Anda di halaman 1dari 53

No.

26, 1982

Cermin Dunia Kedokteran


International Standard Serial Number : 0125913X Majalah triwulan diterbitkan oleh : Pusat Penelitian dan Pengembangan P.T. Kalbe Farma dan dipersembahkan secara cuma-cuma.

EDITORIAL
CERMIN

RENIK TETAPI MENYERAMKAN A R T I K E L

5 11 13

ASPEK PSIKIATRIK DALAM MASALAH NYERI KALSIUM DAN RASA NYERI PENANGGULANGAN NYERI SECARA TRADISIONAL NYERI PADA PENYAKIT KEGANASAN CATATAN KECIL TENTANG NYERI PENANGGULANGAN NYERI DENGAN AKUPUNKTUR NYERI DADA PADA PENDERITA PENYAKIT PARU CARA SEDERHANA UNTUK MENGHILANGKAN RASA NYERI SINDROMA OBSTRUKSI AKUT DARI VENA CAVA SUPERIOR PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF MENAHUN: Diagnosis dan Penanganannya

16
19

22 26
30 39

41

SEJARAH KEDOKTERAN
46 45 47 48 49
Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulis dan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga/bagian tempat kerja si penulis.

PANDEMI INFLUENZA 1918

PENGALAMAN PRAKTE K: Shock Anafilaktik Akibat Pemakaian


obat per oral

RESENSI BUKU : Kegawatan dan Kedaruratan Medik II; Kode Etik


Penelitian Kedokteran; Imunologi: Diagnostik & Terapi.

CATATAN SINGKAT

HUMOR ILMU KEDOKTERAN


RUANG PENYEGAR DAN PENAMBAH ILMU KEDOKTERAN ABSTRAK -ABSTRAK.

51

52

Tiada hewan yang tidak berontak bila disakiti. Tapi manusia memang aneh. Ada yang menjerit bila kesakitan, ada yang diam saja, sebagian lagi bahkan merasa nikmat, seperti kaum masochistik. Itu pola reaksinya. Terhadap persepsi nyeri itu sendiri juga ditemukan demikian banyak variasi. Ada orang yang telah merasa sakit dengan rangsang nyeri yang sedikit saja; di pihak ekstrim lain dapat dipertanyakan: apa yang dirasakan oleh seseorang yang mandi minyak mendidih (dalam keadaan trance)? atau yang tidur di atas paku-paku? Rasa nyeri masih tetap menjadi teka-teki, juga pada masa kini ketika dunia kedokteran telah merasa demikian maju. Namun sedikit demi sedikit bertumbuh juga pengertian kita akan rasa nyeri. Dan konsep-konsep pun datang silih berganti. Bila dulu analgesia akupunktur dianggap hanya sebagai efek " plasebo", kini ada data-data ilmiah yang menunjukkan mekanisme kerja akupunktur, yang diduga kuat di-mediasikan lewat endorphine (Baca artikel dr. Husniah R). Dan plasebo tidak hanya bekerja lewat "mekanisme kejiwaan", tapi juga di-mediasikan lewat endorphine! Jadi, anggapan dahulu itu tidaklah terlalu salah, hanya pengertiannya berbeda. Dalam fisiologi nyeri kini muncul konsep tentang peranan prostaglandin, cyclic AMP, dan ion kalsium. Yang terakhir ini perlu mendapat perhatian lebih banyak, karena kini muncul obat-obat baru yang berfungsi sebagai ahtagonis kalsium tersebut. Dr. DB Lubis akan mengawali serangkaian artikel dalam nomor ini dengan membahas aspek psikiatrik rasa nyeri. Ini kami tempatkan pada urutan pertama untuk menempatkan nyeri pada proporsi yang sebenarnya. Karena masih banyak medikus praktikus yang menangani rasa nyeri sebagai gejala neurofisiologik saja, padahal nyeri adalah respons total seorang individu.Penting untuk mengingat apa yang dikatakan dr. Lubis bahwa "pasien yang mengalami nyeri tadi (nyeri psikogen/nyeri yang dirasa-rasa saja) sesungguhnya menderita nyeri yang tidak berbeda kualitas maupun intensitasnya dari apa yang mau disebut 'nyeri asli'". Maka dalam artikel lain mengenai pengendalian nyeri kronik, ditegaskan juga bahwa hanya si pasienlah yang merasa nyeri, sehingga pendapat dokter, perawat, atau keluarganya mengenai tingkat rasa nyeri pasien itu perlu diletakkan pada proporsi yang sebenarnya - cuma dugaan saja. Artikel dr. B Suharto membahas hubungan antara kalsium dan rasa nyeri, agar kita tidak tertinggal jauh dalam perkembangan ilmu kedokteran. Dr. Soeparman untuk kesekian kalinya membahas "Penanggulangan nyeri secara tradisional", yaitu dengan pijitan jari yang disebutnya tactile treatment. Diterangkannya juga patofisiologi urat-urat yang nyeri, yang dapat disembuhkan dengan terapi ini (sedikit-dikitnya di tangan dokter ini). Dari segi klinik dibahas nyeri pada keganasan, oleh dr. Susworo. Keganasan selalu kita asosiasikan dengan nyeri hebat dan kematian, Di sini kita akan diajaknya untuk memahami lebih jauh perihal keganasan apa yang menimbulkan nyeri, efek psikologik dan fisiologiknya, patofisiologi, serta prinsip pengobatannya. Masih dalam segi klinik, dibahas juga nyeri pada penyakit paru, oleh dr. Amirullah; pembahasan yang amat menarik karena seringnya nyeri dada diasosiasikan dengan infark jantung dan kematian mendadak. Olehnya kita diajak untuk secara sederhana membeda-bedakan berbagai jenis penyakit paru yang menimbulkan nyeri. Penting untuk diketengahkan juga ialah "cara sederhana untuk menghilangkan nyeri", yang dibahas oleh dr. Amir S madjid dkk. Dengan jarum, semprit (spuit) dan obat anestesi lokal, banyak yang dapat kita lakukan untuk mengurangi penderitaan pasien. Selain itu dr. Widjanarko mengulas berbagai hal mengenai rasa nyeri. Dua artikel tambahan lainnya ialah Sindroma obstruksi akut vena cava superior (dr Susworo) dan penyakit paru obstruktif menahun (dr. Hadiarto). Silakan membacanya.

Cermin Dunia Kedokteran No. 26, 1982

CERMIN

Renik tetapi Menyeramkan


Perkembangan suatu segi dalam ilmu dan teknologi menurut pandangan seorang pesimis.
Dr. A.

Hadyana Pudjaatmaka

Pusat Penelitian & Pengembangan PT Kalbe Farma, Jakarta

Perkembangan ilmu dan teknologi dapat diibaratkan sebagai kebakaran hutan. Sektor-sektor silih berganti maju dan mandeg. Dewasa ini orang sependapat adanya dua mata tombak : elektronika dan bioteknologi. Jepang merumuskan strategi dasawarsa mendatangnya berdasarkan dua cabang yang sedang "in" ini pula. Tulisan ini bermaksud mengajak pembaca melongok sejenak perkembangan mata tombak kedua, dengan mengikuti kekhawatiran seorang pesimis. Bioteknologi ialah penerapan sistem, organisme maupun proses biologi dalam industri, baik industri yang menghasilkan barang maupun jasa. Jadi bioteknologi bukanlah teknik baru dalam peradaban manusia. Sudah lama orang membuat bir dan tempe. Kakus yang normal tak pernah meluap berkat proses mikrobiologi. Ringkasnya sejak dulu manusia bermain dengan bakteri, ragi, jamur maupun jaringan hidup tumbuhan dan hewan. Suatu bagian bioteknologi yang sangat aktif akhirakhir ini ialah teknik genetik (genetic engineering) yang bermanfaat bagi dunia kedokteran, pertanian, peternakan, industri obat maupun makanan. Untuk menyegarkan kembali, beberapa istilah perlu diulang sejenak. Kata kunci ialah gen, yakni satuan-satuan fisik kebakaan. Salah satu macam gen ialah gen struktural, yang terbentuk dari sejumlah asam nukleat, umumnya asam deoksiribonukleat (DNA). Makromolekul. DNA ini terdapat dalam inti sel. Pada umumnya material genetik selalu berupa molekul DNA yang berbentuk untaian rangkap, sehingga molekul raksasa ini tertentu bentuknya dan mirip tangga spiral. Tugas utama gen ialah menyimpan dan meneruskan kodekode kebakaan. Kode-kode ini dicerminkan oleh penataan asam-asam amino didalam DNA tadi. Penerusan kode ini dilakukan dengan 'mengkopi' DNA itu, sehingga mula-mula dihasilkan molekul beruntaian tunggal, yang disebut asam ribonukleat kurir (mRNA). Dalam teknologi pemuliaan tumbuhan dan hewan, manusia masih menggunakan kegiatan seksual mahluk obyeknya berdasarkan hukum Mendel dan diikuti dengan teknik seleksi. Dalam teknik genetik orang langsung membongkar-pasang DNA itu secara biokimia, membiakkan secara mikrobiologi yang dipadukan dengan teknik seleksi. Pada asasnya teknik genetik melalui tiga tahap penting : Pertama, isolasi atau sintesis gen yang mengemban pesan kebakaan yang diinginkan. Menyisipkan DNA itu kedalam molekul pengemban yang akan membawa DNA itu kedalam lingkungan baru. Disini DNA itu mengalami bongkar pasang sehingga akan

diperoleh DNA rekombinan. Tahap ketiga, DNA rekombinan ini ditanam dalam mikroorganisme tuanrumah, agar dapat tersintesiskan protein yang diinginkan. Dengan memilih bakteri E. coli, orang telah berhasil membuat bermacam-macam antigen, insulin dan beberapa hormon lain, dalam keadaan lebih murni dan biaya yang jauh lebih rendah daripada cara-cara yang dikenal sebelumnya. Dalam teknik memindahkan DNA dari sel yang satu ke sel yang lain, dikenal cara penguraian pintalan DNA (gene splicing --Jawa : ngudari gen), yang justru menimbulkan kengerian. Orang mengkhawatirkan bahwa didalam eksperimen coba-coba itu, terciptalah bakteri atau virus dengan sifat-sifat baru, yang kebetulan bersifat ganas luar biasa. Bila karena kekhilafan bakteri atau virus itu lolos keluar dari laboratorium, wah, bisa-bisa terjadi wabah baru yang menyamai wabah pes dalam abad 14 atau wabah flu tahun 1918 yang menewaskan 20 jutaan orang itu. Para peneliti DNA tidak lagi takut akan hal itu. Menciptakan mikroorganisme baru bukanlah pekerjaan yang mudah. Sekarang sangat diragukan apakah suatu mikroorganismebaru dapat tercipta oleh suatu kecelakaan atau kekhilafan. Tetapi bagaimana bila ada ilmuwan sinting yang berusaha keras untuk membuatnya ? Atau seorang tiran atau kelompok teroris yang memesan monster itu ? Anatomi seekor monster --Mikrobe monster itu dapat beranekaragam bentuk dan kemampuannya, namun agar betulbetul maut haruslah memenuhi beberapa persyaratan. Donald Louria dalam majalah The Futurist,Oktober 1981 mengemukakan spesifikasi sebagai berikut. Pertama, mikrobe itu harus dapat berkembang biak dalam saluran pencernaan manusia. Jadi harus mampu menggeser beberapa macam bakteri usus yang lazim. Sebagai alternatif, mikrobe itu harus dapat dihirup kedalam paru-paru. Tetapi ini lebih susah, mengingat rumitnya saringan menuju paru-paru. Kedua, mikrobe itu tidak menyolok bedanya dari flora usus, sehingga tidak menimbulkan kecurigaan. Ketiga, mikrobe itu tahan menghadapi segala antibiotika yang dikenal. Keempat, mikrobe ini memiliki lebih dari satu macam cara untuk menimbulkan kematian. Sebaiknya mikrobe itu mampu menghasilkan dua macam toksin sedemikian, sehingga setiap usaha menetralkan toksin pertama justru akan menggandakan efek toksin yang lain. Mampukah ilmuwan menciptakan mikroorganisme yang memenuhi persyaratan berat itu ? Ataukah kekhawatiran ini
Cermin Dunia Kedokteran No. 26, 1982 3

sekedar khayalan belaka ? Louria yakin bahwa penciptaan itu mungkin. Teknik genetik bukan saja sanggup memindahkan ciri-ciri kebakaan dari organisme yang satu ke organisme yang lain, tetapi juga sederetan perubahan genetik, sehingga organisme penerima akan memiliki tabiat ganda seperti yang dimaui oleh si ilmuwan. Keempat ciri tersebut diatas dapat dipusatkan dalam suatu organisme, yang aslinya jinak, melalui proses bertahap. Demikian kekhawatiran Ketua Departemen Kedokteran Preventif dan Kesehatan Masyarakat, New Jersey Medical School itu. Syarat pertama pada prinsipnya mudah dipenuhi dengan bakteri E. coli dan " memperbaikinya" agar memiliki banyak sekali pili.(semacam sungut) sehingga kuat melekat pada dinding usus dan dengan demikian mudah menggeser bakteri ' pribumi'. Kebetulan E. coli lazim berada dalam saluran pencernaan, sehingga syarat kedua sekaligus terpenuhi. Dalam dunia kedokteran dikenal proses pengebalan bakteri terhadap antibiotika. Proses ini berlangsung alamiah dalam saluran pencernaan manusia. Suatu cara ialah terjadinya transfer plasmid dari bakteri yang satu ke bakteri yang lain. Plasmid ialah bagian sel yang ternyata mampu membuat antibiotika menjadi tidak aktif. Ilmuwan telah mempelajari proses transfer ini secara artifisial. Dengan seleksi yang cermat adalah mungkin untuk memilih dan membiakkan bakteri E. coli yang telah dibuat kebal terhadap semua antibiotika yang dikenal. Bahkan mahasiswa pasca sarjana dapat mempelajari prosedur seleksi ini hanya dalam beberapa minggu saja. Tinggal syarat keempat. Sang ilmuwan memang harus bersusah payah untuk mempelajari literatur mengenai racun dan toksin, yang terdapat dalam tumbuhan, jamur, kacang-kacangan, bisa ular dan ikan. Terdapat ratusan yang bersifat mematikan atau melumpuhkan. Orang tinggal memilih sepasang diantaranya. Produksi alamiah racun-racun ini ternyata diatur oleh gen-gen mahluk yang bersangkutan, karena itu bersifat baka. Terlalu panjang tulisan ini untuk mengupas keampuhan beberapa racun. Tetradotoksin, risina dan akonitina cukup cepat menewaskan siapa yang mencernanya, dan toksintoksin ini dikenal belum memiliki penawar yang cespleng. Jamur Fusarium sporotrichoides dikenal memproduksi sejenis toksin yang tahan asam, basa maupun suhu tinggi. Pada tahun 1913 beberapa desa di Rusia punah karena penduduknya memakan gandum berjamur.
4 Cermin Dunia Kedokteran No. 26, 1982

Demikianlah dapat dibayangkan seorang ilmuwan sinting berhasil memproses bakteri E. coli sehingga dapat melekat lebih kuat pada dinding usus dan mampu menggeser mikrobe lain dari situ, tahan terhadap pelbagai antibiotika, secara baka menghasilkan sepasang toksin maut yang tak mengenal penawar. Maka Escherichia coli ini akan merupakan jazad renik yang menyeramkan, benar-benar sekelompok monster yang ganas. Terserah khayalan pembaca untuk menyusun skenario, bagaimana sekelompok teroris akan menggunakan hasil karya sang ilmuwan untuk memeras dunia. Ingat saja Proteus ceritera bersambung dalam harian Kompas beberapa waktu yang lalu. Pembaca, ini tadi baru impian buruk seorang pesimis. Sebenarnya teknik genetik telah dan akan sangat bermanfaat bagi kesejahteraan manusia. Pada penutupan abad ini diperkiraka ada 500 zat (obat, hormon, vaksin, dll.) yang dapat diproduksi besar-besaran dalam keadaan sangat murni. Produksi ini hanya mungkin dengan teknik genetik ini . Saya tidak tahu sejauh mana universitas-universitas kita berkecimpung dalam bidang biologi molekular dan teknik genetik ini, khususnya mereka dalam bidang kedokteran, farmasi, biologi dan biokimia. Yang jelas di Jakarta orang-orang Jepang telah menjajakan produk bioteknologinya untuk dijadikan bahan baku obat. Jika kita memang belum apa-apa, maka dalam sektor ini nasib kita tidak banyak berbeda dengan nasib kita dalam mata tombak yang lain, elektronika, yakni sekedar mengkonsumir atau paling-paling menjadi perakit.

Kedokteran adalah satu-satunya profesi yang tak henti-hentinya berusaha menghancurkan alasan/dasar bagi eksistensinya sendiri John Bryce

artikel Aspek Psikiatrik dalam Masalah Nyeri


Dr. D. Bachtiar Lubis Bagian ilmu Kedokteran Jiwa, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; Klinik Neurosis, Unit Psikiatri RSCM, Jakarta.

Nyeri adalah salah satu di antara keluhan utama yang menggerakkan seseorang untuk datang pada dokter. Lazimnya, nyeri dipandang sebagai hal neurofisiologik: suatu rangsang berasal dari cedera jaringan kena pada reseptor tepi, impuls disalurkan melalui saraf dan tiba dalam susunan saraf pusat, dan disana pengolahannya menghasilkan penghayatan " nyeri". Pengobatan atau pengendalian nyeri biasanya juga didasarkan atas pandangan itu, yaitu meniadakan sumber rangsang pada reseptor tepi, atau intervensi dalam jalur transmisi impuls, atau supresi persepsinya di pusat. Pandangan itu disertai anggapan, bahwa hebatnya nyeri yang dihayati (yang "dirasakan " ) adalah proporsional dengan kerasnya stimulus asalnya. Anggapan ini ternyata tidak ditunjang sepenuhnya oleh pengalaman dalam praktek, seperti misalnya khasiat placebo terhadap rasa nyeri, adanya lesi yang meluas tanpa rasa nyeri, adanya nyeri tanpa lesi, nyeri yang dapat dibangkitkan atau dihilangkan dengan hipnosis, pengurangan nyeri dengan mengalihkan perhatian atau dengan menyempitkan kesadaran, peningkatan rasa nyeri dalam keadaan kecemasan dan pengurangannya jika stimulus itu sudah "terbiasa", dan pengaruh faktor-faktor budaya atas perasaan dan tingkah-laku nyeri. Suatu definisi tentang nyeri seharusnya meliputi kenyataankenyataan tersebut tadi, dan memperlihatkan bahwa rangsang pada reseptor perifer tidak merupakan hal yang diperlukan maupun hal yang mencukupi untuk membangkitkan rasa nyeri. Telah ada pelbagai ikhtiar untuk menyusun definisi tentang nycri, dan untuk menentukan apakah "nyeri" itu pada hakekatnya. Sternbach (1) memperhatikan, bahwa - disamping pelbagai hal yang dapat dikemukakan mengenai sifatsifatnya - nyeri merupakan sesuatu abstraksi yang menandakan bermacam-macam perasaan yang berbeda-beda, sedangkan kesamaannya terletak hanyalah pada kualitasnva sebagai cedera fisik. la mengemukakan juga, bahwa perkataan (" nyeri") itu kadang-kadang digunakan untuk menggambarkan stimulusnya yang membangkitkan perasaan itu; lagipula, akhir-akhir ini perkataan itu digunakan untuk menunjukkan pada jenis perilaku tertentu (reflektorik, fisiologik, volunter, ataupun verbal) - yaitu " respons nyeri". Konsep respons nyeri berguna sebagai definisi operasional bagi tujuan eksperimental dan evaluasi klinik objektif.

Pertimbangan sejarah Dalam sejarah, pada mulanya nyeri dipandang pada hakekatnya sebagai hal emosional, sebagai sesuatu "nada perasaan batin", seperti "nikmat" atau "sedih" juga merupakan nada perasaan batin. Nyeri dikaitkan dengan sifat-sifat kepribadian, orang yang " kuat", pahlawan, tidak merasa nyeri - orang yang "lemah ", yang lekas takut, mengalami nyeri. Dengan bertumbuh dan bertambahnya ilmu pengetahuan mengenai struktur dan fungsi tubuh, neurologi dan neurofisiologi mendesak untuk meninggalkan pandangan-pandangan tersebut, dan berhasil menanamkan anggapan bahwa nyeri merupakan fenomen sensorik. Kemudian timbul banyak minat dan usaha untuk menerangkan nyeri dari segi neurofisiologik dan untuk memahami nyeri dalam klinik atas dasar pengetahuan yang dikumpulkan secara demikian. Lalu memang dicapai banyak kemajuan dalam pengertian tentang hal nyeri, namun tetap sukar untuk mendefinisikannya. Belum ditemukan suatu model teoretik yang dapat meliputi observasi eksperimental dan klinik. Misalnya, ada kenyataan bahwa stimulus yang membangkitkan rasa "nikmat" tidak ada bedanya yang fundamental - dari segi proses-proses biokimiawi dan neurofisiologik -- dibanding dengan stimulus yang membangkitkan rasa "nyeri". Deferensiasi penghayatan kualitatif antara nyeri atau nikmat (pain or pleasure) rupa -rupanya berada pada tingkat persepsional yang lebih tinggi dan bukan berdasarkan kualitas ataupun kuantitas stimulus perifer itu sendiri maupun proses-proses biokimiawi dan neurofisiologik yang dipacu olehnya. Namun, jika pasien mengeluh tentang nyeri, maka yang diperhatikan oleh klinikus ialah biasanya lebih dulu " komponen perifer". Komponen itu yang dipandang lebih konkret, sedangkan "faktor-faktor psikologik" adalah bukan hanya jauh lebih kompleks melainkan juga sukar untuk dinilai dan dicatat secara tepat; selain itu, faktor - faktor tersebut dapat diberi arti dan tafsiran bermacam-macam tergantung dari situasi, orientasi pemeriksa, dan variabel lain-lain. Hal "perifer", yang meliputi lokasi, intensitas, luasnya, lamanya, frekuensinya, faktor stimulatif ekstern, dan deskripsi kualitatif subjektif (rasa tersayat , regang, tertusuk, terbakar, terjepit, dan sebagainya) dapat diamati dan dicatat dengan cermat. Jika data ini
Cermin Dunia Kedokteran No. 26, 1982 5

dipakai sebagai pegangan untuk mengadakan langkah-langkah terapeutik, maka hasilnya biasanya cukup memuaskan yaitu, nyeri dapat dihentikan setidak-tidaknya untuk sementara waktu. Pengalaman ini menambah kepercayaan, bahwa kita telah menjalani cara yang tepat untuk melacak sumber nyeri pada pasien kita sehingga kita mampu menghentikannya dengan intervensi terapeutik kausal ataupun simptomatik. Bukannya faktor emosional sampai diabaikan: banyak klinikus dengan mudah dapat mengenal faktor emosional -- atau "pengaruh psikologik " - yang mewarnai gambaran klinik pada pasiennya yang mengeluh tentang nyeri. Tetapi sukar penentuan proporsinya dan hubungan sebabakibat antara segi psikologik dengan fenomen sensorik yang lebih konkret. Menuju penyusunan definisi Sekalipun ada banyak kemajuan dalam pendidikan kedokteran, masih juga dihadapi banyak kesulitan dalam mengajar segi psikososial dalam ilmu kedokteran dan pemahaman hubungan psikosomatik dan somatopsikik. Pendidikan kedokteran yang masih lazim dilaksanakan dewasa ini belum berhasil menghindarkan konsep dualistik soma-psike yang masih banyak bertahan dalam praktek klinik. Ini tentu menghambat pembentukan model-model konseptual yang mungkin sangat berguna untuk memahami dan mengobati kasus-kasus yang kompleks yang dijumpai dalam praktek, terutama pasien yang senantiasa atau berkali-kali mengeluh tentang nyeri, berkalikali berusaha untuk menyembuhkannya, dan dokter tidak berhasil menemukan sesuatu kelainan organik yang sepadan dengan keluhan nyeri itu. Engel (2) menyusun definisi tentang nyeri, yang memperhitungkan bahwa rangsang pada reseptor perifer tidak merupakan kondisi yang perlu maupun kondisi yang mencukupi untuk menimbulkan nyeri:
Nyeri adalah sesuatu penghayatan yang pada asasnya tidak menyenangkan, dan dirasa bersangkutan dan bersumber pada tubuh, dan sesuai dengan penderitaan yang ditimbulkan oleh suatu penyadaran psikik mengenai cedera yaitu cedera yang real, cedera yang mungkin teriadi, ataupun cedera yang dibayangkan.

hasa" (organik dan psikologik) yang sejajar yang merujuk pada fenomen yang sama (lib. Graham [5] mengenai parallelisma linguistik). Oleh karena itu, panting bagi dokter untuk jangan mengabaikan atau meremehkan nyeri psikogen dengan menyebutnya sebagai " nyeri imaginer" , atau " nyeri yang dirasa-rasa saja " . Pasien yang mengalami nyeri tadi sesungguhnya menderita nyeri yang tidak berbeda kualitas maupun intensitasnya dari apa yang mau disebut "nyeri asli". Semu a nyeri, sejauh pasien memang merasa dan menghayatinya, adalah gejala sungguh, dan patut diperhatikan dan diteliti secara serius. Karakteristik pasien Keluhan mengenai nyeri tentu banyak dijumpai dalam praktek dokter, dan biasanya sebagai salah satu di antara beberapa gejala dari kondisi sakit yang diderita oleh pasien. Dalam hal demikian, nyeri itu tidak merupakan problematik tersendiri; nyeri menghilang bersama dengan kondisi sakit yang telah diobati dengan baik, atau nyeri dapat diatasi dengan pengobatan simptomatik. Pasien yang menghadapi dokter dengan problematik nyeri adalah biasanya pasien dengan keluhan nyeri menahun. Pasien seperti ini memang merupakan hanya sebagian kecil dari pengunjung praktek dokter; tetapi, jika ada,mereka menuntut banyak waktu dan kesabaran dari dokternya, dan menimbulkan banyak frustrasi bagi diri-sendiri, bagi keluarganya, maupun bagi dokternya. Keluhannya adalah biasanya mengenai nyeri yang berlokalisasi di sistem otot-tulang, paling banyak di daerah lumbo-sakral dan cervikal; ada juga yang mengeluh tentang nyeri kepala atau alat-alat tubuh lainnya. Seringkali nyeri itu dirasa "memancar " ke daerah bersebelahan. Kualitasnya berbagai rupa, dan dapat disertai kesemutan, rasa kebal setempat, dingin, atau panas. Pengobatan dengan medikasi, misalnya analgetika (apalagi kalau ini "obat baru"), menghasilkan peringanan yang menyolok. Dokter akan senang hati melihat bahwa ia berhasil menolong pasien ini; apalagi kalau pasien menyatakan bersyukur bertemu dengan dokter ini, karena dari sekian banyak dokter yang telah dikunjungi baru dokter inilah memahami benar penyakitnya dan memberi obat yang tepat. Tetapi dokter yang berpengalaman sudah tahu (dan yang belum berpengalaman mungkin tidak tahu ) bahwa dokter-dokter yang berganti-ganti sudah mengobati pasien ini sebelumnya mencapai hasil yang kurang-lebih sama: mulamula nyeri dan keluhan-keluhan lain berkurang bahkan sampai lenyap secara menyolok, tetapi setelah beberapa minggu timbul kembali. Ini mungkin akan mendorong sang dokter untuk menambah dosis atau mengganti medikasi; mungkin ia akan mengadakan pemeriksaan-pemeriksaan laboratorium, radiologik, dan lain-lain yang lebih mendalam, hal mana barangkali sebelumnya sudah pernah - berulang kali dilakukan; pasien setuju menjalani pemeriksaan-pemeriksaan itu, seringkali malah memintanya. Barangkali dokter akan menganjurkan fisioterapi biarpun berkepanjangan dan hasilnya minimal. Adakalanya dokter menganjurkan pembedahan, atau pembedahan ulang jika pasien sudah pernah dibedah. Berhadapan dengan pasien semacam ini, banyak dokter memang dalam hati kecilnya tahu, bahwa usaha-usaha tersebut akan sia-sia, tetapi tetap mengharapkan barangkali

Dalam karya Merskey & Spear (3) termuat suatu definisi operasional tentang nyeri : "an unpleasant experience which we primarily associate with tissue damage, or describe in terms of tissue damage, or both " . Dapat dilihat dari definisi tersebut tadi, bahwa ia dapat berlaku bagi "nyeri organik" , "nyeri psikogen", dan setiap kombinasi antaranya. Khususnya pada pasien dengan nyeri khronik pembedaan antara komponen organik dan psikogen seringkali sangat sukar; namun biasanya juga tidak diperlukan untuk membedakannya, karena penanganan terapeutiknya pada hakekatnya adalah sama. Maka beberapa penulis, a.l. Szasz (4), menganjurkan untuk jangan terlalu mempersoalkan pembagian fenomen nyeri dalam golongan somatogen dan psikogen, sebab nyeri adalah suatu penghayatan individual, bukan sesuatu yang " bersangkutan dengan tubuh organik " di satu pihak dan "bersangkutan dengan kejiwaan " di pihak lain. Jika gejala nyeri pada seorang pasien dijabarkan dengan istilah organik atau istilah psikologik, kita sebenarnya tidak mengemukakan dua jenis nyeri; kita hanya menggunakan dua "ba6 Cermin Dunia Kedokteran No. 26, 1982

saja ada sesuatu penemuan dalam pemeriksaan lanjutan itu yang dapat menjadi pegangan diagnostik, betapa pun kecil signifikansi penemuan itu; barangkali saja sesuatu obat kebetulan akan meringankan penderitaan pasien ini secara permanen. Untuk sekian waktu dokter mengikuti desakan pasien untuk menjalani pemeriksaan-pemeriksaan seterusnya dan pelbagai pengobatan, sampai pada suatu saat pasien mencari dokter lain. Sebelumnya dokter sudah mengharap-harapkan agar pasien pergi ke dokter lain saja, dan ia tidak terlalu menyesal apabila pasien akhirnya meninggalkannya untuk mencari sumber pertolongan yang lain. Dokter pada umumnya memperoleh kepuasan dalam pekerjaannya jika ia melihat pasien-pasiennya menjadi sembuh. Pasien yang khronik dan tak sembuh-sembuh dapat menjadi sumber frustrasi profesional; khususnya pasien yang sangat mengeluh tentang nyeri, namun rupa-rupanya tak sanggup untuk " melepaskannya " . Pasien sering memberi kesan seolaholah ia "berpegangan " atau "bergantungan " pada nyerinya. Jika diteliti dengan cermat, maka sebab-sebab nyeri pada pasien itu sebenarnya tidak diketahui oleh dokter. Apabila ditemukan trauma atau penyakit yang mendahuluinya, maka trauma atau penyakit itu sebenarnya tidak mencukupi untuk menerangkan adanya nyeri sekarang, karena trauma terlalu ringan atau terjadinya terlalu jauh di masa lampau. Dalam hal ini, terapi yang diberikan mungkin juga tidak adekuat, dan adakalanya dapat mengkomplikasi bukan memperbaiki situasinya. Desakan dari pihak pasien, agar dokter menjelaskan dari mana datangnya nyeri itu, kadang-kadang memaksa dokter untuk memberikan sesuatu keterangan yang sebenarnya tidak berdasarkan data medik yang realistik: kata dokter kepada pasien, bahwa nyeri itu disebabkan karena kekurangan zat kapur, karena saraf kurang kuat, karena peredaran darah kurang lancar, karena saraf terjepit oleh tulang, dan sebagainya. Keterangan-keterangan tersebut pada pasien yang bersangkutan tidak ditunjang (atau tidak ditunjang secukupnya) oleh data-data diagnostik maupun teori medik, melainkan diajukan untuk menembus dilemma yang dihadapi oleh dokter dan pasien pada waktu itu. Akibat yang kurang baik ialah, bahwa "keterangan " itu menjadi dasar untuk sesuatu terapi; pasien dapat berpegangan teguli pada " keterangan" itu, dan menyangka bahwa itulah sesungguhnya penyebab kesengsaraannya dan tidak lagi mempertimbangkan kemungkinan dan langkah lain. Dalam kasus yang karakteristik, bukan hanya tidak tercapai hasil terapeutik yang memuaskan. Ada pun kerugian emosional, karena hubungan antara dokter dengan pasien menjurus pada kekecewaan satu dengan yang lain, yang tak jarang disertai pula berkurangnya simpati satu dengan yang lain. Yang paling rugi adalah pihak pasien, yang akan mencari dokter lain dan polanya akan berulang kembali baginya. Nyeri akut dan khronik Sindrom nyeri seringkali mempunyai masa awal yang bersifat akut. Kekeliruan diagnosis berakibat kekeliruan terapi, sehingga kondisinya tidak teratasi dengan baik, nyeri menetap, dan lama-kelamaan menjadi khronik. Makin khronik, makin " tertanam " gejala-gejalanya, dan terbentuk pula suatu perangai psikologik dan sosial "adaptatif" yang meliput nyeri itu,

sehingga makin sukarlah untuk mengatasinya. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk menentukan diagnosis yang tepat sedini mungkin dalam perkembangan sindrom nyeri. Jika nyeri yang diobati berdasarkan sesuatu diagnosis tidak memberi respons yang diharapkan, maka tidak selalu bijaksana untuk lebih mengintensifkan dan lebih memperpanjang medikasi dan pemeriksaan-pemeriksaan dalam rangka diagnosis yang telah ditentukan semula; mungkin diagnosis itu sendiri perlu diubah. Jelaslah, bahwa misalnya nyeri radikuler di lengan yang bersangkutan dengan kelainan discus disembuhkan dengan sempurna dengan pembedahan. Neuralgia trigeminal, dan lainlain nyeri di daerah facial, memerlukan penelitian yang cermat, karena diagnosis dan terapi yang tepat dapat berhasil sangat memuaskan, sedangkan kekeliruan dapat berakibat buruk; misalnya, destruksi akibat terapi pada sistem trigeminal dapat menimbulkan anaesthesia dolorosa yang jauh lebih buruk dibanding dengan nyeri semula yang mau diobati. Nyeri kepala (cephalgia) seringkali tidak diberi perhatian diagnostik yang sepantasnya, barangkali karena "sakit kepala " adalah hal yang terlalu "biasa " dan seringkali nampaknya bersangkutan dengan situasi hidup; lagipula banyak yang bersifat sementara, diffus, tak berlokalisasi tegas. Namun, nyeri kepala yang psikogen dapat merupakan tanda hypochondriasis. Sebaliknya, ada pula nyeri kepala yang lama dipandang "psikogen" dan kemudian ternyata bersangkutan dengan tumor atau kelainan vaskuler. Pemeriksaan pasien yang menderita nyeri Kekeliruan diagnostik tidak selalu mudah dihindarkan, namun kemungkinan itu dapat dibatasi dengan mengingat halhal tertentu sewaktu pemeriksaan: menentukan dengan cermat lokalisasi, sifat, frekuensi, saat permulaan, faktor-faktor stimulatif (jika ada), perluasan atau route penyebarannya; mempelajari respons total individu itu terhadap nyeri yang dikeluhkan (apakah pasien nampak kuatir, sedih, takut, pasrah, indiferen, melawan rasa sakit, panfic, demonstratif, dan sebagainya ); mempelajari efek nyeri itu terhadap relasi antara individu dengan lingkungannya (apakah terjadi isolasi atau pemanjaan, pasien menjadi lebih tergantung, lebih banyak menuntut, atau lebih banyak berkorban dan merasa bersalah, dan sebagainya); hindarkan " selektivitas " dalam menilai dan memberi arti pada semua masukan (data) yang diperoleh; jangan mengerahkan kegigihan yang khusus untuk memantapkan diagnosis dengan lebih mementingkan data tertentu sedangkan kurang memperhitungkan data yang lain. Biasanya data "organik" diperhatikan secara cukup diskriminatif dan spesifik, sedangkan data psikososial "digabung" saja dengan sebutan "tekanan hidup" hendaknya data psikososial pun dinilai secara diskriminatif dan spesifik. Nyeri selaku nyeri per se bukanlah sesuatu fenomen organo-biologik atau fenomen "psikologik " , melainkan merupakan suatu respons individu total, suatu ekspresi-yang meliputi sikap terhadap ancaman hidup, ekspektasi dalam relasi dengan lingkungan dan diri sendiri, penilaian-diri dan hargadiri. Nyeri per se dapat dikatakan lebih menyerupai suatu
Cermin Dunia Kedokteran No. 26, 1982 7

