Anda di halaman 1dari 6

FUNGSI VITAMIN D UNTUK PASIEN PENDERITA PSORIASIS PLAK KRONIS

RINGKASAN Latar Belakang. Vitamin D dapat memberikan efek-efek imunomodulator yang penting pada penderita psoriasis. Berlawanan dengan ukuran kadar vitamin D 25-hydroxy [25(OH)D], kadar hormon parathyroid (PTH) and kadar serum kalsium pada pasien penderita psoriasis dan hubungan-hubungannya dengan beberapa gambaran klinis yang relevan. Metode-metode. Penelitian cross-section dilakukan selama 1 tahun termasuk di dalamnya 145 pasien dengan psoriasis plak kronis, 112 pasien dengan rheumatoid arthritis (RA) dan 141 kontrol sehat. Kadar 25(OH)D, PTH dan serum kalsium diukur dalam laboratorium terpusat. Demografi, komorbiditas, tingkat keparahan penyakit dan waktu kontak dengan sinar matahari (yang ditanyakan dalam kuesioner) dikumpulkan. Hasil. Prevalensi defisiensi vitamin D [kadar 25(OH)D < 20 ng mL)] pada pasien psoriasis adalah 57,8% dibandingkan dengan 37,5% pada pasien RA dan 29,7% pada kontrol sehat (P < 0,001). Pada musim dingin, prevalensi defisiensi vitamin D meningkat menjadi 80,9% pada pasien psoriasis, menjadi 41,3% pada pasien RA dan menjadi 30,3% pada kontrol sehat (P < 0,001). Pasien psoriasis atau psoriatic arthritis kadar serum 25(OH)D maupun prevalensi defisiensi vitamin D-nya tidak berbeda. Dalam analisis regresi logistik, defisiensi vitamin D berkaitan dengan psoriasis secara terpisah dari segi usia, jenis kelamin, indeks massa tubuh, kadar kalsium, kadar PTH, dan waktu pengambilan sampel darah. Batasan bahwa rancangan penelitian tidak memungkinkan terbentuknya hubungan sebab akibat atau hubungan sementara antara defisiensi vitamin D deficiency dan psoriasis. Kesimpulan. Defisiensi Vitamin D mungkin umum terjadi pada pasien psoriasis, terutama pada musim dingin. Definisi defisiensi vitamin D masih banyak diperdebatkan. Sebagian besar setuju bahwa kadar serum 25-hydroxy vitamin D [25(OH)D] di bawah 20 ng mL (atau 50 nmol L) merupakan indikasi defisiensi vitamin D, yang telah lama dikenal sebagai kondisi patologis yang ditandai dengan lemah otot, rachitis atau osteomalacia. Defisiensi Vitamin D, yang ditandai dengan kadar serum 25(OH)D yang berkisar mulai dari 10 sampai 30 ng mL (2575 nmol L) tanpa gejala klinis yang jelas, telah menjadi masalah kesehatan yang signifikan. Defisiensi vitamin D sangat umum terjadi di Amerika Serikat dan Eropa dimana prevalensinya diperkirakan mencapai 5080% dalam populasi umum. Menentukan kadar serum 25(OH)D yang rendah atau kurang tergantung pada kadar yang didefinisikan normal. Pada ahli kesehatan menggunakan berbagai jalan pintas untuk definisidefinisi tentang kondisi optimal dan cukup. Lembaga Komite Obat-obatan menemukan 20 ng mL sebagai kadar yang diperlukan untuk kesehatan tulang yang baik untuk semua individual. Bukti signifikan menunjukkan bahwa vitamin D berperan penting dalam memodulasi fungsi sel dendrit dan mengatur proliferasi sel-T dan keratinosit. Data epidemiologis juga telah memastikan bahwa defisiensi vitamin D deficiency mungkin merupakan resiko untuk perkembangan penyakit autoimun termasuk rheumatoid arthritis (RA), berbagai sklerosis, erythematosus lupus sistemik and penyakit Crohn disease. Dalam penelitian ini, kami memperkirakan prevalensi defisiensi vitamin D pada pasien psoriasis plak kronis dan menganalisis hubungan vitamin D dengan gambaran-gambaran

