Anda di halaman 1dari 16

1

1. HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan ekstraksi pigmen fikosianin dari spirulina dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Hasil Pengamatan Ekstraksi Fikosianin dari Spirulina

Pada tabel 1, dapat diketahui bahwa pigmen fikosianin adalah pigmen yang berwarna biru. Pigmen ini mengalami perubahan warna
menjadi lebih muda setelah dioven atau dikeringkan. Pada tabel tersebut juga dapat diketahui bahwa konsentrasi pigmen fikosianin dari
spirulina adalah sebesar 0.117-0.118 mg/ml, sedangkan yield yang dihasilkan dari 1 gram spirulina adalah sebanyak 0.738-0.731 mg. Dari
tabel tersebut juga dapat diketahui bahwa nilai absorbansi fikosianin pada OD
652
lebih rendah jika dibandingkan dengan pada OD
615
.
Kel
Berat Biomasa
Kering (gram)
Jumlah Aquades yang
Ditambahkan (ml)
Total Filtrat yang
Diperoleh (ml)
OD
615
OD
652

KF
(mg/ml)
Yield
(mg/gr)
Keterangan Warna
Sebelum
Dioven
Sesudah
Dioven
C1 8 100 50 0.8348 0.4343 0.118 0.738 Biru tua Biru muda
C2 8 100 50 0.8334 0.4337 0.118 0.738 Biru tua Biru muda
C3 8 100 50 0.8324 0.4336 0.117 0.731 Biru tua Biru muda
C4 8 100 50 0.8317 0.4335 0.117 0.731 Biru tua Biru muda
C5 8 100 50 0.8313 0.4336 0.117 0.731 Biru tua Biru muda
C6 8 100 50 0.8313 0.4332 0.117 0.731 Biru tua Biru muda

2

2. PEMBAHASAN

Seo et al (2013) menyatakan bahwa alga hijau dan alga biru-hijau merupakan mikroalga
yang banyak ditemukan di laut dan di air tawar. Alga-alga ini menggunakan cahaya
matahari untuk berfotosintesis, karbon dioksida, dan mineral-mineral di dalam air untuk
tumbuh. Mikroalga-mikroalga ini memiliki laju pertumbuhan yang sangat cepat.
Mikroalga juga dapat memproduksi beberapa produk yang dihasilkan selama proses
fotosintesis.

Menurut Richmond (1988), spirulina merupakan organisme yang termasuk dalam
golongan ganggang atau alga hijau biru. Tubuhnya tersusun atas filamen yang berwarna
hijau biru yang berbentuk filamen dan tidak memiliki cabang. Menurut Tietze (2004),
spirulina ini mempunyai ukuran tubuh yang lebih besar 100 kali dari sel darah merah
manusia. Pada jumlah koloni yang besar, spirulina akan terlihat berwarna hijau tua yang
disebabkan karena adanya klorofil dengan jumlah yang tinggi. Tietze (2004) juga
menambahkan bahwa, spirulina ini tumbuh danau yang bersifat basa atau alkali dan
memiliki suhu yang hangat, atau kolam-kolang dangkal yang berada di wilayah tropis.
Menurut Richmond (1992) yang diacu dalam Devanathan & Ramanathan (2012),
spirulina merupakan sumber protein yang sangat menarik baik untuk manusia maupun
hewan, karena spirulina memiliki kandungan protein yang tinggi, yaitu sebesar 50 % -
70 % dari berat keringnya (Richmond, 1988).

