Anda di halaman 1dari 7

Psikoedukasi keluarga pada pasien skizofrenia

Posted by Lahargo Kembaren


ABSTRAK

Skizofrenia merupakan gangguan kronik yang sering menimbulkan relaps. Kejadian relaps yang
terjadi pada pasien skizofrenia ditimbulkan oleh berbagai faktor. Tatalaksana pasien skizofrenia
saat ini adalah meliputi berbagai aspek mulai dari pemberian obat antipsikotik sampai terapi
psikososial. Terapi psikososial yang cukup efektif adalah psikoedukasi keluarga. Psikoedukasi
keluarga dapat mengurangi terjadinya relaps pada pasien skizofrenia.

Kata kunci : Psikoedukasi keluarga, relaps, skizofrenia


PENDAHULUAN

Skizofrenia merupakan gangguan jiwa kronik yang memiliki karakteristik gejala positif seperti
waham dan halusinasi, juga gejala negatif seperti afek tumpul dan apatis. Penyakit ini juga sering
berhubungan dengan ganggguan kognitif dan depresi. Penyakit ini biasanya mulai muncul pada
usia dewasa muda dan ditandai dengan terjadinya relaps dengan periode remisi sempurna atau
parsial.Pada kebanyakan kasus, penyakit ini menyebabkan disabilitas, mengenai seluruh aspek
dalam kehidupan dan membutuhkan terapi anti psikotik jangka panjang.1 Skizofrenia merupakan
gangguan jiwa yang menghancurkan dan dapat menimbulkan disabilitas. Prevalensi terjadinya
skizofrenia adalah 0,4 1,4 % dan biasanya dimulai pada usia dewasa atau dewasa muda.
Kurang dari 20 % pasien yang dapat mengalami recovery sempurna setelah episode pertama. 2
Terapi yang diberikan bertujuan untuk mencapai keadaan remisi pada semua gejala dengan
memaksimalkan kapasitas fungsi dan optimalisasi kualitas hidup.1 Antipsikotik konvensional
seperti klorpromazine dan haloperidol yang diperkenalkan pada tahun 1950 cukup efektif dalam
mengobati psikosis akut dan mencegah terjadinya relaps. Terapi untuk mencegah relaps
memerlukan waktu yang lama bahkan bisa seumur hidup sehingga diperlukan obat yang efektif,
aman, dan sedikit efek samping. Untuk tujuan ini maka dengan mulai munculnya obat
antipsikotik golongan atipikal maka pengobatan skizofrenia mulai berubah dengan menggunakan
obat antipsikotik atipikal yang memiliki efek samping lebih sedikit. 1,2
Meskipun pengobatan dengan antipsikotik efektif mengurangi angka terjadinya relaps tetapi 30%
- 40% pasien mengalami relaps pada satu tahun setelah keluar dari rumah sakit meski mereka
tetap meminum obat. Mengkombinasikan antara pengobatan antipsikotik dengan pendekatan
psikososial merupakan suatu cara yang efektif dibandingkan hanya dengan obat saja dalam
mencegah terjadinya relaps pada pasien skizofrenia. Komponen dari terapi psikososial antara lain
adalah :
Psikoedukasi keluarga dan pasien : pasien, keluarga dan orang kunci di sekitar pasien perlu
belajar sebanyak mungkin tentang apa itu skizofrenia, bagaimana pengobatannya sehingga
terbentuk pengetahuan dan ketrampilan yang berguna untuk mencegah timbulnya relaps.
Kolaborasi membuat keputusan : penting bagi pasien, keluarga, dan klinisi untuk memutuskan
bersama tentang terapi dan tujuannya. Apabila pasien sudah mulai membaik, dia dapat menjadi
bagian dalam pembuatan keputusan ini.
Monitoring gejala dan pengobatan : monitoring yang hati-hati dapat meyakinkan pasien untuk
minum dan mengidentifikasi secara dini tanda-tanda timbulnya relaps sehingga pencegahan
dapat dilakukan.
Asistensi dalam mencari pelayanan kesehatan, asuransi, dll : Pasien kadangkala membutuhkan
bantuan dalam mencari pelayanan kesehatan yang lain seperti medis, gigi, atau mencari asuransi
kesehatan. Tim terapi, pasien dan keluarga harus berusaha mengeksplorasi sumber-sumber apa
saja yang dapat diperoleh atau disediakan. Termasuk di dalamnya apabila pasien sudah mulai
ingin bekerja, dicarikan tempat pekerjaan yang cocok.
Terapi suportif : termasuk dukungan emosi dan meyakinkan serta mendorong prilaku sehat
pasien dan membantu pasien menerima keadaannya.
Peer support / self help group : adanya sebuah kelompok yang memiliki jadwal bertemu yang
reguler tergantung pada kebutuhan dan perhatian dari kelompok tersebut. Pembicara dapat
diundang untuk memberikan pengetahuan, terjadi juga diskusi dan sharing yang dapat saling
menguatkan.
Pelayanan yang lain yang juga dapat diberikan pada pasien antara lain adalah :
Mengatur jadwal pertemuan kembali dengan dokter
Assertive community treatment
Rehabilitasi : - rehabilitasi psikososial : membantu pasien melatih
ketrampilan dengan tujuan mendapatkan atau
mempertahankan pekerjaan
- rehabilitasi psikiatri : mengajarkan pasien ketrampilan yang
membuatnya dapat meraih tujuan dalam pekerjaan,
pendidikan, sosialisasi dan tempat tinggal
- rehabilitasi pekerjaan : latihan bekerja dan program training
yang dapat membantu pasien untuk menjadi pekerja penuh
waktu
Intensive partial hospitalization
Aftercare day treatment
Penelitian yang dilakukan oleh Marvin dkk pada tahun 2000 menunjukkan bahwa suatu program
untuk mencegah relaps yang mengkombinasikan psikoedukasi keluarga dengan intervensi klinik
termasuk obat obatan, dapat secara efektif mengurangi terjadinya relaps pada pasien
skizofrenia. 1