klinis. Hasilnya menunjukkan bahwa defisiensi vitamin D deficiency mungkin umum terjadi pada pasien psoriasis, terutama pada musim dingin. Materi dan Metode Pasien Ini adalah penelitian cross-section yang melibatkan 145 pasien dewasa dengan penyakit psoriasis plak kronis (i.e. cases), 112 pasien RA dan 141 kontrol sehat. Pasien psoriasis direkrut dari pasien-pasien yang mengunjungi klinik rawat jalan Bagian Dermatologi di Rumah Sakit Universitas Verona (Verona, Italia) dan Rumah Sakit Universitas LAquila selama periode 1 tahun (dari bulan Desember 2009 sampai Desember 2010). Kontrol yang sehat direkrut dari pasangan atau keluarga pasien yang jika tidak menderita psoriasis, untuk meminimalisir perbedaan karena diet vitamin D. Pasien RA direkrut dari pasien yang mengunjungi klinik rawat jalan Bagian Rheumatologi Rumah Sakit Universitas Verona. Dasar untuk mengikutsertakan pasien RA adalah menggunakan kontrol dengan penyakit radang dengan mediasi imum kronis lain yang berkaitan dengan defisiensi vitamin D. Oleh karena itu, pasien RA adalah kontrol positif, kecuali populasi sehat (kontrol negatif). Diagnosis RA dipastikan oleh ahli rheumatologi yang berpengalaman berdasarkan kriteria American College of Rheumatology tahun 1987 yang telah direvisi. Yang termasuk kriteria untuk pasien psoriasis adalah diagnosis klinis psoriasis plak kronis (selesai kurang lebih 6 bulan) terpisah dari skor Psoriasis Area and Severity Index (PASI); dan tidak adanya pengobatan topikal atau sistemik, termasuk fototerapi dan/atau turunan vitamin D topikal, minimal selama 3 bulan sebelum pemeriksaan penelitian. Kasus-kasus dan kontrol-kontrol diambil jika usianya > 18 tahun. Pasien dengan psoriasis jenis lain (guttate, erythrodermic dan pustular psoriasis), pasien dengan penyakit radang usus secara bersamaan (misal, penyakit Crohn dan and radang usus besar yang sudah memborok) dan pasien yang menerima intervensi terapeutik yang mungkin mempengaruhi kondisi vitamin D, termasuk bifosfonat, kortikosteroid sistemik, suplemen vitamin D and kalsium, tidak diikutsertakan. Semua subyek berkulit putih. Evaluasi Klinis Semua subyek diwawancara dan diperiksa untuk mengumpulkan data mengenai usia, jenis kelamin, indeks massa tubuh (IMT), konsumsi alkohom dan kebiasaan merokok. Pengguna alkohol didefinisikan sebagai pasien yang sehari-harinya biasa mengkonsumsi alkohol. Perokok baru didefinisikan sebagai peserta yang merokok setiap hari atau yang telah berhenti merokok < 5 tahun sebelum perekrutan penelitian. Peserta yang tidak merokok adalah peserta yang telah merokok < 5-10 pak rokok selama hidup mereka atau yang telah berhenti merokok > 5 tahun sebelum perekrutan. IMT dihitung sebagai berat badan (kg) dibagi dengan tinggi badan (m) persegi. Variabelvariabel yang berkaitan dengan psoriasis meliputi durasi penyakit dan tingkat keparahan penyakit menurut PASI dan adanya psoriatic arthritis (PsA). Adanya PsA didiagnosis menurut kriteria CASPAR criteria. Pasien psoriasis didefinisikan sebagai penderita diabetes mellitus jika mereka sedang berobat hipoglikemia atau jika dokter telah memberitahu mereka bahwa mereka mengidap diabetes. Kasus-kasus dan kontrol-kontrol diwawancara mengenai penggunaan obat-obatan yang mempengaruhi metabolisme tulang, termasuk bifosfonat, kortikosteroid, suplemen kalsium dan suplemen vitamin D. Kasus-kasus dan kontrol diwawancara tentang menggunaan obat-obatan yang mempengaruhi metabolisme tulang, termasuk bifosfonat, kortikosteroid, suplemen kalsium dan vitamin D. Kontak dengan sinat matahari mulai dari bulan Maret sampai September (waktu kontak dengan sinar matahari) dihitung sebagai < 10, 1020, 2030 atau > 30 menit setiap hari.pasien dan kontrol diminta untuk mengisi kartu diet dalam setiap sesi.