"respons penghayatan" dan "respons behavioral" total, daripada merupakan suatu " gejala " , dengan demikian ada banyak kesamaannya dengan anxietas. Karena itu pun, komprehensivitas pemeriksaan penderita nyeri mempunyai paralel dengan pemeriksaan penderita anxietas. Ini juga berlaku bagi kornprehensivitas terapinya. Kita lihat, misalnya, bahwa doktcr mempunyai penilaian sendiri mengenai intensitas nyeri yang "sesungguhnya" pada pasiennya, yang tidak didasarkan semata-mata pada laporan pasien sendiri (pasien dapat mengatakan bahwa ia "merasa sangat nyeri", sedangkan dokter mempunyai kesan bahwa "nyeri itu sesungguhnya tidak begitu hebat" - dan sebaliknya). Rupa-rupanya dokter menggunakan secara sadar atau tak-sadar kesan-kesan mengenai keseluruhan perilaku pasien itu untuk menilai nyeri. Penilaian yang mutlak "objektif" tidak mungkin; "perasaan" dokter sendiri harus diturutsertakan untuk menilai nyeri dan membuat evaluasi yang bermakna untuk diagnostik. Tetapi komponen "empatik" ini yang - di satu pihak diperlukan dalam evaluasi diagnostik, dapat pula di pihak lain "mempengaruhi" sikap dokter terhadap pasiennya. Ia dapat beranggapan bahwa nyeri itu dilebihlebihkan atau diremehkan oleh pasiennya, atau bahwa nyeri itu "psikogen" (dalam arti "bukan sungguh") atau "sekunder", sehingga sikapnya menjadi kurang simpatik atau bahkan punitif hal mana akan dicerminkan dalam medikasinya; misalnya, obat analgetik diberi dalam dosis terlalu besar atau terlalu kecil. Fenomen ini dalam hubungan dokter.pasien cukup dikenal dalam praktek psikiatrik dengan pasien yang menderita anxietas dan pelbagai bentuk derivat anxietas. Seringkali agak sukar untuk dibedakan dari segi behavioral maupun kognitif apa yang dirasakan oleh pasien sebagai " nyeri " dan apa yang dirasanya sebagai "ketakutan", yang terbaur dalam satu modalitas perasaan atau ekspresi behavioral yang secara global disebut "nyeri" saja. Agitasi, misalnya; apakah itu merupakan indikator bagi intensitas anxietasnya atau intensitas nyerinya? Agitasi bisa timbul menyertai nyeri yang hebat; tapi malah lebih sering bila nyeri itu berkurang sebagian. Obat-obat yang mengendalikan agitasi, oleh pasien yang satu dirasakan lebih nieringankan anxietas daripada meringankan nyerinya sedangkan oleh pasien lain dirasakan lebih meringankan nyerinya. Kurang-lebih serupa dengan kasus anxietas, maka pengendalian yang adekuat terhadap nyeri memerlukan kerjasama dengan pasien dan kepercayaannya yang optimal. Dipihak lain, pengendalian nyeri (pain control) yang baik akan juga menghasilkan kerjasama dan kepercayaan. Nampaknya, terapi sindrom nyeri menjadi sesuatu "dinamik" dalam hubungan dokter dengan pasien. Sepatah dua patah kata perihal berkembangnya ketergan tungan obat, yang seringkali bertitik-awal dari sesuatu terapi terhadap nyeri. Banyak dokter dan pasien kuatir bahwa pemberian analgetika dan/atau narkotikayang mula-mula atas indikasi nyeri-dapat atau akan menjurus pada adiksi. Tetapi perlu diperhatikan, bahwa besar-kecilnya kemungkinan adiksi terutama bersangkutan dengan dua hal: pertama, apakah pengobatan adekuat. Pengobatan yang tidak adekuat ialah medikasi dengan obat yang kurang tepat atau dengan dosis yang terlalu kecil atau terlalu besar; pengobatan ini jika diberikan melampaui
8 Cermin Dunia Kedokteran No. 26, 1982

jangka waktu tertentu meningkatkan bahaya terjadinya adiksi. Yang kedua, ialah corak kepribadian pasien dan pola permasalahan dalam kehidupan pasien; unsur depressi, misalnya, meningkatkan kemungkinan timbulnya adiksi. Pada penderita nyeri, kadang-kadang evaluasi yang serius mengenai komponen psikososialnya baru dibuat sesudah " semua usaha " (neurologik, intern, dan bedah) dijalani sehabis-habisnya dan ternyata tak berhasil: sementara itu, "semua usaha " tersebut telah menciptakan komplikasi sekunder, antara lain ketergantungan obat. Andaikata evaluasi itu sudah dilakukan dari semula, barangkali dari semula juga sudah dimungkinkan suatu terapi yang lebih komprehensif yang dapat menghindarkan komplikasi. Nyeri dalam kondisi khusus psikiatrik Nyeri dapat timbul dalam gambaran klinik psikiatrik, tetapi mekanisma dinamik dari keadaan nyeri tidaklah khas untuk golongan diagnostik tertentu. Penetapan diagnosis psikiatrik pada pasien yang menderita nyeri tidak dapat dibuat dengan meneliti sifat-sifat nyerinya itu saja, melainkan memerlukan juga pertimbangan gejala-gejala dan data lainnya perihal pasien itu. Ada empat golongan diagnosis utama [ lih. Pinsky (6) ] selain banyak kondisi campuran dimana nyeri dapat timbul, yaitu hysteria, depressi, hypochondriasis, dan schizo frenia.
Neurosis histerik bermanifestasi dalam dua tipe utama,

yaitu tipe konversi, dan tipe disosiatif. Tipe yang kedua itu jarang dijumpai. Pada tipe yang pe.rtama itulah nyeri dapat ditemukan sebagai " gejala konversi " . Gambaran klinik yang khas pada neurosis histerik tipe konversi tersifat oleh gejalagejala senso-motorik, tanpa adanya sesuatu dasar kelainan organopatologik. Dalam riwayat pasien kadang-kadang dapat ditemukan, bahwa dahulu ia menderita penyakit dengan gejala yang serupa seperti sekarang, akan tetapi pada waktu sekarang tidak ditemukan hal-hal organik yang dapat menerangkan gejalanya sekarang, atau intensitas gejalanya sekarang. Perlu diingat, bahwa konversi, selaku mekanisma, dapat dijumpai dalam kategori diagnostik mana pun - bukan hanya pada histeria. Penderita dapat menunjukkan perangai kepribadian dan riwayat yang karakteristik, adanya gejala-gejala konversi yang lain (sekarang atau pernah dulu) seperti hiperventilasi, afonia, sinkope, dan pelbagai macam gangguan senso-motorik; pola tingkah-laku (lebih banyak pada wanita) menunjukkan kecenderungan pada dramatisasi, affekt yang dibuat-buat, dan meskipun mengeluh tentang gejala-gejalanya nampaknya seolah-olah tidak begitu memprihatinkannya. Pada pasien pria dapat ditemukan sifat feminin dan pasif. Pasien acapkali berusaha untuk menarik dokter ke dalam suatu hubungan emosional pribadi, dan pasang-surutnya gejala seringkali berkaitan dengan perkembangan hubungan itu. Jika nyeri timbul dalam rangka neurosis histerik, atau merupakan gejala konversi ataupun bcrsangkutan denganmekanisma konversi, maka terapi sugestif dapat memberi harapan; atau setidak-tidaknya unsur sugesti yang kuat (dengan atau tanpa hipnosis) dapat meningkatkan efektivitas terapi analgetik.
Depresi yang neurotik maupun yang psikotik sering di-

sertai dan berhubungan dengan nyeri. Nyeri dapat menimbulkan perasaan kecil hati dan putus asa pada pasien; jadi, suatu " depresi sekunder" . Tetapi nyeri dapat juga merupakan salah satu gejala menifestasi depresi. Jika nyeri timbul sebagai gejala depresi, maka pada umumnya pasien menunjukkan gejala-gejala lain yang lazim pada depresi; paras muka dan perilaku yang khas depresif, perlambatan dalam gerak atau agitasi, insomnia, anorexia atau hyperphagia; ia mengemukakan perasaan sedih, bersalah, atau malu. Namun kadangkadang perasaan dan pemikiran tersebut disangkal oleh pasien, atau ada dissimulasi, sehingga kita berhadapan dengan "depresi terselubung" (masked depression). Bahkan ada kalanya, hanya satu gejala misalnya hanya nyeri tampil kemuka tanpa adanya "gejala-gejala khas depresi " yang cukup nyata. Dalam kasus-kasus tertentu, adanya nyeri melindungi pasien terhadap depresi yang lebih gawat. Kita belum memahami benar bagaimana mekanismanya, tetapi ada gejala-gejala yang mempunyai " fungsi protektif", artinya, adanya gejala itu membendung dan mencegah perkembangan patologik yang lebih lanjut. Jika dalam hal ini gejalanya misalnya nyeri dihentikan secara drastik, maka depresi yang mendalam dapat menjadi manifes; mungkin malah dapat timbul tendens bunuh-diri. Poros terapi pada depresi, dan begitu pula jika nyeri merupakan gejala depresi, adalah anti-depresan. Ini dapat dilakukan dengan obat-obat yang mempunyai khasiat farmakologik khusus antidepresan, yang dalam hal ini biasanya membawa hasil yang cukup memuaskan untuk mengendalikan nyeri. Pelbagai keadaan yang bersangkutan dengan hypochondriasis dapat disertai dengan keluhan mengenai nyeri. Dalam pemikiran pasien yang hypochondriakal, hal-ihwal "penyakit" mengambil tempat yang dominan, dan tempat yang berasa nyeri di tubuh diberi perhatian dan dikuatirkan secara luarbiasa. Nyeri ini biasanya dilokalisasi di bagian tertentu dan bersifat tegas; jadi bukan yang menyeluruh dan bersifat diffus namun lokalisasi dapat berpindah-pindah. Pasien tidak dapat diyakinkan oleh dokter (tetapi boleh jadi pura-pura mengaku " yakin ") bahwa tak ada hal yang perlu dikuatirkan jika hasilhasil pemeriksaan semua negatif. Keluarga pasien dibingungkan, karena pasien begitu sering pergi ke dokter, sering " memerlukan pemeriksaan segera" karena "keadaan darurat " , berkali-kali minta diperiksa kembali, dan membuat penyakitnya sebagai pusat perhatian dalam lingkungannya. Penderita nyeri -- dalam golongan ini banyak yang pada hakekatnya neurotik dengan corak obsesif-kompulsif yang menonjol; banyak pula yang ternyata mempunyai gangguan pada integrasi kepribadiannya, sehingga kondisinya prepsikotik atau laten psikotik. Pengobatannya sukar dan acapkali memfrustrasikan dokter. Pasien seolah-olah "memelihara" penyakitnya, dan "memerlukan gejala nyerinya" sebagai pegangan kompensatorik dalam penanggulangan masalah-masalah hidupnya. Kadang-kadang pasien tidak menebus resep dan tidak memakai obat yang diberi kepadanya, dan mengajukan banyak komentar mengenai cara pengobatan. Penggunaan obat neuroleptika dalam dosis rendah nampaknya dapat membantu; namun pada umumnya pasien-pasien seperti ini memerlukan penanganan yang intensif dengan tujuan perubahan tertentu dalam gaya hidup (life style) dan konstelasi relasional dengan lingkungannya. Dalam hal schizofrenia, nyeri dapat timbul selaku pengganti

(substitut) untuk halusinasi; pasien memberi keterangan yang bizar (aneh-aneh) mengenai nyerinya atau mengenai sebabsebab nyerinya, misalnya "nyeri di ulu hati karena sinar televisi". Biasanya terdapat pula sifat-sifat schizofrenik atau paranoid yang lain. Ada pula nyeri yang dirasakan dalam masa prepsikotik, yaitu mendahului perkembangan gejala-gejala manifes psikotik. Fase prepsikotik kadangkadang berlangsung cukup lama, bisa. berbulan-bulan, dan ditandai oleh nyeri kepala yang diffus dan kontinu, atau berupa serangan-serangan sakit kepala. Bagi pengobatan perlu dipikirkan penggunaan obat-obat neuroleptik dalam dosis yang lazim untuk terapi psikosis. Selain sindrom psikiatrik tersebut di atas, nyeri dapat timbul sebagai konkomitant effekt; ketakutan, kemarahan, kesedihan, dan lain-lain yang disadari maupun yang tak disadari. Dalam keadaan normal pun, affekt seperti tersebut tadi sering disertai fenomen fisiologik dan perasaan somatik subjektif, misalnya nyeri di dada, sakit kepala (khususnya dahi dan pelipis), kramp di perut, tegang di otot dan sendi. Adakalanya, affektnya sendiri tidak dirasakan disangkal atau disembunyikan sehingga yang dikeluhkan adalah semata-mata segi somatiknya saja, yaitu mengenai nyeri. Pasien mungkin pula beranggapan, bahwa dokter tidak akan mementingkan " perasaan hati", dan bahwa keluhannya harus dituangkannya dalam bentuk sesuatu perasaan badaniah agar mendapat perhatian serius dari dokter. Biasanya tidak terlalu sukar untuk mengungkapkan keadaan affektif yang membangkitkan nyeri, asal dokter menerangkan kepada pasien bahwa segala perasaan hati pun hal yang sah dan relevan untuk dikemukakan, dan dokter berminat untuk mengetahuinya. Kesenipatan untuk penyaluran affektif ( "mengeluarkan emosi ") seringkali mencukupi untuk meredakan atau mengurangi perasaan nyeri dalam hal seperti ini. Kesan diagnostik, bahwa nyeri itu psikogen atau sejauh mana faktor-faktor psikologik memainkan peranan dapat diperoleh dari pemeriksaan dan observasi yang cermat berkenaan dengan gejala itu (lih. Pemeriksaan pasien). Disamping itu, sangat berguna untuk mendapat kesan, atau menyusun suatu rumusan, mengenai "disposisi kepribadian " terhadap nyeri. Ini biasanya tidak memerlukan pengetahuan spesialistik psikiatri cukup adanya kepekaan di pihak dokter dan minat untuk memperhatikannya. Hendaknya diperhatikan tanpa khususnya berfokus pada nyeri dan obat mana yang akan diberikan kepada pasien ini hal-hal yang karakteristik dalam sikap dan riwayat pasien ini: anxietas dan nervositas, labilitas atau kekakuan emosional, kecenderungan ke arah pasivitas atau agresivitas, sifat ketergantungan, hostilitas, ambisi tinggi, perasaan inferior atau superior. Dalam meneliti latar belakang riwayat hidup dan gaya hidup sekarang, apakah ada kesan bahwa pasien mudah atau sukar bergaul, sanggup menghadapi masalah-masalah hidup secara adekuat, kaku atau fleksibel dalam orientasinya, sering mengalami frustrasi atau cukup sering sukses, otoriter atau tergantung pada orang lain, adakah masalah akut atau menahun dalam kehidupannya, sering mengalami nyeri dan apa hasil usaha untuk mengatasinya. Indikasi " somatik" meskipun 'bukan tanda yang pasti mengenai adanya tendens untuk menuangkan hal.hal psikoCermin Dunia Kedokteran No. 26, 1982 9

logik kedalam perasaan nyeri, dapat diperoleh dari hasil test tertentu, misalnya elektromiografi (EMG); tingkat spasmofilia yang tinggi acapkali menyertai "psikogenitas" nyeri. Ada pula test Libman (7) (menekan pada mastoid dan processus styloideus); jika ini positif yaitu pasien merasa nyeri ditekan ditempat itu maka ada kemungkinan besar pasien ini hipersensitif terhadap nyeri. Kesimpulan Meskipun kita belum menemukan definisi atau model teoretik yang tepat mengenai nyeri, namun rupa-rupanya nyeri menampilkan diri sebagai suatu respons total individual, dan bukan hanya sebagai gejala neurofisiologik. Terapi yang adekuat dan jika mungkin sejak awal timbulnya nyeri adalah penting, bukan hanya supaya nyeri dapat diatasi atau dikendalikan dengan wajar, melainkan juga untuk menghindarkan komplikasi akibat terapi yang inadekuat (a.l. khronisitas, ketergantungan obat). Terapi yang adekuat dan komprehensif memerlukan diagnosis yang tepat yang dapat diperoleh dari pemeriksaan yang cermat; hendaknya, dalam pemeriksaan itu jangan hanya segi-segi organo-patologik yang

diteliti secara cermat sedangkan hal-hal psiko-sosial -meskipun tidak diabaikan dibaurkan sebagai "faktor psikogen " . Hendaknya hal-hal psiko-sosial dan latar belakang riwayat dan kepribadian pasien diteliti bagaimana kaitannya yang spesifik dengan keluhan nyeri pada pasien. Selain itu, nyeri dapat juga timbul dalam rangka simptomatologi kelainan-kelainan psikiatrik khusus, dan -- dalam hal itu memerlukan terapi yang tertuju pada kelainan psikiatrik itu (bukan hanya terhadap nyerinya). Pemeriksaan dan diagnosis biasanya adalah dalam jangkauan dokter tanpa memerlukan pengetahuan spesialistik psikiatri. Tetapi dokter yang sensitif juga akan tahu bilamana ia akan memerlukan konsult psikiatrik mengenai pasiennya. Saat dimana dokter merasa memerlukan konsult itu (kadang-kadang sudah dirasa pada awal atau fase dini pemeriksaan dan usaha terapeutik) itulah saat yang baik untuk merujuk untuk konsult dan bukan membiasakan konsult psikiatrik selalu sebagai " langkah terakhir " . Pasien yang mengalami nyeri, somatogen atau psikogen, adalah orang yang menderita, dan layak diberikan perhatian diagnostik dan terapeutik yang sebaikbaiknya sejauh pengetahuan kita.

KEPUSTAKAAN 1. Sternbach RA. Pain Patients, Traits and Treatment. New York Academic Press, 1974. 2. Engel GL. Pain. In : Mac Bryde CM, Ed. Symptom and Signs. Applied Physiology and Clinical Interpretation. 5 ed. Philadelphia JB Lippincott, 1969. 3. Merskey H, Spear FG. Pain. Psychological and Psychiatric Aspects. London : Balliere, Tyndall & Cassell, 1967. 4. Szasz T. Pain and Pleasure. A Study of Bodily Feelings. London Tavistock, 1957. 5. Graham DT. Health, disease, and the mind-body problem : linguistic paralleism. Psychosom Med 1967; 29 : 52-71. 6. Pinsky JJ. Psychodynamics and psychotherapy in the treatment of patients with chronic intractable pain. In : Crue BL Jr, Ed. Pain, Research and Treatment. New York : Academic Press, 1975. 7. Libman E. Observations of individual sensitiveness to pain. JAMA 1934; 102 : 335-341.

SIAPA YANG GILA? Sebelum akhir perang dunia kedua, beredar suatu cerita. Hitler mengunjungi sebuah rumah sakit jiwa. Dia bertemu dengan pasien yang mengaku dirinya Napoleon, yang lain mengaku sebagai Bismarck, dsb. Hitler kemudian bertanya apakah tidak ada pasien yang menganggap diri sebagai Adolf Hitler. "Banyak", jawabnya. Hitler lalu dibawa ke sebuah ruangan dimana ada 14 " Hitler" yang mondar mandir. Hitler ditinggal di ruang itu selama sekitar 1 jam, lalu diminta keluar. Tapi tak ada yang yakin apakah yang keluar itu Hitler yang sesungguhnya. Cerita ini mengilhami Dr. DL Rosenhan untuk melakukan suatu penelitian di Universitas Stanford. Benarkah orang gila dapat diidentifikasi lewat gejala-gejalanya? Dr Rosenhan melihat bahwa sering terjadi perbedaan pendapat di antara ahli psikiatri tentang gila atau tidaknya seorang tertuduh di pengadilan. Maka dia mencoba kecermatan diagnosis psikiatrik. Dia meminta 8 orang peneliti menyatakan diri mendengar suara-suara aneh (tapi tak menunjukkan gejalagejala psikiatrik lain), lalu meminta dirawat di 12 rumah sakit jiwa yang berlainan. Semua pasien palsu itu menyembunyikan pekerjaannya (ada seorang psikiater dan 3 ahli psikologi), tapi jujur dalam menjawab pertanyaanpertanyaan lainnya. Dalam 11 rumah sakit pseudopasien itu didiagnosis schizofrenia, pada rumah sakit ke 12 didiagnosis manik-depresif. Segera setelah masuk rumah sakit, mereka berhenti berpura-pura dan menyatakan bebas dari gejala-gejala. Namun para pekerja di rumah sakit itu tak ada yang sadar bahwa mereka telah "ditipu " . Semua dikeluarkan dari rumah sakit dengan diagnosis " schizofrenia dalam remisi". Schizorenia dianggap tak dapat disembuhkan, maka sekali pasien mendapat diagnosis ini, dia tak dapat disebut benar-benar sehat. Lucunya, banyak pasien psikiatrik yang tahu bahwa peneliti-peneliti (pseudopasien) itu sehat!
Morris Fishbein. Medical World News

10

Cermin Dunia Kedokteran No. 26, 1982

Kalsium dan Rasa Nyeri


dr. B. Suharto Pusat Penelitian & Pengembangan PT Kalbe Farma, Jakarta

Setiap orang pasti pernah dan akan merasakan nyeri (pain), entah nyeri itu disebabkan oleh trauma mekanik, trauma fisika, trauma kimia ataupun trauma lain yang mengakibatkan rangsangan pada reseptor nyeri. Bentuk rangsang yang dapat menimbulkan nyeri pada suatu organ tubuh dapat bervariasi dari satu ke lain organ tubuh. Sebagai contoh misalnya : nyeri angina pektoris ditimbulkan oleh ischemia miokard karena gangguan aliran arteria coronaria --> tertolong dengan pemberian obat vasodilatansia seperti nitrogliserin. nyeri migrain ditimbulkan oleh pulsasi arteria temporalis yang terlalu besar --> tertolong dengan pemberian ergotamine, suatu obat vasokonstriktor. nyeri ulcus peptikum ditimbulkan oleh sekresi asam lambung yang berlebihan --> tertolong oleh pemberian antasida nyeri glaukoma ditimbulkan oleh tekanan intraokuler yang terlalu tinggi --> tertolong oleh pemberian acetazolamide, suatu obat penghambat enzim carbonic anhydrase. nyeri demam rematik pada sendi besar ditimbulkan oleh peradangan setempat dan tertolong oleh acetosal, suatu obat analgesik, antipiretik dan anti radang. nyeri hiperperistaltik usus tertolong oleh pemberian obat anti spasmodik.

Dari contoh-contoh diatas jelas bahwa pelbagai keadaan dapat menimbulkan nyeri baik pada organ perifer maupun organ visceral; dan obat-obat penolong nyeri tidak selalu termasuk obat analgesik. Apapun penyebab/pencetus rasa nyeri itu yang jelas adalah adanya suatu kesatuan persepsi dalam otak, yaitu suatu bentuk rasa yang - tidak disukai, mengganggu, mencemaskan dan menggugah perhatian kita. Bila nyeri itu hebat maka penderita tampak pucat, berkeringat dingin, tekanan darah menurun dan dapat timbul syok. Mengapa begitu luas pengaruh rasa nyeri tsb. sehingga meliputi sistem somatis dan otonom ? Akhir-akhir ini terbukti bahwa calcium (Ca) -suatu mineral yang terdapat dalam semua sel tubuh-berperanan penting dalam patogenesis nyeri tsb. Ini semakin terungkap setelah ditemukan obat-obat antagonis calcium, obat-obat yang menghambat influx Ca ke dalam set. Obat-obat yang terbukti memiliki efek itu adalah :
Chlorpromazine Neomycine Diltiazem - Lidolfazine - Nifedipine - Nifludipine - Prenylamine

Cermin Dunia Kedokteran No. 26, 1982

11

Verapamil Cinnarizine Flunarizine Amrinone Papaverine Diazoxide Nicardipine Nimodipine Nitrendipine Nitroprussiate 3+ D600 (methoxyverapamil) La

Trauma mekanik (dan juga trauma fisika dan kimia? ) rupa-rupanya langsung merusak integritas membran dan tergolong ionotropik , bersama bradykinin. Rasa nyeri timbul cepat dan berlangsung singkat, kecuali bila kerusakan yang ditimbulkannya hebat tentu rasa nyeri dapat berlangsung lama. Dari kelompok obat antagonis Ca 2+ yang sudah terbukti mengantagonisir hiperalgesia karena prostaglandin E 2 adalah verapamil dan lanthanum. Sedangkan golongan xanthines (caffeine dan theophylline) cenderung menimbulkan hiperalgesia lewat peningkatan kadar cAMP intrasel karena efeknya menghambat phosphodiesterase, suatu enzim yang memecah cAMP; Dalam pemikiran, kita tidak boleh tergesa-gesa mencoba menerapkan hal itu dalam kasus sehari-hari. Ini baru dilakukan pada hewan percobaan dan obat tsb. diberikan secara suntikan langsung pada tempat yang dikehendaki. Bila obat itu diberikan peroral belum tentu khasiat/efek itu muncul, karena struktur molekul zat yang sampai ke nociceptor belum tentu sama dengan obat yang kita telan.
KEPUSTAKAAN 1. Ferreira SH. Inflammatory pain, prostaglandin hyperalgesia and the development of peripheral analgesics. Trends Pharmacol Sci. 1981;2(7):183186. 2. Rod Flower.Glucocorticoids, phospholipase A 2 and inflammation. Trends Pharmacol Sci. 1981; 2 (7) : 186 188. 3. Godfraind T. General Pharmacology of inhibitors of Ca Fluxes Abstract : Eight International Congress of Pharmacology, July 19 24,1981 IUPHAR pp. 158.

Bila kita coba pelajari skema peristiwa nyeri dalam nociceptor (noxious receptor ~ reseptor nyeri) nampak bahwa Ca2+ dan cyclic AMP besar sekali peranannya dalam menimbulkan rasa nyeri. Peningkatan kadar Ca2+ dan cAMP intrasel menimbulkan hiperalgesia (keadaan dimana ambang nyeri menurun sehingga mudah timbul rasa nyeri, sekalipun rangsang nyeri masih di bawah intensitas rangsang yang biasa). Eccles dan McGeer memberikan penjelasan tentang nociceptor sbb. Ada dua jenis transmisi saraf : 1. Ionotropik dimana mediator bekerja langsung pada pintu ion ke dalam sel. Ciri jenis transmisi itu adalah (i) proses berlangsung cepat dan (ii) masa proses singkat. 2. Metabotropik dimana mediator bekerja lewat perubahan biokimia pada membran post-sinaps. Ciri transmisi cara ini adalah (i) lambat dan (ii) berlangsung lama. Prostaglandin E 2 termasuk dalam golongan metabotropik; Hiperalgesia karena prostaglandin E 2 terjadi lambat tapi berlangsung lama. Morfin dan obat-opiat lainnya juga masuk golongan metabotropik, tetapi obat-obat ini menghambat hiperalgesia bekerjanya juga lambat dan berlangsung lama.