RELAPS PADA PASIEN SKIZOFRENIA

Banyak sekali variasi definisi dari relaps, ada yang mendefinisikan relaps sebagai munculnya
kembali gejala patopsikologi pada pasien, ada juga, mendefinisikan relaps sebagai meningkatnya
skor PANSS gejala positif menjadi sedang berat atau lebih ( 5 ), atau ada juga yang
mendefinisikan relaps sebagai moderately ill pada CGI Severuty of Illness Scale, much
worse atau very much worse pada CGI Improvement Scale, dan paling tidak moderate pada
1 atau lebih SAD-C+PD gejala psikosis dan kriteria ini dipertahankan paling tidak 1 minggu 1
Relaps dapat terjadi sebagai suatu bentuk alamiah dari skizofrenia, termasuk di dalamnya
keterkaitan penyakitnya dan mekanisme psikososial. Faktor faktor yang menyebabkan
terjadinya relaps : 6
Berhubungan dengan penyakit Psikososial
Eksaserbasi idiopatik
Bagian alami dari penyakit
Tilikan yang buruk
Kepatuhan minum obat yang rendah Kurangnya faktor suportif dari keluarga / care giver
Lingkungan yang menekan
Sistem pelayanan kesehatan ( hanya 50% pasien yang kontrol setelah keluar dari RS )
Anggota keluarga dapat bereaksi negatif terhadap anggota keluarga lainnya yang menderita
skizofrenia yaitu dengan menunjukkan sikap : bingung, marah, tidak mengerti, bermusuhan,
overprotektif. Reaksi negatif keluarga ini disebut sebagai High expressed emotions (HEE).
Keluarga dengan ekspresi emosi yang rendah dikatakan sebagai keluarga yang suportif,
menunjukkan simpati, kasih sayang, perhatian, tanpa menjadi overprotektif. Pasien yang tinggal
dengan keluarga yang memiliki ekspresi emosi yang tinggi memiliki resiko terjadinya relaps
yang makin besar. Psikoedukasi keluarga merupakan suatu jembatan yang membuat keluarga
menjadi sadar dengan keadaan penyakit pasien dan dengan demikian menurunkan ekspresi emosi
keluarga sehingga resiko terjadinya relaps dapat dikurangi.7