Menurut O Carra & O Heocha (1976) dan Song et al (2013), fikosianin merupakan
pigmen yang berwarna biru tua dan Menurut Richmond (1988), pigmen ini banyak
terdapat pada ganggang hijau-biru, terutama spirulina. Song et al (2013) juga
menambahkan bahwa fikosianin adalah komponen utama dari fikobiliprotein pada
spirulina. Fikosianin termasuk ke dalam kelompok biliprotein atau fikobiliprotein yang
merupakan pigmen yang banyak ditemukan pada Cyanophyta (ganggang hijau-biru),
Cryptophyta (ganggang crytomonad), dan Rhodophyta (ganggang merah) dan memiliki
fungsi dalam membantu proses fotosintesis yang berperan sebagai penyerap cahaya
(Hall & Rao, 1999). Vonshak (1997) yang diacu dalam Urek & Tarhan (2012),
menambahkan bahwa pigmen fikosianin ini digunakan oleh alga untuk berfotosintesis
3


di dalam perairan, pigmen ini dapat menyerap banyak cahaya matahari dilokasi dimana
klorofil hanya dapat menyerap sedikit cahaya matahari (misalnya di dalam perairan
dimana cahaya matahari tidak langsung mengenai alga).

Richmond (1988) menyatakan bahwa fikosianin memiliki berat molekul sebesar 134
kDa. Song et al (2013) juga menambahkan bahwa fikosianin memiliki berat molekul
140-210 kDa. Namun Richmond (1988) juga menambahkan bahwa terdapat pula
fikosianin yang memiliki berat molekul yang lebih besar, yaitu sebesar 262 kDa, berat
molekul yang lebih besar tersebut dikarenakan adanya fragmen fikobilisom.


Gambar 1. Struktur Fikosianin
(O Carra & O Heocha, 1976)

Menurut Song et al (2013) panjang gelombang yang dapat diserap secara maksimal oleh
fikosianin berkisar antara 610-620 nm. Fikosianin yang digunakan dalam bahan
makanan memiliki tingkat kemurnian 0.7. Beberapa metode telah dikembangkan untuk
pemisahan dan pemurnian dari fikosianin seperti metode kromatografi, presipitasi
amonium sulfat, ekstraksi dua fase dan sentrifugasi. Duangsee et al (2009) menyatakan
bahwa fikosianin digunakan sebagai perwarna makanan, nutraceutical dan untuk
aplikasi diagnosa sistem imun. Fikosianin ini utamanya diekstrak dari spirulina.
Berdasarkan struktur selnya, spirulina dikelompokan ke dalam bakteri prokariot. Ada
beberapa pigmen utama dalam sel spirulina seperti klorofil, karotenoid, dan fikosianin,
yaitu dapat mencapai sebesar 0.4-14% dari berat keringnya. Menurut Becker (1994)
yang diacu dalam Devanathan & Ramanathan (2012) menambahkan bahwa fikosianin
tidak hanya digunakan sebagai pewarna alami saja untuk makanan maupun kosmetik,
namun dapat digunakan pula untuk diagnosa, terapi, dan riset kesehatan.
4


Biomasa spirulina dimasukkan ke dalam erlenmeyer, kemudian dilarutkan dengan
aquades dengan perbandingan 2 : 25 (spirulina : aquades), kemudian di stirrer selama
kurang lebih 2 jam, lalu disentrifugasi dengan kecepatan 5000 rpm selama 10 menit.
Dalam hal ini fungsi aquades adalah untuk membantu melarutkan pigmen fikosianin
dari spirulina, penggunaan aquades juga tidak mempengaruhi apapun, karena aquades
bersifat netral (Lorenz, 1998). Selain itu biomassa sel dari spirulina lebih mudah larut di
dalam pelarut polar (misalnya air) jika dibandingkan dengan pelarut yang non-polar
(Boussiba & Richmond, 1980).

Menurut Hadioetomo (1993), stirrer merupakan alat pengaduk otomatis yang akan
bekerja dengan adanya energi panas. Menurut Andarwulan & Koswara (1992),
penggunaan stirrer disini adalah untuk memisahkan fikosianin dari spirulina. Sentrifuge
adalah alat yang digunakan untuk memisahkan padatan yang terdapat pada suatu larutan
atau campuran (Mahaputra et al, 2012). Menurut Mahaputra et al (2012), prinsip kerja
dari proses sentrifugasi ini adalah memisahkan padatan berdasarkan perbedaan berat
molekul dan dengan bantuan gaya gravitasi, dimana zat yang molekulnya lebih berat
akan terlempar dan menempel pada dinding tabung. Pada proses sentrifugasi ini
diperoleh 2 bagian, yaitu padatan yang disebut dengan endapan dan cairan yang disebut
dengan supernatan. Tujuan dilakukannya sentrifugasi dalam percobaan ini adalah untuk
memisahkan fikosianin dari spirulina, selain itu dilakukannya sentifugasi ini pula untuk
memisahkan spirulina dengan fikosianin yang sudah larut dalam aquades, karena yang
dibutuhkan hanyalah pigmennya saja untuk membuat zat warna.