Penilaian Lain Satu sampel serum dikumpulkan dari setiap subyek. Empat aliquots dikirimkan via pos berbentuk es kering ke laboratorium Universitas Verona dan disimpan pada suhu 800C sampai pengukuran hormon paratiroid (PTH), 25(OH)D dan kalsium dengan menggunakan peralatan ELISA (analisa imunosorben yang berkaitan dengan enzim) (IDS, St Joseph, MI, Amerika Serikat) dengan koefisien variasi antar analisa yang berkisar dari 5% sampai 15%. Pasien yang didiagnosis mengalami defisiensi vitamin D jika kadar serum 25(OH)D terukur < 20 ng mL atau 50 nmol L. Kadar serum 25(OH)D adalah indikator terbaik dari kondisi vitamin D secara keseluruhan karena ukuran ini menggambarkan vitamin D total dari diet dan kontak sinar matahari, juga konversi vitamin D dari cadangan adiposa dalam liver. protein Creaktif (CRP) diukur dengan nephelometer Behring (Messer Grisheim GmbH, Bad Soden, Jerman). Musim semi ditentukan sebagai waktu dalam satu tahun yang berkisar dari 21 Maret sampai 20 Juni; musim panas dari 21 Juni sampai 22 September; musim gugur dari 23 September sampai 20 Desember dan musim dingin dari 21 Desember sampai 20 Maret. Enam puluh lima dari 145 (47%) pasien psoriasis diambil sebagai sampel pada musim semi, 30 (21%) pada musim panas, 24 (16%) pada musim gugur dan 24 (16%) pada musim dingin. Kontrol sehat dan pasien RA diambil sebagai sampel kira-kira pada waktu yang sama seperti pasien psoriasis, tanpa perbedaan yang berarti antara jumlah pasien yang dijadikan sampel dalam 4 musim. Analysis Statistika Semua analisis dilakukan dengan menggunakan STATA 10.0 (StataCorp LP, College Station, TX, Amerika Serikat) dan GraphPad 4.0 (GraphPad Software, San Diego, CA, Amerika Serikat). Data dinyatakan dalam rata-rata (SD) atau persentase. Variabel-variabel menyimpang secara logaritma berubah untuk memperbaiki normalitas untuk tujuan statistika dan kemudian berubah kembali ke unit asalnya untuk presentasi dalam tabel-tabel dan gambar-gambar. Analisis statistika meliputi ANOVA (untuk variabel permanen) dan tes-v2 dengan koreksi Yates untuk kelanjutannya (untuk variabel kategori). Tes Pearson digunakan untuk mencari korelasi linier antara PASI dan kadar serum 25(OH)D. Tidak adanya hubungan antara defisiensi vitamin D dan adanya psoriasis dinilai dengan analisis regresi multivarian. Dalam model regresi biasa, usia, jenis kelamin, kebiasaan merokok, BMI, psoriasis, durasi psoriasis dan skor PASI juga termasuk dalam kovariat bebas. Nilai AP < 0,05 secara statistik dianggap signifikan. Hasil Karakteristik populasi penelitian dilaporan dalam Tabel 1. Pasien psoriasis usianya lebih muda dibandingkan pasien RA; mereka lebih banyak perokok dan peminum alkohol dan memiliki BMI yang lebih tinggi dibandingkan pasien RA dan kontrol sehat. Kadar 25(OH)D secara signifikan lebih rendah pada pasien psoriasis dibandingkan dengan kontrol sehat (P < 0,01), sedangkan antara pasien psoriasis dan pasien RA tidak ada perbedaan (P < 0.45) (Gbr. 1). Kadar serum rata-rata 25(OH)D adalah 19,3 10,8 ng mL pada pasien perempuan yang menderita psoriasis dan 21,2 11,5 ng mL