’an dapat memberikannya. Jika umat Islam mau menjadi iman dan
memimpin dunia ini, maka al-Qur’an pun dapat memberikan kebesaran dan
kekuasaan itu. Tapi sayang sebagaimana perkataan Abul A’la Maududi: “Al
Qur’an adalah bagaikan lautan, tapi saudara hanya mengambil dua tetes air
daripadanya. Apa yang diperbuat oleh sebagian kaum muslimin terhadap al-
Qur’an adalah sedemikian tololnya dan patut ditertawakan. Sekiranya ada orang
yang menerima resep obat dari seorang dokter, tapi kemudian resep itu
dibungkusnya dengan kain dan digantungkan di lehernya, atau dicelupkannya ke
air dan air itu diminumnya, apa yang saudara katakan? Tidakkah saudara
mentertawakannya dan mengatakan bahwa orang tersebut tolol? Nah sekarang di
depan saudara semua perbuatan seperti itu sedang dilakukan terhadap resep yang
paling manjur dan tidak ternilai harganya (al-Qur’an) yang ditulis oleh dokter
yang paling besar, paling ahli dari semua dokter, yaitu yang paling Maha
Mengetahui; Allah SWT yang bermaksud menyembuhkan semua peyakit saudara.
Namun tidak seorang pun yang tertawa melihat perbuatan ini! kaum muslimin
tidak menggunakan obat dengan cara seperti yang ditunjukkan dalam resep itu”.104

103
Zainuddin Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta :PT Bumi Aksara, 2011) h.106
104
Abul A’la Maududi, Dasar-Dasar Islam, Terjemahan Achsin Mohammad, (Bandung, Pustaka:
2001) h. 19-21

39
Al-Quran adalah sumber kebahagian dan segala kebaikan. Karena itu jika
umat yang memiliki kitab ini hidup dalam kehinaan dan diperbudak oleh orang
lain, maka dapat dipastikan bahwa hal itu adalah karena mereka memperlakukan
kitab Allah dengan cara yang zalim, dan apa yang mereka alami itu adalah
hukuman atas perbuatan mereka.105 Al-Qur’an sebagai pedoman hidup dan
petunjuk yang datang dari Allah wajib dijadikan pegangan dalam semua aspek
kehidupan kaum muslimin. Mengutamakan pedoman buatan manusia dari
pedoman buatan Allah Pencipta manusia, pasti akan membawa mereka kepada
kesengsaraan dan penderitaan.106
“Dan siapakah yang lebih zalim dari pada orang yang telah
diperingatkan dengan ayat-ayat Tuhannya, kemudian ia berpaling daripadanya?
Sesungguhnya Kami akan memberikan balasan kepada orang-orang yang
berdosa”.( QS. As Sajadah:22)

‫ى ْالقَ„ َذاةُ يَ ْخ ُر ُجهَ„„ا‬ َّ ‫ى اُ ُج„„وْ ُر اُ َّمتِى َح„„ت‬ ْ ‫ض‬


َّ َ‫ت َعل‬ ِ ‫ ع‬:‫ى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
َ ‫َر‬ َّ ‫صل‬ َ َ‫ك ق‬
َ ِ‫ َرسُوْ ُل هللا‬:‫ال‬ ٍ ِ‫س ْب ِن َمال‬ ٍ َ‫ع َْن اَن‬
‫ى ُذنُوْ بُ اُ َّمتِى فَلَ ْم اَ َر َذ ْنبًا اَ ْعظَ َم ِم ْن سُوْ َر ٍة ِمنَ ْالقُرْ آَ ِن اَوْ آَيَ ٍة اُوْ تِ ْيهَا َزجُ„„ ُل‬ ْ ‫ض‬
َّ َ‫ت َعل‬ ِ ‫ال َّر ُج ُل ِمنَ ْال َم ْس ِج ِد َوع‬
َ ‫ُر‬
.‫ثُ َّم نَ ِس ْيهَا‬
Dari Anas bin Malik ia berkata:” Rasulullah bersabda: Dikemukakan
kepadaku pahala umatku hingga anak panah yang dibawanya keluar masjid, dan
ditampakkan kepadaku dosa umatku, maka aku tidak melihat dosa yang paling
besar dari surat atau ayat Al Quran yang telah diberikan kepadanya kemudian
dia melupakannya”.(At-Tirmidzy: V/179
5. Menyeru Orang Kepadanya
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran
yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu
Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan
Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”. (QS. An
Nahl:125)
Jika seseorang peduli pada dirinya untuk menjadi orang yang baik
dihadapan Allah dan takut akan ancaman-Nya, maka kepedulian yang sama harus
dibangun pula kepada saudaranya yang lain sehingga menuntutnya untuk
menyampaikan semua nilai-nilai kebaikan yang dipahaminya tersebut.
Amal saleh bukan saja yang berhubungan langsung dengan Allah saja,
tapi amal soleh itu juga berhubungan dengan hidup bermasyarakat. Maka untuk
105
Ibid., h. 23
106
Rosihan Anwar, Op.cit. h. 145

40
terhindar dari segala kerugian kecelakaan, manusia wajib melakukan amal soleh
terhadap manusia lain. Yaitu dia wajib memberi ingat manusia mana yang benar
dan mana yang salah, supaya yang benar itu dijunjung tinggi manusia dan
diamalkan,dan yang salah supaya dijauhi manusia .
Manusia berguna adalah bila ia baik dan dapat membaikkan orang lain.
Bila ia suci dapat mensucikan orang lain. Inilah orang yang beruntung dalam
hidupnya, yaitu orang yang dirinya tidak terlepas dari ikatan bersama. Karena itu
salah satu yang menyelamatkan manusia dari kerugian dan kecelakaan hidup ini
adalah berkenaan dengan tanggungjawab manusia hidup di tengah-tengah
masyarakat. Ia bukan saja wajib hidup diatas kebenaran, tetapi ia juga wajib
berusaha menyampaikan dan menegakkan kebenaran terhadap masyarakat
tersebut.
Sebagaimana penutup dari sub bab ini, mari perhatikan firman Allah
berikut:
َ ِ‫ٰ َذل‬
ِ ‫ك َو َم ْن يُ َعظِّ ْم َش َعائِ َر هَّللا ِ فَإِنَّهَا ِم ْن تَ ْق َوى ْالقُلُو‬
‫ب‬
“Demikianlah (perintah Allah). Dan siapa yang mengagungkan syiar-
syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS Al- Hajj/:
32).

4. IMAN KEPADA RASUL

A. Makna Nabi Dan Rasul


Nabi secara bahasa berarti al-mukhbir (pemberi berita). Diambil dari kata
an-anba’ yang berarti al-khabar (berita). Jadi, Nabi adalah pembawa berita dari
Allah. Atau juga diambil dari kata an-nabwah yakni sesuatu yang menonjol dari
bumi, karena itu Nabi adalah mahluk yang paling mulia dan paling memiliki
kedudukan yang tinggi di antara mahluk-mahluk lain. Adapun definisi Nabi
menurut istilah yaitu laki-laki merdeka, yang dipilih Allah mengkhususkan
penyampaian wahyu kepadanya.107
Adapun Rasul secara bahasa berarti orang yang mengikuti berita-berita
dari yang mengutusnya.Menurut istilah, Rasul adalah laki-laki merdeka, yang
diberi berita oleh Allah dengan syari’at, dan diperintahkan untuk
menyampaikanya kepada kaumnya yang menyelisihinya.108

107
Abdul Aziz Bin Muhammad Abd Lathif, Pelajaran Tauhid Untuk Tingkat Lanjutan
(Jakarta: Darul Haq, 1998) h. 52
108
Ibid. h. 53

41
Selanjutnya apakah perbedaan antara Nabi dan Rasul? Rasul adalah
seorang laki-laki yang diberi wahyu yang berupa syariat dan diperintah supaya
menyampaikannya. Adapun Nabi adalah seorang laki-laki yang diberi wahyu
yang berupa syariat, namun tidak diperintahkan supaya menyampaikannya.”109
Namun sebagian ulama menyatakan bahwa definisi “nabi” sebagaimana
di atas, memiliki kelemahan, karena tidaklah wahyu disampaikan Allah ke bumi,
kecuali untuk disampaikan, dan jika Nabi tidak menyampaikannya, maka berarti
Nabi tersebut telah menyembunyikan wahyu Allah.110
Dari dua pendapat di atas, maka penulis setuju dengan pendapat yang
terakhir, dan ini memang juga didukung oleh beberapa pendapat. Diantaranya
adalah dari tim ahli tauhid sebagaimana berikut:
a. Kenabian (nabuwah) adalah syarat kerasulan (risalah). Maka tidak bisa
menjadi Rasul orang yang bukan Nabi. Kenabian lebih umum dari pada
kerasulan. Setiap Rasul pasti Nabi, tetapi tidak semua Nabi adalah Rasul.
b. Rasul membawa risalah kepada orang (kamu) yang tidak mengerti tentang
agama dan syariat Allah atau kepada kaum yang telah mengubah syariat dan
agama, untuk mengajari mereka atau mengembalikan mereka kepada syariat
Allah. Dia adalah hakim bagi mereka. Sedangkan Nabi diutus dengan dakwah
kepada syariat Nabi atau Rasul yang sebelumnya.111
Pendapat ini diperkuat oleh Abdul Aziz yang yang mengatakan bahwa
Rasul lebih khusus daripada Nabi, setiap Rasul diperintahkan untuk
menyampaikan syari’at kepada orang yang menyelisihi agama Allah atau yang
tidak mengetahui dien Allah, adapun Nabi maka ia diutus untuk berdakwah
dengan syari’at Rasul yang sebelumnya.112
Namun perlu diperhatikan pula, bahwa al-Qur’an menggunakan kata nabi
dan rasul untuk orang yang sama, dan kadang-kadang menggunakan dua kata itu
sekaligus. Penggunaaan kata rasul dalam al-Qur’an lebih umum daripada nabi.113

B. Makna Beriman Kepada Rasul

109
Shalih bin Fauzan Al Fauzan, Sudah Benarkah Aqidah Kita? (Makasar Jaktim: Pustaka
Ash-Shahihah, 2009) h. 221
110
Rosihan Anwar, Akidah Akhlak, (Bandung : Pustaka Setia, 2008) h. 149
111
Tim Ahli Tauhid, Kitab Tauhid (Jakarta: Darul Haq, 1998) h. 84
112
Abdul Aziz Bin Muhammad Abd Lathif, Op. cit. h. 53
113
Abu Ahmadi dan Noor Salimi, Dasar-Dasar Pendidikan Agama Islam Untuk
Perguruan Tinggi (Jakarta: Bumi Aksara, 2004) h. 118

42
Iman kepada Rasul maksudnya mempercayai risalah mereka, mengakui
kenabian mereka, dan mengakui bahwa mereka jujur terhadap apa yang mereka
beritakan dari Allah. Mereka telah menyampaikan risalah menjelaskan kepada
manusia segala hal prinsip yang harus diketahui oleh setiap orang.114
Beriman kepada Rasul-Rasul Allah adalah rukun iman yang keempat,
yaitu mempercayai bahwa Allah telah mengutus para Rasul-Nya untuk membawa
syi'ar agama atau membimbing umat manusia kepada jalan yang benar dan diridai
Allah. Jumlah Rasul tidak diketahui secara pasti, namun ada ulama yang
mengatakan bahwa Allah telah menurunkan Nabi sebanyak 124.000 orang dan
Rasul sebanyak 313 orang, dan jumlah ini pun belum dipastikan dan kemungkinan
besar jumlahnya lebih banyak lagi. Hanya Allah yang lebih mengetahuinya.115

“Dan sesungguhnya telah Kami utus beberapa orang Rasul sebelum


kamu, di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antara
mereka ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu….” (QS Al
Mukmin: 78)

Dari sekian banyak jumlah Rasul dan Nabi tersebut, hanya 25 orang yang
disebutkan dalam Al-Quran, sehingga para Rasul dan Nabi yang wajib kita
ketahui hanya 25 orang. Para Nabi dan Rasul tersebut adalah:
1. Adam a.s. 11. Yusuf a.s. 21. Yunus a.s.
2. Idris a.s. 12. Ayyub a.s. 22. Zakariya a.s.
3. Nuh a.s. 13. Syu’aib a.s. 23. Yahya a.s.
4. Hud a.s. 14. Musa a.s. 24. Isa a.s.
5. Saleh a.s. 15. Harun a.s. 25. Muhammad saw.116
6. Ibrahim a.s. 16. Zulkifli a.s.
7. Lut a.s. 17. Daud a.s.
8. Isma’il a.s. 18. Sulaiman a.s.
9. Ishaq a.s. 19. Ilyas a.s.
10. Yaqub a.s. 20. Ilyasa a.s.
Apabila seseorang beriman kepada sebagian Rasul, tetapi menolak
sebagian lainnya, maka orang tersebut bisa dikatakan kafir.117

114
Shalih bin Fauzan Al Fauzan, Op. cit. h. 219
115
Rosihan Anwar, Op.cit. h. 150
116
Ibid.h. 150-151
117
Ibid. h. 153

43
        
         
         
 “Merekalah orang-orang kafir yang sebenarnya. Dan kami sediakan untuk
orang-orang kafir itu azab yang menghinakan". "Adapun orang-orang yang
beriman kepada Allah dan Para Rasul-Nya dan tidak membeda-bedakan
seorangpun di antara mereka (para rasul), kelak Allah akan memberikan pahala
kepada mereka. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
(QS.Annisa’:151-152)
Syekh Muhammad ibn Shaleh Al-Utsaimin menyampaikan dalam kitabnya
Syarh Tsalatsatul Ushul: bahwa dalam keimanan kepada Rasul terkandung empat
unsur di dalamnya, yaitu:
1. Mengimani bahwa risalah mereka benar-benar berasal dari Allah. Barang
siapa yang mengingkari risalah mereka, walaupun hanya seorang saja,
menurut pendapat seluruh ulama dia dikatakan kafir.
Allah menjadikan mereka mendustakan semua Rasul, padahal hanya seorang
Rasul saja yang ada ketika mereka mendustakannya. Oleh karena itu, umat
Nashrani yang mendustakan dan tidak mau mengikuti Nabi Muhammad
SAW., berarti mereka juga telah mendustakan dan tidak mengikuti Nabi Isa
Al-Masih bin Maryam, karena Nabi Isa telah menyampaikan kabar gembira
akan datangnya Nabi Muhammad SAW. ke alam semesta ini sebagai rahmat
bagi semesta alam.
2. Mengimani Nabi dan Rasul yang sudah disebutkan Allah akan nama-
namanya, misalnya Adam, Idris, Nuh, Hud, Saleh, Ibrahim, Musa, Isa,
Muhammad, dan lain lain. Adapun mereka yang tidak disebutkan namanya,
maka kita beriman kepada mereka secara global.
3. Membenarkan berita-berita mereka yang benar tentang para Rasul.
4. Mengamalkan syariat Nabi yang diutus kepada kita. Dia adalah Nabi terakhir,
Muhammad SAW., yang diutus Allah kepada seluruh manusia.118
         
