Anda di halaman 1dari 79

1

BAB I

PENDAHULUAN

1. Permasalahan

1.1 Latar Belakang Masalah

Meningkatkan lalu lintas orang lain dari dan ke suatu negara membawa

berbagai kepentingan, baik kepentingan ekonomi, politik, sosial maupun budaya.

Hal ini terbukti dengan semakin ramainya bandara, perlintasan darat, dan

pelabuhan laut internasional. Arus lalu lintas dari dan ke suatu negara, selain akan

menimbulkan dampak positif berupa peningkatan ekonomi da modernisasi, juga

menimbulkan dampak negatif terhadap pola kehidupan sosial budaya masyarakat,

misalnya berupa masuknya berbagai bentuk kejahatan transnasional seperti

terorisme, sindikat narkotika, imigran ilegal dan sejenisnya. Kejahatan-kejahatan

tersebut menjadi isu keamanan global dan sangat membahayakan keamanan setiap

negara, tidak terkecuali juga dengan Indonesia.

Fakta adanya para imigran ilegal saat ini, tentu menjadi permasalahan

tersendiri bagi Pemerintah dan masyarakat Indonesia. Persoalan imigran ilegal

adalah isu yang sangat sensitif, multidimensi, serta berdampak negatif terhadap

hubungan Indonesia dengan negara lain, apabila tidak ditangani dengan baik.

Demikian juga, kehadiran para imigran ilegal di tengah masyarakat membawa

dampak tersendiri terutama bagi masyarakat di sekitar tempat penampungan.

Seringkali karena para imigran ilegal sudah terlalu lama di tempat penampungan
2

tanpa adanya suatu kepastian, berpengaruh terhadap mental dan emosi, sehingga

berujung terjadinya keributan, bahwa melarikan diri dari tempat penampungan.

Walaupun Indonesia belum meratifikasi Konvensi Wina 1951 tentang

Pengungsi, sebagai negara yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM),

Indonesia mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk menjamin

terselenggaranya penghormatan, perlindungan, dan penegakan HAM. Kewajiban

untuk menghormati, melindungi dan menegakan HAM bukan hanya ditujukan

kepada warga negara Indonesia saja, tetapi juga meliputi warga negara dari negara

lain yang berada di wilayah Indonesia, baik mereka yang berada secara legal

ataupun ilegal. Oleh karena itu penanganan imigran ilegal berdasarkan hukum

internasional dan nasional yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dapat

dikatakan sebagai upaya dalam melindungi hak-hak kemanusiaan yang bersifat

universal.

Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa mengemban

tanggung jawab moral dan hukum untuk menjunjung tinggi dan melaksanakan

Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia. Komisi Tinggi Badan

Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk urusan pengungsi yaitu United Nations High

Commissioner for Refugees atau UNHCR, memiliki mandat menyediakan

perlindungan internasional untuk pencari suaka dan pengungsi, serta menemukan

solusi berkelanjutan untuk pengungsi. Upaya ini dicapai dengan memastikan

dipenuhinya hak asasi para pencari suaka dan pengungsi, melalui penyediaan

bantuan kemanusiaan dalam kondisi-kondisi tertentu dan memastikan bahwa para


3

pencari suaka dan pengungsi dilindungi dari upaya pengembalian secara tidak

suka rela ke sebuah negara dimana mereka dapat mengalami persekusi.

Bagi pencari suaka dan pengungsi dilindungi dari pemulangan kembali ke

negara dimana mereka memiliki ketakutan akan persekusi dan diijinkan untuk

tinggal secara sementara di Indonesia sambil menunggu diperolehnya solusi

berkelanjutan atas dirinya. Prinsip untuk tidak melakukan pemulangan kembali ke

negara dimana mereka memiliki ketakutan akan persekusi juga diakui sebagai

salah satu prinsip dalam hukum kebiasaan internasional, dengan demikian

Indonesia juga terikat dengan prinsip tersebut walaupun belum menjadi pihak

penandatangan dari Konvensi 1951 mengenai status pengungsi.

Dalam rangka mengatur dan memberikan kesamaan arah dalam

penanganan dan perlakuan terhadap imigran ilegal secara keimigrasian. Direktur

Jenderal Imigrasi telah mengeluarkan Peraturan Direktur Jenderal Imigrasi Nomor

IMI.1917-OT.02.01 Tahun 2013 tentang Standar Operasional Prosedur Rumah

Detensi Imigrasi. Tujuan Peraturan ini agar terciptanya standardisasi

pendetensian, pengisolasian, pendeportasian, pemulangan, pemindahan, dan

fasilitasi penempatan ke negara ketiga terhadap Orang Asing di Wilayah

Indonesia yang melakukan pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan,

serta fasilitasi penempatan ke negara ketiga bagi Deteni yang berada di Rumah

Detensi Imigrasi.

Dalam proses penanganan pendetensian sering juga ditemukan perbedaan

dari teori didalam Standar Operating Prosedur dengan fakta di lapangan. Salah

satunya didalam Standar Operating Prosedur disebutkan menyediakan dan


4

memberikan makanan dan minuman dengan menyesuaikan menu makanan antara

anak-anak, dewasa dan orang sakit akan tetapi fakta di lapangan semua makanan

untuk seluruh deteni baik anak-anak, dewasa, dan deteni sakit menu makanan

yang disajikan disamakan sehingga pernah terjadi aksi mogok makan dari deteni

sebagai bukti penolakan deteni terhadap sistem pembagian makanan di rumah

detensi imigrasi Denpasar.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut diatas, maka dapatlah

dirumuskan suatu masalah sebagai berikut :

1) Tindakan Hukum Apakah yang dapat dikenakan terhadap orang asing

yang melakukan pelanggaran di wilayah hukum Indonesia?

2) Bagaimanakah bentuk penanganan pendetensian orang asing di rumah

detensi imigrasi Denpasar?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Dalam penyusunan skripsi ini dibatasi ruang lingkupnya agar dalam

pembahasan tidak keluar dari pokok permasalahan yaitu mengenai tindakan yang

dapt dikenakan terhadap orang asing yang melakukan pelanggaran di wilayah

hukum di Indonesia dan penanganan pendetensian orang asing di rumah detensi

imigrasi di Denpasar.

2. Kerangka Teoritis dan Hipotesis

2.1 Kerangka Teoritis


5

Manajemen kegiatan penindakan keimigrasian bagi Deteni yang berada di

Rumah Detensi Imigrasi meliputi pendetensian, pengisolasian, pendeportasian,

pemulangan, pemindahan, dan fasilitasi penempatan ke negara ketiga merupakan

Tindakan Administratif Keimigrasian yang diterapkan orang asing di wilayah

Indonesia yang melakukan pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan.

Direktorat Jenderal Imigrasi menetapkan Standar Operasional Prosedur

pendetensian, pengisolasian, pendeportasian, pemulangan, pemindahan, dan

fasilitasi penempatan ke negara ketiga bagi Deteni yang berada di Rumah Detensi

Imigrasi.

Dalam Standar Operasional Prosedur diatas, pengertian Deteni adalah

Orang Asing penghuni Rumah Detensi Imigrasi yang telah mendapatkan

keputusan pendetensian dari Pejabat Imigrasi. Rumah detensi imigrasi yang

selanjutnya disebut Rudenim adalah Unit Pelaksana Teknis yang menjalankan

Fungsi Keimigrasian sebagai tempat penampungan sementara bagi orang asing

yang dikenai Tindakan Administrasi Keimigrasian.

Jika ada orang asing yang berada di Indonesia melakukan pelanggaran

hukum lebih-lebih yang membahayakan keamanan negara, maka negara Republik

Indonesia berwenang mengusir orang asing tersebut dari wilayah negara Republik

Indonesia.

Di Indonesia telah memiliki Undang-Undang No. 1 Tahun 1979, dimana

dalam pasal 1 menyebutkan :

Dalam hal ini dimaksud dengan ekstradisi adalah penyerahan oleh suatu
negara kepada negara yang meminta penyerahan seseorang yang disangka
atau dipidana karena melakukan suatu kejahatan diluar wilayah negara yang
6

menyerahkan dan didalam yuridis wilayah negara yang meminta penyerahan


tersebut, karena berwenang untuk mengadili dan memidananya.1

Dalam pasal 2 Undang-Undang No.1 tahun 1979 disebutkan:

1. Deportasi dilakukan berdasarkan perjanjian

2. Dalam hal belum ada perjanjian tersebut dalam ayat (1), maka deportasi

dapat dilakukan atas dasar hubungan baik dan jika kepentingan negara

Republik Indonesia menghendakinya2

Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa : dalam ekstradisi hak negara-

negara untuk meminta penyerahan atau menyerahan orang yang diminta sangat

terbatas sekali. Atau dengan kata lain hanyalah pelaku-pelaku kejahatan yang

memenuhi ketentuan dalam perjanjian ekstradisi sajalah yang dapat diserahkan

atau dimintakan penyerahan. Larangan untuk menyerahkan si pelaku kejahatan

lebih dirasakan lagi apabila sebelumnya tidak ada perjanjian ekstradisi antara

pihak-pihak yang bersangkutan. Sedangkan undang-undang nasionalnya melarang

penyerahan apabila sebelumnya tidak ada perjanjian ekstradisi.

Dilain pihak beradanya pelaku-pelaku kejahatan didalam wilayah negara


tersebut, mungkin sangat merugikan baik keamanan dalam negerinya
maupun hubungannya dengan negara dimana kejahatan itu dilakukan atau
negara merasa dirugikan oleh perbuatannya itu terutama yang menyangkut
kejahatan politik.3

Mengeluarkan orang asing dari wilayah suatu negara supaya dia menuju

wilayah negara lain yang dikehendakinya, hakekatnya tidak berada dengan

ekstradisi itu sendiri baik dalam pengusiran dan persona non grata pengeluaran

1
M. Budiarto, Ekstradisi Dalam Hukum Nasional. Ghaha Indonesia, 1981, hal. 31
2
Ibid
3
I Wayan Parthiana, 1987, Berapa Masalah Dalam Hukum Internasional Dan Hukum
Nasional Indonesia. Bina Cipta, Selanjutnya disebut Parthiana 1, hal.159
7

atau pengusiran seorang dari wilayah suatu negara tempatnya mereka berada

merupakan hak dari negara yang bersangkutan.

Ekstradisi sebagai suatu perjanjian formal pelaksanaannya kadang-kadang


berbenturan dengan hak-hak asasi manusia karena tatanan kehidupan
demokrasi meujunjung tinggi hak-hak asasi manusia. Sehingga menjadi
relevan ketika hak asasi dihadapkan pada kepentingan masing-masing
negara bahkan cenderung, bergantung dengan isu politik sebagai isu negara
dalam melaksanakan kebijakan politik.4

Kenyataannya universalitas dari hak asasi tidak sepenuhnya cocok bagi

semua negara dalam implimentasinya pada sistetn yang dianut oleh masing-

masing negara. Deportasi baru memenuhi alasan-alasan serta prosedur tertentu,

kalau ada suatu deportasi terhadap orang asing yang tinggal di Indonesia ini harus

mendapat ijin dari Menteri Kehakiman dan deportasi ini selalu memberi konotasi

yang negatif, sebab deportasi dapat diartikan pengusiran. Deportasi hanya

diterapkan terhadap orang asing.

Menurut Parthiana, deportasi itu berarti hak suatu negara untuk mengusir

orang asing yang berada dalam wilayahnya jadi deportasi disini dikenal dengan

pengusiran.4

Menurut J.G. Starka : Deportasi itu harus dijalankan dengan cara yang

masuk akal dan tanpa merugikan orang asing tersebut.5

Salah satu kebijaksanaan pemerintah yang pada saat sekarang masih

berlaku adalah diijinkannya orang asing yang berkunjung ke Indonesia untuk

melakukan kunjungan usaha dibidang perekonomian atau jasa, sesuai dengan

yang ditetapkan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara. Berdasarkan pasal 13

4
Parthiana, N, Op.Cit., hal. 141
5
J.G. Starka. 1984, Pengantar Hukum Internasional 2. Edisi Kesembilan. Jakarta,
Akasada Indonesia. hal.34.
8

Perjanjian Internasional tentang hak sipil dan politik 1966 menetapkan bahwa :

seorang asing diwilayah seluruh negara terhadap perjanjian itu dapat dilinsir

hanya berdasarkan suatu keputusan yang dicapai oleh hukum.

Terkait dengan menghormati, melindungi dan menegakan HAM kepada

warga negara dari negara lain yang berada di wilayah Indonesia, baik mereka

yang berada secara legal ataupun ilegal, maka akan dikemukakan pengertian

HAM. Secara harafiah hak asasi manusia berarti hak-hak yang dimilili seseorang

karena ia adalah seorang manusia. Hak asasi manusia didefinisikan sebagai hak-

hak moral umum yang menyangkut sesuatu yang fundamental, penting, dan

dipunyai oleh semua manusia, tanpa syarat dan tidak dapat diganggu gugat.

2.2 Hipotesa

Adapun jawaban sementara terhadap kedua permasalahan di atas, dapat

dirumuskan sebagai berikut :

1) Tindakan hukum yang dapat dikenakan terhadap orang asing yang

melakukan pelanggaran di wilayah hukum Indonesia meliputi

pendetensian, pengisolasian, pendeportasian, pemulangan, pemindahan,

dan fasilitasi penempatan ke negara ketiga sesuai ketentuan peraturan

perundang-undangan.

2) Penanganan pendetensian orang asing di rumah detensi imigrasi di

Denpasar meliputi pendetensian di dalam rumah detensi imigrasi dan

pendetensian luar jika ada deteni yang harus dirawat inap d rumah sakit.

3. Tujuan Penulisan
9

3.1 Tujuan Umum

1) Untuk memberikan pengetahuan dan wawasan kepada masyarakat

tentang tindakan hokum yang dapat dikenakan terhadap orang asing

yang melakukan pelanggaran di wilayah hokum Indonesia.

2) Untuk memberikan pengetahuan dan wawasan kepada masyarakat

tentang penanganan pendetensian orang asing di rumah detensi

imigrasi Denpasar.

3.2 Tujuan Khusus

1) Untuk mengetahui tindakan yang dapat dikenakan terhadap orang

asing yang melakukan pelanggaran di wilayah hukum di Indonesia.

2) Untuk mengetahui penanganan pendetensian orang asing di rumah

detensi imigrasi di Denpasar.

4. Metode Penulisan

4.1 Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

pendekatan yuridis normatif yang dilakukan dengan cara meneliti bahan

pustaka, peraturan perundang-undangan dan pendapat para Sarjana

hukum terkemuka. Serta pendekatan empirik yaitu dengan cara melakukan

penelitian pada suatu tempat dengan mengamati beberapa kasus yang ada.

4.2 Sumber data

Data sebagai acuan penulisan skripsi ini diperoleh melalui :


10

1) Penelitian kepustakaan ( Library Research ) yaitu data yang diperoleh

dari buku-buku literatur dan bahan bacaan lain yang ada hubungannya

dengan rumah detensi imigrasi. Misalnya: Undang-Undang Nomor 6

Tahun 2011 Tentang Keimigrasian Departemen Kehakiman RI,

Peraturan Pemerintah RI Nomor : 31 Tahun 2013 tentang Peraturan

Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang

Keimigrasian dan Peraturan Direktur Jendral Imigrasi Nomor :

IMI.1917-0T.02.01 Tahun 2013 tentang Standar Operasional Prosedur

Rumah Detensi Imigrasi.

