Anda di halaman 1dari 16

BAB I PENDAHULUAN A.

Latar Belakang Masalah Kejahatan lintas negara, atau yang dikenal dengan istilah kejahatan transnasional menimbulkan banyak kerugian bagi suatu negara, bahkan bagi daerah-daerah tertentu di dalam negara tersebut. Pelbagai penyimpangan yang dapat dilakukan, seperti pengeksploitasian sumber daya (sumber daya alam dan sumber daya manusia) yang terlalu berlebihan bedampak kepada manusia yang ada dunia, dengan munculnya atau menguatnya masalah-masalah, seperti kemiskinan, konflik, dan kerugian lainnya yang bersifat materi. Bencana alam pun menjadi salah satu masalah yang kemudian dipertanyakan sebab-musabab munculnya terkait dengan praktek kejahatan antar bangsa yang mengakibatkan adanya kerusakan lingkungan. Dengan demikian, kejahatan transnasional berhasil menjadi masalah bersama, masalah di negara-negara dunia; menjadi masalah nasional dan internasional. Indonesia sebagai salah satu negara di dunia juga memiliki potensi yang kuat untuk terjadinya praktek kejahatan transnasional. Kejahatan transnasional bukan hanya didorong oleh faktor perdagangan bebas yang terbuka lebar atau lemahnya penegakan hukum di Indonesia. Akan tetapi juga didukung oleh wilayah geografis Indonesia itu sendiri. Indonesia yang bentuk negaranya adalah kepuluan secara geografis memiliki banyak pintu masuk: bandara, pelabuhan, batas darat dan perairan. Selain itu, Indonesia yang juga memiliki garis pantai yang sangat panjang, dan merupakan wilayah yang terletak pada posisi silang jalur lalu lintas dagang dunia, juga menjadi faktor utama yang menyebabkannya berpotensi kuat untuk terjadinya kejahatan transnasional. Kejahatan transnasional di negeri ini juga dapat terjadi karena jumlah penduduk Indonesia yang terbilang besar. Hal ini menyebabkan Indonesia menjadi negara yang memiliki sumber tenaga kerja yang besar dan sebagai target untuk perkembangan pasar internasional. Berbagai kendala dihadapi

oleh Indonesia dalam menghadapi persoalan kejahatan transnasional, seperti kurang sumber daya manusia yang kompeten, kendala dalam bidang teknologi, dan lemah secara yuridik dan diplomatik. Besarnya potensi terjadinya kejahatan transnasional di Indonesia ini merupakan suatu masalah yang perlu mendapat perhatian. Dengan demikian perlu diadakan suatu kajian terhadap masalah-masalah yang terkait dengan kejahatan lintas negara yang melanda Indonesia. Semakin besarnya akses lintas negara membuka peluang besar pula terhadap terjadinya tindakan kejahatan yang melanggar peraturan perudang-undangan. Masalah dari suatu negara bisa menjadi masalah bagi negara lain karena banyak faktor yang menyebabkannya. Dalam makalah ini akan dibahas salah satu masalah kejahatan transnasional yang perlu mendapat perhatian dari kebijakan yang ada di Indonesia, yaitu penyelundupan orang atau people smuggling. Banyaknya pemberitaan di media yang mengabarkan tentang imigran gelap yang singgah di Indonesia, atau orang asing dari negara lain yang meminta suaka ke Indonesia, menegaskan bahwa people smuggling merupakan salah satu masalah yang cukup serius. Tidak dapat dipungkiri bahwa masalah people smuggling yang belum tertangani dengan baik memberikan banyak kerugian yang signifikan bagi bangsa ini. B. Rumusan Masalah Maka dari itu, berangkat dari masalah people smuggling ini penulis menyusun rumusah masalah sebagai berikut: 1. Apa latar belakang yang menyebabkan terjadinya people smuggling yang melanda Indonesia? 2. Bagaimanakah kebijakan yang telah disusun di Indonesia terhadap masalah people smuggling tersebut serta pengaruhnya terhadap usaha pengatasan masalah tentang imigran gelap? 3. Apa saran atau rekomendasi kebijakan yang dapat diberikan dalam mengatasi masalah people smuggling?

