Anda di halaman 1dari 16

EMULSI

I.

Tujuan Percobaan
- Dapat membuat sediaan emulsi yang baik.
- Dapat menentukan jenis-jenis emulgator yang baik digunakan untuk
sediaan emulsi.

II.

Teori Dasar
2.1.
Pengertian Emulsi
Emulsi adalah sediaan berupa campuran yang terdiri dari dua fase cairan
dalam sistemdispersi dimana fase cairan yang satu terdispersi sangat halus dan
merata dalam fase cairanlainnya, umumnya dimantapkan oleh zat pengemulsi
(emulgator). Fase cairan terdispersi disebut fase dalam, sedangkan fase cairan
pembawanya disebut fase luar. Tujuan emulsiadalah untuk membuat suatu
sediaan yang stabil dan rata dari dua cairan yang tidak dapatbercampur, untuk
pemberian obat yang mempunyai rasa lebih enak, serta memudahkanabsorpsi
obat (Ansel, 1989).
Emulsi adalah sediaan yang mengandung bahan obat cair atau larutan obat,
terdipersi dalam cairan pembawa, distabilkan dengan zat pengemulsi atau
surfaktan yang cocok (DepKes pom, 1995).
Emulsi terjadi bila ditambahkan suatu zat yang dapat menurunkan tegangan
antarmuka di antara dua cairan yang tidak tercampurkan, sehingga
mengurangi tolak-menolak antara kedua cairan tersebut dan mengurangi tarikmenarik antarmolekul dari masing-masing cairan, atau menyebabkan cairan
menjadi tetesan-tetesan yang lebih kecil (Alfred Martin, 1994).
Emulsi terjadi bila ditambahkan suatu zat yang terdiri dari bagian polar dan
non-polar. Karena kedua cairan yang akan dibuat emulsi berbeda pula
muatannya, maka zat ini akan menempatkan dirinya sesuai dengan
kepolarannya (Ansel, 1989).
Emulsi terjadi bila ditambahkan zat yang dapat mengelilingi antarmuka kedua
cairan, mengelilingi tetesan fase dalam sebagai suatu lapisan tipis atau film
yang diadsorpsi pada permukaan dari tetesan tersebut. Semakin kuat dan
semakin lunak lapisan tersebut makaemulsi yang terbentuk akan semakin
stabil (Anief, 1999)
Zat pengemulsi yang sering digunakan adalah gelatin, gom akasia, tragakan,
sabun, senyawa amonium kwarterner, senyawa kolesterol, surfaktan, atau

emulgator

lain

ditambahkan

yang

zat

cocok.

Untuk

pengental,

mempertinggi

misalnya

tragakan,

kestabilan
tilosa,

dapat
natrium

karboksimetilselulosa (Lachman Leon, 1994).


Tipe Emulsi
Dengan penambahan surfaktan dan zat pengemulsi lain, tipe emulsi yang

2.2.

terbentuk tidak selalu merupakan fungsi fasa volume dan urutan pencampuran,
tetapi juga kelarutan relatif dari pengemulsi dalam minyak dan air. Pada
umumnya, fasa dengan pengemulsi paling larut menjadi fase kontinyu (Agoes,
2006).
Berdasarkan jenisnya, emulsi dibagi dalam dua golongan, yaitu:
a. Emulsi jenis m/a. Emulsi yang terbentuk jika fase dalam berupa minyak
dan fase luarnya air, disebut emulsi minyak dalam air (m/a). Polimer
hidrofilik dan surfaktan akan mendorong pembentukan emulsi minyak
dalam air (m/a). contoh emulsi minyak dalam air adalah santan, susu, dan
lateks (Agoes, 2006).
b. Emulsi jenis a/m. Emulsi yang terbentuk jika fase dalamnya air dan fase
luar berupa minyak, disebut emulsiair dalam minyak (a/m) Surfaktan
lipofilik mendorong pembentukan emulsi air dalamminyak (m/a). Contoh
emulsi air dalam minyak adalah minyak ikan, minyak bumi (Agoes, 2006).
Terdapat dua macam komponen emulsi:
1. Komponen dasar, yaitu bahan pembentuk emulsi yang harus terdapat di
dalam emulsi, terdiri atas:
a. Fase dispers/ fase internal/ fase diskontinu/ fase terdispersi/ fase
dalam, yaitu zat cair yang terbagi-bagi menjadi globul-globul kecil di
dalam zat cair lain.
b. Fase eksternal/ fase kontinu/ fase pendispersi/ fase luar, yaitu zat cair
dalam emulsi yang berfungsi sebagai bahan dasar (bahan pendukung)
emulsi tersebut.
c. Emulgator, adalah bagian dari emulsi yang berfungsi untuk
menstabilkan emulsi.
2. Komponen tambahan, adalah bahan tambahan yang sering ditambahakan
kedalam emulsi untuk memperoleh hasil yang lebih baik. Misalnya
corrigen

