Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

DOKTRIN-DOKTRIN ASWAJA
DALAM BIDANG AQIDAH

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat


Pada Mata Kuliah Aswaja 1

Dosen: Abdul Manan

FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM


PROGRAM STUDI D.III PERBANKAN SYARIAH

Di Susun Oleh :

SANIYAH SYILVA NADILA


NPM. 14120056

INSTITUT AGAMA ISLAM MA’ARIF NU


METRO LAMPUNG
1439 H/ 2017 M

i
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur yang kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah
memberikan hidayah untuk berpikir sehingga dapat menyelesaikan makalah pada
mata kuliah Aswaja 1.
Dalam penulisan ini kami tulis dalam bentuk sederhana, sekali mengingat
keterbatasan yang ada pada diri penulis sehingga semua yang ditulis masih sangat
jauh dari sempurna.
Atas jasanya semoga Allah SWT memberikan imbalan dan tertulisnya
laporan observasi ini dapat bermanfaat dan kami minta ma’af sebelumnya kepada
Dosen, apabila ini masih belum mencapai sempurna kami sangat berharap atas
kritik dan saran-saran nya yang sifatnya membangun tentunya.

Metro, Desember 2017

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................ i

KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii

DAFTAR ISI .................................................................................................... iii

BAB I PEMBAHASAN ................................................................................... 1

A. Konsep Iman menurut Aswaja ............................................................. 1

B. Sifat-sifat Allah .................................................................................... 1

C. Melihat Allah ...................................................................................... 6

D. Kedudukan Al-Qur’an dan Al-Hadits .................................................. 7

E. Al-Qur’an sebagai kalam Allah ........................................................... 8

F. Kasab/Usaha, Qada dan Qadar ............................................................ 9

BAB II KESIMPULAN ................................................................................... 11

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 12

iii
BAB I
PEMBAHASAN

A. Konsep Iman Menurut Aswaja


Pengertian iman dari bahasa Arab yang artinya percaya. Sedangkan
menurut istilah, pengertian iman adalah membenarkan dengan hati, diucapkan
dengan lisan, dan diamalkan dengan tindakan (perbuatan). Dengan demikian,
pengertian iman kepada Allah adalah membenarkan dengan hati bahwa Allah
itu benar-benar ada dengan segala sifat keagungan dan kesempurnaanNya,
kemudian pengakuan itu diikrarkan dengan lisan, serta dibuktikan dengan
amal perbuatan secara nyata.
Jadi, seseorang dapat dikatakan sebagai mukmin (orang yang
beriman) sempurna apabila memenuhi ketiga unsur keimanan di atas. Apabila
seseorang mengakui dalam hatinya tentang keberadaan Allah, tetapi tidak
diikrarkan dengan lisan dan dibuktikan dengan amal perbuatan, maka orang
tersebut tidak dapat dikatakan sebagai mukmin yang sempurna. Sebab, ketiga
unsur keimanan tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak dapat
dipisahkan.1

B. Sifat-Sifat Allah
1. Wujud : Artinya Ada
Yaitu tetap dan benar yang wajib bagi zat Allah Ta’ala yang tiada
disebabkan dengan sesuatu sebab. Maka wujud ( Ada ) – disisi Imam
Fakhru Razi dan Imam Abu Mansur Al-Maturidi bukan ia a’in maujud dan
bukan lain daripada a’in maujud , maka atas qaul ini adalah wujud itu
Haliyyah ( yang menepati antara ada dengan tiada) . Tetapi pada pendapat
Imam Abu Hassan Al-Ashaari wujud itu ‘ain Al-maujud , karena wujud
itu zat maujud karena tidak disebutkan wujud melainkan kepada zat.
Kepercayaan bahwa wujudnya Allah SWT. bukan saja di sisi agama Islam

1
Lihat Syarah Al Aqidah Al Wasithiyah, Syaikh Shalih Al Fauzan, hlm. 140, terbitan
Maktabah Al Ma’arif Li An Nasyr Wat Tauzi’- Riyadh, Cet. VI-1413 H/1993 M