C. Tujuan Penulisan 1. Menjelaskan dengan jelas latar belakang yang menyebabkan terjadinya praktek penyelundupan orang sehingga menimbulkan masalah bagi Indonesia. 2. Menilai kebijakan yang telah dicanangkan oleh Pemerintah dalam usahanya mengatasi masalah people smuggling. 3. Menyajikan solusi dan saran atau rekomendasi kebijakan yang dapat diberikan dalam menghadapi masalah yang dimaksud guna untuk mengoreksi kebijakan yang telah ada. D. Manfaat 1. Mengetahui dan melihat masalah people smuggling secara mendalam, mulai dari latar belakang terjadinya masalah tersebut hingga usaha-usaha apa saja yang telah dilakukan untuk mengatasinya. 2. Sabagai bahan pertimbangan bagi pihak-pihak yang berkepentingan sebagai saran dan kritik terhadap berbagai langkah yang telah diambil dalam suatu kebijakan dalam menghadapi masalah people smuggling. 3. Sebagai sumbangsih bagi perkembangan ilmu pengetahuan di bidang studi kejahatan, khususnya dalam bidang kebijakan kriminal dan kejahatan transnasional. E. Metode

BAB II KERANGKA TEORITIK a. People Smuggling 1. Pengertian People Smuggling Pengertian people smuggling adalah sebuah istilah yang merujuk kepada gerakan ilegal yang terorganisasi dari sebuah kelompok atau individu yang melintasi perbatasan internasional, biasanya dengan melakukan pembayaran berdasarkan jasa. Penyelundupan migrant merupakan suatu tindakan, baik langsung maupun tidak langsung, guna memperoleh suatu keuntungan finansial atau material lainnya dengan cara memasukkan seseorang yang bukan warga negara atau penduduk tetap suatu negara tertentu secara ilegal ke negara tersebut. 2. b. Illegal Migration 1. Pengertian Illegal Migration Menurut Pasal 120, disebutkan setiap orang yang melakukan perbuatan mencari keuntungan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk diri sendiri atau untuk orang lain dengan membawa seseorang atau kelompok orang, baik secara terorganisasi maupun tidak terorganisasi atau memerintahkan orang, baik secara terorganisir maupun tidak terorganisir, yang tidak memiliki hak secara sah untuk memasuki wilayah Indonesia atau keluar dari wilayah Indonesia dan/atau masuk wilayah negara lain, yang orang tersebut tidak memiliki hak untuk memasuki wilayah tersebut secara sah, baik dengan menggunakan dokumen sah maupun dokumen palsu, atau tanpa menggunakan dokumen perjalanan, baik melalui pemeriksaan imigrasi maupun tidak. Illegal migration diartikan sebagai suatu usaha untuk memasuki suatu wilayah tanpa izin. Imigran gelap dapat pula berarti bahwa menetap

di suatu wilayah melebihi batas waktu berlakunya izin tinggal yang sah atau melanggar atau tidak memenuhi persyaratan untuk masuk ke suatu wilayah secara sah.1 3. c. .

, dipidana karena penyelundupan manusia dengan pidana penjara denda paling sedikit Rp 500.000.000,00 (lima ratus juga rupiah) dan paling banyak Rp 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).

BAB IV PEMBAHASAN A. Permasalahan People Smuggling Masalah penyelundupan manusia yang melanda Indonesia semakin serius. Jika pada awalnya para imigran gelap yang tertangkap oleh aparat keamanan Republik Indonesia di perbatasan wilayah negara adalah merupakan kelompok yang memiliki tujuan untuk ke negara Australia, dan menjadikan Indonesia sebagai negara transit saja, kini malah negara Indonesia yang menjadi tujuan utama. Praktek penyelundupan orang atau people smuggling telah meningkat dalam beberapa dekade terakhir dan pada saat ini, laporan signifikan mengenai jumlah imigrasi tidak resmi terus meningkat di berbagai negara. People smuggling umumnya dapat terjadi dengan persetujuan dari orang atau kelompok yang berkeinginan untuk diselundupkan, dan alasan yang paling umum dari mereka adalah peluang untuk mendapatkan pekerjaan atau memperbaiki status ekonomi, harapan untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik bagi diri sendiri atau keluarga, dan juga untuk pergi menghindari konflik yang terjadi di negara asal. People smuggling dapat terjadi karena banyak faktor, terutama faktor pendorong yang menyebabkan banyaknya penduduk dari suatu negara melakukan perpindahan dari negara asal ke negara-negara tujuan. Salah satu faktor yang paling utama adalah konsekuensi ekonomi. Sebuah negara yang tidak mampu menyediakan lapangan pekerjaan menyebabkan banyaknya pengangguran yang lebih memilih pindah dari negara asalnya untuk mencari tempat dengan harapan dapat mendapatkan pekerjaan. Masalah ekonomi ini juga dapat dipicu oleh konflik yang terjadi di negara asal tersebut. Konflik atau perang yang berkepanjangan menyebabkan terjadinya kemiskinan sehingga jumlah pengangguran menjadi sangat banyak. Peperangan atau konflik yang terjadi di negara asal tersebut terkait dengan aspek politik, keamanan, sukuisme, dan sebagainya. Selain itu, konflik yang

