Anda di halaman 1dari 28

PEMERIKSAAN TPHA

TEST

SIFILIS

Pemeriksaan TPHA (treponema palidum hemaglutinasi assay) Sampel: serum, plasma , lcs. Reagen: TPHA diluent (tutup warna putih tabung kuning) Test cell (tutup warna merah, sel darah merah domba yang telah ditempeli ekstrak treponema pallidum yang berfiungsi sebagai antigen Control cell ( tutup warna putih , tabung warna hijau),tidak akan terjadi hemaglutinasi , karena tidak tejadi reaksi dengan Ab. Control positif (tutup warna merah kecil0 Control negatif( tutup warna biru kecil) Pada saat inkubasi disuhu ruang hendaknya dihindari adanya getaran agar hemaglutinasinya tidak lepas.

Alat; Pipet Mikroplate Reading Solasi miror / kaca 90, 10, 25 ul v pembaca

Cara

kerja:

1. Masukkan 90 ul TPHA diluent + 10 ul kontrol positif pada sumur pertama 2. Masukkan 25 ul TPHA diluent pada sumur ke2, 3, 4, 5 disamping sumur pertama 3. Homogenkan sumur pertama dengan pipet mikro 25 ul,

Ambil dari sumur pertama, 25 ul masukkan ke sumur 2, campur/ homogenkan, ambil 25 ul buang. Ambil dari sumur pertama 25 ul masukkan ke sumur 3,homogenkan, ambil 25 ul masukkan ke sumur ke 4, homogenkan, ambil 25 ul masukan kesumur ke 5, ambil 25 ul masukkan kesumur 6. 4. 5. 6. 7. 8. Hasil: + : : pelebaran titik hemaglutinasi merah di dasar mengumpul sumur plate ditengah Tambahkan Tambahkan 75 75 ul ul tets control cell test pada pada sumur sumur ke sedikit tidak selama terkena 45-60 3, ke 4, 2 5.

Homogenkan Tutup Inkubasi dengan dalam

keseluruhan solasi suhu agar ruang

dengan

getaran debu menit

sumur Diluent TPHA sample

1 90 ul 10 ul

2 25 ul 25 ul 25/50x1/10 =1/20 75ul -

3 25 ul 25 ul 25/50x1/10 1/20 75ul

4 25 ul 25 ul = 25/50x1/20 =1/40 75ul 1/20 25/100x =1/160

5 25 ul 25 ul 25/50x1/40 =1/80 75ul 1/40 25/100x =1/360 1/80

6 25 ul

pengenceran 10/100=1/10 Control test Test cell titer -

25/100x 1/20 = 25/100x 180 =1/80

Control

test

harus

selalu

negatif.

Sumur Sumur

ketiga ke

bila 3

positif +,

dan 4

5 -,

negatif 5

tetirnya +:

1/80

kesalahan

Sumur ke 3 -, 4 +, 5 + :kesalahan

Test Aglutinasi T.P.A. (Treponema Pallidum Aglutination) T.P.H.A. (Treponema Pallidum Haemaglutination Assay) TPHA (Syphilis TPHA Liquid) Tes Hemaaglutinasi Untuk menentukan Antibodi terhadap Treponema pallidum secara kualitatif dan kuantitatif. Metode : Tes STL menggunakan metode Hemaaglutinasi tidak langsung (indirek hemaaglutinasi) untuk mendeteksi antibodi spesifik terhadap T.pallidum. Erittrosit unggas dilapisi dengan antigen T.pallidum. Adanya antibodi Sipilis yang mensentisasi sel akan mengahsilkan agglutinasi dengan pola khas didalam mikroplate. Antibodi untuk Treponema nonpatogenik diabssorbsi oleh ekstrak Reiter Treponema yang ada didalam suspensi sel.

Isi Kit : STC 2x4 ml Test Cell (tutup putih) siap pakai, (sel unggas) SCC 2x5 ml Control Cell (tutup biru) siap pakai, (sel unggas) PC 0,5 ml Control Serum Positif (tutup merah), reaktif dengan Test Cells (serum Manusia) NC 0,5 ml control Serum Negatif (tutup hijau) tidak reaktif denagn Test Cells dan control Cells (serum bovine). DIL 20 ml Diluent (serum Kelinci).

Alat Yang Digunakan : - Mikropipet atau Mikrodiluter (25 ul, 75 ul, 100 ul) - Mikroplate U

Spesimen/Sampel : Serum (jangan Plasma) hindarkan dari kontaminasi dan hemolisis, serum segar bisa disimpan maksimal 24 jam, suhu 2-80C atau 4 minggu pada suhu 20oC.

Prosedur Tes Kualitatif

Dipipet Diluent sebanyak 100 ul kedalam W1, dan 25 ul masing-masing untuk W2 dan W3.

Tambahkan 25 ul serum sampel atau PC, NC kedalam W1, campur dan pindahkan 25 ul ke w2 (control Well). Campur dan pindahkan 25 ul ke Well lain

Tambahkan 75 ul suspensi SCC ke W2 dan 75 ul suspensi STC ke W3 Goyangkan plate untuk memastikan bahwa isinya telah tercampur dengan baik.

Letakkan plate diatas permukaan warna putih, jauhkan dari getaran dan sinar matahari langsung. Biarkan selama 45-60 menit, baca hasil.

Tes Kuantitatif.

Isi masing-masing 25 ul DIL kedalam W4 sampai W10, sejajar dengan Well pada tes kualitatif.

Tambahkan 25 ul campuran dari W3 (Well lain) ke W4, campur dan pindahkan 25 ul ke W5 dan seterusnya sampai pada W10 dituang sebanyak 25 ul.

Tambahkan masing-masing Well STC sebanyak 75 ul. Lanjutkan seperti pada tes Kualitatif.

Interpretasi Hasil : Negatif : Suspensi sel mengumpul ditengah Well Positif : Aglutinasi menyebar didasar Well Catatan : W2 harus selalu bereaksi Negatif, Jika pada W2 positif maka tes dinyatakan tidak sah (invalid). Langakah selanjutnya serum sampel harus diabsorbsi dengan cara : 25 ul sampel dicampur dengan 0,5 ml SCC dan inkubasi selama 30 menit. Sentrifus selama 5 menit dan pipet 25 ul supernatan kedalam 75 ul STC pada well. Lanjutkan dan baca seperti tes kualitatif.

Test Immobilisasi T.P.I (Treponema Pallidum Immobilisation) Sebuah tes untuk sifilis di mana terdapat antibodi selain antibodi Wassermann dalam serum pasien sifilis, dengan adanya komplemen, serum pasien menyebabkan imobilisasi Treponema pallidum yang diperoleh dari testis kelinci terinfeksi sifilis. Juga disebut TPI tes.