pada pasien laki-laki (P < 0,3). Tidak ada perbedaan dalam kadar serum kalsium dan PTH diantara ketiga kelompok (P < 0,09 and P < 0,2, secara berturut-turut). Tidak ada perbedaan antara tiga kelompok dalam prevalensi pasien yang terkena sinar matahari > 30 menit per hari dari bulan Maret sampai September (P < 0,4). Prevalensi defisiensi 25(OH)D dalam tiga kelompok dilaporkan dalam Gambar 2. prevalensi pasien dengan defisiensi 25(OH)D lebih tinggi pada pasien psoriasis dibandingkan dengan

pasien RA (P < 0,01) dan kontrol sakit (P < 0,001) (Gbr. 2b). Seperti yang diperkirakan, kadar serum 25(OH)D bervariasi secara signifikan menurut musim selama pemgambilan sampel darah. Terutama pasien psoriasis, kadar serum 25(OH)D (ng mL) were 19,1 7,6 (rata-rata SD) pada musim semi, 27 14,5 pada musim panas, 20,1 12,6 pada musim gugur dan 16 10,5 pada musim dingin (P < 0,01). Jumlah pasien psoriasis dengan defisiensi vitamin D lebih tinggi selama musim dingin, misal 81% (17 dari 21 pasien) dibandingkan pada musim semi, misal 60% (39 dari 65 pasien), musim semi 37% (11 dari 30 pasien) dan musim gugur 58% (14 dari 24), P < 0,01 (Gbr. 2a). Selain itu, prevalensi defisiensi vitamin D pada musim dingin meningkat menjadi 41% pada pasien RA dan menjadi 30% dalam Gbr.1. kadar serum vitamin D 25-hydroxy [25(OH)D] pada kontrol sehat (bar putih), pasien psoriasis (bar abu-abu) dan pasien rheumatoid arthritis (RA) (bar bergaris). *P < 0,001 dibandingkan kontrol sehat.. Gbr 2. (a) Bagian of pasien psoriasis dengan defisiensi vitamin D dalam berbagai musim. *P < 0,01 dibandingkan musim gugur, semi dan panas. (b) jumlah subjek dengan defisiensi vitamin D *P < 0,001 dibandingkan kontrol sehat dan pasien rheumatoid arthritis (RA). 25(OH)D, 25-hydroxyvitamin D. Kontrol sehat (P < 0,001). Kadar serum rata-rata 25(OH)D pada pasien psoriasis (n = 86) sama dengan pasien psoriasis dan PsA simultan (n = 59) (21,3 11,6 vs. 19,7 10,8 ng mL; P < 0,4) dan juga prevalensi pasien dengan defisiensi vitamin D (54% berbanding 63%; P < 0,2). Data klinis dan biokimia pasien psoriasis distratifikasi dengan defisiensi vitamin D (n = 81) dilaporkan dalam Tabel 2. Seperti yang diperkirakan, kadar serum 25(OH)D secara signifikan lebih rendah pada pasien dengan defisiensi dibandingkan dengan pasien tanpa defisiensi (14,9 3,1 berbanding 46,5 28,1; P < 0,0001). Sebaliknya, tidak ada perbedaan dalam usia, jenis kelamin, kondisi merokok, BMI, prevalensi diabeter atau PsA, tingkat keparahan psoriasis dan kadar serum CRP, PTH dan kalsium antara dua kelompok. Dalam situasi tertentu, tidak ada hubunungan linier yang signifikan antara skor PASI dan kadar 25(OH)D. Dalam analisis regresi multivarian, defisiensi vitamin D berkaitan dengan adanya psoriasis [rasio kemungkinan (OR) 2,5; 95% interval konfiden (CI) 1,184,89; P < 0,01] di luar aspek usia, jenis kelamin, BMI, kadar kalsium dan PTH, dan musim selama pengambilan sampel (Tabel 3). Selanjutnya, defisiensi 25(OH)D berkaitan langsung dengan kadar serum PTH (OR 1,22; 95% CI 1,081,34; P < 0,04). Tabel 2 Karateristik klinis dan biokimia dari