Anda di halaman 1dari 72

LAPORAN TUTORIAL

SKENARIO A BLOK 9

Tutor : dr. Nyayu Fauziah Zen, M.Kes


Disusun oleh: Kelompok B3
1. Leonardus Yogie R

(04011281320050)

2. Filia Nurul Dasti

(04011281320052)

3. Frischa Trirosalia

(04011381320006)

4. Khairinnisa

(04011381320012)

5. Muhammad Kokoh Saputra

(04011381320024)

6. Esti yolanda

(04011381320034)

7. Monica Trifitriana

(04011381320042)

8. Deanita Rahmanda Putri

(04011381320062)

9. Klara Sinta

(04011181320002)

10. Nadya Ayu Saraswati

(04011181320060)

11. Nurveny Hidayanti

(04011181320082)

12. Maria Meilinda Br Karo

(04011181320084)

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2014

Skenario A Blok 9 2014


Tn. Aam Syaroni, 42 tahun seorang WNI asi sunda, mempunyai kebiasaan mengkonsumsi
terasi, ikan asin dan produk awetan lainnya. Dia datang ke Rumah Sakit dengan keluhan benjilan di
leher sebelah kiri sejak 6 bulan yang lalu. Kemudian dokter melakukan diagnosis pemeriksaan
menduga adanya tumor di sebelah kiri. Untk meneggakan diagnosis dokter melakukan pemeriksaan
patologi anatomi (PA), pemeriksaan serologi serta PCR RFLP. Hasil pemeriksaan PA mengesankan
sebagai karsinoma nasofaring, sedangkan pada pemeriksaan serologi didapatkan peningkatan titer
antibody terhdapa EBV. Jasil pemeriksaan PCR RFLP menunjukkan adanya polimorfisme.
I.

Klarifikasi Istilah
No.
1.

Terasi

2.

Ikan Asin

3.

Produk Awetan

4.

Benjolan

5.

Tumor

6.
7.

II.

Istilah

Pemeriksaan
Patologi
Anatomi
Pemeriksaan
serologi

8.

PCR RFLP

9.

Karsinoma
nasofaring

10.

Titer antibody

11.

EBV

12

Polimorfisme

Definisi
Bumbu penyedap masakan yang dibuat dari ikan yang kecil-kecil dan
udang yang dilunakkan halus-halus
Ikan yang diberi garam dan dikeringkan untuk bahan lauk

Bahan makanan yang diawetkan dengan cara pengeringan,


pemanasan, pengemasan dan lain-lain.
Pembesaran kelenjar yang merupakan reaksi pertahanan tubuh
akibat infeksi.
Pembengkakan salah satu tanda utama peradangan; pembesaran
abnormal.
Spesialis medis yang melakukan diagnosis penyakit berdasarkan
pemeriksaan makroskopik, mikroskopik, molekul atas organ,
jaringan, dan sel.
Pemeriksaan mengenai reaksi antigen-antibody invitro (dalam
ingkungan buatan)
Salah satu teknik PCR yang dimanfaatkan untuk deteksi
polimorfisme
Penyakit neuplastic (setiap pertumbuhan baru dan abnormal
khususnya ketika terjadi multiplikasi sel yang tidak terkontrol dan
progresif) dengan perjalanan alamiah yang bersifat fatal pada
bagian faring yang terletak diatas palatum mole
Hasil laboraturium yang memperkirakan level antibody dalam
sampel darah.
(Epstein-barr) virus dsDNA yang memiliki capsid ichosahedral
termasuk dalam family herpesviridaes yang merupakan salah satu
penyebab karsinoma nasofaring
Campuran yang seimbang antara homozigot dan heterozigot yang
dipertahankan dengan seleksi alami yang berlawanan terhadap
kedua homozigot

Identifikasi Masalah
1. Tn. Aam Syaroni, 42 tahun seorang WNI asli sunda, mempunyai kebiasaan
mengkonsumsi terasi, ikan asnin dan produk awetan lainnya.
2. Dia datang ke Rumah Sakit dengan keluhan benjolan di leher sebelah kiri sejak 6
bulan yang lalu. (*****)

3. Untuk meneggakkan diagnosis dokter melakukan pemeriksaan patologi anatomi


(PA).
4. Pemeriksaan serologi dengan hasil peningkatan titer antibody terhadap EBV.
5. PCR RFLP dengan hasil menunjukkan adanya polimorfisme.
III.

Analisis Masalah
1.

Tn. Aam Syaroni, 42 tahun seorang WNI asli sunda, mempunyai kebiasaan
mengkonsumsi terasi, ikan asnin dan produk awetan lainnya.
a. Apa kandungan terasi, ikan asin dan produk awetan lainnya?
Kandungan gizi yang terdapat pada terasi, ikan bakar, ikan asin di
satu sisi baik karena mengandung protein, lemak, vitamin & mineral, serta
garam namun disisi lain makanan itu semua beserta produk-produk awetan
lainnya banyak mengandung nitrosamine yaitu senyawa yang berbahaya
yang bersifat karsinogenik.
Terasi
Terasi udang terkandung yodium dalam jumlah tinggi yang berasal
dari bahan bakunya. Proses fermentasi juga menghasilkan amonia, yang
mengakibatkan terasi mentah mempunyai aroma yang kurang sedap. Asam
amino esensial tertinggi pada terasi adalah leusin, sedangkan yang
nonesensial adalah asam amino glutamat. Tingginya kadar asam glutamat
yang membuat terasi enak digunakan sebagai komponen bumbuProses
fermentasi ikan untuk terasi dapat menghasilkan aroma yang khas.
Komponen aroma tersebut adalah senyawa yang mudah menguap, yang
terdiri dari 16 macam senyawa hidrokarbon, 7 macam alkohol, 46 macam
karbonil, 7 macam lemak, 34 macam senyawa nitrogen, 15 macam senyawa
belerang, serta 10 macam senyawa lainnya. Namun, Menurut hasil survei
Badan POM tahun 2006 terhadap berbagai sampel makanan, ditemukan
terasi yang mengandung Rhodamin B di pasaran.Rhodamin B adalah suatu
zat beracun dan karsinogenik.
Ikan asin
Didalam ikan asin juga terdapat beberapa kandungan gizi. Berikut isi
kandungan gizi yang terdapat pada ikan asin menurut Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia serta sumber lainnya: Ikan Asin Kering
mengandung energi sebesar 193 kilokalori, protein 42 gram, karbohidrat 0
gram, lemak 1,5 gram, kalsium 200 miligram, fosfor 300 miligram, dan zat
besi 3 miligram. Namun, pada proses pengasinan atau pengeringan ikan

dengan sinar matahari terjadi reduksi biokimiawi berupa nitrosasi. Zat nitrat
dan nitrit yang dihasilkan akan bereaksi dengan ekstrak ikan asin menjadi
nitrosamin. Nitrosamin inilah yang bersifat pro karsinogenik. Nitrosamin
akan menjadi promotor aktivasi Virus Epstein-Barr (EBV).
Produk Awetan
Makanan produk awetan menggunakan pengawet alami maupun
sintetis.Pada pengawet sintetis banyak digunakan bahan-bahan kimia dalam
pembuatannya.Beberapa kandungan bahan kimia yang biasa digunakan
dalam produk awetan:
a. Asam propionat (natrium propionat atau kalsium propionat)
Sering digunakan untuk mencegah tumbuhnya jamur atau kapang. Untuk
bahan tepung terigu.
b. Asam Sitrat (citric acid) dipakai untuk meningkatkan rasa asam (mengatur
tingkat keasaman) pada berbagai pengolahan minum, produk air susu,
selai, jeli, dan lain-lain.
c. Benzoat

(acidum

benzoicum

atau

flores

benzoes

atau

benzoic

acid)Umumnya berupa garam natrium benzoat, dengan ciriciri berbentuk


serbuk atau kristal putih, halus, sedikit berbau, berasa payau, dan pada
pemanasan yang tinggi akan meleleh lalu terbakar.
d. Bleng
Sebagai pengawet pada pengolahan bahan pangan terutama kerupuk,
mengembangkan dan mengenyalkan makanan, serta memberi aroma dan
rasa yang khas.
e. Garam dapur (natrium klorida)
Sebagai penghambat pertumbuhan mikroba dan untuk pengawetan ikan,
telur, serta bahan-bahan lain. Sebagai pengawet minimal sebanyak 20 %
atau 2 ons/kg bahan.
f. Garam sulfat
Digunakan dalam makanan untuk mencegah timbulnya ragi, bakteri dan
warna kecoklatan pada waktu pemasakan.
g. Gula pasir
Sebagai pengawet yang lebih efektif bila dipakai dengan tujuan
menghambat pertumbuhan bakteri. Sebagai pengawet gula pasir minimal
3% atau 30 gram/kg bahan.
h. Kaporit (Chlor kalk atau kapur klor)

Kaporit yang mengandung klor ini digunakan untuk mensterilkan air


minum dan kolam renang, serta mencuci ikan.
i. Natrium Metabisulfit
Berfungsi untuk mencegah proses pencoklatan pada buah sebelum diolah,
menghilangkan bau dan rasa getir terutama pada ubi kayu dan untuk
mempertahankan warna agar tetap menarik. Natrium metabisulfit
dilarutkan bersama-sama bahan atau diasapkan.
j. Nitrit dan Nitrat
Nitrit dan nitrat dapat menghambat pertumbuhan bakteri pada daging dan
ikan dalam waktu yang singkat. Sering digunakan pada danging yang
telah dilayukan untuk mempertahankan warna merah daging.
k. Sendawa
Dalam dunia industri sendawa biasa digunakan untuk membuat korek api,
bahan peledak, pupuk, dan juga untuk pengawet bahan pangan.
l. Zat Pewarna
Berfungsi sebagai pewarna untuk menarik selera dankeinginan konsumen.
Pewarna sintetis contohnya carbon black untuk memberikan warna hitam,
titanium oksida untuk memutihkan, dan lain-lain.
Bahan-bahan kimia yang digunakan pada produk awetan banyak
mengandung zat-zat karsinogenik(pemicu kanker).Makanan yang diolah
dengan cara dipanggang, dikeringkan,atau diasap selalu dihadapkan pada
kemungkinan bahaya senyawa karsino.Kondisi pembankaran,pengasapan
dan pemanasan sangat cocok pada pembentukan hidrokarbon polisiklik
aromatih (PAH), senyawa N-Nitroso(NCC), dan amina aromatik heterosiklik
(HAA) yang semuanya bersifat karsinogenik.Pada NAA yaitu nitrosiamin
adalah reaksi antara nitrit (panas,asap) yang bereaksi dengan senyawa amina
yang biasa terdapat pada ikan.
b. Apa saja jenis-jenis produk awetan?
1. Pengawetan makanan secara Biologi
Pengawetan makanan secara Biologi meliputi:
a. Dengan Fermentasi. Pengawetan secara biologis, misalnya peragian
(fermentasi) adalah proses produksi energi dalam sel dalam keadaan
anaerobik (tanpa oksigen). Contoh makanan dengan pengawetan
fermentasi : Bir, yogurt, tape, oncom dll.

2. Pengawetan makanan secara Kimia


Pengawetan makanan secara kimia meliputi :
a. Pengasaman. Contoh : acar, khimci
b. Pengasinan. Contoh : ikan asin
c. Pemanisan. Contoh : manisan
3. Pengawetan makanan secara Fisika
a. Pengeringan
b. Pemanasan.
c. Pengeluaran udara
d. Pendinginan
e. Pengalengan.
f. Iradiasi
c. Apa dampak dari menkonsumsi terasi, ikan asin dan produk awetan lainnya?
Hubungan antara makan kandungan makanan yang diawetkan pada
kasus berkaitan dengan suatu senyawa yaitu nitrosamine, terbentuknya
nitrosamine dapat terjadi pada saat proses pengolahan makanan (seperti
ketika diawetkan), protein dapat berubah menjadi asam amino bebas yang
selanjutnya menjadi senyawa amin. Selain senyawa amin yang berasal dari
asam amino, terdapat juga senyawa amin yang berasal dari ikan asin, yaitu
alkilamin. Reaksi antara nitrit dan alkilamin akan membentuk nitrosamine
yang bersifat karsinogenik paling kuat antara karsinogenik kimiawi. Factor
konsumsi makanan yang diawetkan, difermentasi, dan diasapi dapat
meningkatkan kandungan xenobiotik nitrosamine yang berkaitan erat dengan
KNF.
Terlalu banyak mengkonsumsi ikan asin.
Ikan asin mengandung nitrosamin yang merupakan karsinogen (zat
pemicu

kanker).Nitrosamin

ini

merupakan

pencetus

utama

kanker

nasofaring. Karsinogen sendiri dapat meningkatkan risiko kanker dengan


mengubah metabolisme seluler atau merusak DNA langsung di dalam sel,
yang mengganggu proses biologi, dan mendorong pembagian, ganas yang
tidak terkendali, pada akhirnya mengarah pada pembentukan tumor. Hal ini
terjadi karena dalam proses pengasinan dan penjemurannya, sinar matahari
bereaksi dengan nitrit (hasil perombakan protein) pada daging ikan, sehingga
membentuk senyawa nitrosamin.
Terlalu sering menyantap makanan yang diawetkan.