1
tetapi semua kepercayaan di dalam dunia ini mengaku menyatakan Tuhan
itu ada.
2. Qidam : Artinya Sedia
Pada hakikatnya menafikan ada permulaan wujud Allah SWT
karena Allah SWT. menjadikan tiap-tiap suatu yang ada, yang demikian
tidak dapat tidak keadaannya lebih dahulu daripada tiap-tiap sesuatu itu.
Jika sekiranya Allah Ta’ala tidak lebih dahulu daripada tiap-tiap sesuatu,
maka hukumnya adalah mustahil dan batil. Maka apabila disebut Allah
SWT. bersifat Qidam maka jadilah ia qadim. Di dalam Ilmu Tauhid ada
satu perkataan yang sama maknanya dengan Qadim Yaitu Azali.
3. Baqa’ : Artinya Kekal
Sentiasa ada, kekal ada dan tiada akhirnya Allah SWT. Pada
hakikatnya ialah menafikan ada kesudahan bagi wujud Allah Ta’ala.
Adapun yang lain daripada Allah Ta’ala , ada yang kekal dan tidak binasa
Selama-lamanya tetapi bukan dinamakan kekal yang hakiki (yang sebenar)
Bahkan kekal yang aradhi (yang mendatang jua seperti Arasy, Luh
Mahfuz, Qalam, Kursi, Roh, Syurga, Neraka, jisim atau jasad para Nabi
dan Rasul). Perkara –perkara tersebut kekal secara mendatang tatkala ia
bertakluq dengan Sifat dan Qudrat dan Iradat Allah Ta’ala pada
mengekalkannya.2
4. Mukhalafatuhu Lilhawadith. Artinya : Berbeda dengan makhluknya
Pada zat, sifat atau perbuatannya sama ada yang baru, yang
telahada atau yang belum ada. Pada hakikat nya adalah menafikan Allah
Ta’ala menyerupai dengan yang baharu pada zatnya, sifatnya atau
perbuatannya. Sesungguhnya zat Allah Ta’ala bukannya berjirim dan
bukan aradh Dan tiada sesekali zatnya berdarah, berdaging, bertulang dan
juga bukan jenis leburan, tumbuh-tumbuhan, tiada berpihak ,tiada
bertempat dan tiada dalam masa.

2
Lihat Syarah Al Aqidah Ath Thahawiyah, tahqiq: Jama’ah minal Ulama dengan takhrij
dari Syaikh Al Albani rahimahullah, hlm. 189, Al Maktab Al Islami, Cet. IX 1408 H/1988 M

2
5. Qiyamuhu Binafsihi : Artinya : Berdiri dengan sendirinya .
Tidak berkehendak kepada tempat berdiri ( pada zat ) dan tidak
berkehendak kepada yang menjadikannya Maka hakikatnya ibarat
daripada menafikan Allah SWT. berkehendak kepada tempat berdiri dan
kepada yang menjadikannya. Allah SWT itu terkaya dan tidak berhajat
kepada sesuatu sama adapada perbuatannya atau hukumannya. Allah SWT
menjadikan tiap-tiap sesuatu dan mengadakan undang-undang semuanya
untuk faedah dan maslahah yang kembali kepada sekalian makhluk .
6. Wahdaniyyah. Artinya : Esa Allah Ta’ala pada zat, pada sifat & pada
perbuatan.
Maka hakikatnya ibarat daripada menafikan berbilang pada zat,
pada sifat dan pada perbuatan sama ada bilangan yang muttasil (yang
berhubung ) atau bilangan yang munfasil (yang bercerai). Makna Esa
Allah SWT pada zat itu Yaitu menafikan Kam Muttasil pada Zat
(menafikan bilangan yang berhubung dengan zat) seperti tiada zat Allah
Ta’ala tersusun daripada darah, daging, tulang, urat dan lain-lain. Dan
menafikan Kam Munfasil pada zat (menafikan bilangan yang bercerai
pada zat Allah Ta’ala) seperti tiada zat yang lain menyamai zat Allah
Ta’ala.3
7. Al – Qudrah : Artinya : Kuasa
Memberi bekas pada mengadakan meniadakan tiap-tiap sesuatu.
Pada hakikatnya ialah satu sifat yang qadim lagi azali yang thabit ( tetap )
berdiri pada zat Allah SWT. yang mengadakan tiap-tiap yang ada dan
meniadakan tiap-tiap yang tiada bersetuju dengan iradah. Adalah bagi
manusia itu usaha dan ikhtiar tidak boleh memberi bekas pada
mengadakan atau meniadakan, hanya usaha dan ikhtiar pada jalan
menjayakan sesuatu. Kepercayaan dan iktiqad manusia di dalam perkara
ini berbagai-bagaiFikiran dan fahaman seterusnya membawa berbagai-
bagai kepercayaan dan iktiqad.

