Anda di halaman 1dari 11

3.

PEMBAHASAN
Fikosianin merupakan pigmen yang memberikan warna biru pada ganggang hijau-biru
atau Cyanophyta. Fikosianin banyak terdapat pada mikroalga spirulina. Fikosianin
dapat digolongkan pada kelompok biliprotein atau fikobiliprotein. Pigmen fikosianin
berguna untuk membantu proses penyerapan cahaya matahari oleh ganggang untuk
fotosintesis didalam air (Hall & Rao, 1999). Ekstrak fikosianin dalam bidang pangan
sering digunakan sebagai pewarna makanan yang memiliki warna biru. Fikosianin juga
mmeiliki fungsi dalam bidang medis, yaitu sebagai nutraceutical dan untuk aplikasi
diagnosa sistem imun (Duangsee et al, 2009). Manfaat lain spirulina adalah sebagai
makanan sehat, karena menurut penelitian Zahroojian et al (2013), spirulina dapat
dimanfaatkan untuk menurunkan lemak dan kolesterol pada manusia. Komponen lain
yang terkandung oleh spirulina adalah 50-70% protein, selain itu juga terkandung
karbohidrat seperti rhamnose, fruktosa, ribosa, manosa, dan mineral seperti tembaga,
magnesium, zinc, kalium, dan zat besi, dan beberapa pigemen seperti fikosianin yang
dapat berperan sebagai antikosidan yang baik untuk menurunkan radikal bebas pada
tubuh (Sudha & Kavimani, 2011).
Cyanobacteria atau blue-green algae memiliki struktur sel yang sederhana sehingga
masuk dalam golongan prokariotik. Ganggang hijau-biru dapat masuk dalam kingdom
plantae dan dapat juga masuk dalam kingdom hewan, karena ganggang hijau-biru dapat
berfotosintesis dan memiliki diding sel seperti tanaman, dan pada sel membrannya
mengandung senyawa gula kompleks seperti glikogen pada hewan. Ganggang hijau-biru
dapat dikonsumsi oleh manusia, seperti pada spesies Nostoc, Spirulina, dan
Aphanizomenon (Saranraj & Sivasakthi, 2014).
Pada praktikum ini menggunakan spirulina sebagai bahan baku utama dalam ekstraksi
fikosianin. Spirulina merupakan organisme yang tergolong didalam kelompok bluegreen algae atau ganggang hijau biru. Tubuh spirulina banyak mengandung filamenfilamen yang berwarna hijau-biru yang tidak bercabang (Richmond, 1988). Spirulina
mengandung banyak pigmen fotosintesis, karena pigmen fotosintesis yang terkandung
dalam spirulina sebanyak 20% dari berat keringnya yang terdiri dari klorofil,
betakaroten, xantofil, dan fikosianin (Marrez et al, 2013). Pigmen yang paling dominan

pada spirulina adalah fikosianin, karena menyusun 0,4-14% berat kering spirulina
(Duangsee et al, 2009). Spirulina yang sering digunakan dalam ekstraksi fikosianin
adalah spesies Spirulina plantensis (Saranraj & Savaskthi, 2014). Menurut Marrez et al
(2013), Spirulina plantensis sering digunakan dalam industri pangan atau dalam
penelitian

karena

Spirulina

plantensis

dibudidayakan, serta mudah untuk diolah.

sangat

mudah

untuk

diperoleh

dan

Oleh karena itu dalam praktikum ini

menggunakan spesies tersebut.