terjadi juga menjadi pendorong bagi para imigran gelap untuk meninggalkan daerah asalnya demi mencari tempat yang aman atau terlepas dari konflik tersebut. oleh karenanya mereka meminta suaka ke negara-negara maju yang dapat memberikan jaminan keselamatan dan perlindungan hak asasi manusia. Banyaknya praktek penyelundupan manusia juga disebabkan oleh para imigran yang terbuai bujuk rayu para agen penyelundup ( smuggler). Selain itu, faktor eksternal yang berasal dari negara tujuan juga menjadi alasan utama bagi imigran gelap untuk berpindah dari negara asal, diantaranya adalah sistem ekonomi negara tujuan yang stabil sehingga memungkinkan para imigran, dalam pemahaman mereka, mendapatkan pekerjaan dengan upah yang layak. Di negara-negara tujuan yang notabennya adalah negara maju, para pelaku usaha dengan senang hati menyambut dan memanfaatkan jasa pekerja ilegal karena upah mereka yang jauh lebih rendah daripada pekerja di dalam negeri (Jean B. Grossman, 1984) Dalam konteks Indonesia, yang menjadi faktor penarik untuk terjadinya praktek kejahatan ini antara lain adalah keadaan geografis Indonesia yang luas, tetapi kekurangan satuan tugas pengamanan wilayah; Indonesia adalah negara yang strategis sebagai tempat transit sebelum sampai ke negara tujuan, seperti Australia. Indonesia, yang belum menandatangai Konvensi Jenewa Tahun 1951 dan Protokol Tahun 1967, posisinya sangat lemah dalam mengatasi masalah para pencari suaka dan pengungsi dari negara lain karena tidak memiliki peraturan nasional yang secara khusus membahas masalah tersebut. Selain itu, keberadaan UNHCR di Jakarta membuat Pemerintah Republik Indonesia merujuk setiap orang asing yang masuk dengan alasan mencari suaka ke UNHCR untuk melaksanakan penentuan status pengungsi. Pemerintah Indonesia mengizinkan para imigran untuk menetap di Indonesia hingga didapatkan suatu solusi (http://www.unhcr.or.id/). Oleh karenanya para imigran gelap merasa aman untuk datang dan tinggal di Indonesia; memasuki wilayah Indonesia dengan memanfaatkan keberadaan UNHCR dengan dalih mencari suaka.

Sebagian besar pengungsi dari Asia pertama kali masuk ke Malaysia, di mana mereka akan dibawa ke selatan sebelum menyeberang dengan kapal feri ke Pulau Batam, Indonesia. Dari sana, tujuan selanjutnya adalah mencapai Kota Jakarta dan melanjutkan ke pulau-pulau Indonesia bagian selatan, seperti Pulau Bali, Pulau Flores atau Lombok. Dan dari pulau-pulu ini nantinya mereka akan terus melanjutkan perjalan menuju negara Australia. Jalur lain juga ditemukan melalui Lautan Hindia langsung menuju Kota Medan, tanpa melalui Malaysia, kemudian terus menuju bagian Selatan Pulau Sumatera. Dari arah Utara, yaitu Laut Cina Selatan, para imigran gelap juga ditemukan, yang langsung menuju Wilayah Jambi dan Sumatera Selatan, kemudian melanjutkan perjalan dengan arah yang sama ke Jawa, lanjut ke Sulawesi Selatan, ke wilayah Kepulauan Sunda Kecil, dan terus menuju negara Australia. Para imigran gelap yang teroganisir oleh para penyelundup manusia ini umumnya berasal dari Asia Selatan, seperti India, China, atau Asia Timur Tengah, seperti Iran, Irak, Afghanistan, juga dari Afrika. Mereka menjadikan negara-negara di Asia Tenggara sebagai negara transit, umumnya Malaysia dan Indonesia, yang meruakan lalu lintas perdagangan dunia, dan berharap akan mendapat bantuan dengan dikrimkannya mereka ke negara-negara ketiga, seperti ke Australia, Negara-negara maju di Eropa Barat, Amerika, dan Kanada.