Makanan yang diduga bisa mempengaruhi atau memicu kanker


nasofaring adalah makanan yang diawetkan, baik diawetkannya melalui cara
diasinkan, difermentasi, maupun diasapi (misalnya makanan kalengan, tauco,
terasi, dan daging asap) serta makanan yang dibakar. Karena makananmakanan tersebut mengandung senyawa nitrosamin yang merupakan
karsinogenik (senyawa penyebab kanker). Pada ikan asin, zat nitrosamin
dihasilkan karena dalam proses pengasinan dan penjemurannya, sinar
matahari bereaksi dengan nitrit pada daging ikan sehingga membentuk
senyawa nitrosamin.
d. Apa kandungan terasi, ikan asin, dan produk awetan lainnya yang bersifat
karsinogenik?
Rhodamin B adalah pewarna tekstil dan kertas, namun banyak
ditemukan pada berbagai bahan makanan diantaranya dalam kerupuk,
makanan ringan, minuman ringan, kembang gula, sirup, biskuit, cendol,
manisan, ikan asap, dan terasi.
Menurut hasil survei Badan POM tahun 2006 terhadap berbagai
sampel makanan, ditemukan terasi yang mengandung Rhodamin B di
pasaran, terutama di pasar-pasar tradisional. Terasi adalah suatu jenis bahan
penyedap makanan yang berbentuk pasta padat dan berbau khas, yang
merupakan hasil fermentasi bergaram dari udang atau ikan atau campuran
keduanya, dengan atau tanpa bahan tambahan lain yang diijinkan.
Agar sambal lebih memikat, terasinya diberi pewarna, karena ada
anggapan makin merah warna terasi makin tertarik calon pembeli.Sayangnya
banyak produsen yang menggunakan Rhodamin B sebagai pewarna, karena
harganya relatif murah dan warnanya mencolok.
Zat warna Rhodamin B sangat berbahaya bagi kesehatan, apalagi jika
dikonsumsi jangka panjang, Rhodamin B bisa memicu kanker jika
dikonsumsi tahunan, karena bukan pewarna untuk makanan, karena
Rhodamin B tidak bisa larut dicerna oleh tubuh, meskipun kadar Rhodamin
B dalam terasi sangat kecil, lambat laun akan terjadi penumpukan dalam
tubuh manusia. Penggunaan Rhodamin B dalam terasi disebabkan oleh
ketidakpahaman produsen terhadap bahaya zat pewarna tersebut. Padahal,
sebenarnya cita rasa bahan makanan itu tidak akan berubah tanpa zat
pewarna itu. Banyak produsen memakai Rhodamine B karena harganya
murah dan warnanya mencolok.Terasi yang mengandung zat pewarna

berbahaya itu bisa dikenali melalui tampilan fisiknya yang berwarna merah
mencolok dan berpendar.
Di dalam Rhodamin B sendiri terdapat ikatan dengan klorin ( Cl )
yang dimana senyawa klorin ini merupakan senyawa anorganik yang reaktif
dan juga berbahaya. Rekasi untuk mengikat ion klorin disebut sebagai
sintesis zat warna.Disini dapat digunakan Reaksi Frield- Crafts untuk
mensintesis zat warna seperti triarilmetana dan xentana.Rekasi antara ftalat
anhidrida dengan resorsinol dengan keberadaan seng klorida menghasilkan
fluoresein. Apabila resorsinol diganti dengan N-N-dietilaminofenol, reaksi
ini akan menghasilkan rhodamin B.
Selain terdapat ikatan Rhodamin B dengan Klorin terdapat juga
ikatan

konjugasi.Ikatan

konjugasi

dari

Rhodamin

inilah

yang

menyebabkan Rhodamin B bewarna merah. Ditemukannya bahaya yang


sama antara Rhodamin B dan Klorin membuat adanya kesimpulan bahwa
atom Klorin yang ada pada Rhodamin B yang menyebabkan terjadinya efek
toksik bila masuk ke dalam tubuh manusia. Atom Cl yang ada sendiri adalah
termasuk dalam halogen, dan sifat halogen yang berada dalam senyawa
organik akan menyebabkan toksik dan karsinogen.
Beberapa sifat berbahaya dari Rhodamin B seperti menyebabkan
iritasi bila terkena mata, menyebabkan kulit iritasi dan kemerahan bila
terkena kulit hampir mirip dengan sifat dari Klorin yang seperti disebutkan di
atas berikatan dalam struktur Rhodamin B. Penyebab lain senyawa ini begitu
berbahaya jika dikonsumsi adalah senyawa tersebut adalah senyawa yang
radikal. Senyawa radikal adalah senyawa yang tidak stabil. Dalam struktur
Rhodamin kita ketahui mengandung klorin (senyawa halogen), sifat halogen
adalah mudah bereaksi atau memiliki reaktivitas yang tinggi maka dengan
demikian senyawa tersebut karena merupakan senyawa yang radikal akan
berusaha mencapai kestabilan dalam tubuh dengan berikatan dengan
senyawa-senyawa dalam tubuh kita sehingga pada akhirnya akan memicu
kanker pada manusia.

Menurut sebuah studi diketahui bahwa ikan asin mengandung


nitrosamin yang bisa mengaktifkan virus Epstein-Barr yakni, virus yang
menyebabkan kanker nasofaring (kanker tenggorokan). Selama proses
pengasinan dan penjemuran, sinar matahari bereaksi dengan nitrit yang

terdapat dalam daging ikan. Akibatnya, terbentuklah senyawa nitrosamin


yang bersifat karsinogenik. Sebenarnya nitrosamin tidak hanya terdapat pada
ikan asin saja. Zat pemicu kanker tenggorokan ini juga terdapat dalam
produk makanan yang diawetkan dengan proses pengasinan.
Kanker tenggorokan biasanya ditandai dengan gejala berkurangnya
pendengaran akibat telinga yang sering mendengung dan terasa penuh di satu
sisi tanpa disertai rasa sakit.
Kanker nasofaring berada pada posisi keempat sebagai salah satu
kanker paling berbahaya setelah kanker payudara, kanker leher rahim, dan
kanker kulit.
e. Apakah terdapat hubungan antara usia, jenis kelamin, dan suku terhadap
kasus ini?
1. Umur
Karsinoma nasofaring dapat terjadi pada segala usia, tapi umumnya
menyerang usia 30-60 tahun (menduduki 75-90%). Perbandingan
proporsi pria dan wanita adalah 2-3,8:1 (Desen, 2008). Sebagian besar
penderita karsinoma nasofaring berumur diatas 20 tahun, dengan umur
paling banyak antara 50-70 tahun.Penelitian di Taipe menjumpai umur
rata-rata penderita lebih muda yaitu 25 tahun.Insiden karsinoma
nasofaring meningkat setelah umur 20 tahun dan tidak ada lagi
peningkatan insiden setelah umur 60 tahun.
Sebesar 2% dari kasus.karsinoma nasofaring adalah penderita anak dan di
Guangzhou ditemukan 1% karsinoma nasofaring dibawah 14 tahun. Pada
penelitian yang dilakukan di medan (2008), kelompok umur penderita
karsinoma nasofaring terbanyak adalah 50-59 tahun (29,1%). Umur
penderita yang paling muda adalah 21- tahun dan yang paling tua 77
tahun. Rata-rata umur penderita pada penelitian ini adalah 48,8 tahun
(Munir, 2010).
2. Jenis kelamin
Karsinoma nasofaring paling sering ditemukan pada laki-laki dengan
penyebab yang masih belum dapat diungkap secara pasti dan mungkin
berhubungan dengan adanya faktor genetika, kebiasaan hidup, pekerjaan,
dan lain-lain (Roezin, 2010).
3. Ras

Suku sunda memiliki kebiasaan mengonsumsi ikan asin, terasi, dan


produk awetan lainnya yang mengandung nitrosamine.
2. Dia datang ke Rumah Sakit dengan keluhan benjolan di leher sebelah kiri sejak 6
bulan yang lalu.
a. Apa saya jenis-jenis tumor?
Berdasarkan sifat biologis
1. Tumor jinak(benigna) : pertumbuhan nya lambat dan berkapsul
sehinggmudah dibedakan dengan jaringan sekitarnya.Pembesaran tumor
dapat menyebabkan obstruksi jaringan di dekatnya atau menimbulkan
atrofi.
2. Tumor ganas (maligna) : tumor jinak yang berkembang dengan cepat dan
biasanya disebut kanker. Tidak berkapsul dan batasnya tidak tegas
dengan jaringan sekitarnya. Sel kanker dapat terlepas dari jaringan
induknya , terbawa aliran darah atau getah bening tersangkut di jaringan
lain dan membentuk tumor sekunder.
3. Intermediet : Diantara 2 kelompok tumor jinak dan tumor ganas terdapat
segolongan kecil tumor yang mempunyai invasive local tetapi
kemampuan metastatisnya kecil. Tumor ini disebut tumor yang agresif
lokal atau tumor ganas derajat rendah
Berdasarkan asal jaringan :
1. Sel totipoten
Sel totipoten adalah sel yang dapat berdiferensiasi ke dalam tiap jenis sel
tubuh. Sebagai contoh ialah zygote yang berkambang menjadi janin.
Paling sering sel totipoten dijumpai pada gonad yaitu sel germinal. Dapat
pula terjadi retroperitoneal, dimesdiatinum, dsan daerah tineal. Tumor sel
germinal, Tumor sel germinal dapat berbentuk sebagai sel tidak
berdiferensiasi,

contohnya

berdiferensiasi

minimal

berdiferensiasi

ke

jenis

seminoma

contohnya
jaringan

atau

digerminoma.

karsinoma
termasuk

embrional.
trofoblas

Yang
Yang

misalnya

choriocarcinoma dan yolk sac carcinoma. Yang berdiferensiasi somatik


ialah teratoma. Dapat terjadi campuran pada satu tumor.
2. Sel embrional pluripoten
Sel embrional pluripoten dapat berdiferensiasi ke dalam berbagai jenis
sel dan sebagai tumor akan membentuk berbagai jenis struktur alat tubuh.
Sebagia contoh ialah tumor sel embrional pluripoten yang bersal dari

10

anak ginjal, dan disebut nefroblastoma, sering berdiferensiasi ke dalam


struktur yang menyerupai tubulus ginjal dan kadang-kadang jaringan
otot, tulang rawan atau tulang rudimenter.
Tumor sel embrional pluripoten biasanya disebut embrioma atau
blastoma,

misalnya

retinoblastoma,

hepatoblastoma,

embryonal

rhabdomyosarcoma.
3. Sel bediferensiasi
Jenis sel dewasa yang berdiferensiasi, terdapat dalam bentuk sel alat-lat
tubuh pada kehidupan postnatal. Kebanyakan tumor pada manusia
terbentuk dari sel berdiferensiasi.
b. Bagaimanan patofisiologi tumor?
Tumor biasanya disebabkan adanya mutasi DNA didalam sel,
akumulasi dari mutasi-mutasi ini menyebabkan timbulnya tumor, tumor ini
bisa di pacu oleh paparan bahan kimia ,racun alkohol , genetik ataupun
radiasi.
Inisiasi tumor bermula saat karsinogenesis kimiawi yang terjadi pada
sel menyebabkan kerusakan genetik yang tidak dapat dipulihkan. Kerusakan
genetik tersebut disebabkan kesalahan genetik yang diinduksi oleh
karsinogen kimiawi dengan mengubah struktur molekul pada DNA yang
berakibat pada mutasi dalam sintesis DNA. Perubahan struktur molekul
DNA, terjadi setelah terjadi adduct atau ligasi antara karsinogen atau salah
satu gugus fungsionalnya dengan salah satu nukleotida di dalam DNA. Hal
ini menjelaskan mengapa tumor sangat jarang ditemukan pada jaringan tubuh
yang tidak dapat membentuk ligasi karsinogen-DNA.
Ligasi ini akan mengaktivasi proto onkogen atau meng-inaktivasi gen
penghambat tumor. Metilasi DNA pada area promoter dalam berkas gen,
dapat mentranskripsikan inaktivasi gen penghambat tumor.
Akumulasi mutasi kemudian terjadi, jika sel mempunyai kemampuan
proliferasi dan hidup cukup lama di dalam organisme. Karena akumulasi
mutasi berbanding lurus dengan laju proliferasi, atau setidaknya pada laju
pergantian sel punca, ekspansi klonal dari sel terinisiasi, akan menghasilkan
populasi sel, sebelum mengalami perubahan genetik lebih jauh. Pada tahap
ini, sebuah zat yang disebut promoter tumor bekerja.
Promoter tumor, pada umumnya tidak bersifat mutagenik, tidak
bersifat

karsinogenik,

dan

sering

memiliki

kemampuan

untuk

11

menginduksikan potensi kimiawinya tanpa aktivasi metabolik terlebih


dahulu. Agen ini memiliki kemampuan untuk menurunkan jangka waktu
latensi guna pembentukan tumor, setelah terpapar suatu jaringan atau sebuah
inisiator tumor, atau meningkatkan jumlah tumor yang terbentuk di dalam
jaringan. Selain itu, promoter tumor juga dapat membentuk heterodimer
dengan zat inisiator yang terlalu lemah untuk menimbulkan dampak
karsinogenik dalam bentuk monomernya.
Metastasis tumor, Metastasis adalah pergerakan sel-sel kanker dari
satu bagian tubuh ke bagian lain .Metastasis biasanya terjadi melalui
penyebaran sel-sel kanker dari tempat awal (primer) ke tempat baru
(sekunder).

Istilah

keganasan

mengacu

pada

kemampuan

tumor

bermetastasis. Tahap-tahap dalam metastasis tumor yaitu pelepasan,


penyerangan, penyebaran dan penyemaian.
c. Mengapa benjolan terjadi di leher sebelah kiri?
Penyebaran limfatik pada kelenjar secara ipsilateral sering terjadi
yaitu sekitar 85% sampai 90% kasus. Penyebaran secara Bilateral terjadi
pada sekitar 50% kasus. Metastasis ke kelenjar yang kontralateral jarang
terjadi.
Penyebaran ke kelenjar limfe lateral dan posterior retropharyngeal
terjadi lebih dini dan sering terlihat pada pemeriksaan MRI atau CT scan,
meskipun kelenjar limfe tidak teraba. Metastasis ke jugulodigastric dan
nodus cervical superior posterior juga sering ditemukan.Pertama kelenjar
enchepalon, metastasis lebih lanjut ke midjugular dan cervical posterior,
jugularis inferior, dan cervical posterior serta kelenjar supraclavivular dapat
terjadi.Kadang-kadang, menyebar ke kelenjar submental dan oksipital
sebagai akibat dari obstruksi limfatik karena limfadenopati servikal yang
luas.Metastasis ke kelenjar limfe mediastinum dapat terjadi ketika terjadi
limfadenopati supraclavicula.
Tahapan kanker nasofaring
a. Stadium 1 : Kanker hanya terbatas di bagian nasofaring
b. Stadium 2 : Kanker sudah menyebar ke kelenjar getah bening di satu sisi
leher
c. Stadium 3 : Kanker sudah menyebar ke kelenjar getah bening di seluruh
bagian sisi leher
d. Stadium 4 : kanker sudah menjalar ke saraf dan tulang di sekitar wajah

12

d. Jaringan apa yang mengalami pembesaran secara abnormal?