2) Penelitian lapangan ( Field Research ) yaitu memperoleh data yang

diperlukan dari lapangan yang berkaitan dengan proses penanganan

tempat kejadian perkara. Dalam hal ini data diperoleh di Kantor

Imigrasi Denpasar dan Pengadilan Negeri Denpasar.

4.3 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan

yaitu pengumpulan data yang didapat dari kepustakaan berupa peraturan

perundang-undangan dikumpulkan dengan melakukan penelusuran atau

penemuan melalui daftar petunjuk peraturan perundang-undangan. Serta

langsung kelapangan melakukan interview dengan mengajukan beberapa

pertanyaan secara lisan terhadap beberapa informan yang merupakan

pejabat struktural di rumah detensi imigrasi Denpasar yaitu Bapak Ferry

Khrisdiyanto,SH selaku Kepala Seksi Keamanan dan Ketertiban di rumah


11

detensi imigrasi Denpasar dan Bapak I Made Widiantara,SH selaku

Kepala Seksi Registrasi di rumah detensi imigrasi Denpasar.

4.4 Teknik Pengolahan dan Analisa Data

Setelah data dapat dikumpulkan, kemudian diolah dengan teknik

pengolahan secara kualitatif, yaitu dengan membandingkan data yang

diperoleh di lapangan dengan data kepustakaan. Selanjutnya dari hasil

pengolahan data ini disajikan dengan deskriptif analisis, yaitu dengan

penggabungan data-data yang diperoleh penulis, kemudian disusun secara

sistematis, setelah data dianalisa maka diperoleh suatu kesimpulan umum

yang berhubungan dengan permasalahan dalam penulisan skripsi ini.


1212

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG DEPORTASl DAN RUMAH DETENSI

1. Pengertian Deportasi

Sebelum penulis menguraikan tentang pengertian deportasi terlebih dahulu

penulis hendak menguraikan sekilas tentang pengertian imigrasi, karena masalah

deportasi adalah salah satu urusan keimigrasian. Keimigrasian di Indonesia diatur

dalam Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang

Keimigrasian.

Kata imigrasi terdiri dari dua suku kata, yaitu in yang artinya dalam,

migrasi yang artinya pindah, datang, atau boyong. Jadi secara lengkap arti

imigrasi adalah pemboyongan orang-orang masuk kesuatu negeri.

Difinisi Imigrasi dalam bahasa Inggris dapat dirumuskan sebagai berikut:

Immigration is the intrance into an alien country of person intending to take


part in the life of the that country and to make it their more or less
permanent residence. Artinya lebih kurang sebagai berikut :
Imigrasi adalah pemasukan kesuatu negara asing dan orang-orang yang
bemiat untuk menumpang hidup atau mencari nafkah dan sedikil alau
banyak menjadikan negara itu untuk tempat mereka berdiam atau menetap.

Sedangkan dalam pasal 1 angka 1 Undang-Undang Keimigrasian adalah

hal ihkwal lalu lintas orang yang masuk atau keluar wilayah Indonesia serta

pengawasannya dalam rangka menjaga tegaknya kedaulatan negara.6

Berkaitan dengan masalah Keimigrasian, dikenal adanya Tindakan

Keimigrasian. Adapun yang dimaksud dengan Tindakan Keimigrasian dalam

Undang-Undang keimigrasian adalah tindakan administrasi dalam bidang

6
Ibid, hal.57.
13

keimigrasian diluar proses peradilan. Tindakan keimigrasian ini ada empat macam

yaitu :

a. Pembatasan, perubahan atau pembatalan izin keberadaan.

b. Larangan untuk berada disatu atau beberapa tempat tertentu diwilayah

Indonesia,

c. Keharusan untuk bertempat tinggal disuatu tempat tertentu di wilayah

Indonesia

d. Pengusiran atau deporlasi dari wilayah Indonesia atau penolakan

masuk kewilayah Indonesia.

Sehubungan dengan masalah keimigrasian, maka deportasi merupakan

salah satu Tindakan Keimigrasian yang dapat diterapkan terhadap orang asing

yang berada di wilayah Indonesia.7

Banyak negara dalam mengatasi masalah yang berkaitan dengan

keberadaan orang asing di dalam wilayah negaranya berhubugan dengan negara

lain, dimana hubungan yang dimaksud dituangkan ke dalam suatu perjanjian

Internasional.

Sementara itu Sri Setianingsih Suwardi, mengatakan bahwa kedudukan

perjanjian itu penting mengingat beberapa hal :

1) Perjanjian Internasional lebih menjamin kepastian hukum.

2) Perjanjian Internasional mengatur masalah bersama yang penting dalam

hubungan antar subyek hukum Internasional.8

7
Ibid, hal.89-90
8
Sri Setianingsih. 1986, Intisari Hukum Internasional Publik. Bandung, Alumni,
hal. 17-18.
14

Dengan demikian perjanjian Internasional dapat dianggap sebagai yang


terpenting apabila melihat kenyataan bahwa semakin banyak persoalan-
persoalan dewasa ini yang diatur dengan perjanjian antara negara-negara
termasuk pula masalah yang tadinya diatur oleh hukum kebiasaan
Internasional.9

Dari berbagai bentuk perjanjian Internasional dikenal perjanjian tentang


ekstradisi. Apakah yang dimaksud ekstradisi ? Ditinjau dari asal katanya
istilah ekstradisi berasal dan bahasa Latin Extradere. Ex berarti ke luar,
sedangkan tradere berarti memberikan, jadi ekstraditio berati penyerahan.
permintaan dari negara tersebut dengan tujuan untuk mengadili atau
melaksanakan hukumannya.10

Jadi ekstradisi sebenamya pertama-tama merupakan masalah antar negara

dan pengantamya terdapat dalam hukum Internasional, khususnya dalam bentuk

perjanjian internasional. Disamping itu, dalam batas-batas tertentu ekstradisi juga

merupakan masalah domestik negara-negara dan lahir dalam hukum nasional

khususnya dalam bentuk peraturan perundang-undangan.

Ada kalanya kehadiran orang asing di dalam negeri suatu negara tidak

dikehendaki oleh negara yang bersangkutan. Dalam hal tertentu negara tersebut

dapat melakukan pengusiran. Pengusiran (Deportasi, Expulsion) diartikan sebagai

ekstrdisi terselubung.

Dalam keputusan internasional tidak diketemukan formulasi definitive dari

deportasi. Demikian juga dalam Perundang-undangan di Indonesia yang secara

khusus membahas prihal deportasi tidak ditemukan. Walaupun demikian deportasi

atau pengusiran dapat ditemukan dalam perundang-undangan lainnya, Undang-

undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian yang menyatakan Pengusiran

9
Mochtar Kusumaatmaja. 1978, Pengantar Hukum Internasional. Jakarta, Buku I
Bagian Umum, Cet. Ke-2, Bina Cipta. hal. 109.
10
Parthiana, II, Op.Cit., hal.l 5.
15

atau deportasi adalah : tindakan mengeluarkan orang asing dari wilayah Indonesia

karena keberadaanya tidak dihendaki.

Dalam kamus, deportasi diartikan sebagai pembuangan (orang) atau

pcngusiran keluar negeri sebagai suatu, hukuman atau karena ia tidak berhak

tinggal disana.11

Kamus Inggris - Indonesia oleh John M. Echols dan Hassan Shadily,

deportasi diartikan sebagai pengusiran.

Indonesia sebagai suatu negara merdeka dan berdaulat berhak melakukan

pengusiran terhadap orang asing yang kehadirannya tidak dikehendaki.

2. Ketentuan Hukum Deportasi

Ketentuan Hukum yang mengatur dalam pengawasan orang asing dan

tindakan keimigrasian diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah, yaitu

Peraturan Pemerintah No. 32/1954 tentang Pendaftaran orang asing dan Peraturan

Pemerintah No. 45/1954 Tentang Pelaksanaan Pengawasan terhadap orang asing.

Kedua peraturan ini merupakan peraturan pelaksanaan Undang-Undang

No.9/drt/1953 tentang pengawasan orang asing, yang dinyatakan tidak berlaku

lagi oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. Namun

berdasarkan pasal 66 Undang-Undang Keimigrasian 2011, kedua PP ini masih

tetap berlaku. Bunyi dari PP No.32/1954 yaitu :

Untuk mengetahui keberadaan orang asing di Indonesia perlu pula diketahui


adalah jumlah mereka, pekerjaannya dan status mereka, oleh karena itu
perlu diadakan pendaftaran guna mengetahui keberadaan mereka di
Indonesia apakah sah atau tidak.
11
W.J.S. Poerwadarminto. 1976, KUH Diolah Kembali Oleh Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa Dep. P & K. Jakarta, Balai Pustaka. hal.243.
16

PP No.54 Tahun 1954 berbunyi :

Dalam rangka pengawasan orang asing, Menteri Kehakiman dibantu oleh


Kepolisian Negara dan Lembaga-Lembaga lain baik sipil maupun Militer
yang mempunyai tugas yang berkaitan dengan orang asing, dimana Menteri
Kehakiman juga dibantu oleh Biro Pengawasan Orang Asing.

3. Syarat-syarat Deportasi

Negara Indonesia adalah negara hukum, hal ini menimbulkan konsekuensi

terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan masalah negara harus dilaksanakan

berdasarkan pada norma-norma hukum yang berlaku. Mengenai Undang-undang

yang mengatur tentang deportasi secara khusus tidak ada, akan tetapi ketentuan-

ketentuannya dapat dijumpai dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011

tentang Keimigrasian.

Setiap negara yang merdeka memiliki kedaulatan baik kedalam maupun


keluar. Dengan demikian maka pada umumnya setiap negara mempunyai
kewenangan eksklusive terhadap orang dan benda yang ada atas wilayah
negara. Hanya saja kewenangan itu tidaklah mutlak dalam arti pembatasan-
pembatasan dalam hukum Internasional. Demikian juga Indonesia memiliki
kewenangan yang sekaligus merupakan atribut dari kedaulatan negara kita
sebagai suatu negara yang merdeka, dapat menata administrasi orang asing
yang berada dilingkungan wilayah hukum negara Republik Indonesia.12

Indonesia sebagai negara merdeka memiliki kedaulatan ke dalam maupun

ke luar.

Menurut Edy Suryono suatu negara berdaulat keluar sebagai negara

berdaulat keluar adalah:

1. Berhak mengirim (menetapkan) wakil (duta) ke (di) lain negara (aktif) dan
menerima wakil-wakil (duta) dari negara lain (pasif).
2. Membuat perjanjian-perjanjian dengan negara lain.

Oka Matria. 1978, "Selintas Tentang Perlakuan Terhadap Orang Asing di Indonesia".
12

Kertha Patrika. No 12, Tahun IV, Desember hal.6.


17

3. Menyatakan dan membuat perang serta membuat perdamaian dengan


negara-negara lain.13

Menurut sejarah asal kata kedaulatan, kata ini yang dalam bahasa

Inggrisnya dikenal dengan istilah "souvereignity" berasal dari kata lain, superanus

sopereign karena kedaulatan merupakan suatu sifat hakiki dari pada negara.14

Kedaulatan atau souvereignity adalah ciri atau atribut hukum dari suatu
negara. Hal ini berarti kalau negara tersebut berdaulat, maka negara tersebut
memiliki hak atau kewenangan menegakkan hukum kedalam dan keluar.
Sedangkan suatu negara sebagai negara hukum, apabila negara tersebut
memenuhi sejumlah persyaratan. Pertama dalam suatu negara hukum ada
pembatasan kekuasaan negara berdasarkan hukum. Negara tidak dapat
berbuat sewenang-wenang terhadap warganya itu, karena dibatasi oleh
hukum. 15

Padmo Wahyono, mengemukakan bahwa satu negara hukum hendaknya

memuat ciri-ciri:

1. Adanya suatu pola untuk menghormati dan melindungi hak-hak manusia,


2. Adanya suatu mekanisme kelembagaan negara yang demokratis.
3. Adanya satu sistem tertib hukum.
4. Adanya kekuasaan Kehakiman yang bebas 16
Sebagaimana dikatakan bahwa memperlakukan orang asing (treatment of

aliens) dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia menjadi wewenang

Negara Indonesia. Hal ini jelas nampak pada konsideran Undang-Undang Nomor

6 Tahun 2011 bagian menimbang point (a) sebagai berikut:

Bahwa pengaturan keimigrasian yang meliputi lalu lintas orang masuk

atau keluar wilayah Indonesia merupakan hak dan wewenang Negara Repubiik

13
Edy Suryono. 1984, Praktek Rafikasi Perjanjian Intemasinal di Indonesia. Bandung,
Cet I Remaja Karya. hal.l.
14
Mochtar Kusumaatmaja, Op.Cit.. hal.l 5.
15
Komiatmanto Soetoprawiro, "Tentang llmu Hukum administrasi Menghadapi
Perkembangan Konsep Negara Hukum di Indonesia, Pro Justitia". Tahun X, No.4, Oktober 1992,
hal.5.
16
Samsul Wahidin. 1984, Hak Mengun Materiil Menurut Undang-Undang Dasar
1945. Jakarta, Cendana Press. hal.2-3
18

Indonesia serta merupakan salah satu perwujudan dari kedaulatannya sebagai

negara hukum yang berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945.

Keluar masuknya orang asing dalam wilayah negara Repubiik Indonesia

membawa dampak terhadap pembangunan Bangsa Indonesia. Menguntungkan

negara merupakan dampak yang positif seperti penanaman modal asing,

keuntungan di bidang pariwisata, dan lain-lain. Tapi dilain sisi dampak negatif

yang ditimbulkan oleh lain lintas diatas telah memaksa negara Repubiik Indonesia

untuk melakukan upaya hukum "deportasi", untuk menjaga kedaulatan negara,

sesuai dengan hukum internasional. Apakah tindakan deportasi berarti

pelanggaran terhadap hukum Internasional?

L.Oppenheim mengatakan "setiap negara berhak untuk mengusir orang

asing dari seluruh atau sebagian wilayahnya dan hak ini sudah diakui secara

umum. Dasarnya karena negara itu memiliki kedaulatan"17

Kerangka berpikir diatas kemudian diharapkan kepada syarat-syarat

bilamana dapat dlakukannya deportasi terhadap orang asing. Namun mengingat

pengusiran tersebut semata-mata berdasarkan kepentingan negara itu sendiri, jadi

tidak ada sangkut pautnya dengan negara asal atau negara. semula dia datang.

Artinya tergantung dari sudut pandang masing-masing negara. Apakah negara itu

merasa ada ancaman dari orang-orang tertentu yang karenanya diambil tindakan

deportasi.

Ini berarti persyaratan untuk dapat dideportasinya orang asing berada

dalam wilayah satu negara bertendensi politik.

17
Ibid, hal.141.
19

Parthiana, mengatakan, tindakan pengusiran diambil oleh karena

beradanya orang asing dalam wilayah negara tersebut membahayakan dan

merugikan negara itu sendiri.18

Dengan demikian orang asing tersebut dapat dideportasi manakala

membahayakan dan merugikan kepentingan keamanan negara kita. Sedangkan

unsur-unsur atau kriteria dari arti "membahayakan dan merugikan" tidak

dijelaskan. Ini sudah barang tentu kurang menjamin kepastian hukum. Tetapi

biasanya pcnafsirannya diserahkan kepada pemerintah sesuai dengan political

will-nya untuk menjamin elastisitas serta efektifitas dalam pergaulan

Internasional.

