Anda di halaman 1dari 14

PEOPLE SMUGGLING DAN KASUS MUSLIM ROHINGYA

Oleh:
Tari Endah Guntari
Teuku Alaidinsyah
Muhammad Agra Syafiquddin Yusuf
Farah Rahmatillah
Muhammad Arifin
Muhammad Rudi Syahputra

MAGISTER ILMU HUKUM


UNIVERSITAS SYIAH KUALA
TAHUN 2021

1
2

A. People Smuggling
1. Latar Belakang
Globalisasi menyebabkan hubungan antar negara, masyarakat, dan
individu semakin dekat, saling bergantung dan saling mempengaruhi, sehingga
menciptakan suatu dunia tanpa batas (borderless world).2 Kemajuan teknologi
dan terbukanya kesempatan yang luas dalam meningkatkan kondisi
perekonomian menyebabkan terjadinya pergerakan manusia dari suatu tempat ke
tempat lainnya. Pergerakan manusia ini tidak hanya membawa dampak positif
bagi perkembangan umat manusia, namun juga memberikan dampak dalam
berkembangnya jenis kejahatan baru.
Kejahatan yang melewati batas wilayah suatu negara dikenal sebagai
Transnational Organized Crime atau Kejahatan Transnasional. Jenis kejahatan
yang termasuk kejahatan transnasional antara lain Trafficking in Illegal Drugs
(Perdagangan Obat-Obatan Terlarang), Human Trafficking (Perdagangan
Manusia), People Smuggling (Penyelundupan Manusia), Arms Smuggling
(Penyelundupan Senjata), Money Laundering (Pencucian Uang), dan Small Arms
and Light Weapon Trafficking (Perdagangan Senjata Ringan dan Kaliber Kecil). 1
Kejahatan transnasional merupakan perbuatan yang dapat membahayakan
keselamatan manusia dan kedaulatan negara, karena memang sifatnya yang
melintasi batas-batas negara menjadikan perbuatan ini mengabaikan kedaulatan
atau batas yurisdikdi suatu negara. Hal ini menjadi salah satu ancaman dalam
menegakkan kedaulatan negara.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), sebagai suatu Organisasi
Internasional dengan tujuan untuk menciptakan kedamaian dunia, telah
menghasilkan suatu aturan mengenai kejahatan transnasional yakni United
Nations Convention against Transnational Organized Crime and the Protocols
thereto 2000 sebagai komitmen bagi contracting parties (negara pihak) untuk
melakukan kerjasama dalam upaya menanggulangi terjadinya kejahatan
transnasional. Konvensi yang dikenal juga sebagai Konvensi Palermo, karena

1
Sefriani, Peran Hukum Internasional Dalam Hubungan Internasional Kontemporer,
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2016), hlm. 285.
3