B. Kebijakan Kriminal tentang People Smuggling Dalam Konvensi Tahun 1951 tentang Status Pengungsi, pengungsi adalah seseorang yang karena ketakutan yang beralasan, seperti dianiaya karena alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan dari kelompok sosial tertentu, atau karena pandangan politik, berada di luar negara kewarganegaraannya dan tidak dapat atau, karena kecemasan tersebut, tidak mau memanfaatkan perlindungan dari negara asalnya tersebut (menurut definisi formal yang tercantum dalam Pasal 1A dalam Konvensi yang

dimaksud). Ketentuan ini didukung oleh Undang-Undang nasional, yaitu Pasal 28 G (2) UUD 1945 yang menjamin adanya hak untuk mencari suaka, dan Pasal 28 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 1992 Tentang Keimigrasian, dijelaskan bahwa keimigrasian adalah hal ihwal lalu lintas irang yang masuk atau ke luar wilayah Negara Republik Indonesia dan pengawasan orang asing di wilayah Negara Republik Indonesia. Dalam Pasal 3 dijelaskan bahwa setiap orang yang masuk atau keluar wilayah Indonesia wajib memiliki surat perjalanan, atau tanda tertentu yang dapat mengizinkan orang tersebut untuk masuk atau keluar dari wilayah Indonesia, yaitu berupa Izin Masuk atau Tanda Bertolak (Pasal 4). Sedangkan dalam Pasal 8, pejabat imigrasi berhak menolak atau tidak member izin kepada warga negara asing untuk masuk ke wilayah Indonesia jika tidak memiliki surat perjalanan yang sah dan visa. Dalam Pasal 49 hingga 54, dinyatakan ketentuan pidana bagi yang melanggar peraturan keimigrasian. Ketentuan yang berlaku adalah hukuman kurungan selama satu tahun penjara hingga enam tahun penjara, atau denda sebesar Rp 5.000.000,- hingga Rp 30.000.000,-, berdasarkan pelanggaran yang dilakukan, seperti keluar masuk wilayah Indoesia tanpa melalui pemeriksaan; dengan sengaja menggunakan atau memalsukan surat perjalanan, visa dan izin keimigrasian yang tidak resmi; menyalahgunakan atau bertindak tidak sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam izin keimigrasian; melanggar kewajiban yang telah ditentukan dalam Pasal 39; berada di wilayah Indonesia secara tidak sah (pernah dideportasi ke negara asal dan berada kembali di wilayah Indonesia) atau yang tetap berada di Indonesia setelah masa berlaku keimigrasian habis; serta pelanggaran oleh orang yang dengan sengaja menyembunyikan, melindungi, memberi pemondokan, memberi penghidupan atau pekerjaan kepada orang asing yang telah diduga melanggar Pasal 49 hingga 53. Berdasarkan ketentuan dalam UU No. 9 Tahun 1999 tersebut, dapat dimengerti bahwa people smuggling (penyelundupan manusia) dan illegal migration adalah suatu tindakan kejahatan yang melanggar Undang-Undang.

Ha ini dipertegas dengan adanya Undang-Undang No. 15 Tahun 2009 tentang Pengesahan Protokol Menentang Penyelundupan Migran Melalui Darat, Laut, dan Udara, Melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional Yang Terorganisasi. Selain itu, perlu ditinjau pula tentang kebijakan yang dicanangkan oleh Pemerintah RI dalam menangani para pengungsi. Berdasarkan SE Dirjenim No. F-IL.01.10-1297, tertanggal 30 September 2002, Perihal Penanganan Terhadap Orang Asing Yang Menyatakan Diri Sebagai Pencari Suaka atau Pengungsi, terdapat beberapa unsur penting dalam surat edaran tersebut: 1. Pengungsi atau pencari suaka yang memasuki wilayah Indonesia tidak serta merta dideportasi 2. Imigrasi bekerjasama dengan UNHCR di Indonesia, bersama-sama menangani para pengungsi atau pencari suaka 3. Pengungsi yang memiliki sertifikat atau surat keterangan pengungsi maka statusnya akan lebih jelas dan pengurusan izin tinggal akan lebih mudah 4. Status pengungsi tidak kebal hukum. C. Rekomendasi Pada dasarnya terdapat tiga kebijakan yang digunakan dalam menangani people smuggling, yaitu border controls, deportation and legalization policies, dan work-site inspections, raids, and sanctions against employers or illegal immigrants(Guido Friebel and Sergei Guriev, 2006: 1086). Yang pertama adalah kontrol perbatasan, dengan tujuan untuk membatasi ruang gerak dari para agen penyelundup dan para imigran gelap. Yang kedua adalah deportasi dan pengabsahan kebijakan. Dalam hal ini, dalam konteks Indonesia, pelaksanaan deportasi tidak dapat serta merta dilakukan sebelum ada status pengungsi yang diberikan oleh UNHCR. Karena itu dibutuhkan suatu pengesahan kebijakan yang berasal dari Pemerintah Indonesia sendiri yang secara tegas mengatur tentang status para imigran. Yang ketiga adalah pemeriksaan dan tinjauan terhadap situs pekerjaan, melakukan penggrebekan, dan sanksi yang tegas terhadap para pelaku agen