Test Immuno Fluoresence F.T.A. (Fluoresence Treponemal Antibody F.T.A. Abs (Fluoresence Treponemal Antibody Absorption test) Sebuah tes skrining serum darah untuk sifilis untuk menunjukkan ada atau tidak adanya antibodi spesifik ditujukan terhadap organisme (Treponema pallidum) yang merupakan penyebab sifilis Hasil tes FTA-ABS negatif pada orang yang tidak memiliki sifilis. juga bisa seseorang memiliki hasil FTA-ABS negatif pada fase awal penyakit (primer) dan akhir penyakit (tersier). Pada

tahap pertengahan penyakit (sekunder), tes FTA-ABS yang paling dapat diandalkan dan dilaporkan positif dalam 100% kasus. Uji FTA-ABS sering digunakan sebagai tes konfirmasi setelah skrining pertama pasien dengan VDRL (Venereal Disease Research Laboratory) atau RPR (rapid plasma reagin) , karena tes FTA-ABS lebih mahal dan lama daripada " non-treponemal "tes sifilis seperti VDRL dan RPR.

TEST VDRL PEMERIKSAAN VDRL

I.

Tujuan Pemeriksaan Untuk mendeteksi adanya antibody non-treponema (Reagin)

II.

Prinsip pemeriksaan Pada penderita sifilis akan terbentuk antibody yang terjadi sebagai reaksi terhadap bahan-bahan yang dilepaskan karena kerusakan sel-sel antibody tersebut disebut regain Regain dalam serum penderita akan berflokulasi bila ditambahkan kardiolipin yaitu antigen yang berasal dari ekstraksi hati sapi.

III. Alat: -

Alat dan Bahan Pemeriksaan

Objek glass Mikropipet 10 l, 20 l, 40 l Pipet ukur 10 ml Mikroskop Penangas air Bahan:

IV. V.

Serum darah dan cairan otak Antigen VDRL Larutan garam buffer Larutan garam fisiologis (0,9%) Metode Slide Prosedur pemeriksaan VDRL pada serum Persiapan sampel

Serum yang jernih dipanaskan dulu dalam penangas air pada suhu 56 C selama 30 menit, jangan memakai serum yang keruh atau hemolisis.

Pemanasan serum perlu diulang pada 56 C selama 10 menit bila pemeriksaan dilakukan lebih dari 4 jam setelah pemanasan yang pertama.

Pemeriksaan dilakukan bila suhu serum sudah sama dengan suhu kamar (23-29 C). Reagen

Antigen harus tidak berwarna merupakan larutan dalam alcohol yang mengandung 0,03% kardiolipin, 0,9% kolesterol dan leucithin murni (0,21%). Antigen harus disimpan dalam ruangan gelap pada suhu 6-8 C. bilamana terjadi presipitat, maka larutan antigen tersebut tidak dapat dipergunakan lagi dan harus dibuang. Suspense antigen baru harus dibandingkan terlebih dahulu terhadap larutan antigen yang reaktivitasnya sudah diketahui sebelum dipergunakan dalam pemeriksaan rutin.

Larutan garam buffer VDRL dengan pH 6,0+0,1 terdapat komersial atau dapat dibuat dengan komposisi sebagai berikut: Formaldehyde netral : 0,5 ml Na2HPO4 KH2PH2PO4 NaCl Aquadest ad : 0,037 gr : 0,170 gr : 10.0 gr : 1000 ml

Larutan garam fisiologis (0,9 % NaCl) Persiapan Suspensi Antigen

Terlebih dahulu simpan botol antigen dan larutan garam buffer VDRL pada suhu kamar selama 15 menit.

Pipet 400 l larutan garam buffer, masukkan kedalam botol reagen ukuran 30 ml. kemudian ditambahkan 500 l antigen tetes demi tetes langsung diatas larutan garam buffer sambil menggerakkan botol tersebut dengan gerakan memutar pada bidang yang rata.

Lanjutkan gerakan memutar botol selama 10 detik. Tambahkan 4100 l larutan garam buffer. Kocok 30 kali dalam 10 detik. Suspense antigen siap untuk dipakai dan hanya tahan selama 1 hari.

Prosedur pemeriksaan kualitatif Simpan semua alat pemeriksaan, serum dan suspense antigen pada suhu kamar (23C 29C).pemeriksaan yang dilakukan di bawah suhu kamar memberikan reaktivitas yang lebih rendah, sebaliknya bila di atas suhu kamar reaktivitasnya meningkat. Pipet 50 l serum yang sudah dipanaskan ke atas permukaan slide Pipet 50 l suspense antigen dan teteskan diatas setiap tetes serum dengan posisi vertical. Slide disimpan di atas rotator dan rotator dihidupkan selama 4 menit. Bila pemeriksaan dilakukan pada udara yang kering dan panas. Sebaiknya slide disimpan di dalam kotak yang berisi tissue/kapas basah untuk menghindari adanya penguapan yang berlebihan. Pembacaan dilakukan segera setelah rotator berhenti dengan menggunakan mikroskop pembessaran 100x.

Pembacaan Hasil Laporan hasil cukup dengan menyebutkan non-reaktif, reaktif lemah atau reaktif REAKTIF : Bila tampak gumpalan sedang atau besar

REAKTIF LEMAH : Bila tampak gumpalan kecil-kecil NON REAKTIF : Bila tidak tampak flokulasi/gumpalan.

Prosedur pemeriksaan kuantitatif Letakkan serum sampel pada baris terdepan rak dan baris kedua berisi tabung dengan 700 l larutan garam fisiologis Buat pengenceran 1:8 dengan menambahkan 100 mikro serum ke dalam 0,7 ml larutan garam fisiologis. Campur hingga homogen.

Letakkan 40 mikro. 20 mikro dan 10 mikro serum yang sudah diencerkan pada lingkaran ke 4. 5 dan 6 dari slide keramik.

Buang sisa serum yang sudah diencerkan tadi kedalam tabung pengenceran. Dengan menggunakan pipet yang sama, letakkan 40 mikro, 20 mikro dan 10 mikro serum yang tidak diencerkan pada lingkaran pertama, kedua dan ketiga.

Tambahkan 20 mikro larutan garam fisiologis pada lingkaran ke 2 dan 5. Tambahkan 30 mikro larutan garam fisiologis pada lingkaran ke 3 dan 6 Slide digoyang perlahan-lahan dengan menggunakan kedua belah tangan selama kurang lebih 15 detik untuk memperoleh campuran yang homogen.

Tambahkan 10 mikro suspense antigen pada tiap lingkaran. Tahap selanjutnya dilakukan seperti pemeriksaan VDRL kualitatif. Hasil dilaporkan dengan menyebutkan pengenceran serum tertinggi yang masih memberikan hasil reaktif.