Tahap awal dalam praktikum ini adalah menimbang biomassa spirulina dan dimasukkan
kedalam erlenmeyer yang kemudian dilarutkan didalam aquades dengan perbandingan
spirulina : aquades = 1 : 10. Tujuan penggunaan aquades sebagai pelarut biomassa
spirulina, karena biomassa spirulina mudah larut dalam pelarut polar seperti air
(Boussiba & Richmond, 1980). Aquades dipilih sebagai pelarut adalah karena aquades
memiliki kemurnian air yang lebih murni jika dibandingkan dengan air keran atau keran
biasa, sehingga aquades bersifat netral dan tidak terlalu mempengaruhi hasil
pengamatan, sehingga hasil pengamatan menjadi lebih valid (Lorenz, 1998). Menurut
hasil penelitian Prabuthas et al (2011), proses ektrasi fikosianin dapat diperoleh lebih
banyak jika pelarutan dilakukan dengan menggunakan larutan kalsium klorida jika
dibandingkan dengan aquades seperti yang dilakukan pada praktikum ini.
Proses pelarutan biomassa untuk mencapai hasil yang maksimal maka dilakukan
pengadukan. Proses pengadukan dilakukan dengan bantuan stirrer selama 2 jam. Stirrer
merupakan alat pengaduk yang dapat membantu dalam proses pengadukan cairan,
sehingga dapat membantu proses pengadukan terutama pada proses pengadukan yang
dilakukan dalam jangka waktu cukup lama. Pengadukan menggunakan stirrer juga
membentu dalam menghomogenitaskan larutan, karena proses pengadukan dilakukan
secara konstan, yang dijalankan oleh mesin dengan energi listrik (Hadioetomo, 1993).
Menurut Andarwulan & Koswara (1992), menyatakan bahwa proses pengadukan
menggunakan stirrer juga memiliki tujuan untuk memisahkan fikosianin dari spirulina.
Proses pengadukan tersebut menyebabkan fikosianin terlepas dari spirulina dan larut
dalam air aquades tetapi masih saling bercampur. Metode yang digunakan dalam
mengekstraksi fikosianin pada praktikum ini masih dapat dikatakan cukup sederhana
karena tidak dilakukan perlakuan untuk memaksimalkan proses ektraksi, karena proses

ektraksi fikosianin juga dapat dimaksimalkan dengan menggunakan alat ultrasound


sebelum proses spektrofotometri (Prabuthas et al, 2011).
Larutan biomassa yang telah didapatkan, kemudian di sentrifugasi selama 10 menit
dengan kecepatan 5000 rpm. Proses sentrifugasi bertujuan untuk memisahkan fikosianin
dari spirulina. Hasil dari proses sentrifugasi akan didapatkan 2 fase, yaitu padatan atau
endapan dan fase cair yang disebut sebagai supernatan. Supernatan dan padatan
dipisahkan, kemudian supernatan yang digunakan untuk pengamatan. Hal ini
dikarenakan supernatan tersebut mengandung fikosianin yang larut dalam air aquades,
sehingga pada saat proses sentrifugasi fikosianin yang larut dalam air aquades tidak
mengalami pengendapan (Boussiba & Richmond, 1980). Prinsip sentrifugasi adalah
memisahkan komponen dalam suatu campuran berdasarkan ukuran dan berat molekul,
sehingga semakin besar berat molekulnya maka akan berada dibagian bawah tabung
sentrifuge dan mengendap, sedangkan yang berukuran kecil dan yang larut akan berada
pada lapisan atas dan tidak mengendap. Proses sentrifugasi dilakukan dengan putaran
dan dengan bantuan gaya gravitasi sehingga menyebabkan terjadi pengendapan yang
jauh lebih cepat jika dibandingkan dengan proses pendiaman.
Supernatan yang diperoleh kemudian diencerkan hingga pengenceran 10 -2, setelah itu
diukur nilai absorbansinya menggunakan alat spektrofotometer. Proses pengenceran
bertujuan agar larutan tidak terlalu keruh sehingga didapatkan nilai absorbansi yang
akurat, karena larutan yang terlalu keruh atau terlalu pekat akan menghasilkan nilai
absorbansi diatas angka 1, yang artinya hasil tersebut tidak valid (Ewing, 1976).
Pengukuran nilai absorbansi dilakukan sebanyak 2 kali yaitu dengan panjang
gelombang 615 nm dan 652 nm. Alat spekrofotomter berguna untuk melakukan analisa
spektrofotometri, yaitu untuk mengukur transmitan atau nilai absorban pada sampel cair
dengan panjang gelombang tertentu (Basset, 1994). Didalam alat spektrofotometer,
larutan akan disinari dengan cahaya dengan panjang gelombang yang telah ditentukan
yang kemudian cahaya tersebut akan dipantulkan, dipancarkan, dan diserap oleh larutan
yang kemudian nilai serapan cahay tersebut dibandingkan dengan blangko sehingga
didapatkan nilai absorbansi (Ewing, 1976). Panjang gelombang yang digunakan dalam
analisa spektrofotometri ditentukan berdasarkan daya serap maksimum oleh warna yang
ada pada larutan. Menurut Hadi (1986), warna hijau-biru memiliki serapan pada
panjang gelombang antara 610 nm hingga 670. Oleh karena itu, dalam praktikum ini