12

Cermin Dunia Kedokteran No. 26, 1982

Penanggulangan Nyeri secara Tradisional


Dr Soeparman

Bagian Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSCM, Jakarta

PENDAHULUAN Nyeri adalah suatu gejala yang amat sering dijumpai seorang dokter dalam prakteknya dan umumnya tidak sukar untuk ditanggulangi dengan pemberian analgetika narkotik maupun non-narkotik. Persoalannya menjadi sulit bila nyeri yang dihadapinya bersifat menahun dengan sebab yang kurang jelas, misalnya low back pain, nyeri di tengkuk, xyphoidyni dan sebagainya. Dalam hal-haltersebut pemakaian analgetika sering perlu diberikan dalam dosis yang meningkat secara berkala dan dipertahankan cukup lama. Dengan sendirinya bahaya kerja sampingan dari obat tersebut menjadi suatu persoalan yang dapat menggawatkan keadaan sipenderita. Kesukaran-kesukaran semacam inilah merupakan titik tolak dari makalah ini yang sekaligus mempunyai maksud untuk menggali kembali penanggulangan nyeri secara tradisional, khususnya yang menggunakan tangan dan jari jari sebagai salah suatu cara dari perbendaharaan pengobatan nenek moyang kita. SEJARAH PENANGGULANGAN NYERI Sejak terciptanya manusia di bumi ini maka nyeri yang pada hakekatnya sangat mengganggu kenyamanan penghidupan sudah selayaknya dapat diatasi dengan wajar. Berkat kehadiran Nabi pertama, Nabi Adam A.S. yang hidup selama kurang lebih 1.000 tahun, penanggulangan nyeri tidak terlalu sukar dalam pelaksanaannya melalui penyembuhan secara verbal ("The Spoken Word"). Dengan bertambahnya populasi secara tersebar luas di bumi, maka penyembuhan nyeri tidak dapat dicakup oleh seorang diri. Kelebihan hakiki yang dimiliki seorang nabi tidak diberikan kepada sembarangan orang maka sudah selayaknya perlu didapatkan suatu cara penanggulangan yang lain yang dapat terjangkau orang-orang pada zaman itu, walaupun melalui pengalaman dan, latihan-latihan yang lama. Dapat dibayangkan bahwa pada zaman primitif itu belum banyak yang dapat dilakukan, sedangkan bahasapun belum berkembang seperti yang kita kenal sekarang ini. Cara yang pada waktu itu paling mudah terlaksanakan adalah menggunakan tangan dan jari-jari ( " physiotherapeutic treatment"). Langkah berikutnya yang masih dapat digolongkan ke dalam tindakan primitif juga, adalah menggunakan bendabenda tajam atau runcing seperti batu-batu atau kayu sebagai

usaha untuk mempermudah tercapainya hasil yang baik (Acupuncture ). Lebih lama kemudian sewaktu pengalaman-pengalaman dari berbagai tempat dapat dikumpulkan maka penggunaan tumbuh-tumbuhan seperti akar-akar, daun-daun, biji-biji, bunga-bunga dan getah-getah merupakan cara pengobatan yang lebih modern yang bertahan cukup lama (jamu-jamu, obatobat Tionghoa). Berdasarkan pengetahuan yang akhir ini, ditambah kemajuan pesat dalam semua bidang di zaman sekarang, maka obat-obat sintetis mulai membanjiri masyarakat kita. Kemurnian obat-obat modern ini dengan sendirinya menjamin keefektifan yang maksimal walaupun kerja sampingan dari obat tersebut yang sering bersifat serius lebih banyak kita lihat, disebabkan antara lain oleh pemakaian obat-obat lebih banyak dan merata. Pengobatan tradisional dengan menggunakan tangan dan jari-jari yang disebut juga masase atau pijit, akan dibicarakan disini dalam hubungannya untuk menghilangkan gejala nyeri. Melalui pengamatan sendiri pada penderita-penderita yang datang berobat pada saya, maka kesan yang timbul adalah kurang puasnya mereka dengan hasil yang diperoleh dengan masase (oleh orang lain) walaupun telah dilakukan secara berulangkali. Komentar yang sering dapat didengar berbunyi kurang lebih seperti;"meringankan akan tetapi nyerinya tidak hilang secara keseluruhan " . Beda benar pengalaman saya sendiri karena nyeri dapat dihilangkan secara tuntas setelah satu kali atau maksimal tiga kali melakukan pengobatan dengan tangan dan jari-jari . Penderita hampir semuanya merasa puas dan tidak membutuhkan pertolongan lebih lanjut dan biasanya kembali berobat di kemudian hari dengan kasus lain yang tidak ada sangkut paut dengan yang dahulu. Suatu kekecualian adalah penderita-penderita yang lazim ditemukan dalam praktek tiap-tiap dokter dan yang tak kunjung berhenti memenuhi ruang tunggu untuk memperdengarkan skala keluhannya yang berwarna warni disebabkan kelainan jiwa yang neurotis. Perbedaan yang menyolok dalam keberhasilan yang tersebut diatas perlu sekiranya diuraikan lebih lanjut. Penjelasan-penjelasan yang akan dikemukakan, sekaligus mempunyai hasrat untuk membuktikan secara teoritis bahwa penanggulangan tradisional ini mempunyai dasar yang baik, sehingga tidak boleh tidak harus mendatangkan hasil yang baik pula. Dalam usaha untuk membedakan cara yang saya lakukan dari masase atau pijit yang lazim dipraktekkan orang lain,
Cermin Dunia Kedokteran No. 26, 1982 13

maka pemberian nama tactile treatment (pengobatan dengan jari-jari) dirasakan perlu untuk mempermudah penjelasan yang akan dikemukakan di bawah ini. TACTILE TREATMENT Penderita sebaiknya tidur diatas meja periksa secara tenang dalam posisi terlentang atau di atas sisi kirinya dengan kepalanya di atas bantal. Tangan kanan si pelaku tactile treatment diletakkan secara mendatar di atas tubuh di mana dirasakan nyeri oleh penderita. Melalui tekanan yang mendatar pula dicoba dengan bagian ujung jari-jari merasakan (palpasi) konsistensi jaringan permukaan tubuh ialah kulit dan otototot, yang berlainan. Pada tempat-tempat dimana si penderita merasakan nyeri bila ditekan lebih kuat, maka disitu pula dapat ditemukan bangunan-bangunan jaringan atau struktur struktur jaringan yang mempunyai konsistensi yang lebih kenyal. Tergantung pada keahlian palpasi untuk mendeteksinya dengan cepat atau tidak. Perlu diperingatkan untuk menghindari semua gerakan mendadak secara kasar (kuat) karena mengundang kontraksi secara refleks dari fihak penderita yang dapat menggagalkan usaha pengobatan untuk selanjutnya. Perubahan sikap tubuh atau letak lengan atau kaki si penderita, ditambah dengan perkataan-perkataan yang menenangkan, sering bermanfaat untuk memulihkan otot-otot penderita kedalam keadaan lemas kembali. Usaha untuk menghilangkan struktur-struktur yang kenyal ini yang mempunyai bentuk serupa tali-temali yang memanjang sesuai dengan arah sumbu bagian badan yang bersangkutan, dilakukan dengan menggoyang-goyangkan jari-jari tangan sipelaku pengobatan secara tegak lurus terhadap tali-temali tersebut. Bila berhasil untuk menghilangkan bangunan-bangunan jaringan ini maka seluruh otot dirasakan homogen dan hilang pula nyeri yang sebelumnya merupakan keluhan si penderita. Dengan demikian jelaslah bahwa si pelaku tactile treatment dapat melakukan kontrol terhadap keberhasilan pengobatannya sendiri. Talitemali atau struktur-strutur jaringan yang patologis itu lebih dikenal oleh orang awam sebagai urat-urat. Modifikasi dalam tehnik untuk menghilangkan urat-urat selalu dapat diterapkan asalkan dapat dicapai suatu homogenisasi dari jaringan-jaringan permukaan tubuh yang bersangkutan tanpa menimbulkan nyeri yang sering mendiskreditkan pengobatan tradisional ini. PATOFISIOLOGI URAT-URAT Suatu kelainan yang ditemukan di bawah kulit di dalam ruangan yang ditempati oleh otot-otot permukaan tubuh dengan konsistensi lebih kenyal daripada jaringan sekitarnya mungkin adalah tendon, urat syaraf yang besar atau suatu struktur yang terdapat (acquired). Semua dokter umumnya tahu betul dimana letaknya tendon-tendon dan urat-urat syaraf yang besar dalam tubuh manusia sehingga tidak terlalu sukar untuk menentukan apakah suatu struktur jaringan yang dirasakan kenyal disebabkan oleh urat-urat. Pembuluh darah umumnya tidak dapat teraba terkecuali bila letaknya ke permukaan tubuh sehingga lebih mudah dilihat daripada diraba. Mengingat bahwa jaringan pengikat mempunyai fungsinya sebagai pengikat satu sel sama lain sel dan satu organ sama lain organ, misalnya satu otot dengan otot lain, maka kemung14 Cermin Dunia Kedokteran No. 26, 1982

kinan besar urat-urat yang dimaksud, erat hubungannya dengan jaringan pengikat tersebut. Selain fungsi mengikat, jaringan ini juga bertindak sebagai pelindung, terutama yang menutupi otot dan yang diberikan nama tersendiri yaitu fascia. Dalam fungsinya sebagai pelindung inilah, maka perubahanperubahan dalam jaringan pengikat mudah terjadi. Andaikata seseorang mengalami suatu trauma seperti tergelincir karena salah langkah atau mengangkat beban yang cukup berat secara cukup lama (misalnya berpergian sambil membawa koper penuh pakaian) maka otototot sering mengalami suatu kondisi yang tidak optimal untuk melakukan tugasnya. Otot-otot dalam keadaan tersebut tidak ada dalam kontraksi secara efektif disebabkan momentum yang salah seperti pada tergelincir atau keadaan capai dalam hal membawa koper. Akibat kelemahan otot yang demikian, trauma tadi terutama mengena pada jaringan pengikat sebagai penyanggah berikutnya yang dialaminya secara pasif karena tidak kontraktil. Serat-serat kolagen yang merupakan unsur terpenting dalam jaringan pengikat mempunyai sifat tahan daya tarik secara baik (alot) sehingga kerusakan atau robekan-robekan kecil (micro lesions) dapat terjadi dalam "cementing substance" yang lebih lemah dan yang berada antara satu serat kolagen dengan lainnya. Dengan meluasnya micro lesions ini maka besar kemungkinan bahwa serat-serat kolagen akhirnya terlepas satu sama lainnya. Di bawah pengaruh serat elastin yang juga menghuni jaringan pengikat yang termasuk serat yang alot juga, maka serat-serat kolagen yang terlepas-lepas itu tergabung kembali, berkat sifat elastis dari serat-serat elastin tersebut. Gabungan serat ini dapat dirasakan sebagai urat-urat dengan sifat sensitif terhadap tekanan yang kasar oleh karena reseptorreseptor untuk nyeri yang umumnya banyak menghuni jaringan pengikat, didalam urat-urat ini ada dalam posisi lain dari semula. Mudah saja reseptor untuk nyeri terperangkap antara serat-serat kolagen dalam gabungan baru tersebut dan terjepit. Tergantung tingkat kekenyalan suatu urat maka nyeri yang dialami penderita dapat berkisar antara rasa pegal-pegal sampai nyeri yang hebat. Keterangan-keterangan mengenai patofisiologi urat-urat ini memungkinkan kita memberi jawaban yang logik untuk fenomena-fenomena mengenai nyeri yang khas untuk gejala ini, misalnya seorang yang menderita sakit gigi hilang nyerinya sewaktu ia menunggu gilirannya di ruang tunggu. Keadaan santai karena ia tahu bahwa akan mendapat pertolongan yang diharapkan menghasilkan semua jaringan tubuh melemas. Hilang pula penekanan-penekanan yang hebat terhadap reseptor-reseptor untuk nyeri yang terjepit di sekitar gigi yang sakit. Suatu fenomena lain ialah bahwa simpatektomi untuk mengobati nyeri sering tidak dapat menghilangkan nyeri secara keseluruhan disebabkan perluasan rasa nyeri tidak berjalan menurut pemetaan dermatom-dermatom melainkan melalui perjalanan urat-urat. Hal ini dimanfaatkan dalam pengobatan akupunktur dengan hasil yang memuaskan. Patofisiologi urat-urat ini sekaligus juga menghasilkan hipotesa mengenai nyeri yang beda daripada yang ada, yang diberi nama "The Reversible Hidden Scar", dimana reversible terutama menyangkut paut dengan hilangnya nyeri melalui perubahan-perubahan yang mengatasi keadaan terjepitnya

Tabel 1 : penderita dengan nyeri kronik selama tahun 1971 1972 yang diobati dengan pengobatan dengan jari-jari Nama Penyakit Jumlah penderita 333. 430 Sembuh setelah 1x 245 324 2x 44 66 3x 12 15 4x 13 9 5x 1 5 Lebih 54 1

low back pain arthralgia +musculo skeletal pain total

763

569

110

27

22

55

Kesimpulan : 706 penderita atau 92 % sembuh setelah satu sampai tiga kali pengobatan.

reseptor-reseptor untuk nyeri dalam bangunan yang tidak bisa dilihat secara visual (1) . PENGALAMAN SENDIRI Telah dikemukakan dalam tahun 1975 pada KOPAPDI ke-III di Bandung hasil yang diperoleh dengan pengobatan dengan jari-jari pada penderita-penderita dengan low back pain, arthralgia dan musculoskeletal pain (lihat Tabel 1) Bahwasanya masase atau pijit yang umuntnya dilakukan dimana-mana kurang mencapai hasil yang memuaskan dengan penjelasan-penjelasan diatas mudah dimengerti karena tujuan tindakan dengan jari jari tersebut tidak mencapai sasarannya, karena yang lebih dipentingkan adalah prosedur cara masase seperti: menggosok dan mengusap, masase lingkaran, masase meremas, masase tekanan, masase getaran dan masase ketokan, yang perlu diselesaikan secara berturut-turut. Lain halnya bila dengan sadar tujuannya adalah menghilangnya struktur-struktur acquired dan kenyal yang ada sangkut pautnya dengan gejala nyeri pada sipenderita.

KESIMPULAN Penanggulangan nyeri secara tradisional dengan menggunakan jari-jari adalah pengobatan yang ampuh dan bebas dari efek sampingan yang sering menyertai pemberian obat-obat secara lama. Hipotesa mengenai nyeri yang dikemukakan sebagai "The Reversible Hidden Scar" memungkinkan untuk memberi penjelasan-penjelasan tentang berbagai fenomena yang banyak ditemukan pada persoalan gejala nyeri. Dikemukakan disini himbauan untuk melakukan pengobatan tradisional dengan jari-jari ini dengan dasar pengetahuan yang baik agar supaya tidak mendiskreditkan cara ini.
KEPUSTAKAAN 1. Soeparman. Pengobatan nyeri kronik (intractable pain) dengan jari-jari (pijit penyembuhan atau therapeutical massage). KOPADI ke III. Bandung, 1975. 2. Soeparman. Pain The Reversible Hidden Scar. Concept about accupuncture and comparative physical mode of treatment based upon a revised neurophysiological pain theory. (Booklet). Jakarta, 1970.

Cermin Dunia Kedokteran No. 26, 1982

15

Nyeri pada Penyakit Keganasan


dr. Susworo

Bagian Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ RSCM, Jakarta.

Penyakit neoplasma ganas pada tingkatan dini jarang sekali menimbulkan keluhan nyeri. Inilah yang sering menyebabkan kelainan ini terdeteksi sudah dalam keadaan lanjut. Sekalipun tidak semua penyakit keganasan ini menimbulkan keluhan nyeri ("cancer pain"), tetapi apabila keadaan ini terjadi maka hal ini akan merupakan masalah tersendiri. Angka Kejadian Angka kejadian kami peroleh dari kepustakaan luar negeri, terutama dari Amerika Serikat. Beberapa penulis mengatakan bahwa kurang lebih 40% dari penderita kanker stadium " intermediate" mengalami nyeri-sedang atau hebat akibat proses penyakitnya, sedangkan hal ini akan dialami oleh 60% 80% penderita-penderita stadium lanjut. Parkes (1) telah menanyai sebanyak 276 istri atau suami penderita kanker yang meninggal, mengenai nyeri yang pernah dialami oleh pasangan mereka selama hidupnya. Didapat hasil-hasil sebagai berikut : Pada penderita yang dirawat di rumah sakit 40% tidak mengalami nyeri atau nyeri ringan, 38% nyeri sedang dan 22% nyeri hebat atau sangat hebat. Sedangkan penderita-penderita yang tidak dirawat di rumah sakit didapatkan angka-angka 31% tanpa nyeri atau nyeri ringan, 21% nyeri sedang dan 48% nyeri hebat atau sangat hebat. Setiap lesi keganasan di tubuh bisa menimbulkan keluhan nyeri ini, tersering, dan biasanya lebih hebat lagi dari yang lain, apabila terjadi di tulang. Foley dick. (2) mengumpulkan angkaangka timbulnya nyeri pada tiap keganasan.
Lokalisasi Lesi tulang mulut rahim lambung paiu-paru genito urinaria wanita pankreas genito urinaria pria payudara usus kecil ginjal kolon- rektum lekemia %

Untuk Indonesia belum didapatkan angka-angka semacam ini tetapi agaknya tidak jauh berbeda kecuali bahwa di dalam tabel ini tidak terdapat karsinoma dari nasofaring yang jumlahnya relatif tinggi untuk Indonesia. Efek psikologi dan fisiologi Sternbach (3) pada penelitiannya mendapatkan bahwa efek fisiologik dan psikologik yang ditimbulkan akibat nyeri yang kronik adalah sama,tidak tergantung dari penyebabnya. Tetapi sekalipun mempunyai patofisiologik yang sama, Bonica(4) menekankan bahwa nyeri akibat proses keganasan mempunyai impak fisiologik lebih besar. Kemunduran fisik berlangsung lebih cepat pada penderitapenderita ini oleh karena diperberat dengan nafsu makan yang menurun, nausea dan vomitus serta kadang-kadang kesulitan tidur yang disebabkan penyakitnya sendiri atau karena tindakan pengobatan. Menurut Woodforde dan Fielding (5), penderita-penderita kanker dengan nyeri ini juga mengalami reaksi emosional, kecemasan (anxiety), depresi, hipokhondria serta neurosis yang lebih menonjol dari pada kasus-kasus bukan keganasan. Dinyatakannya pula bahwa penderita-penderita tersebut memberikan respons yang kurang baik terhadap pengobatan nyeri. Bond (6) menemukan bahwa tingkat hipokhondria ini lebih tampak pada penderita kanker dengan keluhan nyeri dari pada tanpa nyeri. Tetapi keadaan ini segera berubah apabila keluhan nyeri tersebut bisa diatasi dengan tindakan. Sebagai akibat nyeri yang berkepanjangan akan didapatkan penurunan aktivitas fisik dan sosial yang progresif. Akibatnya di Amerika, nyeri yang khronik dan mengakibatkan " disability" ini dinilai telah menimbulkan problem bukan saja di bidang kesehatan tetapi juga perekonomian nasional. Pengamatan kami di Indonesia, efek psikologik ini lebih tampak pada penderita-penderita dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Hal ini dimungkinkan karena penderitapenderita dari kalangan yang berpendidikan rendah tidak menyadari akan fatalitas penyakit ini. Mereka ini hanya menderita secara fisik oleh karena perasaan nyerinya saja. Perbedaan ini tidak begitu menonjol untuk negara-negara maju, dimana tingkat pendidikan masyarakatnya sudah mencapai keadaan yang hampir homogen. Patofisiologi Bonica (7) membagi etiologi nyeri pada penyakit kanker

65 50 60 55 50

85 85 75 70 70 70 70 70 60 55 60 5

16

Cermin Dunia Kedokteran No. 26, 1982

atas 3 golongan besar, yaitu : (i) nyeri yang disebabkan langsung oleh proses neoplastik, baik primer maupun metastase. (ii) nyeri yang timbul sebagai akibat pengobatan. (iii) nyeri timbul bersamaan dengan proses neoplastik, tetapi tidak ada hubungan langsung antara keduanya ( "coincidental"). Menurut penulis tersebut angka rata-rata timbulnya nyeri akibat proses neoplastik kurang lebih 75%. Dari jumlah tersebut maka terbanyak adalah akibat proses metastase pada tulang, atau tumor primer pada tulang (osteosarkoma). Nyeri ini akan diperberat lagi apabila timbul komplikasi fraktur dari tulang yang terkena. Nyeri ini bisa berlokasi di tempat lesi, seperti tumor-tumor atau metastase di iga, atau diproyeksikan ke suatu tempat di tubuh seperti terjadi pada metastase di tulang panggul. Nyeri ini bersifat menetap bahkan sering-sering progresif. Hal ini mungkin disebabkan rangsangan pada nociceptor di dalam periosteum, yang ambang rangsangnya menurun akibat diproduksinya prostaglandin. (Prostaglandin adalah suatu zat yang selalu dihasilkan pada semua proses keganasan yang melibatkan tulang). Penekanan pada jaringan syaraf sering menyebabkan gangguan sensorik serta motorik. Infiltrasi tumor pada pleksus brakhialis akan menyebabkan nyeri radikuler pada bahu dan lengan serta sering di-asosiasikan dengan parestesia pada daerah-daerah segmen C8 T 1 . Penderita-penderita keganasan traktus genitourinaria serta kolon sering mengalami infiltrasi sel-sel tumor ke dalam pleksus sakralis. Nyeri yang ditimbulkan dalam hal ini mula-mula terasa di punggung sebelah bawah serta paha yang kemudian menjalar ke tumit. Sedangkan infiltrasi pada pleksus sakralis sebelah bawah akan mengakibatkan nyeri pada pertengahan perineum yang diikuti dengan menurunnya faal sensorik daerah tersebut. infiltrasi tumor pada pembuluh darah serta getah bening juga kadang-kadang akan menimbulkan nyeri. Nyeri ini merupakan akibat vasospasme serta limfangitia (8). Sifat nyeri yang diakibatkannya adalah difus dan tidak mengikuti distribusi saraf perifer. Akibat obstruksi pada suatu saluran. oleh sebab apapun, termasuk oleh tumor, akan timbul nyeri viseral yang kadangkadang menyerupai kolik. Keadaan ini bisa terjadi pada tumortumor dari ureter dan kandung seni, gaster, usus halus atau kandung empedu. Bila tidak dilakukan koreksi terhadap obstruksi ini maka kontraksi dari otot polos, proksimal dari sumbatan, makin hebat. Salah satu akibat dari lanjutnya proses keganasan adalah terjadinya jaringan nekrosis. Hal ini disebabkan karena pertumbuhan neoplasma yang terlalu cepat sehingga jaringan yang terletak di sebelah sentral dari tumor tersebut tidak mendapat vaskularisasi yang cukup. Jaringan nekrosis ini, selain menimbulkan bau yang mengganggu bagi penderita maupun sekelilingnya, juga akan mengakibatkan nyeri. Nyeri akan diperberat apabila jaringan ini terinfeksi oleh kuman-kuman. Keadaan ini sering terjadi pada keganasan-keganasan yang terjadi di daerah mulut, lidah atau gusi, kavum nasi, orofaring, juga kadang-kadang di payudara.

Sampai saat ini dikenal beberapa macam cara pengobatan penyakit kanker, yaitu pembedahan, radioterapi, kemoterapi. Pengobatan ini bisa tunggal ataupun merupakan kombinasi dua atau lebih regimen. Ternyata pada 20%penderita-penderita yang mendapat pengobatan, timbul keluhan nyeri yang bukan disebabkan penyakit yang dideritanya, tetapi justru oleh pengobatan yang telah didapatkannya. Beberapa penderita yang mengalami mastektomi atau torakotomi kadang-kadang mengeluh nyeri pada daerah operasinya 1 atau 2 bulan pasca tindakan. Selain itu juga terdapat disestesia pada jaringan parut yang disertai hiperestesia di sekelilingnya. Menurut Wall (9) akibat terputusnya jaringan saraf, terjadilah daerah-daerah yang hipersensitif terhadap tekanan serta norepinefrin, terutama pada bagian proksimal dari saraf yang terluka. Akibat dari keadaan tersebut adalah bahwa singgungan ringan atau bahkan stress emosional yang selalu mengakibatkan pelepasan katekolamine di dalam darah akan menirnbulkan perasaan nyeri. Pada beberapa penderita sering kita lihat, adanya usaha untuk membatasi pergerakan dari sendi bahu. Apabila hal ini berlangsung terus, tanpa mendapat penerangan yang baik serta usaha fisioterapi, maka bisa timbul ankilosis sendi bahu ("frozen shoulder " ), atrofi dari tangan ("disuse") serta distrofi dari refleks simpatetik. Mempunyai patofisiologik yang sama adalah pada pasca operasi radikal dari kelenjar-kelenjar leher (radical neck dissection). Obat khemoterapi yang dikatakan bisa menimbulkan gangguan pada saraf sensorik adalah dari golongan vinca alkaloid, seperti vincristine dan vinblastine. Dengan dosis yang bisa menimbulkan efek antineoplastik barulah efek nyeri berupa polineuropati yang simetrik timbul (10). Disestesia sering timbul pada tangan dan telapak kaki. Lebih banyak lagi adalah khemoterapi yang mengakibatkan efek samping berupa mukositis pada selaput lendir mulut, bibir, farings serta kadang-kadang di kavum nasi. Efek lanjut dari radiasi dosis tinggi adalah timbulnya fibrosis. Apabila fibrosis ini timbul di sekitar pleksus saraf maka bisa timbul nyeri di daerah yang dipersarafinya. Nyeri di sini sering disertai parestesia. Kadang-kadang akibat fibrosis ini terjadi pula limfedema di daerah distal dari proses fibrosis tersebut. Misalnya fibrosis dari pleksus lumbosakral akan menghasilkan nyeri disertai perubahan motorik dan sensorik serta limfedema di kedua tungkai. Radiasi di daerah lipatan atau di daerah dengan kelenjar keringat yang banyak, seperti aksila, inguinal, perineal dan lain-lain, sering memudahkan timbulnya lecet kulit daerah yang bersangkutan. Hal ini disebabkan karena daerah yang basah atau lipatan mendapat dosis yang relatif lebih tinggi daripada sekitarnya. Tidak jarang timbul herpes zoster pasca radiasi, neuralgia yang ditimbulkannya di sini. sama seperti kasus-kasus herpes lain yang timbul bukan karena radiasi. Radiasi yang mengikutsertakan medula spinalis karena letaknya yang berdekatan dengan lesi yang kita sinar, seperti pada karsinoma nasofaring dengan metastase kelenjar leher, bisa mengalami mielitis karena radiasi. Keadaan yang ringan adalah apa yang dinamakan tanda dari L'hermitte; pada keadaan ini apabila penderita menundukkan kepalanya timbul perasaan seperti terkena arus listrik pada bagian distal dari daerah medulla yang mendapat radiasi.
Cermin Dunia Kedokteran No. 26, 1982 17

Keadaan ini biasanya reversibel. Prinsip Pengobatan Tiga cara utama pendekatan penanganan nyeri karena proses keganasan adalah sebagai berikut (7) : (a) pengobatan kausal yaitu dengan obat atau tindakan untuk menghilangkan tumornya. (b) pengobatan simptomatik terhadap nyerinya tanpa menghiraukan penyebabnya. (c) paling ideal adalah kombinasi (a) dan (b). Pengobatan anti-kanker mencakup : 1. operasi, baik kuratif maupun simptomatik, termasuk disini eksisi dari tumor, kastrasi, adrenalektomi atau hipofisektorni, operasi bypass: misalnya pembuatan anus praeter pada obstruksi tumor di rektum, dekompresi tumor pada medulla spinalis, serta masih banyak lagi tindakan operasi dengan tujuan simptomatik. 2. Operasi dengan tujuan simptomatik. Terapi radiasi yang paling banyak mengurangi perasaan nyeri adalah pada tumor-tumor yang mengadakan metastase pada tulang, dekompresi akibat penekanan tumor ganas pada vena cava dan lain-lain.

3. Pengobatan hormonal. 4. Khemoterapi. 5. Imunoterapi yang pada saat ini di negara-negara maju sedang hangat-hangatnya dicoba. Apabila dengan cara-cara tersebut diatas tidak didapatkan hasil yang memuaskan, maka cara pengobatan harus segera dialihkan. Pilihan metoda pengobatan sekarang adalah menghi. langkan simptom atau mengurangi keluhan penderita tanpa memikirkan tumornya. Bonica (4) membagi cara pengobatan ini menjadi : a. obat-obatan : analgesik non narkotik, sedativa, psikoterapi serta bila perlu narkotika. b. memblokir saraf-saraf yang bersangkutan dengan menyuntikan anestetikum lokal atau bila diperlukan menghilangkan nyeri untuk waktu yang lama dengan agen neurolitika. c. tindakan bedah saraf. Termasuk disini adalah kordotomi, yaitu tindakan menghambat impuls-impuls serabut saraf yang berasal dari traktus spinothalamikus lateral pada daerah servikal atau torakal (11). d. metoda psikologi dalam hal ini termasuk psikoterapi, cara hipnosa dll.

KEPUSTAKAAN Parkes CM. Home or hospital ? terminal care as seen by surviving spouse. JR Coll Gen Pract 1978; 28 : 19 30. 2. Foley KM. Pain syndromes in patients with cancer. In : Advances in Pain Research and Therapy, vol 2, edited by JJ Bonica N York: Raven Press. 1979; 59 75. 3. Sternbach RH. Pain patients, traits and treatments, N York: Academic Press. 1974; 17. 4. Bonica JJ. Organization and function of pain clinic. In : Advances in Neurology vol 4, N York: Raven Press. 1979; 433 443. 5. Woodforde JM, Fielding JR. Pain and Cancer. In : Pain, Clinical and Experimental Perspectives. Mosby St Louis 1975; 332 336. 6. Bond MR. The relation of pain to the Eysenck Personality Inventary, Cornell Medical Index and Whitley Index of Hypochondri 1. Br J Psychiatry 1971; 119: 671 678. Bonica JJ. Cancer Pain. Monogr Ser Eur Organ Res Treat Cancer 1981;7:87115. 8. Bonica JJ. The management of Pain. Philadelphia: Lea & Febiger 1953. 9. Wall PD, Gutnick M. Ongoing activity and peripheral nerves:. the physiology and pharmacology of impulses originating from a neuroma. Exp Neuro 1974; 43 : 580 593. 10. Rosenthal S, Kaufman S. Vincristine neurotoxity. Ann Intern Med 1974; 80: 733 737. 11. Long DM. Relief of Cancer Pain by Surgical and Nerve Blocking Procedures. JAMA 1980; 244: 1759 2761. 7.

18

Cermin Dunia Kedokteran No. 26, 1982

Catatan Kecil tentang Nyeri


dr Widjanarko (Oei Tat le)
Tegal

Nyeri, sakit, dolor (Latin) atau pain (Inggris) adalah katakata yang artinya bernada negatif; menimbulkan perasaan dan reaksi yang kurang menyenangkan. Walaupun demikian, kita semua menyadari bahwa rasa sakit kerapkali berguna, antara lain sebagai tanda bahaya; tanda bahwa ada perobahan yang kurang baik di dalam badan manusia. Uraian ini merupakan sekedar obrolan tentang beberapa aspek dari rasa sakit dan tidak dibuat untuk suatu pembahasan yang mendalam. Menurut cerita kuno, umat manusia diganggu oleh penyakit-penyakit, problema-problema dan godaan-godaan karena kecerobohan seorang puteri cantik bernama Pandora. Pandora adalah wanita pertama yang diciptakan oleh Hephaestus, sebagai suatu makhluk dunia yang cantik dan memiliki sifatsifat kewanitaan yang benar-benar "top". Sebelum diturunkan ke dunia untuk dihadiahkan kepada Epimetheus, seorang dewa lain bernama Prometheus menitipkan hadiah pada Pandora, berupa satu kotak, yang oleh Prometheus telah diisi sebelumnya dengan semua penyakit, problema dan gangguan lain yang terdapat di dunia. Biarpun telah dipesan berulang-kali untuk jangan dibuka, Pandora sebagai wanita dengan nalurinya tidak dapat menahan rasa ingin tahu akhirnya membuka juga kotak rahasia itu dan keluarlah semua penyakit dan gangguan manusia. Kecerobohan Pandora benar memusingkan Prometheus, yang hingga hari ini masih saja mencoba utuk memasukkan kembali seluruh isi kotak tadi. Seperti juga fenomena-fenomena faali manusia lainnya, maka fenomena nyeri juga memiliki aspek-aspek anatomi dan biokimia. Walaupun telah dicetuskan beberapa teori, selukbeluk faal sakit belum diketahui selengkapnya. Pada ujung urat-urat syaraf sensorik terdapat reseptorreseptor yang menerima stimulus nyeri, lalu stimulus tersebut diteruskan melalui dua macam urat syaraf yaitu serat A dan serat C. Serat A banyak mengandung myelin dan stimulus lewat serat ini dapat berjalan cepat sekali; telah tercatat ada yang 12, 30, 70, dan 120 meter per detik. Serat A ini dapat dibagi lagi dalam beberapa jenis, yaitu alpha, beta, gamma dan delta. Serat C tidak banyak mengandung myelin
Dokter Widjanarko tergolong medikus praktikus yang telah cukup lanjut usianya. Walaupun demikian beliau terkenal sebagai penulis yang produktif, berdasar pengetahuan umum yang luas dan penguasaan il mu kedokteran yang cukup up-to-date. OLH

dan hantaran stimulus lewat serat ini berjalan lebih lamban, antara 0,5 sampai 2 meter per detik. Bila reseptor dari serat A dirangsang, maka timbullah perasaan nyeri yang terlokalisir jelas sekali, seperti tusukan jarum. Sebaliknya bila reseptor dari serat C dirangsang, maka efeknya berwujut sebagai suatu perasaan sakit yang lebih dalam dan tidak begitu jelas lokalisasinya, seperti rasa terbakar. Pada umumnya serat-serat syaraf yang menghantar stimulus nyeri memasuki chorda spinalis lewat ramus posterior dan berjalan ke atas lewat tractus spinothalamicus lateralis dan berhenti di nuclei dalam thalamus. Dikenal dua macam pendapat tentang mekanisme nyeri. Yang pertama berpendapat bahwa terdapat saluran-saluran khusus dan bilamana sistem ini dirangsang, maka timbullah respons sensorik yang spesifik, yaitu rasa sakit. Jadi rasa nyeri dianggap sejajar dengan panca-indera seperti: melihat dan mendengar. Pendapat yang kedua : rasa nyeri tak memiliki kekhususan. Menurut pendapat ini rasa sakit memiliki 'pattern' atau pola. Menurut "pattern-theory" ini, rangsangan-rangsangan pada urat syaraf menimbulkan rasa sakit, bila rangsangan pada reseptor-reseptor non-spesifik tersebut melebihi batas tertentu. Kasus-kasus seperti kausalgia, neuralgia perifer dan nyeri phantom pada kaki bekas amputasi mendukung teori yang kedua : tak terdapat saluran khusus untuk stimulus nyeri. Teori nyeri yang relatif baru ialah "gate-control theory", diuraikan oleh R. Melzack dan PJ Wall dalam tahun 1965. Dalam hal ini, yang berfungsi sebagai "gate" atau pintu gerbang adalah substantia gelatinosa dalam cornu posterior chorda spinalis. Substantia gelatinosa tersebut bekerja sebagai " portier" atau pengawas pintu gerbang. Stimulus-stimulus sensorik yang datang dari perifer dikontrol oleh substanstia gelatinosa sebelum rangsangan tadi dapat diteruskan ke sel-sel dalam cornu posterior. Sel-sel yang disebut terakhir ini meneruskan rangsangan nyeri ke sel-sel dalam otak. Mereka dinamakan " transmission cells" (TCells). Sel-sel di subtantia gelatinosa memonitor keseimbangan antara rangsang-rangsang yang melewati serat-serat berdiameter besar dan serat-serat yang berdiameter kecil. Biasanya chorda spinalis menerima impuls-impuls dari perifer lewat serat-serat tipis secara kontinu. Karena impulsimpuls kontinu ini, maka pintu gerbang (gate) berada dalam keadaan agak "terbuka", walaupun tak ada stimulus. Bila
Cermin Dunia Kedokteran No. 26, 1982 19