Dalam pasal 78 Undang-undang Nomor 6 Tahun 2011, tentang

Keimigrasian secara yuridis telah ditegaskan alasan untuk dapat dideportasinya

orang asing diwilayah Indonesia sebagai berikut : Orang asing pemegang Izin

Tinggal yang telah berakhir masa berlakunya dan masih berada dalam Wilayah

Indonesia lebih dari 60 (enam puluh) hari dari batas waktu Izinn Tinggal dikenai

Tindakan Administratif Keimigrasian berupa Deportasi dan Penangkalan.

Namun demikian pada umumnya alasan-alasan yang dipakai oleh negara

untuk mengusir orang asing dari wilayahnya dikemukakan oleh O. Connel sebagai

berikut:

1. Karena melakukan tindakan yang membahayakan keamanan umum.


2. Karena tidak dapat lagi membiayai hidupnya.
3. Karena menderita penyakit menular.
4. Karena melakukan kejahatan sehubungan dengan pelacuran.
5. Karena alasan-alasan politik, misalnya mengadakan kegiatan spionase atau
kegiatan politik lainnya.
6. Karena tindakan melawan hukum setempat.
18
Parthiana II, Op.Cit.. hal. 144
20

7. Karena menghina bendera yang bersangkutan. 19

4. Tujuan Deportasi

Dalam rangka meningkatkan pembangunan Nasional di segala bidang, peran

lembaga atau instansi sangat diharapkan. Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945,

menyalakan Indonesia ndalnh negara hukum bukan negara kekuasaan.

Yang dimaksud dengan negara hukum adalah negara yang berdiri diatas

segalanya yang menjamin keadilan kepada warga negaranya.20

Negara Repuhlik Indonesia memiliki tanggungjawab yang besar untuk

mewujudkan tujuan nasional Indonesia sebagaimana tertuang dalam pembukaan

UUD 1945 yaitu :

1. Melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah

Indonesia. .

2. Memajukan kesejahteraan umum.

3. Mencerdaskan kehidupan bangsa,

4. Ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan

perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Tujuan nasional bangsa Indonesia ini secara relatif searah dengan tujuan
PBB. Pasal 1 ayat 1 piagam PBB menegaskan tujuan PBB yakni memelihara
keamanan dan perdamaian Internasional, dengan mengambil langkah-
langkah bersifat: kolektif untuk mencegah dan mengukur ancaman
terhadap perdamaian dan pembrantasan tindakan-tindakan yang berupa
agresi maupun tindakan-tindakan lain yang mengancam perdamaian sesuai
dengan Prinsip-prinsip Keadilan dan hukum Internasional.21

19
Setianingsih Swardi. 1977, Suatu Peninjauan Terhadap Masalah Deportasi Dari
Segi Hukum Intemasional. Jakarta, Hukum dan Pembangunan. UI. hal.85.
20
Moh Kusnardi, Harmaily Ibrahim. 1976, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia.
Pusat study Hukum Tata Negara, Fak Hukum UI, dan CV. SinarBakti, hal. 1 53.
21
I Wayan Parthiana, "Hukum Pariwisata Internasional : Sebudi Bidang Hukum
Internasional Yang Baru", Tahun X, No.4, Oktober 1992, hal.22
21

Searah dengan perkembangan dunia seperti sekarang ini, maka

keterbukaan, globalisasi telah menjadi tema sehari-hari baik dalam media masa

maupun elektronik Istilah ini semakin santer dengan didukung oleh era

informatika dan komunikasi yang sedemikian derasnya menggejala, Maka bangsa

Indonesia sebagai bangsa yang merdeka tidak dapat berdiri sendiri. Indonesia juga

terlibat dan melibatkan diri dalam percaturan politik, ekonomi dan sosial budaya.

Searah dengan itu tidak dapat dipungkiri oleh negara-negara didunia bahwa

kejahatanpun semakin meningkat intensitasnya diiringi oleh kwalitas yang jauh

lebih canggih dari sebelumnya sehingga orang-orang dengan leluasa dan cepat

dapat masuk kenegara lain termasuk negara Indonesia. Maka pihak Imigrasipun

mengambil sikap tegas terhadap mereka yang melakukan pelanggaran.

Pada media masa banyak dilihat orang asing telah dideportasi oleh pihak

imigrasi karena Undang-undang menjadikan bahwa deportasi itu adalah salah satu

tindakan keimigrasian yang dilakukan oleh pemerintah terhadap orang asing yang

berada diwilayah Indonesia yang melakukan kegiatan yang berbahaya bagi

keamanan dan ketertiban umum atau tidak menghormati atau mentaati peraturan

perundang - undangan yang berlaku.

Indonesia sedang giat-giatnya membangun, konsep-konsep dasar tinggal

landas dan sedang disusun baik oleh suprastruktur politik.

Pada masa peralihan dan transisi akan terjadi perubahan yang

mempengaruhi keharmonisan dalam kehidupan masyarakat bangsa Indonesia


22

yang majemuk. Akan berlangsung pencarian dan proses-proses keseimbangan

baru.22

5. Rumah Detensi Imigrasi

Istilah Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) tidak dikenal dalam Undang-

Undang Nomor 9 “I'ahun 1992 tentang Keimigrasian. Dalam undang-undang

tersebut dikenal dengan istilah Karantina Imigrasi yang dimungkinkan untuk

dibentuk pada setiap kantor Imigrasi sebagaimana diatur dalam Pasal 32 Ayat (r)

Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1994 tentang Pengawasan Orang Asing

dan Tindakan Keimigrasian.

Dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian,

Kantor Imigrasi dan Rudenim merupakan unit pelaksana teknis yang beradadi

Direktorat Jenderal Imigrasi. Penegasan kedudukan dan istilah Rudenim dalam

undang-undang keimigrasian merupakan payung hukum bagi tugas dan fungsi

serta keberadaan Rudenim saat ini.

Meskipun undang-undang keimigrasian sudah diundangkan, namun

sampai dengan saat ini, kedudukan, tugas, dan fungsi Rudenim masih mengikuti

kepada Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor M.01.PR.07.04 Tahun 2004

dan Nomor: M.HH-11.OT.01. Tahun 2009 tentang Organisasi dan Tata Kerja

Rumah Uetensi Imigrasi, sebagai berikut:

5.1 Kedudukan, Tugas Dan Fungsi Rumah Detensi Imigrasi

22
Rie, "Indonesia Butuh Lebih Banyak Politisi Berwawasan Luas", Kompas. Kamis 5
Nopember 1992,hal.IV.
23

Rumah detensi imigrasi adalah unit pelaksana teknis yang menjalankan

Fungsi Keimigrasian sebagai tempat penampungan sementara bagi orang

asing yang dikenai tindakan administratif keimigrasian.

Rumah detensi imigrasi mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas

pokok Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia di

bidang pendetensian orang asing yang melanggar peraturan perundang-

undangan yang dikenakan tindakan keimigrasian yang telah mendapatkan

keputusan pendetensian dalam rangka pemulangan atau deportasi.

Rumah Detensi Imigrasi menyelenggarakan fungsi :

1. Pelaksanaan tugas pendetensian, pengisolasian, dan pendeportasian;

2. Pelaksanaan tugas pemulangan dan pengusulan penangkalan;

3. Pelaksanaan fasilitasi penempatan orang asing ke negara ke tiga; dan

4. Pelaksanaan pengelolaan tata usaha.

5.2 Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) di Indonesia

1. Rudenim Pusat Tanjung Pinang

2. Rudenim Medan

3. Rudenim Pekanbaru

4. Rudenim Jakarta

5. Rudenim Semarang

6. Rudenim Surabaya

7. Rudenim Denpasar

8. Rudenim Kupang
24

9. Rudenim Jayapura

10. Rudenim Makassar

11. Rudenim Manado

12. Rudenim Balikpapan

13. Rudenim Pontianak.

5.3 Pedoman Petugas Rudenim Dalam Penanganan Deteni

1. Pendetensian

a. Persiapan Penempatan Deteni

Pada proses persiapan kpenempatan detemi, maka petugas Rudenim :

1) Menjamin bahwa setiap deteni yang baru masuk Rudenim h arus

disertai dengan surat keputusan tindakan keimigrasian dari kantor

imigrasi, berita acara pemeriksaan dan berita acara pendapat dan

laporan serah terima pendetensian dari kantor imigrasi yang

bersangkutan

2) Memastikan keaslian dokumen-dokumen deteni dari Kantor

Imigrasi pengirim;

3) Melakukan verifikasi terhadap legalitas dokumen-dokumen

pendetensian.

4) Memberitahukan kepada deteni mengenai alasan pendetensian.

b. Proses Penempatan Deteni


25

Pada proses penempatan deteni, maka petugas Rudenim:

1) Melakukan registrasi dan pengambilan foto dan sidik jari setiap

deteni;

2) Melakukan wawancara untuk mengumpulkan data pribadi deteni;

3) Memastikan bahwa setiap deteni mengethaui alasan

pendetensiannya

4) Menyiapkan juru bahasa apabila deteni tidak dapat berkomunikasi

dengan baik

5) Mengupayakan bantuan konselor atau psikolog yang dapat

membantu dalam menyampaikan pesan kepada deteni;

6) Memberitahukan deteni mengenai hakhak dan kewajibannya;

7) Mengijinkan deteni membawa barangbarang milik pribadi yang

tidak menimbulkan resiko keamanan untuk keperluan sehari-hari;

8) Mengijinkan deteni untuk menyimpan di Rudenim baranb barang

milik pribadi yang tidak menimbulkan resiko keamanan;

9) Memastikan bahwa barang-barang milik deteni akan dikembalikan

setelah deteni dilepaskan atau dipindahkan dari Rudenim;

10) Memberikan orientasi bagi deteni baru dan informasi mengenai

kegiatan seharihari;

11) Menghubungi perwakilan negara deteni, guna memberitahu

mengenai pendetensian deteni;

12) Menghubungi United Nation High Commissioner for Refugers

(UNHCR)/Komisaris Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk


26

Urusan Pengungsi, dan International Organization for Myration

(IOM) apabila deteni sedang mencari suaka;

13) Memherikan akses kepada staf konsuler dan memastikan

kunjungan pejabat konsuler setelah mendapat ijin dari Direktur

Jenderal Imigrasi;

14) Membuat surat perintah pendetensian;

15) Mencegah pelarian deteni, memelihara, mengawasi, dan menjaga

terselenggaranya keamanan deteni;

16) Melaporkan segera kepada Direktur Jenderal Imigrasi melalui

Direktur Penyidikan dan Penindakan Keimigrasian.

c. Pemeriksaan Kesehatan Deteni

Pada proses pemeriksaan kesehatan deteni, maka petugas Rudenim:

1) Memfasilitasi untuk melakukan pemeriksaan kesehatan oleh

dokter guna menentukan status kesehatannya;

2) Memberikan akses untuk mendapat perawatan kesehatan di rumah

sakit yang dapat menangani penyakit deteni berdasarkan rujukan

petugas medis;

3) Memfasilitasi deteni wanita untuk melakukan tes kehamilan secara

berkala;

4) Memfasilitasi pendetensian alternatif bagi deteni wanita hamil;

5) Melakukan penanganan keschatan para deteni yang mengalami

kondisi kritis yang membutuhkan penanganan segera atau penyakit


27

menular yang memerlukan peraw-atan herkelanjutan sampai waktu

tertentu dan dianggap aman untuk dapat kembali ke lingkungan

pendetensian;

6) Memisahkan deteni yang berpenyakit menular dengan deteni

lainnya guna tindakan pencegahan terhadap penularan penyakit

tersebut;

7) Memisahkan deteni baru yang mengalami stres berat atau depresi;

8) Memfasilitasi pemeriksakan oleh psikolog dan memantau secara

seksama apabila deteni ada niat untuk bunuh diri.

d. Identifikasi Korban Perdagangan Orang

Pada proses identifikasi korban perdagangan manusia, maka petugas

Rudenim:

1) Menjamin bahwa dalam melakukan identifikasi korban

perdagangan orang (eksploitasi seksual atau tenaga kerja) tidak

ditahan dalam set Rudenim tetapi ditempatkan dalam ruang

terpisah di dalam area Rudenim;

2) Memberitahukan pihak kepolisian tentang adanya korban

perdagangan orang guna memperoleh surat pernyataan;

3) Melindungi privasi dan identitas korban perdagangan orang,

misalnya merahasiakan proses hukum (legal proceedings) terkait

perdagangan orang;
28

4) Menghubungi International Organization for Migration (IOM),

agar IOM melakukan identifikasi dan memberikan rujukan ke

dinas/organisasi yang memiliki peran atau tugas dalam

memberikan dukungan berupa (i) tempat tinggal yang layak, (ii)

konseling dan informasi, khususnya hak dan hukum merekadengan

menggunakan bahasa yang dimengerti oleh korban, (iii) bantuan

medis, psikologi, dan materi, (iv) kesempatan kerja, pendidikan,

dan pelatihan kepada korban perdagangan orang;

5) Mendampingi korban perdagangan orang dalam proses

pemindahan dari Rudenim ke dinas/organisasi yang memberikan

layanan bantuan;

6) Menyerahkan dokumen, barang milik korban dan membantu

korban untuk menghubungi keluarganya atau kantor Perwakilan

negaranya.

2. Pengisolasian

Pengisolasian deteni dapat dilakukan dengan memisahkan dari suatu

kelompok karena deteni melakukan pelanggaran, mengidap penyakit

menular, gangguan jiwa, membahayakan orang lain dan dirinya sendiri,

maka petugas Rudenim:

a. Memisahkan deteni yang melakukan suatu pelanggaran untuk

sementara waktu agar tidak membahayakan terhadap orang lain atau

terhadap diri mereka sendiri;


29

b. Memisahkan deteni yang diindentifikasi herpenyakit menular dan

orang yang berhubungan dekat dengan deteni tersebut harus

melakukan pemeriksaan medis sebagai tindakan pencegahan;

c. Mengenakan tindakan pengisolasian bagi deteni yang melanggar tata

tertib paling lama 14 (empat belas) hari dan dapat diperpanjang

berdasarkan surat keputusan dari Kepala Rudenim.

d. Memberikan hak yang sama seperti deteni lainnya;

3. Pemindahan

Pemindahan deteni dapat dilakukau antar Rudenim atau keluar Rudenim,

maka petugas Rudenim:

a. Memberitahukan kepadadeteni mengenai alasan pemindahan ke lokasi

baru dan rencana waktu pemindahan;

b. Memherikan kesempatan kepada deteni untuk menghubungi anggota

keluarga, penasehat hukum, dan staf konsuler mengenai pemindahan

tersebut;

c. Memeriksa keschatan deteni sebelum dipindahkan ke lokasi yang baru;

d. Menyerahkan barang-barang milik pribadi deteni yang dititipkan

kepada petugas Rudenim;

e. Menolak pemindahan atau pengiriman deteni yang tidak dilengkapi

dengan berita acara pemeriksaan, berita acara pendapat dan

pemindahan yang dilakukan aparat keamanan secara langsung ke

rumah detensi imigrasi tanpa melalui Kantor Imigrasi;


30

f. Melakukan pengawalan dan pengamanan detensi sampai ke lokasi

tujuan.