menggunakan panjang gelombang 615 nm dan 652 nm, karena warna larutan yang
dihasilkan adalah hijau-biru.
Nilai absorbansi yang didapatkan memiliki nilai sebanding dengan kadar fikosianin.
Kadar atau konsentrasi fikosianin didapatkan melalui perhitungan dengan menggunakan
rumus sebagai berikut.
Konsentrasi Fikosianin=

OD 6150,474 (OD 652)


mg/ml
5,34

Konsentrasi fikosianin tersebut berguna untuk menentukan yield fikosianin, dengan


persamaan sebagai berikut.
konsentrasi fikosianin volume total filtrat
yield=
mg/ g
massabiomassa ( g)
(Bennet & Bogorad, 1973).
Supernatan yang didapatkan juga digunakan untuk pengamatan warna yang dihasilkan
dengan menggunakan dekstrin. Dekstrin adalah unit polisakarida yang merupakan hasil
dari proses hidrolisa pati pada kondisi asam dengan bantuan enzim tertentu. Dektrin
memiliki rumus molekul (C6H10O5)n yang memilki 6 hingga 10 unit glukosa. Sifat
umum yang dimiliki dekstrin adalah berwarna putih kekuningan dan amorf (Reynold,
1982). Tahap awal dilakukan pencampuran antara supernatan dengan dekstrin dengan
perbandingan 8:9 pada kelompok E1, E2, dan E3, dan pada kelompok E4 dan E5
dengan perbandingan 1:1 yaitu supernatan : dekstrin. Fungsi utama penggunaan dekstrin
dalam praktikum ini adalah sebagai entrapment agent atau sebagai bahan agen pengisi,
sehingga fikosianin dapat dijadikan sebagai pewarna dalam bentuk bubuk. Dekstrin
dapat sebagai agen pengisi terkait dengan struktur molekul dekstrin yang berbentuk
spiral helix sehingga dapat menyatu dengan pigmen fikosianin (Arif, 1987).
Penambahan dekstrin pada supernatan yang mengandung fikosianin yang relatif murni
berguna untuk mencegah terjadinya oksidasi pada pigmen fikosianin, sehingga
kerusakan pada pigmen fikosianin dapat dikurangi (Fennema, 1976).
Supernatan fikosianin yang telah tercampur rata dengan dekstrin kemudian dituang
kedalam wadah loyang yang telah dilapisi plastik dan kemudian diratakan. Campuran
dektrin dan fikosianin dalam wadah tersebut kemudian dikeringkan dalam oven dengan
suhu 450C hingga kering. Proses pengeringan dilakukan pada suhu yang relatif tidak