ada stimulus sensorik yang nyata umpamanya kulit dibelai, maka stimulus ini diangkut lewat serat-serat tebal. Stimulus ini menggugah TCells dan melalui "negative-feedback" menutup sebagian dari pintu-gerbang (gate). Bila rangsangan tadi bertambah banyak, maka pintu gerbang menutup dan kecepatan lintas dari stimulus menurun. Akan tetapi bila rangsangan sensorik ini dilanjutkan, maka terjadi adaptasi dan aktivitas serat-serat tipis bertambah dan berakibat pintu gerbang terbuka lebih lebar. Menurut "gate theory" maka perasaan sakit timbul, bilamana rangsangan yang dimonitor oleh TCells untuk diteruskan ke otak, melebihi batas tertentu, sehingga Tcells di substantia gelatinosa tidak sanggup mengontrol pemasukan stimulus-stimulus tadi. Selain itu, otak memiliki sistein kontrol kebawah, yang dapat mempengaruhi mekanisme "gate control " di substantia gelatinosa. Lewat kontrol balik ini, maka nilai intensitas sakit dapat menurun atau naik, sesuai nilai kesadaran, emosi serta ingatan kembali akan pengalaman sakit dimasa lampau. Mekanisme kontrol ini dapat menerangkan, mengapa orangorang yang terluka berat di medan perang hanya merasa nyeri sedikit, sedangkan orangorang tersebut tadi akan berteriak-teriak setinggi langit, bila mereka disuntik intravena atau intramuskuler yang agak kurang tepat di dalam rumah sakit. Dari fenomena ini dapat ditarik kesimpulan bahwa otak dapat mengontrol secara selektif pemasukan stimuli sensorik. Ada satu penemuan lain yang dapat mendukung "gatecontrol theory" ini, yakni pada orang-orang yang memiliki daya tahan sakit yang tinggi sejak lahir, maka comu posterior pada orang-orang tadi sedikit atau tidak mengandung serat-serat tipis. Selain segi-segi anatomi dan faal, dalam hal merasakan nyeri terdapat pula faktor-faktor pendidikan, lingkungan dan faktor-faktor sosial kulturil lainnya. Penderita yang datang dari kalangan sosial ekonomis rendah pada umumnya lebih tahan sakit daripada penderita yang berasal dari kalangan " the have's" . Penduduk kota lebih tidak tahan sakit dibanding dengan penduduk desa. Demikian pula, anggota keluarga dari petugas kesehatan seperti anak dokter atau bidan lebih cepat merasa sakit daripada anggota keluarga dari golongan bukan pekerja kesehatan. Perbedaan lingkungan dan pendidikan dalam hal merasakan sakit telah dengan gamblang digambarkan dalam ceritera kuno dari dunia Barat yang berjudul "The Princess on the Pea " . Ceritera ini mengisahkan seorang putri kerajaan yang pada suatu malam tidur diatas beberapa lapis kasur yang tebal. Dibawah kasur-kasur tadi terletak satu biji kacang kapri dengan akibat bahwa sang putri tidak dapat tidur semalam suntuk, karena terganggu oleh sebutir kacang kapri itu. Pada keesokan harinya sang putri bangun dengan rasa seluruh badan sakit dan penuh hematoma, seakan-akan terkena trauma berat. Bahwa psike memegang peranan penting dalam rasa sakit memang nyata. Contoh yang jelas ialah prajurit yang terluka berat di medan perang tanpa merasa nyeri yang berarti. Maka dapat dimengerti bahwa bila tingkat kesadaran dirubah misalnya dengan cara hipnosa atau trance, manusia dapat menjadi non-sensitif akan nyeri. Setelah menjalani persiapan rokhaniah dan jasmaniah dan acara-acara rituil lainnya dalam rangka pesta-pesta keaga20 Cermin Dunia Kedokteran No. 26 . 1982

maan atau kercayaan seperti di dalam klenteng, maka dalam keadaan trance, orang dapat mandi dengan minyak mendidih, dan lidah atau pipinya dapat ditusuk dengan jarum besar atau dipotong dengan pisau, tanpa merasakan sakit sedikitpun. Sebaliknya para penonton yang tidak dalam keadaan trance merasa kepanasan atau menjerit kesakitan bila terkena minyak panas tadi atau tertusuk jarum kecil. Seorang medicus practicus hampir tiap hari berhadapan dengan fenomena nyeri dan menggunakan cara-cara untuk mengurangi atau menghilangkannya. Yang selalu harus diingat ialah bahwa rasa sakit adalah suatu simtom dan usaha pertama ialah mencari kelainan yang menyebabkan rasa nyeri tersebut. Bila hanya rasa sakit saja yang diatasi, maka tindakan demikian sesungguhnya tidak menolong si penderita, malah mungkin justru membahayakannya. Setelah sebaik mungkin diberi pengobatan untuk memberantas penyakit yang menjadi sebab (underlying disease) seperti radang, contusio dan sebagainya, maka disamping itu diberi obat-obat atau dilakukan tindakan-tindakan lain untuk mengatasi rasa sakit. Rasa sakit inilah yang kerap kali menjadi pendorong bagi penderita untuk mencari pertolongan di Puskesmas, rumah sakit atau fasilitas pengobatan lainnya. Sebagaimana telah diketahui, analgesik dapat dibagi dalam yang narkotik dan yang non-narkotik. Diantara usaha-usaha untuk memerangi penyakit ialah anestesi lokal, fisioterapi, psikoterapi, self-hypnosis umum, akupunktur. Dalam tahap terakhir bisa dipertimbangkan hipofisektomi, chordotomi atau rhizotomi dorsal. Tindakan yang drastis yang tersebut terakhir ini, umumnya dilakukan pada kasus-kasus "intractable pain " seperti tumor-tumor ganas. Diantara problema-problema sakit di dalam praktek yang benar-benar sulit diatasi, ialah sakit akibat tumor ganas dan sakit pasca herpes zoster. Untuk nyeri post-herpes mungkin hanya blokade dari nervus sympathicus yang dapat menolong. Kembali sebentar pada "gate control theory " : rasa sakit pada lengan atau kaki bekas amputasi dapat dikurangi dengan getaran-getaran atau vibrasi kecil,umpamanya dipukul pelahanlahan dengan ujung jari. Getaran kecil ini dapat menutup pintu gerbang di substansia gelatinosa, sedangkan bila tekanan diperbesar, maka nyeri phantom tadi bertambah. Demikian pula rangsangan dan getaran kecil yang ditimbulkan oleh pengobatan akupunktur dapat menutup "pintu gerbang " . Dalam hal ini "gate control theory" dari dunia Barat bertemu dengan akupunktur, suatu cara pengobatan tradisional dari dunia Timur. Pertemuan Barat dan Timur ini mengingatkan kita pada kata-kata mutiara dari pengarang Inggris bernama Rudyard Kipling yang pemah berkata : "East is East and West is West and never the twain shall meet .............. " Disini East (akupunktur) dapat bertemu dengan West (gate control theory). Problema berat bagi medicus ialah mengatasi sakit akibat karsinoma atau tumor ganas lainnya. Di pusat-pusat kesehatan yang modern di kota-kota besar dapat dilakukan cara seperti "transcutaneous electronic stimulation", blokade dari ganglion dan lain-lain cara bedah syaraf. Dalam praktek di pelosokpelosok daerah umumnya hanya terdapat sarana-sarana analgetik narkotik dan non-narkotik, fisioterapi, akupunktur dan jangan dilupakan psikoterapi. Hubungan antara penderita dan dokter perlu dipelihana dengan baik. Perlu diusahakan agar

supaya walaupun penyakitnya dan rasa nyerinya tak dapat diatasi atau hanya dapat diringankan, penderita tidak kehilangan pengharapan. Memang sejak adanya kecerobohan dari putri Pandora, umat manusia masih saja diganggu oleh kuman-kuman dan gangguan-gangguan lainnya yang menimbulkan penyakit dan rasa sakit. Dari sekian banyak kuman, baru satu yang dapat dikejar dan ditangkap serta dimasukkan kedalam kotak Pandora, yakni virus variola, yang setelah diburu di segala penjuru dan pojok dunia oleh pemburu-pemburu kuman dari WHO, akhirnya dapat diamankan dari tempat persembunyiannya yang terakhir di Somalia dalam tahun 1977. Mudahmudahan kali ini Pandora ingat akan pesan Prometheus dan menutup rapat-rapat kotaknya agar tak akan ada pengganggu manusia yang lolos lagi. Kekhawatiran kiranya masih ada pada tokoh-tokoh pemburu kuman WHO: kemungkinan adanya reservoir virus di dunia binatang. Kapankah semua gangguan dan problema yang dilepaskan

oleh Pandora dapat dimasukkan kembali ke dalam kotaknya? Pertanyaan ini sulit dijawab, mengingat ulah manusia sendiri yang masih saja terus mengotori udara dan lingkungan hidupnya sendiri, membunuh binatang-binatang di hutan, serta meracuni diri sendiri dengan bermacam-macam "hiburan" seperti alkohol, marihuana, heroin, morfin, LSD, Angel Dust dan sebagainya. Bila manusia dapat membatasi ulahnya tadi, kiranya sebagian dari beban dan gangguan yang menimbulkan rasa sakit dapat dihindarkan. Sebaliknya, kepandaian dan pengetahuan manusia modern menghasilkan teknologi yang luar biasa seperti recombinant DNA, Computerised Tomography, Positron Emission Tomography dan lain-lain, mungkin dapat membantu Prometheus dalam usahanya mengkotakkan semua "mainan" Pandora yang terlepas dahulu kala. Bila waktu itu tiba, maka sebagian besar dari penyebab rasa nyeri telah disingkirkan. Untuk sementara waktu hal tadi hanya "wishful thinking" saja.

I DEALISME, FRUSTRASI, DAN PEMECAHANNYA SECARA REALISTIK ............Apakah praktek dokter umum itu benar-benar "umum", yaitu bukan spesialisasi? Jawabnya: bukan; ini adalah suatu spesialisasi dalam kesehatan keluarga dan kedokteran masyarakat. Tapi profesi kedokteran, kecuali di beberapa negara Barat, gagal mengembangkan spesialisasi itu, dalam arti tidak berhasil menciptakan pendidikan formal atau suatu prestise dan pendapatan yang setaraf dengan spesialisasi-spesialisasi
lain.

Bahkan dokter-dokter umum itu sendiri tak mampu menciptakan tangga karier bagi profesi mereka, selain naik ke kedudukan administratif yang lebih tinggi, dengan bersaing dengan para administrator kesehatan masyarakat. Tidaklah beralasan mengharapkan dokter yang baru lulus, setidak -tidaknya di negara sedang berkembang, untuk memutuskan dengan sukarela untuk berkarir di bidang praktek umum, bagaimanapun besar motivasinya, karena dia akan mengikatkan diri pada kehidupan di mana dia kadang kala harus tinggal dan bekerja di daerah terpencil dengan kondisi sosial yang minimal bagi dirinya serta keluarganya, di mana dia harus bekerja lebih lama dengan penghasilan yang lebih kecil, di mana pekerjaannya dianggap kurang berprestise di mata sejawatnya dan masyarakat, hanya karena dia bekerja diluar monumen kedokteran yang agung itu rumah sakit! Ini menciptakan keadaan dimana sebagian besar dokter umum adalah dokter yang tidak dapat mengambil spesialisasi atau para "drop-out" dalam pendidikan spesialisasi. Lebih buruk lagi, di negara berkembang, dokter -dokter umum biasanya diterlantarkan oleh sistem pelayanan kesehatan dalam arti tidak ada kesempatan untuk bea-siswa, pendidikan pasca sarjana, dan program pendidikan lanjutan. Maka suatu keadaan tercipta, dimana dokter-dokter umum bekerja terisolasi dari sejawat -sejawatnya di rumah sakit, dengan hubungan yang minimal, kursus-kursus penyegar yang terbatas, dan perlahan-lahan kompetensi profesionalnya menurun sehingga dapat benar-benar membawa pada kepercayaan bahwa "praktek umum adalah karir kelas dua dilaksanakan oleh dokter kelas dua". Karena alasan - alasan tersebut tenaga-tenaga pembantu dan paramedik harus menggantikan dokter -dokter umum di daerah-daerah terpencil, terutama di negara berkembang ............
Samir N. Banoub. World Health Forum 1981; 2 (3):326

Cermin Dunia Kedokteran No. 26, 1982

21

Penanggulangan Nyeri dengan Akupunktur


dr Husniah R Th Akib

Unit Akupunktur RSCM, Jakarta

Sejak tahun 1958 penggunaan akupunktur telah berkembang demikian rupa sehingga dapat digunakan untuk menanggulangi nyeri masa-bedah dan pasca-bedah. Keberhasilan akupunktur sebagai analgesi dalam pembedahan merangsang para peneliti, baik dari Timur maupun Barat, untuk mencoba menerangkan fenomena-fenomena akupunktur. Sekarang penggunaan akupunktur telah meluas ke seluruh dunia, walaupun masih jauh dari apa yang diharapkan. Maksud penulisan ini agar ilmu akupunktur dapat lebih dikenal, untuk kemudian digunakan sebagai salah satu cara pengobatan. Khususnya dalam penanggulangan masalah nyeri, yang ternyata belum dapat dipecahkan seluruhnya dengan cara-cara terapi yang biasa digunakan selama ini.

Konsep-konsep Dasar dalam IImu Akupunktur Untuk memahami penanggulangan nyeri dengan akupunktur, lebih dahulu perlu dimengerti konsep yang mendasari il mu tersebut, yaitu : I. Konsep Mikrokosmos didalam Makrokosmos (1).- Dalam ilmu akupunktur, manusia dipandang sebagai bagian dari alam semesta. Dan hukum-hukum yang berlaku di alam, dapat diterapkan juga pada tubuh manusia. II. Konsep Yin dan Yang (1,2).- Konsep ini menyatakan bahwa segala sesuatu di alam terdiri dari dua unsur yang saling bertentangan, tapi membentuk kesatuan yang tak dapat dipisahkan, dan saling mempengaruhi, yang disebut Yin dan Yang. Manifestasi kesatuan dari enersi bipolar Yin dan Yang, yang mengaktifkan dan mempertahankan hidup, disebut enersi vital (enersi hidup/ "ci"). Enersi vital ini berasal dari lingkungan organisme sendiri, yang melalui proses seperti respirasi dan nutrisi dikonversi ke dalam bentuk tertentu, oleh organ-organ tertentu. Kemudian disimpan di dalam tubuh dan didistribusikan melalui sistem tertentu, yang disebut meridian. Meridian adalah suatu sistem saluran yang tersebar di seluruh tubuh, membentuk susunan seperti jala yang teratur (3). Pada tempat-tempat tertentu di permukaan tubuh terdapat tempat-tempat khusus untuk mengendalikan sirkulasi tersebut, yang disebut titik akupunktur. Tiap meridian mempunyai hubungan dengan unit organ-dalam tertentu. Dalam keadaan sehat kedua unsur Yin dan Yang berada dalam keadaan seimbang. Dalam keadaan demikian, enersi vital dapat bersirkulasi
22 Cermin Dunia Kedokteran No. 26, 1982

dengan lancar melalui sistem meridian. Bila terjadi hambatan/ perlambatan/gangguan sirkulasi enersi vital, akan timbul gangguan, yang berupa rasa tidak nyaman, nyeri, atau keadaan sakit. Bila terjadi gangguan sirkulasi enersi vital, dapat dilakukan koreksi melalui titik akupunktur. III.Konsep Lima Unsur (1 ).- Konsep ini menyatakan bahwa segala sesuatu di alam tersusun dari 5 unsur dasar. Kelima unsur dasar ini merupakan simbol yang dapat diterapkan juga pada tubuh manusia. Organ-organ, jaringan tubuh, fungsinya, komponen psikiknya, dll digolongkan menjadi salah satu dari ke 5 unsur ini . Unsur-unsur ini saling bereaksi menurut siklus tertentu. Tiap unsur dari ke 5 unsur ini mempunyai hubungan fisiologik dengan ke 4 unsur. lainnya, saling mempengaruhi, saling membatasi, saling tergantung, menurut hukum lima unsur. Pada gangguan organ tertentu, dapat terjadi perubahan kompleks, yang perkembangannya mengikuti hukum-hukum lima unsur. Dalam keadaan sehat, komponen-komponen anatomik, fisiologik dan psikologik, yang masing-masing dikelompokkan menurut 5 unsur, harus berada dalam keadaan seimbang satu sama lain dan juga seimbang dengan lingkungan di sekitarnya. Pada prinsipnya, keadaan sehat menurut Ilmu Akupunktur adalah keadaan dimana terdapat keseimbangan. Seimbang antara Yin dan Yang, seimbang diantara organ-organ tubuh sendiri, dan seimbang antara mikrokosmos dan makrokosmos. Keadaan ketidakseimbangan menimbulkan keadaan sakit. Penanggulangan dilakukan dengan prinsip mengembalikan keseimbangan. Dalam ilmu akupunkur, manusia harus dipandang sebagai suatu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan (holistik), karenanya suatu gangguan yang terjadi di tubuh tidak dapat dipandang sebagai suatu kelainan yang berdiri sendiri. Nyeri menurut Akupunktur Nyeri merupakan salah satu tanda adanya gangguan sirkulasi enersi vital, yang dapat terjadi karena banyak faktor. Secara garis besar gangguan enersi vital dapat terletak : (a) Hanya pada meridian saja (b) Hanya pada organ dalam saja (c) Pada meridian dan organ Gangguan sirkulasi dapat bersifat ekses atau defisiensi

Penanggulangan Nyeri menurut llmu Akupunktur Penanggulangan dilakukan secara kausal dan simtomatik. Terapi simtomatik saja harus dihindari, karena hilangnya nyeri dapat menyamarkan sumber bahaya yang sesungguhnya, yang kadang-kadang dapat berakib at fatal. 1. Pemilihan titik akupunktur (a) Untuk terapi kausal dipilih titik-titik yang mempunyai pengaruh khusus pada organ/meridian yang bersangkutan. (b) Untuk terapi simtomatik dipilih titik-titik "Yes Point" ("Ahse point " ), yaitu titik-titik dimana nyeri terakumulasi. Terapi simtomatik juga dilakukan terhadap gejalagejala yang mungkin timbul karena gangguan organ/meridian, menurut teori fenomena organ yang dikenal dalam ilmu akupunktur. Untuk ini dipilih titik-titik yang sesuai dengan gejala yang timbul. 2. Metode stimulasi (a) Sedasi ( " sie " ). Dilakukan pada gangguan yang bersifat ekses (b) Tonifikasi ("pu " ). Dilakukan pada gangguan yang bersifat defisiensi Untuk mendapatkan hasil terapi yang optimal, stimulasi titik akupunktur dilakukan hingga mencapai sensasi penjaruman ("te ci"). Sensasi penjaruman adalah timbulnya perasaan baal, berat, linu, yang dapat menjalar ke distal atau proksimal pada waktu penusukan jarum tepat pada titik akupunktur. 3. Jenis-jenis stimulasi (a) stimulasi manual, stimulasi dilakukan dengan penusukan, pencabutan dan pemutaran jarum yang dilakukan dengan tangan. (b) stimulasi listrik, dilakukan dengan menghubungkan jarum akupunktur dengan stimulator listrik. (c) stimulasi dengan akuapunktur, dilakukan penyuntikan titik akupunktur dengan cairan (akuades, NaCl, vitamin, prokain, dll). (d) stimulasi dengan moksibusi, dilakukan dengan memanasi titik akupunktur dengan ramuan daun Artemesia vulgaris yang dibakar. (e) stimulasi dengan akupressure, yaitu penekanan titik akupunktur dengan jari. (f) stimulasi dengan ultrasound, laser, dll. 4. Jumlah dan Frekuensi terapi (4) Jumlah dan frekuensi terapi tergantung dari jenis serta berat ringannya nyeri. (a) Pada nyeri akut : 1 sampai 3 kali sehari sampai nyeri hilang (b) Pada nyeri kronis : 1 sampai 2 atau 3 kali seminggu, sejumlah 10 sampai 20 kali. 5. Lama stimulasi Lama stimulasi tergantung dari jenis dan metode stimulasi yang digunakan. Murphy TM & Bonica JJ untuk stimulasi manual memerlukan waktu 10 - 15 menit (4).

Indikasi Indikasi penanggulangan nyeri dengan akupunktur adalah nyeri yang bersifat fisiologik (5-7). Pada nyeri yang timbul karena kelainan organik, walaupun akupunktur dapat memberi perbaikan, umumnya perbaikan itu bersifat sementara. Indikasi-kontra Kehamilan, akupunktur pada daerah tumor, infeksi kulit, adanya alat pacu jantung (8). Hasil-hasil Hasil akupunktur sebagai penanggulang nyeri telah dibuktikan dengan penelitian baik di Timur maupun di Barat, diantaranya : Alabama Medical School Pain Clinic, melakukan penelitian pada 300 kasus yang menderita nyeri mulai dari 1 - 30 tahun. Didapat angka keberhasilan 55%. (9) Indiana University Medical School, melakukan penelitian pada kasus-kasus lumbago, mendapatkan angka 65%. (9) Li Tu Wang di Taipei pada 305 kasus mendapatkan keberhasilan 90%. (10) Hyodo M, melakukan penelitian di Pain Clinic, Osaka, Jepang, pada 10.000 kasus nyeri kronis yang tidak menunjukkan hasil dengan terapi biasa (obat oral,iv, fisioterapi, operasi). Didapat hasil penyembuhan 90% pada sakit tengkuk, 43% untuk lumbago, 52% untuk cephalgia. Dan pada percobaan perbandingan antara akupunktur dan blok syaraf didapat bahwa hasil akupunktur lebih baik untuk kasus-kasus sakit tengkuk, cephalgia, nyeri sebagai gejala sisa trauma capitis, atypical fascial neuralgia, kaku bahu, neck shoulder hand syndrome, spasme fascialis, traumatic cervical syndrome, dan sakit pada seluruh tubuh karena berbagai sebab. (11)

MEKANISME KERJA AKUPUNKTUR Kriteria penting untuk mendapatkan hasil terapi akupunktur yang optimal adalah tercapainya sensasi penjaruman. Dikatakan bahwa sensasi ini akan menimbulkan impuls sensoris spesifik ke otak. Nyeri yang timbul dan impuls spesifik tersebut saling bersaing pada sistem proyeksi non-spesifik. Bila impuls spesifik dari penjaruman dapat menyaingi impuls nyeri, nyeri akan dihambat dan tidak dapat dirasakan. Konduksi impuls penjaruman itu dihipotesiskan melalui : 1. Sistem syaraf somatis ; sehubungan dengan ini dipikirkan bahwa mekanisme kerja akupunktur dalam penanggulangan nyeri berkaitan dengan hipotesis "Gate Control", teori Reflexoterapi, dll. 2. Sistem syaraf otonom ; berkaitan dengan ini timbul teori susunan syaraf otonom, dll. Disamping hal tersebut diatas, diamati pula bahwa untuk mendapatkan efek penanggulang nyeri dengan akupunktur, diperlukan waktu tertentu. Hal ini dikaitkan dengan waktu yang diperlukan untuk memproduksi suatu substansi penghilang nyeri neurohumoral, karenanya timbul teori endorphin, dll. Selain teori-teori diatas, masih banyak teori/hipotesis lain.
Cermin Dunia Kedokteran No. 2 6, 1982 23

Teori "Gate Control" dan "Two Gate Control" Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Melzack & Wall pada tahun 1965 (12). Menurut teori ini pada cornu dorsalis medula spinalis terdapat mekanisme neural, yang berfungsi sebagai gerbang, yang dapat mengatur rangsang dari syaraf perifer ke SSP. Secara anatomis, gerbang tersebut terletak di substansia gelatinosa. Hantaran rangsang syaraf dari serabut aferen perifer, ke sel Transmisi medula spinalis, diatur oleh mekanisme "gate control" di cornu dorsalis. Mekanisme ini dipengaruhi oleh jumlah relatif serabut besar dan serabut kecil. Serabut berdiameter besar ( A ), bermyelin, berdaya konduksi cepat, menghantar rangsang bukan nyeri (raba, tekan). Serabut berdiameter kecil (serabut bermyelin C & serabut bermyelin ), berdaya konduksi lambat, menghantar rangsang nyeri. Aktifitas serabut besar cenderung menghambat transmisi (menutup gerbang), sedang aktifitas serabut kecil cenderung memudahkan transmisi. Bila perangsangan pada sel Transmisi mencapai ambang kritis, terjadi nyeri pada daerah persyarafan yang bersangkutan, disertai pola dan pengalaman karakteristik dari nyeri tsb. Mekanisme "gate control" ini juga dipengaruhi impuls yang desendens dari SSP. Secara singkat dikatakan bahwa perangsangan serabut besar ( A ) yang berdaya konduksi cepat, seperti perangsangan titik akupunktur, akan menimbulkan impuls bukan nyeri. Ini menghambat impuls nyeri yang timbul karena perangsangan serabut kecil pada substansia gelatinosa medeula spinalis. Karenanya gerbang menutup dan nyeri tidak dapat dirasakan. Teori ini mempunyai kelemahan, yaitu tidak dapat menerangkan efek akupunktur pada daerah yang tidak dipersyarafi oleh nervi spinalis, misalnya pada daerah muka dan kepala, karena substansia gelatinosa berakhir di medula spinalis. Untuk itu Man & Chen, tahun 1972, mengemukakan teori " two gate control", yang merupakan pengembangan dari teori "gate control" (13). Dihipotesiskan bahwa ada lagi gerbang, yang disebut gerbang utama, yang terletak di thalamus. Jadi bila dilakukan akupunktur pada daerah yang dipersyarafi oleh nervi cranialis, impuls bukan nyeri tersebut akan langsung menuju gerbang utama di thalamus, yang akan menghambat nyeri dari seluruh bagian tubuh, tanpa perlu menutup gerbang pertama di substansia gelatinosa. Juga dikatakan bahwa formatio reticularis mempunyai peranan yang unik dan ikut ambil bagian dalam inhibisi nyeri ini. Banyak penelitian yang dilakukan untuk membuktikan hubungan antara teori ini dengan efek akupunktur. Pada pemeriksaan mikroskopik sediaan yang diwarnai, dari titik akupunktur dan non-akupunktur, untuk serabut bermyelin dan tidak, didapati bahwa pada titik akupunktur serabut bermyelin 3 kali lebih banyak, sedang pada titik non-akupunktur hampir sama banyak (14, 15) Teori Susunan Syaraf Otonom Tirgoviste CI, 1969, menyimpulkan bahwa titik akupunktur adalah daerah konsentrasi syaraf-syaraf otonom yang mempunyai hubungan dengan organ-dalam tertentu (16). Karena itu perangsangan daerah ini akan memberi perubahan pada fungsi organ-dalam yang berhubungan dengannya. Juga perangsangan titik yang banyak mengandung reseptor otonom ini
24 Cermin Dunia Kedokteran No. 26, 1982

akan memulai suatu seri refleks otonom mumi dengan aferen, eferen dan sentrum otonom. Juga telah diketahui bahwa SSO terlibat dalam proses generasi dan persepsi nyeri pada tubuh manusia, sebagaimana terbukti pada penderita dystrophia sympatik & causalgia, yang mendapat kesembuhan setelah simpatektomi (17). Chou L & Chen Y, melakukan pengamatan pada PGE plasma dalam hubungannya dengan pengendalian nyeri akupunktur (18). PGE merupakan regulator humoral yang penting untuk SSG. PGE mengurangi pelepasan neurotransmitter adrenergik, juga mempunyai efek sedatif, penenang dan analgesi. Mereka mendapati adanya hubungan bermakna antara efek akupunktur sebagai pengendali nyeri dan peninggian PGE plasma. Disimpulkan bahwa PGE ikut berperan serta dalam mengendalikan nyeri dengan akupunktur. PGE meregulasi aktifitas susunan syaraf simpatik, sehingga membantu menanggulangi nyeri, serta mengatasi gangguan fisiologik yang timbul. Juga diduga akupunktur merangsang biosintesis prostaglandin di SSP, dan ini akan meninggikan efek analgesi. Teori Endorphin Teori ini diajukan untuk pertama kali pada tahun 1974 oleh Mayer & Liebeskind dkk. Mereka mengajukan hipotesis, bahwa stimulasi listrik dapat merangsang pelepasan suatu substansi yang mirip morphin (19). Substansi ini dapat menimbulkan efek analgesi yang sebanding dengan yang ditimbulkan morphin dalam dosis 10-50 mg/kg BB. Teori ini timbul berdasarkan sifat khas akupunktur yang memerlukan waktu untuk menanggulangi nyeri (4). Juga karena penjaruman titik akupunktur di suatu tempat dapat menanggulangi nyeri di tempat yang jauh darinya (20). Yang MMP dkk. mengadakan percobaan sirkulasi bersilang pada 2 kelinci donor dan resipien (20). Donor diakupunktur, resipien tidak. Didapat peninggian ambang nyeri pada keduanya. Peninggian ini menghilang bila sebelum akupunktur diberikan naloxone. Disimpulkan bahwa peninggian ambang nyeri pada kelinci resipien disebabkan oleh faktor humoral, yang sangat mungkin adalah suatu substansi endogen yang mirip morphin. Pada percobaan lain, disuntikan liquor cerebrospinalis atau ekstrak serum dari kelinci yang diakupunktur, pada kelinci yang tidak diakupunktur ; didapat peninggian ambang nyeri ; yang juga dapat dihambat oleh naloxone. Mereka mengajukan hipotesis tentang mekanisme kerja pati rasa alamiah ini. Bahwa endorphin dan enkephalin, bila disekresikan sebagai respons terhadap nyeri, terikat pada reseptor opiat, yang terletak pada daerah periaquaductus substansia kelabu, mengaktifkan suatu jalur inhibisi nyeri desendens, melalui nukleus Raphe Magnus, dan mempengaruhi transmisi dan pengaturan nyeri, yang berlokasi di lamina 1,2 dan 5 medula spinalis (20,21). Zhong YL menyimpulkan bahwa dengan merangsang titik akupunktur terjadi rangsang proprioceptive, yang ditransmisi melalui serabut besar ke formatio reticularis, thalamus dan sistem limbik. Di sini akan terjadipelepasan endorphin, yang akan menghambat transmisi nyeri. Sementara itu pada sistem limbik yang berperan penting dalam emosi, terjadi pengalihan aspek emosi dari pada nyeri sehingga terjadi anxiolitik dan euphoria (7)

Selain teori/hipotesis diatas, masih banyak teori/hipotesis lain, misalnya teori biolistrik, teori reflexo therapeutical (Head), teori sistem syaraf sentral, teori neurohumoral, dll. Indikasi penggunaan Akupunktur sebagai penanggulang nyeri diluar Cina . Penggunaan akupunktur sebagai penanggulang nyeri di luar Cina terbatas pada jenis nyeri yang telah dapat dibuktikan berhasil pada penelitian ditempat yang bersangkutan. Karena itu indikasi penggunaannya bervariasi : nyeri yang bersifat fisiologis, misalnya "tension headache ", neuralgia esensial, dll. (5 - 7). penderita yang harus makan obat-obat analgetika terus menerus/ dalam dosis besar (19, 22).

nyeri kronis yang telah resisten dengan metode penanggulang nyeri lain (23). nyeri yang tidak berfungsi sebagai signal adanya gangguan organ tubuh, misalnya pada neuritis post herpeticum. Pada nyeri dimana sumber kelainan tidak dapat disembuhkan, misalnya rheumatoid artritis lanjut. Simtomatis untuk melengkapi terapi lain (24). Dalam rangka pemerataan pelayanan kesehatan keseluruh pelosok tanah air, dimana komunikasi relatif masih sulit, obat-obat relatif mahal & belum mencukupi, akupunktur akan banyak manfaatnya, terutama karena praktis, ekonomis, dapat digunakan pada kasus yang allergi dengan obat-obatan, kasuskasus dimana obat-obat analgetika tidak dapat diberikan/pemberian obat mempunyai resiko besar dll.

KEPUSTAKAAN

1. Tsuei JJ. Comparison of the Eastern & the Western approaches to medicine ; Basic acupuncture a scientific interpretation & application. Taipei : Chinese acup. science research foundation, 1977 ;pp 11 26. 2. Schatz J. A common purpose. World Health 1979; Dec, pp 2123 3. Tse Ching San, Wangsasaputera E, Wiran S, dkk. Ilmu Akupunktur. Jakarta : Bagian Akupunktur Rumah sakit dr Cipto Mangunkusumo, 1973; hal 54 55. 4. Murphy TM, Bonica JJ. Symposium on pain : Acupuncture analgesia and anaesthesia. Arch Surg 1977; 112: 896 902. 5. Mann F. Acupuncture, the ancient chinese art of healing. London: William Heineman medical books ltd, 1962; pp 150. 6. Austin M. Acupuncture Therapy. New York: ASI Publ Inc, 1975; pp 259 261. 7. Zhong Yi Liu. Acupuncture for chronic pain: practice and mechanism of action. Am J Acup. 1980; 8: 313 317. 8. Bannerman RH. Acupuncture. The WHO View, 1979; Dec, pp 24 29. 9. Berman DA. Pain relief & Acupuncture : The If, Why and How. Am J Acup. 1979; 1 : 31 40. 10. Li Tu Wang. Results of acupuncture treatment for pain relief; Basic acupuncture a scientific interpretation & application. Taipei: Chinese acup. science research foundation, 1977; pp 123 124. 11. Hyodo M. The Indication of Acupuncture in the Pain Clinic; Recent advances on Acupuncture treatment, part II. Osaka : Osaka medical college, 1977;pp 1 7. 12. Melzack R. The puzzle of pain. Victoria : Penguin books,1973. 13. Man PL, Chen CH. Acupuncture analgesia, theory & potential clinical application. Medical progress 1975; 2 : 87 98. 14. Lu G, Liang R, Xie J, Wang Y, He G. The composition of the afferent fibers from point "Zusanli" in relation to acupuncture

15.