PSIKOEDUKASI KELUARGA

Kepedulian masyarakat akan kesehatan khususnya kesehatan jiwa akan meningkatkan peran
serta mereka untuk bertanggung jawab terhadap program pelayanan kesehatan jiwa masyarakat
(Florez, 2001). Penggunaan sumberdaya yang tersedia di masyarakat dapat memberdayakan
individu, keluarga, kelompok dan masyarakat sehingga kesehatan jiwa menjadi tanggung jawab
masyarakat bukan hanya tanggung jawab para profesional (Leff, 2001). 2,5
Peran serta masyarakat sangat penting karena perawatan di rumah sakit jauh lebih mahal,
misalnya biaya perawatan pasien skizofrenia di USA sebesar 65.2 juta dolar per tahun (Genduso,
2996). Biaya perawatan pasien skizofrenia di rumah oleh keluarga akan menghemat sebesar 25
juta pounds per tahun. 5
Keberhasilan pelayanan pada pasien skizofrenia tergantung dari kerjasama tim kesehatan jiwa di
masyarakat (dokter, perawat, pekerja sosial) dengan pasien dan keluarganya (Falloun, 1990).
Anggota keluarga diperlukan memberikan perawatan di rumah khususnya pencegahan tersier
pada skizofrenia (Tomaras, 2000), serta melakukan fungsinya. 1, 5

a. Keluarga
Pengertian keluarga berkembang sesuai dengan kondisi yang ada. Pada mulanya keluarga
diartikan sebagai kumpulan individu yang diikat oleh perkawinan, hubungan darah atau adopsi
yang tinggal bersama dalam satu keluarga (Friedman, 1998). Setiap individu pasti mempunyai
keluarga baik secara legal melalui perkawinan antara suami dan istri, hubungan darah yaitu
hubungan anak dan orangtua serta saudara, atau melalui adopsi yang disahkan secara hukum
menjadi hubungan anak dan orangtua.
Pada tahap selanjutnya pengertian keluarga berkembang menjadi dua atau lebih individu yang
bersama-sama diikat olah kedekatan emosi dan kepedulian sesama dan tidak terbatas pada
anggota keluarga yang ada hubungan perkawinan, hubungan darah atau adopsi (Friedman,1998).
5
Keluarga merupakan sistem yang paling dekat dengan individu dan merupakan tempat individu
belajar, mengembangkan nilai, keyakinan, sikap dan perilaku (Keliat, 1995). Agar keluarga
memberikan dampak terhadap individu yang menjadi anggota keluarga tersebut, maka
diharapkan anggota keluarga dapat berfungsi dan berperan secara kondusif. Friedman (1998)
mengidentifikasi 5 (lima) fungsi keluarga. 5

1) Fungsi afektif, berhubungan erat dengan pemenuhan aspek psikososial yang ditandai dengan
keluarga yang gembira , bahagia, akrab, merasa dimiliki, gambaran diri yang positif, yang semua
didapatkan melalui interaksi didalam keluarga. Setiap anggota keluarga saling mengasihi,
menghargai, dan mendukung. Kepedulian dan pengertian antar anggota keluarga merupakan
pemenuhan kebutuhan psikologis dalam keluarga (Hunt & Zurek, 1997). Perceraian, kenakalan
anak, masalah psikososial dan gangguan jiwa sering dijumpai pada keluarga yang fungsi
afektifnya tidak terpenuhi. Pasien perilaku kekerasan mungkin berasal dari keluarga yang kurang
saling menghargai, adanya permusuhan, kegagalan yang dipandang negatif. Kondisi afektif
keluarga yang dapat menimbulkan kekambuhan adalah ekspresi emosi yang tinggi seperti kritik
negatif, usil, permusuhan, atau terlalu mengatur (Pharoah, 2000). Penelitian yang dilakukan di
rumah sakit jiwa Bogor (Maryatini, 1998) menunjukkan bahwa sikap menerima, toleransi dan
mengkritik dari keluarga berhubungan dengan periode kekambuhan pasien. 5

2) Fungsi sosialisasi adalah proses interaksi dengan lingkungan sosial yang dimulai sejak lahir
dan berakhir setelah meninggal. Anggota keluarga belajar disiplin, budaya, norma melalui
interaksi dalam keluarga sehingga individu mampu berperan di masyarakat. Kegagalan
bersosialisasi dalam keluarga, terutama jika norma dan perilaku yang dipelajari berbeda dengan
yang ada di masyarakat dapat menimbulkan kegagalan bersosialisasi di masyarakat. Pasien
dengan perilaku kekerasan, mungkin mendapat penguatan yang didapat dari anggota keluarga.
Peristiwa kekerasan dalam keluarga juga merupakan faktor risiko lain bagi perilaku kekerasan
pasien. 5