penyelundupan manusia. Ketentuan Undang-Undang ini juga belum dimiliki oleh Indonesia, karena tidak ada Undang-Undang tengan people smuggling. Guido Friebel dan Sergei Guriev menjelaskan bahwa kebijakan deportasi tidak akan dapat memberikan hasil yang baik dalam mengurangi arus para imigran gelap selama tidak ada sanki yang tegas kepada para agen penyelundup manusia (Guido, Ibid., hal.1088). Karena semuanya berpangkal kepada aktivitas para agen, yang secara terus menerus dan intens merekrut orang-orang dari negara asal. Rekomendasi yang dapat diberikan adalah dengan dengan membentuk Satuan Tugas Terpadu dengan melibatkan pihak-pihak terkait seperti Kementrian Luar Negeri, Kementrian Hukum dan HAM, Polri, dan Jaksa yang secara bersama-sama dengan giat menanggulangi permasalahan people smuggling di Indonesia. Bagi Polisi, adalah suatu kewajiban untuk meningkatkan kerjasa police to police dan memberdayakan operasi terpadu, yaitu Operasi Jingga. Dalam operasi ini, setiap Polisi Daerah harus memiliki satuan tugas khusus yang melakukan penyelidikan dan penyidkan secara rutin terhada kasus people smuggling, serta peningkatan kerjasama dengan Australia yang meberikan keuntungan pada kedua belah pihak, seperti pemberian fasilitas dan bantuan dari Australia Federal Police (AFP) berupa alat komunikasi dan transportasi guna menunjang pelaksanaan operasi. Selain itu, perlu juga dilakukan usaha dalam memperketat pengawasan di Bandara dan Pelabuhan Internasional serta daerahdaerah perbatasan untuk mencegah masuknya orang asing yang akan diselundupkan dari dan ke luar Indonesia. Selanjutnya, juga dibutuhkan suatu kebijakan yang menetapkan langkah dan usaha dalam meningkatkan sumber daya manusia. Seperti yang diketahui bersama, kendala utama bagi Indonesia adalah ketersediaan SDM yang kompeten. Lembaga Kepolisian sebagai badan yang berwenang dalam menjaga keamanan dan ketertiban di dalam negeri sudah seharusnya memiliki sumber daya manusia yang mampu melakukan penyelidikan dan penyidikan dengan baik dan cepat. Oleh karena itu dibutuhkan suatu training dan workshop untuk meningkatkan komptensi dan kualitas dari para penyidik dan penyelidik tersebut.