10

terlalu tinggi yaitu 450C bertujuan untuk mencegah terjadinya kerusakan pada fikosianin
akibat proses pemanasan yang terlalu tinggi, karena fikosianin mudah terdegradasi
dalam suhu tinggi (Desmorieux & Decaen, 2006). Oleh karena fikosianin tidak tahan
panas, maka fungsi utama lain dari penambahan dekstrin adalah untuk menjaga
fikosianin agar tidak rusak pada saat proses pengeringan. Hal ini dapat terjadi karena
pada dektrin bersifat tahan terhadap panas, sehingga fikosianin yang dirangkap oleh
dektrin dapat dipertahankan (Suparti, 2000). Proses pengeringan bertujuan agar kadar
air didalam fikosianin dan dektrin tersebut menguap, sehingga terbentuk padatan, dan
dapat dibuat menjadi bubuk dengan cara penghalusan. Bubuk fikosianin yang
didapatkan kemudian diamati warna sebelum dan sesudah pengeringan.
Pengamatan yang dilakukan meliputi konsentrasi fikosianin dalam mg/ml, dan yield
dalam mg/g yang didapatkan dengan rumus perhitungan dengan menggunakan berat
biomassa kering sebesar 8 gram dan volume filtrat sebenyak 56 ml, dan hasil nilai
absorbansi pada panjang gelombang 615 nm dan 652 nm, serta pengamatan sensori
yang menggunakan panelis dengan melihat warna fikosianin sebelum dan sesudah
dikeringkan. Pada hasil pengamatan warna didapatkan bahwa warna yang dihasilkan
pada E3 dan E4 tidak terjadi perubahan warna sebelum dan sesudah pengeringan, yaitu
berwarna biru muda yang merupakan warna yang paling muda sehingga tidak dapat
menurun lagi warnanya, sedangkan pada hasil pengamatan E1, E2, dan E5 terjadi
penurunan warna. Penurunan warna dari dari biru sangat tua menjadi biru muda, atau
biru tua menjadi biru muda, terjadi akibat dari degradasi warna pigmen fikosianin.
Degradasi pigmen tersebut terjadi akibat dari proses pengeringan (Gaman &
Sherrington, 1994).
Pada hasil pengamatan E5 memiliki warna yang paling tua bila dibandingkan dengan
hasil pengamatan kelompok lainnya. Hal ini dikarenakan pada kelompok E5
menggunakan perbandingan fikosianin : dekstrin sebesar 1:1, sehingga warna yang
dihasilkan menjadi lebih tua dibandingkan dengan kelompok E1, E2, dan E3 yang
menggukan perbandingan fikosianin yang lebih rendah yaitu 8 fikosianin berbanding 9
dekstrin. Kadar dekstrin mempengaruhi warna fikosianin karena dekstrin memiliki
warna putih, sehingga warna biru pada fikosianin menjadi menurun (Reynold, 1982).
Penurun warna yang terjadi pada kelompok E5 tidak terlalu derastis, yaitu dari biru
sangat tua menjadi biru tua. Hal ini membuktikan pernyataan Suparti (2000), bahwa

11

dekstrin mampu menjaga pigmen fikosianin sehingga efek degradasi selama


pengeringan dapat dikurangi.
Pada hasil pengamatan menunjukkan bahwa nilai absorbansi pada panjang gelombang
615 nm lebih besar dari pada 652 nm, sehingga hasil perhitungan konsentrasi fikosianin
dan yield tidak muncul hasil yang minus. Hal tersebut terjadi karena daya serapan
maksimum pada fikosianin yang memiliki warna hijau-biru adalah pada panjang
gelombang 610-620 nm (Song et al, 2013). Semakin besar konsentrasi fikosianin maka
semakin besar yield oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa konsentrasi fikosianin
berbandung lurus dengan yield. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa konsentrasi
fikosianin pada setiap kelompok berbeda-beda tetapi tidak terlalu jauh perbedaan, yaitu
dengan KF terbesar pada kelompok E3 sebesar 1,070 mg/ml, dan ynag terkicil adalah
pada kelompok E1 sebesar 0,886 mg/ml, hal tersebut juga sama pada yield yang
dihasilkan. Hal ini dikarenakan hasil pengamatan nilai absrobnasi baik pada 615 nm dan
652 nm pada setiap kelompok juga saling berdekatan, menurut Bennet & Bogorad
(1973), konsentrasi fikosianin dan yield sangat dipengaruhi oleh nilai absorbnasi pada
pangang gelombang 615 nm dan 652 nm. Hal tersebut disebabkan karena sampel yang
digunakan dalam pengukuran nilai absorbansi menggunakan sampel yang sama tanpa
perbedaan perlakuan. Perbedaan yang terjadi adalah wajar karena tidak terjadi dat yang
ekstrim sehingga data tersebut dapat dianggap valid, karena jika terjadi data ektrim
maka dapat disebabkan oleh kesalahan dalam penerapan atau penggunaan metode
spektrofotometri (Pomeranz & Meloan, 1994).
Nilai absorbansi yang terukur oleh alat spektrofotometer merupakan nilai daya serap
larutan yang dipengaruhi oleh intensitas warna pada larutan fikosianin. Warna yang
dihasilkan dipengaruhi oleh banyak dan sedikitnya kandungan fikosianin dalam larutan,
sehingga dapat dihitung konsentrasi fikosianinnya yang diukur dalam massa fikosianin
dengan satuan miligram dalam volume total larutn yaitu mililiter, sehingga didapatkan
kandungan vikosinin dalam berat biomassa spirulina. Hal ini menunjukkan bahwa
semakin besar nilai absorbansi pada panjang gelombang 615 nm maka semakin besar
konsentrasi fikosianin dalam larutan sehingga saling berbanding lurus. Kandungan
fikosianin didalam biomassa spirulina dipengaruhi oleh spirulina yang digunakan,
karena sumber spirulina yang digunakan juga sangat mempengaruhi kandungan
fikosianinnya (Marrez et al, 2013). Konsentrasi fikosianin juga dipengaruhi oleh cahaya