Kemudian supernatan diambil, lalu di uji dengan menggunakan spektrofotometer
dengan panjang gelombang 615 nm dan 652 nm, namun sebelumnya harus dilakukan
pengenceran pada supernatan tersebut yaitu pengenceran 10
-1
(1 ml supernatan
ditambahkan dengan 9 ml aquades). Metode analisa yang digunakan dalam hal ini
adalah metode analisa spektrofotometri, dan alat yang digunakan dalam analisa
spektrofotometri ini adalah spektrofotometer, alat ini digunakan untuk mengukur
transmitan atau absorban dari suatu sampel sebagai fungsi panjang gelombang
(Basset,1994). Analisa spektrofotometri ini menggunakan prinsip kerja berdasarkan
hukum Lambert Beer, bila cahaya monokromatik melalui suatu media (larutan), maka
5


sebagian cahaya tersebut diserap, sebagian dipantulkan, dan sebagian lagi dipancarkan
(Ewing, 1976). Kelebihan dari analisa spektrofotometri ini adalah analisa ini sederhana
dan sangat mudah untuk dilakukan, serta memiliki tingkat akurasi yang cukup tinggi
(Sastrohamidjojo, 1992). Dalam pengujian fikosianin ini, panjang gelombang yang
digunakan adalah 615 nm dan 652 nm, karena menurut Hadi (1986), panjang
gelombang 610 - 710 nm dapat digunakan untuk mengukur warna komplementer biru-
hijau. Menurut Prabuthas et al (2011), tujuan dilakukannya analisa spektrofotometri
pada fikosianin ini adalah untuk mengetahui tingkat kemurnian dari fikosianin yang
diekstrak dari spirulina dengan menggunakan rasio absorbansi. Sedangkan tujuan
dilakukannya pengenceran pada sampel, karena fikosianin yang didapatkan terlalu
pekat, dan menurut Ewing (1976), spektrofotometer tidak dapat menyerap zat warna
yang terlalu pekat, sehingga diperlukannya pengenceran sebelum pengujian.

Selanjutnya supernatan yang belum diencerkan, dimasukan ke dalam 6 alas dengan
permukaan rata yang tahan panas (loyang), masing-masing sebanyak 8 ml, lalu
ditambahkan dekstrin ke dalam supernatan tersebut dengan perbandingan 1 : 1.25
(fikosianin : deksrtin), lalu diaduk rata dan diamati warnanya. Menurut Reynold (1982),
dekstrin merupakan salah satu unit dari polisakarida yang dihasilkan melalui proses
hidrolisa pati pada kondisi asam atau dibantu dengan enzim-enzim tertentu. Dekstrin
memiliki 6-10 unit glukosa dengan rumus molekulnya yaitu (C
6
H
10
O
5
)n. Dekstrin
memiliki warna putih sampai kekuningan, dan memiliki bentuk amorf.