Pada kasus ini, jaringan yang mengalami pembesaran secara
abnormal adalah jaringan epitel dan menyebabkan sel limfosit B menjadi
immortal. Hal ini demikian karena terjadinya carcinoma yang disebabkan
oleh infeksi virus, pola hidup dan perubahan ekspresi gen. Pembesaran
secara abnormal dapat terjadi di Fosa Rosenmlleri (paling sering
ditemukan), sekitar tuba Eustachius, Dinding belakang nasofaring dan Atap
nasofaring
Terdapat beberapa jenis carcinoma:
1. Keratinizing Squamous Cell Carcinoma
Pada keratinizing squamous cell carcinoma dijumpai adanya diferensiasi
dari selsquamous dengan intercellular bridge atau keratinisasi. Tumor
tumbuh dalam bentuk pulau-pulau yang dihubungkan dengan stroma
yang desmoplastik dengan infiltrasi sel-sel radang limfosit, sel plasma,
neutrofil dan eosinofil yang bervariasi. Sel-sel tumor berbentuk poligonal
dan bertingkat. Batas antar sel jelas dan dipisahkan oleh intercellular
bridge. Sel-sel pada bagian tengah pulau menunjukkan sitoplasma
eosinofilik

yang banyak mengindikasikan keratinisasi. Dijumpai

adanya keratin pearls.


2. Non Keratinizing Squamous Cell Carcinoma
Pada

pemeriksaan

histopatologi non

keratinizing

squamous

cell

carcinomamemperlihatkan gambaran stratified dan membentuk pulaupulau. Sel-sel menunjukkan batas antar sel yang jelas dan terkadang
dijumpai intercellular

bridgeyang

samar-samar.

Dibandingkan

dengan undifferentiated carcinoma ukuran sel lebih kecil, rasio inti


sitoplasma lebih kecil, inti lebih hiperkhromatik dan anak inti tidak
menonjol.
3. Undifferentiated Carcinoma
Gambaran undifferentiated

carcinoma berupa

kelompokan

sel-sel

berukuran besar yang tidak berdiferensiasi, batas sel tidak jelas, inti bulat
sampai oval, vesikular inti, membesar dan khromatin pucat, terdapat
anak inti yang besar, sitoplasma sedang, dijumpai latar belakang sel-sel
radang limfosit diantara sel-sel epitel. Sel-sel tumor sering tampak
terlihat tumpang tindih. Beberapa sel tumor dapat berbentuk spindel.
Dijumpai infiltrat sel radang dalam jumlah banyak, khususnya limfosit

13

dikenal sebagai lymphoepithelioma. Dapat juga dijumpai sel-sel radang


lain, seperti sel plasma, eosinofil, epitheloid dan multinucleated giant
cell (walaupun jarang).
Terdapat dua bentuk undifferentiated carcinoma yaitu tipe Regauds
(terdiri dari kumpulan sel-sel epiteloid dengan batas yang jelas yang
dikelilingi oleh jaringan ikat fibrous dan sel-sel limfosit) dan tipe
Schmincke (sel-sel epitelial neoplastik tumbuh difus dan bercampur
dengan sel-sel radang. Tipe ini sering dikacaukan dengan large cell
malignant lymphoma). Inti sel tumor berbeda antara karsinoma
nasofaring dan large cell malignant lymphoma. Pada karsinoma
nasofaring memiliki gambaran vesikular, dengan pinggir inti yang rata
dan berjumlah satu, dengan anak inti yang jelas berwarna eosinophil.
Pada malignant lymphoma biasanya pinggirnya lebih iregular, khromatin
kasar dan anak inti lebih kecil dan berwarna basofilik atau amphofilik.
4. Basaloid Squamous Cell Carcinoma
Sel-sel basaloid menunjukkan festoonin growth pattern, sel-sel basaloid
berselang-seling dengan squamous differentiation. Tipe ini memiliki dua
komponen yaitu sel-sel basaloid dan sel-sel squamous. Sel-sel basaloid
berukuran kecil dengan inti hiperkhromatin dan tidak dijumpai anak inti
dan sitoplasma sedikit. Tumbuh dalam pola solid dengan konfigurasi
lobular dan pada beberapa kasus dijumpai adanya peripheral palisading.
Komponen sel-sel squamous dapat in situ atau invasif. Batas
antara komponen basaloid dan squamous jelas.
e. Bagaimana anatomi leher?

14

f. Apakah ada hubungan anatara makan terasi, ikan asin, dan produk awetan
lainnya terhadap tumor?
Ada. Terasi, ikan asin dan produk awetan lain mengandung senyawa
nitrosamin yang merupakan zat karsinogenik dan pencetus aktifnya EpsteinBarr virus.
3. Untuk meneggakkan diagnosis dokter melakukan pemeriksaan patologi anatomi
(PA).
a. Apa ciri-ciri penderita karsinoma nasofaring?
1. Air liur yang mengandung darah.
2. Terjadinya pembengkakan kelenjar getah bening yang mengakibatkan
timbulnya benjolan di leher.
3. Mengalami hidung tersumbat.
4. Keluarnya darah dari lubang hidung.
5. Terjadinya gangguan pendengaran.
6. Sering mengalami sakit kepala.
7. Suara serak
8. Kerap terkena infeksi pada telinga.
b. Apa ciri-ciri makroskopis dan mikroskopis karsinoma nasofaring?
1. Makroskopis
Tumor dapat berupa massa yang menonjol pada mukosa dan memiliki
permukaan halus, bernodul dengan atau tanpa ulserasi pada permukaan
atau massa yang menggantung dan infiltratif. Namun terkadang tidak
dijumpai lesi pada nasofaring
2. Mikrokopis
Secara mikroskopis karsinoma nasofaring dapat dibedakan menjadi 3
bentuk yaitu:
1. Bentuk ulseratif Bentuk ini paling sering terdapat pada dinding
posterior dan di daerah sekitar fosarosenmulleri. Juga dapat ditemukan
pada dinding lateral didepan tuba eustachius dan pada bagian atap
nasofaring. Lesi ini biasanya lebih kecil disertai dengan jaringan
yangnekrotik dan sangat mudah mengadakan infiltrasi ke jaringan
sekitarnya. Gambaranhistopatologik bentuk ini adalah karsinoma sel
skuamosa deengan diferensiasi baik.
2. Bentuk noduler/lubuler/proliferative

15

Bentuk noduler atau lobuler sangat sering dijumpai pada daerah sekitar
muara tubaeustachius.Tumor jenis ini berbentuk seperti buah
angguratau polipoid jarang, dijumpaiadanya ulserasi, namun kadangkadang dijumpai ulserasi kecil. Gambaran histopatologik bentuk ini
biasanya karsinoma tanpa diferensiasi.
3. Bentuk eksofitik
Bentuk eksofitik biasanya tumbuh pada satu sisi nasofaring, tidak
dijumpai adanyaulserasi, kadang-kadang bertangkai dan prmukaannya
licin.Tumor jenis ini biasanyatumbuh dari atap nasofaring dan dapat
mengisi seluruh rongga nasofaring.Tumor ninidapat mendorong
palatum mole ke bawah dan tumbuh kearah koana dan masuk ke
dalamrongga hidung. Gambaran histopatologik berupa limfasarkoma
c. Apa saja faktor yang mempengaruhi munculnya karsinoma nasofaring?
Penyebap pasti karsinoma faring tidak di ketahui namun ada beberapa
faktor yang diduga dapat memicu terjadinya kanker faring yaitu :
1. Kerentanan Genetik
Walaupun karsinoma faring tidak termasuk tumor genetic, tetapi
kerntanan terhadap karsinoma faring pada kelompok masyrakat tertentu
relative menonjol dan memiliki agregasi familial. Analisis korelasi
menunjukkan gen HLA (human leukocyte antigen) dan gen pengode
enzim sitokrom p4502E (CYP2E1) kemungkinan adalah gen kerentanan
terhadap karsinoma faring, mereka berkaitan dengan sebagian besar
karsinoma faring. Bisa juga karena pola pemotongan DNA yang berbeda
(polimorfisme).
2. Virus Eipstein-Barr
Banyak perhatian ditujukan kepada hubungan langsung antara karsinoma
faring dengan ambang titer antibody virus Epstein-Barr (EBV). Serum
pasien-pasien

orang

asia

dan

afrika

dengan

karsinoma

faring

primermaupun sekunder telah dibuktikan mengandung antibody Ig G


terhadap antigen kapsid virus (VCA) EB dan seringkali pula terhadap
antigen dini (EA); dan antibody Ig A terhadap VCA (VCA-IgA), sering
dengan titer yang tinggi. Hubungan ini juga terdapat pada pasien
Amerika yang mendapat karsinoma faring aktif. Bentuk-bentuk anti-EBV
ini berhubungan dengan karsinoma faring tak berdifrensiasi dan
karsinoma faring non-keratinisasi yang aktif (dengan mikroskop cahaya)

16

tetapi biasanya tidak dengan tumor sel skuamosa atau elemen limfoid
dalam limfoepitelioma.
3. Faktor Lingkungan
Menurut laporan luar negeri, orang cina generasi pertama (Umumnya
penduduk kanton ) yang bermigrasi ke Amerika Serikat, Kanada
memiliki angka kematian akibat karsinoma faring 30 kali lebih tinggi dari
penduduk kulit putih setempat, sedangkan pada generasi kedua turun
menjadi 15 kali, generasi ketiga belum ada angka pasti, tetapi secara
keseluruhan cenderung menurun. Dalam pada itu, orang kulit putih yang
lahir d Asia Tenggara, angka kejadian faring meningkat. Sebabnya selain
pada sebagian orang terjadi perubahan pada hubungan darah, jelas factor
lingungan juga berperan penting. Penelitian akhir-akhir ini menemukan
zat-zat berikut berkaitan dengan timbulnya karsinoma faring: Golongan
Nitrosamin,diantaranya

dimetilnitrosamin

dan

dietilnitrosamin.

Hodrokarbon aromatic. Unsur Renik, diantaranya nikel sulfat


d. Bagaimana patofisiologi karsinoma nasofaring?
Rongga nasofaring diselaputi selapis mukosa epitel tipis, terutama
berupa epitel skuamosa, epitel torak bersilia selapis semu dan epitel selapis
transisional. Di dalam lamina propria mukosa sering terdapat limfosit, di
submukosa terdapat kelenjar serosa dan musinosa. Karsinoma nasofaring
adalah tumor ganas yang berasal dari epitel yang melapisi nasofaring.
Infeksi EBV dapat menyebabkan KNF. Hal ini dapat dibuktikan
dengan dijumpai adanya keberadaan protein-protein laten pada penderita
KNF. Pada penderita ini sel yang terinfeksi oleh EBV akan menghasilkan
protein tertentu yang berfungsi untuk proses proliferasi dan mempertahankan
kalangsungan

virus

di

dalam

sel

host.

Secara

formal,

tahap

infeksi/peradangan ini tidak tak terelakkan dari terjadinya lisis dari sel tuan
rumah (host) ketika virion-virion EBV dihasilkan oleh pertunasan dari siklus
sel. Siklus tersembunyi yang terinfeksi (lysogenic) dimana program-program
mereka tidak mengakibatkan produksi virion-virion. Protein laten ini dapat
dipakai sebagai pertanda (marker) dalam mendiagnosa KNF, yaitu EBNA-1
dan LMP-1, LMP-2A dan LMP -2B. Dari semua antigen yang diekspresikan
oleh EBV dan KNF, latent membrane protein-1 ( LMP-1) merupakan faktor
penting yang berkontribusi dalam pathogenesis KNF sebab LMP-1 ini
menginduksi

pertumbuhan

selular

dan

mempengaruhi

mekanisme

17

pengontrolan pertumbuhan seluler.

LMP-1 adalah enam jengkal protein

transmembran yang juga penting bagi perubahan bentuk pertumbuhan EBV.


LMP-1 berfungsi sebagai pemberian isyarat yang melalui jalan kecil untuk
nekrosis Tumor factor-alpha/CD40.
e. Bagaimana anatomi dan histology nasofaring?
Nasofaring merupakan suatu ruangan yang terletak di belakang
rongga hidung di atas tepi bebas palatum mole yang secara anatomis
termasuk bagian faring (Chew, 1997). Nasofaring merupakan rongga dengan
dinding kaku di atas, belakang dan lateral (Ballenger, 1994). Disamping
dilapisi jaringan limfoepitelium, di dinding nasofaring juga terdapat kelenjar
dan jaringan ikat yang dibentuk oleh tulang dan kartilago dari dasar
tengkorak. Ukuran rata-rata dimensi nasofaring pada orang dewasa adalah
dengan tinggi 4 cm, lebar 4 cm dan jarak anteroposteriornya 3 cm

Nasofaring merupakan lubang sempit yang terdapat pada belakang


rongga hidung. Nasofaring akan tertutup bila palatum molle melekat ke
dinding posterior pada waktu menelan, muntah, mengucapkan kata dan akan
terbuka pada waktu respirasi. Bagian atap dan dinding belakang dibentuk
oleh basis sphenoid, basis occiput dan ruas pertama tulang belakang.Bagian

18

depan berhubungan dengan rongga hidung melalui koana. Orificium dari


tuba eustachian berada pada dinding samping dan pada bagian depan dan
belakang terdapat ruangan berbentuk koma yang disebut dengan torus
tubarius.

Pada

bagian

lateral,

berbatasan

dengan

muara

tuba

eustachii.Mukosa tuba eustachii tidak datar tetapi menonjol seperti menara


yang disebut torus tubarius.Bagian atas dan samping torus tubarius
merupakan reses dari nasofaring yang disebut dengan fossa rosenmuller.Di
daerah ini merupakan tempat predileksi karsinoma nasofaring.

19

f. Bagaimana pemeriksaan patologi anatomi pada kasus ini?