3
Ibid hal. 52

3
8. Iradah : Artinya : Menghendaki
Maksudnya menentukan segala mumkin ttg adanya atau tiadanya.
Sebenarnya adalah sifat yang qadim lagi azali thabit berdiri pada Zat Allah
Ta’ala yang menentukan segala perkara yang harus atau setengah yang
harus atas mumkin. Maka Allah Ta’ala yang selayaknya menghendaki
tiap-tiap sesuatu apa yang diperbuatnya. Umat Islam beriktiqad akan
segala hal yang telah berlaku dan yang akan berlaku adalah dengan
mendapat ketentuan daripada Allah Ta’ala tentang rezeki, umur, baik,
jahat, kaya, miskin dan sebagainya serta wajib pula beriktiqad manusia ada
mempunyai nasib ( bagian ) di dalam dunia ini.
9. ‘Ilmu : Artinya : Mengetahui
Maksudnya nyata dan terang meliputi tiap-tiap sesuatu sama ada
yang Maujud (ada) atau yang Ma’adum ( tiada ). Hakikatnya ialah satu
sifat yang tetap ada ( thabit ) qadim lagi azali berdiri pada zat Allah Ta’ala.
Allah Ta’ala Maha Mengetahui akan segala sesuatu sama ada perkara. Itu
tersembunyi atau rahasia dan juga yang terang dan nyata. Maka ’ilmu
Allah Ta’ala Maha Luas meliputi tiap-tiap sesuatu diAlam yang fana’ ini.4
10. Hayat . Artinya : Hidup
Hakikatnya ialah satu sifat yang tetap qadim lagi azali berdiri pada
zat Allah Ta’ala. Segala sifat yang ada berdiri pada zat daripada sifat Idrak
( pendapat ) Yaitu : sifat qudrat, iradat, Ilmu, Sama’ Bashar dan Kalam.
11. Sama’ : Artinya : Mendengar
Hakikatnya ialah sifat yang tetap ada yang qadim lagi azali berdiri
pada Zat Allah Ta’ala. Yaitu dengan terang dan nyata pada tiap-tiap yang
maujud sama ada yang maujud itu qadim seperti ia mendengar kalamnya
atau yang ada itu harus sama ada atau telah ada atau yang akan diadakan.
Tiada terhijab (terdinding ) seperti dengan sebab jauh , bising , bersuara ,
tidak bersuara dan sebagainya.

4
Syarah Al Aqidah Al Wasithiyah, hal. 98

4
12. Bashar : Artinya : Melihat
Hakikatnya ialah satu sifat yang tetap ada yang qadim lagi azali
berdiri pada zat Allah Ta’ala. Allah Ta’ala wajib bersifat Maha Melihat
sama ada yang dapat dilihat oleh manusia atau tidak, jauh atau dekat ,
terang atau gelap , zahir atau tersembunyi dan sebagainya. Firman Allah
Ta’ala yang bermaksud: ” Dan Allah Maha Melihat akan segala yang
mereka kerjakan “. ( Surah Ali Imran – Ayat 163)
13. Kalam : Artinya : Berkata-kata
Hakikatnya ialah satu sifat yang tetap ada , yang qadim lagi azali ,
berdiri pada zat Allah Ta’ala. Menunjukkan apa yang diketahui oleh ilmu
daripada yang wajib, maka ia menunjukkan atas yang wajib sebagaimana
firman Allah Ta’ala yang bermaksud : ” Aku Allah , tiada tuhan melainkan
Aku ………”. ( Surah Taha – Ayat 14 ) Dan daripada yang mustahil
sebagaimana firman Allah Ta’ala yang bermaksud : ” ……..( kata orang
Nasrani ) bahwasanya Allah Ta’ala yang ketiga daripada tiga……….”.
(Surah Al-Mai’dah – Ayat 73). Dan daripada yang harus sebagaimana
firman Allah Ta’ala yang bermaksud : ” Padahal Allah yang mencipta
kamu dan benda-benda yang kamu perbuat itu”. (Surah Ash. Shaffaat –
Ayat 96). Kalam Allah Ta’ala itu satu sifat jua tiada berbilang.
14. Kaunuhu Qadiran : Artinya : Keadaan Allah Ta’ala Yang Berkuasa
Mengadakan Dan Mentiadakan.
Hakikatnya Yaitu sifat yang berdiri dengan zat Allah Ta’ala, tiada
ia maujud dan tiada ia ma’adum , Yaitu lain daripada sifat Qudrat.
15. Kaunuhu Muridan : Artinya : Keadaan Allah Ta’ala Yang
Menghendaki dan menentukan tiap-tiap sesuatu.
Hakikatnya Yaitu sifat yang berdiri dengan zat Allah Ta’ala , tiada
ia maujud dan tiada ia ma’adum , Yaitu lain daripada sifat Iradat.
16. Kaunuhu ‘Aliman : Artinya : Keadaan Allah Ta’ala Yang
Mengetahui akan Tiap-tiap sesuatu.
Hakikatnya Yaitu sifat yang berdiri dengan zat Allah Ta’ala, tiada
ia maujud dan tiada ia ma’adum , Yaitu lain daripada sifat ‚Ilmu.