4. Pemulangan atau Deportasi

Pada proses Pemulangan atau deportasi, maka petugas Rudenim:

a. Mempersiapkan dokumen deteni yang akan dideportasi;

b. Memberitahukan kepada mengenai atau deportasi;

c. Memberikan kesempatan kepada deteni untuk menghubungi anggota

keluarga, penasehat hukum, dan staf konsuler mengenai rencana

pendeportasiannya;

d. Menyerahkan dokumen atau barangdeteni yang dititipkan di Rudenim;

e. Melakukan pengawalan dan pengamanan dalam pemulangan detensi;

f. Menggunakan cara pengamanan maksimum untuk mencegah detensi

melarikan diri

5. Kondisi darurat/lrritis

Penanganan dalam kondisi darurat/krisis seperti mogok makan, terjadinya

pelecehan seksual, perkelahian atau kerusuhan, bencana alam, dan

meninggal dunia, maka petugas Rudenim:

a. Mengetahui bahwa seorang deteni yang menolak makan 72 jam adalah

tergolong melakukan aksi mogok makan;


31

b. Menghubungi dokter atau tenaga medis apabila deteni melakukan aksi

mogok makan sehingga dapat ditentukan status deteni apakah benar

melakukan mogok makan atau menderita sakit;

c. Melakukan pengawasan dan memastikan bahwa deteni dapat

memperoleh makanan walaupun mereka memilih untuk menolaknya;

d. Memberikan bantuan dan perlindungan bagi deteni korban pelecehan

seksual dengan melakukan pemisahan dari deteni lainnya dan segera

menghubungi kepolisian untuk melaporkan dugaan kejahatan tersebut;

e. Memberikan akses korban bagi pelecehan seksual untuk mendapatkan

layanan medis dan konseling;

f. Memisahkan untuk sementara waktu deteni yang melakukan

perkelahian atau kerusuhan dari deteni lainnya dapat membahayakan

orang lain atau diri mereka sendiri;

g. Membuka seluruh blok deteni apabila terjadi Bencana Alam agar dapat

dilakukan evakuasi keluar dari rumah detensi atau bangunan gedung;

h. Memberitahukan segera kepada kepolisian apabila deteni meninggal

dunia, guna mendapatkan penanganan sebagaimana mestinya;

i. Memblokir/melokalisir lokasi kejadian apabila deteni meninggal dunia

karena bunuh diri atau sebab lain;

j. Meminta surat keterangan kematian dari dokter yang melakukan visum

et repertum;
32

k. Melnberikan akses kepada pihak yang berwajib untuk melakukan

otopsi dan biaya otopsi ditanggung oleh pihak yang memerlukan hasil

otopsi;

l. Memberitahukan kepada pihak keluarga, sponsor dan perwakilan

negara deteni mengenai meninggalnya deteni;

m. Melakukan pemakaman deteni apabila pihak keluarga, sponsor atau

perwakilan negara deteni tidak mengambil mayat deteni dalam waktu

2 x 24 jam;

n. Memberikan iaporan atas keadaan kritis/darurat yang terjadi kepada

pimpinan pada kesempatan pertama.

6. Pengaduan

Apabila ada pengaduan baik dari deteni maupun dari masyarakat, maka

petugas Rudenim:

a. Menyediakan kotak pengaduan atau loket pengaduan;

b. Melakukan verifikasi mengenai kebenaran pengaduan tersebut;

c. Menindaklanjuti apabila hasil verifikasi menunjukan kebenaran dari

pengaduan tersebut.
33

BAB III

PENDEPORTASIAN TERHADAP ORANG ASING MENURUT

UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011

1. Pendeportasian Karena Melakukan Kegiatan Yang Berbahaya Atau

Patut Diduga Berbahaya Bagi Keamanan Dan Ketertiban Umum

Sebagai suatu negara yang berdaulat dan berdasarkan hukum, maka dalam

mengatur lalu lintas orang masuk atau keluar wilayah Indonesia dan kalau

beradanya orang asing di Indonesia haruslah senantiasa didasarkan pada ketentuan

hukum. Pasal I (a) UU No.62 Tahun 1958 menentukan bahwa warga negara

Republik Indonesia adalah orang-orang yang berdasarkan undang-undang dan

perjanjian-perjanjian dan atau peraturan-peraturan yang berlaku sejak Proklamasi

Kemerdekaan 17 Agustus 1945 sudah menjadi Warga Negara Republik Indonesia.

Siapa yang termasuk warga negara atau orang asing dapat ditentukan oleh

masing-masing negara bersangkutan sendiri. Dalam hal menentukan siapa-siapa

merupakan warga negara berdaulat dan mempunyai wewenang untuk itu.

Penduduk Indonesia terdiri dari orang-orang warga negara Indonesia dan orang

asing. Warga negara adalah salah satu liang adanya negara disamping kedua tiang

yang lain, itu wilayah dan Pemerintahan negara. Karena warga negara merupakan

tiang alau sokoguru negara, maka kedudukan warga negara sangatlah penting

dalam suatu negara.

Dalam UU No.3 Tahun 1946 Yongto UU No. 6 Tahun 1947 diatur

ketenluan berkenaan dengan kependudukan (mgezetensehap) ini : Penduduk

32
34

Negara Indonesia adalah tiap-tiap orang yang bertempat kedudukan dalam daerah

Indonesia selama 1 (satu) tahun berturut-turut. Masuknya orang asing ke

Indonesia harus tetap mendapat pengawasan baik oleh pemerintah, swasta dan

segenap lapisan masyarakat. Pasal 1 UU No.1 Tahun 1961 menentukan bahwa

tugas pengawasan terhadap orang-orang asing yang berada di Indonesia adalah

dilakukan oleh Menteri Kehakiman untuk membentuk badan pengawas yang akan

menyelenggarakan pengawasan.

Pengawasan terhadap orang asing ini dilakukan dalam rangka

mewujudkan prinsip selective policy (politik saringan). Pengawasan ini tidak

hanya pada saat masuk dan keluar dari wilayah Indonesia, selama mereka berada

di Wilayah Indonesia, termasuk kegiatan-kegiatannya Sebagai follow up-nya,

untuk kelancaran dan ketertiban pengawasan, pemerintah menyelenggarakan

pendaftaran orang asing yang berada di wilayah Indonesia.

Jadi pengawasan terhadap orang asing di Indonesia meliputi:

a. Masuk dan keluarnya orang asing ke dan dari wilayah Indonesia.


b. Keberadaan serta kegiatan orang asing di Wilayah Indonesia. Setiap orang
asing yang berada di wilayah Indonesia berkewajiban untuk :
1) Memberikan segala keterangan yang perlu mengenai identitas diri dan
atau keluarganya, perubahan status sipil dan kewarganegaraannya,
perubahan alamatnya.
2) Memperhatikan surat perjalanan dan dokumen keimigrasian yang
dimilikinya pada waktu diperlukan dalam rangka pengawasan.
3) Mendaftarkan diri jika berada di Indonesia lebih dari sembilan puluh
hari.23

Ketentuan mengenai pengawasan orang asing dan tindakan Keimigrasian

diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah yang kini

masih ada adalah : PP. No. 32 Tahun 1954 tentang pendaftaran orang asing dan

23
Keemiatmanto Soetoprawiro, Op.Cit. hal,89
35

PP No. 45 Tahun 1959 tentang Pelaksanaan Pengawasan Terhadap Orang Asing.

Kedua Peraturan Pelaksana UU No.9/DRT/1953 tentang pengawasan orang asing

dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011.

Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1954 dianggap perlu mengingat penting


untuk diketahui dimana saja orang asing berada di Indonesia. Selain itu pula
diketahui beberapa jumlah mereka, apa pekerjaan mereka, bagaimana status
mereka dan sebagainya. Pendaftaran ini penting pula untuk mengetahui
apakah mereka berada di Indonesia secara sah atau tidak. Adapun yang
memelihara dollar orang asing untuk seluruh Indonesia adalah Menteri
Kehakiman.24

Setiap orang asing yang berada di Indonesia diharuskan untuk mendaftarkan

diri dalam waktu satu minggu sesudah ia masuk ke Indonesia. Namun ada

sejumlah orang asing yang dibebaskan dari kewajiban mendaftarkan diri mereka

adalah :

a. Orang asing yang mendapat izin sementara di Indonesia, paling lama


untuk tiga bulan.
b. Orang tua wali dari anak-anak yang belum berumur 2 (dua) tahun.
c. Pejabat organisasi dan konsuler asing
d. Petugas organisasi Internasional yang mempunyai kedudukan yang sama
dengan pejabat diplomatik.25

Dalam uraian terdahulu juga telah disinggung bahwa terhadap orang asing

yang keberadaanya di Indonesia "membahayakan dan merugikan" Negara

Indonesia, dapat dideportasi, walaupun unsur-unsur atau karena dari arti

"membahayakan dan merugikan" tidak dijelaskan. Sangatlah sulit menemukan

dimensi zakelijk bagi persyaratan deportasi karena hal itu tergantung pada sudut

pandang masing- masing negara. Apakah negara itu merasa ada ancaman dari

orang-orang asing itu karenanya perlu diambil tindakan deportasi.

24
Koemiatmanto Soetoprawiro, Op.Cit.. hal.9
25
Ibid
36

Alasan suatu negara mengusir orang asing dari wilayahnya bergantung


kepada kepentingan nasional negara yang bersangkutan. Sebagai contoh
alasan suatu negara mengusir orang asing dari wilayahnya ialah alasan
politik. Pada tanggal 14 September 1981 pemerintah Mesir megusir Duta
Besar Rusia dan seribu (1.000) orang Pakar Rusia dari Mesir, karena
melakukan kegiatan permusuhan terhadap pemerintah Presiden Anwar
Sadat.26

Jadi hak suatu negara mengusir orang asing dari wilayahnya adalah suatu

hak yang diakui oleh hukum internasional yang hanya dibatasi oleh beberapa

prinsip dalam hukum internasional tentang perlakuan terhadap orang asing.

Adapun yang dimaksud dengan yurisdiksi teritorial adalah kekuasaan hukum

kompetensi hukum suatu negara terhadap orang, benda atau peristiwa dan

kekuasaan-kekuasaan merupakan wujud nyata dari asas dasar kedaulatan negara,

Yurisdiksi berkaitan erat dengan wilayah, walau tidak mutlak, setiap negara

mempunyai yurisdiksi terhadap kejahatan-kejahatan yang dilakukan dalam

wilayahnya karena alasan politik, ekonomis, atau alasan lain demi kepentingan

nasionalnya, hak ini tidak boleh digunakan dengan sewenang-wenang, karena

pengusiran akan mengakibatkan pertanggung jawaban Internasional.

Berdasarkan pasal 5(1) UU darurat No.9 Tahun 1953 Tentang pengawasan

Orang Asing, dinyatakan : Orang asing yang berbahaya untuk ketentraman,

kesusilaan atau kesejahteraan umum tidak mengindahkan peraturan-peraturan

yang diadakan bagi orang-orang asing berada di Indonesia, oleh Menteri

Kehakiman :

a. Dapat diharuskan untuk berdiam pada suatu tempat tertentu di Indonesia.

26
Syahmin AK, Op.Cit. hal.57.
37

b. Dapat dilarang untuk berada di beberapa tempat tertentu di Indonesia, dari

mana ia harus pergi.

c. Dapat dikeluarkan dari Indonesia, meskipun ia penduduk negara.

Kalau dilihat kenyataan dalam praktek, maka tindakan deportasi dilakukan

bagi mereka yang terbukti melakukan pelanggaran seperti overstay, masuk ke

Indonesia tanpa dokumen yang sah, atau masuk kewilayah teritorial Republik

Indonesia secara melawan hukum.

Dalam Undang-Undang Keimigrasian, tindak pidana keimigrasian diatur

dalam Bab XI tentang ketentuan Pidana, yakni pasal 113 sampai dengan pasal 136

Undang-Undang Keimigrasian. Kiranya dari ketentuan-ketentuan pasal ini dapat

lebih dimengerti atau sedikit tidaknya dapat dipahami tindakan-tindakan orang

asing yang dianggap membahayakan keamanan dan ketertiban umum, sebagai

salah satu alasan dideportasinya orang asing, berdasarkan Peraturan Perundang-

undangan yang berlaku.

Tindakan pidana keimigrasian adalah tindakan yang dilarang oleh hukum

keimigrasian dan barang siapa yang melanggamya diancam dengan sanksi pidana

yang diatur dalam peraturan sendiri.27

Adapun ketentuan-ketentuan dari pasal-pasal tindakan pidana keimigrasian

dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang antara lain :

a. Pasal 113 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011:

"setiap orang yang dengan sengaja masuk atau keluar Wilayah Indonesia

yang tidak melalui pemeriksaan oleh Pejabat Imigrasi di Tempat

27
H. Abdullah Syahnful, Op.Cit. hal. 112
38

Pemeriksaan Imigrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1)

dipidana dengan pidana penjara paling loama 1 (satu) tahun dan/atau pidana

denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Tindak pidana dalam pasal ini dapat dikwalifikasikan sebagai tindak pidana

masuk atau keluar wilayah Indonesia secara gelap (illegal exit / entry),

b. Pasal 121 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011:

"Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda

paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah):

1) Setiap orang yang dengan sengaja membuat palsu atau memalsukan Visa

dan Tanda Masuk atau Izin Tinggal dengan maksud untuk digunakan

bagi dirinya sendiri atau orang lain untuk masuk atau keluar atau berada

di Wilayah Indonesia;

2) Setiap Orang Asing yang dengan sengaja menggunakan Visa atau Tanda

Masuk atau Izin Tinggal palsu atau yang dipalsukan untuk masuk atau

keluar atau berada di Wilayah Indonesia".

Tindak pidana dalam pasal ini dapat dikwalifikasikan sebagai tindak pidana

pemalsuan atau penggunaan visa keimigrasian palsu atau yang dipalsukan.

c. Pasal 122 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011:

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling

banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah):


39

1) Setiap Orang Asing yang dengan sengaja menyalahgunakan atau

melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan

pemberian Izin Tinggal yang diberikan kepadanya;

2) Setiap orang yang menyuruh atau memberikan kesempatan kepada

Orang Asing menyalahgunakan atau melakukan kegiatan yang tidak

sesuai dengan maksud atau tujuan pemberian Izin Tinggal yang

diberikan kepadanya.

Tindak pidana dalam pasal ini dapat dikwalifikasikan sebagai tindak pidana

penyalahgunaan izin keimigrasian.

d. Pasal 123 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 :

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling

banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah):

1) Setiap orang yang dengan sengaja memberikan surat atau data palsu atau

yang dipalsukan atau keterangan tidak benar dengan maksud untuk

memperoleh Visa atau Izin Tinggal bagi dirinya sendiri atau orang lain;

2) Setiap Orang Asing yang dengan sengaja menggunakan Visa atau Izin

Tinggal sebagaimana dimaksud dalam huruf a untuk masuk dan/atau

berada di Wilayah Indonesia.

Tindak pidana dalam pasal ini dapat dikwalifikasikan sebagai tindak pidana

pemalsuan data untuk memperoleh izin keimigrasian.


