NIM: L031201025
Eksistensi Tuhan:
Pembahasan kajian filsafat dan teologi biasanya dimulai dengan masalah pembuktian
tentang eksistensi Tuhan, akan tetapi dalam kitab-kitab suci agama, termasuk al-Quran,
hampir tidak ditemukan ayat yang membicarakan secara khusus tentang eksistensi (wujud)
Tuhan. Seakah-akan eksistensi Tuhan ini tidak perlu dibahas lagi, karena dianggap sudah
sangat jelas dan hanya tinggal diterima jadi. Abdul Halim Mahmud dalam bukunya al-lslam
wa al-Aql menegaskan bahwa, 'Jangankan al-Quran, Kitab Taurat dan lnjil dalam bentuknya
yang sekarang (Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru) tidak menguraikan tentang eksistensi
Tuhan." Penegasan Halim Mahmud di atas sejalan dengan pernyataan Aj Arberry, dalam
bukunya Reason and Revelation in lslam. Aj Arberry menulis: 'Di Masa Plato, Yunani
merupakan pusat pembuktian berkenaan dengan eksistensi Tuhan berikut bukti-bukti dan
argumen-argumennya. lni merupakan hal yang pertama kali di Barat di mana orang-orang
berusaha menyelidiki ihwal Tuhan mereka. Tak satu pun penulis dari penulis Perjanjian
Lama pernah membahas tentang eksistensi Tuhan sebagai suatu masalah pelik yang
tentangnya niscaya ada keraguan atas semangat bangsa Semit yang menemukan Tuhan dalam
wahyu itu sendiri. Lagi pula apa yang baru dikatakan tentang Perjanjian Lama dengan hanya
sedikit perbedaan berlaku pula pada Perjanjian Baru." Dalam teks agama bangsa Arya
eksistensi Tuhan diterima begitu saja tanpa mensyaratkan bukti dan demontrasi logis.
Demikian pula dalam kitab suci agama Hindu yaitu Upanishad. Dengan demikian dapat
ditegaskan bahwa keyakinan tentang eksistensi (wujud) Tuhan merupakan suatu hal yang
tidak dapat diragukan lagi dan hampir seluruh umat manusia mempercayai adanya.
Bukti Eksistensi Tuhan Dalam Islam:
Dalam al-Quran, eksistensi Tuhan dapat ditemukan dalam Q.S. al-Ankabut, 29: 61-
63. Dalam ayat 61-63 dijelaskan bahwa. "bangsa Arab yang penyembah berhala tidak
menolak eksistensi pencipta langit dan bumi. Jika mereka ditanya siapakah yang menjadikan
langit dan bumi dan menundukkan matahari dan cahaya bulan serta siapakah yang
menurunkan air dari langit lalu menghidupkan dengan air itu bumi sesudah matinya? Mereka
pasti menjawab “Allah”. Berdasarkan kandungan ayat ini, dapat dipahami bahwa bangsa
Arab sesungguhnya telah memahami dan menyakini akan eksistensi Tuhan sebagai pencipta
langit dan bumi serta pengaturnya. Namun menurut Al-Quran ada segelintir anak manusia
yang menolak eksistensi Tuhan seperti penggambaran Al- Qur’an dalam Q.S. al-Jasyiah (45):
24. Ayat ini menegaskan bahwa: "Mereka berkata: "Kehidupan ini tidak lain hanyalah
kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup, dan tidak ada yang membinasakan kita
selain masa." Penolakan akan eksistensi Tuhan oleh sebagian kecil manusia itu, hanya
didasarkan pada dugaan semata dan tidak didasarkan pada pengetahuan yang menyakinkan,
seperti ditegaskan dalam klausa penutup ayat 24 tersebut, yaitu: “mereka sekali-kali tidak
mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja. Oleh
karena itu, sangat logis jika Al-Quran mempertanyakan sikap dan penolakan manusia akan
eksistensi Tuhan serta kekafiran manusia kepada Tuhan dan kesyirikan manusia seperti
ditegaskan dalam penutup ayat surah al-ankabut .