        


“Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan


engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan,
(sehingga) kedian tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan
yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya”. (QS. An Nisa’:
65)

118
Ibid. h. 155-156

44
Setiap orang beriman yang mengakui Allah sebagai Tuhannya dan tunduk
sepenuhnya kepada perintah dan larangan-Nya, pasti sepenuhnya pula beriman
kepada kebenaran ayat ini. Artinya, ia yakin bahwa tidak akan ada lagi Rasul atau
Nabi yang diutus Allah sesudah Nabi Muhammad SAW, karena telah
sempurnalah risalah yang beliau bawa itu.119
Iman kepada Rasul bukanlah merupakan perkara sulit setelah adanya
keimanan kepada kesempurnaan Allah, kebijaksanaan, rahmat, pengasuhan dan
pengurusan-Nya terhadap alam semesta serta pemuliaan-Nya terhadap manusia.
Bahkan keimanan ini merupakan cabang dan keharusan dari konsekuensi
keimanan kepada Allah, karena Allah yang telah menciptakan manusia, mustahil
kemudian membiarkannya terombang ambing tanpa petunjuk, bahkan termasuk
kesempurnaan hikmah (kebijaksanaan) Allah adalah Dia menunjukinya ke jalan
akhirat sebagaimana telah menunjukinya jalan kehidupan dunia, untuk
menyediakan baginya bekal rohaninya sebagaimana telah menyediakan baginya
bekal materinya, dan menurunkan wahyu dari langit untuk menghidupkan hati
dan akal sebagaimana telah menurunkan air dari langit agar supaya bumi hidup
setelah matinya.120
Dengan demikian bukti dari keimanan kepada Rasulyang paling utama
adalah mengikuti beliau dalam segala aspek kehidupan ini, selalu mengerjakan
apa-apa yang diperintahkan Rasul dan menjauhi apa-apa yang dilarang olehnya.
Karena pada hakikatnya segala yang diperintahkan Rasul merupakan perintah
Allah dan segala yang dilarang Rasul merupakan larangan Allah.
         
      

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah ia. Dan apa yang
dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” (QS. Al Hasyr: 7)

           


“Barangsiapa yang mentaati Rasul (Muhammad),maka sesungguhnya dia telah


mentaati Allah. Dan barang siapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka

119
Ibid. h. 170
120
Yusuf Al Qardawy, Pengantar Kajian Islam.(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1997) h. 69

45
(ketahuilah), kami yang mengutusmu (Muhammad) untuk menjadi pemelihara
mereka”. (QS. An-Nisa: 80).

C. Agama Para Nabi Dan Rasul


Pengakuan manusia terhadap Allah Yang Maha Esa adalah kesaksian
manusia sejak awal penciptaaannya, dan inilah akidah tauhid. Ketika Nabi Adam
a.s. diturunkan ke dunia, beliau membawa serta akidah ketauhidan itu. Akidah
tauhid ini beliau ajarkan kepada anak cucunya sampai turun-temurun.Ketika Nabi
Adam wafat, di antara cucu-cucu beliau terdapat beberapa orang yang
menyimpang dari akidah ini sehingga sesat. Untuk mengembalikan akidah yang
sesat itu, Allah mengutus seorang Rasul yang dipilih-Nya dari kalangan anak-
cucu Adam dengan membawa akidah tauhid yang sama. Rasul baru ini lalu
menyampaikan ajaran untuk masuk kembali ke dalam agama (Islam) yang dulu
dibawa oleh Nabi Adam.Umat manusia pun, yang waktu itu jumlahnya belum
begitu banyak, sebagian kembali kepada akidah tauhidnya.Namun ada pula yang
tetap berpegang pada akidahnya yang telah sesat itu.Ibarat domba-domba, saat
mereka diawasi dan diasuh oleh pengembalanya, mereka tenang dan
tertib.Namun, begitu penggembalanya pergi, serta merta, domba-domba itu pun
berpencaran, dan tidak jarang menjadi tersesat dan hilang.Begitulah, pada saat
Rasulsesudah Nabi Adam itu dipanggil menghadap Allah untuk selamanya,
sebagian dari umatnya ada yang menyimpang dari akidah yang
diajarkannya.Sementara itu, jumlah manusia pun terus bertambah dari waktu ke
waktu.Pada saat kesesatan itu sudah demikian nyata, Allah mengutus lagi seorang
Rasul untuk mengembalikan anak cucu Adam itu pada akidahnya yang benar. Bila
sudah demikian, Allah pun mengutus pula seorang Rasul dengan membawa ajaran
yang sama, akidah ketauhidan. Begitulah seterusnya.Nabi dan Rasul silih berganti
datang dan pergi, sampai terakhir Nabi Muhammad SAW.121
Dengan demikian, akidah tauhid merupakan akidah yang satu yang
merentang panjang dari Adam hingga Nabi Muhammad, itulah yang dimaksud
dengan kesatuan akidah dalam sejarah umat manusia ini. Adapun ajaran-ajaran
agama yang tidak mencerminkan ketauhidan, hanyalah merupakan penyimpangan
dari akidah ketauhidan yang satu itu. Adanya kepercayaan terhadap Dzat Yang
Maha Tinggi di kalangan berbagai bangsa primitif seperti yang selama ini telah
dibuktikan oleh para ahli, selain menjadi bukti bahwa beragama itu merupakan
naluri manusia, sekaligus bisa dinyatakan sebagai sisa-sisa akidah tauhid yang
121
Rosihan Anwar, Op.cit. h. 37-38

46
dibawa oleh para Nabi terdahulu, serta membantah teori evolusi dalam
kepercayaan umat manusia. Kalaupun ada yang bisa disebut evolusi, hal itu
terdapat pada peningkatan dan penyempurnaan syariat yang ditetapkan Allah
untuk mengatur kehidupan manusia. Syariat itu dimaksudkan untuk mengatur
kehidupan manusia, sedangkan kehidupan itu terus berkembang dari waktu ke
waktu, maka syariat yang ditetapkan oleh Allah terlihat mengalami peningkatan
dan penyempurnaan. Pada masa Nabi Adam, ketika jumlah manusia masih bisa
dihitung dengan jari, syariat Allah membenarkan pernikahan antar saudara
kandung sendiri.Akan tetapi, pada saat manusia sudah berkembang menjadi umat
yang besar, syariat Allah yang berkaitan dengan hal ini, kemudian di-
sempurnakan.Demikian syariat tentang segala aspek kehidupan mencapai puncak
kesempurnaannya pada masa kerasulan Nabi Muhammad SAW.122
        
        
           
         
           


“Manusia itu (dahulunya) satu umat. (setelah timbul perselisihan), lalu Allah
mengutus para Nabi (untuk) menyampaikan kabar gembira dan peringatan. Dan
diturunkan-Nya bersama mereka kitab yang mengandung kebenaran, untuk
memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang merreka
perselisihkan. Dan yang berselisih hanyalah orang-orang yang diberi (kitab)
setelah bukti-bukti yang nyata sampai kepada mereka, karena kedengkian mereka
sendiri, maka dengan kehendak-Nya, Allah memberi petunjuk kepada mereka
yang beriman tentang kebenaran yang mereka perselisihkan. Allah memberi
petunjuk kepada siapa yang dia kehendaki kejalan yang lurus”.(QS. Al Baqaroh:
213)
Jadi menurut al-Qur’an; Firman Allah Penguasa langit dan bumi, yang
telah menurunkan agama kepada manusia. Allah mengatakan bahwa Dia hanya
menurunkan agama Islam saja kepada Nabi dan Rasul-Nya , sejak Nabi Adam a.s.
sampai Nabi Muhammad SAW agamanya adalah sama yaitu Islam, sebagaimana
yang ditegas Allah dalam Surat Ali Imran ayat 19: “Sesungguhnya agama (yang
diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. tiada berselisih orang-orang yang telah
diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena
kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-
122
Ibid., h. 38-39

47
ayat Allah Maka Sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya”. Perbedaaan
hanya pada:
Pertama, pada syariat atau hukum Illahi yang mereka bawa. Hal itu
disebabkan karena masalah-masalah sekunder yang bervariasi, menurut
kebutuhan-kebutuhan zaman dan situasi kondisi tertententu serta karakteristik-
karekteristik khusus dari dari umat yang diseru oleh para Nabi dan Rasul pada
masanya masing-masing.
Kedua, adalah pada peringkat ajaran-ajaran yang mereka berikan,
sehingga setiap Nabi sejalan dengan kemajuan umat manusia, menyampaikan
ajaran-ajarannya pada peringkat yang lebih tinggi dari ajaran Nabi sebelumnya.
Nabi-Nabi yang diangkat terdahulu merupakan perintis dari Nabi-Nabi yang
diutus belakangan, dan mereka yang diutus belakangan menguatkan dan
mendukung Nabi-Nabi sebelumnya.123
Adapun menurut Murtadha Muthahhari, alasan-alasan diperbaruinya misi
kenabian adalah:
Pertama, umat manusia di zaman dahulu tidak mampu menjaga
kelestarian kitab suci disebabkan kurangnya perkembangan mental dan
kematangan berpikir mereka.Kitab-kitab suci diubah dan dirusak isinya, hingga
diperlukan pembaruan pesan (risalah). Sampai risalah yang terakhir (al-Quran)
berlaku sampai akhir zaman karena ada jaminan dari Allah akan menjaga
keasliannya.
Kedua, dalam masa-masa sebelumnya umat manusia, karena kurangnya
kematangan dan pertumbuhan tidak mampu menerima suatu program umum bagi
jalan yang mereka tempuh. Mereka perlu diarahkan selangkah demi selangkah
oleh para pemandu, tetapi waktu tibanya masa penutup misi kenabian
(Muhammad SAW), dan di masa-masa selanjutnya, umat manusia telah mampu
menerima program umum seperti itu, dan dengan demikian berakhirlah program
bimbingan selangkah demi selangkah tersebut. Maka dengan cara ini, kebutuhan
bagi pembaharuan kenabian dan hukum-hukum Ilahi telah berakhir; tidak ada
pembaharuan kenabian dan hukum-nukm Illahi karena sudah sempurna.
Ketiga, sebagian besar Nabi-Nabi atau lebih tepatnya mayoritas mereka,
adalah Nabi-Nabi pendakwah bukannya pembawa hukum Illahi.Jumlah Nabi yang
membawa hukum Illahi hanya sedikit.Pekerjaan Nabi-Nabi pendakwah hanyalah

123
Didik Ahmad Supadie & Sarjuni, Pengantar Studi Islam (Jakarta: Rajawali Perss,
2011) h. 166-167

48
mempromosikan, menyebarkan, dan melaksanakan tafsiran-tafsiran hukum yang
berlaku di masa mereka.
Sampai kepada para ulama umat di masa Nabi terakhir; Muhammad SAW,
yang merupakan masa ilmu (the age of knowledge) mampu mengadaptasikan
ajaran-ajaran umum al-Qur’an terhadap ruang dan waktu serta tuntutan-tuntutan
dan kondisi-kondisi yang ada. Dengan mengetahui prinsip-prinsip umum Islam
dan dengan mengenali situasi dan kondisi masa dan tempat, mereka mampu
merumuskan dan menyimpulkan hukum-hukum Illahi. Usaha mereka ini disebut
ijtihad.124

D. Hikmah Ditutupnya Kenabian Dengan Muhammad SAW


Rasul-Rasul yang diutus Allah memiliki syariat yang berbeda, namun misi
kenabian diutusnya mereka adalah sama yaitu memperjuangkan tegaknya akidah
yang mengesakan Allah. Nabi dan Rasul terdahulu mempunyai umat masing-
masing; mereka hadir untuk memberikan bimbingan dan penyuluhan ruhani
kepada tiap-tiap umatnya sehingga mereka memiliki keterbatasan waktu dan
tempat. Keadaan ini berbeda dengan Rasul yang terakhir, Muhammad SAW. Ia
datang untuk menyempurnakan syariat Rasul-Rasul sebelumnya dan berlaku
untuk seluruh umat manusia yang ada di jagad raya ini.125
Syaikh A’la Al Maududi berkesimpulan bahwa sebab-sebab yang menjadi
alasan diutusnya para Rasul bagi suatu umat ada empat macam:
1. Umat tersebut belum pernah kedatangan seorang Rasul sementara ajaran
Rasul-Rasul yang lain tidak sampai kepada mereka.
2. Allah pernah mengutus kepada mereka Nabi Rasul, akan tetapi ajarannya
telah berakhir ataupun dilupakan serta dirubah, sehingga tidak mungkin lagi
bagi manusia untuk mengikutinya dengan sempurna.
3. Sebelumnya telah diutus Nabi, akan tetapi syariat yang dibawa oleh Nabi itu
tidak dapat lagi menjawab seluruh problematika generasi yang datang
sesudahnya. Oleh karena itu kondisi mengharuskan diutusnya Nabi lain untuk
melengkapi kekurangan dan menyempurnakan ajaran agama.
4. Allah telah mengutus seorang Nabi, akan tetapi keadaan mengharuskan Nabi
lain bersamanya untuk membenarkannya dan menguatkan dakwahnya.