Dalam hal ini, dekstrin yang ditambahkan pada fikosianin yang sudah diekstrak adalah
untuk mempertahankan keaslian warna pigmen karena dekstrin dapat mengurangi
kerusakan pigmen yang terjadi karena adanya reaksi oksidasi, hal ini disebabkan karena
dekstrin tersusun atas unit-unit glukosa yang dapat mengikat air, sehingga oksigen yang
terlarut dapat dikurangi, maka proses oksidasi akan terhambat (Fennema, 1976).
Menurut Arif (1987), fungsi penambahan dekstrin yang lainnya adalah untuk
meningkatkan berat produk atau rendemen produk, karena dekstrin dapat digunakan
sebagai agen entrapment atau agen pengisi (berkaitan dengan struktur molekul dekstrin
yang berbentuk spiral helix), karena dalam hal ini pigmen fikosianin akan dijadikan
pewarna dalam bentuk bubuk. Suparti (2000) juga menambahkan bahwa dekstrin
6


merupakan senyawa yang tahan panas atau stabil terhadap panas serta dapat
memerangkap senyawa penting pada pigmen fikosianin, sehingga stabilitas pigmen dan
stabilitas flavor dapat dipertahankan, bahkan setelah melalui proses pengeringan
(pengovenan).

Setelah itu, sampel-sampel tersebut dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 45
o
C
selama semalaman. Setelah kering, sampel-sampel tersebut dikeruk, lalu diblender
hingga halus, kemudian diamati warnanya. Tujuan dilakukannya pengovenan dalam hal
ini adalah untuk mengurangi kadar air dari produk (Candra, 2011), karena produk akhir
yang dihasilkan berbentuk bubuk. Suhu yang digunakan dalam pengeringan ini tidak
terlalu tinggi maupun terlalu rendah, yaitu 45
o
C, hal ini dilakukan dengan tujuan untuk
mencegah terjadinya kerusakan pada fikosianin akibat suhu yang terlalu tinggi, karena
jika suhu terlalu tinggi maka fikosianin akan mengalami resiko degradasi lebih tinggi
(Desmorieux & Decaen, 2006). Metode yang dilakukan dalam praktikum ekstraksi
fikosianin tidaklah sulit dan cukup sederhana, hal ini disebabkan oleh tipisnya dan
lembutnya membran sel dari spirulina, sehingga tidak membutuhkan proses pengolahan
yang khusus (Richmond, 1988).

Menurut Duangsee et al (2009), ada 3 cara lain yang dapat dilakukan untuk
mengekstraksi fikosianin dari spirulina, yaitu dengan menggunakan sonikasi, freezing
and thawing, dan dengan menggunakan enzim. Namun beliau juga menyampaikan
bahwa dari ketiga cara tersebut, cara ekstraksi dengan metode sonikasi jauh lebih efektif
dibandingkan dengan yang lainnya, meskipun sebenarnya metode ekstraksi dengan
menggunakan enzim lebih baik, namun metode ini membutuhkan biaya tinggi dan
membutuhkan penanganan yang sulit. Duangsee et al (2009) menuliskan bahwa
metode sonikasi ini dilakukan dengan menggunakan prosesor gelombang ultrasonik
dengan frekuensi 20 KHz.

Berbeda dengan Duangsee et al (2009), Seo et al (2013) juga menyatakan bahwa
adanya metode efektif lain dalam mengekstraksi fikosianin dari spirulina, yaitu dengan
menggunakan high-pressure process yang akan menghasilkan yield lebih tinggi dan
resiko kerusakan karena denaturasi lebih rendah. Beliau juga menambahkan bahwa jika
7


ekstraksi ini dilakukan dengan bantuan heksana, maka fikosianin yang didapatkan juga
akan lebih stabil dan memiliki tingkat kemurnian yang tinggi, dan keuntungan lainnya
adalah waktu yang dibutuhkannya jauh lebih sedikit.

Dari hasil yang didapatkan dari praktikum ini dapat diketahui bahwa pigmen fikosianin
adalah pigmen yang berwarna biru. Hal ini sesuai dengan pernyataan Song et al (2013),
bahwa fikosianin memiliki warna biru tua. Pigmen ini mengalami perubahan warna
menjadi lebih muda setelah dioven atau dikeringkan. Hal ini dapat terjadi karena adanya
degradasi warna dari pigmen fikosianin akibat pengeringan (Gaman & Sherrington,
1994). Namun hal tersebut juga dapat disebabkan karena terjadinya perubahan struktur
pigmen dari cair menjadi padat, sehingga mempengaruhi warnanya.