Diri manusia saja tidak dapat diciptakan oleh manusia itu sendiri, lalu bagaimana
mungkin manusia menciptakan sesuatu yang telah adaa sebelum dirinya ada. Oleh karena itu
sangat menggelikan jika manusia mengklaim dirinya sebagai Tuhan dan berkata bahwa
dirinya adalah pencipta dan penguasa langit dan bumi, sepert apa yang di lakukan dan diakui
oleh Fir’aun. Kesalahan terbesar Fir’aun karena mengakui dan mengangkat dirinya sebagai
tuhan, pada akhirnyya ia sendiri sadari dan kemudian mengakui eksistensi Tuhan yang
diimani Musa as dan dan Bani Israil (meskipun menurut Al- Qur’an sudah terlambat), seperti
ditegaskan dalam Q.S. Yunus (10);90-91.
Bukankah pengakuan Fir’aun akan eksistensi Tuhannya Musa as dan Bani Israil dan
pembatalan ketuhanan dirinya sendiri, (yang terjadi kemudian, pada saat tenggelam, ia tidak
berdaya dan berkuasa lagi), merupakan bukti bahwa pengakuan akan eksistensi Tuhan sudah
inheren dalam diri manusia. Sungguh indah Al-Qur’an mengibaratkan bahwa perasaan
ketergantungan kepada Tuhan dan harapan akan pertolongan-Nya, secara spontan akan
muncul, ketika manusia mendapatkan musibah, seperti dikemukakan dalam Q.S. al-Isra (17)
67: Yaitu “apabila kamu ditimpa marabahaya di lautan, hilanglah segala yang kamu puja-puja
itu di ingatanmu kecuali Dia (Tuhan). Akan tetapi setelah kamu di selamatkan-Nya ke
daratan lantas kamu berpaling lagi. Sesungguhnya manusia itu tiada tahu berterima kasi.”
Jadi manusia akan meraskan kebutuhannya akan kehadiran Tuhan, ketika ia dalam
keadaan kesulitan yang besar dan tidak ada lagi yang dapat menolongnya, termasuk dirinya
sendiri, maka pasti ia akan mengharapkan adanya penolong yang menyelamatkannya dari
kesulitan tersebut, itulah Tuhan. Bukankah keadaan yang demikian itu menggambarkan
bahwa manusia mengakui eksistensi Tuhan dan pengakuan itu telah ada dan inheren dalam
diri manusia (merupakan fitrah manusia).
Di akhir pembahasan bagian ini, kami tegaskan bahwa eksistensi Tuhan adalah
sesuatu yang telah diketahui manusia secara inheren pada dirinya sendiri bahkan diri manusia
adalah salah satu bukti eksistensi Tuhan. Adapun kelompok manusia yang menolak eksistensi
Tuhan, menurut al-Quran penolakan mereka tidak berdasarkan pada keyakinan dan
pengetahuan, hanya dugaan semata yang juga mereka tidak yakini kebenarannya.
Bukti lain tentang adanya Allah berdasarkan teori kefilsafatan antara lain:
a. Dalil cosmological, yang sering dikemukakan berhubungan dengan ide tentang sebab
(causality). Plato dalam bukunya “Timeaus” mengatakan bahwa tiap-tiap benda yang
terjadi mesti ada yang menjadikannya. Dalam dunia kita tiap-tiap kejadian mesti
didahului oleh sebab-sebab dalam benda-benda yang terbatas (finite) rangkaian sebab
adalah terus menerus, akan tetapi dalam logika rangkaian yang terus menerus itu
mustahil.
b. Dalil moral, argumen ini sering dihubungkan dengan nama Immanuel Kant. Menurut
Kant, manusia mempunyai perasaan moral yang tertanam dalam hati sanubarinya.
Orang merasa bahwa ia mempunyai kewajiban untuk menjahui perbuatan yang buruk
dan melaksanakan perbuatan yang baik. Manusia melakukan hal itu hanya semata-
mata karena perintah yang timbul dari dalam lubuk hati nuraninya. Perintah ini
bersifat universal dan absolut. Dorongan seperti ini tidak diperoleh dari pengalaman,
akan tetapi manusia lahir dengan perasaan itu.