CONTOH: Pengenceran serum 1:1 Laporan hasil Reaktif (+) Hasil Reaktif pengenceran 1:2 1:4 1:8 Reaktif Reaktif Reaktif 1:8 Atau Reaktif pengenceran 1:16 1:32 Non reaktif Non reaktif 8 kali pada pada

VI.

PEMERIKSAAN VDRL PADA CAIRAN OTAK Persiapan sampel

Cairan otak disentrfifus dengan kecepatan 300-500 g selama 10 menit kemudian dituangkan kedalam tabung yang bersih. Cairan tersebut siap untuk diperiksa dan tidak perlu pemanasan terlebih dahulu. Cairan otak yang jelas terkontaminasi atau banyak mengandung eritrosit memberikan hasil yang tidak memuaskan.

Persiapan Reagen Antigen, larutan buffer VDRL dan larutan garam fisiologis seperti yag disebutkan pada pemeriksaan VDRL serum. Larutan NaCl 10%

Persiapan suspense antigen Buat suspense antigen VDRL seperti yang dilakukan pada pemeriksaan serum Tambahkan 1 bagian dari 10% larutan NaCl pada 1 bagian suspense antigen VDRL. Campur hingga homogen dengan gerakan memutar dan diamkan selama 5 menit. Suspense ini harus segar dan tidak boleh dipakai lebih dari 2 jam sejak penambahan larutan NaCl.

Prosedur Pemeriksaan Kualitatif Pipet 50 mikron cairan otak ke dalam bagian cekung dari slide Tambahkan 10 mikro suspense antigenpada tiap sampel cairan otak dengan menggunakan pipet mikro. Slide disimpan di atas rotator dan putar selama 8 menit. Pembacaan dan pelaporan hasil seperti pada pemeriksaan serum kualitatif.

Prosedur pemeriksaan kuantitatif Pemeriksaan VDRL kuantitatif pada cairan otak dilakukan bila pada pemeriksaan VDRL kualitatif menunjukkan hasil reaktif Lakukan pengenceran cairan otak sebagai berikut: -pipet 200 mikro larutan garam fisiologis (0,9%) ke dalam 5 buah tabung atau lebih -tambahkan 200 mikro cairan otak ke dalam tabung yang pertama. Campur hingga homogeny dan pindahkan 200 mikro ke dalam tabung nomor 2.

-campur hingga homogeny. Kemudian pindahkan 200 mikro cairan dari tabung nomor 2 ke dalam tabung no 3 dan seterusnya, pada tabung terakhir campuran dibuang sebanyak 200 mikro. Sehingga diperoleh pengenceran 1:2. 1:4. 1:8. 1:16 dan seterusnya. tabung selanjutnya dilakukan seperti pemeriksaan VDRL cairan otak kualitatif tahap 1

sampai dengan 3 Pembacaan dan pelaporan hasil dilakukan seperti pemeriksaan serum kuantitatif.

Status Dermatologikus Regio scalp Tampak skuama sedang, selapis, dan berwarna putih Regio fasialis, regio aurikularis dekstra et sinistra,

r e g i o n u c h a , r e g i o suprascapularis, dan regio sternalis. Papul : multipel, miliar, diskret sebagian konfluen, ditutupi skuama halus selapis berwarna putih.Regio fasialis dextraRegio fasialis sinistraRegio fasialisRegio sternalisRegio

aurikularisRegio nucha, regiosuprascapularis

Pemeriksaan Manual Kulit 1. Tes Goresan Lilin.Cara : Gores lesi dengan ujung objek glass, maka akan tampak skuama transparanseperti mika dan pada lesi tampak seperti goresan lilin.Hasil : Tidak ditemukan adanya fenomena goresan lilin pada lesi.2 . T e s A u s p i t z . Cara : Lapisan kulit

d i k e l u p a s s e d i k i t d e m i s e d i k i t d e n g a n m e n g g u n a k a n pinset/pisau non skapel.Hasil : Tidak ditemukan pin point bleeding, atau papilomatosis (-)3 . T e s S k u a m a B e r m i n y a k . Cara : Ambil skuama kemudian digesek -gesekan pada kertas m i n ya k , m a k a tampak minyak yang terlihat di kertas minyak.Hasil : skuama berminyak. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan kerokan kulit pada regio aurikularis sinistra dan regio b u k a l i s sinistra dengan KOH 10 % yang berupa skuama dan papul, kemudian dilihat dibawahmikroskop. Hasilnya tidak ditemukan adanya elemen jamur (hifa, pseudohifa, spora). I I I . R i n g k a s a n D a t a

Tn. D, 45 tahun, seorang buruh karet, beralamat di kota Belitang datang berobatdengan keluhan utama bintil-bintil merah dan gatal sebesar jarum pentul pada pipi kanandan kiri yang gatal kisaran 2 bulan yang lalu , kemudian menyebar ke leher belakang dandada kisaran seminggu terakhir.Pasien mengaku berobat ke dokter dan diberi tablet 3 macam, dan salep berwarna p u t i h . S e t e l a h b e r o b a t , g a t a l b e r k u r a n g , n a m u n p a p u l p a p u l e r i t e m a t e t a p a d a d a n semakin banyak.D a r i p e m e r i k s a a n d e r m a t o l o g i k u s , p a d a r e g i o s c a l p , t a m p a k s k u a m a s e d a n g selapis yang berwarna putih. Pada regio fasialis, regio aurikularis dekstra et sinistra, regionucha, regio suprascapularis, dan regio sternalis, ditemukan adanya papul-papul multipel,milier yang dilapisi skuama halus sampai sedang.

Kerokan kulit pada regio bukalis sinistra dan regio aurikularis sinistra dengan KOH 10% tidak ditemukan adanya elemen jamur(hifa, pseudohifa, spora). I V . D i a g n o s i s B a n d i n g