Pada tabel 1 juga dapat diketahui bahwa nilai absorbansi fikosianin pada OD
652
lebih
rendah jika dibandingkan dengan pada OD
615
. Hal tersebut dikearenakan panjang
gelombang yang dapat diserap secara maksimal oleh fikosianin berkisar antara 610-620
nm (Song et al, 2013), sehingga hasil absorbansi dengan panjang gelombang 615 lebih
besar jika dibandingkan dengan nilai absorbansi dengan panjang gelombang 652 nm.
Pada tabel tersebut juga dapat dilihat adanya perbedaan tipis dari nilai absorbansi yang
dihasilkan meskipun dengan bahan dan panjang gelombang yang sama. Perbedaan hasil
tersebut dapat disebabkan oleh cuvet yang kotor (pencucian cuvet yang tidak bersih),
penempatan cuvet yang tidak sesuai, adanya gelembung udara dalam larutan yang
diukur absorbansinya, ukuran cuvet yang tidak sama, kurang sempurna dalam
menyiapkan larutan sampel dan blanko (Pomeranz & Meloan, 1994).

Dari tabel tersebut juga dapat diketahui bahwa konsentrasi pigmen fikosianin dari
spirulina adalah sebesar 0.117-0.118 mg/ml, sedangkan yield yang dihasilkan dari 1
gram spirulina adalah sebanyak 0.738-0.731 mg. Menurut Bennet & Bogorad (1973),
nilai konsentrasi fikosianin (KF) dan yield dari fikosianin yang diperoleh dapat dihitung
dengan menggunakan rumus:
Konsentrasi Fikosianin/KF (mg/ml) =
OD
615
-0,474 (OD
652
)
5,34

Yield (mg/g) =
KF x Vol (Total Filtrat)
Berat biomassa (g)
8


Bennet & Bogorad (1973) juga menyatakan bahwa nilai KF dan yield yang diperoleh
sangat dipengaruhi oleh nilai absorbansi dari fikosianin, maka dari itu perbedaan nilai
konsentrasi fikosianin dan yield disebabkan karena nilai absorbansi yang berbeda-beda
tiap-tiap kelompok.













9

3. KESIMPULAN

Spirulina termasuk ke dalam kelompok alga hijau-biru.
Warna hijau-biru tersebut didominasi oleh pigmen fikosianin dan adanya klorofil.
Pigmen fikosianin ini memiliki warna biru yang dapat ditangkap secara optimal
pada panjang gelombang 610-620 nm.
Pigmen fikosianin ini dapat digunakan sebagai zat pewarna makanan maupun
kosmetik.
Biomassa sel dari spirulina lebih larut pada pelarut polar.
Spirulina memiliki membran sel yang halus dan tipis.
Ekstraksi pigmen fikosianin dapat dilakukan dengan cara yang sederhana dan tidak
khusus.
Spirulina memiliki kandungan protein yang tinggi.
Warna dari fikosianin dipengaruhi oleh suhu.
Sama seperti klorofil, fikosianin juga digunakan spirulina untuk melakukan
fotosintesis.
Berbeda dengan klorofil, fikosianin dapat menyerap sinar matahari secara maksimal
meskipun di dalam perairan.
Nilai KF dan yield sangat dipengaruhi oleh nilai absorbansi dari fikosianin.
Fikosianin termasuk ke dalam kelompok biliprotein.
Suhu yang terlalu tinggi saat pengeringan akan beresiko merusak fikosianin lebih
tinggi.
Dekstrin merupakan salah satu unit dari polisakarida.
Dekstrin digunakan untuk menambah yield dari produk fikosianin berbentuk bubuk.
Dekstrin dapat menjaga kestabilan fikosianin saat dikeringkan.
Dekstrin dihasilkan dari hidrolisa pati dengan asam.
Ada banyak cara yang dapat dilakukan untuk mengekstraksi fikosianin dari
spirulina, seperti sonikasi, freezing and thawing, secara enzimatis, sentrifugasi, dan
high-pressure proces.
Selain digunakan sebagai pewarna alami, fikosianin juga dapat digunakan sebagai
obat.
10


Dekstrin digunakan sebagai agen entrapment.