disahkan di Palermo, Italia, Tahun 2000, bertujuan untuk mendorong adanya


kerjasama dalam mencegah dan menanggulangi kejahatan transnasional secara
efektif, serta mengatur tata cara yang perlu dilakukan oleh contracting parties
dalam melakukan kerjasama tersebut. Konvensi ini mengatur antara lain
mengenai Tindak Pidana Pencucian Uang, Korupsi, Perdagangan Orang terutama
Wanita dan Anak-Anak, Penyelundupan Migran, dan Perdagangan Senjata. Salah
satu bentuk kejahatan transnasional yang menjadi topik dalam penulisan ini
adalah People Smuggling atau Penyelundupan Manusia.
2. Pengertian People Smuggling
Menurut hukum di AS, People Smuggling atau penyeludupan orang
adalah "fasilitasi, transporasi, upaya transportasi atau pemasukan ilegal dari
seseorang atau orang-orang yang melintasi sebuah perbatasan internasional, yang
melanggar hukum satu negara atau lebih, baik secara diam-diam atau melalui
penipuan, seperti pemakaian dokumen-dokumen yang dipalsukan".
Indonesia sendiri mengartikan People Smuggling dengan merujuk pada
pasal 1 angka 32 Undang-undang Nomor 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian.
“Perbuatan yang bertujuan mencari keuntungan, baik secara langsung
maupun tidak langsung, untuk diri sendiri atau orang lain, dengan membawa
seseorang atau sekelompok orang, baik secara terorganisir maupun tidak
terorganisir atau memerintahkan orang lain untuk membawa seseorang atau
sekelompok orang, baik secara terorganisir maupun tidak terorganisir, yang tidak
memiliki hak secara sah untuk memasuki wilayah indonesia atau keluar wilayah
Indonesia dan atau masuk wilayah negara lain yang orang tersebut tidak
memiliki hak untuk memasuki wilayah tersebut secara sah, baik dengan
menggunakan dokumen sah maupun dokumen palsu atau tanpa menggunakan
dokumen perjalanan, baik melalui pemeriksaan imigrasi maupun tidak.”
Pengaturan internasional tentang penyelundupan manusia, secara khusus
terdapat dalam Protocol Against the Smuggling of Migrants by Land, Sea, and
Air, supplementing the United Nations Conventions againts Transnational
Organized Crime atau disebut juga sebagai Smuggling of Migrants Protocol,
merupakan bagian dalam Annex III United Nations Convention against
4

Transnational Organized Crime and the Protocols thereto. Protokol ini


merupakan aturan yang melengkapi Konvensi Palermo khususnya terkait dengan
penyelundupan manusia dan harus diartikan sesuai dengan konvensi tersebut.
Aturan yang terdapat dalam Konvensi Palermo berlaku secara mutatis mutandis
terhadap protokol ini, kecuali diatur berbeda dalam protokol. Salah satu tujuan
dibentuknya protokol ini adalah untuk meningkatkan kerjasama antar negara
dalam menangani masalah penyelundupan manusia. Penyelundupan manusia
termasuk dalam kejahatan transnasional yang melintasi batas negara dan
melibatkan sindikat organisasi yang tersebar di berbagai negara.
Penyelundupan Manusia berarti suatu perbuatan yang bertujuan untuk
mendapat, langsung maupun tidak langsung, keuntungan finansial atau materi
lainnya, dari masuknya seseorang secara ilegal ke suatu wilayah negara dimana
orang tersebut bukanlah warga negara tempat ia masuk atau tidak memiliki izin
tinggal.2 Dalam hal ini orang yang diselundupkan bertindak kooperatif (bersifat
kerjasama) dengan penyelundup, dalam artian dengan sukarela dan mengetahui
bahwa perbuatan tersebut merupakan suatu hal yang tidak benar, untuk
memasuki wilayah suatu negara secara ilegal.
Kasus People Smuggling merupakan kejahatan yang tidak hanya
merugikan satu negara saja melainkan akan merugikan dua negara atau lebih.
Para individu yang ingin diselundupkan dipicu oleh beberapa faktor yaitu:
a. Faktor dari negara asal: perang, konflik sosial, kemiskinan dan kurangnya
kesempatan untuk melakukan migrasi secara resmi;
b. Faktor penarik dari negara tujuan: lingkungan yang aman, kesempatan
ekonomi yang lebih tinggi, hubungan keluarga dan budaya serta negara
tersebut memiliki kebijakan menerima pengungsi/pencari suaka.
c. Faktor kombinasi yaitu kemudahan melewati batas negara secara illegal,
mudahnya akses ke sindikat penyelundupan manusia dan kemudahan dan
komunikasi dan perjalanan. Pola kejahatan People Smuggling adalah
jaringan horizontal yang tidak ada komando yang jelas, mereka bergerak
secara bebas dan besama secara ad hoc. Biasanya para pelaku
2
Article 3 (a) Protocol against the Smuggling of Migrants by Land, Sea and Air,
supplementing the United Nations Convention against Transnational Organized Crime.
5