Pemeriksaan patologi dapat dilakukan dengan biopsi aspirasi jarum
halus dan jaringan.
a. Biopsi aspirasi jarum halus pada kelenjar getah bening servikalis
Sejumlah kasus karsinoma nasofaring diketahui berdasarkan pemeriksaan
sitologi biopsi aspirasi kelenjar getah bening servikalis.
b. Biopsi Jaringan
Biopsi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dari hidung dan dari
mulut.Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (
blind biopsy).Cunam biopsi dimasukkan melalui rongga hidung
menyusuri konka media ke nasofaring kemudian cunam diarahkan ke
lateral dan dilakukan biopsi.Biopsi melalui mulut dengan memakai
bantuan kateter nelaton yangdimasukkan melalui hidung dan ujung
kateter yang berada di dalam mulut ditarik keluar dan diklem bersamasama dengan ujung kateter yang dihidung. Demikian juga dengan kateter
disebelahnya sehingga palatum mole tertarik ke atas.Kemudian dengan
kaca laring dilihat daerah nasofaring. Biopsi dilakukan dengan melihat
tumor melalui kaca tersebut atau memakai nasofaringoskop yang
dimasukkan melalui mulut, massa tumor akan terlihat lebih jelas. Biopsi
tumornasofaring umunya dilakukan dengan anestesi topikal dengan
xylocain 10% . Pada kasus dengan tidak dijumpainya lesi secara
makroskopis, maka harus dilakukan biopsi yang multipel dari daerah
dinding lateral, superior dan posteriorpada pasien dengan resiko tinggi
karsinoma nasofaring
4. Pemeriksaan serologi dengan hasil peningkatan titer antibody terhadap EBV.
a. Apa kandungan yang digunakan untuk mnguji EBV pada titer antibody?
Kandungan untuk menguji ebv pada titer antibody, yaitu:
1. 0,5 ml darah + 4,0 ml N lysis buffer
2. epitop protein VCA-p18 dan EBNA1.
3. 0,05 M Na2CO3
4.

3% BSA(Bovine Serume Albumin)

5. konjugate (mouse anti-human IgA-HRP dilarutkan dalam cairan sampel)


6. 0,5 M H2SO4

20

Cara mengujinya:
Sampel darah diambil sebanyak 6 ml, diambil 0,5 ml darah + 4,0 ml
N lysis buffer dicampur segera dan disimpan pada suhu -80C. Sisa darah
diisolasi serumnya kemudian disimpan pada suhu -20C.Serum dianalisis
menggunakan peptida sintetik imunodominan epitop protein VCA-p18 dan
EBNA1. Piring ELISA yang dilapisi dengan peptida kombinasi (1 ug/ml
EBNA1 plus 0,5 ug/ml VCA-p18) dalam 0,05 M Na2CO3, pH 9,6
diinkubasikan dua jam pada 4C. Setelah itu buang cairan, berikan 3% BSA
(dalam 1x PBS) 200 ul /wadah pada lapisan, lalu diinkubasikan satu jam
pada 37C, kemudian dicuci tiga kali dengan PBS Tween 0,05%.
Berikutnya ambil 100 ul sampel (1:100), serum dimasukkan dan
diinkubasikan satu jam pada 37C, tutup piring/wadah, buang cairan, setelah
pencucian keempat dengan PBS-Tween 0,05%, buang cairan pencuci.
Berikan konjugate (mouse anti-human IgA-HRP dilarutkan dalam cairan
sampel (1;4000), tutup piring inkubasikan satu jam pada 37C. Buang cairan,
cuci dengan PBS Tween 0,05% (4x), buang cairan pencuci. Campurkan
larutan TMB A (merah) dan B (biru) (1:1), berikan warna dengan TMB
(100ul/wadah), inkubasikan dalam ruang gelap 30 menit. Berikan 0,5 M
H2SO4 100 ul/wadah, hindari terjadi gelembung. Baca OD 450 nm dengan
menggunakan pembaca ELISA.
b. Mengapa bisa terjadi peningkatan titer antibody?
Pada pemeriksaan IgA-VCA dan IgA-EA dengan menggunakan
prinsip antigen-antibodi invitro melalui metode ELISA, dapat dilihat pada
seseorang yang memiliki virus EBV akan ditandai pula dengan
meningkatnya kadar IgA. Hal ini disebabkan fungsi utama dari IgA, yaitu
untuk mencegah perlarutan virus dan bakteri ke permukaan epitel. Fungsi
IgA setelah bergabung dengan antigen pada mikroorganisme mungkin dalam
pencegahan melekatnya mikroorganisme pada sel mukosa.
Maka dari itu IgA yang merupakan sistem imum (antibody) dalam
tubuh kita akan meningkat yang merupakan upaya tubuh untuk melawan
virus. Oleh karena itu terjadi peningkatan IgA. Peningkatan titer antibodi
menunjukkan kalau antibodi dalam tubuh penderita sudah tinggi kadarnya
karna sudah ada infeksi virus EBV.

21

c. Bagaimana pemeriksaan peningkatan titer antibody terhadap EBV?


Pemeriksaan serologi terkait dengan titer antibody dapat dilakukan
dengan 3 cara, yaitu:
1. Antibodi IgG dan IgA terhadap Viral Capsid Antigen(VCA)
Sampai saat ini pemeriksaan titer IgA-VCA dianggap yang paling
spesifik dan sensitive untuk diagnose dini kanker nasofaring. Uji ini juga
dianggap metode pilihan untuk keadaan occult primary, yaitu keadaan
ditemukannya kelainan berupa pembesaran kelenjar servikal atau
destruksi dasar tengkorak atau kelumpuhan saraf otak tanpa adanya
tumor di nasofaring.
2. IgG anti Fairly Antigen(FA)
Untuk deteksi dini kanker nasofaring. Uji ini kurang sensitive jika
dibandingkan IgA-VCA
3. Antibody Dependent Celullar Cytotoxicity (ADCC)
Pemeriksaan ADCC dapat menentukan perjalanan penyakit serta
prognosis berdasarkan tinggi rendahnya titer pada waktu diagnosis
Pemeriksaannya dapat menggunakan 5 metode, yaitu:
1. Haemagglutination Inhibition (HI) test
Penggumpalan sel darah merah, yang nantinya membantu untuk
menentukan diagnose penyakit dan mengetahui status kekebalan tubuh

22

2. Enzym Linked Immunosorbent Assay (ELISA)


Mampu mendeteksi beberapa jenis antibody dari 1 sampel serum.Juga
merupakan metode uji serologis yang cepat untuk menguji sampel dalam
jumlah besar.

3. Agar gel Precipitation(AGP)


Metode sederahana untuk mendeteksi antibody terhadap berbagai virus,
tanpa memperhatikan epitopenya

4. Rapid Plate Aglutination (RPA)


Metode uji ini sangat mudah, hanya dengan mencampur satu tetes serum
dengan satu tetes antigen kemudian dikocok selama 2 menit. Jika tejadi
penggumpalan (aglutinasi) maka reaksi positif.

5. Serum Neutralisation (SN) test


Merupakan metode uji yang paling mahal, karena diperlukan Spesific
Pathogenic Free (SPF) untuk persiapan kultur jaringan atau organ.

23

d. Bagaimana hubungan peningkatan titer antibody terhadap EBV?


Pemeriksaan serologi merupakan pemeriksaan yang menggunakan
prinsip antigen-antibodi invitro. Virus Ebv yang terdiri dari, seperti gambar
dibawah ini.
Pada pemeriksaan IgA-VCA dan IgA-EA, Dimana virus ebv yang
memiliki protein EBNA1 yang nantinya akan bereaksi dengan antibody dari
dalam tubuh kita, yaitu IgA. Sebagi upaya untuk mempertahankan tubuh,
maka tubuh kita akanmemproduksi banyak IgA atau bisa disebut juga
peningkatan titer antibody. peningkatan titer antibody inilah yang
menandakan terdapatnya EBV dalam tubuh kita.
e. Bagaimana mekanisme pertahanan tubuh terhadap EBV?
Virus EBV merupakan antigen. Antigen merupakan sebuah zat yang
merangsang

respon

Peningkatan

antibodi

imun,
inilah

terutama
yang

dalam

menghasilkan

menyebabkan

antibodi.

peningkatan

pada

pemeriksaan antibodi.
f. Bagaimana ciri-ciri EBV?
Berdasarkan struktur dan sifat imunologinya virus Epsteinbarr
digolongkan ke dalam famili human herpes virus, subfamili gamma
herpesvirus dan genus lymphokryptovirus. EBV dimasukkan dalam genus
tersebut karena mempunyai kemampuan untuk menginfeksi dan menetap di
sel limfosit hostnya serta menginduksi proliferasi sel yang terinfeksi secara
laten (Paul, 2001).
Struktur virus epsteinbarr adalah toroid, dengan panjang 184-kb,
nukleokapsid, protein tegument dan envelop di bagian luarnya. Protein
envelop yang paling banyak adalah bp 350/220. Genom EBV berupa DNA
berbentuk linear dan double stranded dan dapat mengkode kurang lebih 100
macam protein. Kapsid dibentuk dari kulit protein (C protein) yang

24

ikosahedral. Kapsid ini dikelilingi oleh lapisan lipid yang saling berdekatan
dan mengandung tiga protein (E1, E2 dan E3). Di dalam kapsid terdapat
nukleokapsid dengan 162 kapsomer, tiap-tiap kapsomer terdiri dari protein.
Tegumen terdapat di luar nukleokapsid merupakan lapisan amorpis dengan
struktur yang fibrous. Tegumen ini berada diantara nukleokapsid dan
envelope. Di luar permukaan envelope mengandung banyak spike yang
terdiri dari glikoprotein (Thomson et al, 2004).
g. Bagaimana proses masuk dan berkembangnya virus EBV
Virus Epstein-Barr bereplikasi dalam sel-sel epitel dan menjadi laten
dalam limfosit B. Infeksi virus epstein-barr terjadi pada dua tempat utama
yaitu sel epitel kelenjar saliva dan sel limfosit. EBV memulai infeksi pada
limfosit B dengan cara berikatan dengan reseptor virus, yaitu komponen
komplemen C3d (CD21 atau CR2). Glikoprotein (gp350/220) pada kapsul
EBV berikatan dengan protein CD21 dipermukaan limfosit B3. Aktivitas ini
merupakan rangkaian yang berantai dimulai dari masuknya EBV ke dalam
DNA limfosit B dan selanjutnya menyebabkan limfosit B menjadi immortal.
Sementara itu, sampai saat ini mekanisme masuknya EBV ke dalam sel epitel
nasofaring belum dapat dijelaskan dengan pasti. Namun demikian, ada dua
reseptor yang diduga berperan dalam masuknya EBV ke dalam sel epitel
nasofaring yaitu CR2 dan PIGR (Polimeric Immunogloblin Receptor). Sel
yang terinfeksi oleh virus epstein-barr dapat menimbulkan beberapa
kemungkinan yaitu : sel menjadi mati bila terinfeksi dengan virus epsteinbarr dan virus mengadakan replikasi, atau virus epstein- barr yang
meninfeksi sel dapat mengakibatkan kematian virus sehingga sel kembali
menjadi normal atau dapat terjadi transformasi sel yaitu interaksi antara sel
dan virus sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan sifat sel sehingga
terjadi transformsi sel menjadi ganas sehingga terbentuk sel kanker.
Gen EBV yang diekspresikan pada penderita KNF adalah gen laten,
yaitu EBERs, EBNA1, LMP1, LMP2A dan LMP2B. Protein EBNA1
berperan dalam mempertahankan virus pada infeksi laten. Protein
transmembran LMP2A dan LMP2B menghambat sinyal tyrosine kinase yang
dipercaya dapat menghambat siklus litik virus. Diantara gen-gen tersebut,
gen yang paling berperan dalam transformasi sel adalah gen LMP1. Struktur
protein LMP1 terdiri atas 368 asam amino yang terbagi menjadi 20 asam
amino pada ujung N, 6 segmen protein transmembran (166 asam amino) dan

25

200 asam amino pada ujung karboksi (C). Protein transmembran LMP1
menjadi perantara untuk sinyal TNF (tumor necrosis factor) dan
meningkatkan regulasi sitokin IL-10 yang memproliferasi sel B dan
menghambat respon imun lokal.
5. PCR RFLP dengan hasil menunjukkan adanya polimorfisme.\
a. Bagaimana prinsip kerja dari PCR RFLP?
Polymerase Chain Reaction (PCR) dan Restriction Fragment Length
Polymorphism

(RFLP)

Metode

RFLP

merupakan

metode

analisis

polimorfisme dengan menggunakan enzim spesifik.


Primers yang digunakan untuk C-509T adalah:
Forward 5CAGACTCTAGAGACTGCTAG3
Reverse 3GCTACCAGAGAAAGAGGAC5
Tabung berisi campuran PCR dimasukkan ke dalam mesin PCR
(Corbette) dengan kondisi PCR sebagai berikut: denaturasi awal pada suhu
95C selama 4 menit, dilanjutkan ke siklus suhu yang terdiri dari: (1)
Denaturasi pada suhu 95C selama 1 menit; (2) Annealing pada suhu 57C
selama 1 menit; (3) Ekstensi pada suhu 72C selama 1 menit. Tahapan
tersebut dilakukan selama 35 siklus dan dilanjutkan ekstensi akhir pada suhu
72C selama 10 menit. Pemeriksaan RFLP untuk polimorfisme C-509T gen
TGF B1 dengan menggunakan enzim Eco8II yang mempunyai daerah
pengenalan CCTANGG. Alel T akan terpotong menghasilkan fragmen 230
pb dan 188 pb, sedangkan alel C tidak terpotong dengan menggunakan enzim
tersebut (418 pb) .Campuran enzim restriksi untuk polimorfisme C-509T gen
TGF B1 (volume 10 L) adalah 1 L 10x Buffer tango, 0,3 L enzim Eco8II
konsentrasi 10 / L, serta sebanyak 8,7 L hasil PCR. Seluruh campuran ini
disentrifus selama 20 detik dengan kecepatan 13.000 rpm, dan kemudian
diinkubasi pada suhu 370C selama 24 jam. Hasil inkubasi dilakukan
elektroforesis selama 60 menit dengan voltase tetap 100 volt. Tahap
berikutnya adalah elektroforesis pada gen agarosa.
b. Apa saja jenis-jenis PCR?
Aplikasi medis PCR utama adalah deteksi patogen infeksius dan
identifikasi mutasi pada gen yang berkaitan dengan faktor resiko penyakit.
Contohnya, antara lain:
-

Deteksi

polimorfisme:

RFLP

(restriction

fragment

length

polymorphisms), VNTR (variable number of tandem repeat sequences),

26

dan STR (short tandem repeats)


-

Skreening/deteksi mutasi berbasis PCR

PCR kuantitatif: dengan menggunakan kompetitor/mimic (internal


exogenous standards), dengan housekeeping gene (internal endogenous
standard), atau dengan Real-Time PCR.