Dermatitis Seboroik Tinea fasialis et corporisPsoriasis scalp V. Diagnosis Kerja

Dermatitis Seboroik V I . P e n a t a l a k s a n a a n Umum Memberikan informasi kepada pasien mengenai penyakitnya.- M e n j e l a s k a n k e p a d a pasien untuk meningkatkan kebersihan tubuh. Mengajari pasien cara pengobatan yang akan diberikan.KhususTopikal : Sampo Ketokonazole (scalp dikeramasi 2x seminggu selama 10 menit barukemudian dibilas, selama 4 minggu)Sistemik : Antihistamin untuk meredakan gatal (Cetirizine 1x10 mg/ hari per oral). V I I . P r o g n o s i s Q u o a d v i t a m : B o n a m Quo ad

fun gs ion am: Bonam Quo ad sanationam: Dubia ad malam

Selain pemakaian AKDR, faktor predisposisi yang dapat menyebabkan VB ialah pemberian antibiotik, penurunan estrogen, pencucian vagina (vaginal douching), serta berhubungan seksual dengan pasangan yang terinfeksi Gardnerella vaginalis. Segala macam penyakit kelamin, baik pria maupun wanita umumnya akan memiliki manifestasi yang mirip, hampir semua mengeluarkan duh tubuh, meskipun mekanismenya bisa jauh berbeda, menurut Jubianto Judanarso, dari departemen ilmu kedokteran kulit dan kelamin FKUI/RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Yang membedakan ialah ciriciri klinis yang menyertainya, misalnya salah satu yang khas dan sering terjadi, vaginosis bakterialis. Vaginosis bakterial adalah keadaan abnormal pada ekosistem vagina yang disebabkan bertambahnya pertumbuhan flora vagina bakteri anaerob menggantikan Lactobacillus yang mempunyai konsentrasi tinggi sebagai flora normal vagina. Secara klinik, untuk menegakkan diagnosis vaginosis bakterial harus ada tiga dari empat kriteria sebagai berikut, yaitu: (1) adanya sel clue pada pemeriksaan mikroskopik sediaan basah, (2) adanya bau amis setelah penetesan KOH 10% pada cairan vagina, (3) duh yang homogen, kental, tipis, dan berwarna seperti susu, (4) pH vagina lebih dari 4.5 dengan menggunakan nitrazine paper. Perubahan flora normal

Awalnya infeksi pada vagina hanya disebut dengan istilah vaginitis, di dalamnya termasuk vaginitis akibat Trichomonas vaginalis dan akibat bakteri anaerob lain berupa Peptococcus dan Bacteroides, sehingga disebut vaginitis nonspesifik. Setelah Gardner menemukan adanya spesies baru yang akhirnya disebut Gardnerella vaginalis, istilah vaginitis nonspesifik pun mulai ditinggalkan. Berbagai penelitian dilakukan dan hasilnya disimpulkan bahwa Gardnerella melakukan simbiosis dengan berbagai bakteri anaerob sehingga menyebabkan manifestasi klinis vaginitis, di antaranya termasuk dari golongan Mobiluncus, Bacteroides, Fusobacterium, Veilonella, dan golongan Eubacterium, misalnya Mycoplasma hominis, Ureaplasma urealyticum, dan Streptococcus viridans. Gardnerella vaginalis sendiri juga merupakan bakteri anaerob batang gram-variable yang mengalami hiperpopulasi sehingga menggantikan flora normal vagina dari yang tadinya bersifat asam menjadi bersifat basa. Perubahan ini terjadi akibat berkurangnya jumlah Lactobacillus yang menghasilkan hidrogen peroksida. Lactobacillus sendiri merupakan bakteeri anaerob batang besar yang membantu menjaga keasaman vagina dan menghambat mikroorganisme anaerob lain untuk tumbuh di vagina. Vaginosis Bakterial (VB) tidak dikategorikan sebagai penyakit menular seksual, meskipun penularannya berkaitan dengan kebiasaan hubungan seksual. Hasil ini diperoleh dari tiga fakta, (1) insiden VB meningkat seiring dengan makin seringnya berhubungan seksual, (2) pasangan seksual baru dapat berhubungan dengan VB, dan (3) pasangan pria yang tidak ada gejala apa-apa ternyata banyak ditemukan Gardnerella. Pada intinya terdapat hubungan antara infeksi G.vaginalis dengan ras, promiskuitas, stabilitas marital, dan kehamilan sebelumnya. Pada penggunaan Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR) dapat ditemukan serta diikuti infeksi G.vaginalis dan kuman anaerob negatif-gram. Hampir 100% wanita menikah yang mengalami tanda dan gejala VB di USA memelihara G.vaginalis yang juga ditemukan pada hampir 70% pria pasangan seksualnya. Patogenesis infeksi Sampai sekarang belum jelas mengapa G. vaginalis bisa menyebabkan VB. Sampai 50% wanita sehat ditemukan kolonisasi G. vaginalis juga meski dalam jumlah sedikit. Tandanya kuman tersebut merupakan flora normal dalam vagina. Meski akhirnya dibantah banyak peneliti karena G. vaginalis lebih sering ditemukan pada para penderita VB daripada wanita dengan vaginitis lainnya. G. vaginalis dituding sebagai penyebab naiknya perbandingan antar suksinat dan laktat (0.4 atau lebih) dibanding wanita normal melalui analisis asam lemak cairan vagina dengan gas liquid chromatography. Sekret vagina pada VB berisi beberapa senyawa amin termasuk di dalamnya putresin, kada verin, metilamin, isobutilamin, feniletilamin, histamin, dan tiramin. Setelah pengobatan berhasil sekret akan menghilang. Basil anaerob mungkin mempunya peranan penting pada patogenesis VB karena setelah dilakukan isolasi, analisis biokimia sekret vagina dan efek pengobatan dengan metronidazol ternyata efektif untuk G. vaginalis sebagai kuman anaerob. Dapat terjadi simbiosis antara G. vaginalis sebagai pembentuk asam amino dan kuman anaerob beserta bakteri fakultatif dalam vagina yang mengubah asam amino menjadi amin sehingga menaikkan pH sekret vagina sampai suasana yang menyenangkan bagi pertumbuhan G. vaginalis. Setelah pengobatan efektif, pH cairan vagina menjadi normal. Beberapa amin diketahui menyebabkan iritasi kulit dan menambah pelepasan sel epitel dan menyebabkan duh tubuh berbau tidak sedap yang keluar dari vagina.