12

dan suhu. Hal ini dikarenakan pigmen fikosianin mudah terdegradasi oleh adanya
cahaya dan suhu yang terlalu tinggi (Arylza, 2005). Oleh karena itu proses pengeringan
dilakukan pada suhu rendah (Desmorieux & Decaen, 2006).

4. KESIMPULAN

Spirulina termasuk dalam ganggang hijau biru.


Spirulina mengandung protein, mineral, dan beberapa pigmen.
Spirulina memiliki pigmen dominan yaitu fikosianin.
Pigmen fikosianin berguna untuk proses fotosintesis didalam air oleh spirulina.
Fikosianin larut dalam air aquades.
Proses pengadukan dengan stirrer berguna untuk melarutkan fikosianin.
Proses sentrifugasi berguna untuk mengendapkan komponen selain fikosianin

yang telah terlarut.


Proses pengenceran berguna agar larutan tidak terlalu pekat atau keruh sehingga

dapat diukur nilai absorbansinya.


Nilai absorbansi pada panjang gelombang 615 nm berbanding lurus dengan

konsentrasi fikosianin.
Konsentrasi fikosianin berbanding lurus dengan yield.
Fungsi penggunaan dekstrin adalah untuk sebagai agen pengisi dan untuk

menjaga fikosianin dari proses peruskan.


Dekstrin memiliki warna putih dan bersifat amorf.
Selama proses pengeringan terjadi penurunan warna.
Penurunan warna terjadi akibat degradasi pigmen fikosianin selama proses

pengeringan.
Proses pengeringan bertujuan untuk menurunkan kadar air dalam campuran,

sehingga menjadi padatan kering yang dapat dihaluskan menjadi bubuk.


Pewarna fikosianin yang didapatkan dalam bentuk bubuk.
Fikosianin tidak stabil dalam suhu tinggi dan cahaya.

Semarang, 5 November 2015

13

Praktikan,

Asisten Dosen
-

Deanna Sutoro
Ferdyanto Juwono

Sylvester Agathon
13.70.0040
Kelompok E5

5. DAFTAR PUSTAKA
Andarwulan, N & S. Koswara. 1992. Kimia Vitamin. CV Rajawali. Jakarta.
Arief, M. 1987. Ilmu Meracik Obat Berdasar Teori Dan Praktek. Universitas
Gajahmada Press. Yogyakarta.
Arlyza, I. S. 2005. Isolasi Pigmen Biru Phycocyanin dari Mikroalga Spirulina platensis.
Oseanologi dan Limnologi di Indonesia. No. 38 : 79-92. ISSN 0125-9830.
Basset, J. 1994. Kimia Analisis Kuantitatif Anorganik. Jakarta: EGC.
Bennett, A.; Bogorad, L.; and J. Cell. Biol. 1973, 58, 419.
Boussiba S. and Richmond A. 1980. c-Phycocianin as a storage protein in the bluegreen alga Spirulina plantesis. Archives of Microbiology 125, 143-147.
Desmorieux H. Decaen N. 2006. Convective drying of Spirulina in thin layer. Journal
Of Food Engineering, 77:64-70.
Duangsee, R; Phoopat, N & Ningsanond, S. 2009. Phycocyanin extraction from
Spirulina platensis and extract stability under various pH and temperature. Asian
Journal of Food Agro- Industry. Thailand. Diakses pada tanggal 02 November
2015.
Ewing, G. W. 1976. Instrumental Method of Chemical Analysis. Mc Growhill Book
Company. USA.
Fennema, O.R. 1976. Principles of Foods Science. Marcel Dekker. Inc. New York.
Gaman, P. M dan K. B. Sherrington. 1994. Ilmu Pangan, Pengantar Ilmu Pangan,
Nutrisi dan Mikrobiologi. Universitas Gadjah Mada press. Yogyakarta.
Hadi, S. 1986. Analisa Kuantitatif. Gramedia. Jakarta.