Variasi dan adaptasi protokol PCR konvensional:


-

Labelisasi amplimer PCR untuk visualisasi produk PCR, pembuatan


probe DNA dan kloning.

PCR

dua

langkah

(denaturasi

dan

kombinasi

annealing

ekstensi/amplifikasi).
-

PCR booster (untuk menghambat akumulasi amplimer non spesifik dan


komplek primer dimer).

PCR Hot-Start dan Time-Release (untuk mengurangi pembentukan


amplimer non spesifik).

Inverse PCR (untuk mengamplifikasi daerah yang belum diketahui


sekuensnya yang terletak tepat di atas atau di bawah daerah yang sudah
diketahui sekuensnya).

PCR asimetrik (salah satu primer PCR mempunyai konsentrasi yang


lebih tinggi dibandingkan primer pasangannya sehingga menghasilkan
konsentrasi tinggi molekul DNA untai tunggal).

Sekuensing DNA yang dimediasi PCR.

PCR Touchdown dan Touch-Up (untuk sampel DNA komplek yang


hanya mengandung sedikit molekul cetakan, PCR multiplek, amplifikasi
selektif daerah target dimana satu atau lebih sekuens primer sangat mirip
dengan sekuens lainnya yang terdapat dalam cetakan DNA yang
digunakan, untuk protokol umum PCR dengan banyak pasangan primer
PCR).

PCR multiplek (menggunakan beberapa pasangan primer dalam


campuran PCR yang sama untuk mengamplifikasi beberapa target yang
berbeda pada waktu yang sama).

PCR degenerasi (menggunakan campuran primer PCR yang didesain


untuk mengamplifikasi sekuens target DNA genetik yang sama dimana
diharapkan ada sejumlah kecil perubahan nukleotida antara isolat atau
individual yang berbeda)/

PCR repeat dan inter-repeat. PCR repeat (untuk menentukan panjang


27

daerah genetik yang mengandung sekuens pengulangan tandem. PCR


inter-repeat dilakukan dengan teknik RAPD (random amplification of
polymorphic DNA) atau arbitrary primed (AP-PCR) untuk mengetahui
keberadaan daerah pengulangan sekuens genetik).
-

AFLP-PCR (amplification fragment length polymorphism) untuk


membedakan isolat atau spesies yang berbeda berdasarkan keberadaan
daerah enzim restriksi (polimorfisme daerah restriksi).

BESS-T-Scan (Base Excision Sequence Scanning) untuk mendeteksi


mutasi T/A atau A/T.

DD-RT-PCR (Differential Display RT-PCR) untuk memvisualisasikan


perbedaan ekspresi gen pada sel-sel yang berbeda tipenya atau sel-sel
yang sama tipenya tapi mendapatkan perlakuan yang berbeda.

Protein Truncation Test (PTT), untuk mendeteksi adanya mutasi pada


DNA genomik yang menginduksi adanya stop codon pada mRNA-nya.

PCR untuk mendeteksi adanya metilasi DNA.

Breakpoint PCR (untuk mengamplifikasi daerah yang mengalami


translokasi).

PCR mutagenesis (untuk mengintroduksi mutasi pada sekuens DNA yang


telah diketahui).

PCR untuk kloning.

SAGE (Serial Analysis of Gene Expression)

PCR ELISA metode yang digunakan untuk menangkap asam nukleat


yang meniru prinsip dari enzim linked immunosorbant yang terkait

Amplification refractory mutation system (ARMS) untuk mendeteksi


point mutation melalui priming oligonukleotida kompetitif.

PCR in situ

c. Apa pengaruh polimorfisme terhadap ekspresi gen?


Polimorfisme secara umum dapat mempengaruhi ekspresi gen karena
polimorfisme

merupakan

suatu

konsep

yang

menunjukkan

bahwa

terdapatnya variasi DNA dari setiap individu. Akan tetapi, terdapat


perbedaan antara mutasi dengan polimorfisme. Polimorfisme merupakan
variasi DNA yang umum terjadi dan biasanya tidak akan mengganggu
kesehatan seseorang sedangkan mutasi adalah perubahan DNA yang tidak
umum (<1%) yang dapat menimbulkan penyakit terhadap diri seseorang.

28

Polimorfisme dapat dan juga tidak dapat mempengaruhi ekspresi gen.


Hal ini bergantung pada lokasi terjadinya variasi DNA tersebut. Apabila
terjadi variasi DNA pada daerah non-coding region dan exon, maka
kemungkinan besar tidak akan ada perubahan terhadap ekspresi gen kecuali
bila non-coding region tersebut berpengaruh pada proses regulasi untuk
replikasi dan transkripsi contohnya adalah promoter, enhancer dan silencer.
Akan tetapi apabila terjadi variasi pada daerah coding region, maka
kemungkinan besar akan terjadi perubahan pada ekspresi gen terutama pada
protein yang dihasilkan.
d. Apa penyebab terjadinya polimorfisme?
Polimorfisme adalah sebuah keadaan di mana sebuah populasi
memiliki lebih dari satu alel pada satu lokus. Seringkali, polimorfisme juga
didefinisikan sebagai kondisi di mana terdapatny lebih dari satu alel dengan
frekuensi di atas 5% persen pada suatu populasi.
Penyebab polimorfisme:
1. Polimorfisme dapat terjadi karena adanya mutasi (substitusi, insersi,
delesi, inversi) dan seleksi alam
2. Variasi genetik juga dapat terjadi karena frequency-dependent selection
3. Perbedaan genotip yang menyebabkan perbedaan daya tahan hidup di
lingkungan yang berbeda
4. Heterozygous advantage yang menyebabkan kemampuan untuk
bertahan hidup lebih besar dibandingkan dengan yang homozygote
5. Migrasi dapat menyebabkan polimorfisme
6. Selain itu, proses reproduksi juga dapat menyebabkan polimorfisme
karena adanya proses crossing over, independent assortment dan random
fertilization
e. Gen apa yang mengalami polimorfisme pada kasus ini?
Analisis korelasi menunjukkan gen HLA (human leukocyteantigen)
dan gen pengode enzim sitokrom p450 2E1 (CYP2E1) kemungkinan adalah
gen kerentanan terhadap karsinoma nasofaring. Sitokrom p450 2E1
bertanggung jawab atas aktivasi metabolik yang terkait nitrosamine dan
karsinogen.
f. Bagaimana hubungan polimorfisme dengan karsinoma nasofaring?
Hubungan polimorfisme dengan karsinoma nasofaring adalah
polimorfisme merupakan penanda bahwa telah terjadi mutasi (perubahan

29

kode DNA dari yang normal) yang menyebabkan terjadinya perubahan


potongan-potongan

DNA

ketika

dipotong

dengan

enzim

restriksi

endonuklease. Pada kasus ini, dapat terjadi perubahan pada DNA di gen
proto-oncogene menjadi oncogene (yang mengaktivasi pembelahan sel)
maupun gen tumor supressor gen (yang menghambat pembelahan sel)
menjadi tidak aktif

30

IV.

Kerangka Konsep

Faktor genetik

polimorfisme

Tn. Aam Syarono, 42

Faktor

tahun, WNI asli sunda

lingkungan

Pemeriksaan
Suka makan terasi,

PCR RFLP

ikan asin dan produk


Terjadi mutasi

awetan

genetik
Mengandung

Mutasi pada

Infeksi EBV

serologi

nitrosamin

CYPE21

Pemeriksaan

Titer antibody

Metabolisme
nitrosamine

Penumpukan

Terdapatnya

Insersi DNA

LMP1

virus ke host

nitrosamin
P53

BCL2
Pemeriksaan

Karsinoma

PA

nasofaring

Apoptosis

Siklus sel

menurun

berjalan terus

Proliferase sel
abnormal

EGF
(onkogen)

faktor
angiogenesis

Metastasis

Tumor sekunder
(benjolan)

31

V.

Merumuskan Keterbatasan dan Learning Issue


What I Dont
Know
Jenis-jenis

What I Have To
Know
Kandungan,
akibatnya
Mekanisme

No.

Learning Issue

What I Know

1.

Produk awetan

Definisi

2.

Tumor

Definisi

3.

Definisi
Definisi

Etiologi, gejala

Patofisiologi

Definisi

Struktur yang
menyusun

Definisi

Jenis-jenis

Batas-batasnya,
struktur yang
melewatinya
Teknik

7.
8.

Pemeriksaan
PA
Karsinoma
nasofaring
Anatomi dan
histology
nasofaring
Pemeriksaan
serologi
Titer antibody
EBV

Etiologi,
Gejala
Jenis-jenis

Definisi
Definisi

Jenis-jenis
Struktur

9.
10.

PCR RFLP
Polimorfisme

Definisi
Definisi

Jenis-jenis
Etiologi

4.
5.

6.

Teknik

Sumber

Text book
Jurnal
Pakar
Internet

Teknik
Proses
masuknya
kedalam tubuh
Prinsip kerja
Akibatnya

32

VI.

Sintesis Masalah

1. Produk awetan
Pengertian Pengawetan Makanan
Pengawetan makanan adalah cara yang digunakan untuk membuat makanan
memiliki daya simpan yang lama dan mempertahankan sifat-sifat fisik dan kimia
makanan. Dalam melakukan pengawetan makanan perlu memperhatikan beberapa
hal, yaitu jenis bahan makanan yang diawetkan, keadaan bahan makanan, cara
pengawetan yang dipilih dan daya tarik produk pengawetan makanan.
Tujuan Pengawetan Makanan
Pengawetan makanan bertujuan untuk:
1. Memperpanjang umur simpan bahan makanan (lamanya suatu produk dapat
disimpan tanpa mengalami kerusakan);
2. Mempertahankan sifat fisik dan kimia bahan makanan;
3. Mencegah atau memperlambat laju proses dekomposisi (autolisis) bahan
makanan;
4. Mencegah pertumbuhan mikroba yang menggunakan pangan sebagai substrat
untuk memproduksi toksin didalam pangan;
5. Mencegah kerusakan yang disebabkan oleh faktor lingkungan termasuk serangan
hama;
6. Mencegah atau memperlambat kerusakan microbial.
Cara-Cara Pengawetan makanan
Pengawetan makanan dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:
1. Pengawetan makanan secara Biologi
a) Dengan Fermentasi
Pengawetan secara biologis, misalnya peragian (fermentasi) adalah proses
produksi energi dalam sel dalam keadaan anaerobik (tanpa oksigen). Secara
umum, fermentasi adalah salah satu bentuk respirasi anaerobik, akan tetapi,
terdapat definisi yang lebih jelas yang mendefinisikan fermentasi sebagai
respirasi dalam lingkungan anaerobik dengan tanpa akseptor elektron eksternal.
Gula adalah bahan yang umum dalam fermentasi. Beberapa contoh hasil
fermentasi adalah etanol, asam laktat, dan hidrogen. Akan tetapi beberapa
komponen lain dapat juga dihasilkan dari fermentasi seperti asam butirat dan
aseton. Ragi dikenal sebagai bahan yang umum digunakan dalam fermentasi
untuk menghasilkan etanol dalam bir, anggur dan minuman beralkohol lainnya.
Contoh makanan dengan pengawetan fermentasi adalah yoghurt, mengawetkan

33

susu dengan cara fermentasi menggunakan bakteri Lactobacillus bulgaricus dan


Streptococcus thermophilus. Aktivitas fermentasi dari kedua spesies bakteri
tersebut dapat menurunkan pH susu sapi, sehingga dapat menghambat aktivitas
bakteri proteilitik yang bersifat tidak asam. Lactobacillus bulgaricus ini hidup
dari memakan laktosa (gula susu) dan mengeluarkan asam laktat. Asam ini
sekaligus mengawetkan susu dan mendegradasi laktosa (gula susu). Asam laktat
yang dihasilkan selama proses fermentasi akan menghambat pertumbuhan
kapang dan khamir.
2. Pengawetan makanan secara Kimia meliputi:
1. Penambahan bahan kimia, misalnya asam sitrat, garam, gula
Bahan pengawet dari bahan kimia berfungsi membantu mempertahankan
bahan makanan dari serangan mikroba pembusuk dan memberikan tambahan
rasa sedap, manis. Contoh beberapa jenis zat kimia: cuka, asam asetat,
fungisida, antioksidan, in-package desiccant, ethylene absorbent, wax
emulsion dan growth regulatory untuk melindungi buah dan sayuran dari
ancaman kerusakan pasca panen untuk memperpanjang kesegaran masa
pemasaran. Nitogen cair sering digunakan untuk pembekuan secara tepat
buah dan sayur sehinnga dipertahankan kesegaran dan rasanya yang nyaman.
Pengawetan bahan makanan secara kimia menggunakan bahan-bahan kimia,
seperti gula pasir, garam dapur, nitrat, nitrit, natrium benzoat, asam
propionat, asam sitrat, garam sulfat, dan lain-lain. Proses pengasapan juga
termasuk cara kimia sebab bahan-bahan kimia dalam asap dimasukkan ke
dalam makanan yang diawetkan. Apabila jumlah pemakaiannya tepat,
pengawetan dengan bahan-bahan kimia dalam makanan sangat praktis karena
dapat menghambat berkembang biaknya mikroorganisme seperti jamur atau
kapang, bakteri, dan ragi (Aka, 2008).
2. Pengasaman
Pengasaman adalah suatu proses pengolahan yang dilakukan dengan cara
diberi asam dengan tujuan untuk mengawetan melalui penurunan derajat pH
(mengasamkan) produk makanan sehingga dapat menghambat pertumbuhan
bakteri pembusuk. Pengasaman makanan dapat dilakukan dengan jalan
penambahan asam secara langsung misalnya asam propionate, asam sitrat,
asam asetat, asam benzoat dll atau penambahan makanan yang bersifat asam
seperti tomat. Contoh produk yang dihasilkan melalui pengasaman
acar/khimchi