saporis,

odoris,

colouris,

antioksidan. (Syamsuni, 2007).


2.3.
Ketidakstabilan Emulsi
a. Flokulasi dan Creaming

pengawet

(preservative),

dan

Fenomena ini terjadi karena penggabungan partikel yang disebabkan oleh


adanya energi bebas permukaan saja. Flokulasi adalah terjadinya kelomokkelompok globul yang letaknya tidak beraturan di dalam suatu emulsi.
Creaming adalah terjadinya lapisan-lapisan dengan konsentrasi yang berbedabeda di dalam suatu emulsi. Lapisan dengan konsentrasi yang paling pekat
akan berada di sebelah atas atau disebelah bawah tergantung dari bobot jenis
fasa yang terdispersi (Alfred Martin, 1994).
b. Koalesen dan Demulsifikasi
Fenomena ini terjadi bukan karena semata-mata karena energi bebas
permukaan saja, tetapi juga karena tidak semua globul terlapis oleh film antar
permukaan. Koalesen adalah terjadinya penggabungan globul-globul menjadi
lebih besar, sedangkan demulsifikasi adalah merupakan proses lebih lanjut
dari koalesen dimana kedua fasa terpisah menjadi dua cairan yang tidak
bercampur. Kedua fenomena ini tidak dapat diperbaiki dengan pengocokan
(Alfred Martin, 1994).
Golongan Emulgator
a. Zat-zat yang aktif pada permukaan yang teradsorpsi pada antarmuka

2.4.

minyak/air membentuk lapisan monomolekular dan mengurangi tegangan


antarmuka (Alfred Martin, 1994).
b. Koloida hidrofilik, yang membentuk suatu lapisan multimolekular sekitar
tetesan-tetesan terdispers dari minyak dalam suatu emulsi m/a (Alfred
Martin, 1994).
c. Partikel-partikel padat yang terbagi halus, yang diadsorpsi pada batas
antarmuka dua fase cair yang tidak bercampur dan membentuk suatu
lapisan partikel di sekitar bola-bola terdispers (Alfred Martin, 1994).
2.5.
Penerapan di Bidang Farmasi
Suatu emulsi m/a merupakan suatu cara pemberian oral yang baik untuk
cairan-cairan yang tidak larut dalam air, terutama jika fase terdispers
mempunyai fase yang tidak enak. Yang lebih bermakna dalam farmasi kini
adalah pengamatan tentang beberapa senyawa yang larut dalam lemak, seperti
vitamin, diabsorbsi lebih sempurna jika diberikan per oral dalam suatu larutan
berminyak. Penggunaan emulsi intravena telah diteliti sebagai suatu cara
untuk merawat pasien lemah yang tidak bisa menerima obat-obatan secara
oral. Emulsi radiopaque telah ditemukan untuk penggunaan sebagai zat
diagnostik dalam pengujian sinar X (Alfred Martin, 1994).

Emulsifikasi secara luas digunakan dalam produk farmasi dan kosmetik untuk
pemakaian luar. Terutama untuk lotion kosmetik serta krem karena
dikehendakinya suatu produk yang menyebar dengan mudah dan sempurna
pada areal dimana ia digunakan. Emulsifikasi digunakan dalam produk aerosol
untuk menghasilkan busa. Propelan yang membentuk fase cair terdispers di
dalam wadah menguap bila emulsi tersebut dikeluarkan dalam wadahnya. Ini
menghasilkan pembentukan busa (Alfred Martin, 1994).

III.