pasien penderita psoriasis plak kronis Discussion Penemuan utama dari penelitian ini adalah bahwa defisiensi vitamin D sangat sering terjadi pada pasien penderita psoriasis plak kronis dan pasien PsA. Penemuan ini lebih umum terjadi (yaitu 80% kasus) pada musim dingin, tetapi juga ditemukan pada musim panas kira-kira pada 50% pasien. Hubungan antara ketidakcukupan vitamin D dan psoriasis diperjelas dengan usia, jenis kelamin, BMI, sko PASI, PTH dan skor PASI dan musim dimana sampel serum diambil. Kami juga menemukan prevalensi defisiensi vitamin D yang tinggi pada pasien RA, seperti yang telah dilaporkan. Penemuan defisiensi vitamin D pada pasien psoriasis mungkin relevan karena beberapa alasan. Pertama, telah jelas bahwa defisiensi vitamin D adalah faktor resiko untuk osteoporosis dan meningkatkan resiko jatuh pada orang tua. Meningkatnya resiko pasien laki-laki penderita psoriasis yang mengalami osteoporosis difokuskan pada penelitian kontrol-kasus berbasis populasi luas yang dilakukan di Israel. Kedua, penelitian observasi dalam kelompok besar telah membuktikan hubungan yang

signifikan antara kadar rendah 25(OH)D dan meningkatnya resiko diabetes mellitus, sindroma metabolis dan mortalitas kardiovaskular. Selain itu, psoriasis sering kali berkaitan dengan kormobidias kardiometabolik dan dengan meningkatnya mortalitas kardiovaskular. Selanjutnya, kadar rendah vitamin D mungkin juga memiliki implikasi penting dalam patogenesis psoriasis. Vitamin D3 bekerja terutama pada reseptor vitamin D untuk mengatur pertumbuhan dan diferensiasi keratinosit, terutama juga berpengaruh pada fungsi imun dari sel-sel dendrit dan limfosit T. Vitamin D3 menghambat produksi interleukin (IL)-2 dan IL-6, menghambat transkripsi interferon-c dan faktor mRNA yang menstimulasi koloni granulositmakrofage, dan menghambat sel-sel T sitotoksik dan aktivitas sel pembunuh alami. Turunan vitamin D topikal, termasuk calcipotriol (calcipotriene) dan calcitriol, memiliki efek-efek imunomodulator pada monosit, makrofage, sel-sel T dan sel-sel dendrit. Tentu saja, turunan vitamin D topikal banyak digunakan sebagai monoterapi atau dikombinasikan dengan steroid untuk pengobatan psoriasis topikal. Selanjutnya, fototerapi meningkatkan kadar serum 25(OH)D pada pasien psoriasis dan telah diusulkan bahwa radiasi UV B dapat memediasi efek menguntungkannya pada radiation psoriasis juga dengan meningkatkan kadar vitamin D endogen. Suplementasi oral dengan vitamin D itu yang mungkin efektif dalam pengobatan psoriasis telah diusulkan beberapa tahun yang lalu. Selanjutnya, penemuan resolusi terbaru tentang psoriasis yang dipicu adalimumab pada wanita penderita RA setelah menggunakan vitamin D dosis tinggi untuk perawatan defisiensi vitamin D menimbulkan pertanyaan menarik mengenai kemungkinan penggunaan vitamin D dalam pengobatan psoriasis. Namun, jelas bahwa dibutuhkan bukti yang lebih nyata untuk menunjukkan bahwa kadar serum 25(OH)D < 20 ng mL pada pasien psoriasis secara patologi rendah, dan bahwa manfaat klinis dapat diperoleh dari suplementasi vitamin D. Tabel 3 Prediktor