34

Acar pada dasarnya terbuat dari sayur-sayuran yang di tambahkan asam cuka
untuk pengawetan. Mikroba yang dapat merusak makanan tidak dapat hidup
pada makanan. Karena adanya asam cuka menyebabkan konsentrasi menjadi
tinggi, terjadinya difusi osmosis sehingga mikroba akan mati.
3. Pengasinan
Cara ini dengan menggunakan bahan NaCl atau yang kita kenal sebagai
garam dapur untuk mengawetkan makanan. Teknik ini disebut juga dengan
sebutan penggaraman. Garam dapur memiliki sifat yang menghambat
perkembangan dan pertumbuhan mikroorganisme perusak atau pembusuk
makanan. Contohnya seperti ikan asin yang merupakan paduan antara
pengasinan dengan pengeringan
Penggaraman adalah suatu proses pengolahan yang dilakukan dengan cara
memberi garam dengan tujuan untuk menghambat pertumbuhan bakteri dan
enzim-enzim khususnya yang merusak daging dan ikan. Selain itu
penggaraman mengakibatkan cairan yang ada dalam tubuh ikan mengental
serta kadar proteinnya menggumpal dan daging ikan mengkerut.
Proses penggaraman biasanya diikuti oleh proses pengeringan untuk
menurunkan lebih lanjut kadar air yang ada dalam daging ikan, proses
penggaraman dipengaruhi oleh ukuran butiran garam (ukuran yang baik 1 5
mm), ukuran ikan (semakin besar ikan semakin banyak garam yang
dibutuhkan) dan kemurnian garam (garam yang baik adalah garam
murni/Nacl).
4. Pemanisan
Pemanisan makanan yaitu dengan menaruh atau meletakkan makanan pada
medium yang mengandung gula dengan kadar konsentrasi sebesar 40%
untuk menurunkan kadar mikroorganisme. Jika dicelup pada konsenstrasi
70% maka dapat mencegah kerusakan makanan.
Penambahan gula adalah suatu proses pengolahan yang dilakukan dengan
cara pemberian gula dengan tujuan untuk mengawetan karena air yang ada
akan mengental pada akhirnya akan menurunkan kadar air dari bahan
pangan tersebut. Konsentrasi gula yang ditambahkan minimal 40% padatan
terlarut sedangkan di bawah itu tidak cukup untuk mencegah kerusakan
karena bakteri, apabila produk tersebut disimpan dalam suhu kamar atau
normal (tidak dalam suhu rendah). Contoh makanan dengan pengawetan
pemanisan adalah manisan buah.

35

Manisan buah adalah buah-buahan yang direndam dalam larutan gula selama
beberapa waktu. Teknologi membuat manisan merupakan salah satu cara
pengawetan

makanan

yang

sudah

diterapkan

sejak

dahulu

kala.

Perendamanan manisan akan membuat kadar gula dalam buah meningkat


dan kadar airnya berkurang. Keadaan ini akan menghambat pertumbuhan
mikroba perusak sehingga buah akan lebih tahan lama.
Pada awalnya manisan dibuat dengan merendam pada larutan gula hanya
untuk mengawetkan. Ada beberapa buah yang hanya dipanen pada musimmusim tertentu. Saat musim itu, buah akan melimpah dan kelebihannya akan
segera membusuk apabila tidak segera dikonsumsi. Untuk itu manusia mulai
berpikir untuk mengawetkan buah dengan membuat manisan. Manisan juga
dibuat dengan alasan memperbaiki cita rasa buah yang tadinya masam
menjadi manis.
3. Pengawetan makanan secara Fisika, meliputi:
1. Pengeringan
Mikroorganisme menyukai tempat yang lembab atau basah mengandung air.
Jadi teknik pengeringan membuat makanan menjadi kering dengan kadar air
serendah mungkin dengan cara dijemur, dioven, dipanaskan, dan sebagainya.
Semakin banyak kadar air pada makanan, maka akan menjadi mudah proses
pembusukan makanan. Proses pengeringan akan mengeluarkan air dan
menyebabkan peningkatan konsentrasi padatan terlarut didalam bahan
makanan. Kondisi ini akan meningkatkan tekanan osmotik di dalam bahan,
sehingga menghambat pertumbuhan mikroorganisme dan memperlambat laju
reaksi kimia maupun enzimatis.
Pengeringan adalah suatu proses pengolahan yang dilakukan dengan cara
dijemur atau dioven dengan tujuan untuk mengawetkan makanan dengan
jalan menurunkan kadar air/aktivitas air (aw) sampai kadar 15% 20%
karena bakteri tidak dapat tumbuh pada nilai aw dibawah 0,91 dan jamur
tidak dapat tumbuh pada aw dibawah 0,70 0,75. Makanan yang
dikeringkan mengandung nilai gizi yang rendah karena vitamin-vitamin dan
zat warna rusak, akan tetapi kandungan protein, karbohidrat, lemak dan
mineralnya tinggi.
Pada umunya bahan makanan yang dikeringkan berubah warnanya menjadi
coklat yang disebut reaksi browning (pencoklatan). Reaksi ini dapat dibatasi
dengan menambahkan belerang yang bersifat pemucat, juga dapat

36

mengurangi jumlah mikroba dan menonatifkan enzim yang dapat


menyebabkan browning. Belerang ini dapat menimbulkan karat pada kaleng,
sehingga produk pangan yang diolah dengan belerang sebaiknya dikemas
menggunakan kemasan gelas atau plastik. Contoh produk dari hasil
pengeringan yaitu dendeng ikan (dalam pengolahannya mengalami proses
curing/penambahan

bumbu

yang

bertujuan

untuk

mengawetkan,

memperbaiki rasa, warna dan kekerasan daging.


Menurut Syamsir (2008) pengawetan makanan dapat bersifat jangka pendek
dan jangka panjang. Pengawetan jangka pendek dapat dilakukan dengan
beberapa cara misalnya penanganan aseptis, penggunaan suhu rendah (<
20C), pengeluaran sebagian air bahan, perlakuan panas ringan, mengurangi
keberadaan udara, penggunaan pengawet dalam konsentrasi rendah.
Penanganan aseptis merupakan proses penanganan yang dilakukan dengan
mencegah masuknya kontaminan kimiawi dan mikroorganisme kedalam
bahan makanan, atau mencegah terjadinya kontaminasi pada tingkat pertama.
Penanganan produk dilakukan untuk mencegah kerusakan produk yang bisa
menyebabkan terjadinya pengeringan (layu), pemecahan enzim alami dan
masuknya mikroorganisme.
2. Pemanasan
1. Blansir (Blanching)
Blansir adalah proses pemanasan yang dilakukan pada suhu kurang dari
1000C selama beberapa menit dengan menggunakan air panas atau uap
air panas. Contoh blansir misalnya mencelupkan sayuran atau buah di
dalam air mendidih selama 3 sampai 5 menit atau mengukusnya selama 3
sampai 5 menit. Tujuan blansir terutama adalah untuk menginaktifkan
enzim yang terdapat secara alami di dalam bahan pangan, misalnya
enzim polifenolase yang menimbulkan pencoklatan.
Blansir umumnya dilakukan jika bahan pangan akan dibekukan atau
dikeringkan. Sayuran hijau yang diberi perlakuan blansir sebelum
dibekukan

atau

dikeringkan

mutu

warna

hijaunya

lebih

baik

dibandingkan dengan sayuran yang tidak diblansir terlebih dahulu.


Dalam pengalengan sayuran dan buah-buahan blansir juga bertujuan
untuk menghilangkan gas dari dalam jaringan tanaman, melayukan
jaringan tanaman agar dapat masuk dalam jumlah lebih banyak dalam
kaleng, menghilangkan lendir dan memperbaiki warna produk.

37

2. Pasteurisasi
Pasteurisasi adalah proses pemanasan yang dilakukan dengan tujuan
untuk membunuh mikroba patogen atau penyebab penyakit seperti
bakteri penyebab penyakit TBC, disentri, diare dan penyakit perut lain.
Panas yang diberikan pada pasteurisasi harus cukup untuk membunuh
bakteri-bakteri patogen tersebut, misalnya pasteurisasi susu harus
dilakukan pada suhu 600C selama 30 menit. Pada suhu 600C selama 30
menit setara dengan pemanasan pada suhu 720C selama 15 detik.
Pasteurisasi yang terakhir ini sering disebut dengan proses HTST (High
Temperature Short Time) atau pasteurisasi dengan suhu tinggi dalam
waktu singkat. Disamping pada produk susu, pasteurisasi juga umumnya
dilakukan pada produk sari buah-buahan asam.
Satu hal yang penting adalah pasteurisasi hanya bakteri patogen saja yang
dibunuh, sedangkan bakteri lain yang lebih tahan panas bisa saja masih
terdapat hidup dalam bahan pangan yang dipasteurisasi. Dengan
demikian, meskipun bakteri ini tidak menimbulkan penyakit tetapi jika
tumbuh

di

dalam

produk

pangan

dapat

menyebabkan

kerusakan/kebusukan. Oleh karena itu, produk-produk yang sudah


dipasteurisasi harus disimpan di lemari es sebelum digunakan dan tidak
boleh berada pada suhu kamar karena sebagian mikroba yang masih
hidup dapat melangsungkan pertumbuhannya. Di dalam lemari es masa
simpan produk pasteurisasi seperti keju yang terbuat dari susu atau sari
buah umumnya hanya 2 minggu.
3. Sterilisasi
Pemanasan dengan sterilisasi komersial umumnya dilakukan pada bahan
pangan yang sifatnya tidak asam atau lebih dikenal dengan bahan pangan
berasam rendah. Yang tergolong bahan pangan berasam rendah adalah
bahan pangan yang memiliki pH lebih besar dari 4,5, misalnya seluruh
bahan pangan hewani seperti daging, susu, telur dan ikan, beberapa jenis
sayuran seperti buncis dan jagung.
Bahan pangan berasam rendah memiliki resiko untuk mengandung spora
bakteri Clostridium botulinum yang dapat menghasilkan toksin
mematikan jika tumbuh di dalam makanan kaleng. Oleh karena itu, spora
ini harus dimusnahkan dengan pemanasan yang cukup tinggi. Sterilisasi
komersial adalah pemanasan pada suhu di atas 1000C, umumnya sekitar

38

121,10C dengan menggunakan uap air selama waktu tertentu dengan


tujuan untuk memusnahkan spora bakteri patogen termasuk spora bakteri
Clostridium botulinum. Dengan demikian, sterilisasi komersial ini hanya
digunakan untuk mengolah bahan pangan berasam rendah di dalam
kaleng, seperti kornet, sosis dan sayuran dalam kaleng. Susu steril dalam
kotak adalah contoh produk lain yang diproses dengan sterilisasi
komersial. Tetapi prosesnya berbeda dengan pengalengan. Susu steril
dalam kotak diproses dengan pengemasan aseptik yaitu suatu proses
sterilisasi kontinyu dimana produk susu yang sudah disterilkan
dimasukkan ke dalam kotak yang sudah disterilkan dalam lingkungan
yang juga aseptik. Proses pengemasan aseptik umumnya digunakan
untuk sterilisasi komersial produk-produk yang bentuknya cair.
Pemanasan pada suhu tinggi contohnya adalah pengalengan pangan.
Dalam proses ini, suhu dan waktu proses ditetapkan sedemikian rupa
sehingga kombinasinya dapat membunuh spora bakteri yang paling tahan
panas. Tidak semua bahan pangan membutuhkan panas yang sama untuk
sterilisasi, tergantung pada jenis pangannya, wadah yang digunakan dan
isi kalengnya apakah mengandung banyak cairan atau tidak. Pemanasan
pada suhu tinggi yang dilakukan bersama-sama dengan pengemasan yang
bisa

mencegah

rekontaminasi,

dapat

menghambat/merusak

mikroorganisme dan enzim.


3. Pengeluaran Udara (Oksigen)
Penghilangan udara akan mengeluarkan semua oksigen sehingga mencegah
berlangsungnya reaksi kimiawi dan enzimatis yang dipicu oleh oksigen, juga
menghambat pertumbuhan mikroorganisme aerobik.
4. Pendinginan
Teknik ini adalah teknik yang paling terkenal karena sering digunakan oleh
masyarakat umum di desa dan di kota. Konsep dan teori dari sistem
pendinginan adalah memasukkan makanan pada tempat atau ruangan yang
bersuhu sangat rendah. Untuk mendinginkan makanan atau minuman bisa
dengan memasukkannya ke dalam kulkas atau lemari es atau bisa juga
dengan menaruh di wadah yang berisi es.
Biasanya para nelayan menggunakan wadah yang berisi es untuk
mengawetkan

ikan

hasil

tangkapannya.