124
Ibid. h. 173-175
125
Rosihan Anwar,Op. cit. h. 18-19

49
Namun keempat sebab ini telah hilang setelah diutusnya Muhammad
SAW. Umat Islam atau umat manapun tidak butuh lagi dengan Nabi baru
sepeninggalnya Rasulullah Muhammad SAW.126
Dari satu sisi Al Qur’an telah menjelaskan bahwa Muhammad SAW
diutus adalah untuk seluruh alam serta menjadi hidayah bagi semua manusia.
Sebagaimana firman-Nya, “Katakalah (Muhammada) wahai manusia
sesungguhnya aku ini utusan Allah bagi kamu semua, yang memiliki kerajaan
langit dan bumi langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain
Dia, yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah
dan Rasul-Nya, (yaitu) nabi yang ummi beriman kepada Allah dan kepada
kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya). Ikutilah dia, agar kamu mendapat
petunjuk.” (Qs. Al A’raf: 158). Sementara dari sisi yang lain sejarah peradaban di
dunia memberikan masukan bahwa keadaan alam ini sejak diutusnya Muhammad
SAW hingga saat ini masih saja merupakan lahan subur bagi dakwah. Dengan
demikian masih sangat memungkinkan dakwah ini tersebar ke seluruh pelosok
bumi ini serta kepada seluruh suku dan bangsa. Karena itu tidak dibutuhkan lagi
adanya Nabi baru untuk satu umat tertentu atau ke negeri tertentu.
Hal lain yang menguatkan adalah:
1. Perbedaan sunnah dan sirah Nabi memberi kepastian jika ajaran Islam itu
masih saja murni sebagaimana saat diajarkan oleh Nabi, belum dilupakan,
dirubah atau diganti. Petunjuk beliau yang disampaikan baik dalam bentuk
perkataan maupun perbuatan, pada hari ini kita temukan dalam keadaan hidup
dan terpelihara, sehingga seakan-akan kita berada di hadapan Nabi
Muhammad SAW dan hidup sezaman dengan beliau.
2. Kitab yang dibawa oleh beliau, tidak mengalami penyimpangan, pengurangan
ataupun penambahan satu huruf pun, dan bahkan hal itu tidak mungkin terjadi
sampai hari kiamat.
3. Al-Qur’an telah menyatakan bahwa Allahtelah menyempurnakan agama ini
melalui perantara Muhammad SAW ini menjadi bukti tak ada lagi setelah
Muhammad SAW yang mengharuskan diutusnya Rasul ke muka bumi.
4. Andaikata kondisi mengharuskan diutusnya seorang Nabi bersama
Muhammad SAW, niscaya Allah akan mengutus Nabi itu di zaman beliau
SAW masih hidup. Dengan wafatnya beliau tidak ada Nabi lain yang diutus
mendampinginya.127
126
Shalih bin Fauzan Al Fauzan, Op. cit. h. 253-254
127
Ibid. h. 154-155

50
Iman kepada kenabian Muhammad SAW merupakan salah satu pokok
keimanan yang sangat penting, tidak sah keimanan seseorang kecuali beriman
dengan kenabiannya. Dan Iman kepada Nabi Muhammad tidak sempurna kecuali
jika terpenuhinya beberapa hal pokok berikut:
1. Mengenal Rasulullah Muhammad SAW. Mengenal Rasul adalah suatu
kewajiban bagi setiap muslim untuk mengamalkan Islam secara sempurna.
Tanpa Rasul maka kita tidak dapat melaksanakan Islam dengan baik.
Kehadiran Rasul memberikan panduan dan bimbingan kepada kita bagaimana
cara mengamalkan Islam. Memahami Rasul secara komprehensif adalah cara
yang tepat dalam mengenal Islam yang juga komprehensif. Rasul dikenal
sebagai pribadi teladan dan ikutan yang unggul dan lelaki terpilih di antara
manusia yang sangat layak dijadikan model bagi setiap muslim. Berarti Nabi
adalah ikutan bagi setiap tingkah laku, perkataan dan sikap yang
disunnahkannya.
Mengenal Rasul tidak saja dalam menyebut namanya setelah sholat,
mengadakan acara barzanji, merayakan hari Maulid Nabi dan bentuk acara-
acara lainnya. Kemudian mereka tidak mengamalkan sunnah ataupun tingkah
laku yang dimilikinya seperti sidiq, tabligh, amanah dan fatanah. Atau
sebagian ada yang sangat ta’asub dengan pakaian Nabi, sorban, songkok dan
sebagainya.Sebagian lagi sekedar mengutip hadits Nabi untuk ceramahnya
tetapi tidak diamalkan, bahkan ada yang menolak beberapa sunnah atau
tingkah laku Nabi. Keadaan demikian, adalah sebagai akibat dari tidak
fahamnya mereka kepada Rasul secara benar dan utuh.
2. Membenarkan segala yang diberitakannya, mentaati seluruh perintahnya dan
menjauhi segala larangannya dan beribadah kepada Allah dengan apa yang
disyari’atkannya.
3. Mengimani risalahnya, dan bahwa beliau adalah Nabi terbaik serta penutup
para Nabi.
4. Mencintai beliau SAW dan mengedepankan kecintaan kita kepada beliau di
atas mencintai diri dan semua makhluk. Mengangungkan, menghormati,
memuliakan, menghargai dan mentaati beliau. Mencintai beliau berarti
mencintai Allah.128

128
Erwandi Tarmizi, Rukun Iman, (Madinah: Maktab Dakwah dan Bimbingan Jaliyat
Rabwah, ,2007) h. 93-97

51
E. Pengaruh Iman Kepada Rasul
Beriman kepada para Rasul memiliki pengaruh yang sangat besar, di
antaranya adalah:129
1. Mengetahui rahmat serta perhatian Allah kepada hamba-hamba-Nya sehingga
mengutus para Rasul untuk menunjuki mereka pada jalan Allah serta
menjelaskan bagaimana seharusnya mereka menyembah Allah SWT., karena
memang akal manusia tidak bisa mengetahui hal itu.
2. Mensyukuri nikmat Allah yang amat besar ini. Adanya para Rasul yang diutus
merupakan nikmat Allah kepada manusia karena manusia sangat butuh
terhadap mereka, dan ini tidak dapat ditunda-tunda lagi. Keadaan dan agama
mereka tidaklah sempurna dan lurus tanpa ada para Rasul. Kebutuhan manusia
terhadap Rasul sama dengan kebutuhan mereka terhadap makanan dan
minuman. Dalam hal ini karena Allah telah menjadikan para Rasul sebagai
perantara antara Dia dan hamba-hamba-Nya yang memperkenalkan tentang
Allah dan apa-apa yang bermanfaat dan berbahaya bagi mereka. Mereka juga
menjelaskan perkara yang disukai dan perkara yang tidak disukai oleh-Nya.
Semua ini tidak dapat menjangkaunya meskipun akal itu mengetahui hal-hal
tersebut secara global.
Kebutuhan manusia terhadap Rasul jauh lebih penting daripada kebutuhan
mereka terhadap dokter. Bahaya yang timbul dengan tidak adanya dokter
hanya berdampak bagi badan, sedangkan dengan tidak adanya risalah akan
berefek buruk pada hati. Kehidupan penghuni bumi ini akan berlangsung
selama peninggalan risalah itu masih ada.130
Risalah adalah kebutuhan setiap hamba, bahkan suatu keharusan
baginya. Dan kebutuhan manusia terhadap risalah adalah di atas segala
kebutuhan. Risalah adalah ruh, cahaya dan kehidupan alam ini. Sehingga
bagaimana mungkin alam ini menjadi baik tanpa adanya ruh, kehidupan dan
cahaya? Dunia ini tetap gelap gulita kecuali jika muncul di dalamnya matahari
risalah. Dan sungguh tidak ada jalan menuju kebahagiaan dan kemenangan di
dunia dan akhirat kecuali dengan perantaraan para Rasul, dan tidak ada jalan
untuk mengetahui kebaikan dan keburukan secara terperinci kecuali
berdasarkan jalan para Rasul.131

129
Abdul Aziz Bin Muhammad Abd Lathif, Op. cit. h. 64-65
130
Shalih bin Fauzan Al Fauzan, Op. cit. h. 220
131
Abdul Aziz Bin Muhammad Abd Lathif, Op. cit. h. 69

52
3. Mencintai para Rasul, mengagungkannya, serta memujinya karena mereka
adalah para Rasul Allah, dan karena mereka hanya menyembah Allah,
menyampaikan risalah-Nya, dan menasihati hamba-Nya.
4. Mengikuti risalah yang dibawa para Rasul dari sisi mengamalkannya, yang
karenanya orang-orang mukmin bisa mewujudkan kebaikan, hidayah dan
kebahagiaan dalam kehidupan di dunia maupun di akhirat.

5. IMAN KEPADA HARI AKHIR

A. Makna Hari Akhir


Hari Akhir adalah Hari Kiamat. Kiamat adalah hari dibinasakan dan
dihancurkan alam semesta yang merupakan tanda berakhirnya kehidupan dunia
menuju kehidupan kekal di akhirat. Lalu, Allah menciptakan alam lain, yaitu alam
akhirat.132
Jadi pada hari itu akan matilah seluruh mahkluk yang masih hidup. Bumi
pun akan berganti, bukan lagi bumi atau langit yang sekarang ini.133
Al-Qur’an menggunakan beberapa istilah untuk menyebutkan Hari Akhir,
diantaranya adalah:
1. Al-Sa’ah (waktu), yaitu waktu berkhirnya alam kita, sekaligus waktu
dimulainya kehidupan di alam akhirat.
2. Al-Akhirah (kehidupan yang akhir), ialah suatu alam kehidupan setelah mati.
3. Yaum al-Qiyamah (hari kebangkitan), ialah hari di mana manusia
dibangkitkan dari alam kubur.
4. Yaum al-Ba’as (hari kebangkitan), yaitu suatu hari dibangkitkannya mausia
dari alam kubur.
5. Yaum al-Hisab (hari perhitungan), yaitu hari di mana manusia diperhitungkan
amal perbuatannya.
6. Yaum al-Fasl (hari keputusan atau kepastian), yaitu hari di mana manusia
menerima keputusan dari Allah, apakah akan memperoleh nikmat atau siksa.
7. Yaum ad-Din (hari pembalasan), yaitu hari di mana manusia memperoleh
pembalasan atas segala amal perbuatannya.

132
Rosihan Anwar, Akidah Akhlak (Bandung: Pustaka Setia, 2008) h. 173
133
Sayid Sabiq,Aqidah IslamPola Hidup Manusia Beriman. (Bandung: CV Diponegoro
Bandung, 2005) h. 429

53
8. Yaum al-khulud (hari kekekalan), yaitu hari di mana manusia hidup dalam
alam yang kekal.134

B. Makna Iman Kepada Hari Akhir


Ada beberapa defenisi yang dikemukakan oleh para ahli tentang makna
beriman kepada Hari Akhir ini, diantaranya adalah:
a. Iman kepada Hari Akhir yaitu kepercayaan yang pasti tentang kedatangannya,
serta mengamalkan konsekuensinya. Termasuk di dalamnya adalah beriman
dengan tanda-tanda kiamat yang terjadi sebelumnya, juga dengan kematian
serta apa yang terjadi sesudahnya.135
b. Iman kepada Hari Akhir adalah meyakini dengan sepenuh hati kedatangnya,
hari dan munculnya alam akhirat tempat manusia mempertanggungjawabkan
segala amal perbuatan sewaktu hidup di dunia.136
c. Beriman kepada Hari Akhir artinya ialah meyakini dengan pasti kebenaran
setiap hal yang diberitan oleh Allah dalam kitab suci-Nya dan setiap hal yang
diberitakan oleh Rasul-Nya mulai dari apa yang terjadi sesudah mati, fitnah
kubur, azab dan nikmat kubur dan apa yang terjadi sesudah itu seperti
kebangkitan dari kubur, mahsyar (tempat berkumpul di akhirat), shuhuf
(catatan amal), hisab (perhitungan), mizam( timbangan), haudh (telaga),
shirath (titian), syafa'ah (pertolongan), surga dan neraka serta apa-apa yang
telah dijanjikan Allah bagi para penghuninya.137
d. Iman kepada Hari Akhir artinya membenarkan segala sesuatu akan terjadi
setelah kematian, baik berupa siksa dan kenikmatan kubur, kebangkitan,
hisab, timbangan amal, pahala dan siksan, surga dan neraka serta segala
sesuatu yang diperintahkan Allah akan terjadi pada Hari Kiamat.138
Iman kepada Hari Akhir merupakan salah satu rukun atau sendi dari
berbagai rukun keimanan (arkanul iman) dan merupakan bagian utama sekali dari
akidah. Bahkan, iman kepada Hari Akhir ini merupakan unsur terpenting di
samping kepercayaan kepada Allah.139 Yang sedemikian itu sebabnya ialah karena
134
Didik Ahmad Supadie & Sarjuni, Pengantar Studi Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 2011)
h. 187
135
Abdul Aziz Bin Muhammad Abd Lathif, Pelajaran Tauhid Untuk Tingkat Lanjutan
(Jakarta: Darul Haq, 1998) h. 70
136
Rosihan Anwar, Op. cit. h. 173
137
Tim Ahli Tauhid, Kitab Tauhid (Jakarta: Darul Haq, 1998) h. 103
138
Shalih bin Fauzan Al Fauzan, Sudah Benarkah Aqidah Kita? (Makasar Jaktim: Pustaka
Ash-Shahihah, 2009) h. 281
139
Tim Ahli Tauhid, Op. cit. h. 174

54
percaya kepada Allah akan dapat meyakinkan sumber pertama yang dari padanya
itulah timbulnya segala yang ada di alam semesta ini, sedangkan percaya pada
Hari Akhir akan dapat meyakinkan bagaimana kejadian yang terakhir seluruh
benda yang pernah ada ini. Oleh sebab itu setiap muslim wajib mempercayainya,
dan kafir bagi yang mengingkarinya.140