3) Fungsi perawatan kesehatan adalah praktek merawat anggota keluarga, termasuk kemampuan
keluarga meningkatkan dan memelihara kesehatan. Keluarga menentukan apa yang harus
dilakukan jika sakit, kapan meminta pertolongan dan kepada siapa minta pertolongan. Penelitian
yang dilakukan dirumah sakit jiwa Lawang dan Menur (Widodo, 2000) menunjukkan bahwa 119
orang (68 %) pasien pernah berobat ke dukun, orang pintar, kiai, atau peramal sebelum dirawat
di rumah sakit. Hal ini terjadi karena kurangnya pengetahuan keluarga tentang cara merawat
pasien. Keluarga umumnya membawa pasien kerumah sakit jiwa karena perilaku kekerasan.
Oleh karena itu selama dirawat di rumah sakit, keluarga perlu diberikan pendididkan kesehatan
agar dapat merawat pasien setelah pulang dari rumah sakit. Tomczyk (1999) mengatakan ada dua
terapi yang perlu dilakukan pada keluarga yaitu psikoedukasi dan terapi sistemik keluarga agar
keluarga mampu merawat pasien. Keduanya bertujuan memberdayakan keluarga agar mampu
merawat pasien. 5

4) Fungsi reproduksi adalah fungsi keluarga untuk meneruskan kelangsungan keturunan. Belum
ada penelitian tentang faktor perilaku kekerasan yang terkait dengan jumlah saudara kandung
dalam keluarga. 5

5) Fungsi ekonomi adalah fungsi keluarga untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Asumsi krisis
ekonomi meningkatkan perilaku kekerasan secara kasat mata dapat dibuktikan. Demikian pula
jika keluarga mempunyai kemampuan merawat pasien di rumah akan mengurangi biaya
perawatan dirumah sakit. Penghasilan keluarga akan berkurang dengan adanya anggota keluarga
yang sakit (tidak produktif) ditambah anggota keluarga yang harus menemani atau merawat
pasien (tidak produktif). Seluruh fungsi keluarga ini akan difasilitasi dalam mendukung
perawatan pasien di rumah sakit dan setelah pulang ke rumah. Perlu dikaji siapa yang utama
akan memberikan perawatan kepada pasien setelah pasien pulang dari rumah sakit. Pada
penelitian di rumah sakit jiwa Lawang dan Menur (Widodo, 2000) ditemukan bahwa anggota
keluarga yang paling banyak merawat pasien adalah saudara kandung 62 orang (44,9 %) dan
orang tua 28 orang (20,2 %). 5

Psikoedukasi keluarga merupakan salah satu bentuk dari intervensi keluarga yang merupakan
bagian dari terapi psikososial. Pada psikoedukasi keluarga terdapat kolaborasi dari klinisi dengan
anggota keluarga pasien yang menderita gangguan jiwa berat.2,7
Tujuan dari program psikoedukasi adalah menambah pengetahuan tentang gangguan jiwa
anggota keluarga sehingga diharapkan dapat menurunkan angka kambuh, dan meningkatkan
fungsi keluarga (Stuart & Laraia, 1998). Tujuan ini akan dicapai melalui serangkaian kegiatan
edukasi tentang penyakit, cara mengatasi gejala, dan kemampuan yang dimiliki keluarga. 3,5,7
Pekkala dan Merinder (2001) menemukan bahwa program psikoedukasi menurunkan kambuh
atau rawat ulang dari 9 bulan menjadi 18 bulan. Sedangkan Dyck, et al (2000) menemukan
bahwa kelompok keluarga yang mendapat program psikoedukasi lebih efektif merawat gejala
negatif daripada kelompok standar. Selain itu program psikoedukasi berhasil mengurangi reaksi
negatif dan kejenuhan keluarga yang merawat.3,5
Secara umum, program komprehensif dari psikoedukasi adalah sebagai berikut:
a. Komponen didaktik, berupa pendidikan kesehatan, yang menyediakan informasi tentang
penyakit dan sistem kesehatan jiwa
b. Komponen ketrampilan, yang menyediakan pelatihan tentang komunikasi, penyelesaian
konflik, pemecahan masalah, asertif, manajemen perilaku dan manajemen stres
c. Komponen emosional, memberi kesempatan ventilasi dan berbagi perasaan disertai dukungan
emosional. Mobilisasi sumber daya yang dibutuhkan, khusus pada keadaan krisis
d. Komponen sosial, peningkatan penggunaan jejaring formal dan non formal. Peningkatan
kontak dengan jejaring sumber daya dan sistem pendukung yang ada di masyarakat akan
menguntungkan keluarga dan klien 5
Hal hal yang dilakukan pada saat melakukan psikoedukasi keluarga antara lain 8 :
Mengidentifikasi bagaimana reaksi anggota keluarga terhadap keadaan pasien yang menderita
gangguan jiwa.
Mengidentifikasi faktor penyebab gangguan jiwa yang diderita oleh pasien.
Mengidentifikasi tanda dan gejala prodormal gangguan jiwa yang terjadi pada pasien.
Mengajarkan kepada keluarga bagaimana strategi koping yang dapat diterapkan.
Menjelaskan kepada keluarga tentang psikobiologi penyakit jiwa, diagnosis dan
pengobatannya, reaksi keluarga, trauma keluarga, pencegahan kambuh, guideline keluarga.
Melakukan pemecahan masalah secara terstruktur