Di

rumah-rumah

biasanya

menggunakan lemari es untuk mengawetkan sayur, buah, daging, sosis, telur,

39

dan lain sebagainya. Suhu untuk mendinginkan makanan biasanya bersuhu


150C. Sedangkan agar tahan lama biasanya disimpan pada tempat yang
bersuhu 0 sampai -4 derajat celsius.
5. Pengalengan
Pengalengan merupakan penerapan dari pengawetan dengan mempergunakan
suhu tinggi. Pengalengan ini ditemukan pertama kali oleh Nicholas Appert
untuk memenuhi keinginan Napoleon agar makanan yang dikirimkan untuk
tentaranya yang berada jauh tidak lekas membusuk. Kemudian disusul
dengan penggunaan tabung uap yang memberikan kemungkinan untuk
menambah atau menaikkan suhu serta mempercepat waktu pemrosesan
dengan hasil yang lebih baik.
Sistem yang satu ini memasukkan makanan ke dalam kaleng alumunium atau
bahan logam lainnya, lalu diberi zat kimia sebagai pengawet seperti garam,
asam, gula dan sebagainya. Bahan yang dikalengkan biasanya sayur-sayuran,
daging, ikan, buah-buahan, susu, kopi, dan banyak lagi macamnya. Tehnik
pengalengan termasuk paduan teknik kimiawi dan fisika. Teknik kimia yaitu
dengan memberi zat pengawet, sedangkan fisika karena dikalengi dalam
ruang hampa udara.
Proses pengalengan yang ditujukan untuk pengawetan jangka panjang,
dilakukan dengan melibatkan proses pengeluaran udara, pengemasan,
pengaturan pH dan penggunaan suhu tinggi (sterilisasi). Juga penting
diperhatikan penggunaan atau wadah (container) dan kemasan yang dapat
melindungi produk dari mikroorganisme untuk menghindari terjadinya
rekontaminasi selama penyimpanan.
6. Teknik Iradiasi
Iradiasi

pangan

adalah

suatu

teknik

pengawetan

pangan

dengan

menggunakan radiasi ionisasi secara terkontrol untuk membunuh serangga,


kapang, bakteri, parasit atau untuk mempertahankan kesegaran bahan
pangan. Sinar gamma, sinar x, ultra violet dan elektron yang dipercepat
(accelerated electron) memiliki cukup energi untuk menyebabkan ionisasi.
Pangan diiradiasi dengan berbagai tujuan: menghambat pertunasan
(sprouting, misalnya pada kentang), membunuh parasit Trichinia (daging
babi), mengontrol serangga dan meningkatkan umur simpan (sayur dan
buah), sterilisasi (rempah), mengurangi bakteri patogen (daging). Iradiasi
merupakan proses dingin (tidak melibatkan panas) sehingga hanya

40

menyebabkan sedikit perubahan penampakan secara fisik dan tidak


menyebabkan perubahan warna dan tekstur bahan pangan yang diiradiasi.
Perubahan kimia yg mungkin terjadi adalah penyimpangan flavor dan
pelunakan jaringan. Selama proses iradiasi, produk pangan menyerap radiasi.
Radiasi akan memecah ikatan kimia pada DNA dari mikroba atau serangga
kontaminan. Organisme kontaminan tidak mampu memperbaiki DNAnya
yang rusak sehingga pertumbuhannya akan terhambat. Pada iradiasi pangan,
dosis iradiasi tidak cukup besar untuk menyebabkan pangan menjadi
radioaktif.

2. Tumor
Neoplasma atau tumor adalah massa jaringan yang abnormal, pertumbuhan yang
berlebihan dan tidak bersesuaian dengan jaringan normal serta tetap berlangsung lama
bahkan setelah stimulus yang memicu perubahan berhenti diberikan. Tumor yang
berlangsung terus-menerus walau stimulus sudah hilang adalah akibat dari perubahan
herediter genetik yang diturunkan ke progeni dari sel tumor. Perubahan genetik ini
menyebabkan proliferasi berlebihan dan tidak teratur yang bersifat autonom (tidak
terikat pada stimuli pertumbuhan fisiologis), walaupun tumor biasanya tetap
bergantung pada host untuk nutrisi dan kebutuhan darah. Neoplasma bisa bersifat
benign (jinak) atau malignant (ganas).
Benign Tumors (Tumor Jinak)
Tumor jinak tidak menginfiltrasi jaringan sebelahnya dan tidak melakukan
metastasis tetapi bisa tumbuh menjadi besar (ekspansif). Tumor jinak juga tidak akan
kembali setelah pengangkatan bedah. Selama tumor pada epithelial tidak menembus
basal lamina, masih disebut sebagai tumor jinak. Tumor adalah massa dari jaringan
yang tidak mempunyai tujuan yang berguna dan biasanya ada sebagai kelebihan dari
jaringan sehat. Tumor jinak tumbuh lebih lambat daripada tumor ganas dan kurang
menyebabkan masalah kesehatan. Namun, tidak bisa dilupakan begtu saja, seperti
contoh colon polyps adalah tumor jinak dan sebagian besar kanker kolon berkembang
dari polip. Selain itu, contoh lainnya jika tumor jinak dalam ukuran yang besar, akan
menekan pembuluh darah, saraf, organ atau kelenjar endokrin di dekatnya sehingga
menimbulkan masalah seperti dalam kasus tumor jinak pada otak dan penekanan pada
kelenjar endokrin bisa membuat produksi hormon yang berlebihan (thyroid adenomas,
adrenocortical adenomas, dan pituitary adenomas).
Malignant Tumors (Tumor Ganas)

41

Tumor ganas disebut juga kanker. Kanker mempunyai beberapa sifat yaitu
pertumbuhannya agresif, tidak terbatas, lalu menginfiltrasi jaringan di sekelilingnya
serta bermetastasis (menyebar ke bagian tubuh lain). Tidak semua kanker membentuk
tumor, contohnya leukemia.
Kanker bisa dikategorikan menjadi beberapa kategori, antara lain:
1. Karsinoma - kanker yang berasal dari jaringan epithelial pada semua tiga lapisan
germinal (kulit atau pada jaringan yang membatasi atau menutupi organ dalam)
2. Sarkoma - kanker yang berasal dari jaringan mesenkimal (tulang, kartilago, lemak,
otot, pembuluh darah atau jaringan ikat).
3. Leukimia - kanker yang berasal dari jaringan penghasil darah seperti sumsum
tulang belakang dan menyebabkan produksi sel darah yang abnormal dan masuk
ke aliran darah menuju seluruh tubuh.
4. Limfoma dan myeloma - kanker yang berasal dari sel pada sistem imun yaitu
limfosit. Biasanya di nodus limfe mengalami pembesaran.
5. Kanker sistem saraf pusat - kanker yang berasal dari jaringan pada otak dan tulang
belakang.
Tahap terjadinya kanker
1. Induksi : ada perubahan sel (displasia)
2. Kanker in situ : pertumbuhan kanker terbatas pada jaringan tempat asalnya tumbuh
3. Kanker invasif : sel kanker telah menembus membran basal dan masuk ke jaringan
atau organ sekitar yang berdekatan
4. Metastasis : Penyebaran kanker ke kelenjar getah bening dan atau organ lain yang
letaknya jauh (misal kanker usus besar menyebar ke hati). Penyebaran ini dapat
melalui aliran darah, aliran getah bening, atau langsung dari tumor
Progresi Tumor
Dari waktu ke waktu, banyak tumor menjadi lebih agresif dan mendapatkan potensi
untuk menjadi ganas. Misalnya , ada evolusi yang bertahap dari preneoplastic lesion ke
tumor jinak, dan akhirnya menjadi kanker invasive. Fenomena ini disebut progresi
tumor. Angiogenesis dan perubahan pada stroma tumor juga merupakan komponen
progresi tumor. Dari penelitian klinis dan eksperimental ditunjukkan bahwa
menigkatnya keganasan biasanya didapatkan secara bertahap. Pada tingkat molecular,
progresi tumor dan heterogeneity kemungkinan besar adalah hasil dari mutasi multipel
yang berakumulasi secara independent pada sel yang berbeda-beda, dengan karakteristi
yang juga berbeda-beda. Bagaimanapun juga, progresi tumor tetap dipengaruhi oleh
perubahan pada stroma tumor dan angiogenesis, yang bisa memodulasi proliferasi sel,

42

invasiveness, dan potensi metastatik. Apa yang menyebabkan sel yang bertransformasi
mendapat kerusakan genetik lebih lanjut belum jelas sepenuhnya. Sel yang mengalami
tranformasi relatif tidak stabil secara genetik. Ketidakstabilan ini mungkin berakibat
dari, contohnya, hilangnya p53 atau dari mutasi acquired pada gen yang meregulasi
perbaikan DNA
Penyebab tumor
Faktor utama penyebab tumor yaitu mutasi DNA di dalam sel yang terakumulasi.
Sebenarnya sel tubuh manusia memiliki mekanisme perbaikan DNA (DNA Repair) dan
mekanisme lainnya yang menyebabkan sel merusak dirinya dengan apoptosis (proses
aktif kematian sel yang ditandai dengan pembelahan DNA kromosom, kondensasi
kromatin, serta pregmentasi nucleus) jika kerusakan DNA terlalu berat. Berikut
beberapa hal yang dapat menjadi pemicu terjadinya tumor.
1.

bahan kimia, pengawet (formalin)

2.

Minum alkohol berlebihan

3.

Masalah genetic

4.

Ketergantungan rokok yang mengandung nikotin dan zat adiktif lainnya

5.

Obesitas

6.

Paparan sinar matahari berlebihan

7.

Radiasi

Gejala tumor
Gejala pada jenis tumor jinak
Gejala tergantung pada jenis dan lokasi dari tumor. Misalnya, tumor paru-paru
dapat menyebabkan batuk, sesak napas, atau nyeri dada, sedangkan tumor usus besar
dapat menyebabkan penurunan berat badan, diare dan sembelit. Tumor payudara dapat
menyebabkan rasa nyeri dan ngilu pada payudara. Tanda lainnya adalah adanya
benjolan dan sakit pada bagian yang ditekan. Ketika suatu bagian tubuh yang diduga
terserang kanker ditekan dan menimbulkan sakit, hal ini perlu juga dicurigai.
Gejala pada jenis tumor ganas
1.

Darah / lendir yang abnormal keluar dari bagian tubuh tertentu

2.

Luka yang susah sembuh bahkan terjadi koreng / borok pada bagian tubuh yang
terkena tumor

3.

Tahi lalat yang berubah sifat makin gatal dan besar

4.

Terdapat benjolan

5.

Bila menyerang paru-paru suara serak dan batuk yang tidak sembuh-sembuh

6.

Alat pencernaan terganggu / susah menelan

43

3. Pemeriksaan PA
Pemeriksaan Patologi Anatomi adalah menentukan diagnosis penyakit berdasarkan
pada pemeriksaan gross (makroskopik), mikroskopik, dan molekuler atas organ, jaringan,
dan sel.
1. Macam-macam pemeriksaan Patologi Anatomi
Histopatologi
Pemeriksaan mikroskopik pada salah satu bagian jaringan yang dicat menggunakan
teknik histologis.
Imunohistokimia
Menggunakan antibodi untuk mendeteksi keberadaan dan lokalisasi protein spesifik.
Teknik ini penting untuk membedakan antara gangguan dengan morfologi yang mirip
dan juga mencirikan sifat-sifat molekuler kanker tertentu.
Hibridisasi in situ
Molekul DNA dan RNA spesifik dapat dikenali pada bagian yang menggunakan
teknik ini. Bila probe dilabeli dengan celupan berpendar, teknik ini disebut FISH.
Sitopatologi
Pemeriksaan sel-sel lepas yang dicat pada kaca menggunakan teknik sitologi.
Mikroskopi elektron
Pemeriksaan jaringan dengan mikroskop elektron, yang memungkinkan pembesaran
yang jauh lebih besar, memungkinkan visualisasi organel dalam sel.
2. Berbagai teknik pemeriksaan patologi
Mikroskop cahaya
Jaringan dipotong tipis untuk memungkinkan transmisi cahaya. jaringan diproses
berdasarkan prosedur baku prosesing preparat histopatologi demikian juga sitologi.
Histokimia
Jaringan diperiksa secara mikroskopik setelah mendapat reagen khusus, gambaran
Khusus sel individual dapat diperlihatkan.
Immunohistokimia dan immunofluoresens
Menggunakan

antibodi

(immunoglobulin

dengan

antigen

spesifik)

untuk

memperlihatkan substansi tertentu dalam sediaan jaringan atau sediaan sel;


Immunofluoresens

menggunakan

antibodi

dengan

pewarnaan

fluoresens.

memerlukan mikroskop fluoresens.


Mikroskop Elektron

44

Mempelajari kelainan-kelainan pada tingkat organel dan dapat mendemonstrasikan


virus dalam sampel jaringan.Sebagian peranan diambil alih immunohistokimia.
Masih berguna untuk klasifikasi Glomerulonefritis.
Teknik Biokimia
Teknik biokimia dapat diterapkan pada jaringan tubuh sehat maupun sakit, misalnya
penting untuk memonitor homeostasis cairan dan elektrolit pada berbagai kelainan.
Pemeriksaan serum enzym digunakan untuk mengukur integritas dan vitalitas
berbagai jaringan, misalnya peningkatan kadar enzim jantung dalam darah
merupakan indikator kerusakan myosit jantung.
Teknik Hematologi
Untuk diagnosis dan penelitian kelainan-kelainan darah. Seperti hitung sel sampai
pemeriksaan faktor-faktor pembekuan darah
Kultur Sel
Untuk riset dan diagnosis.Diagnostik dg mempersiapkan penyebaran kromosom
untuk analisis sitogenetik.
Mikrobiologi Kedokteran
Ilmu tentang penyakit yang disebabkan oleh organisme seperti bakteri, jamur, virus
dan parasit Teknik pemeriksaan mikroskopik langsung dengan pewarnaan yang tepat,
kultur untuk mengisolasi dan menumbuhkan organisme dan metode-metode untuk
mengidentifikasi secara tepat penyebab penyakit.