40

e. Pasal 116 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011:

Setiap Orang Asing yang tidak melakukan kewajibanya sebagaimana

dimaksud dalam pasal 71 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3

(tiga) bulan atau pidana denda paling banyak Rp. 25.000.000,00 (dua puluh

lima juta rupiah)

Tindak pidana dalam pasal ini yaitu ; Tidak memenuhi kewajiban

sebagaimana dimaksud dalam pasal 71 UU Keimigrasian.

f. Pasal 124 ayat (b) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011:

"Izin Tinggalnya habis berlaku dipidana dengan pidana kurungan paling

lama 3 (tiga) bulan atau pidana denda paling banyak Rp.25.000.000,00 (dua

puluh lima juta rupiah).

Tindak pidana dalam pasal ini dapat dikwalifikasikan sebagai tindak pidana

lampau waktu (overstay) berada dalam wilayah Indonesia.

g. Pasal 125 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011:

Setiap Orang Asing yang tanpa izin berada di daerah tertentu yang telah

dinyatakan terlarang bagi Orang Asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal

48 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun

dan/atau pidana denda Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

Tindak pidana dalam pasal ini dapat dikwalifikasikan sebagai tindak pidana

pemukim gelap (Illegal Immigrant),


41

h. Pasal 124 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011:

"Setiap orang yang dengan sengaja menyembunyikan, melindungi, memberi

pemondokan atau memberikan penghidupan atau memberikan pekerjaan

kepada orang asing yang diketahui atau dapat diduga:

1) Berada di wilayah Indonesia secara tidak sah, dipidana dengan pidana

penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau pidana denda paling banyak

Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

2) Izin Tinggalnya habis berlaku, dipidana dengan pidana urungan paling

lama 3 (tiga) bulan atau pidana denda paling banyak Rp. 25.000.000,00

(dua puluh lima juta rupiah).

i. Pasal 126 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 :

"Setiap orang yang dengan sengaja :

1) Menggunakan dokumen perjalanan Republik Indonesia untuk masuk

atau keluar Wilayah Indonesia, tetapi diketahui atau patut diduga bahwa

dokumen perjalanan Republik Indonesia itu palsu atau dipalsukan,

dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda

paling banyak Rp. 500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah)

2) Menggunakan dokumen perjalanan Republik Indonesia orang lain atau

yang sudah dicabut atau dinyatakan batal untuk masuk atau keluar

Wilayah Indonesia atau menyerahkan kepada orang lain Dokumen

Perjalanan Republik Indonesia yang diberikan kepadanya atau milik

orang lain dengan maksud digunakan secara tanpa hak dipidana dengan
42

pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling banyak

Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

3) Memberikan data yang tidak sah atau keterangan yang tidak benar untuk

memperoleh dokumen perjalanan Republik Indonesia bagi dirinya sendiri

atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun

atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta

rupiah).

4) Memiliki atau menggunakan secara melawan hukum 2 (dua) atau lebih

dokumen perjalanan Republik Indonesia yang sejenis dan semuanya masih

berlaku, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan

atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta

rupiah).

j. Pasal 128 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011: :

"Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda

paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

1) Setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum mencetak,

mempunyai, menyimpan, atau memperdagangkan blanko dokumen

perjalanan Republik Indonesia atau blanko dokumen keimigrasian lainnya;

2) Setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum membuat,

mempunyai, menyimpan, atau memperdagangkan cap atau alat lain yang

digunakan untuk mengesahkan Dokumen Perjalanan Republik Indonesia

atau Dokumen Keimigrasian lainnya".


43

k. Pasal 129 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011:

Setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum untuk kepentingan

diri sendiri atau orang lain merusak, mengubah, menambah, mengurangi,

atau menghilangkan, baik sebagian maupun seluruhnya, keterangan atau cap

yang terdapat dalam Dokumen Perjalanan Republik Indonesia atau Dokumen

Keimigrasian lainnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)

tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta

rupiah).

l. Pasal 131 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 :

Setiap orang dengan sengaja tanpa hak dan melawan hukum memiliki,

menyimpan, merusak, menghilangkan, mengubah, menggandakan,

menggunakan dan atau mengkses data keimigrasian, baik secara manual

atau elektronik, untuk kepentingan diri sendiri atau orang lain dipidana

dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling

banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

m. Pasal 132 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 :

Pejabat Imigrasi atau pejabat lain yang ditunjuk yang dengan sengaja dan

melawan hukum memberikan dokumen perjalanan Republik Indonesia

dan/atau memberikan atau memperpanjang Dokumen Keimigrasian kepada

seseorang yang diketahuinya tidak berhak dipidana dengan pidana penjara

paling lama 7 (tujuh) Tahun.


44

n. Pasal 117 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 :

Pemilik atau pengurus tempat penginapan yang tidak memberikan

keterangan atau tidak memberikan data Orang Asing yang menginap di

rumah atau di tempat penginapannya setelah diminta oleh Pejabat Imigrasi

yang bertugas sebagaimana dmaksud dalam Pasal 72 ayat (2) dipidana

dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau pidana denda paling

bayak Rp. 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).

Dari pasal-pasal tersebut dapat kita katakan bahwa dari 14 pasal, terdapat

12 pasal yang tergolong kejahatan yaitu pada pasal 113, 121, 123, 116, 124, 125,

124 (b), 126, 128, 129, 131, 132, serta 2 pasal yang tergolong pelanggaran yaitu

pasal 122, 117. Sementara itu dalam KUHP, khususnya dalam pasal 27 antara

lain diatur mengenai pemalsuan paspor dan dokumen imigrasi serta penggunaan

paspor dan dokumen imigrasi yang dipalsukan.

Sesuai dengan pasal penutup Buku 1 KUHP, Pasal 103 KUHP, yang

merupakan pasal lex generalis artinya hukum atau peraturan istimewa (khusus)

mengalahkan hukum atau peraturan umum, yang menyatakan antara lain, bahwa

ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Bab I sampai Bab VII dalam Buku I

KUHP berlaku juga bagi tindak pidana menurut UU lain, keculi jikalau dalam

Undang-Undang ditentukan lain. Demikianlah diatur dalam Undang-Undang

Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, hal-hal atau tindakan-tindakan orang

asing yang dapat dikenai sangsi pidana untuk kemudian ditindak lanjuti dengan

deportasi terhadap orang asing tersebut.


45

2. Pendeportasian Karena Tidak Menghormati Atau Mentaati Peraturan

Perundang-Undangan yang berlaku

Tindakan tidak menghormati atau mentaati peraturan perundang-undangan

yang berlaku pada dasarnya tidak saja dilakukan oleh warga negara asing yang

ada di Indonesia bahkan pada hakekatnya sering pula dilakukan oleh warga

negara Indonesia sendiri, entah itu dilakukan secara sengaja ataupun tidak

sengaja.

Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang

Keimigrasian berarti Indonesia telah mempunyai dasar hukum guna mengatur

masalah keimigrasian di Indonesia, guna menindak orang asing yang tidak

menghormati atau mentaati peraturan-peraturan perundang-undangan yang

berlaku, yang lebih lanjut dapat dijadikan alasan untuk diambilnya tindakan

pendeportasian terhadap orang asing tersebut.

Pasal 8 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 menentukan bahwa setiap

orang yang masuk atau keluar wilayah Indonesia wajib memiliki dokumen

perjalanan yang sah dan masih berlaku.

Yang dimaksud dengan dokumen perjalanan adalah dokumen resmi yang

dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang dari suatu negara yang memuat

identitas pemegangnya dan berlaku untuk melakukan perjalanan antar

negara, surat perjalanan itu, kini populer dengan nama paspor.28

Selain harus memiliki dokumen perjalanan, menurut pasal 15 Undang-

Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, setiap orang (baik warga

negara Indonesia maupun orang asing baru dapat keluar wilayah Indonesia setelah
28
Habdulilah Sjahriful, Op.Cit., hal.64
46

mendapat tanda bertolak. Tanda bertolak adalah tanda tertentu yang diterakan

oleh pejabat imigrasi ditempat pemeriksaan imigrasi dalam surat perjalanan setiap

orang akan meninggalkan wilayah Indonesia.

Sesuai dengan pasal 10 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011, setiap

orang baru dapat masuk ke wilayah Indonesia setelah mendapatkan Tanda Masuk.

Tanda Masuk masuk adalah izin yang diterakan pada visa atau dokumen

perjalanan orang asing untuk memasuki wilayah Indonesia yang diberikan oleh

pejabat imigrasi, Masa berlakunya izin masuk itu disesuaikan dengan jenis visa

yang dimiliki.

Oleh karena itu, setiap orang yang masuk wilayah Indonesia wajib

memiliki visa. Visa adalah izin tertulis oleh pejabat yang berwenang pada

perwalian Republik Indonesia atau ditempat lainnya yang ditempatkan oleh

Pemerintah Republik Indonesia yang memuat persetujuan bagi orang asing untuk

masuk dan melakukan perjalanan ke wilayah Indonesia. Hal ini diatur dalam pasal

8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011, bahwa setiap orang asing yang

masuk Wilayah Indonesia wajib memiliki visa.

Berdasarkan surat keputusan Menteri Luar Negeri dan Menteri Kehakiman

No. 143 l/BU/VIII/79/007 dan No. JM/1/23 tanggal 8 Agustus 1979, ada tiga jenis

visa antara lain :

1. Visa diplomatik, diberikan kepada orang asing pemegang paspor diplomatik

yang hendak bepergian ke Indonesia dengan tugas Diplomatik.

2. Visa dinas, diberikan kepada orang asing pemegang paspor Dinas yang

hendak bepergian ke Indonesia untuk menjalankan tugas resmi dari


47

pemerintah asing yang bersangkutan atau diutus oleh Perserikatan Bangsa-

Bangsa, sedangkan tugas itu tidak bersifat diplomatik.

3. Visa Biasa ada tiga jenis yaitu :

a. Visa transit, dapat diberikan kepada orang asing yang dalam perjalanannya

perlu singgah di Indonesia untuk pindah kapal laut/terbang guna

meneruskan perjalannya. Visa ini diberikan guna dapat tinggal di

Indonesia paling lama 5 (lima) bulan dan tidak berlaku apabila

kedatangannya melebihi 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal pemberian

visa.

b. Visa kunjungan dapat diberikan kepada orang asing yang bermaksud

berkunjung ke Indonesia dengan tujuan wisata, usaha, atau kunjungan

sosial budaya, dan lainnya, bukan untuk berdiam atau berdiam sementara,

Jangka waktu untuk dapat tinggal di Indonesia paling lama 3 bulan dan

tidak berlaku lagi bagi bila kedatangannya di Indonesia melebihi 3 bulan

dan terhitung sejak tanggal pemberian visa tersebut.

c. Visa berdiam sementara, dapat diberikan kepada orang asing yang

bermaksud berdiam sementara di Indonesia dengan tujuan bekerja menurut

peraturan yang berlaku, atau untuk orang asing yang akan mengikuti

pendidikan dan latihan atau melakukan penelitian ilmiah di Indonesia

menurut peraturan yang berlaku. Jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun

dan tidak berlaku lagi apabila kedatangannya di Indonesia melebihi 3

(tiga) bulan terhitung sejak tanggal pemberian visa tersebut, Dikeculikan

dari kewajiban memiliki visa adalah :


48

a. Warga negara dari negara tertentu yang ditetapkan berdasarkan

Peraturan Presiden dengan memperlihatkan asas timbal balik dan

asas manfaat;

b. Warga negara sing pemegang Izin Tinggal yang memiliki Izin

Masuk Kembali yang masih berlaku;

c. Nakhoda, kapten pilot, atau awak yang sedang bertugas di alat

angkut;

d. Nakhoda, awak kapal, atau tenaga ahli asing di atas kapal laut atau

alat apung yang datang langsung dengan alat angkutnya untuk

beroperasi di perairan Nusantara, laut teritorial, landas kontinen,

dan/atau Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia.

Selanjutnya terdapat warga negara asing yang dikecualikan dari keharusan

memiliki visa, hal ini berdasarkan Keputusun Presiden No. 15/1983 sebagaimana

telah diubah dengan Keputusan No.36 tahun 1986 tentang kebijaksanaan

Pengembangan Kepariwisataan yang menetapkan Warga Negara, Negara tertentu

yang akan melakukan kunjungan wisata di Indonesia selama maximum 60 (enam

puluh) hari tidak perlu meminta visa terlebih dahulu kepada perwakilan Republik

Indonesia di luar negeri yang dikenal dengan BVKS (Bebas Visa Kunjungan

Singkat).

Dengan persyaratan antara lain :

1. Masa berlaku paspor minimal paling sedikit 6 (enam) bulan saat tiba di
Indonesia.
2. Memiliki tiket kapal laut atau udara untuk kembali ke negara asalnya atau
meneruskan perjalanan ke negara lain.
3. Masuk dan keluar melalui pelabuhan yang telah ditentukan yaitu :
Lapangan Udara antara lain :
49

a. Soekamo Hatta
b. Ngurah Rai
c. Polonia
d. Hang Nadim, Batam
e. Sam Ratulangi
f. Simpang Tiga, Pekanbaru
g. Tabing, Padang
h. Juanda, Surabaya
i. Supadio ,
j. Ellari
k. Sepingan
1. Pattimura
l. Franskaseipo, Biak
m. Hasanudin
n. Husein Sastra Negara
Pelabuhan Laut antara lain :
a. Tanjung Priuk
b. Belawan
c. Tanjung Perak
d. Batu Ampar
e. Tanjung Mas
f. Benoa
b. Bitung
c. Ambon
d. Tanjung Pinang
e. PadangBai
f. To ink N ibting
4. Memiliki biaya hidup selama di Indonesia,
5. Tidak termasuk dalam daftar penangkalan. 29

Sementara itu, sesuai dengan PP. No. 36 Tahun 1994 Yo. Keputusan

Menteri Kehakiman Republik Indonesia No. M.001 12 03.10 Tahun 1995 tanggal

14 Maret 1995, maka surat Perjalanan Republik Indonesia dapat dibagi antara

lain:

1. Paspor Diplomatik diberikan kepada pegawai negeri atau pejabat negara


tertentu atau warga Negara Indonesia tertentu yang akan melakukan
perjalanan ke luar wilayah Republik Indonesia untuk melakukan tugas
diplomatik.
2. Paspor Dinas diberikan kepada warga negara Indonesia yang akan
melakukan perjalanan ke luar wilayah Indonesia dalam rangka
penempatan atau perjalanan Dinas yang bukan bersifat diplomatik.
29
H. Abdullah Sjahrifui, Op.Cit., hal.70-71
50

3. Paspor biasa, diberikan kepada warga negera Indonesia yang akan


melakukan perjalanan keluar wilayah Indonesia atau yang bertempat
tinggal di luar negeri.
4. Paspor haji, diberikan kepada warga negara Indonesia yang akan
melakukan perjalanan keluar wilayah Indonesia dalam rangka menunaikan
ibadah Haji.
5. Paspor untuk orang asing, diberikan kepada orang asing yang tinggal di
wilayah Republik Indonesia yang akan melakukan perjalanan keluar
wilayah Republik Indonesia.
6. Surat Perjalanan Laksana Paspor (SPLP) untuk warga negara Indonesia
diberikan dalam keadaan tertentu di wilayah maupun wilayah RI, dapat
diberikan surat perjalanan .laksana paspor antar warga negara adalah
sebagai pengganti paspor biasa.
7. Surat Perjalanan Laksana Paspor. untuk orang asing diberikan kepada
orang asing yang berada :
a. Di wilayah Republik Indonesia yang tidak mempunyai surat perjalanan
yang sah dari negara atau negara lain dan atas kehendak sendiri keluar
wilayah Indonesa.
b. Diluar wilayah Republik Indonesia yang tidak mempunyai surat
perjalanan yang sah dari negaranya atau negara lain untuk masuk
kewilayah Republik Indonesia
8. Surat perjalanan paspor dinas, diberikan sebagai pengganti paspor Dinas
kepada warga negara Indonesia yang keluar atau masuk kembali kedalam
wilayah Republik Indonesia dalam rangka melaksanakan tugas pemerintah
yang tidak memerlukan paspor Dinas atau kehilangan paspor Dinas di luar
wilayah negara Republik Indonesia.30

Disamping itu warga negara asing yang keberadaanya di Indonesia untuk

tujuan kunjungan, kunjungan ijin terbatas, izin tinggal menetap, maka warga

negara asing tersebut harus memiliki dokumen imigrasi antara lain:

1. Dokumen izin singgah

2. Dokumen izin kunjungan

3. Dokumen izin tinggal terbatas

4. Dokumen izin tinggal tetap

Dokumen izin singgah dan dokumen izin kunjungan diterapkan pada

paspor pemiliknya. Dokumen ini tinggal terbatas adalah berupa kartu izin tinggal

30
Komiatmanto Soetoprawiro, Op.Cit., hal.78-79
51

terbatas yang diberikan warga negara asing yang relatif tinggal di Indonesia

Sedangkan dokumen ilinggal telap berupa kartu izin Tinggal Tetap (kitap) yang

diberikan kepada warga negara asing yang tinggal menetap di Indonesia.