Masih belum jelas apakah penyakit ini bersifat endogen atau ditularkan melalui kontak seksual. G. vaginalis melekat pada sel-sel epitel vagina in vitro, kemudian menambah deskuamasi sel epitel vagina sehingga terjadi perlekatan duh tubuh pada dinding vagina. Organisme ini tidak invasive dan respons inflamasi lokal yang terbatas dapat dibuktikan dengan sedikitnya jumlah leukosit dalam secret vagina dan dengan pemeriksaan histopatologis. Timbulnya VB ada hubungannya dengan aktivitas seksual atau pernah menderita infeksi Trichomonas vaginalis dapat diisolasi dari darah wanita dengan demam pascapartus dan pascaabortus. Di samping itu dapat juga diisolasikan dan dari endometrium pada 8 di antara 42 wanita pascapartus dan merupakan isolate darah yang biasa ditemukan pada pasien-pasien ini. Vagina menjadi basa Wanita dengan VB akan mengeluh adanya duh tubuh dari vagina yang ringan atau sedang dan berbau tidak enak. Bau lebih menusuk setelah sanggama dan mengakibatkan darah menstruasi berbau abnormal. Iritasi daerah vagina atau sekitarnya (berupa gatal dan rasa terbakar) relatif lebih ringan dari trikomoniasis. Sepertiga penderita mengeluh gatal dan rasa terbakar, sementara yang lain mengeluhkan kemerahan dan edema pada vulva. Jarang ditemukan keluhan lain, misalnya nyeri abdomen, dispareunia, atau nyeri waktu kencing. Kalaupun ada, biasanya akibat penyakit lain. Di samping itu, penderita VB bersifat asimptomatik. Pada pemeriksaan sangat khas didapatkan duh tubuh vagina bertambah, warna abu-abu homogen, viskositas rendah atau normal, berbau, dan jarang berbusa. Duh tubuh melekat pada dinding vagina dan terlihat sebagai lapisan tipis atau kilauan yang difus dengan pH vagina berkisar 4,5-5,5. Tidak ditemukan pula gejala peradangan umum. Terdapat eritema pada vagina atau vulva atau petekiae pada dinding vagina. Pada pemeriksaan kolposkopi tidak terlihat dilatasi pembuluh darah dan tidak ditemukan penambahan densitas pembuluh darah pada dinding vagina. Gambaran serviks pun akan terlihat normal. Diagnosis VB ditegakkan dari adanya (1) clue cells pada sediaan basah sekret vagina. Clue cells merupakan sel epitel vagina granular yang diliputi oleh kokobasil sehingga batas sel tidak jelas. (2) sniff test dengan menghidu bau amin setelah diteteskan KOH 10% pada sekret vagina, (3) pH vagina yang lebih tinggi dari 4.5 (dites dengan nitrazine paper), serta tambahan (4) ditemukannya G. vaginalis sebagai flora vagina utama menggantikan laktobasilus. Ditemukan 3 dari 4 kriteria diagnosis ini sudah cukup menegakkan diagnosis vaginosis bacterial. Duh tubuh yang ditemukan biasanya lengket, menempel ke vagina, homogen, tipis, dan yang khas ialah warnanya yang keabu-abuan. Kadang-kadang dapat dilihat gelembung kecil di dalamnya. Diagnosis VB ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan mikroskopis. Anamnesis menggambarkan riwayat sekresi vagina terus-menerus dengan bau yang tidak sedap. Kadang penderita mengeluh iritasi pada vagina disertai disuria, dispareunia, atau nyeri abdomen. Pada pemeriksaan fisis relatif tidak banyak ditemukan apa-apa, kecuali hanya sedikit inflamasi. Di bawah mikroskop dapat terlihat flora normal Lactobacilli (batang gram positif) yang sudah banyak tergantikan dengan Gardnerella vaginalis. Yang khas juga akan sedikit sekali terlihat leukosit PMN dibanding jumlah sel epitel yang sangat banyak. Rentan berulang Gardnerella vaginalis yang asimptomatik tidak memerlukan pengobatan. Sementara VB meskipun dapat sembuh sendiri, sudah menjadi kesepakatan untuk harus diobati, apalagi umumnya penderita mengeluhkan bau yang kurang sedap. Karena VB dilaporkan banyak terjadi

pada ibu hamil dan jika tidak ditataksana dapat menyebabkan partus preterm atau endometritiis pascapartus, maka regimen untuk VB pun diupayakan yang aman untuk ibu hamil. Secara umum antibiotik merupakan pilihan pertama terapi VB, Metronidazole, Clindamycin, Tetrasiklin, serta krim sulfonamida. Sebagai terapi utama digunakan Metronidazole dengan dosis 2 x 400 mg atau 300 mg setiap hari selama 7 hari atau 5 g inttravaginal selama 7 hari. Metronidazole bersifat bakterisida terhadap bakteri anaerob. Metronidazole topikal (Flagyl) akan mematikan jaringan sehat di sekitarnya karena terbentuk radikal bebas dan bereaksi dengan komponen DNA interaseluler sehingga mematikan sel-sel di sekitarnya. Clindamycin dan tetrasiklin sudah tidak banyak dipakai karena tidak terlalu efektif. Begitu juga krim sulfonamida tripel yang bersifat acid cream base sehingga akan menurunkan pH jika dipakai setiap hari selama 7 hari. Pemberian antibiotik untuk VB tidak hanya ditujukan untuk eradikasi atau menurunkan jumlah G. Vaginalis dan kuman anaerob vaginal, tetapi juga memiliki aktivitas minimal terhadap flora vaginal. Pemakaian AKDR akan menimbulkan rekurensi VB. Pemberian metronidazole 2 gram oral dosis tunggal tiap bulan pada hari ke-3 siklus menstruasi dianjurkan untuk profilaksis terjadinya rekurensi. Besarnya jumlah rekurensi setelah pengobatan merupakan pertimbangan memilih obat untuk VB. Selain pemakaian AKDR, faktor predisposisi yang dapat menyebabkan VB ialah pemberian antibiotik, penurunan estrogen, pencucian vagina (vaginal douching), serta berhubungan seksual dengan pasangan yang terinfeksi Gardnerella vaginalis. Selain itu VB juga dapat menyebabkan beberapa komplikasi, di antaranya salpingitis, endometritis, selulitis vagina, reaksi simpang kehamilan, termasuk kehamilan prematur, korioamnionitis, dan endometritis pascapartum. Namun yang demikian relatif jarang terjadi, sehingga prognosis VB jika tanpa komplikasi termasuk baik. Sementara prognosis jika terdapat komplikasi sangat tergantung pada komplikasi yang terjadi.

KEPUTIHAN DALAM KEHAMILAN


Keputihan dalam kehamilan sering dianggap sebagai hal yang biasa terjadi dan sering luput dari perhatian ibu maupun petugas kesehatan yang melakukan pemeriksaan kehamilan. Meskipun tidak semua keputihan disebabkan karena infeksi, beberapa keputihan dalam kehamilan yang dapat berbahaya karena dapat menyebabkan persalinan kurang bulan (prematuritas), ketuban pecah sebelum waktunya atau bayi lahir dengan berat badan rendah (<2500 gram). Beratnya gejala keputihan tidak selalu sejalan dengan hasil persalinan. Sebagian wanita hamil tidak mengeluhkan keputihannya karena tidak merasa terganggu padahal keputihannya dapat membahayakan kehamilannya; sementara wanita hamil lain mengeluhkan gejala gatal yang sangat, cairan berbau namun tidak berbahaya bagi hasil persalinannya. Dari bermacam keputihan yang dapat terjadi pada kehamilan, maka tiga besar yang sering