Preformulasi
3.1 Zat aktif
a. Paraffin cair
Pemerian : tidak berwarna, transparan, tidak berbau, tidak punya rasa
cairan kental, tidak berflouresensi
Kelarutan : praktis tidak larut dalam air dan dalam etanol (95%)p.
Bobot Jenis : 0,870 gr - 0,890 gr
Titik lebur : 500
Stabilitas : mudah terurai dengan adanya cahaya dan udara dari luar
Inkompatibilitas : ketidak campuran dengan zat pengoksida lain yang
kuat.
(FI III hal 474 : HOPE hal 395)
3.2 Zat tambahan
a. Pulvis Gummi Acaciae (PGA)
Pemerian : Warna putih atau putih kekuningan, tidak berbau, tidak
berasa, bentuk serbuk.
Kelarutan : larut hamper semua dalam air, tetapi sangat lambat.
Meninggalkan sisa bagian tanaman dalam jumlah sangat sedikit dan
memberikan cairan seperti mucilage, tidak berwarna/kekuningan,
kental, lengket, transparan, praktis tidak larut dalam etanol dan dalam
eter.
Stabilitas : lebih mudah terurai dengan adanya udara dari luar, lebih
mudah terurai oleh bakteri / reaksi enzimatik, mudah teroksidasi.
Inkompatibilitas : amidopysin, apomorfin, anesol, etanol 95%, garam

b.

ferri morfin, fenol, banyak kandungan garam, menurunnya viskositas.


(FI edisi IV hal 718. HOPE hal 2)
Carboxy Methyl Cellulosum ( CMC-Na)

Pemerian : berwarna putih sampai krem, tidak berasa, berbentuk


serbuk atau granul
Kelarutan : mudah terdispersi dalam air. Praktis tidak larut dalam
aseton, etanol, eter.
Titik didih : 2770 C, keadaan terbakar 2520C.
PKa/PKb : 4,30
Bobot jenis : 0,78 g/cm2
PH larutan : 7-9
Stabilitas : bersifat stabil, meskipun merupakan bahan yang
higroskopis, dalam bentuk larutan stabil pH 2-10, secara umum
stabilitas dalam larutan berkisar antara pH 7-9. Disimpan dalam wadah
tertutup dalam keadaan kering.
Inkompatibilitas : CMC-Na tidak bercampur dengan asam kuat, logam
seperti alumunium, presipitas terjadi pada pH < 2 dan ketika tercampur

c.

dengan etanol (95%)P.


(FI ed IV hal 175 ; HOPE hal 97)
Veggum
Pemerian : serbuk hablur, berwarna putih sampai putih kekuningan,
hamper tidak berbau, tidak berasa
Kelarutan : praktis tidak larut dalam alcohol, dalam air dan dalam
pelarut organic
Bobot jenis : 2,418 g/cm3
PH : 1-4
Stabilitas : stabil pada kondisi kering, stabil pada pH luas, menyerap
banyak bahan organic, kompatibel dengan pelarut organic.
Inkompatibilitas : veegum dapat menyerap beberapa obat yang

d.

memiliki ikatan rapat, seperti talbutamid, wartawin, Na.Diazepam.


(HOPE hal 343 )
Polioksietilen Sorbiton Monoleat 80 (tween 80)
Pemerian : cairan kental, berwarna cairan kuning, berasa pahit,
mempunyai bau yang khas dan hangat
Kelarutan : larut dalam air dan dalam etanol dan praktis tidak larut
dalam minyak mineral dan minyak sayur.
Stabilitas : Stabil terhadap elektrolit dan dalam asam serta basa lemah,
perlahan-lahan akan terbentuk saponifikasi dengan asam kuat dan basa
akut, asam ester sensitive terhadap oksidasi.
Inkompatibilitas : dapat terjadi pengendapan dan peluaturan warna

e.

dengan beberapa zat khususnya fenol, tannin.


(HOPE hal 479)
Sorbiton Monoleat 80 (Span 80)

Pemerian : cairan kental, cairan Kristal kuning, berasa pahit, memiliki


bau yang khas.
Kelarutan pada umumnya larut atau terdispersi dalam minyak larut
dalam pelarut organic, praktis tidak larut dalam air.
Massa molekul : 346 g/mol
Stabilitas : perlahan-lahan akan membentuk busa dengan adanya asam
kuat Dan basa stabil terhadap asam lemah. Penyimpanan dalam wadah

f.

yang tertutup baik dalam tempat yang kering dan dingin.