5
17. Kaunuhu Hayyun : Artinya : Keadaan Allah Ta’ala Yang Hidup.
Hakikatnya Yaitu sifat yang berdiri dengan zat Allah Ta’ala, tiada
ia maujud dan tiada ia ma’adum , Yaitu lain daripada sifat Hayat.
18. Kaunuhu Sami’an : Artinya : Keadaan Allah Ta’ala Yang Mendengar
akan tiap-tiap yang Maujud.
Hakikatnya Yaitu sifat yang berdiri dengan zat Allah Ta’ala, tiada
ia maujud dan tiada ia ma’adum, Yaitu lain daripada sifat Sama’.
19. Kaunuhu Bashiran : Artinya : Keadaan Allah Ta’ala Yang Melihat
akan tiap-tiap yang Maujudat ( Benda yang ada ).
Hakikatnya Yaitu sifat yang berdiri dengan zat Allah Ta’ala, tiada
ia maujud dan tiada ia ma’adum , Yaitu lain daripada sifat Bashar.
20. Kaunuhu Mutakalliman : Artinya : Keadaan Allah Ta’ala Yang
Berkata-kata.
Hakikatnya Yaitu sifat yang berdiri dengan zat Allah Ta’ala, tiada
ia maujud dan tiada ia ma’adum , Yaitu lain daripada sifat Kalam.

C. Melihat Allah
Kaum mukminin mengimani akan melihat Allah dengan mata kepala
sendiri di akhirat, termasuk salah satu wujud iman kepada Allah, kitab-
kitabNya dan rasul-rasulNya. Mereka akan melihatnya secara jelas, bagaikan
melihat matahari yang bersih, sedikitpun tiada terliputi awan. Juga bagaikan
melihat bulan pada malam purnama, tanpa berdesak-desakan. Demikian
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskannya dalam Al Aqidah
Al Wasithiyah . Dan ini merupakan kesepakatan Salafush Shalih Radhiyallahu
'anhum.5
Imam Ibnu Abi Al Izz Al Hanafi, pensyarah kitab Aqidah
Thahawiyah, menegaskan bahwa jelasnya kaum mukminin melihat Rabb-nya
pada hari akhirat nanti, telah dinyatakan oleh para sahabat, tabi’in, serta para
imam kaum muslimin yang telah dikenal keimaman mereka dalam agama.
Begitu pula para ahli hadits dan semua kelompok Ahli Kalam yang mengaku

5
Ibid hal. 82

6
sebagai Ahli Sunnah Wal Jama’ah.6 Mengapa demikian? Syaikh Shalih bin
Fauzan Al Fauzan, salah seorang ulama senior di Saudi Arabia, menjelaskan:
“Sebab Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memberitakan hal tersebut dalam
KitabNya ; Al Qur’an Al Karim. Begitu pula Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam pun telah memberitakannya dalam Sunnahnya. Barangsiapa yang tidak
mengimani kejadian ini, berarti ia mendustakan Allah, kitab-kitabNya dan
rasul-rasulNya. Sebab orang yang beriman kepada Allah, kitab-kitabNya dan
rasul-rasulNya, akan beriman pula kepada segala yang diberitakannya”. Dalil-
dalilnya, seperti yang dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah dalam Al Aqidah Al Wasithiyah
Dalil Dari Al Qur’an Al Karim Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
   
   
Artinya Wajah-wajah (orang-orang mu’min) pada hari itu berseri-
seri. Kepada Rabb-nya mereka melihat.. [Al Qiyamah : 22-23].