16. 17. 18.

19.

20.

21.

22. 23. 24.

analgesia : A functional morphological investigation, Advances in acupuncture & acupuncture anaesthesia. Beijing : The People's Medical Publ. House,1979; pp 409 411. Xie J, Yang J, Lu G. The calibre spectra of the myelinated afferent fibers of point "Zusanli" in relation to acupuncture analgesia; Advances in acup. & acup. anaesthesia. Beijing: People's Medical Publ. House, 1979; pp 413 414. Tirgoviste CI. Theory of mechanism of action in acupuncture. Am J Acup 1973; 1 : 193 199. Looney GL. Acupuncture study. JAMA 1974; 228: 1522. Chou Lungwu, Chen Yushen. Changes in plasma PGE concentration among patients under acupuncture anestesia; Advances in acupuncture & acupuncture anaesthesia. Beijing: The People's Medical Publishing House; 1979, p 499. Omura Y. Pathophysiology of acupuncture effects, ACTH and Morphin like substances, pain, phantom sensations (phantom itch & coldness), brain micro-circulation, and memory. Acup & Electrotherapeut Res 1976; 2 : 1 31. Yang MMP. Abstract : the role of endogenous ligands, endorphins, in the mechanism of acup. analgesia. Department of physiology, Faculty of medicine University of Hongkong. Gong Bai Chen. Role of the nervous system of the human body with regard to acupuncture analgesia; Acup & Electrotherapeutics Res. 1981; 6 : 7 17. Wensel LO. Acupuncture for Americans. Virginia : Reston Publ Co, 1980. Lee PK, Andersen TW, Modell JH, Segundia AS. Treatment of chronic pain with acupuncture. JAMA 1975; 232: 1133 1135. Chaitow L. Acupuncture treatment of pain. Great Britain: Thorson Publ Ltd; 1976; pp 9 30.

Dia telah menjadi dokter setahun ini dan telah punya dua pasien tidak, tiga, kukira ya. tiga ! Saya hadir dalam pemakaman mereka. Mark Twain

Cermin Dunia Kedokteran No. 26, 1982

25

Nyeri Dada pada Penderita Penyakit Paru


dr Amirullah R Biro Pulmonologi Rumah Sakit Dr Mintohardjo, Jakarta

Timbulnya nyeri dada sering mengakibatkan kecemasan baik pada penderita maupun pada dokter, karena takut nyeri tersebut diakibatkan oleh penyakit jantung; padahal masih banyak sebab-sebab lain yang dapat menyebabkan nyeri dada. Pada tulisan ini akan diuraikan perihal nyeri dada dengan latar belakang penyakit-penyakit paru dan pleura. PENYEBAB TIMBULNYA RASA NYERI DADA Hal-hal yang dapat menimbulkan nyeri dada banyak sekali antara lain : 1. Kelainan dari sistem kardiovaskuler seperti angina pektoris, infark miokard akut, perikarditis akut, kardiomiopati kongestif, aneurisma, dissecting aorta dll. 2. Kelainan paru dan pleura. 3. Kelainan esofagus seperti esofagitis akut dan kronik, akalasia, neoplasma esofagus dll. 4. Kelainan dari dinding dada seperti fraktur kosta, kelainan otot dada, kelainan otot interkostalis dll. 5. Kelainan organ-organ di luar rongga dada seperti kholesistitis akut dan kronik, ulkus peptikum, abses subfrenik dll. 6. Yang berhubungan dengan kelainan emosi seperti kecemasan, jiwa yang tertekan dll. Aspek psikologi nyeri dada Timbulnya nyeri dada selalu diikuti oleh komponen emosi. Toleransi dan reaksi seseorang terhadap rasa nyeri sangat berbeda-beda. Ada penderita dengan rasa sedikit nyeri sudah banyak keluhan, sebaliknya ada penderita walaupun merasa nyeri sekali tetapi tidak mengeluh. Menilai rasa nyeri sangat sulit karena tak ada satu instrumen yang dapat mengukur rasa nyeri secara tepat. Biasanya rasa nyeri diukur secara subjektif tergantung pada keterangan yang diberikan penderita. Kadangkadang penderita tidak dapat menerangkan rasa nyeri yang dirasakannya secara tepat dan apa yang diterangkannya seringsering tidak sesuai dengan gambaran Minis yang didapat di dalam buku teks. Oleh karena itu sering sulit menegakkan diagnosis hanya berdasarkan keterangan penderita. Didalam menilai rasa nyeri dokter dihadapkan pada 2 hal yaitu intensitas rasa nyerinya sendiri dan reaksi dari pasien. Reaksi penderita tergantung dari banyak faktor. Nyeri dada pada umumnya selalu dihubungkan dengan serangan jantung atau kanker paru, walaupun kanker paru pada stadium dini tidak menimbulkan gejala-gejala nyeri dada.
26 Cermin Dunia Kedokteran No. 26, 1982

Dihubungkannya nyeri dada dengan serangan jantung oleh karena memang penyakit-penyakit jantung merupakan salah satu sumber timbulnya nyeri dada dan penderita selalu ketakutan akan meninggal dunia sebagai akibat serangan jantung. Sehubungan dengan hal tersebut diatas beberapa pasien akan tergesa-gesa pergi ke dokter untuk mendapatkan pemeriksaan dan pertolongan. Tetapi ada juga pesien yang menganggap enteng nyeri dada, dan biasanya mereka tidak pergi ke dokter untuk meminta pemeriksaan dan pengobatan . Pada penderita yang seperti ini kadang-kadang keadaan fatal terjadi oleh karena terlambat. Hal yang menarik ialah bahwa kebanyakan dokter termasuk kategori ini KELAINAN PARU DAN PLEURA YANG MENIMBULKAN NYERI DADA Sebagaimana organ-dalam lainnya, jaringan paru hanya sedikit mengandung reseptor nyeri. Oleh karena itu jarang rasa nyeri timbul dari jaringan paru. Rasa nyeri yang timbul biasanya dirasakan di linea mediana dan sulit ditentukan lokalisasinya. Reseptor nyeri yang terdapat di paru terletak pada saluran nafas yang besar-besar (trakea, bronkus utama, bronkus lobus dan kemungkinan juga pada bronkus segmen) dan pada dinding arteri-arteri besar. Jadi, rasa nyeri dari paru kemungkinan berasal dari saluran nafas atau pembuluh darah yang besar. Trakeobronkitis akut Radang akut dari saluran nafas bagian atas akan menimbulkan rasa nyeri yang sedang dan digambarkan sebagai perasaan perih di tenggorokan dan iritasi saluran napas, juga dirasakan nyeri dan pans di retrosternal bagian atas. Keadaan akut terjadi umumnya hanya pada waktu ada epidemi influenza.Pasien jarang sampai sakit berat, gejala-gejalanya dapat hilang dengan atau tanpa pengobatan dalam beberapa hari. Pada pemeriksaan bronkoskopi biasanya hanya ditemukan selaput mukosa yang meradang yang berwarna merah dan mudah berdarah apabila kena sentuhan. Bermacam-macam uap yang merangsang dapat menyebabkan peradangan saluran nafas bagian atas, biasanya hanya ringan dan sebentar (uap amonia). Pada keadaan tertentu keadaan nyeri dapat berlang-

sung lama. Hal ini biasanya disebabkan oleh karena polusi udara. Akibat perkembangan industrialisasi, sulfur dioksida, nitrogen peroksida akan bertambah tinggi konsentrasinya dalam udara. Pada perang dunia kedua banyak serdadu yang mengalami trakeobronkitis akibat mengisap gas chlorine. Penderita bronkitis kronis dengan batuk yang produktif dapat juga merasakan perasaan nyeri retrosternal. Hipertensi pulmonal Rasa nyeri akibat hipertensi pulmonal akut dirasakan di tengah-tengah dada seperti digencet dan diperas dan sering dikacaukan dengan rasa nyeri akibat infark miokard. Bedanya ialah rasa nyeri akibat hipertensi pulmonal akut tidak menjalar ke bahu, ke punggung dan ke bawah rahang. Biasanya dirasakan retrosternal dalam dan penderita merasa cemas dan takut akan mati. Rasa nyeri ini timbul akibat pelebaran pembuluh darah secara mendadak. Penurunan PaO2 akan mengakibatkan konstriksi arteriarteri kecil. Ini akan mengakibatkan peninggian tekanan pada arteri besar yang menyebabkan pelebaran pembuluh darah besar, dan akhirnya menimbulkan rasa nyeri dada. Rasa nyeri dada dapat juga timbul pada orang yang sebelumnya sehat atau pada penderita hipertensi pulmonal.kronis apabila beban berlebihan atau kebutuhan berlebihan akan O 2 menaikkan tekanan darah. Sebagai contoh orang sehat yang tiba-tiba merasakan nyeri dada akibat hipertensi pulmonal ialah penderita dengan nafas yang tiba-tiba tersumbat. Pada pendaki gunung rasa nyeri akan hilang apabila penderita disuruh bernafas dengan udara dengan konsentrasi O 2 yang tinggi, Penderita anemi waktu bekerja agak berat juga akan merasakan nyeri dada. Penderitapenderita dengan PaO2 rendah yang kronis akan merasa nyeri dada apabila terjadi perburukan dari penyakit yang mendasarinya. Umpamanya timbulnya pneumonia pada penderita bronkitis kronik, timbulnya status asmatikus pada penderita asma bronkiale kronik, atau penderita melakukan pekerjaan yang berlebihan sehingga kebutuhan akan O 2 bertambah yang mengakibatkan pelebaran arteria pulmonalis. Distorsi dan dislokasi arteria pulmonalis Tumor yang besar di hilus dapat menyebabkan distorsi dan dislokasi arteria pulmonalis dan ini dapat menyebabkan timbulnya rasa nyeri yang dalam pada dada. Kadang-kadang timbulnya rasa nyeri ini merupakan gejala pertama dari tumor hilus.

batuk, bersin dan tertawa. Nyeri pleuritik yang tiba-tiba dapat disebabkan oleh infark paru yang kecil dan pneumotoraks spontan. Emboli paru Nyeri dada akibat emboli paru ada dua macam; jenis nyeri dada ini dapat dipakai sebagai pegangan untuk menduga besar kecilnya emboli yang timbul. 1. Emboli paru besar akan mengenai arteri besar dan tidak sampai pada arteri-arteri kecil dekat pleura. Rasa nyeri yang timbul selalu tiba-tiba, seperti digencet dan diperas di tengahtengah dada dan tidak menjalar ke lengan dari ke belakang. Biasanya penderita mengalami shok, banyak diantara penderita meninggal sewaktu berada di toilet. Rasa nyeri dada hanya berlangsung beberapa menit sampai beberapa jam saja, apabila penderita dapat bertahan hidup beberapa jam kemudian akan sembuh. Pada emboli paru besar biasanya jaringan paru tidak mengalami nekrosis oleh karena akan mendapat vaskularisasi kollateral dari arteri bronkialis. Jaringan paru bagian proksimal sebagian besar mendapat vaskularisasi dari arteria bronkialis, hanya jaringan paru yang paling distal yang mendapat vaskularisasi mutlak dari arteria pulmonalis. 2. Emboli paru kecil biasanya yang terkena adalah pembuluh darah kecil di perifer. Biasanya nyeri yang timbul seperti rasa nyeri pleuritik, sering disertai dengan batuk darah. Batuk darah ini disebabkan karena terjadinya infark jaringan paru di perifer yang tidak mendapat vaskularisasi oleh karena emboli. Jaringan paru yang mengalami infark ini oleh karena letaknya di perifer dapat mengakibatkan peradangan di pleura dan selanjutnya menimbulkan nyeri pleuritik. Rasa nyeri akibat emboli paru kecil ini dirasakan sangat sakit sekali dan berlangsung lama sampai beberapa hari. Rasa nyeri pleuritik lebih dari 7 hari pada penderita yang akut dapat diduga disebabkan oleh karena emboli paru kecil. Emboli paru kecil kadang-kadang disertai dengan sedikit pleural effusion, 50%a diantaranya berdarah. Apabila sembuh biasanya meninggalkan jaringan fibrotik (jaringan parut) yang pada foto toraks merupakan garis-garis liner. Diagnosis emboli paru sangat sulit ditegakkan dari otopsi, kebanyakan kasus tak dapat didiagnosa, sehingga frekwensi emboli paru tak dapat dipastikan dengan tepat. Untuk menegakkan diagnosis perlu diperhatikan ada tidaknya faktor risiko: Penderita lama ditempat tidur. Berat badan yang berlebihan pada orang tua. Post-operatif (bedah ortopedi, bedah perut) Wanita yang meniakai pil kontraseptif. Riwayat flebitis. 70% 90% penderita emboli paru diduga berasal dari vena kaki. Penderita emboli-paru-besar 80% meninggal dalam waktu 3 jam. Diagnosis emboli paru dapat diduga dan dibuktikan dengan arteriografi dan scanning paru. Emboliektomi paru tak dianjurkan sebagai terapi, walanpun hasilnya belum dapat dipastikan.
Cermin Dunia Kedokteran No. 2 6, 1982 27

Kelainan pleura Pleura terdiri dari dua bagian yaitu pleura parietalis dan pleura viseralis. Pleura viseralis tidak mempunyai reseptor nyeri sedangkan pleura parietalis terutama lapisan luarnya mempunyai reseptor nyeri. Pleura parietalis di- inervasi oleh syaraf interkostalis. Maka apabila timbul rasa nyeri yang terasa adalah rasa nyeri somatik bukan rasa nyeri dalam. Nyeri dada pleuritik biasanya unilateral agak supervisial dan lokalisasinya jelas, dapat menjalar ke bahu terutama apabila ada radang pleura diafragmatik. Nyeri pleuritik terutama dirasakan apabila penderita bernafas dalam,

Terapi yang dianjurkan ialah pemberian enzym seperti urokinase dan streptokinase untuk melarutkan emboli.

Gambaran patogenesis nyeri dada pada emboli paru

Pneumonia dan radang pleura Pneumonia dapat menimbulkan rasa nyeri dada apabila pleura juga ikut meradang. Jadi hanya pneumonia yang meluas ke perifer yang menimbulkan rasa nyeri dada. Pneumonia ada 2 macam yaitu : (i) Bronkopneumonia, (ii) Lobarpneumonia. Bronkopneumonia biasanya disebabkan oleh karena infeksi yang berasal dari mukosa bronkus yang besar dan biasanya pleura tak mengalami peradangan. Oleh karena itu pada bronkopneumonia tidak timbul rasa nyeri dada. Lobarpneumonia ialah salah satu penyakit jaringan paru yang biasanya sampai ke perifer, sumber infeksi pada umumnya secara hematogen. Pada lobarpneumonia pleura ikut meradang dan ini akan menimbulkan nyeri dada pleuritik pada permulaan penyakit. Kuman yang sering menyebabkan radang pleura ialah pneumococcus dan jarang disebabkan oleh Klebsiella pneumonia. Dengan terapi 'yang tepat dan adequat rasa nyeri dada setelah beberapa hari akan hilang. Apabila rasa nyeri dada berlangsung lebih 7 hari perlu dipertimbangkan apakah diagnosis dan pengobatan yang diberikan sudah tepat.

Pneumotoraks Pneumotoraks spontan biasanya menimbulkan rasa nyeri dada, sifat nyerinya hampir sama dengan nyeri dada pleuritik, unilateral dan kadang-kadang disertai dengan sesak nafas. Rasa nyeri hanya berlangsung I 2 jam. Kadang-kadang menjalar sampai ke bahu pada pihak yang sama. Berat ringannya rasa nyeri dada yang timbul tidak berkorelasi -dengan luasnya pneumotoraks. Pada orang sehat, 2 3 jam setelah timbul pneumotoraks yang kecil rasa nyeri dada dan sesak nafas akan hilang. Pada pneumotoraks yang luas walaupun rasa nyeri dada sudah hilang, sesak nafas dapat berlangsung lama. Patogenesis timbulnya rasa nyeri dada pada pneumotoraks spontan adalah sebagai berikut : Mula-mula pleura viseralis mengalami robekan, mengakibatkan sedikit banyak timbul perdarahan dan darah ini akan menetes kebagian bawah yang menyebabkan timbulnya iritasi pada pleura parietalis seperti terlihat pada gambar.

Gambaran patogenesis nyeri dada pada pneumonia

Keganasan

Tumor primer dari paru pada stadium dini tidak menimbulkan keluhan. Kadang-kadang tumor sudah tumbuh besarpun tidak menimbulkan rasa nyeri pada dada. Kalau terjadi pembesaran massa tumor sehingga mengakibatkan distorsi atau dislokasi arteri, baru timbul gejala nyeri dada. Apabila keganasan menyebar ke pleura dapat menimbulkan nyeri pleuritik. Rasa nyeri pleura ini dapat disebabkan oleh (1) Invasi sel tumor secara direk ke pleura, dan (2) Jaringan paru bagian distal dari tumor mengalami infeksi akibat obstruksi dari saluran nafas.
Pendekatan penderita nyeri dada

Gambaran patogenesis nyeri dada pada pneumotoraks

Apabila penderita datang mencari pertolongan dokter pada serangan nyeri dada yang pertama kali, kita harus lebih berhati-hati melakukan pemeriksaan. Kasus demikian pada umumnya lebih banyak penderita penyakit yang berat daripada penderita-penderita yang telah berulang-ulang datang

28

Cermin Dunia Kedokteran No. 2 6, 1982

ke dokter mencari pertolongan akibat nyeri dada. Penderita yang pertama kali datang harus betul-betul mendapat perhatian dan pemeriksaan yang bersungguh-sungguh apakah nyeri dada yang dirasakannya itu tidak disebabkan oleh kelainan sistem kardio-respiratorik (infark miokard, emboli paru besar, aneurisma, disekting aorta) yang dapat mengakibatkan keadaan fatal. Apabila penderita datang ke dokter setelah rasa nyeri dadanya hilang kita dapat melakukan pemeriksaan lebih tenang dan tidak perlu terburu-buru. Hal-hal yang perlu ditanyakan pada penderita nyeri dada : 1. Cepatnya mulai timbul rasa nyeri dada. 2. Lokalisasi dan penjalaran rasa nyeri. 3. Lamanya rasa nyeri. 4. Gerakan-gerakan apa yang memperberat rasa nyeri. 5. Obat-obat dan gerakan apa yang dapat mengurangi/ menghilangkan rasa nyeri. 6. Gejala-gejala apa yang menyertai rasa nyeri. 7. Gejala-gejala apa dan penyakit apa yang mendahului rasa nyeri. Rasa nyeri di tengah-tengah dada biasanya berasal dari organorgan dalam dan perlu mendapat perhatian dan penanganan yang sungguh-sungguh. Rasa nyeri dada sepihak biasanya tak menimbulkan kegawatan, masih ada waktu untuk mengambil anamnesis dan pemeriksaan yang teliti.

Ringkasan 1.Nyeri dada merupakan keluhan yang sering menimbulkan kecemasan pada penderita maupun dokter yang memeriksa oleh karena nyeri dada dapat merupakan gejala pertama dari keadaan gawat yang dapat mengakibatkan kematian penderita, seperti emboli paru, infark niokard, dll. . 2. Nyeri dada dapat disebabkan oleh bermacam-macam penyakit. Dengan mengetahui sifat-sifat dan penjalaran dari nyeri dada, kita dapat memeriksa penderita lebih tenang tanpa disertai perasaan cemas. 3. Kelainan-kelainan paru yang dapat menimbulkan nyeri dada antara lain : trakeobronkitis akuta, bronkitis kronik, hipertensi pulmonal, distorsi dan dislokasi arteria pulmonalis, radang pleura, emboli paru, pneumotoraks, pneumonia dan keganasan. 4. Dengan menilai sifat-sifat dari nyeri dada kita dapat menduga diagnosis emboli paru (emboli besar atau emboli kecil). 5. Penderita yang datang pertama kali dengan keluhan nyeri dada harus mendapat perhatian yang lebih bersungguhsungguh daripada penderita yang datang ke dokter berulangulang dengan keluhan nyeri dada.

KEPUSTAKAAN 1. Donald LL, Ronald FB, Geoffrey MD. Chest pain and integrated diagnostic approach. Philadelphia : Lea & Febringer, 1977. 2. Faraser, Pare. Diagnostic of diseases of the chest. Philadelphia : WB Saunders, 1977. 3. Fowler NO, Schaffer BB, Scot RC. Idiopathic and thromboembolic pulmonary hypertension. Am J Med 1966; 40 : (March). 4. Hinshow. Diseases of the chest, 3rd Asian ed. Tokio : WB Saunders/ Igaku Shoin,1969. 5. Morrell MT, Truelove SC, Bar A. Pulmonary embolism. Brit Med J 1963; ii : 830 834. 6. Nurhay Abdurachman. Nyeri dada. Buku naskah pertemuan pra Konggres KOPERKI III, Jakarta, 1981. 7. Sasahara. Therapy of pulmonary embolism. JAMA 1974; 229 17951798. 8. Webster JR, Marquardt JF. Pulmonary embolism, silent killer of the elderly. Geriatric 1974; 29 : 46 50. 9. Wibowo Suryatenggara. Pneumothorax. Simposium Darurat Paru, Jakarta, 1982.

AAR Mean Association Radiology


ASEAN ASSOCIATION OF RADIOLOGY Second Congress. August 1214, 1982 Venue Language Registration ASEAN Secretariat Building, 70 A, Jalan Sisingamangaraja, Kebayoran Baru, Jakarta. English participants US $ 80 Accompanying members US $ 50 All payment should be payable to : The Organizing Committee The Second Congress of the AAR Johannes Pavilion, RSCM 71, Jalan Diponegoro, Jakarta. RADIOLOGY FOR ALL BY THE YEAR 2000

Main Topic

Cermin Dunia Kedokteran No. 26, 1982

29

Cara Sederhana untuk Menghilangkan Rasa Nyeri


dr Amir S Madjid, dr M Rusli Thaib, dr Oentoeng Kartodisono Bagian Anestesiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSCM, Jakarta

PENDAHULUAN Walau umumnya nyeri timbul sebagai reaksi dari mekanisme protektif, tapi sering kali muncul tanpa tujuan berguna dan dapat mengganggu kemampuan kerja, tidur, makan dan dalam bentuk ekstrim malah mempengaruhi keinginan hidup seseoratig (1,2). Sebagai suatu gejala, rasa nyeri menuntut pertolongan segera dan sebab ini yang biasanya membawa banyak penderita pergi kedokter ketimbang sebab lain. Rasa nyeri ini bukan saja pengalaman yang menyengsarakan tapi juga bila berlangsung terus menerus dapat menimbulkan efek tak diinginkan pada organ-organ vital, dengan akibat gangguan atau malah kerusakan jaringan (2,3). Macam-macam cara dipakai untuk memerangi rasa nyeri tersebut. Antara lain adalah cara yang akan dibicarakan dibawah ini, yaitu blok syaraf atau blok analgesik melalui penyuntikan anestesi lokal atau bahan-bahan neurolitik ke dekat atau ke dalam syaraf/syaraf-syaraf atau ke dalam struktur yang peka akan rasa nyeri. Cara ini relatif sederhana tidak memerlukan peralatan macam-macam, ruang dan tenaga yang banyak, dan masa perawatan singkat (4,5). BEBERAPA DASAR PERTIMBANGAN Sebenarnya cara terefektif mengatasi rasa nyeri adalah menghilangkan stimulusnya. Nyeri appendisitis dihilangkan dengan appendiektomi. Udema di tungkai, dengan melonggarkan kaos kaki atau sepatu akan membantu mengurangi nyeri. Nyeri anginal karena rangsangan iskemik dikurangi/dihilangkan dengan memperbaiki perfusi koroner melalui pemberian obatobat vasodilatansia seperti nitrogliserin dan lain lain. Tapi tidak semudah apa yang diperkirakan, nyeri kronik persisten berbeda dengan nyeri akut, penyebabnya sering tidak diketahui atau bila diketahui, kelainan patologiknya sukar dihilangkan (misalnya artritis, kanker) (2,6,7). Nyeri kronik dapat berlangsung berminggu-minggu, bulanan, atau tahunan. Obat-obat analgesik saja tidak memuaskan untuk nyeri kronik yang hebat karena hilangnya nyeri sering tidak adekuat, intermiten dan disertai efek samping (2). Selain itu penggunaan obat-obat narkotik yang punya potensi kuat mengatasi nyeri hebat terbatas dalam waktu pendek untuk mengurangi komplikasi-komplikasi dan hanya untuk penyakit-penyakit akut atau kanker yang inoperable atau metastatik yang memerlukan long-term relief. Penggunaan narkotik-analgetik untuk periode lebih dari 4 6 minggu sering menimbulkan masalah-masalah
30 Cermin Dunia Kedokteran No. 26, 1982

menghebatnya depresi, habituasi, toleransi, dan ketergantungan fisik (8). Tidak jarang pembedahan syaraf untuk mengatasi nyeri ini tak dapat dilaksanakan karena kondisi penderita tak mengizinkan; banyak risiko, usia sangat lanjut, atau penderita menolak dibedah. Maka cara blok ini dapat menolong. Blok dapat diulangi atau diperluas bila tidak adekuat dan tidak merintangi tindakan pembedahan di kemudian hari bila ada indikasi (4,9). DASAR PENGGUNAAN Mekanisme Siklus Vitiosus. (2,7) ini merupakan salah satu mekanisme yang mungkin bertanggung jawab atas semua peristiwa nyeri kronik. Trauma jaringan awal menghasilkan jawaban jawaban refleks yang menimbulkan perubahan-perubahan abnormal dalam jaringan yang merangkai rangsangan noksious. Spasme otot-otot skelet menjadi sumber baru rangsangan noksious dan nyeri jadi lebih hebat. Vasospasme karena hiperaktivitas simpatetik menimbulkan iskemia, kerusakan sal, pelepasan substansi yang menimbulkan nyeri, nosiseptor jadi peka terhadap rangsangan noksious. Akibat hiperaktivitas simpatetik pelepasan noradrenalin juga meningkat pada ujung syaraf dan menambah pacuan serabutserabut sensorik halus. Satu atau semua faktor ini menyebabkan rangsangan noksious yang menetap (persistent) yang selanjutnya menimbulkan jawaban-jawaban refleks yang lebih kuat dengan akibat rangsangan noksious bertambah dan seterusnya. Bila mata rantai ini tidak diputuskan rasa nyeri tak pernah teratasi. Blok syaraf dapat merintangi rangsang-rangsang melalui serabut syaraf khusus (terutama nosiseptif atau nyeri), serabut motor simpatetik, dan serabut somatomotor (5). Pemblokan sensoris menghilangkan rasa nyeri, memutuskan afferen mekanisme refleks abnormal, dan mengj.solasi fokus perifer abnormal dari rangsangan noksious. Pemblokan jalan simpatetik akan menghilangkan peningkatan hiperaktivitas vasomotor, sudomotor, dan viseromotor yang sexing menyokong proses fisiopatologi sindroma nyeri tertentu seperti distropi refleks simpatetik dan nyeri viseral. Pemblokan serabut somatomotor menghilangkan spasme otot, yang sering dihubungkan dengan kelainan muskuloskeletal. Penggunaan anestesi lokal konsentrasi rendah memungkinkan pemblokan serabut-serabut kecil bermielin A delta, yang

Campuran lignocaine 1% dengan Dextraven (Dextran 70) dapat memberi efek analgesia lebih lama, sampai 10 jam, dengan infiltrasi atau blok syaraf (6). Untuk blok yang lama (berminggu-minggu atau berbulanbulan), bahan-bahan neurolitik seperti etilalkohol dan phenol dapat digunakan. Etilalkohol yang digunakan berkonsentrasi 50% dalam larutan air atau alkohol absolut 95%. Phenol dapat diberikan dengan konsentrasi 5% 10% dalam larutan air atau 5% 7% dalam larutan gliserin (5). Sangat tidak menguntungkan bila bahan neurolitik disuntikkan dekat serabut somatik spinal, karena dapat terjadi neuropati setelah suntikan disertai neuralgia (misalnya, nyeri sepanjang distribusi serabut syaraf), dan pada keadaan-keadaan tertentu timbul rasa yang lebih tidak menyenangkan dari pada keadaan aslinya. Karena itu hendaknya blok neurolitik jangan dikerjakan oleh dokter yang tidak mempunyai pengalaman yang ekstensif di bawah pengawasan seorang ahli (5). Persiapan sebelum tindakan (6) Bagaimanapun sederhananya cara ini jangan dilupakan bahwa semua tindakan harus dikerjakan benar-benar secara asepsis untuk menghindarkan kemungkinan komplikasi. Jarum, sprit dan bahan-bahan yang akan digunakan harus disterilkan. Gunakan sarung tangan untuk melakukan suntikan. Walaupun jarang terjadi reaksi yang hebat atas penyuntikan anestesi lokal tapi bila terjadi dapat menyebabkan komplikasi yang serius. Karena itu persiapkan juga alat-alat untuk tindakan resusitasi seperti untuk pembebasan jalan nafas, oksigen, dan pernafasan buatan. Juga larutan infus dan obat-obat untuk memperbaiki sirkulasi dan memperbaiki sirkulasi dan mempertahankan perfusi yang adekuat. Permukaan kulit yang akan disuntik harus dibersihkan dengan povidoneiodine (Betadine) atau preparat sejenis, berikan kesempatan mengering paling sedikit 3 menit untuk memberikan efek yang penuh. Karena larutan yodium kadangkadang mengiritasi kulit dianjurkan untuk membilasnya dengan alkohol. BEBERAPA BLOK SPESIFIK 1. Blok Infiltrasi. (5) Anestesi lokal yang diencerkan atau dikombinasi dengan longacting corticoid, seperti metilprednisolon asetat, merupakan cara sederhana dan efektif untuk sindroma miofasial dan masalah-masalah muskuloskeletal lainnya. Sindroma miofasial digambarkan sebagai mialgia, miositis, fibrositis, fibromiositis, fassitis, reumatik otot dan lain-lain. Kebanyakan ditemukan pada usia pertengahan atau usia lanjut. Gambar 2 menunjukkan beberapa lokasi sindroma miofasial. Palpasi hati-hati dapat merasakan adanya titik picu (trigger point) dan diagnosa percobaan jadi pasti bila setelah penyuntikan titik picu tersebut rasa nyeri hilang. Juga efektif untuk tendonitis, epikondilitis (tennis elbow), periartritis, bursitis, dan bentuk-bentuk tertentu artralgia yang terlokalisir. Tiap-tiap keadaan ini dapat dihilangkan secara efektif dengan penyuntikan 3 5 ml anestesi lokal kedalam daerah yang bersangkutan.
Cermin Dunia Kedokteran No. 26, 1982 31

Gambar 1. Mekanisme siklus vitiosus

turut dalam proses rangsang nosiseptif, tanpa memblok fungsi motorik. Akhir-akhir ini dibuktikan bahwa serabut-serabut preganglionik efferen simpatetik B dapat diblok dengan anestesi lokal yang konsentrasinya sepertiga dari yang dibutuhkan untuk memblok serabut-serabut C dan A delta (10). Dengan menciptakan satu atau lebih efek-efek ini, sering rasa nyeri hilang bersama hilangnya proses-proses fisiopatologi. Efeknya lebih lama dari pada efek farmakologi blok-nya sendiri, dapat berjam jam,-berhari-hari, dan kadang-kadang berminggu-minggu. Pemblokan input sensorik untuk beberapa jam mengakibatkan 'self-sustaining activity' dari kumpulan neuron pada neuroaxis terputus. 'Self-sustaining activity' dipikirkan punya andil dalam beberapa keadaan rasa nyeri kronik (11). Sering pula terjadi seri pemblokan yang dilakukan lebih dini menghasilkan kesembuhan yang permanen (5).

Bahan-bahan yang digunakan Sebaiknya dipakai long-acting agents seperti bupivacaine (Marcaine) dan etidocaine (Duranest) untuk menghasilkan analgesia dan blok simpatetik yang cukup lama 4 8 jam atau lebih lama (5). Dapat juga dipakai short-acting agents seperti lignocaine yang memberi analgesia sekitar 1 jam dan dapat diperlama 2X dengan menambahkan adrenalin 1/200.000. Atau procaine HCl dengan efek analgesia 40 80 menit. Shortacting ini biasa dipakai untuk diagnostik atau prognostik.

Salah satu penggunaan klinik yang sangat panting dari blok ini adalah memberikan kesembuhan cepat dari nyeri hebat tak teratasi pada penderita infark miokard akut. Ini tidak hanya membuat comfortable, tapi juga menghilangkan stress emosi yang kuat, rasa cemas, dan perasaan kematian yang mengancam, serta memutuskan refleks spasme koroner, viseroviseral lain, viseromotor dan reflek-reflek viserosensorik (12). Juga efektif untuk menghllangkan nyeri, dispneu, orthopneu dan sianosis pada penderita emboli paru, bila blok dikerjakan segera setelah serangan (12). Blok ini yang dilakukan berulangulang berharga pada pengobatan distropi refleks simpatetik dan pada pencegahan/pengobatan neuralgia pasca herpetik. Juga untuk kelainan-kelainan vasospastik akut, tapi merupakan kontraindikasi selama terapi antikoagulan karena resiko perdarahan. (5)
b) Blok Simpatetik Paravertebral

Gambar 2. Beberapa lokasi sindroma miofasial dan titik picunya.