HLB : 4,3
HOPE hal 591)
Cetyl alcohol
Pemerian : granul, busa putih, rasa lemah, bau khas
Kelarutan : praktis larut dalam (95%)P dan eter, larut dengan adanya
peningkatan temperaturr, praktis tidak larut dalam air.
Massa Molekul : 242,44 g/mol (untuk material asli)
Titik leleh : 45-520C
Stabilitas : stabil dengan adanya asam alkali, cahaya dan air, tidak
tengik. Baik disimpan dalam wadah tertutup rapat.
Inkompatibilitas : ketidakcampuran dengan bahan pengoksidasi yang

g.

kuat
(HOPE hal 130)
Aqua destilata
Pemerian : Cairan jernihm tidak berbau, tidak berasa.
Polimorfisme : Ukuran partikel
Titik Leleh : 1000C
Bobot jenis : 1 g/cm2
PH larutan : 7
Stabilitas : lebih mudah terurai dengan adanya udara dan luar
Inkompatibilitas : bahan yang mudah terhidrolisasi, bereaksi dengan
garam-garam anhidrat menjadi bentuk hidrat, material-material organic
dan kalsium koloidal
( HOPE IV, hal 672)

IV.

Alat dan bahan


Alat
Timbangan Elektrik
Mortir
Stemper
Penangas air
Stirrer
Cawan
Tabung Sedimentasi
Gelas ukur

Bahan
Paraffin liquidum
PGA
Tween 80
Span 80
Aquadest

Termometer
Beaker glass
Kertas perkamen
Kaca arloji
Botol semprot
V.

Prosedur Percobaan

5.1 Dengan menggunakan Emulgator Bahan Alam


5.1.1 Korpus Emulsi cara Basah
Ditimbang masing-masing zat
Disiapkan 20 ml air panas pada mortir
Ditaburkan 10 gram PGA sampai terbasahi
Digerus kuat sampai terbentuk korpus emulsi
Ditambahkan paraffin cair
Ditambahkan sedikit aquadest
Digerus sampai homogen
Dikocok pada stirrer sekitar 2 menit dan ditambahkan aquadest sampai
100 ml
Dimasukkan ke tabung sedimentasi
Diamati pada waktu 10, 20, 30, 60, 120 menit, 1 hari, 3 hari
5.1.2 Korpus Emulsi cara Kering
Ditimbang masing-masing zat
Didihkan air dan didinginkan sebelum dipakai
Dicampur paraffin cair, PGA, dan air
Digerus sampai homogen
Dikocok pada stirrer sekitar 2 menit
Dimasukkan ke tabung sedimentasi
Diamati pada waktu 10, 20, 30, 60, 120 menit, 1 hari, 3 hari
5.2 Dengan Menggunakan Emulgator Sintetik
Ditimbang masing-masing zat

Dimasukkan Tween 80 dan aquadest pada cawan 1


Dimasukkan Span 80 dan paraffin cair pada cawan 2
Keduanya dipanaskan sampai suhu 60-70C
Dicampurkan cawan 1 dan cawan 2 sambil diaduk dengan stirrer dalam
waktu sekitar 2-5 menit
Dimasukkan ke tabung sedimentasi
Diamati pada waktu 10, 20, 30, 60, 120 menit, 1 hari, 3 hari

VI.

Perhitungan
Parafin cair =

PGA 10% =

x 100% = 30g

x 100% = 10g

Air untuk mengembangkan PGA = 2 x 10 = 20 mL


Air untuk membentuk korpus emulsi = 2/4 x 30 = 15 mL
Tween 80 dan span 80 (3%) =
Tween 80 15

x 100% = 3g
7,7 7,7/10,7 x 3 = 2,16 gram

12
Span 80

4,3

3 3/10,7 x 3 = 0,84 gram


10,7

Aquadest = add 100ml


VII.

Penimbangan
Bahan

Jumlah

PGA 10%

10 g

VIII.