didapatkan adalah : 1. Kandidosis vaginal (Vulvovaginal kandidosis)\ 2. Vaginosis bakterial 3. Trikomoniasis. I. KANDIDOSIS VULVOVAGINAL (Vulvovaginal Candidiasis , VVC, kandidosis, candidal vaginitis, monilial infection atau vaginal yeast infection ) Penyebab utama Pada umumnya adalah Candida albicans suatu mikroorganisme komensal dari ekosistem vagina dan terdapat dalam populasi kecil pada sekitar sepertiga vagina wanita sehat (Plourd,1997). Kandidiasis vulvovaginal dapat terjadi karena pertumbuhan berlebih sel-sel jamur yang secara normalpun terdapat dalam vagina wanita sehat. Kehamilan merupakan salah satu penyebabnya, selain itu sering juga terjadi pada pemakai kontrasepsi oral atau pemakaian antibiotika berlebihan, menstruasi, diabetes mellitus , penyakit-penyakit yang menurunkan daya kekebalan tubuh, kebiasaan irigasi vagina, cairan pewangi / pembersih vagina (vaginal cosmetics, perfumed feminine sprays), antimikrobial yang topikal , vaginal jelly, atau pemakaian celana dalam yang ketat dengan ventilasi yang kurang (Odds,1988). Gejala klinis: Gejala yang khas adalah adanya cairan vagina yang kental, seperti keju lembek ( spread cheese, cottage-cheese like appearance ) atau susu basi (curdled) yang dapat disertai oleh rasa gatal, iritasi atau rasa panas pada vulva. Vagina tidak mempunyai reseptor gatal, sehingga rasa gatal baru akan terjadi bila duh vaginal sudah mengiritasi vulva. Duh vaginal tidak selalu ada, atau bisa juga sangat sedikit, putih, encer dan tidak berbau. Bila terjadi infeksi sekunder maka duh vaginal bisa berwarna kekuningan atau kehijauan; juga dapat berbau.Vulva bengkak, sering terlihat ekskoriasi atau kemerahan (erythematous) Rasa nyeri berkemih atau disparenia dapat ada. Pria pasangannya jarang mempunyai gejala, bila ada, dapat berupa rasa gatal atau panas setelah hubungan seksual yang biasanya hilang dengan sendirinya tanpa pengobatan. Akibat terhadap kehamilan : Meskipun keadaan ini sering menjengkelkan karena gejalanya tidak menyenangkan dan sering terjadi perkambuhan namun ternyata tidak menyebabkan hasil persalinan yang buruk. Kejadian prematuritas, ketuban pecah sebelum waktunya dan bayi berat lahir rendah tidak bertambah pada keadaan ini(Plourd,1997). Diagnosis : Kadang-kadang pasien tidak dapat mengutarakan anamnesis secara jelas karena malu atau hal lainnya. Dalam keadaan seperti ini pemeriksaan klinis harus lebih cermat dilakukan. Bagaimanapun diagnosis tidak mungkin ditegakkan hanya dari anamnesis. Karakteristik duh vaginal dapat dipakai sebagai pedoman dalam menegakkan diagnosis klinik, dalam keadaan duh vaginal tidak karakteristik, secara klinis dapat terjadi kesulitan untuk menegakkan diagnosis; pemeriksaan tambahan sederhana lainnya dapat membantu penegakan diagnosis klinis yakni dengan memeriksa pH sekret vagina, Uji amin dan Uji H2O2.

Bila gejala-gejala klinis diatas jelas , diagnosis klinis dapat ditegakkan, namun kepastian diagnosis harus dengan pemeriksaan mikroskopis terhadap sekresi vagina. Dengan penambahan KOH, dibawah mikroskop akan ditemukan hifa (hyphae) atau budding yeast pada 50%-70% kasus. C.albicans mudah diidentifikasi , mereka mempunyai hifa yang panjang dengan blastospora sepanyang hifa dan cluster pada ujungnya menggambarkan snowman Bila tidak ada komplikasi pH vagina biasanya normal (3,8 4,2) . Sebagian pasien dapat mengeluh kandidiasis rekuren; keluhan ini harus diperhatikan dan petugas kesehatan harus mencari faktorfaktor predisposisi yang mendasarinya atau mengevaluasi keadaan higiene vulva dan hal-hal yang berhubungan dengannya seperti cara membersihkan, kebiasaan berpakaian , dsb. Penilaian terhadap adanya infeksi sekunder (adanya vaginitis lainnya) juga harus dilakukan mengingat pengobatannya tidak sama. Pengobatan :(Sobel,1990; Plourd,1997; Depkes, 1999) Pengobatan antifungal topikal Pengobatan topikal efisien dan dapat ditolerir oleh sebagian besar pasien. Demikian juga pada wanita hamil, terutama pada trimester pertamapengobatan topikal sangat dianjurkan.Terapi oral sebaiknya hanya digunakan pada kasus berat atau rekuren dalam usia kehamilan lebih dari 13 minggu. Pemakaian preparat topikal didasari dengan rumus umum pengobatan bahwa kelainan topikal dapat diobati dengan terapi topikal. Berbagai preparat topikal untuk VVC tersedia dalam bentuk krim, tablet vagina, losion atau supositoria. 1. Klotrimazol 500 mg tablet vagina, dosis tunggal intravaginal sebelum tidur. Mikonazol atau kotrimazol 200 mg tablet vagina, intravaginal tiga hari berturut- turut, sebelum tidur. 2. Nistatin 100.000 unit tablet vagina,Intravaginal sekali sehari selama 2 minggu Pengobatan antifungal sistemik Pengobatan VVC secara sistemik sebaiknya dikhususkan pada mereka yang telah mendapat terapi topikal sebelumnya dan tidak berhasil, atau pada kasus-kasus khusus seperti VVC yang berat, atau rekuren pada trimester kedua kehamilan. Perlu untuk mengevaluasi adanya PMS disamping VVC; karena VVC yang rekuren sering berhubungan dengan adanya PMS lain yang tentu saja lain terapinya 1. Ketokonazol 200 mg peroral,2 kali sehari untuk 5 hari 2. Itrakonazol 200 mg per oral,2 kali sehari , hanya satu hari 3. Flukonazol 150 mg per-oral dosis tunggal 4. Flukonazol 150 mg / minggu untuk 12 minggu pada kasus rekuren Pemakaian obat-obatan ini dalam kehamilan trimester ke dua tidak menunjukkan adanya hasil persalinan yang buruk. II. TRIKOMONIASIS Penyebabnya adalah Trichomonas vaginalis suatu protozoa yang mempunyai flagel, pada manusia biasanya terdapat di urethra (pria dan wanita) atau pada vagina terutama pada wanita pascamenopause. Ditransmisikan pada umumnya melalui hubungan seksual (CDC,1993). Kejadiannya sekitar 25% dari seluruh vaginitis dan bila didiagnosis pada wanita yang tidak mengeluhkan gejala, kejadiannya dapat mencapai 50% (McLellan,1982). Keadaan kehamilan tidak menyebabkan penyakit ini bertambah insidensinya.