Pencegahan sindikat penyelundupan manusia dan orang asing juga perlu mendapatkan perhatian yang khusus. Usaha yang dilakukan oleh Pelaksana Tugas (Plt) Dirjen Imigrasi Departemen Hukum dan Hak Azasi Manusia (Depkumham) yang terus berkoordinasi dengan pihak internasional (Interpol) dan Polisi dalam negeri (Polri) harus dimaksimalkan. Oleh karena itu, memberdayakan dan meningkatkan manfaat dalam penggunaan teknologi juga sangat diperlukan, salah satunya adalah dengan memanfaatkan sistem pengawasan dengan alat canggih Border Control Management (BCM) terpadu yang terhubung dengan server di Kantor Imigrasi Pusat, di Jakarta (http://yustisi.com/, Mei 2010). Penangggulangan masalah terkait imigran gelap dan people smuggling juga dapat dilakukan dengan meningkatkan kerjasama dengan pihakpihak terkait, meingkatkan kerjsama dan komitmen dengan negara-negara tentangga yang sama-sama berusaha menumpas praktek people smuggling. Merealisasikan hasil kesepakatan Bali Process, yang diadakan pada Bulan Februari 2002 lalu adalah sesuatu hal yang sangat perlu untuk menyelsaikan permasalahan-permasalahan di daerah asal. Selain itu, yang paling penting dan paling inti, Indonesia harus memiliki Undang-Undang khusus yang secara jelas dan tegas membahas tentang people smuggling. Adalah suatu hal yang tidak relevan jika pada ketentuan UndangUndang No 15 Tahun 2009 telah dinyatakan bahwa kesiapan Indonesia, bekerjasama dengan Australia dalam memerangi praktek people smuggling, tetapi Indonesia belum memiliki Undang-Undang yang mengatur masalah tersebut. Pengalihan masalah tersebut kepada ketentuan Undang-Undang Imigrasi tidak akan dapat menyelesaikan masalah secara maksimal, karena ketentuan pidana dalam Undang-Undang tersebut umumnya hanya berlaku bagi WNI. Sementara bagi WNA, ada tangung jawab moral untuk menyunjung Hak Asasi Manusia. Dengan adanya Undang-Undang khusus yang menangani masalah ini, diharapkan Indonesia dapat mampu melakukan penindakan pidana secara tegas terhadap para pelaku people smuggling. Rekomendasi terkahir adalah Pemerintah melakukan kerjasama dengan melibatkan semua elemen masyarakat, yang dapat dilakukan dalam bentuk

sosialisasi tentang peoples smuggling dan Pembinaan Jaringan yang ada di setiap lapisan masyarakat yang dapat memberikan informasi secara cepat tentang kedatangan maupun keberadaan imigran gelap di wilayah Indonesia, khususnya di daerah-daerah perbatasan. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan teori dan pembahasan di atas maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Imigran gelap dan people smuggling adalah sebuah masalah yang sangat serius dan merupakan ancaman bagi negara Indonesia. Semakin meningkatnya keberadaan orang asing secara ilegal di Indonesia memberikan kerugian bagi Indonesia, baik secara financial dan material. 2. Imigran gelap dan people smuggling terjadi disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah berasal dari negara asal, seperti perang atau konsekuensi ekonomi, yang kemudian mendorong para imigran untuk pergi dari daerah asal dan mencari penghidupan baru di daerah lain. Sedangkan faktor eksternal adalan berasal dari negara tujuan, karena adanya jaminan suaka serta harapan mendapatkan pekerjaan dengan upah yang besar karena negara-negara maju memiliki stabilitas ekonomi yang baik. Khusus untuk Indonesia, perlakuan yang diberikan pemerintah, yang terkesan tidak tegas, menjadi surge tersendiri yang membuar para imigran gelap tertarik untuk menjadikan Indonesia sebagai negara tujuan. 3. Dibutuhkan kerjasama dan komitmen yang kuat antar negara dan instansi terkait guna memaksimalkan penanganan people smuggling dan meredam angka para imigran gelap yang terus meningkat. 4. Dibutuhkan peningkatan SDM, alokasi dana/anggaran, serta sarana dan prasara dalam upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana penyelundupan manusia.

5. Perlu dibuat Undang-Undang atau kebijakan khusus yang secara tegas dan jelas membahas people smuggling, termasuk ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang kegiatan tersebut sebagai suatu tindak pidana, guna memperkuat posisi Pemerintah Indonesia dalam usaha menghadapi masalah penyelundupan manusia.

DAFTAR PUSTAKA Buku: Hanson, Gordon H., (2007): The Economic Logic of Illegal Migration . Council Special Reports (CSR) No. 26, April. USA: Council on Foreign Relations. Jurnal: Martin , Philip & Mark Miller, (2000): Smuggling and Trafficking: A Conference Report. International Migration Review, Vol. 34, No. 3 (Autumn, 2000), Hal.969975. Heckmann, Friedrich, (2004): Illegal Migration: What Can We Know and What Can We Explain? The Case of Germany . International Migration Review, Vol. 38, No. 3, Conceptual and Methodological Developments in the Study of International Migration (Fall, 2004), Hal.1103-1125 Mines, Richard & Alain de Janvry, (1982): Migration to the United States and Mexican Rural Development: A Case Study. American Journal of Agricultural Economics, Vol 64, No. 3, (August., 1982). Hal.444-454. Todaro , Michael P. & Lydia Marusko, (1987): Illegal Migration and US Immigration Reform: A Conceptual Framework. Population and Development Review, Vol. 13, No. 1, (Mar., 1987). Hal. 101-114. Grossman, J. B., (1984): Illegal Immigrants and Domestic Employment. Industrial and Labor RelationReview, Vol. 37, No. 2, (Jan., 1984). Hal. 240-251