2. Blok Serabut Simpatetik (5) Sangat efektif untuk rasa nyeri yang berhubungan dengan kausalgia dan distropi refleks simpatetik lainnya, vasospasme setelah suatu trauma jaringan atau yang berhubungan dengan kelainan-kelainan pembuluh darah perifer, penyakit viseral thorak dan abdominal, keadaan-keadaan muskuloskeletal tertentu. Pemutusan rangsangan dapat dilakukan pada salah satu dari 4 tempat : ruang subarahnoid, peridural, daerah paravertebral atau prevertebral, atau syaraf-syaraf perifer (spinal dan kranial). Penyuntikan paravertebral atau prevertebral dipakai untuk blok diagnostik, prognostik, dan blok terapi tertentu, karena lebih spesifik dan lebih mengenai hanya syaraf-syaraf simpatetik. Penyuntikan larutan anestesi lokal 10 12 ml paravertebral C6 dapat memblok semua serabut simpatetik yang ke kepala, leher, ekstrimitas atas, dan torak pada sisi tubuh yang diblok. (Gambar 3). Penyuntikan dalam jumlah yang sama dengan ujung jarum berada pada permukaan anterolateral L2 ke dalam fasia otot illiopsoas dapat memutuskan semua serabut simpatetik yang menuju pelvis dan esktrimitas bawah. Demikian juga penyuntikan 15 25 ml pada tiap sisi akar arteri suliaka dapat memblok cukup efisien pleksus suliaka dan memutuskan semua serabut simpatetik dan sensorik (nyeri) yang menyarafi seluruh visera abdominal bagian atas.
a). Blok Servikotorasik (Stellate Ganglion)

Bila blok simpatetik ekstrimitas atas sulit dilakukan melalui cara paratrakea anterior, maka dapat dilakukan melalui paravertebral, dengan menggunakan satu jarum yang diletakkan di antara leher dari iga-iga pertama dan kedua (5). Blok ganglion simpatetik Th4 atas atau Th5 melalui paravertebral posterior dapat digunakan sebagai diagnostik, prognostik, atau terapi pada penderita angina pektoris, insufisiensi koroner,

Otak, mening Mata, telinga, hidung Kelenjar Lakrimalis, submaksila Kelenjar Parotid, sublingual Lidah, Faring, Laring Kulit kepala & leher Tang= Lengan atas Lengan bawah Bahu Struktur somatik dada Trakea, bronchus, paru-paru Jantung, pembuluh-pembuluh besar Lambung Usus halus Hati & kantung empedu Pankreas Limpa Adrenal Ureter Ginjal Kolon ascenden & transversum Kaki Tungkai bawah Tungkai atas Kandung kencing Uterus & Ovarium Testis, Epididimis Vase deferens Vasikula seminalis Prostat Kolon Transv & descenden Rectum Gambar 3. Tiga daerah "kritis" yang dapat digunakan untuk memutus sistem saraf perifer.

Cara termudah dan terpraktis untuk memblok rantai simpatetik servikotorasik dan cabang-cabangnya adalah melalui tehnik paratrakea anterior (5). (Gambar 4). Cara ini biasa disebut sebagai blok ganglion stellate tapi dengan penyuntikan 10 12 ml larutan anestesi lokal dapat menghasilkan blok simpatetik servikotorasik yang luas. Cara ini berguna untuk membedakan nyeri kepala, leher, dan dada, dan sebagai cara menilai prognosis pada sindroma nyeri kronik yang akan dilakukan simpatektomi bedah atau kimiawi.
32 Cermin Dunia Kedokteran No. 26, 1982

juga mengenai peritoneum perietalis, prosedur harus ditambah dengan blok interkostal. 3. Blok Syaraf Somatik Berguna untuk neuralgia hebat, nyeri muskuloskeletal akut, dan nyeri kanker dan dalam memutuskan jalan simpatetik perifer (5). Biasanya neuralgia merupakan ekspresi simtomatik dari suatu neuropati, radikulopati, atau mielopati yang disebabkan oleh kelainan inflamasi, sirkulasi, toksik, degeneratif, metabolik, atau neoplastik; penyebabnya harus dicari dan dihilangkan.

a) Blok syaraf kranial. Berguna untuk nyeri kepala hebat.


Blok alkohol pada ganglion Gasserian atau cabang utama syaraf trigeminus menghilangkan nyeri trigeminal neuralgia atau kanker bila bedah syaraf merupakan kontraindikasi (5)

Gambar 4. Teknik paratrakea anterior (blok ganglion Stellate) Gambar 5. Gasserian block. Garis-garis digunakan sebagai petunjuk mengarahkan jarum ke foramen ovale dan ganglion Gasserian.

dan infark miokard. Penyelidikan terakhir pada beberapa literatur menunjukkan sekitar 75% dari 500 kasus berhasil memuaskan, sementara angka kematian kurang dari 5%. Sedang dengan simpatektomi kira-kira 85% efektif, sementara angka kematian berkisar 7% 14% (12). Bila nyeri kardiak berlangsung terus dan menjadi kronik, dan cukup hebat, maka dapat dilakukan blok pada ganglion yang sama dengan larutan 10% phenol dalam air atau alkohol absolut untuk menghasilkan kesembuhan nyeri yang lama (13). Blok paravertebral ini sebaiknya harus dikerjakan oleh dokter yang sangat berpengalaman karena tingginya insiden komplikasi berupa : pneumotorak atau tersuntiknya subarahnoid, atau mengenai serabut somatik, atau kombinasi dari semuanya. c) Blok Syaraf Splanknikus atau Pleksus Suliaka. (5) Syaraf-syaraf splanknikus berisi semua serabut simpatetik dan efferen nyeri yang berasal dari visera abdominal bagian atas. Jadi, blok ini berguna untuk mengatasi nyeri akut atau kronik karena kelainan visera daerah tersebut. Serabut-serabut splanknikus biasanya diblok pada tingkat Th11 di atas diafragma, sedang pleksus suliaka pada tingkat Th12 bawah dan L1 bawah di bawah diafragma. Setelah beberapa blok prognostik, penyuntikan 25 ml lamtan alkohol melalui satu dari dua tempat bilateral, terbukti efektif untuk menghilangkan nyeri hebat karena pankreatitis kronik atau penyakit viseral kronik lairinya dan nyeri kanker viseral yang hebat. Bila neoplasma

b) Blok syaraf glossopharingeus tepat di bawah foramen jugularis membantu menangani neuralgia glossopharingeal, suatu keadaan yang ditandai dengan nyeri tiba-tiba, hebat, dan perih pada tenggorokan menjalar ke telinga dan tulang rawan tiroid, dan juga berguna untuk sementara kanker tenggorokan. (5) c) Blok syaraf spinalis. Blok paravertebralis servikal atas yang menyusun pleksus servikalis dapat mengatasi nyeri hebat pada leher daerah suboksipital dan kepala bagian posterior. Biasanya nyeri ini pada orang tua disebabkan oleh artritis, fibrositis, atau sindroma miofasial. Pemblokan paravertebral atau infiltrasi lokal jaringan lunak dapat menimbulkan efek yang segera dan mungkin prolonged relief bila dikombinasi dengan fisioterapi (5). Blok paravertebral servikal bawah untuk neuralgia servikobrakhial atau kelainan lain pada bahu dan ekstrimitas atas serta untuk membedakan nyeri asal perifer dengan asal SSP (5,6). Blok syaraf supraskapular untuk nyeri hebat pada sendi bahu karena kelainan-kelainan muskuloskeletal seperti bursitis atau artritis. Cara ini efektif sekali bila dikombinasi dengan blok ganglion stellate dan fisioterapi (5). Blok paravertebral torasik atau syaraf spinal lumbal membantu mengatasi nyeri radikuler sekunder akibatkelainan ortopeCermin Dunia Kedokteran No. 26, 1982 33

dik, infeksi, atau trauma, nyeri hebat pasca. bedah, nyeri kanker, dan nyeri muskuloskeletal batang tubuh (5,6). Blok interkostal menghilangkan nyeri pasca bedah torak dan abdominal, nyeri hebat patah tulang-tulang iga, sternum, atau tulang rawan, dan nyeri yang timbul setelah trauma atau neuralgia pasca bedah (5,6, 14). Biasanya penyuntikan 3 5 ml bupivacaine 0,25% dengan epinephrin 1/200.000 dapat menghilangkan nyeri selama 6 8 jam atau lebih lama (5). Moore dick melaporkan dengan penyuntikan 4 ml bahan yang sama, efek analgesi berkisar 10 12 jam. (16). Dengan beberapa pengecualian, syaraf spinalis adalah campuran dari syaraf-syaraf. Karena itu syaraf-syaraf sensorik tidak dapat diblok tanpa mengenai syaraf motorik. Penyuntikan alkohol untuk menghasilkan prolonged relief adalah kontraindikasi karena selain menyebabkan paresis atau paralisis, blok syaraf somatik dengan alkohol sering disertai neuropati kimiawi dengan neuralgia, yang nyerinya mungkin lebih hebat dari nyeri aslinya (5). Blok alkohol syaraf somatik hanya harus dipertimbangkan bila rhizotomi surgikal merupakan kontraindikasi, seperti pada kanker inoperable dengan suatu shortterm prognosis. BLOK-BLOK SPINAL MAYOR Blok ekstradural (epidural) Anestesi lokal disuntikkan ke dalam ruang ekstradural yang dapat dilakukan pada tiap tingkat mulai dari daerah servikal atas sampai ke kanalis servikalis. Dengan memasukkan kateter vynil plastik melalui jarum dan rnemasukkan sejumlah kecil obat, dapat dikerjakan suatu blok segmental spinal epidural yang dapat diperluas mulai dari 2 dermatome sampai 10 dermatome atau lebih. Dengan meletakkan ujung kateter pada segmen-segmen vertebra servikalis bawah dan menyuntikkan 5 7 ml anestesi lokal, dapat

dihasilkan analgesia dan simpatetik blok dari ekstrimitas atas. (5) Blok segmental epidural yang diperluas dari Th 2 ke Th 6 dapat digunakan untuk menghilangkan nyeri patah tulang ganda iga-iga dan nyeri pasca torakotomi (5) (Gambar 6). Pemasangan ujung kateter pada tingkat-tingkat yang masih rendah, segmental epidural analgesia merupakan cara yang efektif untuk menghilangkan nyeri pankreatitis, kolik biller, ginjal, dan uretra; nyeri karena patah tulang dinding dada bagian bawah; dan nyeri pasca bedah abdominal atas (5,14). Akhirnya, blok yang mengikutsertakan segmen-segmen torak yang lebih rendah dan lumbal akan menghilangkan nyeri pasca bedah abdominal bawah. Karena cara ini juga memblok syaraf simpatetik yang menyarafi ekstrimitas bawah, maka dapat juga digunakan untuk memblok simpatetik terus menerus pada penderita kausalgia atau distropi refleks simpatetik yang lain atau vasospasme atau kelainan-kelainan pembuluh darah perifer lain dari ekstrimitas bawah. Juga blok lumbal epidural rendah sangat efektif sebagai terapi nyeri hebat karena hernia intervertebralis (5,6). Blok subarahnoid. Tunggal, atau lebih sering, blok spinal subarahnoid kontinyu telah dipakai sebagai tindakan diagnostik, prognostik, dan terapi pada beberapa kelainan nyeri termasuk abdomen, batang tubuh, pelvis, atau ekstrimitas bawah. Winnie dan Collins (15) telah menggunakan blok subarahnoid differensial sebagai prosedur diagnostik yang sangat efektif. Yaitu dengan cara memasukkan kateter ke dalam ruang subarahnoid dan disusul dengan memasukkan larutan-larutan dibawah ini dengan selang-waktu 10 15 menit sebanyak 10 ml: NaCl fisiologik; 0,25% prokain HC1; 0,5% prokain HC1; dan 1% prokain HC1 Bila setelah penyuntikan NaCl nyeri hilang sempurna, ini menunjukan jawaban plasebo atau menunjukkan mekanisme psikogenik. Bila hilang dengan

Gambar 6. Blok epidural segmental kontinyu.

ABDOMEN ATAS

Analgesia T5 T12

Hypalgesia
Tempat tusukan T10 8 Ujung distal kateter T Larutan 10 12 ml

T4 L1

34

Cermin Dunia Kedokteran No. 26, 1982

0,25% prokain HC1 tanpa kehilangan sensorik menunjukkan mekanisme simpatetik. Hilang setelah 0,5% atau 1% prokain HCl diartikan sebagai nyeri yang disebabkan kelainan somatik perifer. Sedang bila nyeri tetap dengan analgesi setinggi diatas Th5, anestesia, dan blok motorik, disimpulkan bahwa nyeri disebabkan oleh mekanisme sentral, nyeri psikogenik, atau berpura-pura sakit ('malingering'). Mereka menggunakan prosedur serupa untuk blok-blok syaraf bentuk lain. Intrathekal Kortikoid. Penyuntikan obat kortikoid ke dalam ekstradural atau subdural dapat menghilangkan rasa nyeri untuk kasus-kasus kelainan retikulopati, terutama yang berhubungan dengan hernia nukleus pulposus dan terapi cakram servikal (5). Blok Alkohol atau Phenol Subarahnoid (5,6). Cara ini dipakai untuk menghasilkan rhizotomi posterior kimiawi sebagai ganti pembedahan syaraf pada penderita-penderita dengan kondisi jelek atau menolak untuk dioperasi.

RINGKASAN Telah dibicarakan cara sederhana mengatasi rasa nyeri dengan blok analgesik serta peranan beberapa blok analgesik spesifik terhadap rasa nyeri. Cara blok ini selain untuk terapi, dapat juga dipakai untuk diagnostik membedakan asal rasa nyeri dan prngnostik untukmembantu menilai efek pembedahan dan dengan sendirinya memungkinkan pemilihan penderita yang tepat untuk dilakukan pembedahan syaraf. Walaupun cara ini relatif sederhana tapi komplikasi dapat saja terjadi berupa : neuritis kimiawi dan neuropati dengan paralisis; dan pneumotorak, total spinal anestesia, kegagalan sirkulasi dan respirasi; terutama pada penggunaan blok paravertebralis, ekstradural dan subdural. Karena itu untuk mengatasi segala kemungkinan perlu disediakan alat resusitasi, cairan infus dan obat-obatan untuk mengatasi kegagalan sirkulasi dan respirasi.

Daftar Kepustakaan dapat diminta pada Penulis

DANA DAN PENGGUNAANNYA Seorang perdana menteri negara-sedang-berkembang barubaru ini meminta WHO membelikan sebuah scanner seluruh tubuh yang berkomputer (whole-body scanner) : Saya menunjukkan bahwa itu akan menyerap seluruh budget WHO bagi negaranya selama dua tahun: dengan jumlah dana yang sama negaranya dapat mengimunisasi semua anak terhadap campak selama 10 tahun, dan dengan demikian menyelamatkan sekitar 500.000 jiwa anak. Presiden sebuah negara lain, prihatin akan malaria, meminta bantuan untuk kampanye melawan vektor nyamuk. Kampanye pengendalianvektor dapat efektif, namun ia memerlukan waktu: yang harus dikerjakan sekarang buat mencegah kematian 100. 000 anak tiap tahun di negaranya ialah membagi-bagi pil malaria yang murah pada semua orang yang menderita atau terancam terkena.
H. Mahler. Scientific American 1980; 243, sept (Sekedar untuk mengingatkan bahwa dana untuk pembedahan jantung satu orang anak di Indonesia sebenarnya dapat menyelamatkan sekian puluh atau sekian ratus jiwa anak di desa. Sebuah unit kanker yang mutakhir menyelamatkan beberapa ratus jiwa penderita kanker, namun dengan dana yang sama mungkin dapat diselamatkan beribu-ribu jiwa penduduk di desa. Red)

ALOKASI BIAYA: Sebuah "ujian" bagi komitmen terhadap Pelayanan Kesehatan Primer Relatif mudah untuk membuat komitmen politik terhadap Pelayanan Kesehatan Primer (PKP) pada tingkat pembuatan policy. Namun diperlukan keteguhan politik untuk mengikuti proses itu melewati tahap-tahap pelaksanaannya, bila pola alokasi dana sedang berubah. Mereka yang mendapat keuntungan dari pola yang lama mungkin mengajukan keberatan terhadap realitas yang berubah itu. Namun secara politik tidak patutlah mereka menentang PKP terangterangan, mengingat PKP jelas mengandung keadilan sosial, maka oposisi mereka dapat berupa tuntutan bagi dana untuk "kebutuhan-kebutuhan mendesak". Jadi, pelaksanaan PKP melibatkan kekuatan-kekuatan sosial yang menyokong dan melawannya. Yang menonjol untlik melakukan oposisi adalah kelompok penduduk kota kelas-menengah dan (banyak) petugas kesehatan! Kedua kelompok ini mendapat keuntungan dari pola alokasi biaya sekarang ini, baik biaya yang lewat kedokteran privat maupun biaya kesehatan dari pemerintah, atau keduaduanya. Kelompok pertama untung karena menjadi konsumen dari pelayanan kesehatan yang (relatif) tinggi. Sedang profesi kesehatan mendapat keuntungan sebagai produsen komoditi pelayanan kesehatan tadi, yang meningkat harga pasarnya sesuai dengan lamanya pendidikan, kualifffcasi profesional, dan keahlian teknologi. Kadang kala dikatakan bahwa ketidaksesuaian antara kebutuhan dan sumber pelayanan kesehatan adalah "irasional" . Itu tidak benar. Secara rasional ini mencerminkan kepentingan-kepentingan (interests) mereka yang mendapat keuntungan dari sistem sekarang ini.
WHO. National Decision-making for Primary Health Care. Geneva: WHO,1981; p 61

Cermin Dunia Kedokteran No. 26, 1982

35

PERKEMBANGAN

Pengendalian Nyeri Kronik


Nyeri kronik kini dikenal sebagai suatu keadaan sakit dan pengobatan serta pengelolaannya makin mendapat perhatian. Pengobatan nyeri kronik jangan dikacaukan dengan " terminal care". Meskipun ada kaitannya, keduanya bukanlah sinonim; dan sebenarnya sebagian besar nyeri bersifat benigna. Informasi sederhana tentang bagaimana cara mengelola nyeri kronik perlu disebarluaskan, dengan penekanan pada apa yang dapat dilakukan di rumah sakit dan apa yang dapat dilakukan oleh dokter umum di rumah pasien. Langkah pertama ialah, klinikus harus menerima kenyataan bahwa ada suatu problema. Banyak pasien dengan nyeri kronik tidak ditolong karena diagnosis salah, regimen pengobatan salah, serta kurangnya kemauan menggunakan teknik-teknik modern yang kini tersedia. Sering kali pasien-pasien itu dapat ditolong dengan cara-cara yang sederhana, namun terus diberi resep obat yang tidak adekuat pada saat pertama kali diobati dan resep diulang terus menerus. Langkah kedua ialah : diagnosis harus lebih dahulu ditegakkan daripada terapi. Sebagai contoh, apakah nyeri kepala kronik disebabkan nefritis, glaukoma, tegang otot, atau aneurisma yang bocor? Apakah laju endap darah tinggi, dan apa sebabnya? Pasien-pasien yang tak dapat didiagnosis dapat diobati secara simtomatik, namun harus diawasi. Perlu diingat bahwa pasien hipokhondriak yang datang dengan nyeri perut mungkin saja menderita appendisitis akut. Eksaserbasi nyeri akut pada penderita kankei yang inoperable juga harus diteliti dengan cermat mungkinkah ini metastasis baru, suatu obstruksi, trombosis vein, atau sakit gigi? Dispmping itu kita harus belajar mempercayai pasien. Dialah orang satu-satunya yang merasakan nyerinya, maka pendapat dokter, perawat, atau famili mengenai tingkat rasa nyeri pasien itu harus diletakkan pada proporsi yang sebenarnya cuma dugaan saja. Pasien dengan nyeri kronik sering menunjukkan perilaku yang tak sesuai, seperti pasien neuralgia post-herpes yang tersenyum waktu menceritakan rasa nyerinya, atau pasien kanker yang tidak meminta obat untuk rasa nyerinya. Ini mungkin disebabkan karena pasien menyerah kalah pada nasib, atau keengganan mengganggu perawat-perawat yang sibuk di rumah sakit. Menilai rasa nyeri sulit dilakukan dalam suatu budaya yang menganggap "jantan" orang yang tidak mengeluh. Apati serta derita tanpa harapan yang diakibatkan nyeri kanker inoperable yang tak diobati telah kita kenal, demikian juga tingginya insidensi nyeri pada penderita neurosis dan psikosis. Tapi dokter-dokter tampaknya masih enggan menerima bahwa "mood" dan nyeri itu berkaitan, bahwa
36 Cermin Dunia Kedokteran No. 26, 1982

kebanyakan nyeri dapat dikurangi dengan mengurangi anxietas, dan bahwa plasebo betul-betul bekerja untuk beberapa saat. Perbedaan harus diadakan antara pasien dengan harapanhidup yang normal dan mereka yang harapan-hidupnya jauh berkurang. Obat-obat narkotika jarang diperlukan dan jangan diberikan pada pasien dengan nyeri kronik yang benigna; Tapi bila diperlukan harus diberikan tanpa mempedulikan masalah adiksi pada pasien yang katakanlah harapan hidupnya cuma kurang dari dua tahun. Betapa seringnya pasien dengan nyeri hebat akibat kanker tak mau diberi narkotika dalam dosis tinggi, atau bahkan tak mau diberi narkotika sama sekali, karena khayalan akan bafriaya adiksi itu !! Penderita kanker memang kadang kala menjadi pecandu, namun dalam keadaan mereka ini adiksi ini adalah problema sosial yang tidak berarti apa-apa. Pasien perlu diberi penyuluhan mengenai cara memakan analgesiknya -- bukan hanya perlu memakannya secara teratur tapi juga untuk memberi waktu yang cukup untuk absorpsi. Analgesik oral harus dimakan dengan teratur sebelum nyeri datang kembali, dan tak boleh digunakan "bila diperlukan saja" . Untuk ini harus diperhatikan kekuatan dan lama kerja obat. Obat yang lama kerjanya 4 jam jangan diberikan tiap 6 jam. Juga tidak benar memberikan injeksi narkotika dalam dosis yang terlalu kecil atau beralih pada obat yang lebih poten namun dosisnya diberikan terlalu kecil. Tujuan pengobatan tidak akan bercapai. Absorpsi dan metabolisme obat bervariasi tergantung dari pasien secara individual, maka eksperimentasi untuk menentukan dosis dapatlah dibenarkan. Pasien dengan harapan-hidup yang normal harus diberi obat yang terkecil potensi adiksinya. Di samping salisilat "short acting" dan "long acting", analgesik non-narkotik nefopam dan buprenorphine boleh digunakan mengingat lamanya kerja obat-obat itu; bersama dengan pentazocine mereka tidak mempunyai (atau kecil sekali) potensi penyalahgunaannya. Depresi sering menyertai nyeri kronik, dan anti-depresan mungkin perlu diberikan. Tapi bila depresinya cukup dalam, pertolongan seorang spesialis diperlukan. Agitasi dan anxietas juga perlu dikontrol, dan bila pola nyeri itu hilang timbul atau menyerang bergelombang, obat seperti carbamazepine boleh jadi berguna. Bila spasme otot menjadi masalah, maka baclofen atau erphenadrine mungkin diindikasikan, seperti halnya antispasmodik, anti-muntah, dan laksatif. Banyak obat yang digunakan untuk masalah tambahan itu juga punya daya analgesik sendiri dan meningkatkan daya analgesik obat analgesik standar.

Obat-obat sederhana itu juga perlu dicoba pada pasien dengan nyeri yang maligna. Kalau tak dapat diatasi, baru digunakan narkotika. Heroin masih digunakan : daya larutnya yang besar memungkinkan dosis besar diberikan dalam volume yang kecil, yang berguna bagi pasien yang telah kurus kering. Waktu paruh methadone yang lama meningkatkan bahaya akumulasi, namun bila diberikan malam hari dan pagi hari ia dapat menghasilkan kontrol yang baik. Bila analgesik tak berdaya, destruksi saluran saraf yang sesuai dapat dengan cepat menghilangkan nyeri. Lamanya efek ini bervariasi, tapi sering cukup lama bagi pasien dengan nyeri maligna untuk mengontrol sampai akhir sisa hayatnya. Perlunya prosedur ini diulang-ulangi membuatnya tidak cocok bagi pasien dengan nyeri kronik benigna. Kebanyakan klinik-nyeri mulai dengan meninjau kembali diagnosis, kemudian meninjau obat yang digunakan, dosisnya dan frekuensinya. Sering kemudian diikuti dengan konsultasi psikiatrik, dan akhirnya dipertimbangkan terapi lain. Diantara teknik-teknik spesialistik yang tersedia, termasuk cara-cara destruktif seperti blok plexus coeliac untuk nyeri abdomen atas; injeksi fenol subarachnoid untuk nyeri pada distribusi dermatom spinal terbatas atau pada nyeri perineal; percutaneous cervical cordotomy pada nyeri unilateral di bawah dermatom C5; dan injeksi pituitary dengan alkohol untuk nyeri k'anker pada setiap distribusi. Nyeri benigna diobati dengan obat-obatan dan cara-cara non-destruktif seperti stimulasi saraf perifer; stimulasi colomna dorsalis (berguna untuk nyeri phantom atau pada arachnoiditis); dan akupunktur (teknik stimulasi lain yang sederhana, namun berguna meskipun angka keberhasilannya kecil). Akhirnya, ada juga cara bio-feedback, teknik relaksasi, operant conditioning, dan cara psikiatrik lainnya. Setelah semua cara itu telah dicoba, masih akan ada juga kegagalan. Pasien-pasien demikian janganlah disuruh pergi begitu saja tanpa penjelasan. harus ada seseorang yang ditugaskan untuk berbicara dengan pasien itu sebelum dia meninggaikan rumah sakit. Bertahun-tahun yll. Szasz merumuskan semua problema itu secara singkat : " Apakah tugas dokter pada situasi ini? Nyeri siapakah yang akan dikendalikan: si pasien? Nyeri anggota keluarganya, tersiksa oleh keluhan pasien itu? Ataukah dirinya sendiri, akibat ketidakmampuannya menolong pasiennya?"
Br Med 7 1981; 282; 1095-6

Bagaimana Cara Kerja Akupunktur ?


Akupunktur punya potensi untuk mengurangi beberapa jenis nyeri, murah dan aman. Tapi banyak dokter di negara Barat masih bersikap skeptis akan kegunaannya. Bagi mereka konsep Tiongkok kuno tentang akupunktur--serta klaimnya sebagai pengobatan untuk semua penyakit tidak dapat diterima. Namun konsep itu sebenarnya mungkin tidak banyak relevansinya dengan praktek akupunktur analgesik yang efektif.

Kaum skeptik menganggap bahwa akupunktur tak lebih dari plasebo yang kuat. Bila akupunktur memang punya efek analgesik spesifik seperti bentuk-bentuk terapi fisik lainnya, ini sulit dibuktikan dengan uji klinik yang formal. Akupunktur dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain dengan memilin-milin jarum secara manual atau memakai stimulasi listrik frekuensi-rendah atau frekuensi-tinggi melalui jarum itu. Tak mungkin perbandingan samar ganda (double blind) dilakukan, karena jarum harus ditusukkan pada pasien yang sadan. Tapi, meskipun demikian, kini mulai terkumpul buktibukti tentang mekanisme kerjanya. Kemungkinaan bahwa akupunktur di-mediasikan lewat faktor humoral pertama kali dikemukakan pada laporan bahwa pemindahan cairan serebro-spinal dari kelinci yang telah menjalani akupunktur menghasilkan analgesia pada kelinci yang menerimanya. Perjalanan waktu analgesia yang disebabkan oleh akupunktur sama dengan yang disebabkan oleh stimulasi substansia grisea periaqueductal pada batang otak; kedua prosedur itu menghasilkan efek yang awal serta akhirnya agak tertunda (delayed). Analgesia yang disebabkan oleh cara kedua itu (stimulasi substansia grisea) tampaknya dimediasikan lewat peptida-serupa-opiat yang endogen. Maka boleh jadi analgesia oleh akupunktur pun dihasilkan oleh pelepasan zat-zat endogen sejenis itu. Peptida endogen dengan khasiat analgesik yang menyerupai opiat itu secara umum digolongkan dalam enkephalin-enkephalin dan endorphin-endorphin. Riset mengenai peranan opioid-opioid itu dalam akupunktur dalam garis besamya dibagi dalam dua kategori : pertama, penggunaan obat-obat yang memodifikasi daya kerja opiat dan, kedua, pengukuran konsentrasi peptida opiod dalam darah dan cairan serebrospinal. Obat penghambat-reseptor-opiat yang spesifik, yaitu naloxone, mengurangi atau menghilangkan efek analgesik elektro-akupunktur frekuensi-rendah (26 Hz) pada berbagai hewan yang diberi rangsang nyeri. Namun naloxone tak punya efek terhadap analgesia akibat elektro-akupunktur frekuensi tinggi (200 Hz) pada tikus. Pada subyek manusia dengan nyeri kronik atau nyeri eksperimental, semua kecuali satu kelompok peneliti, melaporkan bahwa naloxone mengurangi analgesia yang dihasilkan oleh akupunktur manual atau elektro-akupunktur frekuensi rendah. Asam-asam animo tertentu menghambat peptidase yang dengan cepat mendegradasi endorphin, sehingga membatasi lama kerjanya. Asam-asam amino tsb. meningkatkan efek elektro-akupuntur frekuensi-rendah pada tikus; analgesia yang diakibatkan ini dapat dihambat oleh naloxone. Tikus dari jenis strain CXBK reseptor opiat dalam otaknya sedikit, dan morfin maupun akupunktur hanya mampu menghasilkan analgesia sedikit saja. Sebaliknya, pada tikus jenis C57BL, yang jumlah reseptor opiat dalam otaknya normal, akupunktur dan morfin menghasilkan analgesia yang normal. Bukti ini menyokong lebih jauh peranan peptida opioid endogen dalam analgesia akupunktur. Akhir-akhir ini dibuktikan adanya pelepasan peptida opioid dalam cairan serebro-spinal selama analgesia akupunktur. Beberapa peneliti menunjukkan adanya peningkatan aktivitas-serupa-opiat dalam cairan itu; namun cara assay yang digunakan mereka kurang spesifik. Adalah ClementJones dkk. yang menggunakan radioimmunoassay yang sangat
Cermin Dunia Kedokteran No. 26, 1982 37

spesifik untuk met-enkephalin dan tidak ada reaksi silang dengan peptida lain. Sekelompok pasien dengan nyeri-berulang menjalani elektro-akupunktur frekuensi-rendah. Ternyata konsentrasi met-enkephalin setelah akupunktur ini tidak berubah, namun konsentrasi beta-endorphin naik dalam cairan serebrospinal. Dalam penelitian kedua, pecandu-pecandu heroin diberi elektro-akupunktur frekuensi-tinggi untuk menekan gejala-gejala ketagihan mereka. Secara klinik terapi itu sangat efektif dan ini dihubungkan dengan kenaikan konsentrasi met-enkephalin. yang rendah sebelum terapi dimulai: konsentrasi beta-endorphin, yang semula tinggi, tidak berubah. Perbedaan efek terhadap beta-endorphin dan met-enkephalin mungkin disebabkan oleh perbedaan keadaan yang diobati, tapi mungkin juga hanya akibat perbedaan frekuensi rangsang. Jadi. akupunktur frekuensi-rendah melepaskan beta-endorphin. yang pengaruhnya dapat dihambat (setidak-tidaknya sebagian dihambat) oleh naloxone. Sebaliknya frekuensi-tinggi melepas met-enkephalin, yang efeknya tak dapat dihambat oleh naloxone dalam dosis yang biasa. Informasi tentang perubahan opioid dalam darah selama akupunktur lebih membingungkan lagi. Dua penelitian memberi petunjuk bahwa beta-endorphin imunoreaktif yang bersirkulasi meningkat selama elektro-akupunktur, tapi stress tak dapat disingkirkan sebagai penyebabnya. Selama stress atau rangsang-rangsang lain beta-endorphin dilepaskan dari pituitary bersamaan dengan hormon adrenokortikotropik serta lipotrophin-lipotrophin. Peneliti-peneliti lain melaporkan penurunan konsentrasi hormon adrenokortikotropik, betaendorphin, dan kortisol dalam plasma selama elektro-akupunktur; suatu efek yang mungkin disebabkan oleh pelepasan enkephalin. Bagaimanapun juga, tampaknya tak mungkin bahwa betaendorphin yang dilepas dalam darah me-mediasi analgesia sentral, karena rendahnya daya penetrasi peptida ini ke susunan-saraf pusat. 5-Hidroksitriptamin (serotonin) mungkin memainkan peranan penting dalam mediasi analgesia akupunktur. Parachlorphenylalanine--penghambat hidroksilase triptofan-menurunkan konsentrasi 5-hidroksitriptamin dalam otak, tapi bekerja sebaliknya dengan naloxone, mengurangi efek analgesik elektro-akupunktur frekuensi-tinggi pada tikus dan tak punya efek terhadap analgesia akibat akupunktur frekuensi-rendah. Sistem neurotransmitter lain boleh jadi me-mediasi sebagian efek akupunktur tapi sejauh ini peranannya belum jelas. Efek elektro-akupunktur frekuensi-rendah dan akupunktur manual mungkin dimediasikan, meski cuma sebagian, lewat stimulasi neuron-neuron substansia grisea periaqueductal yang mengandung beta-endorphin, dan dengan begitu mengaktifkan "pain-control pathway" endogen. Dapatkah kita sekarang menegaskan bahwa akupunktur lebih dari sekedar plasebo ? Pertanyaan ini tampaknya tidak relevan lagi, karena pengurangan nyeri akibat plasebo diperkirakan juga di-mediasikan lewat pelepasan opioid endogen dan dapat dihambat oleh naloxone ! Mungkin bukti-bukti bahwa metoda akupunktur yang berbeda menimbulkan efek neurohumoral yang spesifik dan menghasilkan analgesia pada hewan serta manusia memberi akupunktur suatu kehormatan fisiologik.
38 Cermin Dunia Kedokteran No. 26, 1982

Bagaimana pun juga, bila akupunktur benar-benar mampu mengurangi nyeri secara efektif dan aman, maka mekanisme kerjanya bukan hal yang utama. Bila riset mengenai dasar neurokimiawi akupunktur ini berhasil menemukan cam-ma meningkatkan pelepasan neurotransmitter-neurotransmitter otak, maka kegunaannya akan sangat besar. Ini mungkin akan berguna untuk meneliti dan mengobati nyeri, serta beberapa jenis penyakit neurologik, psikiatrik dan endokrin.
Br Med J 1981 ; 283 : 746 747

BERiTa
KONPERENSI KEDOKTERAN ISLAM Pada tanggal 25 Maret 1982 berangkat ke Kuwait, dr. H. Jurnalis Uddin Dekan Sekolah Tinggi Kedokteran YARSI, untuk menghadiri "The 2nd International Conference on Islamic Medicine" Pada konperensi tersebut dr. H. Jurnalis Uddin menyampaikan makalah berjudul : "IBNU SINA'S VIEWPOINT ON HUMAN ANATOMY " Konperensi itu dihadiri oleh utusan-utusyn dari 30 Negara Islam dan berlangsung dari tanggal 29 Maret 1982 s/d 2 April 1982.