Dari apa yang telah diuraikan diatas mengenai peraturan-peraturan atau

ketentuan-ketentuan tersebut mempunyai akibat hukum apabila ketentuan-

ketentuan tersebut dilanggar atau tidak ditaati.

Seperti pengusiran yang dilakukan terhadap warga negara Perancis yang

bemama Gael Michel Philippe Gicquiau Pemegang Paspor No. 07CF98139

dikeluarkan di Indonesia tanggal 12 Nopember 2007 berlaku sampai tanggal 23

Pebruari 2015. Pemegang Visa On Arrival V4A1248497 dikeluarkan di Polonia

tanggal 05 Juni 2011. Alamat sementara : Ruang Detensi Kantor Imigrasi Kelas I

Denpasar. Berdasarkan hal tersebut, Gael Michel Philippe Gicquiau telah overstay

melebihi 60 (enam puluh) hari dan diduga telah melanggar Pasal 78 ayat 1 jo

Pasal 75 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf f Undang-Undang No.6 Tahun

2011 tentang Keimigrasian Orang Asing pemegang Izin Tinggal yang telah

berakhir masa berlakunya dan masih berada dalam wilayah lebih dari 60 (enam

puluh) hari dari batas waktu Izin Tinggal dikenai Tindakan Administratif

Keimigrasian berupa Deportasi dan dimasukkan ke dalam daftar penangkalan dari

wilayah Indonesia.

2. Tahap-tahap Pelaksanaan Pendeportasian

2.1 Tahap Pemeriksaan Oleh Polri / Imigrasi

Sebagaimana diketahui bahwa salah satu ciri pokok dari azas negara

hukum ialah adanya jaminan perlindungan akan hak-hak asasi manusia yang
52

diatur dalam Undang-Undang. Hal ini dikaitkan dengan masalah deportasi

terhadap orang asing sebagai salah satu tindakan keimigrasian, dimana dalam

undang-undang Keimigrasian disebutkan tindakan keimigrasian itu adalah

tindakan administratif dalam bidang keimigrasian diluar proses peradilan.

Pengusiran merupakan salah satu cara yang cukup efektif bagi suatu

negara untuk megeluarkan orang asing yang berada di wilayahnya, Walaupun

pengusiran / dideportasi merupakan hak dari suatu negara yang nampaknya sangat

memberatkan individu yang bersangkutan, oleh karenanya harus tetap

dilakukan dengan mempertimbangkan dan menghormati hak-hak azasi manusia.

Proses pelaksanaan deportasi pertama-tama didahului dengan Berita Acara

Pemeriksaan kemudian dilanjutkan dengan Berita Acara Pendaftaran. Dalam

berita acara pendaftaran ini dimuat jenis pelanggaran dan tindakan apa yang

pantas dikenakan kepada yang bersangkutan dan yang banyak dikenakan adalah

tindakan pengusiran atau deportasi. Dengan demikian, langkah awal dari pada

penyelenggaraan tindakan keimigrasian/deportasi adalah diadakannya

pemeriksaan. Sehingga pejabat imigrasi yang berwenang, wajib melaksanakan

pemeriksaan atas laporan yang diterima tentang setiap pelanggaran di bidang

Keimigrasian baik dari masyarakat, mas media maupun instansi pemerintah.

Tempat pemeriksaan imigrasi adalah, pelabuhan, Bandar Udara atau tempat-


tempat lain yang ditetapkan oleh Menteri kehakiman sebagai tempat masuk
dan keluar wilayah Indonesia. Yang dimaksud dengan istilah tempar-tempat
lain dalam kalimat ini adalah seperti, perbatasan darat antara RI dan
Sarawak (Malaysia) di Hnlikog, Kabupaten Sangau, Propinsi Kalimantan
Barat.31

31
H. Abdullah Sjahrifizl, Op.Cit. hal. 69
53

Pejabat imigrasi ditempat pemeriksaan imigrasi wajib menolak orang-

orang yang dikenakan penangkalan masuk ke wilayah Indonesia. Pemerintahan

untuk melakukan "Cekal" juga dapat diminta instansi-instansi lain. Contohnya

kejahatan narkotika. Hal ini bukanlah bidang Keimigrasian tapi merupakan

tanggung jawab pihak Kepolisian dan apabila penyidikan oleh POLRI sudah

mendapat cukup bukti, dapat diajukan ke meja hijau. Selanjutnya pihak

Kepolisian dapat berhubungan dengan Keimigrasian guna melakukan tindakan

selanjutnya seperti, deportasi.

Untuk mengetahui ada tindaknya atau membuat terang suatu tindak

pidana, maka penyidik pengadilan negeri sipil tertentu dilingkungan departemen

yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pembinaan

keimigrasian (pejabat imigrasi) berwenang melakukan penyidikan. Yang

dimaksud penyidik adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari dan

mengumpulkan bukti, dan dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang

terjadi dan guna menemukan tersangkanya

Pasal 1 angka 1 F1UHAP dan pasal 2 ayat 1 PP No. 27 tahun 1983, tentang
pelaksanaan KUHAP menentukan bahwa, penyidik adalah pejabat Pohsi
Negara Republik Indonesia, yang sekurang-kurangnya berpangkat pembantu
Letnan Dua Polisi atau Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang sekurang-
kurangnya berpangkat Pengatur Muda Tk I (Gol. H/b) atau yang disamakan
dengan itu, yang diberi wewenang khusus oleh UU untuk melakukan
Penyidikan.32
Namun dalam hal ini tidak semua Pejabat Imigrasi otomatis mempunyai

wewenang untuk bertindak selaku penyidik tetapi hanya yang telah dengan

Keputusan Menteri Kehakiman sebagai penyidik pegawai negeri sipil dan masih

aktif dilingkungan Direktur Jendral Imigrasi.


32
Andi Hamzah. 1982, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta, Ghalia
Indonesia. hal.302
54

Didalam melakukan penyidikan, baik oleh POLRI maupun oleh pejabat

imigrasi senantiasa terjadi hubungan Koordinasi di dalam pelaksanaan tugasnya

antara lain :

a. Penyidik pegawai negeri sipil dalam pelaksanaan tugasnya berada


dibawah koordinasi dan pengawasan penyidik POLRI.
b. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik POLRI memberikan petunjuk
kepada penyidik pegawai negeri sipil dan memberikan bantuan
penyidikan yang diperlukan.
c. Penyidik pegawai negeri sipil melaporkan adanya tindak pidana yang
disidik kepada penyidik POLRI.
d. Penyidik pegawai negeri sipil menyerahkan hasil pcnyidikannya yang
telah selesai kepada penuntut umum, melaui penyidik POLRI.
e. Dalam hal penyidik pegawai negeri sipil menghentikan penyidikan, yang
bersangkutan segera memberitahukan kepada penyidikan POLRI dan
Penuntut Umum.33

Jadi penyidik berkewajiban untuk segera melakukan tindakan penyidikan

yang diperlukan, bilamana ia sendiri yang mengetahui atau telah menerima

laporan, baik itu datangnya dari penyidik atau tanpa disertai berita acara maupun

dari laporan/pengaduan seseorang yang melihat, mengalami menyaksikan dan

atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana.

Dalam rangka koordinasi dan pengawasan penyidik pengadilan negeri

sipil, maka diwajibkan kepada penyidik POLRI Proses penyidikannya dan bukti-

bukti yang ditemukan. Apabila penyidik pegawai negeri sipil telah mengakhiri

penyidikannya, maka segera menyampaikan laporan beserta berita acara

pemeriksaannya kepada penyidik POLRI baik dimaksudkan untuk diserahkan

kepada Penuntut Umum maupun tidak diteruskan ke Penuntut Umum.

Mengingat pentingnya kelancaran dan ketetapan jalannya proses, maka

sangat diperlukan kerja sama yang sebaik-baiknya antara penyidik POLRI dan
33
H. Abdullah Sjahriful, Op. Cit. hal. 96-97
55

penyidik pegawai negeri sipil. Dalam kegiatan pengumpulan bukti-bukti, penyidik

diberi kewenangan-kewenangan untuk melakukan tindakan-tmdakan tertentu

kepadanya, sehingga memungkinkan untuk melakukan tindakan-tindakan itu akan

disesuaikan secara kasusistis. Termasuk untuk melakukan tindakan di TKP

(Tempat Kejadian Perkara) sampai dengan tindakan-tindakan atau upaya-upaya

yang bersifat memaksa, seperti, penangkapan, penahanan, penggeledahan,

penyitaan dan pemeriksaan surat. Semaksimal mungkin, tindakan-tindakan itu

akan digunakan dalam menghadapi setiap kasus agar dapat memenuhi pembuktian

yang dipandang cukup untuk kepentingan penuntutan dan persidangan

pcrkaranya.

2.2 Tahap Persidangan Di Pengadilan

Masalah pencegahan dan penangkalan sangat erat kaitannya dengan


keimigrasian. Pencegahan adalah larangan yang bersifat sementara terhadap
orang-orang tertentu untuk keluar dari wilayah Indonesia berdasarkan alasan
tertentu. Orang-orang tertentu ini dimaksudkan bukan saja warga negara
Indonesia. Sedangkan yang diartikan sebagai penangkalan adalah, larangan
yang bersifat sementara terhadap orang-tertentu untuk masuk kewilayah
Indonesia berdasarkan alasan tertentu.34

Orang asing yang terkena penangkapan biasanya disebabkan karena

melakukan pelanggaran terhadap peraturan keimigrasian. Menurut Undang-

Undang Keimigrasian Penangkapan terhadap orang asing dilakukan karena :

1) Diketahui atau diduga terlibat dengan kegiatan sedikit kejahatan


Internasional. Yang dimaksud dengan kegiatan sindikat kejahatan.
Internasional antara lain adalah kejahatan narkotika dan terorisme.
2) Pada saat berada dinegaranya sendiri atau di negara lain bersikap
bermusuhan terhadap pemerintah Indonesia atau melakukan perbuatan
yang mencemarkan nama baik bangsa dan negara Indonesia,
3) Diduga melakukan perbuatan yang bertentangan dengan keamanan dan
ketertiban umum, kesusilaan, agama dan adat kebiasaan masyarakat
Indonesia,
34
H. Abduilah Sjahriftil, Op.Cit hal.76 dan 78
56

4) Atas permintaan suatu negara, orang asing yang berusaha menghindarkan


diri dari ancaman pidana menurut hukum yang berlaku di Indonesia.
5) Pernah diusir atau dideportasi dari wilayah Indonesia,
6) Alasan-alasan lain yang berkaitan dengan keimigrasian.

Kewajiban pejabat imigrasi dalam hal terjadi penangkalan adalan Pejabat

imigrasi di tempat pemeriksaan imigrasi wajib menolak orang-orang yang

dikenakan penangkalan masuk kewilayah Indonesia. Sedangkan dalam hal

pencegahan, pejabat imigrasi ditempat pemeriksaan imigrasi wajib menolak

orang-orang yang di kenakan pencegahan keluar wilayah Indonesia.

Yang berwenang dan bertanggung jawab melakukan pencegahan terhadap

seseorang adalah :

1) Menteri Kehakiman sepanjang menyangkut urusan yang bersifat


keimigrasian.
2) Menteri Keuangan, sepanjang menyangkut urusan piutang nagara.
3) Jaksa Agung, sepanjang menyangkut ketentuan pasal 32 hurup g UU
No. 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan RI, yaitu karena keterlibatan
seseorang dalam perkara pidana.
4) Panglima ABRI sepanjang menyangkut pemeliharaan dan penegakan
keamanan dalam mempertahankan negara.35

Sehingga dengan demikian, terhadap orang asing yang berada diwilayah

Indonesia, terlibat dalam perkara pidana ataupun urusan yang bersifat

keimigrasian serta tindakan yang menyangkut bidang pertahanan dan keamanan

negara, dilakukan pencegahan dengan meninggalkan wilayah Indonesia sebelum

mereka mempertanggung jawabkan semua tindakan tersebut berdasarkan hukum.

Jadi dapat dikatakan, pendeportasian orang asing yang melakukan tindak

pidana diwilayah Indonesia terlebih dahulu dia harus menyelesaikan urusannya

dengan badan peradilan untuk diperiksa dan diadili dimuka sidang pengadilan.

35
H. Abdullah Sjahriful, Op.Cit. hal. 79
57

2.3 Tahap Pengkarantinaan Oleh Pihak Imigrasi

Sebagaimana kita ketahui bahwa salah satu ciri pokok dari azas negara

hukum ialah adanya jaminan perlindungan akan hak-hak asasi manusia yang

diatur dalam Undang-undang.36

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah pelaksanaan deportasi

tidak bertentangan dengan hak-hak asasi manusia? Berbicara tentang hak-hak

asasi manusia, maka pikiran dan perhatian kita segera tertuju pada apa yang

terkenal dengan nama, pernyataan sejagat hak-hak asasi manusia atau Universal

declaration Of Human Rights.

Masalah hak-hak asasi manusia ada pula diatur dalam UU No. 14 Tahun

1970, yaitu tentang ketentuan-ketentuan pokok Kekuasaan Kehakiman. Dengan

demikian hak-hak asasi manusia, disamping memiliki konsep Universalitas juga

dihadapkan pada masalah sistem yang dianut masing-masing negara. Uraian ini

membawa konsekwensi bahwa tindakan sebagai pelaksanaannya telah diatur

sedemikian rupa. Disamping itu pengusiran tersebut semata-mata berdasarkan

kepentingan negara itu sendiri, jadi tidak ada sangkut pautnya dengan asal atau

negara dari mana dia semula datang.