C. Tanda-Tanda Kiamat
Untuk tanda-tanda Hari Kiamat disini penulis kemukakan pendapat
Rosihan Anwar141 dan Abdul Aziz.142 Beliau berdua mengutib sebuah hadits yang
sama yaitu yang diriwayatkan oleh Muslim dari Hudzaifah bin Asid Al-Ghifari
yang artinya sebagai berikut:
"Rasulullah SAW. menengok kami ketika kami sedang berbincang-
bincang, seraya bertanya, 'Apa yang sedang kalian perbincangkan? Jawab para
sahabat, 'Kami sedang berbincang-bincang mengenai Hari Kiamat. Beliau
bersabda, 'Kiamat,' tidak akan terjadi sebelum terlihat sepuluh macam tanda (1)
Asap atau kabut, (2) Dajjal/ si penipu besar (3) Dabbah/ binatang melata (4)
Matahari terbit di Barat (5) Turunnya Isa anak Maryam, (6) Ya’juj dan Ma’juj, (7)
Gerhana di Timur, (8) Gerhana di Barat, (9) Gerhana di Jazirah Arab, (10) Api
menyala di Yaman menghalau umat manusia ke mahsyar/tempat berkumpul."
Dari 10 tanda kiamat di atas, maka disini penulis kemukakan empat tanda
saja, sebagaimana hal ini juga disebutkan oleh Hamka bahwa ini adalah diantara
tanda yang terkenal dari tanda Kiamat, yaitu Turunnya kembali Nabi Isa, Dajjal,
matahari terbit dari Barat, dan keluar binatang.143

1. Turunnya kembali Nabi Isa.


Nabi Isa datang kembali, juga dipercayai kaum Nasrani. Tapi dengan
kedatangan Nabi Isa kembali, maka tentu hal itu akan mengingatkan kepada dunia
ini, bahwasanya kepercayaan segolongan manusia saat ini yang mengatakan dia
Tuhan atau anak Tuhan, atau satu pecahan tiga oknum, adalah kepercayaan yang

140
Sayid Sabiq, Op. cit. h. 427
141
Rosihan Anwar, Op. cit. h. 175
142
Abdul Aziz Bin Muhammad Abd Lathif, Op. cit. h. 82
143
Hamka, Pelajaran Agama Islam ( Jakarta:PT Bulan Bintang,1989) h. 310-315

55
salah. Isa akan datang kembali memberi peringatan khusus kepada manusia
supaya mentauhidkan Tuhan. Dia akan datang kembali mengakui benarnya apa
yang diserukan oleh Muhammad, bahwasanya tiada Tuhan selain Allah.
Adapun dalam kalangan Islam sendiri, sebagian ada berpendapat
bahwasanya menunggu kedatangan Isa a.s itu kembali kedunia tidaklah termasuk
kedalam kepercayaan yang prinsipal (kepercayaan dasar) dalam Islam. Sebab
hadis Nabi yang menyatakan kedatangan Isa a.s kembali itu adalah hadist "Al-
Ahad". Bukan termasuk kedalam hadist yang mutawatir.
Dan dalam ajaran rukun iman yang enam perkara, tidak pulalah
Rasulullah memasukkan kepercayaan Isa a.s itu kembali menjadi kepercayaan
pokok. Tidak termasuk iman yang enam perkara.
Sementara Saleh bin Fauzan mengatakan bahwa umat telah sepakat
(ijma) tentang turunnya Isa bin Maryam, tidak ada seorang pun di antara ulama
yang menyalahi persoalan ini. Hanya saja yang menyalahi itu kita dengar berasal
dari kaum filsafat.144
Terdapat hadits saheh yang menyatakan Isa akan turun sebagai hakim
yang adil, menetapkan hukum berdasarkan syariat Muhammad SAW serta
menghidupkan perkara-perkara syariat kita yang telah ditinggalkan orang. “
demikian perkataan Qadhi.145

2. Dajjal
Dajjal artinya pembohong besar. Dia amat mahir dan amat maju
pengetahuannya tentang alam. Orang banyak akan tertipu oleh kemajuan ilmu
pengetahuannya itu sehingga menyanggka dialah Tuhan. Segala nilai-nilai rohani,
budi dan aklak moral, segala nilai-nilai kepercayaan kepada Illahi akan diputar
balikkannya. Dia akan mengembara seluruh dunia ini memaksakan kekuasaan dan
kepercayaannya.
Bermacam-macam tafsiran orang tentang dajjal ini, ada yang
menafsirkan bahwasanya hadist dajjal ini adalah semata peringatan bagi umat
tauhid supaya mereka selalu waspada dan berhati-hati. Karena penipuan dan
kebohongan itu, kian dekat kiamat, kian nyata dan besar.
Dan yang sebaik-baiknya kepercayaan ialah tidak menafsirkannya, dan
tunggu saja, apapun yang akan terjadi. Selama nama Allah yang masih

144
Shalih bin Fauzan Al Fauzan, Op. cit. h. 265
145
Ibid. h. 267

56
bersemayam dalam hati, bagaimana dengan besar cobaan dan kebohongan
(dajjal). Kita tidak akan dapat "dibohongi" dajjal.
Di dalam nash-nashnya disebutkan pula bahwa siapa yang mengikuti
ajakan dajjal, maka akan memerintahkan kepada langit agar menurunkan hujan.
Lalu bumi menumbuhkan tumbuh-tumbuhan yang dapat dimakan oleh manusia
dan binatang ternak mereka. Sehingga hewan piaraan mereka menjadi gemuk-
gemuk dengan air susu yang melimpah. Kemana saja dajjal pergi akan diikuti oleh
perbendaharaan kekayaan bumi. Ia membunuh seorang pemuda kemudian
menghidupkannya kembali. Semua itu adalah cobaan dari Allah untuk menguji
orang-orang yang beriman di antara hamba-hamba-Nya pada akhir zaman.146

3. Matahari terbit dari Barat


Jika matahari telah terbit dari Barat, artinya perjalanan alam yang selama
ini teratur sebagaimana yang kita lihat, telah disengaja Tuhan mengacaukannya.
Dengan itu dapatlah kita fahamkan bahwa perjalanan alam ini sudah mulai
dirubah. Dan tersebut pula bahwa pada waktu itu pintu buat tobat akan ditutup.
Bila akan terjadinya wallahu 'alam.147
Malahan ada penafsiran yang mengatakan bahwa dari Barat itu bukanlah
matahari terbit sebagai tanda kiamat, tetapi peradaban Barat itulah yang bernama
ya'juj dan ma'juj, yang datang membanjiri. Dan mereka pakai asal bahasa ya'juj
dan ma'juj itu ialah asap dari asap gejala api. Lalu mereka tafsirkan, itulah asap
pabrik, asap motor dan juga asap mesiu.
          
           
            
   

“Yang mereka nanti-nantikan hanyalah kedatangan malaikat kepada


mereka, atau kedatangan Tuhanmu. Pada hari datangnya sebagian tanda-tanda
Tuhanmu tidak berguna lagi iman seseorang yang belum beriman sebelum itu,
atau (belum) berusaha berbuat kebajikan dengan imannya itu. Katakanlah,
"tunggunglah, kamipun menunggu". (QS. Al An’am: 158)

Mayoritas ahli tafsir mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ayat ini
adalah terbitnya matahari dari tempat ia terbenam. Dan, maksud dari ayat ini

146
Shalih bin Fauzan Al Fauzan, Op. cit.h. 264
147
Hamka, Op. cit. h. 313

57
adalah barangsiapa yang belum beriman sebelum matahari terbit dari tempat
terbenamnya, maka tidak akan bermanfaat baginya jika ia beriman pada saat itu.
Tidak pula bermanfaat baginya semua perbuatan baik yang dilakukannya.
Terlepas dari semua pembahasan yang ada disekitar ini, yang jelas
keluarnya matahari dari tempat terbenamnya merupakan kejadian besar bukti
kekuasaan Allah, dan sesungguhnya matahari yang kita saksikan ini dibawah
pengaturan Allah.148
Dengan demikian terjadi berbagai tafsir tentang hal ini, tapi kita tidak
boleh pula menolaknya mentah-mentah, kita kembalikan saja kepada Allah SWT.

4. Keluar binatang
Disebutkan pula dalam hadist Nabi bahwa seekor binatang yang dahsyat
dan mengerikan akan keluar dari perut bumi.
Ahli-ahli film Amerika mencoba mengkhayalkan akan datangnya binatang-
binatang dahsyat itu ke dunia kembali. Kota-kota seperti New York akan diinjak
kakinya. Ada pula yang mengkhayalkan bahwa cumi-cumi besar membalut
jembatan "golden gate" di San Francisco, sehingga roboh. Tidak ada manusia
yang dapat bertahan. Seluruh tenaga angkatan perang Amerika dikerahkan untuk
menghancurkannya, tapi tidak juga hancur !
Ajaib sekali kita melihat kecemasan manusia setelah terdapat kemajuan
ilmu pengetahuan tentang atom ini. Mereka mengkhayalkan bahwasanya setelah
bom-bom atom kerap kali diletuskan, demikian juga bom hidrogen, maka
radioaktif mengganggu ketentraman binatang-binatang besar dan dahsyatnya yang
masih tersembunyi di dalam bumi. Lalu dia keluar.149
Kadang-kadang terasalah oleh kita bahwa memang sudah tiba saatnya,
bahwa ahli-ahli strategi siasat dunia ini, menyerukan perdamaian dengan meriam,
dan mereka berkata bahwa kepintaran yang lebih tinggi ialah kesanggupan
membunuh sesama manusia sebanyak-banyaknya. Kadang-kadang terasalah oleh
kita bahwa ajaran manusia kepada manusia tidak ampuh lagi. Sehingga memang
telah perlu datangnya keledai atau kuda, atau cumi-cumi dari dasar laut, yang
menendang mereka dengan kakinya, atau menampar otak di kepala manusia yang
penuh akal busuk itu sambil berkata: "Hai manusia! Mengapa engkau setamak
ini! tobatlah! asal jasmanimu dari tanah dan kamu akan kembali ke tanah. Asal

148
Shalih bin Fauzan Al Fauzan, Op. cit. h. 274
149
Hamka, Op. cit. h. 314

58
rohanimu dari Tuhan, bersiaplah akan kembali kepada Tuhan. Janganlah engkau
mencoba memaklumkan perang kepada Tuhan, karena engkau pasti kalah.150

         


       

“Dan apabila perkataan telah jatuh atas mereka, maka kami


mengeluarkan sejenis binatang melata dari bumi yang akan mengatakan kepada
mereka, bahwa sesungguhnya manusia dahulu tidak yakin terhadap ayat-ayat
kami”. (Qs. An Naml: 82).
Imam Ibnu katsir berkata di kitab An-Nihayah, Ibnu Abbas berkata, Al
Hasan serta Qatadah, “firman Allah, yang akan mengatakan kepada mereka
maksudnya adalah binatang itu berbicara dengan manusia. Ibnu Jarir menguatkan
percakapan binatang dengan manusia. Binatang itu mengatakan, “sesungguhnya
manusia dahulu tidak yakin terhadap ayat-ayat Kami”. Pandangan ini
diriwayatkan oleh beliau dari Ali dan Atha’, Ibnu katsir berkata, “Namun
pendapat ini perlu ditinjau kembali”. Kemudian Ibnu Katsir berkata “dan
diriwayatkan pula dari Ibnu Abbas, “firman-Nya “yang akan mengatakan kepada
mereka”. ‘yakni akan melukai mereka maksudnya binatang itu akan membuat
tulisan kafir di kening orang kafir, dan membuat di kening orang mukmin tulisan
mukmin. Lalu dinukilkan pula dari Ibnu Abbas pendapat yang mengatakan bahwa
binatang itu akan berbicara dengan manusia serta melukai mereka. Pendapat
terakhir ini sesuai dengan kedua pendapat terdahulu, dan pendapat ini cukup kuat
serta mengompromikan kedua pendapat tersebut, Wallahu a’lam.151

D. Pengaruh Beriman Kepada Hari Akhir


Adapun pengaruh beriman kepada Hari Akhir adalah:
1. Mendorong manusia untuk lebih tekun beribadah dan berbuat kebajikan
karena yakin bahwa akan ada pembalasan yang adil terhadap semua amal
perbuatan di dunia ini.
2. Semua amal di dunia akan dipetik hasilnya di akhirat nanti.
3. Menjadikan manusia takut melakukan kejahatan karena adanya siksa api
neraka.152
150
Ibid. H. 315
151
Shalih bin Fauzan Al Fauzan, Op. cit. h. 271
152
Rosihan Anwar, Op. cit. h. 188

59
Selanjutnya di bawah ini penulis uraikan satu persatu:
Pertama: Kadilan Allah jelas Maha Sempurna, sedangkan makhluknya
tidak. Jika rasa keadilan dalam diri manusia menolak perlakuan sama antara orang
zalim dan yang terzalimi, antara pembunuh dengan korban terbunuh, orang yang
taat dengan yang membangkang, maka keadilan Illahi yang sempurna tentunya
lebih menolak penyamaan antara si zalim dengan yang dizalimi, antara pembunuh
dan terbunuh, antara yang taat dan yang melakukan maksiat, antara mu’min
dengan kafir, dan antara orang baik dan orang jahat
Bagaimana akal akan menerima dengan puas, bila kehidupan ini kacau,
dimana perampok merampas harta, pencuri mengambil kekayaan, pembunuh
merenggut nyawa orang, kaum durjana berlaku sewenang-wenang dan para
penguasa dengan congkak unjuk kekuasaan, sementara itu tidak seorang pun dari
mereka itu mendapatkan hukumannya, bahkan berkedok untuk mengelabuhi dan
bersembunyi lalu dapat lolos dan selamat atau mampu menaklukkan masyarakat
dengan 'pedang' pemaksaan dan kekuasaan.
Di sisi lain; betapa banyak orang yang berbuat baik, yang berkorban dan
yang berjihad sementara mereka itu belum mendapatkan balasan terhadap apa
yang telah mereka darma-baktikan, boleh jadi karena mereka adalah para
pahlawan yang tidak dikenal atau karena perasaan iri dan dengki yang menjadikan
manusia seolah-olah tidak mengenali jasa-jasa mereka atau karena kematian
menjemput mereka sebelum sempat dapat menikmati hasil dari kebaikan yang
mereka lakukan.153
Betapa banyak dari orang-orang yang menyerukan kepada kebenaran,
yang berpegang teguh padanya dan gigih membelanya, lalu orang-orang lalim
(dzalim) menghalangi jalannya dan mereka itu disakiti, disiksa, diintimidasi,
diusir dan gugur di jalan kebenaran, sementara itu musuh-musuh mereka yang
durjana berada dalam kondisi aman dan selamat bahkan dalam kondisi
kemewahan dan kesenangan.
Akal yang percaya kepada keadilan Allah Yang Maha Esa tidak akan puas
menerima begitu saja, bahkan ia akan menuntut diadakannya negeri lain di mana
orang yang berbuat baik diganjar dengan kebaikannya dan orang yang berbuat
jelek akan diganjar dengan kejelekannya.
Namun kita tidak mendapati keadilan sempurna di dunia ini, belum ada
balasan yang setimpal atas semua perbuatan manusia yang baik maupun buruk.
Dengan logika keadilan Illahi yang tak mungkin diragukan, kita beriman bahwa
153
Yusuf Al Qardawy, Pengantar Kajian Islam.(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1997) h. 73