D. Kedudukan Al-Qur’an Dan Al-Hadis (Naqli) Dan (AQli)


Al-Qur’an sebagai kitab Allah SWT menempati posisi sebagai sumber
pertama dan utama dari seluruh ajaran Islam,baik yang mengatur hubungan
manusia dengan dirinya sendiri,hubungan manusia dengan Allah
SWT,hubungan manusia dengan sesamanya,dan hubungan manusia dengan
alam.
Para ulama Islam berpendapat bahwa hadis menempati kedudukan
pada tingkat kedua sebagai sumber hukum Islam setelah Al-Qur’an.Mereka
beralasan kepada dalil-dalil Al-Qur’an surah Ali-’Imran,3:132,surah Al-
Ahzab,33:36 dan Al-Hasyr,59:7,serta hadis riwayat Turmuzi dan Abu Daud
yang berisi dialog antara Rasulullah SAW dengan sahabatnya Mu’az bin Jabal
tentang sumber hukum Islam.

6
Ash-Shalah wa Hukmu Tarikhiha, Tahqiq: Bassam ‘Abdul Wahhab al-Jabi, Dar Ibni
Hazm, Cetakan I Tahun 1416 H, hal 78.

7
Fungsi atau peranan hadis (sunah) di samping Al-Qur’anul Karim
adalah: 1) Mempertegas atau memperkuat hukum-hukum yang telah
disebutkan dalam Al-Qur’an (bayan at-taqriri atau at-ta’kid). 2)
Menjelaskan,menafsirkan,dan merinci ayat-ayat Al-Qur’an yang masih umum
dan samar (bayan at-tafsir). 3) Mewujudkan suatu hukum atau ajaran yang
tidak tercantum dalam Al-Qur’an (bayan at-tasyri;namun pada prinsipnya
tidak bertentangan dengan Al-Qur’an.

E. Al-Qur’an Sebagai Kalamullah


Syaikh Abu Utsman Isma’il Ash-Shabuni berkata: “Ashhabul Hadits
bersaksi dan berkeyakinan bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah (ucapan
Allah), Kitab-Nya dan wahyu yang diturunkan, bukan makhluk. Siapa yang
menyatakan dan berkeyakinan bahwa ia makhluk maka kafir menurut
pandangan mereka. Al-Qur’an merupakan wahyu dan kalamullah yang
diturunkan melalui Jibril kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam
dengan bahasa Arab untuk orang-orang yang berilmu sebagai peringatan dan
kabar gembira, sebagaimana firman Allah ta’ala:
  
  
  
   
  
  

Artinya: “Dan sesungguhnya al-Qur’an ini benar-benar diturunkan
oleh Rabb semesta alam, dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), ke
dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara
orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas. (Asy-
Syu’ara: 192-195)
Al-Qur’an yang dihafal dalam hati, dibaca oleh lisan, dan ditulis
dalam mushaf-mushaf, bagaimanapun caranya Al-qur’an dibaca oleh qari’,
dilafadzkan oleh seseorang, dihafal oleh hafidz, atau dibaca dimanapun ia
dibaca, atau ditulis dalam mushaf-mushaf dan papan catatan anak-anak dan

8
yang lainnya adalah kalamullah-bukan makhluk. Siapa yang beranggapan
bahwa ia makhluk, maka telah kufur kepada Allah Yang Maha Agung.
Al-Imam Abu Bakar Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah berkata:
“Al-Qur’an adalah kalamullah-bukan makhluk. Siapa yang mengatakan Al-
Qur’an adalah makhluk, maka dia telah kufur kepada Allah Yang Maha
Agung, tidak diterima persaksiannya, tidak dijenguk jika sakit, tidak dishalati
jika mati, dan tidak boleh dikuburkan di pekuburan kaum muslimin. Ia
diminta taubat, kalau tidak mau maka dipenggal lehernya. Abu Ishaq bin
Ibrahim pernah ditanya tentang lafadz Al-Qur’an, maka Beliau berkata:
“Tidak pantas untuk diperdebatkan. ‘Al-Qur’an kalamullah-bukan makhluk “.
Imam Ahmad bin Hambal berkata: “Orang yang menganggap makhluk lafadz
Al-Qur’an adalah Jahmiyah, Allah berfirman:

ّ ‫فَأ َ ِج ْرهُ َحتَّى يَ ْس َم َع َكالَ َم‬


ِ‫للا‬
Artinya: “maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar
kalamullah’ (At-Taubah:6).