menggunakan jaringan sosial atau keluarga untuk memanfaatkan peluang


yang mungkin akan muncul (UNODC, 2011:8).
3. Modus Operandi People Smuggling
Dalam melakukan aksinya para pelaku (smuggler) memiliki modus
operandi yang berbeda-beda dari tahun ke tahun hal tersebut dilakukan agar
mampu mengelabui para petugas di lapangan. Menurut data yang diperoleh dari
Badan Reserse Kriminal Polri Direktorat Tindak Pidana Umum Sub Direktorat
III Unit People Smuggling ada beberapa modus yang digunakan oleh para
pelaku.
Modus Pertama, para pelaku menggunakan Indonesia sebagai negara
transit sebelum diberangkatkan ke negara tujuan seperti Australia, Malaysia dan
New Zealand. Para imigran yang diselundupkan banyak berasal dari Bangladesh,
Myanmar, Srilangka, Afganistan dan Nepal. Mereka akan dibawa masuk ke
Indonesia secara tidak resmi yaitu melalui jalur laut ataupun secara resmi yaitu
jalur udara. Ketika sampai di Indonesia para imigran tersebut kemudian dibawa
ke daerah yang berdekatan dengan titik pemberangkatan selanjutnya1, setelah
berada di daerah yang beredekatan di titik pemberangkatan para imigran
kemudian ditampung di rumah yang telah disediakan oleh para pelaku2 dan
menunggu para pelaku lainnya untuk mencari kapal yag aman untuk
memberangkatkan para imigran tersebut ke negara tujuan, seringkali dalam
beberapa kasus People Smuggling kapal yang digunakan sangat tidak layak
untuk berlayar baik dalam jarak dekat ataupun jauh walaupun telah di
modifikasi, banyak pelaku yang mencari kapal yang tidak mencolok dan terkesan
tidak mampu membawa penumpang dalam jumlah sedikit atau banyak,
contohnya adalah kapal para nelayan. Berdasarkan data dari Badan Reserse
Kriminal Polri Direktorat Tindak Pidana Umum Sub Direktorat III Unit People
Smuggling kapal-kapal tersebut minim fasilitas bahkan tidak sesuai dengan
bayaran yang telah diberikan oleh para imigran yang berkisar US$3000-
US$12.000/orang kepada para pelaku (smuggler).
Modus Kedua, pelaku yang memberangkatkan para imigran dari negara
asal menuju negara tujuan telah menerima uang yang digunakan untuk
6

membiayai perjalanan para imigran yang berkisar US$3000-US$12.000/orang


dan pelaku juga mempersiapkan dokumen-dokumen yang digunakan dalam
perjalanan. Lalu imigran tersebut diberangkatkan menuju negara transit yaitu
Indonesia, ketika sampai di Bandara Indonesia para imigran diminta untuk
mengurus visi On Arrival dan selanjutnya mereka dibawa oleh pelaku lainnya
yang telah menunggu di Indonesia untuk diantarkan ke tempat penampungan
sementara yang telah disediakan baik berupa apartment atau hotel yang berada di
Jakarta atau Bogor. Para imigran akan tetap berada di rumah penampungan
sementara selama mendaftarkan diri mereka sebagai pencari suaka di United
Nations High Commissioner for Refugess (UNHCR) dan selanjutnya para
imigran tersebut diberangkatkan ke negara tujuan melalui jalur laut dari
Indonesia.
Modus Ketiga, para imigran yang telah berada di Indonesia baik yang
telah diberangkatkan melalui jalur resmi (udara) ataupun tidak resmi (laut)
mereka akan diberangkatkan oleh para penyelundup yang sebelumnya telah
mencarikan kapal nelayan dan akan digunakan untuk memberangkatkan para
imigran, namun terlebih dahulu kapal tersebut di renovasi agar mampu
membawa penumpang dalam jumlah banyak. Penyelundup juga telah mencari
rekan yang bisa dipercayakan untuk mengoperasionalkan kapal tersebut hingga
sampai di negara tujuan, biasanya para penyelundup akan mencari rekan-rekan
ABK yang telah memiliki pengalaman dalam berlaut dimana mereka juga
mengerti pekerjaan yang dilakukan, telah menerima upah dan mau menerima
segala bentuk resiko dari pekerjaan tersebut di negara tujuan ataupun selama
perjalanan menuju negara tujuan.
Modus Keempat, para penyelundup ketika mengetahui bahwa petugas
penegak hukum di negara transit ataupun di negara tujuan aktif dalam beroperasi
guna memberantas aksi kejahatan penyelundupan manusia telah memaksa para
penyelundup ini untuk mencari jalan lain agar pekerjaan tersebut tetap dapat
dilaksanakan. Dalam modus ini para penyelundup akan membagi imigran
menjadi dua kelompok atau lebih, lalu mereka akan diberangkatkan ke negara
yang menjadi lokasi transit menggunakan jalur resmi (udara) atau tidak resmi
7