HUBUNGAN PSIKOEDUKASI KELUARGA DENGAN KEJADIAN RELAPS PADA
PASIEN SKIZOFRENIA

Memberikan obat antipsikotik pada pasien skizofrenia merupakan langkah pertama untuk
mengobati pasien tetapi sekarang ini semakin disadari bahwa perawatan yang komprehensif
membutuhkan integrasi antara obat-obatan, pencegahan relaps dan rehabilitasi psikososial.
Psikoedukasi keluarga merupakan terapi psikososial yang paling efektif. 4,10 Psikoedukasi dapat
mengurangi angka rawat dan mengurangi biaya pengobatan pada pasien skizofrenia.9,10,11
Beberapa studi tentang psikoedukasi keluarga yang telah dilakukan ditunjukkan di bawah ini : 3
Goldstein dkk. (1978) melakukan penelitian pada 104 pasien skizofrenia (terutama kunjungan
pertama) membandingkan antara psikoedukasi keluarga (orientasi enam krisis, sesi mingguan
cepat; pendidikan, membangun penerimaan, merencanakan masa depan) dengan pengobatan
dengan dosis rendah dan sedang dan hasilnya secara bermakna menurunkan relaps pada grup
psikoedukasi keluarga selama 6 bulan (p < 0.05 ).
Falloon dkk. (1982) melakukan penelitian pada 36 pasien skizofrenia yang tinggal dengan
keluarga yang HEE atau dinyatakan sebagai resiko tinggi untuk terjadinya relaps
membandingkan psikoedukasi keluarga ( pemecahan masalah dan latihan kemampuan
komunikasi pada keluarga di rumah. Terapi intensif selama 3 bulan yang diteruskan dengan 6
bulan sesi follow up ) dengan psikoterapi suportif individual dengan konseling keluarga yang
cepat dan hasilnya Secara bermakna menurunkan relaps pada grup terapi keluarga selama 9
bulan (p < 0.01).
Leff dkk. (1982, 1985) melakukan penelitian pada 24 pasien skizofrenia yang tinggal dengan
keluarga yang HEE membandingkan pendidikan pada keluarga, anggota keluarga, terapi
keluarga di rumah dengan kontrol teratur ke rumah sakit dengan kontak yang sedikit pada
keluarga dan hasilnya secara bermakna menurunkan relaps pada grup terapi keluarga selama 9
bulan (p > 0.05); tidak bermakna pada terapi 2 tahun.
Glick dkk. (1985) Haas dkk. (1988) melakukan penelitian pada 80 pasien dengan skizofrenia
atau gangguan skizofreniform dan 60 pasien dengan gangguan afektif mayor disorder
membandingkan intervensi pada keluarga yang dirawat selama 6 sesi: pendidikan, identifikasi
stresor kini dan akan datang dengan Perawatan intensif pasien rawat yang standar dan hasilnya
terapi memiliki efek positif yang bermakna pada gejala yang terdapat pada pasien perempuan
dan kelurga pasien pada subgrup tsb
Hogarty dkk. (1986, 1991) melakukan penelitian pada 103 pasien skizofrenia yang tinggal
dengan keluarga yang HEE membandingkan pendidikan, diskusi, komunikasi dan latihan
pemecahan masalah selama 2 tahun dengan Perawatan harian saja , latihan ketrampilan sosial
dan hasilnya Secara bermakna menurunkan relaps pada grup terapi keluarga pada follow up
tahun 1 dan 2 (p < 0.01)
McFarlane dkk. (1995) melakukan penelitian pada 172 pasien skizofrenia dengan kontak
keluarga 10 jam per minggu dan menghadiri 3 sesi program pendidikan / terapi membandingkan
psikoedukasi pada grup keluarga secara bersama dengan Psikoedukasi pada grup keluarga
sendiri sendiri dan hasilnya Secara bermakna terdapat penurunan relaps pada multifamily
Dari penelitian-penelitian ini didapatkan kesimpulan bahwa psikoedukasi keluarga dapat secara
efektif dan efisien mengurangi kejadian relaps pada pasien skizofrenia dan memperbaiki
fungsional dari pasien.