Gejala Klinis: Gejala klinisnya bervariasi tergantung beratnya penyakit; bila gejala klinis ada, maka tampilannya berupa iritasi, gatal, rasa panas atau nyeri yang dapat terasa di daerah vulva,perineum dan paha; dapat disertai dispareni dan disuri. Dapat juga terjadi perdarahan bercak setelah koitus akibat kontak langsung dengan serviks yang meradang. Karakteristik duh vaginalnya berbuih; bisa berwarna putih keabuan atau berwarna kuning kotor kehijauan dan berbuih serta berbau busuk. Tergantung beratnya penyakit, vulva , vagina dan serviks dapat bengkak dan meradang kemerahan. Pemeriksaan apus serviks dengan lidi kapas sering menyebabkan perdarahan serviks.( McLelan,1982) Akibat terhadap kehamilan: Trikomoniasis berhubungan dengan kejadian prematuritas dan bayi berat lahir rendah. Diagnosis: 1. Duh vaginal berbuih berbau busuk (pada 35% kasus) 2. PH vagina > 4,5 (pada 70% kasus) 3. Serviks dengan punctate microhaemorrhage (strawberry appearance) (25%) 4. Trichomonas vaginalis yang bergerak pada preparat basah ( 50-75%) Pengobatan: 1. 2 gram metronidazol dosis tunggal,untuk mereka yang tidak dapat mentolerir dosis yang besar ini , dapat diberikan: 2. metronidazol 500 mg bid selama 7 hari Pasangan seksualnya juga harus diberi terapi. Beberapa peneliti menganjurkan dosis tinggi (2gram) selama beberapa hari (CDC,1993) . Rejimen ini dapat disertai oleh metronidazol supositori vaginal (500 mg) 2 kali sehari. Terapi topikal dengan vaginal supositori saja hanya efektif 50%. Meskipun secara klasik dalam kehamilan ,metronidazol tidak diberikan pada trimester pertama, namun pemberian dosis tunggal 2 gram terbukti aman Saat ini pemberian metronidazol pada trimester kedua dan ketiga kehamilan tidak dipersoalkan lagi. III. VAGINOSIS BAKTERIALIS Vaginosis bakterialis merupakan penyebab flour albus yang umum ditemukan pada wanita usia subur (Bouchard dkk, 1997). Di USA keadaan ini merupakan sekitar 50% penyebab vaginitis pada seluruh populasi wanita dan merupakan 10%-30% penyebab vaginitis pada wanita hamil (Majeroni 1998). Sebelum tahun 1955, penyakit ini dikenal dengan nama nonspecific vaginitis, Haemophilus vaginitis, Gardnerella vaginitis, Corynebacterium vaginitis , nonspecific vaginosis atau anaerobic vaginosis (Hill GB,1993). Ekosistem vagina normal sangat kompleks, flora bakterial yang predominan adalah laktobasili (95%) ,disamping itu terdapat pula sejumlah kecil (5%) variasi yang luas dari bakteri erobik maupun anerobik. Ekosistem vagina yang normal mengandung 105 sampai 106 /gr dari sekresi vagina; sedangkan pada vaginosis bakterialis terjadi peningkatan sangat besar yaitu mencapai 109 1011/gram sekresi. Vaginosis bakterialis diketahui kemudian sebagai infeksi superfisial pada vagina yang menyertai keadaan menghilangnya laktobasili yang normal dan disertai oleh pertumbuhan berlebihan dari mikroorganisme lain dalam konsentrasi yang tinggi. Anggota utama mikroorganisme tersebut adalah Gardnerella vaginalis, bakteri batang anerob gram negatif yang termasuk dalam genera

Prevotella, Porphyromonas dan Bacteroides, Peptostreptococcus sp, Mycoplasma hominis, Ureaplasma urealyticum dan seringkali Mobiluncus sp.Bakteri anerob inilah yang memproduksi ensim-ensim yang menimbulkan bau amis tajam pada keadaan vaginosis bakterialis, (Thomason 1991). Gardnerella vaginalis-nya sendiri tidak selalu ditemukan pada sindroma ini, bahkan dapat ditemukan pada 16-42% wanita yang tidak mempunyai gejala vaginitis. Sampai saat ini penyebab pergeseran ekosistem vaginal ini belum jelas. Pemasangan Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR) merupakan risiko untuk terjadinya vaginosis bakterialis (Avont, 1990) sedangkan Barbone dkk(1991) menghubungkan peningkatan kejadian ini dengan jumlah partner sex dalam satu bulan terakhir. Peneliti lainnya menghubungan dengan alat kontrasepsi yang bukan metoda barier; hal ini diduga karena cairan semen akan merubah keasaman vagina yang akan memacu ketidakseimbangan flora vagina. Vaginosis bakterialis jarang didapatkan pada anak wanita prepubertas atau wanita pascamenopause; sedangkan pada sebagian wanita dapat terjadi secara siklis. Hal ini menunjukkan hubungan antara keadaan ini dengan siklus hormonal. Diagnosis: Diagnosis vaginosis bakterialis ditegakkan bila 3 kriteria terpenuhi dari 5 kriteria dibawah ini (Majeroni,1998): Cairan vagina yang homogen (jumlah dan warnanya dapat bervariasi) PH vagina > 4.5 Uji Amin (+) Terdapat clue cell > 20% pada preparat basah atau pewarnaan Gram Tidak adanya / berkurangnya laktobasil pada pewarnaan Gram. Implikasi klinis dan morbiditas: Secara klinis vaginosis bakterialis dapat ditemukan dengan adanya cairan vagina yang berlebihan, biasanya homogen dan berbau amis. Jumlah dan warna cairan vagina bervariasi namun biasanya homogen dan encer .Seringnya cairan ini menjadi sangat berlebihan setelah koitus. Sekitar 50% dari penderita vaginosis bakterialis ini sering tidak mengeluhkan gejalanya padahal secara klinis memenuhi kriteria vaginosis bakterialis .(Bouchard ,1997) Pada wanita hamil meskipun frekuensi vaginosis bakterialis cukup tinggi, 16%-24%(Hill 1988, Hillier 1992) namun sebagian besar menganggap adanya cairan vagina berlebih sebagai hal yang normal. Beberapa penelitian telah membuktikan adanya peningkatan risiko terjadinya persalinan kurang bulan, kontraksi prematur atau kelahiran dengan BBLR.. Vaginosis bakterialis juga berhubungan dengan keberadaan fetal fibronectin yang terbukti meningkatkan kejadian korioamnionitis dan neonatal sepsis.. Wanita hamil yang menderita vaginosis bakterialis dua kali lebih sering terkena infeksi gonore dan klamidia dibandingkan dengan wanita hamil yang mempunyai laktobasili predominan sebagai flora vaginanya (Hillier,1992) . Penelitian pada pekerja seks di Thailand menunjukkan bahwa wanita dengan vaginosis bakterialis lebih banyak yang menderita HIV (Cohen,1995). Morbiditas lain akibat vaginosis adalah: 1. Postpartum endometritis 2. Selulitis tumpul vagina pasca histerektomi