(laut). Ketika sampai di negara transit, para penyelundup akan memasukkan


imigran tersebut ke daerah yang berdekatan dengan titik pemberangkatan baik
kembali menggunakan jalur resmi (udara) atau tidak resmi (laut) ataupun melalui
jalur darat dengan menggunakan kendaraan besar seperti minibus atau bus besar.
4. Praktik Penyelundupan Manusia
Banyak terjadi praktik penyelundupan manusia di dunia dalam beberapa
tahun terakhir. Pada tahun 2015, diperkirakan ada sekitar 2,5 hingga 3 juta
imigran gelap dari Kamboja, Laos dan Myanmar tinggal di Thailand, dengan
perkiraan 80% telah diselundupkan.3 Pada tahun 2016, sekitar 90% migran yang
melintasi perbatasan Eropa melakukannya secara ilegal dengan bantuan
penyelundup. Sedangkan di Indonesia, dalam tahun 2017, terjadi beberapa kasus
penyelundupan manusia di berbagai wilayah Indonesia yang berhasil diungkap
oleh Kepolisian dan Imigrasi, antara lain di Makassar dan Dumai.
Penangkapan di Makassar pada 29 Maret 2017 menemukan delapan
orang WNA asal Nepal yang tidak memiliki dokumen lengkap, empat
diantaranya merupakan tahanan imigrasi Bandara Soekarno-Hatta, dan
selebihnya memiliki paspor dengan izin yang sudah habis masa berlakunya.
Sindikat penyelundup yang tertangkap sebanyak tiga orang tersebut, dua orang
WNI dan satu orang WN Nepal, bermaksud menyelundupkan para imigran gelap
menuju Australia. Selain itu penangkapan di Dumai, yang juga terjadi pada 29
Maret 2017, berhasil mengamankan lima orang sindikat penyelundup manusia,
empat diantaranya merupakan WN Bangladesh dan satu orang lagi merupakan
WNI. Penangkapan berawal dengan ditemukannya pemondokan yang menjadi
tempat tinggal WNA yang menunggu giliran untuk diseberangkan ke Malaysia
dan Australia. Sebanyak 74 WNA ditemukan, 31 diantaranya memiliki paspor
dan visa yang telah habis masa berlakunya. Setiap WNA yang ditemukan juga
membayar sekitar Rp. 2 juta untuk satu kali penyeberangan ke Malaysia atau
Australia.
Ada juga kasus penyelundupan manusia yang beroperasi dari Pelabuhan
Ratu menuju Christmas Island Australia pada 18 November 2015, dimana di
3
International Organization for Migration (IOM), 2016, Migrant Smuggling Data
and Research: A global review of the emerging evidece base, hlm. 10.
8