PENUTUP

Penanganan pasien dengan skizofrenia perlu dilakukan dengan komprehensif, mulai dari
perawatan di rumah sakit sampai dengan perawatan di rumah. Peran keluarga sangat penting
dalam penyembuhan pasien skizofrenia terutama dalam mencegah terjadinya relaps. Banyak cara
yang bisa dilakukan untuk mencegah terjadinya relaps pada pasien skizofenia salah satunya
adalah dengan melakukan psikoedukasi keluarga. Perlu diketahui lebih mendalam tentang
hubungan antara psikoedukasi keluarga dengan kejadian relaps pada pasien skizofrenia.



DAFTAR PUSTAKA

1. Hertz MI, Lamberti JS, Mintz J, Scott R, ODell SP, Mc Cartan L, et al. Program for Relapse
Prevention in Schizophrenia. A Controlled Study. Arch Gen Psychiatry. 2000;57:277-283.
2. Geddes J. Prevention of Relapse in Schizophrenia. The New England Journal of Medicine.
Volume 346:56-58.
3. Dixon LB, Lehman AF. Family Interventions for Schizophrenia. Schizophrenia Bulletin 1995,
21(4):631-643.
4. Mahgerefteh S, Pierre JM, Wirshing DA. Treatment Challenges in Schizophrenia :
Multifaceted Approach to Relapse Prevention. Available at:
http://www.psychiatrictimes.com/show Article/185303210 Accessed February 27, 2008.
5. Keliat, BA. Pemberdayaan Kliean dan Keluarga dalam Merawat Klien Skizofrenia dengan
Prilaku Kekerasan di Rumah Sakit Jiwa Pusat Bogor, 2001. Jakarta: University of Indonesia,
2003. Dissertation.
6. Maguire G, Yu B. Solution for Recovery and Wellness. Available at :
http://www.medscape.com. Accessed February 27, 2008.
7. Anonymous. Family Psychoeducation for Schizophrenia Lowers Relapse Rate, is Cost
Effective. Schizophrenia Daily News Blog February 24, 2007.
8. Anonymous. Family Psychoeducation Implementation Resource Kit Draft Version 2003.
Available a : http://www.medscape.com Accessed March 2, 2008.
9. Kluge CR, Walz GP, Bauml J, Kissling W. Psychoeducation in Schizophrenia-Results of All
Psychiatric Institutions in Germany, Austria, and Switzerland. Available at:
http://schizophreniabulletin.oxfordjournals.org/misc/terms.shtml Accessed February 27, 2008.
10. Pekkala E, Merinder L. Psychoeducation for Schizophrenia. Cochrane Database of
Systematic Reviews 2002, Issue 2. Available at : http://www.medscape.com. Accessed February
27, 2008.
11. Mino Y, Shimodera S, Inoue S, Fujita H, Fukuzawa K. Medical Cost Analysis of Family
Psychoeducation for Schizophrenia. Psychiatry and Clinical Neurosciences Volume 61 Issue 1 p
20-24, February 2007

Anda mungkin juga menyukai