MUKTAMAR IDI KE XVIII di SURAKARTA DESEMBER 1982, tanggal 18 21 Tema : Memantapkan peranan IDI dalam Pembangunan Kesehatan Nasional Acara I. Muktamar I I. Ilmiah : Simposium Kedokteran Non medik Continuing Medical Education Temu Ahli Makalah Bebas Alamat Sekretariat : Bagian Ilmu Penyakit Kulit & Kelamin Fak. Kedokteran Universitas Sebelas Maret / "RSU. Surakarta". JI. RSUP. No. 1 Surakarta Ketua : dr. A. Yulianto Danukusumo Sekretaris : dr. Haryono Kariosentono.

Sindroma Obstruksi Akut dari Vena Cava Superior


dr. Susworo

Bagian Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

PENDAHULUAN Sindroma obstruksi akut dari vena cava superior (SVCS = Sindroma Vena Cava Superior) merupakan manifestasi yang akut yang disebabkan oleh obstruksi dari vena cava superior. Obstruksi ini biasanya terjadi akibat penekanan dari luar. GEJALA & TANDA Akibat bendungan di vena cava superior, maka dapat diduga gejala yang akan terjadi. Tetapi pada kasus lanjut atau penekanan yang terlalu hebat maka penekanan bukan hanya di vena cava superior saja tetapi juga pada vena cava inferior, vena subclavia serta aliran vena lain di sekitarnya. Penderita biasanya mengeluh sesak nafas bila berbaring, dirasanya leher dan muka serta dada bagian atas membengkak, kadang-kadang juga lengan atas. Pada pemeriksaan selain edema dari bagian-bagian tersebut, juga tampak dilatasi dari vena-vena di leher, dinding serta lengan atas dengan gradasi yang berbeda tergantung derajat penyumbatan.(Gambar 1-2).

Pada obstruksi yang berlangsung lama bisa timbul gejalagejala neurologik seperti nyeri kepala, gangguan penglihatan dan menurunnya kesadaran. Dalam keadaan seperti ini prosedur yang biasa untuk menegakkan diagnosis sebaiknya tidak usah terlalu ketat dijalankan (1). ETIOLOGI Pada sebagian besar penderita timbulnya gejala adalah akut sehingga patut difikirkan suatu penyebab yang tumbuh dengan cepat. Yang paling mungkin untuk keadaan tersebut adalah proses keganasan.

Gambar 2 : Foto dinding perut penderita tsb. di atas. Venektasi hebat dari vena-vena dinding perut & dada.

Gambar 1 : Seorang penderita Sindroma Vena Cava Superior. Perhatikan leher dan dada bagian atas yang membengkak. Tampak pula ptosis mata kanan (yang merupakan salah satu tanda sindroma Horner) dan bekas biopsi kelenjar supraclavicular kanan.

Gambar 3 : Flebografi penderita sindroma Vena Cava Superior. Tampak obstruksi vena cava superior, subclavia kanan dan innominata.

Cermin Dunia Kedokteran No. 26, 1982

39

Gambar 4 : Foto torax PA. Seorang penderita dengan sindroma Vena Cava Superior disebabkan massa yang tampak sebelah kanan.

Gambar 5 : Setelah penderita mendapat radiasi. Massa jauh mengecil serta gejala-gejala keluhan menghilang. Perhatikanlah diafragma kanan yang letaknya lebih tinggi dari yang kiri akibat paralisis dari n. recurrens.

PEMERIKSAANPEMERIKSAAN Selain pemeriksaan jasmani biasa, diperlukan juga pemeriksaan pelengkap sbb : foto toraks PA dan lateral : biasanya tampak massa pada daerah mediastimum superior kanan ( 97.9% dari seluruh kasus.) bila keadaan penderita mengizinkan serta lokalisasi tepat dari tumor sulit diketahui maka tindakan phlebografi bisa dianjurkan. Tindakan ini adalah dengan cara memasukkan kateter melalui vena cubiti yang.terus didorong ke atas sampai dekat muaranya di Vena subclavia. Kemudian kontras disemprotkan kedalamnya sambil dibuat seri foto. (Gambar 2). apabila didapatkan pembesaran kelenjar supraclavicular, maka biopsi atau aspirasi sitologi kelenjar ini amat berguna untuk menegakkan diagnosis patologi anatomi. Hal lain yang bisa dilakukan juga adalah pemeriksaan sitologi dari sputum penderita untuk mencari kemungkinan adanya sel-sel ganas. fotografi merupakan cara yang sederhana untuk mengevaluasi hasil pengobatan nantinya.

PENGOBATAN Terapi radiasi merupakan pengobatan terpilih untuk kasuskasus ini disebabkan oleh beberapa hal :(i) tindakan pembedahan kurang mendapat tempat di sini mengingat adanya peningkatan tekanan di dalam pembuluh-pembuluh darah maka kemungkinan pendarahan akan sulit diatasi (1) (ii) sebagian besar penyebab obstruksi adalah proses maligna yang cepat tumbuhnya, tumor-tumor macam ini pada umumnya memberikan respons yang baik terhadap radiasi.(3) Tetapi perlu dicatat bahwa tindakan radiasi ini bersifat paliatif untuk mengatasi gejala-gejala akut. Apabila gejala ini telah diatasi, maka pengobatan selanjutnya tergantung dari jenis penyebabnya.

Tabel 1 Berbagai Etiologi dari obstruksi Vena cava superior. Maligna (97 % ). Karsinoma bronkhus 75% Limfoma maligna 15% Metastasis tumor ganas

(1)

KEPUSTAKAAN Benigna (3 % ). Thyroid goiter Mediastinitis fibrosa Aortitis luetica / tuberculosa thrombosis. 1. Lokich JL, Goodman R. Superior Vena Cava Syndrome, Clinical Management. JAMA 1975; 231 : 58 61 2. Howard N. Superior Mediastinal Obstruction. I. Value of Phlebography of Carcinoma of the bronchus. London: Butterworth & Co. 3. Rubin P, Green J, Holdwasser G, Gerle R. Superior Vena Cava Syndrome, slow Low dose Versus Rapid High dose Schedules. Radiology 1963; 81 : 388 400.

Jenis penyakit

Penyumbatan bisa terjadi pada vena cava superior, V. innominata, vena subclavia atau kombinasi dari ketiga vena tersebut.
Tabel 2 Lokalisasi Penyumbatan ( dari 45 penderita ).(2) V. Cava Superior V. Innominata V. Subclavia V. C. S. dan V. innominata V. innominata dan V. Subclavia Ketiga Venae : : : : : : 36 % 27 % 18 % 6% 9% 4%

Untuk surat menyurat, gunakan alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran P.O. Box 3105 Jakarta

Penentuan lokalisasi ini penting untuk pengobatan paliatif, dan biasanya cukup dengan pemeriksaan radiologi toraks PA serta lateral.
40 Cermin Dunia Kedokteran No. 26, 1982

Penyakit Paru Obstruktif Menahun: Diagnosis dan Penanganannya


dr. Hadiarto . Bagian Pulmonologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ Unit Paru R.S. Persahabatan, Jakarta. Di Indonesia, laporan-laporan mengenai . PPOM belum banyak didapatkan, walaupun penyakit itu bukan penyakit yang jarang ditemukan (2,24,25). Pengertian-pengertian diatas dimana Bronkitis merupakan diagnosis klinis, Emfisema adalah diagnosis anatomis dan asma lebih bersifat fisiologik, jelas menyebabkan kesukaran dalam pemastian diagnosis karena sering terjadi overlapping baik klinis, radiologis, maupun fisiologis. PERANGAI KLINIS PPOM Secara klinis terdapat 2 macam perangai yang klasik dari PPOM, yaitu : 1. Jenis Bronkitik atau "Blue Bloater" atau tipe B. 2. Jenis Emfisematus atau "Pink Puffer" atau tipe A. Yang masing-masing berbeda dalam banyak hal (lihat Tabel 1 ). Namun kebanyakan jenis campuran. DIAGNOSIS (10). 1. Anamnesa dan Riwayat penyakit. Mengingat penyakit berjalan sangat lambat, sehingga penderita tetap asimtomatis selama bertahun sebelum gejala manifestasi, perlu diteliti benar adanya sifat batuk-batuk, adanya dahak, sesak nafas yang tidak wajar, "wheeze" yang mungkin merupakan tandatanda dini dari penyakit ini (28). 2. Pemeriksaan jasmani. Gambaran kelainan jasmani yang klasik seperti digambarkan diatas. Pada tingkat penyakit yang dini mungkin tidak ditemukan kelainan apa-apa. Kemungkinan kelainan dini yang perlu diperhatikan : ekspirasi yang memanjang pada auskultasi di trakea dapat dipakai sebagai petunjuk adanya obstruksi jalan nafas yang dibuktikan dengan pemeriksaan spirometri (Husodo, Petty). 3. Radiologik. (11,16). Terdapatnya kelainan pada foto thorax PA & lateral menunjukkan tingkat perjalanan penyakit lanjut. Pada bronkitis Menahun gambaran normal pada 21 50%, sedangkan tanda Rontgenologis positif : over inflation, bayangan tubuler, corakan paru bertambah, defisiensi vaskuler (Fraser & Pare). Pada emfisema terdapat kelainan dalam 2 perangai radiologik : a). Dengan defisiensi arterial b).Dengan corakan paru bertambah
Cermin Dunia Kedokteran No. 26. 1982 41

Penyakit Paru Obstruktif Menahun (disingkat PPOM, atau singkatan bahasa Inggris COLD, COPD, CAO, CNSLD, CARA) dimaksudkan pada sekelompok penyakit paru menahun yang mengakibatkan obstruksi jalan nafas yang bersifat irreversibel oleh penyebab (etiologi) yang tidak diketahui pasti ( 1,3,9 ). Termasuk dalam kelompok ini : Bronkitis Menahun, Emfisema, Asma Menahun, (Bronkiektasis) ( 1,3,14,34 ). Pada penyakit-penyfikit tersebut diatas secara klinis sering tidak dapat dibedakan/dipisahkan satu sama lain, tetapi memiliki persamaan dalam hal gangguan fisiologik yaitu obstruksi jalan nafas (airways obstruction) atau lebih tepat tahanan jalan nafas (airways resistance), baik yang disebabkan oleh penyempitan saluran nafas sendiri maupun oleh destruksi jaringan paru yang mengakibatkan hilangnya daya lenting (elactic recoil). Di negara maju PPOM menempati kedudukan tertinggi dalam hal kekerapan dari penyakit-penyakit paru dan menimbulkan masalah sosial yang diakibatkan cacat pernafasan (respiratory disabled) pada sebagian besar penderita dengan penyakit yang lanjut, menempati kedudukan ke 2 setelah penyakit jantung koroner dalam hal kompensasi yang harus diberikan pemerintah kepada penderita-penderita di Amerika Serikat (4, 27, 34). Bronkitis Menahun dapat didefinisikan sebagai keadaan klinis yang ditandai oleh sekeresi bronkus yang berlebihan dengan manifestasi batuk-batuk menahun produktif dan berulang. Manifestasi ini harus terdapat selama 3 bulan dalam 1 tahun dengan sekurang-kurangnya 2 tahun berturutturut ( 1,3 ). Emfisema ialah kelainan anatomik paru yang ditandai oleh pelebaran abnormal dari ruang udara distal dari bronkus terminalis yang disertai dengan perubahan destruktif dinding alveoli. Asma bronkial ialah suatu keadaan hiperreaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi penyempitan umum saluran nafas yang derajatnya berubahubah baik secara spontan maupun dengan pengobatan. Asma menahun yaitu asma bronkial dimana telah terjadi penyempitan saluran nafas yang walaupun berubah-ubah tetapi tidak pernah kembali normal.

TABEL I : Perbedaan jenis bronkitik dan jenis emfisema. Bronkitis ("Blue Bloater ) Sesak nafas timbul setelah batuk-batuk produktif bertahun-tahun. Gemuk Sianotik (biru) Dada normal Pekak jantung dan hepar jelas. Pemeriksaan Jasmani Suara nafas kasar.
"

Emfisema ("Pink Puffer") Sesak nafas lebih dahulu diikuti batuk-batuk dengan / tanpa sputum. Kurus Kemerahan Dada gembung Pekak jantung dan hepar hilang oleh over-distensi. Suara nafas lemah dengan ekspirasi yang memanjang. Umumnya tidak ada suara nafas tambahan.

Gejala

Tubuh Penampakan

4. Uji faal paru. (a). Spirometri. Merupakan pemeriksaan faal paru yang terpenting, untuk mendeteksi adanya obstruksi jalan nafas maupun derajat obstruksi. Hambatan aliran udara pernafasan pada ekspirasi secara spirometri dinyatakan dengan (21,30,31). Perumusan nilai-nilai Volume Ekspirasi Paksa 1 detik (VEP1.0 = FEV1.0 ) Arus tengah Expirasi Maksimal (ATEM = MMEF). Arus tengah Expirasi Maksimal (ATEM = MMEF). Kapasitas nafas Maksimal (KNM = MBC/MVV). VEP1.o = merupakan parameter yang paling banyak digunakan untuk menentukan obstruksi, serajat obstruksi , bahkan dapat menilai prognosis (13, 14, 28, 29, 34). Kriteria dari reversiblitas obstruksi jalan nafas (6) : Ada 3 aspek yang perlu dipertimbangkan untuk menilai reversibilitas jalan nafas : 1. Klinis yang paling tidak objektif. Keluhan sesak yang relatif menetap. 2. Dua dari 3 uji faal paru. Volume ekspirasi Paksa 1 detik ( VEP 1.0) kurang dari normal Arus Tengah Ekspirasi Maksimal (ATEM) (MMF). Kapasitas Vital Paksa. 3. Uji faal paru setelah pemberian obat-obat bronkodilator. Umumnya kriteria irreversibel bila kenaikan nilai-nilai spirometri 15 25%, rata-rata 20% (6). Volume paru. Volume residu (Residual volume = RV). Kapasitas Paru Total (Total Lung Capacity = TLC). Rasio ( VR ) KPT Pada emfisema volume residu meningkat, juga KPT, sedangkan Rasio VR . juga meningkat. KPT Oleh karena VR lebih besar peningkatannya dari KPT.
(b). Kapasitas diffusi. Menurun pada Emfisema yang menunjukkan kehilangan daya lenting statis. (c). Analisa gas darah. Kelainan gas danah arteri adalah umumnya PO 2 rendah dan PCO 2 tinggi pada bronkitis menahun. Pada emfisema gambaran darah arteri umumnya normal kecuali pada stadium yang lanjut terjadi hipoksemia. Penentuan analisa gas darah penting dalam menilai derajat insufisiensi pernafasan atau kegagalan pernafasan. Asidosis dapat terjadi pada eksaserbasi akut umumnya disusul dengan kompensasirrenal yang mengembalikan pH darah dalam batas-batas normal. 5. Elektrokardiogram (24, 27, 28) Hipertensi pulmonal pada tingkat lanjut PPOM dapat diketahui dengan EKG. Gambaran abnormal EKG antara lain : P pulmonal. Deviasi aksis kekanan " Low voltage" sering pada emfisema.

Rhonchi basah/kering pada ekspirasi & inspirasi yang berubah dengan batuk. Jantung Gagal jantung kanan sering terdapat dan penyebab kematian. Polisitemia sekunder. Darah Analisa gas darah arteri P0 2 rendah, "CO2 tinggi

Gagal jantung kanan jarang, kematiankarena gagal pernafasan. Polisitemia jarang. P02 normal atau rendah PCO2 rendah.

Rontgenologik.

Jantung membesar disertai tarida-tanda bendungan paru; Hipertrofi ventikel kananP. pulmonal. Spirometri : Obstruksi jalan nafas yang reversibel sebagian. Kapasitas paru total normal atau sedildt meltingkat. Kapasitas difusi normal.

Jantung memanjang, diafragma rendah dan hiperinflasi. Mungkin terdapat P. pulmonal. Obstruksi jalan nafas irreversibel.

E. K. G.

Uji Foal Paru

Kapasitas paru total meningkat.

Kapasitas difusi menurun.

Pada emfisema dengan defisiensi arteri ditemukan keadaan : a). Over inflasi yang ditandai oleh :. Diafragma rendah dan datar. Penciutan pembuluh-pembuluh darah pulmonal. Diameter antero posterior yang bertambah. Ruang retrosternal membesar. Bulla. b) Emfisema dengan corakan bertambah, keadaan ini mirip bronkitis menahun. Umumnya pemeriksaan radiologik lebih banyak bersifat penunjang terutama dalam menyingkirkan penyakit-penyakit lain yang memberikan gejala yang serupa seperti : TB, Kanker paru, abses paru, silikosis dan lain-lain.
42 Cermin Dunia Kedokteran No. 26, 1982

Tanda-tanaa hipertrofi ventikei kanan (RVH). P pulmonal R V6 < 5, R/S <= 1 adalah yang paling sering terdapat pada gambaran EKG (19). Diagnosa Banding. 1. Asma bronkial. Mudah dibedakan dengan asma yang klasik dengan memperhatikan reversibilitas obstruksi jalan nafas. 2. TB paru. Walaupun TB tidak termasuk PPOM tetapi bekas penderita TB sering memberikan gejala-gejala yang sama. Sindroma obstruktif diffus adalah istilah yang diberikan kepada penderita PPOM yang mempunyai latar belakang TB (22). 3. Bronkiektasis. Sebagian pengarang memasukkan bronkiektasis dalam kelompok PPOM yaitu yang disertai obstruksi jalan nafas. Riwayat radang saluran nafas pada masa kanakkanak merupakan ciri utama. Diagnosa bronkiektasis hanya dengan bronkografi. 4. Penyakit-penyakit parenkim, intertitial yang diffus seperti: silicosis, TB lanjut/millier, sering memberi gambaran klinis yang serupa.

3. Kontraksi otot bronkus (bronkospasme). Pada penderita Bronkitis Menahun sering terdapat penebalan otot polos bronkus walaupun tidak join seperti pada asma. 4. Hilangnya daya lenting jaringan paru (elastic recoil) irreversibel. Setiap penderita perlu dinilai adanya kemungkinan komponen yang reversibel dari obstruksi jalan napas hingga pengobatan dapat disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing. Dasar-dasar penatalaksanaan PPOM. Secara umum penatalaksanaan PPOM adalah : 1. Usaha-usaha pencegahan, terutama ditujukan terhadap memburuknya penyakit. 2. Mobilisasi dahak. 3. Mengatasi bronkospasme. 4. Memberantas infeksi. 5. Penanganan terhadap komplikasi. 6. Fisioterapi, inhakasi terapi dan rehabilitasi. 1. Pencegahan (a). Hubungan dokter dan penderita. Penerangan yang jelas kepada penderita mengenai sebab-sebab, faktor-faktor yang dapat memperburuk keadaan harus diberikan sejelasjelasnya, agar penderita dapat turut aktif dalam tindakan pencegahan sering diperlukan dan pengobatan, motivasi yang terus menerus. (b). Ditujukan kepada faktor-faktor yang dapat memperburuk penyakit : rokok merupakan satu-satunya faktor penyebab terpenting dalam etiologi bronkitis menahun, yang juga merupakan tujuan pencegahan utama. Asap rokok menyebabkan iritasi yang menahun pada mukosa saluran napas yang mengakibatkan : batuk, bertambahnya produksi sputum dan spasme bronkus, merusak silia dan mengganggu pengeluaran sekret yang wajar. Menghentikan merokok pada penderita walaupun sangat sukar, harus diusahakan semaksimal mungkin. Penghentian merokok secara total adalah lebih berhasil daripada secara pelan-pelan. (c). Bahan irritasi lainnya, polusi udara di pabrik-pabrik, lingkungan sekitar jalan sedapat mungkin dihindarkan. 2. Mobilisasi dahak. Ditujukan untuk mengurangi keluhan, batuk-batuk, ekspektorasi, sesak dengan cara memberikan obat-obat yang memudahkan pengeluaran sputum dan yang melebarkan saluran napas. (a). Ekspektoransia.Pengenceran dan mobilisasi dahak merupakan tujuan pengobatan yang penting pada kead'aan eksaserbasi dan juga pada keadaan-keadaan menahun dan stabil yang disertai jalan napas yang berat. Ekspektoran oral kecuali glyceril guaicolate dalam dosis tinggi hanya mempunyai nilai sedikit saja. Obat ekspektoran yang mengandung antihistamin malahan menyebabkan pengetalan dahak ( 4, 35 ) Antitusif tidak dianjurkan pada penderita ini ( 4). Hidrasi yang cukup merupakan ekspektoran yang paling efektif, penderita diharuskan untuk minum cukup banyak air. (4, 28). Cairan kadang-kadang perlu diberikan perenteral pada penderita dengan obstruksi jalan napas yang berat disertai kesulitan mengeluarkan dahak (4).
Cermin Dunia Kedokteran No. 26, 1982 43

PENATALAKSANAAN PENDERITA PPOM Untuk dapat menatalaksana penderita PPOM dengan sebaikbaiknya, perlu dipahami benar : faktor-faktor etiologik, patofisiologik, tingkat perjalanan penyakit, hingga pengobatan dapat dilakukan secara terarah dan rasional. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan : 1. Faktor penyebab atau yang dapat memperburuk penyakit : rokok, infeksi, iklim/cuaca, polusi dan lain-lain. 2. Sedapat mungkin menentukan jenis penyakitnya. 3. Ada/tidaknya obstruksi jalan napas yang dapat diperiksa secara objektif dengan spirometri, dan terutama mengindentifikasi komponen-komponen yang memungkinkan untuk reversibilitas. 4. Menetapkan tahap perjalanan penyakit. 5. Penyakit lain diluar paru : sinusitis, faringitis kronis.

Mekanisme obstruksi jalan napas. Obstruksi jalan napas merupakan manifestasi yang paling menonjol dan paling sukar ditanggulangi oleh karena : menunjukkan tingkat perjalanan penyakit yang lanjut, umumnya irreversibel progresif. Penekanan terapi terhadap obstruksi jalan napas merupakan masalah pengobatan yang terpenting, oleh karena itu perlu dipahami benar, mekanisme obstruksi jalan napas pada penderita PPOM. Mekanisme tersebut adalah (20, 28, 30, 33) : 1. Obstruksi sekret pada saluran-saluran napas akibat produksi sekret yang berlebihan disertai penebalan kelenjar-kelenjar mukus submukosa, secara potensial merupakan komponen yang reversibel dari obstruksi jalan napas. 2. Peradangan saluran napas. Sekret yang purulen merupakan manifestasi yang jelas dari adanya radang saluran napas, perubahan sifat/warna sputum sangat penting untuk menilai adanya infeksi akut atau exacerbasi, juga secara potensial reversibel.

(b). Obat-obat mukoliti. (dua jenis mukolitik yang paling banyak dipakai). Acetyl cystein yang diberikan pada oral, memberikan efek mukolitik yang cukup baik dengan sedikit efek samping dibandingkan aerosol yang sering menimbulkan bronkospasme (26). Bromhexin sangat populer oleh karena penggunaannya yang mudah (tablet, elixir, sirop). (8). (c) Nebulisasi.Inhalasi uap air atau dengan aerosol melalui nebuliser, dapat juga ditambahkan dengan obat-obat bronkodilator dan mukolitik dengan atau tanpa Intermittent Positive Pressure Breathing (IPPB). (4, 33, 35). 3. Obat-obat bronkodilator. Merupakan obat utama dalam mengatasi obstruksi jalan nafas. Adanya respon terhadap bronkodilator yang dinilai dengan spirometri merupakan petunjuk yang dapat digunakan untuk pemakaian obat tersebut. (7, 15, 28, 33, 35). (a). Simpatomimetik amine, beta2yagonis (metaproterenol, terbutalin, salbutamol, dll.). Obat yang bekerja selektif terhadap reseptor beta-2 makin banyak digunakan dalam pengobatan bronkospasme, oleh karena efek samping yang rendah terhadap reseptor beta-1 dibandingkan dengan preparat efedrin, adrenalin dan isoprenalin. Obat-obat ini merangsang reseptor beta2 di otot-otot polos bronkus yang melalui enzym adenyl cyclase yang meningkatkan cAMP yang bekerja sebagai bronkodilator. Obat ini selain bekerja sebagai bronkodilator juga bekerja merangsang mobilisasi dahak terutama pada pemberian secara inhalasi dalam bentuk aerosol. (33, 35). (b). Derivat Xanthin (aminofilin, teofilin). Pemahaman baru mengenai cara kerja methyl xanthine yang bertindak sebagai penghambat ensim fosfodiesterase. (menginaktifasi Cyclic AMP). Cyclic AMP dapat dipertahankan pada tingkat yang tinggi, sehingga tetap mempunyai efek bronkodilator. Paduan obat golongan simpatomimetika dengan golongan methyl zanthin meningkatkan kadar C. AMP secara lebih efektif hingga masing-masing dapat diberikan dalam dosis rendah. Dengan efek terapeutis yang sama apabila obat diberikan sendiri-sendiri dalam dosis tinggi, efek samping menjadi lebih kecil (Snider). Beberapa dengan asma bronkial, pada penderita PPOM pemberian aminofilin harus dihentikan bila tidak menunjukkan perbaikan objektif. (14). (c) Kortikosteroid. Manfaat kortikosteroid masih dalam perdebatan pada pengobatan terhadap obstruksi jalan nafas pada PPOM namun mengingat banyak penderita bronkitis yang juga menunjukkan gejala, seperti asma disertai hipertrofi otot polos bronkus Snider, menganjurkan percobaan dengan obat steroid oral dapat dilakukan pada setiap penderita PPOM terutama dengan obstruksi yang berat apabila menunjukkan tanda-tanda sebagai berikut : Riwayat sesak dan wheezing yang berubah-ubah, baik spontan maupun setelah pengobatan. Riwayat adanya atopi, sendiri maupun keluarga. Polip hidung
44 Cermin Dunia Kedokteran No. 26, 1982

Respons terhadap volume ekspirasi paksa satu detik pada spirometri lebih dari 25% setelah uji bronkodilator. Eosinofil perifer lebih dari 5% Eosinofil sputum lebih dari 10% Prednison diberikan dalam dosis 30 mg selama 2 sampai 4 minggu. Obat-obat dihentikan bila tidak ada respons. Methyl-prednisolon memberikan manfaat pada bronkitis menahun yang disertai kegagalan pernafasan mendadak (7). 4. Antibiotika. Peranan infeksi sebagai faktor penyebab timbulnya PPOM terutama pada bronkitis menahun masih dalam perdebatan (12, 27, 29) namun jelas infeksi berpengaruh terhadap perjalanan penyakit bronkitis menahun dan terutama pada keadaankeadaan dengan eksaserbasi. Penyebab eksaserbasi tersering adalah virus, yang sering diikuti infeksi bakterial. S. pneumonia dan H. influensa merupakan kuman yang paling sering ditemukan pada penderita bronkitis menahun terutama pada masa eksaserbasi (12). Antibiotika yang efektif terhadap eksaserbasi infeksi - ampicillin, tetracyclin, cotrimoxazole, erythromycin, diberikan 1 2 minggu (12, 33). Antibiotik profilaksik pemah dianjurkan oleh karena dapat mengurangi eksaserbasi, tidak dapat dibuktikan kegunaannya dalam pemakaian yang luas. (13). Pengobatan antibiotik sebagai profilasi, hanya bermanfaat pada mereka yang sering eksaserbasi harus pada musim dingin/ hujan. Perubahan dari sifat dahak merupakan petunjuk penting ada tidaknya infeksi, dahak menjadi hijau atau kuning. 5. Pengobatan tehadap komplikasi. Komplikasi yang sering ialah Hipoksemia dan Cor pulmonale. Pada penderita PPOM dengan tingkat yang lanjut, telah terjadi gangguan terhadap fungsi pernapasan dengan manifestasi hipoksemia dengan atau tanpa hiperkapnia. Pemberian oksigen dosis rendah 1 2 liter/menit selama 12 18 jam sering dianjurkan, karena dapat memperbaiki hipoksemia tanpa terlalu menaikkan tekanan CO 2 darah akibat depresi pernapasan (2, 17, 23). Diuretik merupakan pilihan utama pada penderita dengan cor pulmonale yang disertai gagal jantung kanan. Pemberian digitalis harus hati-hati oleh karena efek toksis mudah terjadi akibat hipoksemia dan gangguan elektrolit (4). 6. Fisioterapi dan inhalasi terapi. (4, 28) Prinsip fisioterapi dan terapi inhalasi adalah : mengencerkan dahak memobilisasi dahak melakukan pernafasan yang efektif mengembalikan kemampuan fisik penderita ketingkat yang optimal (23). 7. Pendekatan psikis Pada penderita bronkitis menahun yang lanjut terutama yang sudah menjalani gangguan pernafasan perlu dilakukan pendekatan hubungan dokter-penderita yang lebih baik dengan cara penerangan mengenai tujuan pengobatan dengan mengemukakan hal-hal yang positif (4).

PROGNOSIS. Masa hidup (survival) penderita PPOM faktor-faktor yang mempengaruhi prognosis : 1. Gangguan fungsionil inisial, VEP1.0 sering dijadikan parameter untuk menilai prognosis, umumnya prognosis buruk, bila VEP1.0 mencapai 1.5 liter atau kurang, dengan survival kurang lebih 10 tahun, menjadi 4 tahun pada VEP 1 . 0 1 liter dan 2 tahun pada VEP1.o 0,5 liter (Petty). 2. Adanya Cor pulmonale yang umumnya disertai dengan hipoksemia dan hiperkapnia.