Parafin Cair

30 g

Tween 80

2,16 g

Span 80

0,84 g

Aquadest

Add 100ml

Hasil Pengamatan
6.1 Emulsi kering
a. Organoleptis : Warna Putih, tidak berbau
b. Berat jenis
W0 = 19,0912 g
W1 = 29,3752 g
W2 = 28,8181 g
Bj =
=
= 0,9458 g/ml
c. Viskositas :
= t(Sb - Sr) x B
= viskositas (P)
t = waktu (detik)
Sb = kerapatan bola yang digunakan
Sr = kerapatan cairan sampel
B = konstanta bola
= 1,5(2,2 - 0,945) x 0,007
= 0,013 P
6.2 Emulsi basah
a. Organoleptis :Warna putih, tidak berbau
b. Berat jenis
W0 = 19,0912 g
W1 = 29,3752 g
W2 = 28,8985
Bj =
= 0,9536 g/ml
c. Viskositas :
= 2,1(2,2 - 0,953) x 0,007
= 0,0183 P
6.3 Emulsi sintesis
a. Organoleptis Warna putih susu, tidak berbau
b. Berat jenis

W0 = 19,0912 g
W1 = 29,3752 g
W2 = 28,8400
Bj =
= 0,9479 g/ml

6.4 Pengamatan Tinggi Sedimentasi


Waktu

Emulsi Kering

F=

Emulsi
Sintesis

Emulsi Basah

F=

F=

10 menit
=1

=1

F=

=1

F=

F=

20 menit
=1

=1

F=

=1

F=

F=

30 menit
=1

=1

F=

F=

F=

60 menit
0,643

= 0,435

120
menit

F=

F=

F=

F=

F=

F=

F=
= 0,355

= 0,447

= 0,437

= 0,355

3 Hari

F=
= 0,468

= 0,368

1 Hari

= 0,505

= 0,382

F=
= 0,412

= 0,382

IX.

Pembahasan
Emulsi adalah sediaan yang mengandung bahan obat cair atau larutan
obat, terdispersi dalam cairan pembawa, distabilkan dengan zat pengemulsi
atau surfaktan yang cocok. Emulsi merupakan sediaan yang mengandung dua
zat yang tidak tercampr, biasanya air dan minyak, dimana cairan yang satu
terdispersi menjadi butir-butir kecil dalam cairan yang lain. Dispersi ini tidak
stabil, butir-butir ini bergabung (koalesen) dan membentuk dua lapisan air dan
minyak yang terpisah. (Moh. Anief, 2000)
Dalam percobaan ini dibuat sediaan berupa emulsi dengan menggunakan
emulgator alam dan emulgator sintetik. Emulgator merupakan komponen yang
paling penting agar memperoleh emulsi yang stabil. Semua emulgator bekerja
dengan membentuk film (lapisan) di sekeliling butir-butir tetesan yang
terdispersi dan film ini berfungsi untuk mencegah terjadinya koalesen dan
terpisahnya cairan dispers sebagai fase terpisah. Terbentuk dua tipe macam
emulsi yaitu emulsi tipe M/A dimana tetes minyak terdispersi dalam fase air
dan tipe A/M dimana fase intern adalah air dan fase extern adalah minyak.
(Moh. Anief, 2000).
Emulgator alam

yang

digunakan

adalah

PGA.

Pembuatannya

menggunakan dua metoda yang berbeda, yaitu metode korpus emulsi basah
dan metoda korpus emulsi kering. Pada metode korpus emulsi basah,
emulgator dikembangkan terlebih dulu didalam air panas, baru kemudian
dicampurkan dengan minyak paraffin dan ditambahkan sisa air. Sedangkan
metode korpus emulsi kering, tidak terjadi pengembangan emulgator terlebih
dahulu, namun emulgator, minyak dan air langsung dicampurkan secara
bersamaan.
Dari hasil pengamatan diatas dapat dijelaskan bahwa pada metode
korpus emulsi basah terjadi kestabilan dari menit ke 10 sampai menit ke 20,
tetapi dari menit ke 30 sampai pengamatan hari ke 3, terlihat penurunan
volume sedimentasi tetapi tidak terlalu signifikan. Namun harga volume
sedimentasi yang didapat jauh dari harga 1, dimana suatu emulsi yang stabil
nilai perbandingan antara tinggi lapisan seperti susu dengan tinggi lapisan
seluruh sediaannya mendekati 1. Begitupun dengan metode korpus emulsi
kering, walaupun pada menit ke 10 sampai ke 30 terlihat volume sedimentasi