Semarang, 11 September 2014
Praktikan, Asisten dosen,
- Agita Mustikahandini

Livia Novenia D
12.70.0081



11

4. DAFTAR PUSTAKA

Arief, M. (1987). Ilmu Meracik Obat Berdasar Teori Dan Praktek. Universitas
Gajahmada Press. Yogyakarta.

Andarwulan, N & S. Koswara. (1992). Kimia Vitamin. CV Rajawali. Jakarta.

Basset, J. 1994. Kimia Analisis Kuantitatif Anorganik. Jakarta: EGC.

Becker, E.W. Microalgae: biotechnology and microbiology. Cambridge: Cambridge
University Press, 1994.

Bennett, A.; Bogorad, L.; J. Cell. Biol. 1973, 58, 419.

Boussiba S and Richmond A. (1980). c-Phycocianin as a storage protein in the blue-
green alga Spirulina plantesis. Archives of Microbiology 125, 143-147.

Candra B.A. (2011). Karakteristik Pigmen Fikosianin dari Spirulina fusiformis yang
Dikeringkan dan Diamobilisasi. Insitut Pertanian Bogor.
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/47184/C11bac.pdf?seque
nce=1. Diakses tanggal tanggal 8 September 2014.

Desmorieux H. Decaen N. (2006). Convective drying of Spirulina in thin layer. Journal
Of Food Engineering, 77:64-70.

Devanathan, J & Ramanathan, N. 2012. Pigment production from Spirulina platensis
using seawater supplemented with dry poultry manure. Journal of Algal Biomass
Utilization (ISSN: 2229- 6905). India. Diakses pada tanggal 31 Agustus 2014.

Duangsee, R; Phoopat, N & Ningsanond, S. 2009. Phycocyanin extraction from
Spirulina platensis and extract stability under various pH and temperature.
Asian Journal of Food Agro- Industry. Thailand. Diakses pada tanggal 31
Agustus 2014.

Ewing, G. W. (1976). Instrumental Method of Chemical Analysis. Mc Growhill Book
Company. USA.

Fennema, O.R. (1976). Principles of Foods Science. Marcel Dekker. Inc. New York.

Hadi, S. (1986). Analisa Kuantitatif. Gramedia. Jakarta.
12


Hadioetomo, R. S. (1993). Mikrobiologi Dasar dalam Praktek : Teknik dan Prosedur
Dasar Laboratorium. PT Gramedia. Jakarta.

Hall DO, Rao KK. 1999. Photosynthesis Six edition. Cambridge: ,Cambridge university
press.

Lorenz RT. 1998. Quantitative Analysis of C-phycocyanin from Spirulina pasifica (low
teperature method). www.cyanotech.com. Diakses pada tanggal 7 September
2014.

Mahaputra L, dkk. 2012. Pemisahan Spermatozoa Sapi Limousin yang Memiliki
Kromosum X dan Y dengan Percoll dan Putih Telur Ayam. 14: 3. Diakses pada
tanggal 7 September 2014.

Carra P, hEocha C 1976. Algal Biliproteins and Phycobilins. Goodwin TW, editor.
1976. Chemistry and Biochemistry of Plant Pigments. London: Academic press
inc. Hal 328-371.
Pomeranz, Y & C. E. Meloan. (1994). Food Analysis Theory and Practice, 3rd Ed.
Publishing Company Inc. USA.

Prabuthas, P et al. (2011). Standardization of Rapid and Economical Method for
Neutraceuticals Extraction from Algae. Journal of Stored Products and
Postharvest Research. India.

Richmond A. 1988. Spirulina. Di dalam Borowitzka MA dan Borowitzka LJ, editor.
Micro-algal biotechnology. Cambridge: Cambridge University Press.