60
penghitungan dan balasan amal yang seadil-adilnya itu akan kita temui di Hari
Akhir.
Manusia harus mempertanggungjawabkan atas segala perbuatanya itu
kepada Allah (kelak). Setiap orang akan menerima akibat segala perbuatan yang
dilakukannya di dunia ini. Pengadilan atas diri manusia di depan Allah yang Maha
Adil itu, akan berlangsung secara terbuka dengan segala macam bukti untuk
menjelaskan apa yang telah dilakukannya di dunia ini baik secara sembunyi-
sembunyi maupun secara terang-terangan.154
Kedua: beriman kepada Hari Akhir memiliki pengaruh yang kuat dalam
mengarahkan manusia dan membangun komitmen untuk beramal saleh.
Keyakinan bahwa setiap kelebihan harta benda yang dipakai oleh manusia dalam
kehidupan dunia semata-mata untuk mentaati Allah dan memenuhi perintah-Nya
bakal diganti kelak di akhirat dengan harta yang lebih bernilai, lebih kekal dan
abadi.155
Ketika seseorang beriman kapada Hari Akhir, tentu ia yakin bahwa setiap
kenikmatan yang ada di dunia tidak mungkin dapat dibandingkan dengan
kenikmatan di akhirat. Pada sisi lain, kenikmatan dunia itu sungguh tak ada
artinya sama sekali jika dibandingkan dengan sekejap siksa akhirat. Dan setiap
siksa di dunia karena mempertahankan agama Allah, sungguh tak dapat
dibandingkan dengan kepedihan siksa di akhirat. Pada sisi lain, dimana siksa itu
tidak ada artinya sama sekali jika dibandingkan dengan sekejap kenikmatan di
akhirat.156
Dengan menyadari sepenuhnya keberadaan kehidupan akhirat, seseorang
dapat bertindak baik. Karena apa yang dilakukan seseorang di dalam
kehidupannya di dunia ini memiliki konsekuensi jangka panjang, yakni balasan
yang akan diterimanya di akhirat nanti. Sehingga kesadaran akan konsekuensi atas
perbuatannya itu menjadikan manusia dalam kehidupannya lebih dipenuhi kehati-
hatian dan pertimbangan dalam bertindak.157
Ketiga: Orang yang percaya adanya Hari Akhir akan menjadikannya
sebagai sebuah pemandu untuk menyiapkan diri menghadapinya dengan
melakukan hal-hal yang baik, mempertimbangkan berbagai konsekuensi yang
ditimbulkan oleh perbuatannya sebelum ia menjatuhkan pilihan dalam melakukan

154
Mohammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 2010) h. 227
155
Abdul Aziz Bin Muhammad Abd Lathif, Op. cit. h. 72-74
156
Ibid. h. 74
157
Didik Ahmad Supadie & Sarjuni,Op. cit. h. 189

61
sesuatu. Dengan kata lain, iman pada Hari Akhir akan melahirkan dampak yang
baik bagi seseorang dalam merancang kehidupan masa depan yang lebih baik.158
Orang-orang yang yakin dengan adanya Hari Akhirat, maka pasti akan
berlomba-lomba berbuat kebaikan, dan menjauhi segala kejahatan dan
kemungkaran. Hilanglah bagi mereka ketakutan terhadap mati, timbul keinginan
untuk bertemu dengan Allah.159
Sadar bahwa setiap apa yang dilakukannya diawasi oleh Allah akan
menguatkan kesadaran untuk mengawasi dirinya sendiri, itu yang membuat
manusia menjadi takwa dan takut kepada Allah walaupun tidak ada orang yang
menyaksikan perbuatanya. Ia akan melaksanakan kewajibanya dengan jujur dan
benci melakukan perbuatan-perbuatan terlarang. Seandainya pun ia tergelincir
pada suatu waktu dan melanggar ketentuan Allah, ia senantiasa siap untuk
bertaubat dan bertekat tidak akan mengulangi kesalahan itu lagi.160
Kepercayaan terhadap Hari Akhir itu menyebabkan kita hidup di dunia ini
mempunyai suatu tujuan mulia serta cita-cita yang tinggi. Disana ada suatu
puncak yang hendak kita capai dengan sekuat tenaga. Meninggalkan
kemungkaran dan segala bentuk kemaksiatan, menghiasi diri dan jiwa dengan
sifat-sifat yang utama serta menghindarkan diri dari kehinaan-kehinaan dan
kerendahan-kerendahan yang pasti akan membahayakan diri kita sendiri.
Untuk melaksanakan itu semua sudah mutlak perlu adanya pendorong
semangat dari jiwanya sendiri yang mengajak supaya selalu bergembira untuk
melakukan kebaikan-kebaikan itu, juga senang menutup jalan yang menuju
kearah keburukan dan kejahatan.161

VI. IMAN KEPADA KADHA DAN KADAR

A. Makna Kadha Dan Kadar


Kadha berasal dari bahasa arab yang akar katanya: Qadla Yaqli-Qadlan,
bisa berarti: hukum atau keputusan (QS. 4:65); perintah (QS.17:23); kehendak
(QS. 3:47); menciptakan (QS. 41:12).162 Rosihan Anwar mengatakan, bahwa

158
Rois Mahfud, Al Islam Pendidikan Agama Islam. (Palangkaraya: Erlangga, 2010) h.
20-21
159
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran(Bandung: Mizan, 1996) h. 35
160
Sayid Sabiq, Op. cit. h. 229
161
Ibid. h. 436
162
Kaelany HD, Islam dan Aspek-Aspek Kemasyarakatan. (Jakarta: Bumi Aksara, 2000)
h. 120

62
kadha secara bahasa memiliki beberapa pengertian, yakni ketetapan, perintah,
kehendak, pemberitahuan, dan penciptaan.
Adapun pengertian Kadha menurut istilah, adalah ketetapan Allah sejak
zaman azali sesuai dengan iradah(kehendak)-Nya tentang segala sesuatu yang
berkenaan dengan makhluk. Ditegaskan Allah dalam al-Quran surat Al Ahzab: 36
dan Al-Isra ayat 23.163
Pendapat lain mengatakan bahwa Kadha menurut istilah (terminologi),
mencakup pengertian antara lain: Kadha keputusan Allah tentang segala sesuatu
atau rencana. Kadha adalah hukum Allah yang telah dia tentukan untuk alam
semesta ini, dan Dia jalankan alam ini sesuai dengan konsekuensi hukum-Nya
dari sunah-sunah yang Dia kaitkan antara akibat dengan sebab-sebabnya,
semenjak Dia menghendakinya sampai selama-lamanya. Maka setiap apa yang
terjadi di alam ini adalah berdasarkan takdir yang mendahuluinya.164
Selanjutnya Kadar berasal dari kata: Qaddra-yuqaddiru-takdiran,
mempunyai arti: kadar atau ukuran (QS. 54:49; 33:38); ketentuan atau aturan (QS.
25:2); kekuasaan (QS. 2:20).165 Kadar secara bahasa adalah kepastian, peraturan,
dan ukuran.
Menurut istilah, Kadar adalah perwujudan ketetapan (kadha) Allah
terhadap semua makhluk dalam Kadar dan bentuk yang sesuai dengan iradah-Nya
( QS.A Furqan: 2).166 Kadar maka ia adalah takdir, yaitu menentukan atau
membatasi ukuran segala sesuatu sebelum terjadinya dan menulis di lauhul
mahfuzh.167 Pendapat lain, mengatakan bahwa Kadar adalah suatu peraturan
umum yang telah ditetapkan Allah untuk menjadi dasar alam ini, di mana terdapat
hubungan sebab dan akibat.168
Makna yang gamblang dari pada takdir itu ialah bahwa Allah membuat
beberapa ketentuan, peraturan dan undang-undang yang diterapkan untuk segala
yang maujud ini dan bahwa segala sesuatu yang maujud ini pasti akan berlaku,
beredar dan berjalan tepat dan sesuai dengan apa-apa yang telah dipastikan dalam
ketentuan, peraturan dan undang-undang tadi.169
Untuk lebih memudahkan memahami makna Kadha dan Kadar beserta
hubungan keduanya, maka di bawah ini penulis kemukakan beberapa pendapat
dan bagaimana contoh aplikasinya dalam kehidupan.

163
Rosihan Anwar, Akidah Akhlak (Bandung: Pustaka Setia, 2008) h. 189
164
Didik Ahmad Supadie & Sarjuni, Pengantar Studi Islam (Jakarta: Rajawali Pers,
2011) h. 195
165
Kaelany HD, Op. cit. h. 120
166
Rosihan Anwar, Op. cit. h. 190
167
Tim Ahli Tauhid, Kitab Tauhid (Jakarta: Darul Haq, 1998) h. 154
168
Didik Ahmad Supadie & Sarjuni, Op. cit. h. 197
169
Sayid Sabiq, Aqidah Islam Pola Hidup Manusia Beriman. (Bandung: CV Diponegoro
Bandung, 2005) h. 150-151

63
Kadha adalah ketentuan mengenai sesuatu atau ketetapan tentang
sesuatu, sedangkan Kadar adalah ukuran sesuatu menurut hukum tertentu.
Dapat juga dikatakan bahwa Kadha adalah ketentuan atau ketetapan, sedangkan
Kadar adalah ukuran. Dengan demikian yang dimaksud dengan Kadha dan Kadar
atau takdir adalah ketentuan atau ketetapan (Allah) merupakan ukuran atau norma
tertentu.170
Kadha adalah hukum Allah yang telah ditentukan untuk alam semesta ini,
dan Dia jalankan alam ini sesuai dengan konsekuensi hukumnya dan sunnah-
sunnah yang Dia kaitkan antara akibat dan sebab-sebabnya, semenjak Dia
menghendaki sampai selama-lamanya, maka setiap apa yang terjadi di alam ini
adalah berdasarkan takdir yang mendahuluinya. Ini sesuai dengan apa yang
telah ditakdirkan oleh Allah dan yang telah Dia atur. Maka apa yang terjadi
berarti dia itu telah ditakdirkan dan ditentukan Kadha-nya oleh-Nya, dan apa
yang belum terjadi berarti dia itu belum ditakdirkan dan belum ditentukan
Kadhanya. Apa yang ditakdirkan bukan bagianmu, tidak akan mengenaimu dan
apa yang ditakdirkan mengenai kamu, tidak akan meleset darimu.171
Dikutip dari Ar-Raghib yang mengatakan bahwa Kadar ialah menentukan
batasan (ukuran) sebuah rancangan, seperti besar dan umur alam semesta,
lamanya siang dan malam, anatomi dan fisiologi makhluk nabati dan hewani, dan
lain-lain. Sedangkan kadha ialah menetapkan rancangan tersebut. Atau secara
sederhana kadha adalah ketetapan Allah yang telah ditetapkan (tetapi tidak
diketahui), sedangkan Kadar ialah ketetapan Allah yang telah terbukti
(diketahui sudah terjadi).172
Hubungan antara Kadha dan Kadar sangat erat. Kadha adalah rencana,
ketentuan, atau hukum Allah sejak zaman azali. Sedangkan Kadar adalah
pelaksanaan dari hukum atau ketentuan Allah. Jadi, hubungan ini ibarat
hubungan antara rencana dan pelaksanaan.
Oleh karena itu, istilah Kadha dan Kadar ini disatukan dengan istilah
takdir. Jika seseorang terkena musibah, dikatakan itu sudah menjadi takdirnya,
maksudnya adalah Kadha dan Kadar. (Al Hijir: 21).173
Contohnya:Ahli-ahli kimia mengadakan penyelidikan tentang Kadar unsur
sesuatu pada suatu barang atau benda. Ternyata bahwa segala sesuatu adalah
ditakar menurut kadar yang tertentu. Akhirnya kalimat Kadar itu telah pindah
menjadi bahasa kita, yaitu kadar, ala kadarnya, sekedarnya. Perjalanan matahari,
bulan, bumi dan bintang-bintang, perjalanan cahaya dan ukurannya untuk
bilangan tahun, semuanya menurut takdir. Dengan ini dapatlah kita mengerti
170
Mohammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 2010) h. 230-
231
171
Tim Ahli Tauhid, Op. cit. h. 154
172
Rosihan Anwar, Op. cit. h. 21
173
Ibid., h. 190-191

64
maksud Kadar. Allah menciptakan segala sesuatu ialah dengan kadar yang
tertentu. Pelaksanaan itu bernama takdir, mentakdirkan.174
Dengan demikian, bila kita katakan bahwa segala sesuatu terjadi dengan
Kadha dan Kadar Allah, berarti segala sesuatu itu terjadi dengan kehendak Allah
dan ketetapan hukum Allah yang telah ditentukan sebelumnya dan berjalan sesuai
dengan aturan yang dibuat oleh Allah.175

B. Makna Beriman Kepada Kadha Dan Kadar


Iman kepada Kadla dan Kadar Allah artinya percaya bahwa segala hukum,
keputusan, perintah, ciptaan Allah yang berlaku kepada makhluk-Nya termasuk
diri kita tidak lepas (selalu berlandaskan) pada Kadar, ukuran, ketentuan, aturan
dan kekuasaan Allah SWT.176
Pengertian lain, yaitu bahwa setiap manusia wajib mempunyai itikad atau
keyakinan yang sungguh-sungguh bahwasanya segala sesuatu yang dilakukan
oleh seluruh makhluk, baik yang disengaja atau pun yang tidak disengaja telah
ditetapkan oleh Allah sejak zaman azali dan sudah ditulis di dalam Lauhul
Mahfudz.177
Ada juga yang yang mengartikan, yaitu kepercayaan yang pasti bahwa
segala sesuatu, yang baik maupun yang buruk, semuanya adalah dengan qadha’
dan Kadar Allah.178
Berdasarkan pengertian di atas, maka beriman kepada Kadar ini meliputi
empat tingkat, yang hal tersebut tercakup dalam makna iman kepada Kadar,
yaitu:

1. Mempercayai bahwa Allah mengetahui tentang segala sesuatu. Dia


mengetahui apa yang telah terjadi, apa yang akan terjadi dan
bagaimana kejadiannya.