Dari pasal 43 ayat (2) UU keimigrasian tampak bahwa hak-hak asasi

manusia tidak diabaikan. Dalam peraturan itu terdapat ketentuan bahwa bagi

orang asing yang dikenakan tindakan keimigrasian dapat mengajukan keberatan

kepada Menteri Kehakiman, berarti disini masih ada kesempatan bagi seseorang

asing untuk membela diri.

36
Edy Suryono dan Moenir Arisoendha. 1986, Hukum Diplomatik. Kekebalan dan
Keistimewaan. Bandung, Cet, I, AnKkasa. hal. 31.
58

Di Indonesia, sebelum deportasi itu dilaksanakan terlebih dahulu telah

diadakan pemeriksaan oleh pihak POLRI maupun oleh pihak Imigrasi guna

mengumpulkan bukti-bukti yang cukup yang dapat menunjukkan bahwa orang

asing tersebut telah melakukan tindakan yang melawan hukum sehingga

memungkinkan dilakukannya deportasi / pengusiran terhadapnya. Jadi dengan

kata lain bahwa deportasi itu dilakukan berdasarkan bukti yang cukup dan tidak

dilakukan secara sewenang-wenang.

Apabila pejabat POLRI / Imigrasi telah memperoleh bukti-bukti tersebut,

maka sebelum orang asing tersebut diusir atau sambil menunggu proses, maka

orang asing yang bersangkutan terlebih dahulu ditampung di tempat

penampungan sementara atau di Karantina Imigrasi. Yang dimaksud Karantina

Imigrasi adalah tempat penampungan sementara bagi orang-orang yang dikenakan

proses pengusiran atau deportasi atau tindakan keimigrasian lainnya. Karantina

Imigrasi bukanlah merupakan rumah tahanan dan juga bukan rumah penjara

(Lembaga Permasyarakatan). Orang-orang asing yang ditempatkan di Karantina

Imigasi bebas bergerak, bebas nonton TV, mendengar radio, bebas berkumpul,

bebas berolah raga, bebas bercakap-cakap, bercanda dengan sesamanya dalam

ruangan atau pada tempat yang telah disediakan. Fasilitasnya memadai dan

manusiawi, untuk setiap orang disediakan tempat tidur lengkap dengan kasur,

bantal dan spreinya, makan dan minuman bergizi disuguhkan lebih dan cukup,

bahkan anggaran lauk pauknya lebih besar dari pada yang terdapat dirumah

tahanan negara atau rumah penjara (Lembaga Permasyarakatan) tak ketinggalan

pula pemeliharaan kesehatan/medis.


59

Menurut pasal 44 Undang-undang keimigrasian, setiap orang asing yang

berada di Wilayah Indonesia dapat ditempatkan di Karantina migrasi ;

1) Apabila berada di wilayah Indonesia tanpa memiliki izin keimigrasian

yang sah, atau

2) Dalam rangka menunggu proses pengusiran atau deportasi keluar

negeri. Karena alasan tertentu orang asing sebagaimana terurai diatas

dapat ditempatkan ditempat lain. Yang dimaksud karena alasan tertentu

dalam kalimat ini adalah karena menyangkut: Anak-anak yang masih

dibawah umur Orang sakit yang memerlukan perawatan khusus

Karantina Imigrasi tidak dapat menampung Pengkarantinaan itu

dilakukan adalah berdasarkan Surat Pemerintah dari Kepala Kantor

Imigrasi kepada Pejabat Imigrasi setempat.

d. Pelaksanaan Deportasi

Sesuai dengan topik yang diangkat dalam karya ilmiah ini dapat dilihat

adanya hubungan interelasi yang erat antara kajian dari aspek yuridis dengan

aspek sosiologis. Sebagaimana telah dipahami bahwa masyarakat merupakan

tempat dimana proses hukum itu berlangsung.

Penelitian-penelitian sosiologis telah menghasilkan data untuk

membuktikan bahwa ketertiban dan ketentraman pada hakekatnya merupakan

suatu refleksi dari pada nilai-nilai sosial dan bertentangan dengan kepentingan-

kepentingan sosial. Selain itu, maka akan dapat diharapkan secara efektif apabila
60

mempunyai dasar-dasar sosial yang kuat disamping adanya suatu dukungan yang

kuat pula dari berbagai besar warga-warga masyarakat.

Penelitian sosioiogis juga telah membuktikan bahwa masyarakat tertentu


(terutama yang masih sederhana susunannya), pengendahan sosial yang
materiil lebih efektif dari pada pengendahan sosial yang formil. Hal ini
membuktikan bahwa dalam kebanyakan hal kaedah-kaedah kesusilaan lebih
melembaga dari pada kaedah-kaedah hukum atau batas antara kaedah
kesusilaan dengan kaedah hukum sangat kabur.37

Kajian sosiologis dalam masyarakat, terlebih dalam masyarakat

Internasional terbukti dengan adanya saling membutuhkan antar bangsa-bangsa di

berbagai lapangan kehidupan yang mengakibatkan timbulnya hubungan yang

tetap dan terus menerus antara bangsa-bangsa, mengakibatkan pula timbulnya

kepentingan untuk memelihara hubungan yang demikian. Karena kebutuhan antar

bangsa timbal balik sifatnya, maka kepentingan untuk memelihara dan mengatur

hubungan-hubungan yang bermanfaat yang merupakan kepentingan bersaing.

Untuk menertibkan, mengatur dan memelihara hubungan Internasional

dibutuhkan hukum untuk menjamin unsur kepastian hukum yang diperlukan

dalam setiap hubungan yang teratur, jenis hukum ini diidentifikasikan sebagai

hukum Internasional.

Adapun maksud dan tujuan diadakannya petunjuk ini adalah dimaksudkan

untuk memberikan pedoman tentang pelaksanaan keputusan Peraturan Pemerintah

RI Nomor : 31 Tahun 1994 tentang Pengawasan Orang Asing dan Tindakan

Keimigrasian. Sedangkan yang menjadi tujuan Petunjuk pelaksanaan ini adalah

bertujuan agar dapat dicapai keseragaman, efektifitas dan efisiensi dalam

pelaksanaaan tindakan keimigrasian. Bagi warga negara asing yang melakukan

37
Soejono Soekanto. 1980, Pokok-Pokok Hukum. Cet 1. CV. Rajawali hal.206.
61

pelanggaran di Indonesia, tentu secara sosiologis menyebabkan rasa tidak senang

dari pihak Indonesia secara relatif terhadapnya dapat dikenakan pendeportasian.

Pendeportasian sebagai salah satu tindakan keimigrasian sudah barang

tentu membawa akibat hukum bagi warga negara asing di Indonesia, Akibat

hukum yang dimaksud adalah suatu akibat yang ditimbulkan oleh adanya

hubungan hukum.38

Suatu hubungan memberikan hak dan kewajiban yang telah ditentukan

oleh Undang-undang, sehingga kalau dilanggar akan berakibat bahwa orang yang

melanggar itu dapat dituntut dimuka pengadilan. Seperti diketahui bahwa secara

khusus tidak ada ketentuan yang mengatur tentang deportasi. Deportasi dapat

ditemukan dalam Undang-undang keimigrasian.

Dalam konsideran UU Keimigrasian ditentukan : Bahwa pengaturan

keimigrasian yang meliputi lalu lintas orang masuk atau keluar wilayah Indonesia

merupakan hak dan wewenang Republik Indonesia merupakan hak hak dan

wewenang Republik Indonesia serta merupakan salah satu perwujudan dari

kedaulatannya sebagai negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Berdasarkan kedaulatan yang dimiliki Negara Republik Indonesia maka tindakan

keimigrasian (termasuk tindakan pendeportasian) dapat dilakukan.

Kekuasaan tertinggi dalam negara bila dihubungkan dengan deportasi

maka setiap negara pada umumnya diakui mempunyai kekuasaan untuk mengusir,

mendeportasi dan merekonduksi (memulangkan) orang-orang asing, hal ini

dianggap sebagai suatu peristiwa kedaulatan teritorial suatu negara. Akan tetapi

38
Soedjono Dirjosisworo. 1984, Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta, Cet I, CV. Rajawali.
hal. 129.
62

kekuasaan untuk mengusir dan cara pengusiran merupakan dua hal yang berbeda

Pengusiran harus dijalankan dengan cara yang masuk akal dan tanpa merugikan

orang asing itu. Pasal 13 Perjanjian Intemational tentang hak-hak sipil dan Politis

1966 menetapkan bahwa seseorang asing diwilayah sebuah pihak negara terhadap

perjanjian itu dapat diusir hanya berdasarkan suatu keputusan yang dicapai oleh

hukum dan kecuali bila alasan-alasan terpaksa demi keamanan Nasional menuntut

yang sebaliknya, harus diperbolehkan untuk mengajukan alasan-alasan yang

menentukan pengusirannnya dan untuk meminta agar perkaranya ditinjau kembali

oleh, dan agar ia diwakili dalam penuntutan itu penguasa yang berwenang atau

seseorang / beberapa orang yang secara khusus ditunjuk oleh penguasa yang

berwenang itu. Penahanan sebelum pengusiran harus dihindarkan, kecuali kalau

orang asing yang bersangkutan menolak meninggalkan negara itu atau

kemungkinan ia akan menghindarkan para petugas, Juga seorang asing tidak

boleh dideportasi kesuatu negara atau wilayah dimana pribadi atau kebebasannya

terancam oleh karena ras, agama, kebangsaan, atau pendangan politiknya, Juga ia

tidak boleh dihina tanpa alasan yang masuk akal, walaupun biasanya cara ini

dianggap sebagai suatu tindakan tidak bersahabat dan pelanggaran terhadap hak-

hak asasi manusia. Setiap pengusiran atau deportasi harus tetap dilakukan

dibawah pejabat Imigrasi dan Pelaksanaan Tindakan keimigrasian dilaporkan

kepada Direktur Jenderal Imigrasi.

Adapun proses Penerbitan Surat Keputusan Tindakan Keimigrasian berupa

Surat Kepala Kantor Imigrasi kepada Kantor Wilayah Pepartemen Kehakiman

dalam hal ini Koordjnator Urusan Keimigrasian atau Kepala Bidang Imigrasi
63

kepada Direktur Jenderal Imigrasi dalam hal ini Direktur Pengawasan dan

Penindakan Keimigrasian, dilampiri antara lain :

1. Berita acara Pemeriksaan

2. Resume

3. Lampiran-lanipiran yang diperlukan

Surat Keputusan Tindakan Keimigrasian (baik yang dikeluarkan Kantor

Imigrasi, Kantor Wilayah Departemen Kehakiman maupun Direktorat Jenderal

Imigrasi) disampaikan kepada orang asing yang dikenakan tindakan Keimigrasian

paling lama 7 (tujuh) hari terhitung dari tanggal surat Keputusan ditetapkan. Dari

uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dari pelaksanaan deportasi terhadap orang

asing di Indonesia menimbulkan akibat hukum bagi warga negara asing itu, yakni

ditangkal kedatangannya pada setiap pintu masuk ke Indonesia dari atau warga

negara asing yang bersangkutan dimaksudkan dalam daftar hitam yaitu orang

yang tidak dikehendaki.


64

BAB IV

PENANGANAN DETENI DI RUMAH DETENSI IMIGRASI DENPASAR

Deteni adalah orang asing penghuni rumah detensi imigrasi atau ruang

detensi imigrasi yang telah mendapatkan keputusan pendetensian dari Pejabat

Imigrasi. Penanganan deteni di Rudenim dalam perspektif hak asasi manusia

dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Penanganan Deteni di Rumah Detensi Imigrasi

1.1 Deteni Keluarga

Dalam penanganan deteni keluarga, maka petugas Rudenim:

a. Menempatkan satu keluarga deteni dalam suatu ruangan yang terpisah

dari deteni lainnya;

b. Memisahkan anak-anak dari orang tuanya demi kepentingan anak

tersebut, atas pertimbangan dan persetujuan kepala Rudenim;

c. Memberikan akses bagi para anggota keluarga untuk dapat saling

bertemu di Rudenim.

d. Memastikan bahwa anak-anak tidak menjadi sasaran atau korban

karena pendapat atau keyakinan orang tua dan anggota keluarganya.

1.2 Deteni Anak

Dalam penanganan deteni anak, maka petugas Rudenim:

a. Memisahkan anak-anak yang tidak didampingi orang tua atatt keluarga

dan tidak ditempatkan dalam set, tetapi dalam ruangan terpisah;

b. Menempatkan anak-anak pada blok khusus anak;

64
65

c. Memastikan bahwa semua tindakan yang menyangkut anak-anak harus

mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi anak;

d. Memantau kesejahteraan (sandang, pangan, kesehatan) anak yang

tidak didampingi orang tua atau keluarga selama berada dalam

Rudenim;

e. Menjalin hubungan dengan Dinas Sosial melalui Direktorat Jenderal

Imigrasi atau Kantor Wilayah guna memperoleh dukungan sementara

dan akomodasi hagi anak-anak yang tidak didampingi orang tua atau

keluarga;

f. Menghubungi perwakilan negara dari anak yang tidak didampingi

orang tua atau keluarga guna diupayakan suatu bantuan perlindungan

hukum;

g. Melakukan kerja sama dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan

organisasi-organisasi antar pemerintah lain yang berwenang, atau

organisasi-organisasi non-pemerintah yang bekerja sama dengan

Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk melindungi dan membantu anak

yang tidak didampingi orang tua atau keluarga dan mencari anggota

keluarga lain dari anak tersebut untuk memperoleh informasi yang

diperlukan dalam melaksanakan repatriasi dengan keluarganya;

h. Memberikan akses bagi anak-anak yang ditempatkan dalam Rudenim

dalam jangka waktu yang panjang untuk mendapatkan layanan

pendidikan non formal yang sesuai dengan usia dan tahap


66

perkembangan yang diberikan oleh Dinas Sosial, Dinas Pendidikan,

Lembaga Swadaya Masyarakt atau pihak ketiga lainnya.

1.3 Deteni Wanita

Dalam penanganan detensi wanita, maka petugas Rudenim:

a. Memisahkan akomodasi dan layanan kepada deteni wanita dari deteni

pria guna menjamin kenyamanan pribadi dan perlindungan;

b. Memberikan akses layanan kesehatan di luar Rudenim, termasuk

pelayanan prenatal dan post-natal;

c. Melakukan supervisi oleh petugas wanita namun tidak mencegah

petugas pria dalam melaksanakan tugas profesionalnya seperti dokter,

guru dan lainnya;

d. Melarang petugas pria memasuki ruangan detensi wanita apabila tidak

didampingi petugas wanita kecuali dalam keadaan darurat.

e. Memberikan hak yang sama seperti deteni lainnya.

1.4 Deteni Cacat Fisik

Dalam penanganan deteni cacat fisik, petugas Rudenim:

a. Memberikan hak yang sama seperti deteni lainnya dan mendapatkan

bantuan tambahan apabila diperlukan;

b. Memberitahukan tentang pendetensian yangdapatdipahamiolehdeteni

penderita cacat fisik;

c. Mengetahui kondisi deteni cacat fisik dan bagaimana cara

penanganannya.
67

1.5 Deteni Cacat Jiwa atau Cacat Mental

Dalam penanganan cacat jiwa atau cacat mental, maka petugas Rudenim:

a. Memberikan hak yang sama seperti deteni lainnya;

b. Memahami cara penanganan terhadap deteni cacat jiwa atau mental

dengan pertimbangan agar tidak membahayakan keamanan deteni

lainnya;

c. Memberi akses perawatan medis oleh dokter dan psikiater;

d. Mengupayakan pelatihan dasar untuk penanganan deteni yang

menderita cacat jiwa atau cacat mental.