pertengahan jalan kapal yang mengangkut imigran gelap tersebut kehabisan


bahan bakar dan mengalami kerusakan mesin sehingga terdampar di Desa
Tabulolong, NTT. Satuan Unit People Smuggling Direktorat Tindak Pidana
Umum Bareskrim pada 21 Agustus 2017 telah menangkap WN Myanmar,
Muang Muang Tin, pelaku penyelundupan tersebut.9 Pada Bulan Mei di tahun
yang sama, juga terjadi penyelundupan manusia dari Pelabuhan Tegal menuju
Selandia Baru yang berhasil dihentikan oleh otoritas Australia. Kapal yang
mengangkut imigran gelap tersebut diganti dengan dua kapal kecil yang
kemudian berbalik menuju Indonesia dan akhirnya terdampar di Pulau Landu
Rote Ndau, NTT. Dalam kasus ini tersangka yang dikenal sebagai Kapten Bram
merupakan sindikat penyelundupan manusia yang telah mulai melakukan
aksinya sejak tahun 1999.

B. Kasus Muslim Rohingya

Kasus yang terjadi terhadap Muslim Rohingya adalah konflik agama


9

antara Islam dan Budha. Meskipun konflik ini terjadi di internal Myanmar tetapi

membawa dampak bagi dunia internasional terutama negara-negara yang

berdekatan dengan Myanmar seperti Indonesia, Malaysia dan Bangladesh.

Etnis Rohingya mendapatkan perlakuan diskriminatif dari pemerintahan

Myamar sehingga banyak yang melarikan diri kemudian mengungsi ke Negara-

negara tetangga. Awal pemicu konflik kekerasan etnis Rohingya terjadi pada

bulan Juli 2012 dan terus menjadi perbincangan dunia internasional hingga

sekarang. Banyak yang mengatakan bahwa konflik ini terjadi antar kaum

minoritas dan mayoritas yaitu etnis Budha dan Rohingya yang menempati

wilayah Rakhine. Secara umum, kekerasan dipicu oleh kasus pemerkosaan dan

pembunuhan terhadap perempuan Budha yang diduga dilakukan oleh laki-laki

Muslim, yang kemudian dibalas dengan pembunuhan 10 orang laki-laki Muslim.

Dari kejadian tersebut menyebabkan terjadinya pemberontakan dan perlawanan

hingga perlakuan tindakan kekerasan yang terdiri dari pembunuhan, penyiksaan,

pembakaran rumah dan pemaksaan untuk meninggalkan tempat tinggalnya.

Konflik tersebut terus berlanjut hingga pihak Myanmar tidak mengakui

Rohingya sebagai salah satu etnis di negaranya. Tindakan ini menimbulkan

ketidaknyamananRohingya serta termasuk dalam pelanggaran Hak Asasi

Manusia (HAM).

Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak seseorang untuk hidup

nyaman, bebas berpendapat, bebas menganut agamanya tanpa membedakan

suku, ras, warna kulit, jenis kelamin, kewarganegaraan, serta tidak mendapat

perlakuan yang tidak adil dari pihak lain (Nasution, 2006: 22). HAM bersifat
10

universal di mana hak manusia itu tidak dibedakan berdasarkan agama, ras, suku,

bangsa, bahkan jenis kelamin. Tetapi yang terjadi terhadap etnis Rohingya

adalah bentuk pelanggaran HAM berat. Mereka tidak diberikan hak untuk hidup

secara nyaman serta tidak mendapat pengakuan yang layak sebagai warga negara

dari Myanmar. Banyak korban yang akhirnya dibunuh hingga mencari

kenyamanan dengan mengungsi ke negara tetangga. Yang memilih tinggal,

mendapat perlakuan yang tidak adil serta ditindas oleh warga Myanmar.

Sedangkan yang lain memilih untuk mengungsi agar bisa mendapat perlindungan

terhadap hak-hak mereka. Akhirnya masyarakat Rohingya mendapatkan status

stateless atau tidak mempunyai kewarganegaraan. Konflik ini pun mendapat

perhatian dari dunia internasional karena dari negaranya sendiri tidak mau

mengakui etnis Rohingya.