2. Mempercayai bahwa Allah telah menulis tentang segala sesuatu yang


terjadi sampai Hari Kiamat di Lauh Mahfuzh.

              
    

174
Hamka, Pelajaran Agama Islam ( Jakarta: NV Bulan Bintang,1989) h. 355
175
Didik Ahmad Supadie & Sarjuni, Op. cit. h. 197
176
Kaelany HD, Op. cit. h. 120
177
Rosihan Anwar, Op. cit. h. 191
178
Abdul Aziz Bin Muhammad Abd Lathif, Pelajaran Tauhid Untuk Tingkat Lanjutan
(Jakarta: Darul Haq, 1998) h. 101

65
“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah
mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi?; bahwasanya
yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh).
Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah”. (QS Al-
Hajj: 70)

3. Mempercayai bahwa Allah telah menciptakan dan menentukan segala


sesuatu baik di langit maupun di bumi sesuai dengan kehendak-Nya.

4. Mempercayai bahwa sesungguhnya Allah Pencipta segala sesuatu.179


          

“Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala


sesuatu”. ( QS. al-Zumar: 62)

C. Kebebasan Manusia
Mengenai dengan telah diketahuinya terlebih dahulu oleh Allah amal
perbuatan manusia, maka itu bukan berarti bahwa manusia terpaksa melakukan
apa yang telah tercantum dalam buku catatannya dari zaman azali. Karena ilmu itu
adalah cahaya yang mengungkapkan dan bukan tenaga yang memaksakan. Dan
manusia dari kemauan mereka pribadi mengarah kepada tujuan yang mereka
kehendaki, sementara Allah menyempurnakan bagi hamba-Nya itu apa yang
terkandung di dalam hatinya. Maka barang siapa yang menanam apel, Allah akan
memberinya buah yang lezat, sebaliknya barang siapa yang menanam duri maka
akibat pahitnya akan dirasakannya sendiri. Maka orang-orang yang melaksanakan
sebab-sebab kebaikan, berupa memberi, bertakwa dan membenarkan, Allah akan
membimbingnya kearah tujuan dan memberinya kemudahan. Sebaliknya orang-
orang yang mengerjakan pangkal pokok kejahatan, berupa kebatilan, keangkuhan
dan kepalsuan, maka Allah akan menyampaikan maksudnya, menjerumuskannya
kedalam kesesatan dan memudahkannya kepada kesulitan.180
Agama Islam menetapkan bahwa manusia itu diciptakan dengan dibekali
kekuatan, bakat, persiapan dan persediaan tenaga dan ilmu. Semuanya itu
(kekuatan dan lain-lain) dapat digunakan untuk menuju kearah kebaikan, tetapi
juga dapat digunakan untuk menuju kearah keburukan. Oleh sebab itu tidak
mungkin bahwa semuanya itu akan diarahkan kepada kebaikan semata-mata atau
kearah keburukan semata-mata, sekalipun perlu diakui pula bahwa kehendak ke
arah kebaikan dalam diri sebagian manusia adalah lebih kuat, dan kehendak

179
Ibid. h. 103-105
180
Yusuf Al Qardawy, Fatawa Qardawi (Surabaya: Risalah Gusti, 1993) h. 149

66
keburukan disebagian orang yang lain lagi lebih kuat pula. Selisih yang
sedemikian ini rasanya tidak ada yang dapat mengetahui selain Allah sendiri.181
Allah membekali manusia itu akal fikiran sejak lahirnya yang dengannya
ia dapat membedakan antara yang benar dan salah, perihal apa-apa yang
berhubungan dengan akidah dan kepercayaan, juga dapat membedakan antara
yang baik dan yang buruk dalam hal perbuatan, bahkan juga dapat digunakan
untuk membedakan antara yang dusta dan yang bukan dusta dalam hal ucapan.
Dan dengan akal yang bersumber pada otak, manusia itu oleh Allah
diberikan suatu kemampuan yang dengannya itu ia dapat menyatakan sesuatu
yang benar sebagai kebenaran, juga menyatakan sesuatu yang bathil sebagai
kebathilan.182
Dengan akal yang ada padanya, manusia dapat menentukan pilihanya.
Dengan kehendak bebas (free will) yang ada padanya, manusia menjadi pembuat
nasibnya sendiri. Ini jelas dalam ayat yang mengatakan bahwa:
“Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, sebelum kaum itu
sendiri mengubah nasib mereka” (QS. Ar-Ra’du: 11)
Perkataan sesuatu kaum dalam ayat di atas dapat diganti dengan
seseorang. Oleh karena itu, apa yang disebut nasib, sesungguhnya tidak lain dari
berlakunya hukum sebab akibat dalam kehidupan manusia (seseorang).
Menurut al-Qur’an, demikian Muhammad Syaltut mengemukakan,
manusia bebas memilih perbuatan yang akan dilakukannya. Ia bebas pula
menentukan kepercayaan yang dianutnya, dan dia akan memperoleh sesuatu baik
hukuman atau pahala sesuai dengan pilihanya itu. Allah hanya menunjukan jalan
yang seyogianya diikuti oleh manusia. Manusia bebas memilih untuk menuruti
jalan itu. Allah tidak mengganggu pilihan manusia. Oleh karena itu, manusia
harus mengerjakan penyelamatan dirinya dan beramal saleh. Beramal saleh
artinya berbuat sesuatu yang baik yang bermanfaat bagi diri sendiri, orang lain
dan masyarakat. Di dalam al-Qur’an perkataan iman selalu di ikuti dengan
perkataan amal saleh sebagai syarat bagi manusia untuk memasuki surga
yang telah di sediakan Allah untuknya.183
Jadi selama manusia itu masih mempunyai akal fikiran yang dapat
membedakan antara yang baik dan yang buruk, mempunyai kekuasaan untuk
berbuat mana saja yang disukai, juga mengetahui jalan mana yang akan
ditempuhnya sesuai dengan keinginannya dan semua itu secara jelas terbuka
dihadapannya, maka teranglah bahwa manusia itu benar-benar mempunyai

181
Sayid Sabiq, Op. cit. h. 160
182
Ibid. h. 161
183
Mohammad Daud Ali, Op. cit. h. 232

67
kemerdekaan berkehendak dan mempunyai hak memilih dalam segala perbuatan
dan tindakannya. 184
Makna dari itu adalah bahwa manusialah yang secara sukarela hendak
mengarahkan kekuatannya sesuai dengan pilihan jiwanya, apakah itu benar atau
salah, haq atau bathil, baik atau buruk, dusta atau bukan dan lain-lain sebagainya.
Oleh sebab itu insaflah setiap manusia, bahwa dia pasti akan dimintai
pertanggungjawaban perihal dirinya sendiri, usaha memperbaikinya dan daya
upaya untuk meluruskannya, sehingga ia dapat mencapai kepada suatu
kesempurnaan yang ditakdirkan untuknya itu. Sebabnya ialah karena
memperbaguskan diri dari jiwanya sendiri, mensucikannya lalu menumbuhkannya
dengan diisi ilmu pengetahuan yang bermanfaat, amal saleh dan tindakan yang
jujur adalah suatu jalan untuk memperoleh kebahagiaan dan keuntungannya
sendiri, sebab pasti diridhai oleh Allah, malahan dapat mendekatkan diri untuk
menyaksikan keagungan dan keindahan Allah. Sebaliknya dengan melalaikan
didikan diri dan jiwa, meneledorkan dan mengenyampingkannya, itu adalah
sebagai menempuh jalan untuk menjadikannya rugi, menyesal dan berbahaya.185
Lagi pula andaikata manusia itu tidak mempunyai kebebasan dan
kemerdekaan memilih, tentu di dunia ini tidak akan ada yang berhak disebut
orang baik dan orang jahat, sebab baik yang berbuat kebaikan atau keburukan
itu sama-sama terpaksa saja dalam melakukannya yakni perbuatan itu tidak timbul
dari kehendak dan kemauannya sendiri. Dengan demikian, maka tentu tidak
bergunalah adanya amar ma’ruf (perintah kebaikan) dan nahi munkar (larangan
berbuat jahat). Kedua hal ini nanti akan menjadi tidak berguna, sebab
seluruh manusia sudah tidak beriradah lagi, kemauan dan kehendaknya
telah dirampas. Jikalau ini terjadi, tentulah pula tidak ada artinya perintah-
perintah Allah (taklif) yang dibebankan kepada umat manusia ini, sebab diberi
perintah tetapi kemampuan untuk beriradah dan berkehendak sudah dilenyapkan
dan dirampas, adalah merupakan suatu penganiayaan yang tiada taranya lagi,
padahal Maha Suci Allah dari sifat sedemikian itu.186

D. Hubungan Antara Kadha, Kadar Dan Ikhtiar


Iktiar terambil dari bahasa Arab yang akar katanya “iktiara” berarti
pilihan atau daya upaya. Menurut kamus W.S. Purwadarminto: iktiar ialah
kebebasan memilih (menentukan, berbuat dan sebagainya), atau pertimbangan,
pilihan,kehendak, pendapat, usul dan sebagainya yang bebas.187

184
Sayid Sabiq, Op. cit. h. 161
185
Ibid. h. 161-163
186
Ibid. h. 165
187
Kaelany HD, Op. cit. h. 121

68
Ikhtiar adalah usaha manusia untuk memperoleh sesuatu yang diinginkan.
Walaupun segala sesuatu yang terjadi di dunia ini telah ditetapkan Allah, Allah
tidak akan menyia-nyiakan segala usaha manusia sebagai bentuk ikhtiar yang
memberi kesempatan dan kebebasan manusia untuk menentukan nasibnya sendiri.
Meskipun Allah menentukan segala sesuatu, manusia tetap berkewajiban
untuk berikhtiar. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi pada diri kita. Oleh sebab
itu, kita harus berikhtiar (berusaha). Sebagai contoh: Apabila ingin pandai, kita
harus belajar dengan sungguh-sungguh. Bila ingin kaya, kita harus bekerja tekun,
dan sebagainya.188
Ada sebab dan akibat, di samping tujuan. Apabila seseorang ingin pintar,
dia harus belajar. Kalau mau jadi sarjana masuklah ke perguruan tinggi, pilih
jurusan yang sesuai dengan bakat dan cita-cita. Kemudian tekun, sabar, ulet, rajin,
dan memakai metode belajar Insya Allah cita-cita itu akan tercapai. Adalah
mustahil suatu cita-cita berhasil hanya dengan modal khayal dan bermalas-
malasan, tanpa suatu kerja dan usaha. Maka wajib ada faktor usaha dan ikhtiar dan
bertanggung jawab dari manusia. Maka manusia jangan berbicara mengenai takdir
suatu kejadian sebelum kejadian itu menjadi kenyataan.189
Jadi disamping usaha berikhtiar, juga harus ditopang oleh doa. Usaha serta
diiringi dengan doa adalah kewajiban manusia, karena kepastian terakhir adalah di
tangan Allah. Dengan berdoa, kita mengembalikan segala urusan kita kepada
Allah. Dengan demikian, apa yang akan terjadi pada diri kita akan kita terima
dengan rida dan ikhlas.190
Mengenai hubungan antara Kadha dan Kadar dengan ikhtiar ini, para
ulama berpendapat bahwa takdir itu ada dua macam:

1) Taqdir Mu'allaq, yakni takdir yang erat kaitannya dengan ikhtiar manusia,
takdir ketergantungan. Maksudnya, takdir yang masih dapat diubah
bergantung pada ikhtiar (usaha) manusia.
          
“Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka
merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”. (QS. Ar Ra’ad: 11)

2) Taqdir Mubran, yakni takdir yang terjadi pada diri manusia dan tidak dapat
diusahakan atau tidak dapat ditawar-tawar lagi. Contohnya tentang kematian,
kelahiran, jenis kelamin, dan sebagainya.191
              
          
188
Rosihan Anwar, Op. cit. h. 196
189
Didik Ahmad Supadie & Sarjuni, Op. cit. h. 206
190
Rosihan Anwar, Op. cit. h. 196
191
Ibid. h. 197

69
“Katakanlah: "Aku tidak berkuasa mendatangkan kemudharatan dan tidak
(pula) kemanfaatan kepada diriku, melainkan apa yang dikehendaki Allah".
tiap-tiap umat mempunyai ajal. Apabila telah datang ajal mereka, maka
mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak (pula)
mendahulukan(nya)”. (QS.Yunus : 49)

Pada suatu ketika Umar bin Khattab dengan rombongan akan masuk ke
sebuah kampung di Syam (Syiria, Palestina, dan sekitarnya). Lalu beliau
mendapat laporan dari seorang kurir bahwa di kampung tersebut sedang
berjangkit suatu penyakit menular dan berbahaya. Setelah mendengar kabar itu,
Khalifah Umar lalu membatalkan rencana beliau dan mengajak rombongannya
kembali. Tapi salah seorang berkata kepada beliau: “Apakah Anda lari
menghindar dari takdir Allah?” Jawab khalifah Umar: “kita lari dari takdir Allah
menuju ke takdir Allah yang lain”.192
Ketika Rasullulah SAW mengenai obat yang menyembuhkan dan hal-hal
yang mencegah perkara yang buruk, apakah semua itu dapat menolak apa yang
ditetapkan oleh Allah. Hal itu termasuk takdir pula. (H.R. Ahmad, Ibnu Majah
dan Tarmidzi ).
Sebagaimana jika saudara berada di dua daerah yang satu subur serta yang
satu lagi kering, apakah kita tidak memelihara kedua-duanya dengan Kada dan
Kadar ? karena Allah memelihara kedua tempat tersebut”.193
Demikian juga ketika Imam Ali r.a. sedang duduk-duduk dan bersandar di
suatu tembok yang ternyata rapuh, beliau pindah ke tempat yang lain. Baberapa
orang di sekelilingnya bertanya seperti pertanyaan di atas. Jawaban Ali Bin Thalib
sama intinya dengan jawaban Kholifah Umar r.a. Rubuhnya tembok,
berjangkitnya penyakit adalah berdasarkan hukum-hukum yang telah ditetapkan–
Nya, dan bila seseorang tidak menghindar mereka akan menerima akibatnya.
Akibat yang menimpa itu adalah takdir, dan apabila ia menghindar dan luput dari
bahaya maka itu pun takdir. Bukankah Allah telah menganugrahkan manusia
kamampuan memilah dan memilih? kamampuan ini pun antara lain merupakan
ketetapan atau takdir yang sudah dianugrahkan-Nya. Jika demikian, manusia tidak
dapat luput dari takdir, yang baik maupun yang buruk. Tidak bijaksana jika hanya
yang merugikan saja yang disebut takdir, karena yang positif pun takdir. Yang
demikian merupakan sikap “ tidak menyucikan Allah, serta bertentangan dengan
petunjuk Nabi SAW .,”… dan kamu harus percaya kapada takdir-Nya yang baik
maupun yang buruk .” dengan demikian, menjadi jelaslah kiranya bahwa adanya

192
Didik Ahmad Supadie & Sarjuni, Op. cit. h. 207
193
Yusuf Al Qardawy, Op. cit. h. 54

70
takdir tidak menghalangi manusia untuk berusaha menentukan masa depannya
sendiri, sambil memohon bantuan Ilahi.194
Jadi karena hukum-hukum tersebut cukup banyak, dan kita diberi
kamampuan memilih, tidak sebagaimana matahari dan bulan misalnya, maka kita
dapat memilih yang mana takdir yang ditetapkan Allah terhadap alam yang kita
pilih. Api ditetapkan Tuhan panas dan membakar, angin dapat menimbulkan
kesejukan atau dingin; itu takdir Allah, manusia boleh memilih api yang
membakar atau angin yang sejuk. Disinilah pentingnya pengetahuan dan perlunya
ilham atau petunjuk Illahi.195
Allah telah menetapkan segala sesuatu dan menetapkan pula sebab-
sebabnya, sebagaimana pula di tetapkanya suatu hasil dan apa yang
menyebabkannya. Allah tidak saja menetapkan hasil yang dicapai manusia, tetapi
ditetapkanya pula hal-hal yang menyebabkanya berhasil misalnya karena
kerajinan, ketelitian, kasabaran kasadaran dan sebagainya. Kesemuanya
ditetapkan oleh takdir.
Sebenarnya Kadha dan Kadar adalah sesuatu hal yang gaib, yang
tersembunyi bagi kita; kita tidak mengetahui bahwa hal itu Kadha dan Kadar,
kecuali setelah terjadi, kita diperintahkan oleh syariat untuk menjalankan hal-hal
yang membawa kebaikan di dunia dan di akhirat sesuai dengan petunjuk agama.196
Kita harus mengerjakan hal–hal yang membawa atau menyebabkan
keberhasilan, sebagaimana yang di laksanakan oleh orang yang paling kuat
imannya kepada Allah dan pada Kadha dan Kadar, yaitu Rasulullah SAW.
Beliau selalu berhati-hati dalam menghadapi berbagai hal, beliau
mempersiapkan tentara untuk berperang, mengirim peninjau dan mata–mata
sebelumnya, memakai perlengkapan pakaian, menggali khandak di sekitar kota
Madinah dengan mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan, misalnya
kendaraan dan makanan. Dan beliau menyembunyikan diri (di Gua Hira),
menyimpan makanan untuk keluarganya selama satu tahun , dan tidak menunggu
turunya rezeki dari langit, beliau telah menyuruh orang yang mempunyai onta
supaya mengikat terlebih dahulu, beliau bertawakal. Beliau juga mengatakan
kepada orang yang mempunyai onta yang sakit, jangan dicampurkan dengan yang
sehat, untuk mencegah menularnya penyakit tersebut.
Bukti diri atas keimanan yang kuat akan Kadha dan Kadar pada
seseorang ialah perjuangannya yang hebat, yang penuh harapan atas pertolongan
Allah disaat putus asa, kerja keras, keberaniannya dalam menghadapi bahaya, dan

194
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran (Bandung: Mizan, 1996) h. 64-65
195
Ibid. h. 63-64
196
Yusuf Al Qardawy, Fatawa Qardawi. Op. cit. h. 54

71
kesabarannya dalam menghadapi keadaan yang sulit maupun menerima rezeki
yang halal, meski sedikit dalam perbedaan nasib seseorang.197
Dari kenyataan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa takdir itu dapat
ditolak dengan takdir, misalnya ialah adanya takdir rasa lapar, maka ini dapat
dilawan dengan takdir makan, takdir rasa dahaga dilawan dengan takdir minum
sampai puas, takdir sakit dilawan dengan takdir pengobatan diri sampai sehat
kembali dan takdir kemalasan dilawan dengan takdir kegiatan serta kegairahan
bekerja.198
Allah membekali manusia akal pikiran sejak lahirnya yang dengannya ia
dapat memilih mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang benar dan mana
yang salah. Terkadang akal manusia tidak dapat mencapai pengertian secara
komparatif mana yang benar dan mana yang salah itu, lalu datanglah agama
memberikan penjelasan. Manusia diberi kebebasan secara sukarela hendak
kemana kita mengerahkan kekuatanya sesuai pilihan jiwanya.199
       
“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya). Maka Allah
mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. (QS.
91: 7-8)
Manusia wajib berihtiar dan berusaha untuk menentukan perubahan nasib
menurut rencananya, sekuat dan kemampuan akal budinya. Manusia harus
mampelajari ilmu Allah, baik yang bersumber pada kitab-kitab yang di
turunkanya maupun mempelajari gejala alam sebagai ilmu Allah (sunnatullah)
yang terhampar luas di sekitar kita. Berusaha dan berihtiar merupakan kewajiban
manusia, tetapi Allah-lah yang akan menentukan hasil akhir dari usaha manusia
itu. Manusia hanya dapat menerima segala apa yang terjadi sebatas kemampuan
yang dimiliki.200
Takdir itu ibarat suatu jembatan penyeberangan. Manusia boleh berikhtiar
dan memilih sisi mana dari jembatan itu yang hendak dia lalui. Pilihan itu tetap
terbatas di dalam jembatan. Ia tidak bisa lewat atau keluar dari batas-batasnya.201

           
  
“(yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus.
Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila
dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.(QS. At Taklwir :28-29)

197
Ibid. h. 55
198
Sayid Sabiq, Op. cit. h. 155
199
Kaelany HD, Op. cit. h. 128
200
Kaelany HD, Op. cit. h. 129
201
Ibid. h. 130

72
Kahendak manusia (yang bebas) itu tidak akan tercapai kecuali mengikuti
salah satu dari dua jalan yang sudah di tantukan oleh kehendak dan iradat Allah.
Ia tetap berkehendak agar manusia itu tetap melilih salah satu dari dua jalan yang
masing masing itu boleh dengan sesuka hatinya di tempuh dan dilalui yaitu jalan
hidayah/benar atau jalan sesat.
Baik hidayah maupun kesesatan merupakan hasil atau akibat dari hal-hal
yang telah dilakukan, umpamanya api panas, dan siapa yang terjun kedalam api ia
akan terbakar. Petunjuk atau hidayah adalah buah dari hasil amal perbuatan yang
baik dan saleh, sedang kesesatan adalah buah dari hasil amal perbuatan yang
buruk.
Jadi, disandarkanya pengertian hidayah dan kesesatan pada Allah itu
tujuannya hanyalah sebagai kiasan bahwa Dialah yang meletakkan penerbitkan
sebab-sebab dan akibat-akibat yang timbul dari sebab-sebab itu. Bukan sekali-
sekali bermaksud bahwa Allah memaksakan manusia untuk pasti memperoleh
petunjuk tanpa ada sebab-sebab yang dilakukannya. Yang demikian itu tentulah
kezaliman. Maha Suci Allah dari perbuatan yang demikian.202
Petani menanamkan benih pada sawah ladangnya kemudian mengairinya,
sedangkan urusan Allah ialah menumbuhkan dan menyebabkannya berbuah.
Maka petani itu sebagai penanam disebut yang menyediakan sebabnya. Dan Allah
sebagai Yang menumbuhkannya, karena Dia-lah yang mengaturnya hingga dapat
menghasilkan buah.203
       
        
“Maka Terangkanlah kepadaku tentang yang kamu tanam. Kamukah yang
menumbuhkannya atau Kamikah yang menumbuhkannya? Kalau Kami
kehendaki, benar-benar Kami jadikan dia hancur dan kering, maka jadilah kamu
heran dan tercengang. (QS. Al Waqiah:63-65)

Maka kedudukan manusia dalam usahanya, ialah seperti kedudukan petani


dalam pertaniannya. Maka tanamilah usia saudara jika saudara menghendakinya
dengan kebaikan, maka tangan kodrat akan menumbuhkannya menjadi kembang
yang semerbak. Atau jika ditanami dengan keburukan, maka tangan kodrat akan
menumbuhkannya menjadi duri yang tajam.204

       


       
 

202
Kaelany HD, Op. cit. h. 131
203
Muhammad Al Gazali, Aqidah Muslim. (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1986)
204
Yusuf Al Qardawy, Fatawa Qardawi, Op.cit.

73
“dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta
orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan
dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang
nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan”.
(QS. Taubah: 105)

Jadi Untuk memahami takdir, manusia harus hidup dengan ihtiar,


sebab dalam kehidupan sehari-hari takdir Illahi berkaitan erat dengan usaha
manusia. Usaha manusia haruslah maksimal, (sebanyak banyaknya) dan
optimal (sebaik baiknya) diiringi dengan doa dan tawakal. Tawakal yang
dimaksud adalah tawakal dalam makna menyerahkan nasib dan kesudahan usaha
kita kepada Allah, sementara kita tetap berikthiar serta yakin bahwa penentuan
terakhir segala-galanya berada dalam kekuasaan Allah. Inilah makna takdir yang
sebenarnya, yang berlangsung mulai proses usaha (ikhtiar), doa dan tawakal.205
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu bangsa, sehingga
mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”.206
Hikmahnya yang terdapat dalam ayat tentang ikhtiar dari manusia, bahwa
manusia diberikan kebebasan memilih free will dari dua jalan yang terbentang,
yaitu yang hak dan yang batil, yang Islam dan yang kafir. Allah tidak
memaksakan dari salah satu jalan itu, namun Allah mengajak dan menghendaki
agar manusia suka melalui jalan yang hak, jalan yang Islam. Dengan demikian,
lalu manusia berhak menerima ganjaran dan pahala dari Allah. Buya Hamka
mengibaratkan manusia dalam takdir Allah: “laksana kebebasan seorang warga
dalam satu negara. Dia bebas dalam lingkungan undang-undang”.207
Manusia hendaklah hidup dengan ikhtiar, yaitu bekerja atas syarat-syarat
maksimal sambil tawakal dan berdoa. “tawakal artinya mewakilkan nasib dan
nasib usaha kita kepada Allah, sedang kita sendiri tidak mengurangi usaha dan
tenaga kita dalam usaha dan tenaga kita dalam usaha itu. Kemudian yakin bahwa
penentuan terakhir berada pada kekuasaan Allah. Dialah Yang Maha Kuasa.208

E. Pengaruh Beriman Kepada Kadha & Kadar


Beriman kepada takdir memiliki beberapa pengaruh nyata dalam
kehidupan manusia, diantaranya adalah membuat semangat dalam beramal usaha,
terjauh dari sifat sombong, sabar dalam memperoleh kelebihan dan kekurangan,
menghilangkan penyakit iri dengki dalam kehidupan bermasyarakat, membuat

205
Mohammad Daud Ali, Op.cit. h. 233
206
Didik Ahmad Supadie & Sarjuni, Op.cit.h. 207
207
Ibid. h. 209-210
208
Didik Ahmad Supadie & Sarjuni, Op.cit. h. 208

74
berani dalam menghadapi hidup, semakin meningkatkan iman, menambah
semangat dalam menghadapi rintangan dalam berdakwah.209
Dari sebagian pengaruh iman kepada Kadha dan Kadar sebagaimana
disebutkan pada kutipan di atas, dapatlah diketahui bahwa ada tujuh macam
hikmah iman kepada Kadha dan Kadar, namun karena nomor dua dan tiga hampir
sama maksudnya, maka disini penulis hanya menguraikan enam hikmahnya saja
sebagaimana di bawah ini:
1. Takdir merupakan salah satu sebab-sebab yang membuat seseorang
bersemangat dalam beramal dan berusaha untuk mencapai keridhaan Allah
dalam hidup ini. Beriman kepada takdir adalah diantara pendorong kuat
kepada setiap mukmin untuk beramal dan melakukan perkara-perkara besar
dengan penuh keteguhan dan keyakinan.
Setiap mukmin wajib berikhtiar dengan bertawakal kepada Allah, serta
dengan keimanan bahwa ikhtiar itu tidak akan membuahkan hasil kecuali
dengan izin Allah. Sebab Allah lah yang menciptakan ikhtiar itu, dan dia pula
yang menciptakan keberhasilan.210
Karena itu, ketika umat Islam ingin mengubah kenyataan yang ada
dengan jihad perang misalnya, maka mereka berikhtiar dengan segala bentuk
ikhtiar jihad, lalu mereka bertawakal kepada Allah. Mereka tidak mengatakan,
bahwasanya Allah telah mentakdirkan menolong orang-orang mukmin dan
menghancurkan orang-orang kafir. Lalu mereka mencukupkan yang demikian
tanpa persiapan, jihad, kesabaran dan masuk ke medan perang. Tetapi
sebaliknya, mereka melakukan berbagai hal di atas, sehingga Allah menolong
mereka dan memuliakan mereka dengan Islam.211
Begitu pula jihad kesungguhan untuk mengeluarkan harta benda yang
terdapat dalam perbendaharaan bumi agar dapat diambil kemanfaatannya.
Selain itu agar dapat diolah pula segala kebaikan yang dapat digali dari benda-
benda yang terdapat dalam alam semesta ini.
Dengan demikian maka keimanan kepada takdir itu adalah merupakan
suatu kekuatan yang dapat membangkitkan kegiatan bekerja dan kegairahan
berusaha, malahan dapat merupakan dorongan yang positif untuk memperoleh
kehidupan yang layak dan pantas di dunia ini, sebagaimana juga halnya
keimanan kepada takdir itu akan menghubungkan manusia ini dengan Tuhan
Yang Maha Menguasai seluruh maujud ini.212
Iman yang benar kepada Kadha dan Kadar akan motivasi seseorang
untuk beramal dan berkarya dengan penuh semangat. Seorang mujahid akan