2. Pedoman Petugas Rumah Detensi Imigrasi Dalam Memberikan

Pelayanan Kepada Deteni

Pelayanan petugas Rudenim kepada deteni meliputi kebutuhan:

2.1 Akomodasi dan Konsumsi

Dalam memberikan pelayanan akomodasi dan konsumsi maka petugas

Rudenim:

a. Memastikan bahwa setiap deteni mendapat akomodasi, dan kebutuhan

lainnya yang disesuaikan dengan standard Rudenim;

b. Menempatkan deteni dengan memperhatikan jenis kelamin, usia,

kondisi kesehatan dengan menyediakan blok atau ruangan terpisah

untuk lakilaki dan perempuan;


68

c. Menyediakan dan memberikan makanan dan minuman bagi deteni tiga

kali dalam satu hari dengan menyesuaikan menu makanan antara anak-

anak, dewasa dan orang sakit;

d. Menyediakan makanan yang bisa segera diberikan bagi deteni baru

walaupun kedatangannya di luar jam operasional petugas dapur;

e. Memastikan bahwa tersedia air bersih yang cukup untuk dipergunakan

oleh deteni;

f. Memastikan bahwa kebersihan di lingkungan Rudenim tetap terjaga.

2.2 Komunikasi don Kunjungan

Dalam memberikan pelayanan komunikasi dan kunjungan, maka petugas

Rudenim:

a. Memberikan ijin kepada deteni untuk melakukan komunikasi melalui

telepon dengan keluarga, sponsor, penasihat hukum, atau perwakilan

negaranya;

b. Memberikan kesempatan bagi deteni menerima kunjungan dari

keluarga, sponsor, penasihat hukum, atau perwakilan negaranya;

c. Menyediakan ruangan khusus bagi deteni untuk melakukan

komunikasi atau menerima kunjungan keluarga, sponsor, penasihat

hukum, atau perwakilan negaranya;

d. Melakukan koordinasikan dengan pihak keluarga, perwakilan negara,

kepolisian, dan petugas medis apabila deteni meninggal dunia.


69

2.3 Kegiatan Keagamaan

Dalam pelaksanaan kegiatan keagamaan, maka petugas Rudenim:

a. Memberitahukan kepada para deteni mengenai fasilitas ibadah yang

tersedia;

b. Mengijinkan deteni untuk melaksanakan ibadah dan kepercayaan

masing-masinc; dalam waktu dan tempat yang telah disediakan tanpa

ada gangguan;

c. Memastikan bahwa tidak ada deteni yang dianiaya atau menjadi

korban petugas atau deteni lainnya karena agama atau kepercayaan

yang mereka anut;

d. Mengijinkan atau dapat menolak dcteni yang akan melakukan kegiatan

ibadah di luar Rudenim dengan alasan keamanan;

e. Menyediakan perlengkapan ibadah yang dibutuhkan deteni dalam

penyelenggaraan kegiatan keagamaannya.

2.4 Kegiatan Olah Raga dan Rebreasi

Dalam menjaga kesehatan jasmani deteni, maka petugas Rudenim:

a. Melaksanakan penyegaran berupa kegiatan olah raga dan rekreasi;

b. Menyediakan tempat dan sarana olah raga yang tidak membahayakan

deteni serta sarana hiburan, antara lain: televisi, radio dan sarana

lainnya yang tidak menimbulkan resiko bagi keamanan;

c. Memfasilitasi kegiatan olah raga di lingkungan Rudenim yang tidak

menggunakan peralatan yang membahayakan;


70

d. Melakukan kerjasama dengan IOM untuk memfasilitasi kegiatan

rekreasi ke tempat yang tidak tev lalu jauh dari Rudenim;

e. Menggunakan instrumen pengamanan seperti borgol, sehagai bentuk

pencegahan deteni melarikan diri pada waktu rekreasi.

3. Hak dan Kewajiban Deteni

3.1 Hak Deteni

Setiap deteni pada Rudenim mempunyai hak:

a. Melaksanakan ibadah menurut agama dan kepercayaan masing-masing

dalam waktu dan tempat yang telah disediakan;

b. Mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani;

c. Mendapat pelayanan makanan yang layak;

d. Mendapat kesempatan untuk menghubungi pejabat konsuler dan

nkeluarga guna memberitahu mengenai pendetensian dan bagaimana

menghubungi detensi;

e. Menerima atau menolak bantuan konsuler dan keluarga jika mereka

menginginkannya;

f. Menerima kunjungan keluarga, sponsor, penasehat hukum,

rohaniawan, dokter atau per-wakilan negara;

g. Menyampaikan keluhan kepada petugas Rudenim.


71

3.2 Kewajiban Detensi

Setiap detensi pada Rudenim mempunyai kewajiban untuk :

a. Menaati peraturan tata tertib yang berlaku;

b. Memelihara perikehidupan yang aman d1n tertib;

c. Memelihara barang inventaris;

d. Menghormati hak orang lain;

e. Memberikan keterangan kepada petugas Rudenim;

f. Menghindari perbuatanasusila, pencurian dan pemerasan,

penganiayaan, kegaduhan dan kericuhan;

g. Menghindari untuk membawa, menyimpan, membuat atau memiliki

senjata api dan atau senjata tajam;

h. Menghindari untuk membawa, menyimpan, mempergunakan,

ment;edarkan, memiliki, memperdagangkan minuman narkotika,

psikotropika dan zat lainnya (NAPZA);

i. Menghindari untuk melakukan jual beli barang secara tidak sah dan

melanggar hukum yang berlaku;

j. Menghindari untuk menggunakan alat komunikasi yang dapat

mengganggu keamanan dan ketertihan.


72

BAB V

PENUTUP

1. Kesimpulan

Dari uraian yang telah dikemukakan dalam Bab-bab di atas dapatlah

ditarik satu kesimpulan sebagai berikut ;

a. Tindakan hukum yang dapat dikenakan terhadap orang asing yang

melakukan pelanggaran di wilayah hukum Indonesia meliputi:

- Tahap pemeriksaan oleh POLRI / Imigrasi tersebut dituangkan dalam

Berita Acara Pemeriksaan yang kemudian dilanjutkan dengan Berita

Acara pendapat. Pada tahap ini dimaksudkan apabila orang asing yang

ada diwilayah Indonesia telah melakukan tindak kejahatan atau tindak

pidanan sehingga terhadap orang yang bersangkutan terlebih dahulu

harus menjalani dan kemudian ditindak lanjuti dengan tindak

keimigrasian.

- Tahap Pengkarangtinaan oleh Imigrasi. Pengkarantinaan adalah tempat

penampungan sementara bagi orang asing yang dikenakan proses

pengusiran atau deportasi. Karantina disini bukan merupakan rumah

tahanan dan bukan pula rumah penjara.

- Tahap Pelaksanaan Deportasi. Setelah orang asing yang menunggu

proses deportasi dikeluarkan dari karantina. imigrasi, barulah

kemudian deportasi/pengusiran terhadap orang asing itu dilaksanakan.

72
73

Adapun Putusan Imigrasi tentang (tindakan Keimigrasian dalam hal ini

deportasi dilampiri, antara lain : Berita Acara Pemeriksaan, Resume dan

Lampiran-lampiran lain.

b. Penanganan pendetensian orang asing di rumah detensi imigrasi di

Denpasar meliputi pendetensian bagi deteni keluarga, deteni anak, deteni

wanita, deteni cacat fisik, deteni cacat jiwa atau cacat mental.

2. Saran-saran

a. Hendaknya pemerintah bagian staf dan jajaran keimigrasian agar dapat

memperketat pengawasan terhadap keluar masuknya orang asing yang

datang ke Indonesia. Setiap orang asing yang datang ke Indonesia

khususnya Bali perlu di cek keberadaannya.

b. Dalam memutus perkara pidana khususnya yang mengangkut tindak

pidana imigrasi, hendaknya pidana yang dijatuhkan tidak terlalu ringan

dan kalau perlu lebih berat lagi dari ancaman pidana yang tercantum

dalam Peraturan Perundang-undangan sehingga orang asing bemiat

tnenyalahgunakan ijin keimigrasiannya merasa takut dan jera untuk

melanggar ketentuan keimigrasian yang berlaku.


74

PENDETENSIAN ORANG ASING DI RUMAH DETENSI


IMIGRASI DI DENPASAR

OLEH :

I WAYAN AGUS SEPTIANA


NIM : 2011.001.1838

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NGURAH RAI
DENPASAR
2014
75

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i

PENGESAHAN PEMBIMBING .................................................................... ii

KATA PENGANTAR ..................................................................................... iii

DAFTAR ISI.................................................................................................... v

BAB I PENDAHULUAN

1. Permasalahan......................................................................... 12

1.1 Latar Belakang Masalah .............................................. 1

1.2 Rumusan Masalah ........................................................ 3

1.3 Ruang Lingkup Masalah .............................................. 4

2 Kerangka Teori dan Hipotesa................................................ 4

2.1 Kerangka Teori ............................................................ 4

2.2 Hipotesa ....................................................................... 8

3 Tujuan Penulisan................................................................... 8

3.1 Tujuan Umum............................................................... 8

3.2 Tujuan Khusus.............................................................. 9

4 Metode Penulisan................................................................... 9

4.1 Pendekatan Masalah..................................................... 9

4.2 Sumber Data................................................................. 9

4.3 Teknik Pengumpulan Data........................................... 10

4.4 Teknik Pengolahan dan Analisa Data........................... 10


76

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG DEPORTASI DAN


RUMAH DETENSI IMIGRASI
1. Pengertian Deportasi.............................................................. 11

2. Ketentuan Hukum Deportasi................................................. 14

3. Syarat-Syarat Deportasi......................................................... 15

4. Tujuan Deportasi................................................................... 19

5. Rumah Detensi Imigrasi........................................................ 21

BAB III PENDEPORTASIAN TERHADAP ORANG ASING


MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011
1. Pendeportasian Karena Melakukan Kegiatan Yang
Berbahaya Atau Patut Diduga Berbahaya Bagi Keamanan
Dan Ketertiban Umum........................................................... 32
2. Pendeportasian Karena Tidak Menghormati Atau Mentaati
Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku...................... 44
3. Tahap-tahap Pelaksanaan Pendeportasian ............................ 51

BAB IV PENANGANAN DETENI DI RUMAH DETENSI


IMIGRASI DENPASAR
1. Penanganan Deteni di Rumah Detensi Imigrasi.................... 64
2. Pedoman Petugas Rumah Detensi Imigrasi Dalam
Memberikan Pelayanan kepada Deteni................................. 67
3. Hak dan Kewajiban Deteni.................................................... 70

BAB V PENUTUP

1. Kesimpulan............................................................................ 72

2. Saran-saran............................................................................ 73

DAFTAR BACAAN

DAFTAR INFORMAN

DAFTAR LAMPIRAN
77
78

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Sjahriful (James). 1992, Memperkenalkan Hukum Keimigrasian. Ghalia


Indonesia.

Andi Hamzah II, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Ghalia
Indonesia.

____, 1982, Delik-Delik Tersebar di Luar KUHP Dengan Komentar, Jakarta,


Pradanya Paramita, (selanjutmya disebut Andi Hamzah I).

____, 1982. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta, Ghalia


Indonesia.

Budiarto, 1980. Majalah Ekstradisi dan Jaminan Atas Hak-hak Asasi Manusia,
Jakarta , Ghalia Indonesia.

____, 1981. Ekstradisi Dalam Hukum Nasional, Ghalia Indonesia.

Djoko Prakoso. 1983, Tugas dan Peranan Jaksa Dalam Pembangunan. Jakarta,
Ghalia Indonesia.

Edy Suryono, 1984. Praktek Ratifikasi Perjanjian Internasional di Indonesia,


Bandung. Cet I Remaja Karya.

Humas Direktorat Jenderal Imigrasi, 1982. Buku Petunjuk Keimigrasian Tentang


Visa Ijin Tinggal, Jakarta.

Starka, J.G. 1984, Pengantar Hukum Internasional 2. Edisi Kesembilan. Jakarta,


Akasada Indonesia.

Komiatmanto Soetoprawiro. 1992, "Tentang Ilmu Hukum administrasi


Menghadapi Perkembangan Konsep Negara Hukum di Indonesia, Pro
Justitia"

Karjadi M. dan Sudargo Amijoyo. 1986, Keluar Masuk Indonesia. Bogor, Politea.

Mochtar Kusumaatmaja. 1978, Pengantar Hukum Internasional. Buku I Bagian


Umum, Cet. Ke-2, Jakarta, Bina Cipta.

Moeljatno. 1986, Azas-azas Hukum Pidana IV.., Jakarta, Bina Aksara.


79

Moh Kusnardi, Harmaily Ibrahim. 1976, Pengantar Hukum Tata Negara


Indonesia. Pusat study Hukum Tata Negara, Fak. Hukum UI, dan CV.
Sinar Bakti.

Oka Matria, "Selintas Tentang Perlakuan Terhadap Orang Asing di Indonesia",


Kertha Patrika, No. 12, Tahun IV, Desember 1978.

Padmo Wahyono. 1984, Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa Ini. Jakarta,


Ghalia Indonesia.

Parthiana I Wayan. 1987, Berapa Masalah Dalam Hukum Internasional Dan


Hukum Nasional Indonesia, Bina Cipta, Selanjutnya disebut
Parthiana I.

____, 1983, Ekstradisi dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional,


Bandung , Alumni.

Petunjuk Pelaksana Direktur Jenderal Imigrasi Tentang Tata Cara Penyidikan


Tindak Pidana Keimigrasian.

Setianingsih Swardi, Suatu Peninjauan Terhadap Masalah Deportasi Dari Segi


Hukum Internasional, Hukum dan Pembangunan. FH UI, Jakarta No.2
Tahun ke VII Maret 1977.

Soedjono Dirdjosiworo, 1980. Doktrin-doktrin Kriminologi (Selanjutnya Disebut


Soedjono Dirdjosisworo II). Bandung, Sinar Baru.

Soedjono Dirjosisworo. 1984, Ruang Lingkup Kriminologi, Bandung, Remaka


Karya.

Sri Setianingsih, 1986. Intisari Hukum Internasional Publik. Bandung, Alumni.

Starke. 1987, Pengantar Hukum Internasional 2, Edisi Kesembilan, Jakarta,


Aksara Persada Indonesia.

Sudargo Gautama. 1975, Warga Negara dan Orang Asing, Bandung, Alumni.

Syahmin A.K. 1992, Hukum Internasional Publik, Dalam Kerangka Study


Analitis, Jilid 2, Bandung, Bina Cipta.

Undang-Undang Keimigrasian, 2011, Undang-Undang RI Nomor 6 Tahun 2011


Tentang Keimigrasian, Jakarta, Sinar Grafika.

Peraturan Direktur Jendral Imigrasi Nomor : IMI.1917-0T.02.01 Tahun 2013


tentang Standar Operasional Prosedur Rumah Detensi Imigrasi

Anda mungkin juga menyukai