Penyebab pertama terjadinya konflik etnis adalah lemahnya otoritas

pemerintah, baik nasional maupun internasional, untuk mencegah kelompok-

kelompok etnis yang ada untuk tidak saling berkonflik. Otoritas yang ada juga

sangat lemah, sehingga tidak mampu menjamin keselamatan individu-individu

yang ada di dalam kelompok tersebut.

Awal mula konflik ini terjadi sejak pemerintahan Junta Militer merebut

kekuasaan melalui kudeta pada tahun 1962, politik diskriminasi terhadap etnik

minoritas mulai diberlakukan hal lain terjadi di negara bagian Rakhine yang

berbatasan dengan Bangladesh. Di wilayah ini terdapat etnis Rakhine yang

beragama Islam/Arakan. Jumlah etnis Rohingya diperkirakan meliputi 4% dari

penduduk Rakhine, tetapi bila dibanding dengan jumlah penduduk Rakhine yang
11

Budha, muslim Rohingya menjadi kelompok minoritas di Myanmar secara

umum jika dibandingkan dengan etnis Burma, terutama terhadap etnis Rohingya

yang dianggap bukan orang asli Burma.

Konflik antar etnis yang telah berlangsung lama ini menyebabkan

terjadinya pelanggaran seperti pembunuhan, pembakaran rumah, dan tidak diakui

etnis Rohingya sebagai salah satu bagian dari Negara Myanmar. Masyarakat

muslim Rohingya tidak mendapatkan hak-hak yang layak sebagai warga negara,

justru mereka mendapatkan perlakuan tidak adil dari pemerintah Myanmar yang

membatasi hak-hak mereka termasuk hak untuk hidup.

Pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintah Myanmar adalah

adanya tindakan pemerkosaan, pembunuhan serta pembakaran rumah- rumah

etnis Rohingya. Adapun tindakan diksriminasi yang dilakukan terhadap etnis

Rohingya hingga pencabutan kewarganegaraan mereka. Akhirnya, etnis

Rohingya menjadi warga stateless. etnis Rohingya menjadi statelles karena

adanya diskriminasi serta pencabutan terhadap status kewarganegaraan.

Myanmar menghapus Rohingya dari delapan etnis utama yaitu Burmans, Kachin,

Karen, Karenni, Chin, Mon, Arakan, Shan, dan dari 135 kelompok etnis lainnya.

Dalam Rome Statute of The International Criminal Court 1998 (Statuta

Roma Tahun 1998) dijelaskan mengenai definisi dari pelanggaran HAM.

Bentuk-bentuk pelanggaran HAM yang terdapat dalam Statuta Roma berupa

kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan

kejahatan agresi.

Pemerintah Myanamar membuat kebijakan Burmanisasi terhadap warga


12

negara Myanmar yang dengan jelas membuktikan bahwa adanya tindakan

diskriminasi. Kebijakan Burmanisasi berarti hanya mengakui adanya agama

Budha di Myanmar. Tetapi dalam kenyataannya, ada agama lain yang menetap di

Myanmar termasuk Islam (etnis Rohingya).

Etnis Rohingya yang terlibat dalam politik pemerintahan Myanmar

seperti menteri, sekertaris parlemen, dan sebagian di posisi pemerintahan

lainnya, dicabut hingga pemberlakuan hukum bahwa etnis Rohingya maksimal

hanya mempunyai dua anak. Tindakan lain yang dilakukan adalah menghapus

semua sekolah -sekolah Islam yang selama ini sudah berjalan. Kebijakan ini

membuat perlakuan diskriminasi terhadap etnis Rohingya serta pencabutan status

kewarganegaraan. Akibatnya, etnis Rohingya mencari kenyamanan dengan

mengungsi ke beberapa wilayah seperti Malaysia, Indonesia dan Bangladesh.

Tentunya etnis Rohingya berhak mendapatkan perlindungan hak asasinya.

Bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia terhadap Rohingya dari tahun ke

tahun bisa dilihat mulai dari tahun 2012 hingga 2017.

Pada tahun 2012, terjadinya puncak konflik yang mengakibatkan 98

orang terbunuh, 123 terluka, 5.338 rumahnya di bakar dan 75.000 mengungsi.

Konflik itu terus memanas sehingga jumlah korban tahun 2012 terus mengalami

peningkatan yaitu 140.000 etnis Rohingya memilih untuk mengungsi sedangkan

120.000 lainnya memilih untuk tetap tinggal di Rakhine dan hampir 200 orang

meninggal dunia.

Pada tahun 2013, para pengungsi yang telah menetap di Bangladesh

memilih untuk meninggalkan Bangladesh serta 3.000 di antara memilih untuk


13

mengungsi ke Malaysia, Indonesia dan Thailand.

Pada tahun 2014, adanya penyerangan dari gerombolan etnis Rakhine

yang mengakibatkan pembunuhan dan dievakuasi 300 orang serta 140.000 orang

terlantar.

Pada tahun 2015, ada 700.000 etnis Rohingya dirampas haknya yaitu

tidak diakui sebagai warga Negara Myanmar. Sedangkan 30.000 anak muslim

harus kehilangan pendidikan serta tempat untuk belajar. Adapun total sekitan

2000 orang yang meninggal dilaut akibat melarikan diri untuk mengungsi.

Pada tahun 2016, tepatnya pada bulan Oktober 2016 telah terjadi

searangan militer oleh etnis Rokhine yang melakukan pembalasan berupa

pembunuhan, pemerkosaan dan pembakaran yang mengakibatkan 100.000

melarikan diri ke Bangladesh.

Pada tahun 2017 merupakan tahun dengan jumlah kekerasan terbanyak

selama konflik etnis Rohingya berlansung. 9.000 orang meninggal sejak 25

Agustus sampai 24 September. Namun konflik itu terus mengalami peningkatan.

Akhir September meningkat menjadi 13.759 orang meninggal termasuk 1.000

anak usia dibawah 5 tahun. Untuk persentasenya: 69% kematian karena

kekerasan, 9% rumah dibakar hingga korban meninggal dan 5% dipukuli sampai

mati. Untuk anak-anak dibawah 5 tahun: 59% tertembak, 15% dibakar sampai

mati, 7% dipukul hingga mati dan 2% meninggal karena ledakan ranjau darat.

Kesimpulannya, konflik yang terjadi di Rohingya masuk ke dalam

tindakan pelanggaran HAM berat. Oleh sebab itu, pelanggaran HAM ini masuk

ke dalam tindakan Genosida (pembantaian etnis secara besar-besaran. Genosida


14

merupakan tindakan kejahatan yang berkaitan dengan pemusnahan etnis, ras atau

agama. Tindakan tersebut berupa pembunuhan, pembantaian dan tindakan

lainnya yang mengakibatkan kerusakan fisik atau mental sebagian orang (etnis

tertentu).

Genosida dalam Konvensi Pencegahan dan Penghukuman terhadap

Kejahatan Genosida (Convention on the Prevention and Punishment of the

Crime of Genocide) tahun 1948 adalah suatu tindakan dengan maksud

menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras,

etnis, atau agama.

Yang terjadi terhadap etnis Rohingya, masuk dalam salah satu kejahatan

genosida. Hal ini dibuktikan dengan data jumlah korban akibat berbagai tindakan

kekerasan yang terus mengalami peningkatan sejak tahun 2012. Upaya etnis

Rakhine dalam melakukan tindakan kekerasan merupakan upaya pemusnahan

terhadap etnis Rohingya yang beragama Islam, karena sudah ada kebijakan yang

dikeluarkan dari pemerintah Myanmar yaitu burmanisasi. Dan kebijakan

burmanisasi ini termasuk dalam tindakan yang sudah direncanakan secara

sistematis.

Anda mungkin juga menyukai