14

Hadioetomo, R. S. 1993. Mikrobiologi Dasar dalam Praktek : Teknik dan Prosedur


Dasar Laboratorium. PT Gramedia. Jakarta.
Hall DO, Rao KK. 1999. Photosynthesis Six edition. Cambridge: ,Cambridge university
press.
Lorenz RT. 1998. Quantitative Analysis of C-phycocyanin from Spirulina pasifica (low
teperature method). www.cyanotech.com. Diakses pada tanggal 02 November
2015.
Marrez, D. A.; Naguib, M. M.; Sultan, Y. Y.; Daw, Z. Y.; and Higazy, A. M. 2013.
Impact of Culturing Media on Biomass Production and Pigments Content of
Spirulina platensis. International Journal of Advanced Research. Vol. 1 ISSN
2320-5407.
Pomeranz, Y & C. E. Meloan. 1994. Food Analysis Theory and Practice, 3rd Ed.
Publishing Company Inc. USA.
Prabuthas, P.; Majumdar, S.; Srivastav, P. P.; and Mishra, H. N. 2011. Standardization of
Rapid and Economical Method for Neutraceuticals Extraction from Algae.
Journal of Stored Products and Postharvest Research Vol. 2(5) pp. 93 96.
Reynolds, James E.F. 1982. Martindale The Extra Pharmacopolia, Edition Twenty
Eigth. The Pharmacentical Press. London.
Richmond, A. Efficient utilization of high irradiance for production of photoautotrophic
cell mass: a survey. Journal of Applied Phycology, 8: 3816, 1992.
Saranraj, P. and Sivasakthi, S. 2014. Spirulina Platensis Food For Future. Asian
Journal of Pharmaceutical Science & Technology.
Song, W; Zhao, C & Wang, S. 2013. 2013. A Large-Scale Preparation Method of High
Purity C-Phycocyanin. International Journal of Bioscience, Biochemistry and
Bioinformatics, Vol. 3, No. 4. Diakses pada tanggal 02 November 2015.
Sudha, M. and Kavimani, S. 2011. The Protective Role Of Spirulina On Doxorubicin
Induced Genotoxicity In Germ Cells Of Rats. International Journal of Pharma
and Bio Sciences. Vol. 2.
Suparti, W. 2000. Pembuatan Pewarna Bubuk dari Ekstrak Angkak: pengaruh Suhu,
Tekanan dan Konsentrasi Dekstrin. Tesis. Program Pascasarjana. Universitas
Brawijaya. Malang.
Zahroojian, N; Moravej, H.; and Shivazad, M. 2013. Effects of Dietary Marine Algae
( Spirulina platensis ) on Egg Quality and Production Performance of Laying
Hens. J. Agr. Sci. Tech.Vol. 15: 1353-1360.

15

6. LAMPIRAN
6.1. Perhitungan
Rumus :
Konsentrasi Fikosianin (mg/ml)=

Yield (mg/g)=

OD 6150,474 (OD 652 )


1

5,34
faktor pengenceran

KF vol(total filtrat )
g (berat biomassa)

E1
0,05510,474 ( 0,0164 )
1
2
5,34
10

Konsentrasi Fikosianin =

= 0,886 mg/ml

Yield

0,886 56
8

6,202 mg/g

E2
0,05750,474 ( 0,0164 )
1
2
5,34
10

Konsentrasi Fikosianin =

= 0,931 mg/ml

Yield

0,931 56
8

6,517 mg/g

E3
0,06470,474 ( 0,0159 )
1
2
5,34
10

Konsentrasi Fikosianin =

= 1,070 mg/ml
Yield

1,070 56
8

16

7,493 mg/g

E4
0,06130,474 ( 0,0144 )
1
2
5,34
10

Konsentrasi Fikosianin =

= 1,020 mg/ml

Yield

1,020 56
8

7,140 mg/g

E5
0,06130,474 ( 0,0176 )
1
2
5,34
10

Konsentrasi Fikosianin =

= 1,012mg /ml
Yield

1,012 56
8

7,084 mg/ g

6.2. Jurnal
6.3. Diagram Alir
6.4. Laporan Sementara

Anda mungkin juga menyukai