Bebas defisiensi 25-hydroxyvitamin D (n = 81) Beberapa kondisi mungkin mengakibatkan rendahnya kadar serum vitamin D dalam populasi umum, termasuk diet vitamin D yang buruk; menghindari sinar matahari dan/atau mengabaikan kontak dengan sinar matahari, kemungkinan juga berkaitan dengan terganggunya kualitas hidup, malabsorpsi karena penyakit radang usus besar, enteropati gluten, operasi perut, penyakit biliari, atau pertumbuhan bakteri usus kecil yang berlebihan; penggunaan obati anti serangan (misal phenobarbital atau phenytoin) dan penggunaan glukokortikoid dalam waktu lama. Alasan untuk prevalensi defisiensi vitamin D yang lebih tinggi pada pasien psoriasis belum jelas. Namun, kami dapat menghilangkan kemungkinan bahwa perbedaan ini berkaitan dengan beberapa kontak dengan sinar matahari diantara semua kelompok. Defisiensi vitamin D juga telah dialporkan dalam penyakit radang kulit kronis termasuk dermatitis atopik, vitiligo dan urticaria kronis. Peranan defisiensi vitamin D dalam perkembangan kondisikondisi ini juga telah diusulkan. Begitu terdeteksi, defisiensi vitamin D dapat dikoreksi, meskipun tidak ada bukti dari manfaat suplementasi vitamin D dalam menguransi peradangan dan/atau resiko penyakit otoimun insiden lainnya belum terbukti. Selanjutnya, regimen dosis optimal untuk vitamin D masih belum jelas. Umumnya, untuk setiap 100 IU vitamin D yang dikonsumsi, ada peningkatan kadar serum 25(OH)D sebesar 1 ng mL (3 nmol L). Sebagian besar percobaan yang menilai keefektifan suplementasi kadar 25(OH)D dan resiko patah atau jatuh telah menggunakan dosis harian vitamin D antara 400 dan 1000 IU. Toksisitas dari suplementasi vitamin D sangat jarang dan pada dasarnya menimbulkan hypercalcaemia akut, yang biasanya akibat dari dosis yang melebihi 10 000 IU per hari. Penggunaan kadar harian vitamin D tinggi yang masih dapat ditolerasi baru-baru ini telah ditentukan oleh Institute of Medicine sebesar 4000 IU.

Penelitian ini memiliki beberapa batasan. Pertama, rancangan penelitian cross-section tidak memungkinkan untuk menentukan hubungan temporal atau hubungan sebab akibat antara ketidakcukupan vitamin D dan psoriasis. Penelitian prospektif akan diperlukan untuk menyelesaikan masalah ini. Selanjutna, kami tidak menilai konsumsi harian vitamin D dalam makanan; namun, kami tidak mengikutsertakan pasien penelitian yang menerima suplementasi oral vitamin D atau obat-obatan yang mengganggu metabolisme kalsium. Selanjutnya, kami memutuskan untuk memilih pasangan pasien psoriasis sebagai kelompok kontrol untuk mengurangi perbedaan-perbedaan karena berbagai konsumsi diet vitamin D. kami memilih pasien RA yang tidak sesuai jenis kelaminnya karena prevalensi RA lebih tinggi secara signifikan pada wanita, sedangkan psoriasis memiliki prevalensi yang sama pada wanita maupun pria. Kesimpulannya, defisiensi vitamin D mungkin umum terjadi pada pasien psoriasis, terutama pada waktu musim dingin. Oleh karena itu, pasien dapat diperiksa secara rutin untuk ketidakcukupan vitamin D untuk manajemen yang lebih menyeluruh.

Anda mungkin juga menyukai