F. Kasab atau Usaha, Qadha Dan Qadar


Pengertian Qadha dan Qadar Menurut bahasa Qadha memiliki
beberapa pengertian yaitu: hukum, ketetapan,pemerintah, kehendak,
pemberitahuan, penciptaan. Menurut istilah Islam, yang dimaksud dengan
qadha adalah ketetapan Allah sejak zaman Azali sesuai dengan iradah-Nya
tentang segala sesuatu yang berkenan dengan makhluk. Sedangkan Qadar arti
qadar menurut bahasa adalah: kepastian, peraturan, ukuran. Adapun menurut
Islam qadar perwujudan atau kenyataan ketetapan Allah terhadap semua
makhluk dalam kadar dan berbentuk tertentu sesuai dengan iradah-Nya.
Firman Allah: Artinya: yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi,
dan Dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu bagiNya dalam
kekuasaan(Nya), dan dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia
menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya. (QS .Al-Furqan ayat
2).

9
Untuk memperjelas pengertian qadha dan qadar, berikut ini
dikemkakan contoh. Saat ini Abdurofi melanjutkan pelajarannya di SMK.
Sebelum Abdurofi lahir, bahkan sejak zaman azali Allah telah menetapkan,
bahwa seorang anak bernama Abdurofi akan melanjutkan pelajarannya di
SMK. Ketetapan Allah di Zaman Azali disebut Qadha. Kenyataan bahwa saat
terjadinya disebut qadar atau takdir. Dengan kata lain bahwa qadar adalah
perwujudan dari qadha.
Hubungan antara Qadha dan Qadar
Pada uraian tentang pengertian qadha dan qadar dijelaskan bahwa
antara qadha dan qadar selalu berhubungan erat . Qadha adalah ketentuan,
hukum atau rencana Allah sejak zaman azali. Qadar adalah kenyataan dari
ketentuan atau hukum Allah. Jadi hubungan antara qadha qadar ibarat rencana
dan perbuatan. Perbuatan Allah berupa qadar-Nya selalu sesuai dengan
ketentuan-Nya. Di dalam surat Al-Hijr ayat 21 Allah berfirman, yang artinya
sebagai berikut: Artinya ” Dan tidak sesuatupun melainkan disisi kami-lah
khazanahnya; dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran
yang tertentu.”
Orang kadang-kadang menggunakan istilah qadha dan qadar dengan
satu istilah, yaitu Qadar atau takdir. Jika ada orang terkena musibah, lalu
orang tersebut mengatakan, ”sudah takdir”, maksudnya qadha dan qadar.
Kewajiban beriman kepada dan qadar
Diriwayatkan bahwa suatu hari Rasulullah SAW didatangi oleh
seorang laki-laki yang berpakaian serba putih, rambutnya sangat hitam. Lelaki
itu bertanya tentang Islam, Iman dan Ihsan. Tentang keimanan Rasulullah
menjawab yang artinya: Hendaklah engkau beriman kepada Allah, malaekat-
malaekat-Nya, kitab-kitab-Nya,rasul-rasulnya, hari akhir dan beriman pula
kepada qadar(takdir) yang baik ataupun yang buruk. Lelaki tersebut berkata”
Tuan benar”. (H.R. Muslim).

10
BAB II
KESIMPULAN

Kesimpulan dari makalah ini yaitu Jadi, seseorang dapat dikatakan sebagai
mukmin (orang yang beriman) sempurna apabila memenuhi ketiga unsur
keimanan di atas. Apabila seseorang mengakui dalam hatinya tentang keberadaan
Allah, tetapi tidak diikrarkan dengan lisan dan dibuktikan dengan amal perbuatan,
maka orang tersebut tidak dapat dikatakan sebagai mukmin yang sempurna.
Sebab, ketiga unsur keimanan tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh dan
tidak dapat dipisahkan.

11
DAFTAR PUSTAKA

Jalaluddin As-suyuthy, 1997. Argumentasi As-Sunnah kontra atas penyimpangan


sumber hukum orisinal; terj. Saifullah, Surabaya, risalah Gusti.

M. Shiddiq Al-Jawi, 2005. Al-Insan (Jurnal Kajian Islam) Hadits Nabi Otentisitas
dan Upaya Destruksinya, Depok, Lembaga Kajian dan Pengembangan Al-
Insan.

Muhibbin, 1996. Hadis-hadis Politik, Yogyakrta, Pustaka Pelajar bekerjasama


dengan Lesiska’

Zainal Abidin Ahmad, 1975. Imam Bukhari pemuncak ilmu hadits, Jakarta, Bulan
Bintang.

12

Anda mungkin juga menyukai