disebabkan bukan karena mikroorganisme (non infeksi). Gejala inflamasi dapat dengan gejala panas, kemerahan, bengkak, nyeri/sakit, fungsinya terganggu. Proses inflamasi meliputi kerusakan mikrovaskuler, meningkatnya permeabilitas vaskuler dan migrasi leukosit ke jaringan radang, dengan gejala panas, kemerahan, bengkak, nyeri/sakit, fungsinya terganggu. Mediator yang dilepaskan antara lain histamin, bradikinin, leukotrin, prostaglandin dan PAF (Richard,1989). Obat-obat antiinflamasi adaah golongan obat yang memiliki aktivitas menekan atau mengurangi peradangan. Aktivitas ini dapat dicapai melalui berbagai cara, yaitu menghambat pembentukan mediator radang prostaglandin, menghambat migrasi sel-sel leukosit ke daerah radang maupun menghambat pelepasan prostaglandin dari sel-sel tempat pembentukannya (Richard,1989). Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat-obat antiinflamasi dibagi menjadi dua golongan utama yaitu golongan steroida dan non-steroida 1.Golongan Steroid Contoh : Hidrokortison, Deksametason, Prednisone
2.Golongan AINS (non steroid) Contoh : Parasetamol, Aspirin, Antalgin/Metampiron, Asam Mefenamat, Ibuprofen dan lain-lain (Richard,1989). Contoh obat lain adalah : 1. Turunan asam salisilat, contoh: aspirin, diflusinal, sulfasalazin, olsalazin 2. Turunan para-aminofenol, contoh: asetaminofen 3. Indol dan asam indene asetat, contoh: indometasin, sulindak, etodolak
4. Asam heteroalil asetat, contoh: tolmetin, diklofenak, ketorolak 5. Asam arilpropionat, contoh: ibuprofen, naproksen, feniprofen, ketoprofen 6. Asam antranilat (fenamat), contoh: asam mefenamat, asam meklofenamat 7. Asam enolat, contoh: oksikam (piroksikam, tenoksikam), pirazolidin (fenilbutazon, oksifentatrazon) (Richard,1989).
Cryotherapy telah direkomendasikan sebagai pengobatan awal untuk regangan otot selama lebih dari 30 tahun (Cristhoper et al, 2008) untuk fase inflamasi akut setelah terjadi cedera soft tissue dan cryotherapy diperkirakan dapat mengurangi edema formasi melalui induksi vasokonstriksi, dan mengurangi sekunder kerusakan hipoksia dengan menurunkan metabolisme jaringan yang terluka. Aplikasi es pada jangka pendek telah digunakan selama fase sub-akut peradangan untuk menghasilkan efek analgesic (Aroyah, 2012). Penelitian yang dilakukan Bleakley et al (2004), tentang penanganan cedera dengan menggunakan es didapatkan hasil bahwa pengobatan menggunakan es terhadap jaringan lunak yang cedera dapat menurunkan nyeri dan menghilangkan pembengkakan. Terapi dingin dianjurkan selama satu sampai tiga hari setelah cedera (tergantung pada beratnya) atau pada fase cedera akut. Selama waktu ini, pembuluh darah di sekitar jaringan yang terluka membuka, nutrisi dan cairan masuk kedarah untuk membantu penyembuhan jaringan. Jika pembengkakan dan peradangan tidak dihentikan atau diperlambat, kerusakan jaringan lebih luas dapat terjadi dan cedera mungkin memakan waktu lebih lama untuk penyembuhan (Aroyah, 2012). DAPUS Aroyah, Novita. (2012). Terapi dingin (cold therapy) dalam penanganan cedera olahraga . Jurusan Pendidikan dan Rekreasi FIK UNY diakses dari http://www.staff.uny.ac.id/ (tanggal 4 April 2014). Richard, Harkness. (1989). Informasi Obat. Diterjemahkan oleh Goeswin Agoes dan MathildaB.Widianto. Bandung: Penerbit ITB. Suardi, Dradjat Ryanto. (2011). Peran dan Dampak Terapi Komplementer/ Alternatif bagi Pasien Kanker. CDK 188 / vol. 38 no. 7 / November 2011 diakses dari http://www.kalbemed.com/ tanggal 4 April 2014.