209
Abdul Aziz Bin Muhammad Abd Lathif, Op.cit. h. 101
210
Ibid. h. 110
211
Ibid. h. 111
212
Sayid Sabiq, Op.cit. h. 152

75
berjuang terus dijalan Allah tanpa kenal takut akan mati. Karena ia menyadari
bahwa sepenuhnya kematian itu sesuatu yang pasti terjadi dan jika waktunya
telah datang tidak akan dapat diundurkan lagi. Tentara yang tangguh dan
benteng yang kokoh tidak akan dapat mencegah maut bila datang
menjemputnya.213
          
          
            
     
“Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun
kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh, dan jika mereka memperoleh
kebaikan, mereka mengatakan: "Ini adalah dari sisi Allah", dan kalau mereka
ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan: "Ini (datangnya) dari sisi kamu
(Muhammad)". Katakanlah: "Semuanya (datang) dari sisi Allah". Maka
mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami
pembicaraan sedikitpun? (Qs. An Nisa: 78)
Dengan beriman kepada takdir dalam bentuknya yang benar, niscaya
manusia akan giat berjuang dan berusaha. Sebab, tanpa perjuangan dan usaha
yang berpijak pada Sunnatullah, niscaya perjuangan dan usaha itu tidak
sampai pada tujuan yang diinginkan, kendatipun yang memperjuangkannya
adalah kaum muslimin. Dengan memahami takdir dalam bentuknya yang tepat
pula, manusia akan terhindar dari sikap fatalis yang akan menjerumuskannya
pada bencana dan kesengsaraan. Oleh karena itu, setiap mukmin harus
beribadah, bertindak, berjuang dan berusaha dengan berpijak pada Sunnah
yang telah ditetapkan oleh Allah itu. Tanpa kerja keras dan berpijak pada
Sunnatullah, perjuangan tak mungkin bisa dimenangkan, dan cita-cita tak
mungkin pula dapat tercapai."214
2. Sesungguhnya dengan beriman kepada taqdir manusia mendapatkan banyak
kebaikan. ia tidak akan sombong dan lupa diri jika mendapat kelebihan, tetapi
jika ditimpa keburukan dan musibah maka ia pun tidak akan galau dan
sedih.215
Beriman kepada takdir itu akan memberikan pelajaran kepada manusia
bahwa segala sesuatu yang ada dalam alam semesta ini hanyalah berjalan
sesuai dengan kebijaksanaan yang telah digariskan oleh Dzat yang Maha
Tinggi. Oleh sebab itu, jika ia tertimpa oleh kemudaratan, iapun tidak akan
menyesal, tetapi sebaliknya jika ia dilimpahi pertolongan dan keuntungan,
iapun tidak bergembira sehingga lupa daratan. Manakala seseorang itu sudah
bersifat dengan dua hal tersebut, maka itulah seorang manusia yang lurus,

213
Shalih bin Fauzan Al Fauzan, Op.cit. h. 322
214
Rosihan Anwar, Op.cit. h. 199-200
215
Abdul Aziz Bin Muhammad Abd Lathif, Op.cit. h. 111

76
terpuji, dapat mencapai arah keluhuran dan ketinggian yang teratas sekali. 216
Maka dengan iman kepada Kadha dan Kadar akan dapat merubah cobaan
menjadi anugrah dan musibah menjadi ladang pahala.217
           
      
“Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali
dengan ijin Allah; dan Barangsiapa yang beriman kepada Allah
niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. dan Allah Maha
mengetahui segala sesuatu. (Qs. At-taghaabun: 11

Iman kepada Kadha dan Kadar memberikan ketenangan hati serta tidak
adanya perasaan tak menentu di dalam kehidupan ini. Khususnya pada saat
seseorang mengalami rintangan dalam hidup. Sebab jika seseorang menyadari
bahwa apa yang menyimpannya adalah sesuatu yang telah ditetapkan serta
mesti dilaluinya Sesungguhnya jika seseorang bersikap seperti ini, maka
hatinya menjadi tenang dan jiwanya menjadi tentram. Berbeda dengan orang
yang tidak beriman kepada Kadha dan Kadar, ia akan ditimpa oleh perasaan
sedih dan kalut.218
Dengan demikian kepercayaan kepada takdir memberikan
keseimbangan jiwa. Sebab segala sesuatu tidak hanya bergantung pada dirinya
sendiri, melainkan juga keharusan universal, mengembalikan segala persoalan
kepada Allah Yang Maha Kuasa.219
3. Beriman kepada takdir bisa menghilangkan berbagai penyakit sosial yang
menimpa masyarakat dan menghilangkan kedengkian di antara sesama mahluk.
Seorang mukmin tidak mungkin iri dan dengki terhadap karunia yang
diberikan Allah kepada manusia. Sebab Allah lah yang memberi mereka rezki
dan mentakdirkannya untuk mereka. Sebab mereka mengetahui, jika ia iri
dengan orang lain berarti ia menentang takdir Allah.220
Sekarang timbul pula pertanyaan lain: “mengapa ada perbedaan
hidup?” ada yang dapat kedudukan tinggi, dan ada yang rendah. Ada buruh dan
ada majikan, ada yang menteri dan ada pula jadi opas? adalah ini adil ?
Jawabnya adalah bahwa hidup yang tidak ada pembagian pekerjaan
adalah suatu hidup yang tidak ada keadilan. Kalau semua orang menjadi
menteri, atau jadi presiden, itulah hidup yang benar-benar tidak adil.
Tidak adil, dan tidaklah benar kalau sama saja kesanggupan manusia,
baik dalam kemajuan mendapat harta benda dan kekayaan, atau dalam dalam

216
Sayid Sabiq, Op.cit. h. 153
217
Shalih bin Fauzan Al Fauzan, Op.cit. h. 322
218
Shalih bin Fauzan Al Fauzan, Op.cit. h. 320-321
219
Didik Ahmad Supadie & Sarjuni, Op.cit. h. 207
220
Abdul Aziz Bin Muhammad Abd Lathif, Op.cit. h. 112

77
kecerdasan otak berfikir. Tidaklah adil kalau kehidupan sosial orang satu saja
coraknya, demikian juga kedudukan politiknya. Oleh sebab itu tidak pula adil
kalau sama pula ganjaran dunianya atau pahala akhiratnya. Hidup yang adil di
seluruh alam ialah pembagian tugas yang sebaik-baiknya. Kehidupan yang adil
di dalam masyarakat manusia hanya tercapai jika ada tangan, ada perut, dan
seterusnya. Hancurlah keadilan kalau kepala yang berjalan di tanah dan kaki
yang berfikir! Maka yang disebut adil ialah “meletakan sesuatu di tempatnya”,
atau “mengembalikan sesuatu kepada tempatnya yang sebenarnya.” Semua
dengan ukuran dan hingaan tertentu: itulah taqdir.
Maka perbedaan corak hidup dan pebedaan penghasilan, bukanlah
diluar keadilan.221 Dengan demikian tidak iri dan benci dengan kenikmatan
yang diterima orang lain, hingga tetap terpelihara kesucian jiwa adalah satu
salah satu hikmah yang diperoleh dari iman kepada Kadha dan Kadar.222
4. Beriman kepada taqdir juga bisa menumbuhkan keberanian hati untuk
menghadapi berbagai tantangan serta menguatkan keinginan di dalamnya.
Karena itu, ia akan tetap teguh di medan jihad dan tidak takut mati, sebab
hatinya telah yakin bahwa ajal itu telah ditentukan, sehingga tidak mungkin ia
mendahului atau terlambat, meski hanya sekejap.
Jika kepercayaan tersebut telah menghujam kuat dalam hati orang-
orang mukmin, maka mereka akan tetap teguh dalam berperang serta terus
ingin melanjutkan jihad. Beberapa kancah jihad memberikan contoh-contoh
yang sangat indah dalam hal keteguhan dan ketegaran dalam menghadapi
musuh, betapa pun kuatnya ketegaran dan besarnya jumlah pasukan mereka,
sebab mereka yakin tidaklah ada sesuatu yang menimpa mereka kecuali ia
telah dituliskan untuknya.223
Jangan ragu menghadapi hidup dan jangan cemas menghadapi bahaya.
Sebab buruk dan baik, sakit dan senang, naik dan jatuh, menang dan kalah,
semuanya itu sudah tertulis sebagai nasib kita, dan bukan kita yang memegang,
melainkan Allah yang berdiri sendiri. Lihatlah kehidupan setiap manusia,
manakah nanusia yang “datar” saja jalan hidup yang dilaluinya. Mengapa kita
takut kena ombak, padahal kita berani berlayar? Mengapa mendirikan rumah di
tepi pantai, kalau takut dilembur pasang? Buruk dan baik, duka dan suka,
semuanya sudah takdir Allah tertulis dalam Lauh Mahfuz bagi kehidupan kita.
Kita diberi akal buat menimbang dan mengelakkan mana yang dapat dielakkan.
Kita disuruh berusaha sekuat tenaga yang ada pada kita. Kita disuruh
berikhtiar. Maka dimana pun berjumpa dengan bahaya, kita tidak merasa
canggung lagi, karena sudah demikianlah mestinya hidup.

221
Hamka, Op.cit. h. 356-357
222
Didik Ahmad Supadie & Sarjuni, Op.cit. h. 213
223
Abdul Aziz Bin Muhammad Abd Lathif, Op.cit. h. 112

78
Kepercayaan kepada Allah menimbulkan keberanian menentang segala
kesulitan di dalam hidup. Tempat kita takut, bermohon, berlindung, memuja,
hanya Dia saja tidak yang lain. Inilah pokok yang sewajarnya daripada
kepercayaan kepada takdir. Kepercayaan kepada takdir menimbulkan puncak
yang sejati daripada agama, yaitu: “ridha-meridhai”.224
5. Iman kepada takdir akan membawa peningkatan ketakwaan, bahwa baik
keberuntungan maupun kegagalan dapat dianggap sebagai ujian dari Allah.
Ujian itu perlu diberikan kepada mereka yang beriman agar sejahtera dan
bahagia hidupnya. Emas umpamanya, perlu diuji. Andaikata emas enggan
diangkat dari lumpur, tidak tahan dibakar dan ditempa sebagai ujian baginya,
niscaya tidaklah ia akan menjadi cincin, kalung atau gelang, menjadi benda-
benda yang berharga menghiasi penampilan manusia. Sebab itu orang-orang
beriman banyak mendapat ujian dari Allah, ujian itu akan menilai kualitas iman
seseorang dan untuk mempertinggi iman, guna menjadi modal hidup yang
paling berharga sebagai seorang muslim.225
Seseorang yang beriman kepada Kadha dan Kadar akan menyadari
bahwa dunia ini hanyalah tempat cobaan, 226 sebagaimana firman Allah:
         
 
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya dia menguji kamu, siapa
diantara kamu yang lebih baik amalnya.”(Qs. Al Mulk: 2).
Beriman kepada takdir akan menanamkan berbagai hakikat iman dalam
jiwa setiap mukmin, ia senantiasa memohon pertolongan kepada Allah,
bersandar kepada Allah dan bertawakal kepadanya dengan tetap berikhtiar. Ia
selalu membutuhkan kepada Tuhannya, meminta pertolongan untuk
diteguhkan, dan ia pun bersikap dermawan sehingga mencintai kebaikan untuk
orang lain, sehingga saudara lihat ia senang mengasihi manusia dan
memberikan kebaikan kepada mereka.
6. Termasuk pengaruh beriman kepada takdir yaitu bahwasanya orang yang
berdakwah kepada Allah akan berdakwah secara terang-terangan dan jelas di
hadapan orang-orang kafir dan zhalim, ia tidak takut cercaan orang yang
mecerca, ia akan menjelaskan kepada manusia hakekat iman dan menerangkan
berbagai konsekuensinya, sebagaimana ia juga akan menjelaskan kepada
mereka berbagai fenomena kekufuran dan nifaq serta memperingatkan mereka
daripadanya. Demikian pula ia akan menyingkap kebatilan dan kebohongan,
mengatakan kalimatul haq (perkataan yang benar) di hadapan orang-orang
yang zalim. Setiap mukmin melakukan hal-hal tersebut dengan kedalam iman,
keteguhan kepercayaan kepada Allah, bertawakal kepadanya, sabar atas apa
224
Hamka, Op.cit. h. 350
225
Didik Ahmad Supadie & Sarjuni, v h. 208
226
Shalih bin Fauzan Al Fauzan, Op.cit. h. 321-322

79
yang menimpanya dalam perjalanannya, sebab ia yakin bahwa ajal ada di
tangan Allah semata, dan bahwa setiap hamba tidaklah memiliki sesuatu pun
daripadanya meskipun memiliki kekuatan dan para penolong.227

227
Abdul Aziz Bin Muhammad Abd Lathif, Op.cit. h. 313

80

Anda mungkin juga menyukai