berada pada rentang yang stabil yaitu 1, tetapi pada menit ke 60 sampai hari
ketiga harga volume yang didapat masih jauh dari harga 1.
Bila dilihat dari perbandingan harga volume sedimentasi yang didapat
antara korpus emulsi basah dengan korpus emulsi kering, yang lebih stabil
adalah korpus emulsi kering. Hal ini sangat berbeda dengan literatur yang
seharusnya yang lebih stabil adalah cara basah karena pada metode korpus
emulsi basah, emulgator (PGA) dikembangkan terlebih dahulu yang bertujuan
untuk menstabilkan emulsi sehingga tidak terjadi creaming..
Selain dilihat dari tinggi sedimentasi kestabilan emulsi evaluasi emulsi
juga dilihat dri viskositas dan berat jenis. Dimana nilai viskositas dengan
korpus emulsi kering didapat sebesar 0,013 P dan korpus emulsi cara basah
adalah 0,0183 P. Semakin tinggi viskositas dan persentase medium disperse,
maka makin tinggi viskositas emulsi. Demikian juga semakin kecil ukuran
partikel suatu emulsi, maka semakin tinggi viskositasnya dan makin tinggi
konsentrasi emulsifier/stabilizer yang digunakan. Faktor faktor yang
mempengaruhi viskositas suatu emulsi adalah viskositas medium dispersi,
persentase volume medium dispersi, ukuran partikel fase terdispersi dan jenis
serta konsentrasi emulsifier/stabilizer yang digunkan.
Selain dengan menggunakan emulgator alam, dalam praktikum kali ini
juga dilakukan pembuatan emulsi menggunakan emulgator sintetik yaitu
Tween 80 dan Span 80 3%, digunakan dua surfaktan yang dikombinasikan
dengan tujuan untuk memperoleh HLB surfaktan yang persis sama dengan
HLB minyak yang dibutuhkan. Dengan menyamakan atau mendekatkan harga
HLB kombinasi surfaktan pada HLB butuh untuk fasa minyak tertentu, akan
diharapkan hasil emulsi yang lebih baik. Kestabilan emulsi pada HLB butuh
dari fasa minyak berbeda-beda, tergantung dari efisiensi kombinasi surfaktan.
Di samping itu digunakan emulgator kombinasi karena sulit untuk mencari
emulgator tunggal sesuai dengan HLB butuh, selain itu pengemulsi hidrofilik
pada fase air dan zat hidrofobik pada fase minyak akan membentuk lapisan
kompleks pada batas minyak/ air, lapisan ini akan membungkus globul-globul
lebih rapat dibandingkan emulgator tunggal.
Dilakukan dengan cara korpus emulsi basah namun bedanya dengan yang
menggunakan emulgator alam yaitu formulasinya dibagi menjadi dua fasa dan

kedua fasa ini dilebur diatas water bath sampai suhu 60oC. Sediaan dibuat
dengan mencampurkan paraffin dengan span 80, dan tween 80 dengan air
yang dipanaskan 600C secara bertahap. Pemanasan ini bertujuan untuk
mempermudah proses pencampuran air dan minyak. Kemudian fase minyak di
masukkan ke dalam fase air.
Lalu dilakukan pengocokan dengan menggunakan stirrer. Stirrer
digunakan untuk mencampurkan kedua fase agar semakin meningkatkan
homogenitasnya. Pengocokan yang baik dilakukan secara berseling yakni
pengocokan selama 1 menit dan istirahat selama 20 detik, yang dilakukan
sebanyak 5 kali, tujuannya selain agar emulsi lebih cepat homogen, disamping
itu untuk mencegah terjadinya emulsi yang tidak stabil. Dimana pengocokan
secara kontinu akan mengganggu pembentukan tetesan, jadi waktu juga
berpengaruh dalam pembuatan emulsi, dimana untuk mendapatkan emulsi
yang stabil sebaiknya dilakukan secara berseling, sehingga kecepatan dua
cairan, yang tidak tercampur/teremulsi secara sempurna dengan waktu yang
berseling. Dalam hal ini yang harus dihindari adalah terbentuknya busa, yang
disebabkan oleh surfaktan yang larut dalam air. Karenanya untuk memperkecil
terbentuknya busa emulsifikasi harus dilaksanakan dalam sistem tertutup.
Dalam percobaan ini tipe emulsi yang dibuat adalah tipe emulsi O/W
atau emulsi minyak dalam air karena fase minyak terdispersi dalam fase air
dan dapat dilihat dari nilai HLB yang dipakai yaitu 12 menunjukan bahwa
emulsi ini termasuk kedalam tipe M/A. Berdasarkan literatur umumnya zat
aktif permukaan yang mempunyai harga HLB yang ditetapkan antara 3 sampai
6 akan menghasilkan emulsi air dalam minyak, sedangkan zat-zat yang
mempunyai harga HLB antara 8 sampai 18 menghasilkan emulsi minyak
dalam air. (Ansel, 1989)
Ketidakstabilan emulsi ini dapat terjadi jika konsentrasi dari emulgator
tidak sesuai atau tidak adanya penambahan bahan penstabil lainnyaseperti setil
alkohol, atau bisa jadi karena perubahan kelarutan bahan pengemulsiyang
disebabkan oleh antaraksi spesifik dengan bahan penambah (aditif) ataukarena
perubahan temperatur (Agoes, 2012. Hal 155). Di asumsikan bahwa
penambahan Tween 80 dan Span 80 dengan konsentrasi semakin tinggi