3. Peradangan Panggul pasca kuretasi 4. Plasma sel endometritis Pengobatan:(Thomason,1991;Sweet,1993;Prietsley,1996;Bouchard,1997; Majeroni,1998) Pengobatan Topikal: Clindamycin (krim vagina) 5 gram waktu tidur, selama 7 hari Metronidazol gel 5 gram bid waktu tidur selama 7 hari. Pengobatan Oral : Metronidazol 500 mg bid selama 7 hari atau 2 gram dosis tunggal Clindamycin 300 mg bid selama 7 hari Pencegahan infeksi : Pencegahan vaginitis atau vaginosis yakni : 1. Jangan memakai celana dalam dari bahan sintetis atau celana ketat 2. Pakailah selalu celana katun 3. Jangan memakai panty-liner setiap hari 4. Sesudah mandi keringkan daerah vulva dengan baik sebelum berpakaian (bisa memakai hairdryer ) 5. Cebok dari depan ke belakang setiap berkemih/b.a.b dapat membantu mengurangi kontaminasi mikroorganisme dari rektum 6. Kurangi mengkonsumsi gula-gula, alkohol, coklat atau kafein dalam diet sehari-hari Jangan terbiasa melakukan irigasi vagina, memakai tampon, pewangi/spray vagina atau tissue/ sanitary napkins berparfum Uji Amin (KOH whiff test) : Pemberian setetes KOH 10% pada sekret vagina diatas gelas objek akan menghasilkan bau amis yang karakteristik ( fishy / musty odor ) Uji H2O2 : Pemberian setetes H2O2 (hidrogen peroksida) pada sekret vagina diatas gelas objek akan segera membentuk gelembung busa ( foaming bubbles) karena adanya sel darah putih yang karakteristik untuk trikomoniasis atau pada vaginitis deskuamatif, sedangkan pada vaginosis bakterialis atau kandidiasis vulvovaginal tidak bereaksi Prof Dr. dr Sofie R. Krisnadi, SpOG(K). Daftar Pustaka : Avonts D, Sercu M, Heyetick P, et al. : Incidence of uncomplicated genital infections in women using oral contraception or an intrauterine device : a prospective study. Sex trans Dis. 1990;17:23-9. Barbone F, Austin H, Louv WC, et al.: A follow-up study of methods of contraception, sexual activity, and rates of trichomoniasis, candidiasis, and bacterial vaginosis. Am J Obstet Gynecol. 1990 ; 163:510-4. Bouchard C, Hetwood MS, Lea RH et al.: Bacterial vaginosis, SOGC clinical practice guidelines. Committee opinion no. 14, March 1997.

Cohen CR, Durerr A, Pruithithada N. et al.: Bacterial vaginosis and HIV seroprevalence among female commercial sex workers in Chiang Mai, Thailand. AIDS. 1995;9:1093-7. (CDC) Centers for Disease Control and Prevention: Sexually Transmitted Diseases Treatment Guidelines . Washington,DC, US Department of Health and Human Services ,1993.Christos,RH: Vaginitis testing without microscopy. Clinician Reviews 8 (4):133, 1998. Departemen Kesehatan RI: Penanggulangan Penyakit Menular Seksual melalui pelayanan KIA. Direktorat Jenderal Pembinaan Kesehatan Masyarakat - Direktorat Kesehatan Keluarga, Jakarta 1999. Hill GB: Microbiology of Bacterial Vaginosis, Am J Obstet Gynecol 1993; 169: 450-454. Hill LVH, Luither ER, Young D, et al. Prevalence of lower genital tract infections in pregnancy. Sex Transm Dis. 1988;15:5-10 illier SL, Krohn MA, Nugent RP et al. : Characteristics of three vaginal flora patterns assessed by Gram stain among pregnant women. Am J Obstet Gynecol. 1992;166:938-944. Joesoef MR, Hillier SL, Josodiurondo S & Linnan M: Reproducibility of a scoring system for Gram stain diagnosis of bacterial vaginosis. J Clin Microbiol 1991: 29; 1730-1731. Larsson PG, Plattz-ChristensenJJ, Sundstrom E: Is Bacterial Vaginosis a sexually transmitted disease? Int J STD AIDS. 1991;2:362-4. Majeroni BA. Bacterial Vaginosis: an update. Am Fam Phys 1998: March 15. Nugent RP, Krohn MA & Hillier SL: Reliability of diagnosing bacterial vaginosis is improved by a standardized method of Gram stain interpretation. J Clin Microbiol 1991: 29 ; 297-301. Maclvor D : Avoiding the pitfalls of diagnosing vaginitis . Clin Adv Treat Infect 5 : 4-5,14, 1991. McLellan R, Spence MR, Brockman M : The clinical diagnosis of trichomoniasis. Obstet Gynecol 60: 30-34,1982. OBGYN.net Publications: Three-Day treatment option for bacterial vaginosis in non-pregnant women gets FDA approval. March 4, 1998. Odds FC : Iatrogenic factors that predispose to candidosis, in Candida and Candidosis, ed2. London , Balliere Tindall,1988, pp104-14. Plourd,MD: Practical guide to diagnosing and treating vaginitis. Medscape Womens Health 2 (2), 1997. Prietsley, Cecilia JF, Kinghorn GR: Bacterial Vaginosis. Brit J of Clin Pract. Sept 1996:50; 6:331-4 Sobel JD: Vaginitis in addult women. Ob Gyn Clin North Am 17 : 851-879,1990. Soper,DE : Genitourinary infections and sexually transmitted diseases. In Novaks Gynaecology . Ed.s Berek JS, Adashi EY, Hillard PA. 12 th Ed. 1996 Williams & Wilkins, pp 432-4. Sweet, Richard L: New Approached for the treatment of bacterial vaginosis .Am J . Obstet Gynecol 1993 : 169; 479-82. Tobin MJ. Vulvovaginal candidiasis : Topical vs Oral therapy .American Family Physician. May 15,1995. Thomason JL,Gelbart SM, and Scaglione NJ. Bacterial vaginosis: current review with indications for asymptomatic therapy. Am J Obstet Gynecol 1991; 165: 1210-16.

Anda mungkin juga menyukai