Friebel, Guido & Sergei Guriev, (2006): Smuggling Humans: A Theory of DebtFinanced Migration. Journal of the European Economic Association, Vol. 4, No. 6 (Dec., 2006), pp. 1085-1111 Internet: Australian Govenrment, Departement of Immigration and Citizenship. People Smuggling and Trafficking. Diakses darihttp://www.immi.gov.au/media/publications/compliance/ managing-theborder/pdf/mtb-chapter13.pdf Saptowalyono , C. A., (2009): Repot Disinggahi Imigran Ilegal. KOMPAS female. 23 November 2009. Diakses darihttp://female.kompas.com/read/xml/2009/11/23/06404130/ repot.disinggahi.imigran.ilegal VIBIDZDAILY.COM, (2010): Banyak Imigran Gelap, Indonesia Butuh UU Penyelundupan Manusia. 25 Juli 2010. Diakses darihttp://vibizdaily.com/detail/nasional/ 2010/07/25/banyak imigran gelap_indonesia_butuh_uu_penyelundupan_manusia LiraNes.com, (2010): Polisi Tetapkan Lima Tersangka Penyelundup 74 Imigran Gelap. 18 Oktober 2010 diakses dari http://liranews.com/hotnews/2010/10/18/polisi-tetapkan-lima-tersangka-penyelundup-74-imigran-gelap/ ANTARA News: Indonesia, One Click Away, (2010): Kasus Imigran Ilegal Meningkat 100%. 3 Agustus 2010. Diakses darihttp://www.antaranews.com/berita/1280840290/kasus-imigran-ilegalmeningkat-100 KapanLagi.com, (2009): Selundupkan Orang, WNI Dihukum Empat Tahun di Australia. Diakses dari http://berita.kapanlagi.com/hukum-kriminal/selundupkanorang-wni-dihukum-empat-tahun-di-australia.html INTERPOL, (2010): People Smuggling. Diakses darihttp://www.interpol.int/public/thb/peoplesmuggling/default.asp Direktorat Intelkam Polda Lampung, (2010): Transnasional Crime. Diakses darihttp://www.komisikepolisianindonesia.com/main.php?page=ruu&id=608

UNHCR: The UN Refugee Agency. Perlindungan Pengungsi di Indonesia. Diakses dari http://www.unhcr.or.id/Html08/bhs_protect08.html, tanggal 31 Desember 2010. Direktoran Jenderal Imigrasi, Kementerian Hukum & Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, (2010): Imigran Ilegal Saat Diketahui Berada Di Indonesia Dikenakan Tindakan Keimigrasian. Diakses dari http://www.imigrasi.go.id/index.php?option=com_content &task=view&id=375&Itemid=34 DIRECTIVE FROM THE DIRECTOR GENERAL OF IMMIGRATION NO.: FIL.01.10-1297. Diakses darihttp://www.ecoi.net/file_upload/1504_1217488763_directive-from-thedirector-general-of-immigration-no-f-il-01-10-1297-on-procedures-regardingaliens-expressing-their-desire-to-seek-asylum-or-refugee-status.pdf Peraturan atau Undang-Undang: UNDANG-UNDANG DASAR 1945 UNDANG-UNDANG NO 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA UNDANG-UNDANG NO 9 TAHUN 1999 TENTANG KEIMIGRASIAN UNDANG-UNDANG NO 15 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN PROTOCOL AGAINST THE SMUGGLING OF MIGRANTS BY LAND, SEA AND AIR, SUPPLEMENTING THE UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST TRANSNATIONAL ORGANIZED CRIME (PROTOKOL MENENTANG PENYELUNDUPAN MIGRAN MELALUI DARAT, LAUT, DAN UDARA, MELENGKAPI KONVENSI PERSERIKATAN BANGSABANGSA MENENTANG TINDAK PIDANA TRANSNASIONAL YANG TERORGANISASI)

Anda mungkin juga menyukai