3. Kurang berat, lebih dari 20% (Rodman & Sterling). Penyebab kematian utama (Rodman & Sterling). 1. Cor pulmonale (53%) 2. Kegagalan pernafasan akut (sub akut 30%) 3. aritemia Jantung.
Daftar kepustakaan dapat diminta pada penulis/ redaksi

PENGALAMAN PRAKTEK

Shock Anafilaktik Akibat Pemakaian Obat per oral


Sudah ada beberapa dokter diajukan ke meja hijau oleh karena kasus shock anafilaktik yang menyebabkan kematian. Dalam beberapa pertemuan dan diskusi-diskusi, telah dibahas bahwa semua obat pada prinsipnya dapat menyebabkan terjadinya reaksi alergi, dan apabila berat dapat menjadikan shock anafilaktile. Pada kesempatan ini kami akan mengutarakan pengalaman kami sendiri dengan penderita yang mengalami shock anafilaktik dengan minum preparat derivat ampisilin. Urut-urutan Kejadiannya. Pada tanggal 5 April 1982 datanglah seorang penderita (umur 32 tahun) ke kamar praktek saya. Penderita sudah sering sekali berobat kepada kami dengan diagnosis ulcus ventriculi; sudah sering mendapatkan obat antasida dan analgetika. Pada hari tersebut penderita datang dengan keluhan yang sama, disertai nyeri telan dan sedikit batukbatuk. Pada pemeriksaan kami temukan adanya pharyngitis. Kemudian kami berikan obat analgetika yang sudah biasa kami berikan dan kami tambah dengan preparat derivat ampisilin. Sudah kami lakukan anamnesa mengenai tahan atau tidak penderita terhadap penisilin, tetapi penderita tidak mengetahuinya. Kemudian penderita pulang dan resep dibelikannya. Berhubung obatnya datang sudah terlalu malam dan penderita sudah tidur maka obat tersebut belum diminum. Baru pada keesokan harinya tanggal 6 April 1982 obat tersebut diminum sekitar jam 7. 0O pagi. Beberapa saat sesudah itu mendadak penderita merasa gatal di seluruh tubuh, nafas menjadi sesak dan berbunyi (stridor), muka sembam dan pandangannya menjadi gelap, kulit muka menjadi merah. Kemudian penderita minta diantar kembali ke dokter. Sampai di rumah dokter, penderita sudah lemah sekali dan mengeluh badannya lemah sekali, pandangan gelap, dan leher terasa tersumbat. la masuk ke kamar praktek dengan digotong. Secepatnya penderita kami berikan suntikan adrenalin 0,3 cc 1M, dan denyut nadi kami monitor sambil berdoa kepada Tuhan YME. Sekitar 3 4 menit kemudian penderita mulai dapat bernafas panjang dan membuka mata. Kami tanyakan bagaimana rasanya ? Penderita sudah dapat menjawab bahwa nafas agak longgar dan sudah tidak seberapa gelap lagi pandangannya. Kemudian kami lakukan pengukuran tekanan darah, tekanan darahnya sudah 80/50 mm Hg. Penderita kemudian kami bawa ke rumah sakit dengan posisi Trendelenberg dalam mobil. Sesampainya di rumah sakit kemudian diulangi pemberian suntikan adrenalin 0,3 cc subkutan. Sekitar 5 menit kemudian tekanan darah 110/80 mm Hg, sesak nafas pendenta hazing dan skin rash serta edema hilang. Selanjutnya penderita dian jurkan untuk tinggal sementara di rumah sakit untuk mendapatkan pengawasan. Demikianlah pengalaman praktek ini saya muat sekedar menambah informasi pada Teman Sejawat semuanya.

dr. A. Guntur Hermawan Bagian P.P.K.M. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Sttrakarta.
Cermin Dunia Kedokteran No. 26, 1982 45

Sejarah Kedokteran
Pandemi Influenza 1918
Epidemi influenza masih tetap merupakan ancaman terbesar bagi kesehatan manusia dan belum dapat diatasi, menimbulkan kehancuran dan kematian jauh melebihi data-data yang tercatat yang kita ketahui. Impak influenza A selama pandemi yang periodik hebat sekali karena adanya varian antigen baru yang mengalahkan kekebalan pada subtypesubtype sebelumnya. Ada baiknya bila kita ingat bahwa kita belum mengerti benar-benar mengapa pandemi 1918 1919 begitu hebat dan oleh karena itu kita tidak dapat yakin apakah tindakan-tindakan medis modern akan dapat mengatasi bila . nanti timbul peristiwa seperti itu lagi. Sebagai suatu kenangan pahit dari pandemi tersebut, surat berikut mungkin menarik pula. Surat itu ditemukan di dalam sebuah koper di Detroit, di antara naskah-naskah kedokteran yang disampaikan kepada Bagian Epidemiologi Universitas Michigan. Kutipan surat asli yang ditemukan di Detroit pada tahun 1959.
Camp Devens, Mass. Surgical Ward No. 16 29 September 1918 ( Base Hospital )

Yang terhormat Burt,

Mungkin anda akan tertarik pada berita mengenai tempat ini, karena ada kemungkinan anda akan ditugaskan disini; sebab itu sebagai gambaran akan saya ceriterakan sedikit tentang keadaan di sini seperti yang saya lihat seminggu belakangan ini . Seperti anda ketahui saya tidak banyak menemui kasus pneumonia beberapa tahun belakangan ini di Detroit, sehingga ketika saya tiba di sini saya sedikit ketinggalan dalam mengikuti cara mendiagnosis yang berbelit-belit di Rumah Sakit Angkatan Darat. Disamping itu minggu- minggu belakangan ini sakit telinga saya kumat lagi, sehingga saya tidak dapat menggunakan stetoskop sama sekali, maka saya harus menemukan kasus-kasus itu dengan bekal pengetahuan saya tentang pneumonia. Saya dapat bekerja dengan baik , dan akhirnya saya temukan phonendoskop kuno, saya pasang dan selanjutnya beres. Anda tahu peraturan Angkatan Darat menuntut tempat yang sangat dekat dan sebagainya. Kamp Devens dekat Boston, di sana terdapat 50.000 orang sebelum epidemi itu berkecamuk. Kota ini juga memiliki Rumah Sakit Pusat untuk Divisi Timur Laut. Epidemi ini mulai sekitar 4 minggu yang lalu, dan telah meluas dengan sangat cepat sehingga kamp itu kacau dan semua pekerjaan sehari-hari ditunda sampai epidemi itu berlalu. Semua prajurit dilarang berkumpul -kumpul. Orang-orang yang terserang epidemi ini pada permulaannya nampak seperti terkena La-Grippe atau influenza biasa, dan bila sampai di Rumah Sakit dengan sangat cepat mereka menderita pneumonia yang sangat ganas. Dua jam setelah berada di Rumah Sakit timbul bercakbercak Mahogony di pipi dan beberapa jam kemudian akan nampak cyanosis yang meliputi daerah telinga dan seluruh muka, sampai akhirnya sukar dikenali apakah orang itu orang kulit putih atau berwarna. Kejadian ini hanya beberapa jam saja dan kemudian orang itu meninggal; penyebab utamanya karena orang itu sulit bernapas. Betapa mengerikan ! Kita masih tahan melihat satu, dua atau dua puluh orang meninggal, tetapi melihat kematian yang begitu banyak menggoncang46

kan hati kita. Rata-rata perhari 100 orang mati, bahkan masih terus bertambah. Menurut hemat kami tidak diragukan lagi, bahwa di sini ada infeksi campuran baru tetapi saya tidak mengenalnya. Seluruh waktu saya tersita untuk menemukan ronchi; ronchi kering atau basah, nyaring atau krepitasi, atau apapun dari beratus-ratus hal lain yang dapat ditemukan di dada, tetapi semua itu hanya punya satu arti pneumonia dan itu berarti kematian. Jumlah dokter di daerah ini sebanyak 25 orang dan meningkat menjadi lebih dari 250 orang; semuanya (kecuali saya) menjalankan tugas sementara, lalu kembali ke Pos semula setelah tugas Selesai. Tugas saya disini merupakan "tugas tetap", tetapi saya telah cukup lama bekerja di Angkatan Darat sehingga saya tahu perintah itu kadangkadang dapat diubah. Saya tidak tahu apa yang akan terjadi atas diri saya pada akhirnya. Kami telah kehilangan sejumlah besar perawat dan dokter dan pemandangan di kota kecil Ayer sangat mengerikan. Untuk membawa korban yang meninggal, diperlukan kereta api khusus. Selama beberapa hari tidak ada peti mati, jenazah-jenazah telah bertumpuk -tumpuk dan nampak sangat mengerikan. Kami pernah ke kamar mayat (yang terletak dekat belakang bangsal saya) dan melihat mereka terhampar dalam deretan panjang. Pemandangan ini lebih mencekam daripada pemandangan di Perancis setelah perang. Sebuah barak tambahan yang panjang terpaksa dikosongkan, dipergunakan untuk menaruh mayat, dan setiap orang akan tersentak ketika menyelusuri deretan jenazah tentara yang berpakaian lengkap tertumpuk dalam dua deretan. Di sini tidak ada istirahat, bangun pagi-pagi jam 5.30 dan terus kerja keras sampai sekitar jam 9.30 malam, tidur, dan kembali bekerja. Beberapa orang sudah lama berada ditempat ini, dan mereka kecapaian. Kalau isi surat ini terasa terputus-putus, itu karena saya terlalu sering dipanggil, terakhir ini oleh komandan yang piket hari itu yang datang untuk memberitahukan bahwa pada otopsi mereka belum berhasil menemukan satu kasus pun di luar fase hepatisasi merah. Penyakit itu telah merenggut nyawa si penderita sebelum fase berikutnya. Saya bukan ingin mengorbankan anda, temanku, tapi saya ingin anda berada di sini walaupun sebentar. Lebih menyenangkan kalau ada seorang teman di dekat kita. Semua teman-teman di sini baik, tetapi saya sangat muak terhadap pneumonia, sehingga setiap kali makan saya ingin mempunyai teman yang tidak membicarakannya. Tetapi kami berkecimpung dalam hal itu selama 16 jam sehari. Saya sungguh akan sangat berterima kasih bila sekali-kali anda mau mengirim surat satu atau dua baris saja; saya berjanji andaikan anda dalam keadaan begini saya pun akan berbuat demikian pula. Setiap orang di sini bertugas pada bangsal dengan sekitar 150 tempat tidur (bangsal saya 168) dan mempunyai Asisten Kepala yang mengepalainya. Dapat anda bayangkan bagaimana beratnya pekerjaan mengisi kertas-kertas dan formulir-formulir itu, bukan main ! Pemerintah menuntut agar semua kertas/catatan disimpan dalam bentuk yang rapi. Saya mendapat 4 orang perawat untuk siang hari dan 5 perawat untuk malam harinya ( perempuran ), seorang kepala bangsal dan empat orang pembantu untuk membersihkan bangsal. Dengan demikian anda dapat mengerti betapa sibuknya kami. Saya tulis surat ini sedikit demi sedikit. Mungkin diperlukan waktu yang lama untuk menulis surat lagi kepada anda, tetapi akan saya coba. Surat ini dapat memberi anda bayangan bagaimana laporan bulanan yang harus selesai hari Senin ini. Laporan saya telah hampir selesai sekarang. Atasan saya baru saja masuk dan memberikan lebih banyak pekerjaan, sehingga terpaksa saya akhiri surat saya sampai disini.
Good By old Pal, "God be with you till we meet again" Keep The Bouells open. ( Tertanda) Roy. Brit Med J 1979; 2 : 1632 33

Cermin Dunia Kedokteran No. 26, 1982

KEGAWATAN DAN KEDARURATAN MEDIK II

Editor: dr. Arjatmo Tjokronegoro PhD, Dr.AH Markum. Jakarta. Fakultas Kedokteran FKUI, 1982. 94 halaman. Kegawatan dan kedaruratan medik tampaknya banyak menarik perhatian kalangan kedokteran. Buku ini merupakan kumpulan naskah dari Seminar Kedaruratan Medik ke II, menyusul seminar pertama lima bulan sebelumnya. Dibahas dalam buku ini : (i) masalah luka bakar, (ii) sumbatan mendadak pada saluran kemih, (iii) abdomen akut pada bayi dan anak, (iv) luka kranioserebral, (v) trauma mata, (vi) trauma larings dan benda asing dalam saluran nafas, (vii) perdarahan dalam obstetri dan ginekologi, (viii) komplikasi kontrasepsi dalam keluarga berencana. Secara umum buku ini sangat bermanfaat bagi setiap dokter. Mutu kedelapan naskah yang dibahas dapat dikatakan sama bagusnya, dan cukup komprehensif. Hanya naskah mengenai komplikasi kontrasepsi terlalu pendek, hanya 4 halaman. Mengingat KB merupakan program nasional, seharusnya ada baiknya bila masalah ini dibahas lebih mendalam. Ataukah dokter-dokter kini telah jenuh oleh masalah ini? Dicetak di atas kertas HVS tebal, mutu cetakannya bagus. Para dokter kami anjurkan memilikinya.

procedure involving human subjects shoud be clearly formulated in an experimental protocol which should be transmitted to a specially appointed independent committee for consideration, comment and guidance." (I,2) Pentingnya Komite yang independen untuk mengawasi penelitian biomedik ini ditegaskan sekali lagi pada pertemuan-pertemuan WHO/CIOMS tahun 1981 yll. Ini perlu ditegaskan karena pada banyak negara, etik atau tidaknya suatu penelitian biomedik sering diserahkan pada si peneliti itu sendiri untuk mempertimbangkannya. Perubahan penting lainnya ialah bahwa bila pada deklarasi terdahulu hanya disebutkan "Setiap proyek penelitian harus terlebih dahulu dipertimbangkan dengan seksama untung ruginya bagi orang percobaan atau orang-orang lain," maka pada revisi ditegaskan bahwa kepentingan subyek percobaan tak boleh dikorbankan demi kepentingan ilmu atau masyarakat (1,5). Mengenai publikasi hasil penelitian, disebutkan bahwa penelitian yang tidak sesuai dengan Prinsip-prinsip ini harus ditolak untuk publikasinya. (I,8). Naskah lengkap Deklarasi Helsinki yang telah direvisi dapat dibaca pada Cermin Dunia Kedokteran No. 25 yll. Namun dengan segala kekurangannya, buku pedoman ini patut kita sambut, karena merupakan pedoman pertama yang diterbitkan FKUI.

IMUNOLOGI : Diagnostik dan Terapi Editor : dr. Arfatmo Tjokronegoro PhD, dr Santoso Cornain DSc. Jakarta : Fakultas Kedokteran Ul, 1982. 99 halaman. Bersama dengan " recombinant DNA" , imunologi merupakan ilmu yang paling pesat perkembangannya di dunia kedokteran. Dalam bidang-bidang itulah diharapkan adanya loncatan-loncatan kemajuan ilmu kedokteran. Ironiknya, imunologi belum mendapat perhatian yang luas, masih merupakan bidang ilmu yang baru di negara kita. Ini dapat dimengerti kalau diingat teknologi tinggi serta biaya mahal yang dibutuhkannya. Maka buku ini diharapkan akan merangsang tenaga-tenaga muda untuk berlomba mengejar keterbelakangan kita dalam bidang imunologi". Bab pertama buku ini " Imunologi dan Penyakit", membahas dasar-dasar imunologi. Bab berikutnya " Imunoglobulin danGamopati Monoklonal". Berikutnya " Beberapa Jenis Protein sebagai Tanda Keganasan" membahas AFP, CEA, TAG dsb, yang berguna untuk mengenal keganasan pada tahap awal. Bab-bab lainnya adalah "Makna Pemeriksaan Autoantibodi (ANA)", "Pedoman Pemeriksaan Imunologik Selular dan Maknanya dalam Klinik" , "Kegunaan Pemeriksaan HLA dan Klinik", " Pengunaan Obat Anti-alergi secara Rasional", " Mekanisme Kerja Imunosupresif", dan akhirnya " Penggunaan Sitostatika sebagai obat Imunosupresif dalam Klinik". Bagi dokter yang tidak ingin tertinggal jauh ilmu pengetahuannya, buku ini akan bermanfaat, karena imunologik menjangkau hampir semua bidang-bidang lain dalam ilmu kedokteran. E.N.
Cermin Dunia Kedokteran No. 26, 1982 47

KODE ETIK PENELITIAN KEDOKTERAN

Penyusun : Prof Dr Sri Oemijati, Dr Iskandar Wahidiyat, Dr Arfatmo Tjokronegoro, dr Arif Budianto, dr Tarmizi, dr Sulistia Gunawan, dr R Suprapti Samil, dr Widodo Talogo MPH, dr MK Tadjudin. Jakarta, Fakultas Kedokteran UI, 1982. 17 halaman. Inti kode etik ini diambil dari Deklarasi Helsinki tahun 1964; saduran beserta penjelasan-penjelasannya, ditambah dengan sedikit bab mengenai etik penulisan hasil penelitian, serta contoh surat persetujuan. Itu saja. Patut disayangkan bahwa para penyusun lupa bahwa deldarasi Helsinki 1964 telah direvisi pada tahun 1975 oleh Sidang Kedokteran Dunia (World Medical Assembly) ke 29 di Tokyo. Maka beberapa masalah aktual luput dari pembahasan. Revisi yang dilakukan di Tokyo itu antara lain mencakup : penggantian istilah "penelitian klinik" dengan "penelitian biomedik". Prinsip dasar diperluas dengan ayat mengenai perlunya protokol eksperimen dan komite etik yang independen, "The design and performance of each experimental

Catatan singkat
Wanita -wanita muda (20 35 tahun) dianjurkan untuk makan pagi ! Penyelidikan menunjukkan bahwa selang waktu antara makan malam & makan berikutnya merupakan faktor penting dalam pembentukan batu empedu. Makin lama selang waktu itu, makin besar kemungkinan terbentuk batu empedu. Tapi ini tidak berlaku untuk kelompok usia yang lebih tua.
Brit Med J 1981; 283 : 1435

Anak yang ditinggal dalam mobil tertutup yang tertimpa sinar matahari dapat terkena heat stroke. Percobaan di Brisbane membuktikan bahwa suhu dalam mobil tertutup yang diparkir dapat mencapai 36 67 dalam 15 menit. Cukup tinggi untuk berfungsi sebagai oven manusia!
Pediatrics 1981; 68:57982

Tumor ganas biasanya didahului dengan metaplasia skuamosa. Maka zat yang dapat mengobati metaplasia diperkirakan dapat mencegah kanker. Pada 70 sukarelawan yang perokok berat diselidiki tingkat metaplasia bronkhusnya dan pengaruh obat etretinate terhadap kelainan itu. Dengan pengobatan selama 6 bulan tingkat metaplasia jauh menurun. Rasional pengobatan ini ialah : defisiensi vitamin A dapat menginduksi metaplasia pada mukosa bronkhus. Etretinate adalah suatu retinoid, turunan vitamin A. (Senjata bagi perusahaan-perusahaan farmasi Indonesia untuk mengiklankan vitamin A nya sebagai "pencegah kanker paru ,, . Belum ada undang-undang yang melarangnya bukan?).
Lancet 1982;1: 7102

Unit Psikiatri Rumah Sakit Galway, Irlandia, punya kebijakan (policy) unik sejak tahun 1976. Mereka tidak pernah memberikan obat tidur/hipnotik bagi pasien insomnia atau kelainan psikiatrik lain. Dikatakan hasilnya memuaskan.
Brit Med J 1981; 283:1266

Dari Papua New Guinea dilaporkan 10 kasus nelayan yang cedera hebat atau mati akibat tusukan ikan. Ikan itu sejenis ikan layur/julung julung (Bhs Inggris : garfish, needle fish dsb.), dari ordo Beloniformes. Tubuhnya panjang, mulutnya panjang & runcing dengan gigi kecil-kecil. Ketika nelayan itu mencari ikan dimalam hari, ikan tsb tertarik akan lampu di sampan. ikan melompat dan menusuk tubuh si nelayan.
Brit Med J 1982; 284 : 7779

Di Amerika riset mengenai hubungan antara manusia dan hewan mulai berkembang pesat sejak diketahui bahwa orang yang memelihara hewan hidup lebih lama daripada yang tidak memelihara. Hewan yang "berjasa" itu tidak terbatas pada anjing dan kucing saja, tapi juga ikan, bahkan biawak ! (Tentunya ayam jago, perkutut termasuk juga)
Science 1981; 214 : 41820

Biasanya batu kandung kencing terdiri dari asam urat, kalsium oksalat, atau kalsium fosfat. Namun ternyata batu "biasa" pun (batu silika) dapat juga ditemukan!! Pasien, 80 tahun, selama 40 tahun setiap hari memakan satu sendok teh magnesium trisilikat. Dari kandung kencingnya dikeluarkan 3 batu silika. Jadi, silika adalah metabolit yang normal, diserap dari usus, ada di darah,dan diekskresikan lewat traktus urinarius. Orang normal mengekskresikan sekitar 10 mg silika dalam urinnya setiap hari, tergantung dari kadar zat ini dalam dietnya (sayur-mayur dan sea-food tinggi kadar silikanya).
Lancet 1982 : 1 : 7045

Benarkah sariawan (stomatitis aphtosa) dicetuskan oleh trauma (tergigit) ? Bagi penderita sariawan yang rekuren , itu benar! Bagi orang sehat, tidak benar! Luka-luka pada orang sehat sembuh tanpa membentuk sariawan; demikian hasil penelitian yang menggunakan tenakulum, jarum dan jahitan untuk membentuk luka itu.
Brit Med J 1981 ; 283 : 1569-70

40% kematian bayi di Jakarta adalah akibat tetanus neonatorum,demikian hasil survei bulan Maret 1982 yll. Jadi setiap tahun 1500 1800 bayi mati akibat penyakit yang dapat dicegah ini. Sangat disayangkan bahwa vaksinasi tetanus toksoid kurang diperhatikan, mengingat 81% ibu-ibu bayi tadi telah pernah menghubungi tenaga kesehatan (puskesmas, bidan, rumahsakit).
Umpan Balik EPID. No. 19/II/1982

48

Cermin Dunia Kedokteran No. 26, 1982

KEGAGALAN Seorang ibu berkunjung ke Puskesmas dengan maksud ingin berkonsultasi soal KB yang telah dijalankannya, tetapi gagal. Setelah berada didalam kamar dokter, Dokter : Kalau nggak salah, ibu pernah ikut KB beberapa bulan yang lalu. Betul dok! Ibu ikut KB pakai cara apa? Kondom. Apakah ibu sudah tahu cara memakainya. Sudah dok! sesuai petunjuk dokter tempo hari. Tetapi suami saya bilang kondomnya kepanjangan lalu ujungnya digunting. Baaaaaaaaahhhhh!!!!!.
dr. T. Martono.

JANGAN DISUNTIK !! Sore itu tiba giliran seorang pasien masuk kamar periksa. Tampangnya sedikit rapih dan belum dipersilahkan duduk sudah bicara, " Pak, saya sakit kebus dingin (panas dingin), kepala sakit dan saya menderita malaria." Selanjutnya ternyata penderita seorang kondektur. Setelah diperiksa secukupnya, tiba saatnya untuk injeksi. Tiba-tiba pasien berkata : "Pak, saya jangan disuntik PP" "Apakah bapak tidak tahan penisilin?" saya balik bertanya. Pasien agak bingung, lalu berkata : " Anu, pak, biaya saya terbatas." Barulah saya mengerti maksud pasien yang kondektur itu. Suntik PP = suntik pulang pergi alias dua kali .......... ?!!
dr. Made Tirtha Vasa

Ibu (+) () (+) ()

: : : : :

Puskesmas Culik Karangasem, Bali.

PEMERIKSAAN FUNGSI TELINGA Dokter THT (+) : "Saya akan mengucapkan suatu kata, coba nanti anda tirukan." Pasien THT () : "Baik dok !" (+) : "Kambing !" (-) : "Kambing !" (+) : "Monyet !" (-) : "Monyet !" (+) : "Beo !" (-) : "Sompret !" (+) : "Apa ? Enggak kedengaran,............................. Agak keras dong kalau bicara." (-) : ??? Kesimpulan : dokternya yang tuli. BS PERAYAAN Pada suatu pagi datang seorang pasien yang mengeluh sakit perut. Setelah diperiksa, dokter memberikan resep sambil berpesan : "Beberapa hari ini makan bubur dulu, pak". "Tapi bagaimana ya dokter, besok 17 Agustus" pasien tersebut spontan menjawab "Kenapa kalau 17 Agustus ?" "Saya harus makan beling dan gabah, habisnya saya harus main kuda lumping' jawabnya menghiba. SRI
Cermin Dunia Kedokteran No. 26, 1982 49

(+)

Medan.

SIMPOSIUM PENYAKIT KETURUNAN A : Asthma bronchiale terbukti penyakit keturunan. 100% dari 100.000 penderita menyatakan bahwa kakek/neneknya, orang tuanya dan anak-anaknya pernah mengalami gejala dyspnea seperti itu. : ! ! ! ! ! meyakinkan : Pengalaman saya juga demikian dengan flu. Seratus persen dari 1 juta penderita yang saya anamnesa mengatakan bahwa kakek-neneknya, orang tuanya, saudara-saudananya dan anak-anaknya pernah mengalami gejala seperti itu. Jadi saya berkesimpulan flu adalah penyakit keturunan. : = sinting + pinter = puyeng.

Hadirin B

Hadirin C

: Juga sama dengan pengalaman saya, 100% dari 2 juta tukang kayu dalam survey saya menyatakan bahwa kakek, ayah dan anaknya yang juga tukang kayu pernah tangannya kepukul palu sewaktu memasang paku. Kesimpulan saya, kepukul palu juga penyakit keturunan. : Bagaimana protokol membuktikan penyakit keturunan ? = tenang + bingung = tepuk tangan = bubar. BS

Hadirin

Moderator : Hadirin :

MASYARAKAT AWAM & PENYAKIT Pengenalan masyarakat awam terhadap berbagai jenis keahlian /spesialisasi di bidang kedokteran kadang-kadang amat terbatas. Psikiater misalnya sering disebut ahli saraf. gangguan jiwapun lebih dikenal orang dengan istilah " sakit sarap " . Dua percakapan di bawah ini merupakan contoh nyata. 1. Seorang wanita hamil masuk ke poliklinik penyakit kulit dan kelamin. Dokter : Selamat pagi, silahkan duduk. Sakit apa Bu ? Pasien : Ini dok. katanya sambil menunjuk perutnya. : Perutnya kenapa ? (+) : Ya mau kontrol ini dok; si pasien berkata lagi :sambil terus menunjuk pe(- ) rutnya. (+) : Perutnya kan tidak apa-apa. Itu kan hamil. (-) : Ya, memang hamil. (+) : Lho, kalu hamil berobat ke poliklinik kebidanan, jangan kesini. Di sini poliklinik penyakit kulit dan kelamin. (-) : La iya, perut saya jadi begini ini kan karena "itu" ! (+) : ??????? 2. Seorang wanita datang berobat ke poliklinik penyakit dalam sebuah Rumah Sakit Umum. Dokter : Sakit apa Bu ? Pasien : Keputihan dok. Keluar cairan putih dan gatal. (+) : Lho, kalau keputihan harusnya berobat ke poliklinik kebidanan dan penyakit kandungan.Bukan kesini; disini poliklinik penyakit dalam. () : Tapi kan keputihan ini datangnya dari "dalam ", harus ke poliklinik penyakit dalam dong ! (+) : ??????? dr. Tjandra Yoga Aditama
Puskesmas Kec. Bukit Kapur Riau

50

Cermin Dunia Kedokteran No. 26, 1982

RUANG PENYEGAR DAN

PENAMBAH ILMU KEDOKTERAN


Dapatkah saudara menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini ???

1. Pada keganasan, nyeri biasanya terhebat dan tersering apabila keganasan terjadi di : (a) Usus kecil (b) Tulang (c) Payu dara (d) Pankreas (e) Paru-paru 2. Prostaglandin adalah suatu zat yang memperberat nyeri. Kanker tulang misalnya selalu disertai peningkatan prostaglandin. Cara kerja zat ini ialah: (a) Menurunkan ambang rangsang (b) Merusak membran set. (c) Mempercepat pemasukan ion K ke dalam sel (d) Merusak saraf (e) Bukan salah satu dari jawaban di atas. 3. Obat yang menghilangkan rasa nyeri selalu kita sebut analgetika. (a) Benar (b) Salah 4. Pernyataan yang benar tentang nyeri, ialah: (a) Nyeri selalu proporsional dengan intensitas stimulus/ trauma. (b) Plasebo tidak dapat digunakan untuk menghilangkan rasa nyeri. (c) Orang dari kalangan sosial ekonomik tinggi biasanya lebih kuat menahan rasa nyeri daripada yang dari sosial ekonomik rendah: " (d) Pasien yang mengalami nyeri "psikogen (imajiner) sesungguhnya menderita nyeri yang tidak berbeda dengan nyeri "asli". (e) Semua jawaban di atas benar. 5. Belakangan ini diduga kuat bahwa analgesia akupunktur dimediasikan lewat endorphin. Hal yang menyokong pendapat itu ialah: (pilihlah jawaban yang paling tepat). (a) Analgesia akupunktur memerlukan waktu untuk menanggulangi nyeri. (b) Penjaruman titik akupunktur di suatu tempat dapat menanggulangi nyeri di tempat lain. (c) Pemindahan darah dari ketinci yang diakupunktur dapat menanggulangi nyeri pada kelinci lain yang menerima darah tersebut. (d) Analgesia akibat akupunktur dapat dihambat oleh naloxon, antagonis opiat. (e) Semua jawaban di atas benar.

6. Nyeri dada dapat disebabkan oleh kelainan pleura. Pernyataan yang benar ialah: (a) Pleura parietalis tidak punya reseptor nyeri (b) Nyeri bersifat viseral, bukan somatik. (c) Biasanya dirasakan bilateral. (d) Nyeri pleuritik dapat disebahkan oleh infark paru yang kecil atau pneumotoraks spontan. (e) Bukan salah satu dari jawaban di atas. 7. Mengenai nyeri dada, pilihlah pernyataan yang tidak benar, (a) Pneumonia biasanya tidak disertai nyeri bila pleura tak ikut meradang. (b) Kadang-kala tumor paiu yang besar pun tidak disertai rasa nyeri. (c) Pneumotoraks menyebabkan rasa nyeri yang lama (berhari -hari) walaupun kelainan tidak besar. (d) Penderita nyeri dada yang mengalami serangan nyeri dada pertama kali harus lebih diperhatikan daripada yang telah berobat berulang kali. (e) Nyeri pada emboli paru besar biasanya sebentar, sedang pada emboli kecil nyeri lebih lama. 8. Mengenai penanggulangan nyeri dengan blok anestesi: (a) Nyeri akan segera timbul bila daya kerja obat anestesi secara farmakologik telah hilang. (b) Nyeri sering diperhebat oleh spasme otot skelet dan vasospasme. (c) Untuk diagnostik atau menilai prognosis, dipakai blok saraf dengan fenol atau alkohol. (d) Pemblokan terutama ditujukan pada serabut somatomotor, bukan serabut simpatetik. (e) Semua jawaban di atas benar. 9. Pada penyakit paru obstruktif menahun, harus dibedakan jenis bronkitis dari jenis emfisema (pink puffer). Pada jenis emfisema ini biasanya penderitanya: (a) Berbadan kurus (b) Berwajah pucat/biru/sianotik (c) Suara nafas kasar (d) Umumnya disertai ronchi basah/kering. (e) Semua jawaban di atas benar.

Cermin Dunia Kedokteran No. 26, 1982

51

ABSTRKJAHE LEBIH BERMANFAAT DARIPADA DIMENHIDRINAT UNTUK MABUK

Jahe (Zingiber officinale) dalam bentuk serbuk ternyata lebih bermanfaat daripada dimenhidrinat untuk mengatasi mabuk (motion sickness). Percobaan dilakukan pada 36 orang, pria dan wanita. Untuk menginduksi mabuk, digunakan kursi putar. Subyek diberi 100 mg dimenhidrinat, 940 mg jahe (dalam 2 kapsul), atau 2 kapsul plasebo sebagai kontrol. Ternyata jahe lebih baik daripada dimenhidrinat dalam mencegah gejala-gejala gastrointestinal. Tidak dijelaskan apakah jahe juga lebih baik dalam mengatasi gejala-gejala lain dari mabuk. Diperkirakan jahe tidak bekerja pada tingkat susunan saraf pusat, tapi pada traktus gastrointestinal itu sendiri karena sifat aromatik dan karminatifnya. Mungkin ia meningkatkan motilitas lambung dan mengabsorbsi toksin dan asam-asam, sehingga secara efektif menghambat reaksi gastrointestinal dan rasa mual.
Lancet 1982; 1 : 655 7

HASIL PENELITIAN FASE I , INTERFERON Empat dari delapan penderita dengan kanker stadium lanjut yang mengambil bagian pada penelitian fase I dari recombinant leucocyte A interferon menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan. Nampak regresi dari tumor, demikian laporan dari Homing dkk. dari Stanford University School of Medicine. Beliau mengatakan bahwa interferon yang dibuat secara " genetically enginereed " telah diberikan pada delapan penderita dengan dosis 3 x 10 6 unit sampai 198 x 10 6 unit secara intramuskular dengan dosis kumulatif sampai dengan 744 x 10 6 unit. Efek tosik yang terlihat adalah pirexia, lelah, mialgia dan sakit kepala. Tidak nampak adanya efek kumulatif terhadap hitung eritrosit, granulosit, platelets, maupun retikulosit. Walaupun eritrosit dan platelets agak menurun sesudah setiap kali pemberian interferon, akan tetapi semua ini masih merupakan penelitian fase I. Para peneliti dari Stanford ini mengatakan bahwa "objective tumor regression" nampak pada 4 penderita yang menderita chronic myelogenous leucemia, carcinoma mammae, nodular lymphoma dan diffuse lymphoma. Pada penderita dengan carcinoma mammae nampak resolusi yang komplit dari metastase kulit, akan tetapi pada penderita dengan nodular lymphoma nampak regresi dari servical adenopathy. Dikatakan oleh peneliti dari Stanford ini bahwa penelitian lebih lanjut mutlak dibutuhkan untuk mendapatkan maximal tolerated dose, memperluas aktiviias anti tumor serta yang penting juga adalah efek imunologiknya. LTL
JAMA, 1982; 247: 1718

GOSSYPOL JUGA MEMPUNYAI EFEK ANTIVIRUS ? Gossypol yang diperoleh dari biji kapas yang dewasa ini sedang giat diteliti di beberapa negara sebagai obat anti-fertilitas pada pria ternyata juga mempunyai khasiat anti-virus. Wichmann dkk. melaporkan bahwa 100 Mgossypol dapat mencegah secara komplit 104 PFU herpes simplex virus type II pada kuman amniotic epithelial cells. Pada konsentrasi di atas 3 M, gossypol telah mempunyai efek anti-virus dan virus induced cytopathic effect dapat ditekan. LTL
Am J Obst Gynecol 1982; 142: 593
52 Cermin Dunia Kedokteran No. 26, 1982

Anda mungkin juga menyukai