Richmond, A. Efficient utilization of high irradiance for production of photoautotrophic
cell mass: a survey. Journal of Applied Phycology, 8: 3816, 1992.

Reynolds, James E.F. (1982). Martindale The Extra Pharmacopolia, Edition Twenty
Eigth. The Pharmacentical Press. London.

Seo Chang, Y; Choi Woo, S; Park Jong, H; Park Jin, O; Jung Kyung, H dan Lee Hyeon,
Y. 2013. Stable Isolation of Phycocyanin from Spirulina platensis Associated
with High-Pressure Extraction Process. International Journal of Molecular
Sciences. www.mdpi.com/journal/ijms. Diakses pada tanggal 31 Agustus 2014.

Song, W; Zhao, C & Wang, S. 2013. 2013. A Large-Scale Preparation Method of High
Purity C-Phycocyanin. International Journal of Bioscience, Biochemistry and
Bioinformatics, Vol. 3, No. 4. Diakses pada tanggal 31 Agustus 2014.
13


Suparti, W. (2000). Pembuatan Pewarna Bubuk dari Ekstrak Angkak: pengaruh Suhu,
Tekanan dan Konsentrasi Dekstrin. Tesis. Program Pascasarjana. Universitas
Brawijaya. Malang.

Sastrohamidjojo, H. 1992. Spektroskopi Inframerah. Yogyakarta. Liberty Yogyakarta.

Tietze HW. 2004. Spirulina Micro Food Macro Blessing. Ed ke-4. Australia: Harald W.
Tietze Publishing. Hal 8-10.

Urek, RO dan Tarhan, L. 2012. The relationship between the antioxidant system and
phycocyanin production in Spirulina maxima with respect to nitrate
concentration. Biochemistry Division, Chemistry Department, Science Faculty,
Dokuz Eyll University, Turkey. Diakses pada tanggal 31 Agustus 2014.

Vonshak A (1997). Spirulina platensis (Arthrospira): Physiology, Cell-Biology and
Biotechnology. London: Taylor & Francis.







14

5. LAMPIRAN

5.1. Perhitungan
Rumus:
Konsentrasi Fikosianin/KF (mg/ml) =
OD
615
-0,474 (OD
652
)
5,34

Yield (mg/g) =
KF x Vol (Total Filtrat)
Berat biomassa (g)


Kelompok C1
OD
615
= 0,8348
OD
625
= 0,4343
KF =
0,8348 - 0,474 (0,4343)
5,34
= 0,118 mg/ml
Yield =
0,118 x 50
8
= 0,738 mg/g

Kelompok C2
OD
615
= 0,8334
OD
625
= 0,4337
KF =
0,8334 - 0,474 (0,4337)
5,34
= 0,118 mg/ml
Yield =
0,118 x 50
8
= 0,738 mg/g

Kelompok C3
OD
615
= 0,8324
OD
625
= 0,4336
KF =
0,8324 - 0,474 (0,4336)
5,34
= 0,117 mg/ml
Yield =
0,117 x 50
8
= 0,731 mg/g

Kelompok C4
OD
615
= 0,8317
OD
625
= 0,4335
15


KF =
0,8317 - 0,474 (0,4335)
5,34
= 0,117 mg/ml
Yield =
0,117 x 50
8
= 0,731 mg/g

Kelompok C5
OD
615
= 0,8313
OD
625
= 0,4336
KF =
0,8313 - 0,474 (0,4336)
5,34
= 0,117 mg/ml
Yield =
0,117 x 50
8
= 0,731 mg/g

Kelompok C6
OD
615
= 0,8313
OD
625
= 0,4332
KF =
0,8313 - 0,474 (0,4332)
5,34
= 0,117 mg/ml
Yield =
0,117 x 50
8
= 0,731 mg/g

5.2. Foto

C1 C3
C2
C4 C6 C5
16


5.3. Diagram Alir

5.4. Laporan Sementara

Anda mungkin juga menyukai