(mendekati 10%) akan meningkatkan kestabilan emulsi atau memperlambat


proses ketidakstabilan emulsi tersebut.
Umumnya suatu emulsi dianggap tidak stabil secara fisik jika : Fase
dalam atau fase terdispersi pada pendiaman cenderung untuk membentuk
agregat dari bulatan-bulatan, jika bulatan-bulatan atau agregat dari bulatan
naik ke permukaan atau turun ke dasar emulsi tersebut akan membentuk suatu
lapisan pekat dari fase dalam, dan jika semua atau sebagian dari cairan fase
dalam tidak teremulsikan dan membentuk suatu lapisan yang berbeda pada
permukaan atau pada dasar emulsi yang merupakan hasil dari bergabungnya
bulatan-bulatan fase dalam. Disamping itu suatu emulsi mungkin sangat
dipengaruhi oleh kontaminasi dan pertumbuhan mikroba serta perubahan
fisika dan kimia lainnya. (Ansel,2005).
Perhitungan viskositas ini tidak diberlakukan pada emulsi yang
menggunakan emulgator sintetik karena keterbatasan alat yang dimiliki.
Pengukuran viskositas emulsi yang menggunakan emulgator sintetis ini bisa
menggunakan viskosimeter Bola jatuh.
Apabila dilihat dari hasil pengamatan kestabilan dari ketiga emulsi
ditinjau dari tinggi sedimentasi yang kestabilannya lebih baik adalah emulsi
cara kering. Seharusnya apabila mengacu pada literatur sediaan emulsi yang
stabil adalah emulsi yang menggunakan emulgator sintesis karena dari
kestabilan emulgator stabil volume lebih stabil.
X.

Kesimpulan
- Sediaan emulsi yang dibuat dengan cara kering lebih stabil dibandingkan
-

dengan cara kering.


Pembuatan emulsi dengan menggunakan PGA 15 % lebih stabil dari PGA

10 %.
Semakin tinggi viskositas dan persentase medium disperse, maka makin
tinggi viskositas emulsi.

XI.

Daftar Pustaka
Agoes, G. 2006. Pengembangan Sediaan Farmasi. Institut Teknologi
Bandung.

Agoes, Goeswin. 2012. Sediaan Farmasi Likuida-Semisolida. Bandung :


Penerbit ITB
Anief, Moh. 2005. Ilmu Meracik Obat, cetakan XII, Gadjah Mada University
Press: Yogyakarta.
Ansel, H.C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, Edisi IV, Terjemahan
Farida Ibrahim. UI Press: Jakarta.
DepKes POM. 1995. Farmakope Indonesia Edisi Keempat. Jakarta:
Departemen Kesehatan.
Lachman, Leon. 1994. Teori dan Praktek Farmasi Industri. UI-Press: Jakarta
Martin, Alfred et.al. 1994. Farmasi Fisika. Jakarta: Universitas Indonesia
Press.
Syamsuni. 2007. Ilmu Resep. Jakarta: EGC
Rowe, Raymond, et all. 2009. Handbook of Pharmaceutical Exipien Sixth
Edition. London: Pharmaceutical Press

Anda mungkin juga menyukai