4. Karsinoma nasofaring
Karsinoma nasofaring berkembang di nasofaring, suatu area di belakang hidung
menuju batang tenggorok. Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala
dan leher yang banyak di Indonesia ( American Cancer Society, 2011 dan Roezin, 2010).
Karsinoma relatif ditemukan di berbagai Asia Tenggara dan China. Karsinoma dapat
terjadi pada segala usia, tapi umumnya menyerang usia 30-60 tahun, hingga 75-90%.
Proporsi laki-laki dan perempuan adalah 2-2,8-1 (Desen, 2008).
Latar belakang etnis dan paparan kepada EBV bisa mempengaruhi faktor resiko
berkembangnya karsinoma nasofaring. Faktor resiko yang termasuk kedalam halayak
yang berisiko ini adalah : Orang Cina dan keturunan Asia, Paparan EBV terlah berkaitan
dengan karsinomatertentu, termasuk karsinoma nasofaring. ( National Cancer Institute,
2011).
Hampir semua sel karsinoma nasofaring mengandung virus EBV, dan kebanyakan
orang dengan karsinoma nasofaring memiliki bukti infeksi oleh virus ini di dalam darah.
Infeksi EBV sendiri belum cukup untuk menyebabkan karsinoma nasofaring, faktor-faktor

45

lain seperti genetik seseorang mungkin memperngaruhi bagaimana tubuh berespon


terhadap EBV.
Definisi
Karsinoma nasofaring merupakan sebuah kanker yang bermula tumbuh pada sel
epitelial batas permukaan badan internal dan eksternal sel di daerah nasofaring. Ada 3 tipe
karsinoma nasofaring ( American Cancer Society, 2011) :
1. Karsinoma sel skuamosa keratinisasi
2. Karsinoma berdiferensiasi non-keratinisasi
3. Karsinoma tidak berdiferensiasi
Karsinoma nasofaring paling sering bermula pada sel skuamos yang melapisi
nasofaring ( National Cancer Institute, 2011). Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas
karsinoma berasal dari epitel nasofaring. Biasanya tumor ganas ini tumbuh dari fossa
rosenmuller dan dapat meluas ke hidung, tenggorok, serta dasar tengkorak (Munir, 2010).
Patofisiologi
Rongga nasofaring diselaputi selapis mukosa epitel tipis, terutama berupa epitel
skuamosa, epitel torak bersilia selapis semu dan epitel selapis transisional. Di dalam
lamina propria mukosa sering terdapat limfosit, di submukosa terdapat kelenjar serosa dan
musinosa. Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas yang berasal dari epitel yang
melapisi nasofaring.
Infeksi EBV dapat menyebabkan KNF. Hal ini dapat dibuktikan dengan dijumpai
adanya keberadaan protein-protein laten pada penderita KNF. Pada penderita ini sel yang
terinfeksi oleh EBV akan menghasilkan protein tertentu yang berfungsi untuk proses
proliferasi dan mempertahankan kalangsungan virus di dalam sel host. Secara formal,
tahap infeksi/peradangan ini tidak tak terelakkan dari terjadinya lisis dari sel tuan rumah
(host) ketika virion-virion EBV dihasilkan oleh pertunasan dari siklus sel. Siklus
tersembunyi yang terinfeksi (lysogenic) dimana program-program mereka tidak
mengakibatkan produksi virion-virion. Protein laten ini dapat dipakai sebagai pertanda
(marker) dalam mendiagnosa KNF, yaitu EBNA-1 dan LMP-1, LMP-2A dan LMP -2B.
Dari semua antigen yang diekspresikan oleh EBV dan KNF, latent membrane protein-1 (
LMP-1) merupakan faktor penting yang berkontribusi dalam pathogenesis KNF sebab
LMP-1

ini

menginduksi

pertumbuhan

selular

dan

mempengaruhi

mekanisme

pengontrolan pertumbuhan seluler. LMP-1 adalah enam jengkal protein transmembran


yang juga penting bagi perubahan bentuk pertumbuhan EBV. LMP-1 berfungsi sebagai
pemberian isyarat yang melalui jalan kecil untuk nekrosis Tumor factor-alpha/CD40.

46

Patogenesis
1. Virus Epstein-Barr
Virus Epstein-Barr bereplikasi dalam sel-sel epitel dan menjadi laten dalam limfosit B.
Infeksi virus epstein-barr terjadi pada dua tempat utama yaitu sel epitel kelenjar saliva
dan sel limfosit. EBV memulai infeksi pada limfosit B dengan cara berikatan dengan
reseptor virus,yaitu komponen komplemen C3d (CD21 atau CR2). Glikoprotein
(gp350/220) pada kapsul EBV berikatan dengan protein CD21 dipermukaan limfosit
B3. Aktivitas ini merupakan rangkaian yang berantai dimulai dari masuknya EBV ke
dalam DNA limfosit B dan selanjutnya menyebabkan limfosit B menjadi immortal.
Sementara itu, sampai saat ini mekanisme masuknya EBV ke dalam sel epitel
nasofaring belum dapat dijelaskan dengan pasti. Namun demikian, ada dua reseptor
yang diduga berperan dalam masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring yaitu CR2
dan PIGR ( Polimeric Immunogloblin Receptor ). Sel yang terinfeksi oleh virus
epstein-barr dapat menimbulkan beberapa kemungkinan yaitu : sel menjadi mati bila
terinfeksi dengan virus epstein-barr dan virus mengadakan replikasi, atau virus
epstein- barr yang meninfeksi sel dapat mengakibatkan kematian virus sehingga sel
kembali menjadi normal atau dapat terjadi transformasi sel yaitu interaksi antara sel
dan virus sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan sifat sel sehingga terjadi
transformsi sel menjadi ganas sehingga terbentuk sel kanker. Gen EBV yang
diekspresikan pada penderita KNF adalah gen laten, yaitu EBERs EBNA1,LMP1,
LMP2A dan LMP2B. Protein EBNA1 berperan dalam mempertahankan virus
padainfeksi laten. Protein transmembran LMP2A dan LMP2B menghambat sinyal
tyrosine kinase yang dipercaya dapat menghambat siklus litik virus. Diantara gen-gen
tersebut, gen yang paling berperan dalam transformasi sel adalah gen LMP1. Struktur
protein LMP1 terdiri atas 368 asam amino yang terbagi menjadi 20 asam amino pada
ujung N, 6 segmen protein transmembran (166 asam amino) dan 200 asam amino pada
ujung karboksi (C). Protein transmembran LMP1 menjadi perantara untuk sinyal TNF
(tumor necrosis factor ) dan meningkatkan regulasi sitokin IL-10 yang memproliferasi
sel B dan menghambat respon imunlokal.
2. Genetik
Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetic, tetapi kerentana
terhadap karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relative menonjol
dan memiliki agregasi familial. Analisis korelasi menunjukkan gen HLA (human
leukocyte antigen) dan gen pengode enzim sitokrom p450 2E1 (CYP2E1)
kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap karsinoma nasofaring. Sitokrom p450

47

2E1 bertanggung jawab atas aktivasi metabolik yang terkait nitrosamine dan
karsinogen
3. Faktor lingkungan
Sejumlah besar studi kasus yang dilakukan pada populasi yang berada di berbagai
daerah diasia dan america utara, telah dikonfirmasikan bahwa ikan asin dan makanan
lain yang awetkanmengandung sejumlah besar nitrosodimethyamine (NDMA), Nnitrospurrolidene (NPYR) dannitrospiperidine (NPIP ) yang mungkin merupakan
faktor karsinogenik karsinoma nasofaring.Selain itu merokok dan perokok pasif yg
terkena paparan asap rokok yang mengandung formaldehide dan yang tepapar debu
kayu diakui faktor risiko karsinoma nasofaring dengancara mengaktifkan kembali
infeksi dari EBV. Beberapa faktor risiko karsinoma nasofaring antara lain virus
Epstein Barr, ikan asin, kurang konsumsi buah dan sayuran segar, tembakau, asap lain,
alkohol, obat herbal, paparan pekerjaan, paparan lain, familial clustering, Human
Leukocyte Antigen Genes, dan variasi genetik lain.

5. Anatomi dan histology nasofaring


Nasofaring merupakan suatu ruangan yang terletak di belakang rongga hidung di atas
tepi bebas palatum mole yang secara anatomis termasuk bagian faring (Chew, 1997).
Nasofaring merupakan rongga dengan dinding kaku di atas, belakang dan lateral
(Ballenger, 1994). Disamping dilapisi jaringan limfoepitelium, di dinding nasofaring juga
terdapat kelenjar dan jaringan ikat yang dibentuk oleh tulang dan kartilago dari dasar
tengkorak. Ukuran rata-rata dimensi nasofaring pada orang dewasa adalah dengan tinggi 4
cm, lebar 4 cm dan jarak anteroposteriornya 3 cm.
Nasofaring merupakan lubang sempit yang terdapat pada belakang rongga hidung.
Nasofaring akan tertutup bila palatum molle melekat ke dinding posterior pada waktu
menelan, muntah, mengucapkan kata dan akan terbuka pada waktu respirasi. Bagian atap
dan dinding belakang dibentuk oleh basis sphenoid, basis occiput dan ruas pertama tulang
belakang.Bagian depan berhubungan dengan rongga hidung melalui koana. Orificium dari
tuba eustachian berada pada dinding samping dan pada bagian depan dan belakang
terdapat ruangan berbentuk koma yang disebut dengan torus tubarius. Pada bagian lateral,
berbatasan dengan muara tuba eustachii.Mukosa tuba eustachii tidak datar tetapi menonjol
seperti menara yang disebut torus tubarius.Bagian atas dan samping torus tubarius
merupakan reses dari nasofaring yang disebut dengan fossa rosenmuller.Di daerah ini
merupakan tempat predileksi karsinoma nasofaring.

48

6. Pemeriksaan serologi
Serologi merupakan cabang imunologi yang mempelajari reaksi antigen-antibodi secara
invitro.Pemeriksaan serologis adalah pengujian yang menggunakan serum sebagai
sampel.Prinsip utama uji serologis adalah mereaksikan antibodi dengan antigen yang
sesuai.Antibodi adalah zat kekebalan yang dilepaskan oleh sel darah putih untuk mengenali
serta menetralisir antigen (bibit penyakit baik virus maupun bakteri) yang ada dalam tubuh.
Fungsi pemeriksaan serologis adalah :

49

Membantu dalam mendiagnosa penyakit


Ayam yang divaksin atau terinfeksi virus lapangan
akan terbentuk antibodi (IgA, IgG dan IgM). IgG ialah
antibodi utama dalam serum. Antibodi ini terdeteksi
paling cepat 7 hari postinfeksi/vaksinasi.Uji serologi
dapat dipakai untuk membantu menentukan adanya
infeksi

lapangan

atau

dari

hasil

kerja

vaksin.Contohnya ayam layer umur 60 hari yang belum pernah divaksin AI.Hasil uji serologi
terdeteksi adanya titer antibodi AI.Hal ini mengindikasikan adanya virus AI lapangan.
Monitoring titer antibodi
Karena perbedaan kondisi peternakan, kadang titer antibodi lebih cepat turun daripada yang
seharusnya.Penyebabnya

adalah

tingginya

infeksi

lapang,

ayam

stres

atau

penyakitimmunosupressif seperti Gumboro atau CRD. Dengan uji serologis rutin tiap bulan,
diharapkan status titer antibodi ayam tetap terpantau dan dapat memperkirakan kapan ayam
akan divaksinasi kembali.
Mengetahui keberhasilan vaksinasi
Untuk mengetahui tingkat keberhasilan vaksinasi maka pemeriksaan uji serologis dapat
dilakukan pada 2-3 minggu post vaksinasi aktif atau 3-4 minggu post vaksinasi inaktif.
Pemetaan baseline titer
Baseline titer adalah level minimal titer antibodi agar peternakan aman dari infeksi penyakit
tertentu di lingkungan peternakan itu sendiri. Baseline titer bersifat spesifik untuk satu
penyakit dan satu peternakan.Daerah yang sering terinfeksi ND tentu baseline titernya lebih
tinggi dibanding daerah jarang kasus ND.
Mengukur antibodi maternal
Antibodi maternal merupakan antibodi yang diwariskan dari induk ayam kepada anaknya.
Antibodi maternal ini akan berkurang (menurun) secara periodik. Pada saat antibodi maternal
rendah (di bawah standar protektif) peluang terinfeksi penyakit semakin besar.Oleh karena itu
perlu dilakukan vaksinasi untuk menggertak pembentukan antibodi dalam tubuh yang
protektif.
Beberapa contoh uji serologi, yaitu:
Reaksi serologis untuk EBV
IgG seroreaktif terhadap EBV dinilai dengan imunoblotting dengan menggunakan fraksi
nukklir HH514.c16. Diinduksi secara kimia untuk mengekspresi kan kapsid antigen virus.
Immunoblots diberi skor semikuantitatif dari 1 (paling lemah) sampai 4 (terkuat). Dengan
mengacu pasa control dianalisis dalam parallel. IgA reaktivitas secara kuantitatif. Dinilai oleh

50

sintesis peptide-based enzim linked immunosorbent Assay (ELISA) untuk imunodominan


epitope berasal dari EBNA1 dan VCA-p18 (BFRF3)
Reaksi serologis untuk salmonella Typnosa.
Pemeriksaan serologis yang digunakan untuk diagnosa penyakit demam typhoid yang
disebabkanoleh Salmonella disebut pemeriksaan Widal.Uji Widal dirancang secara khusus
untuk membantudiagnosis demam typhoid dengan cara mengaglutinasikan basilus typhoid
dengan serum penderita. Namun,istilah ini kadang-kadang diterapkan secara tidak resmi pada
uji aglutinasi lain yang menggunakan biakanorganisme yang dimatikan dengan panas selain
Salmonella.
Dari hasil pemeriksaan Widal dapat diambil kesimpulan :
1. Kenaikan titer O menunjukkan masih ada infeksi aktif
2. Kenaikan titer H menunjukkan kemungkinan post vaksinasi atau infeksi telah berlalu
3. Kenaikan titer Vi menunjukkan kemungkinan karier
Reaksi serologi untuk treponema
Reaksi serologi untuk treponema dilakukan dalam menegakkan diagnosa penyakit sifilis.
Sifilisadalah suatu penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual, disebabkan oleh
TreponemaPallidum.Infeksi treponema pallidum dalam tubuh akan menimbulkan dua
macam antibodi, yaitu
1. Antibodi non treponema (reagin)
2. Antibodi treponema
Treponemal antigen test- reaksi aglutinasi : TPHA ( Treponema Pallidum Haem
Aglutination)- reaksi fiksasi komplemen : TPCF ( Treponema Pallidum Complement
Fixation)- imobilisasi : TPI (Treponema Pallidum Immobolization)- imunofluoresen :
FTA ( Flouresan Treponema Antibody)
ELISA (Enzyme-linked immunosorbent assay)
Merupakan metode determinasi konsentrasi proteinberdasarkan spesifitas reaksi
immunologis antara antigen dan antibodi yang dirangkai denganreaksi enzimatis.Uji ini
memiliki beberapa keunggulan seperti teknik pengerjaan yang relatif sederhana,
ekonomis, dan memiliki sensitivitas yang cukup tinggi. ELISA diperkenalkan pada
tahun1971 oleh Peter Perlmann dan Eva Engvall untuk menganalisis adanya interaksi
antigen dengan antibodi dalam suatu sampel dengan menggunakan enzim sebagai pelapor
(reporter label). Prinsip kerja ELISA reader sama dengan spektofotometer. Umumnya
ELISA dibedakan menjadi dua jenis, yaitu competitive assay yang menggunakan konjugat
antigenenzim

atau

konjugat

antobodienzim,

dan

non-competitive assay yang

menggunakan dua antibodi.

51

Uji ini dilakukan pada plate96-well diperlukan beberapa tahap yang meliputi:
1. Well dilapisi atau ditempeli antigen.
2. Sampel (antibodi) yang ingin diuji ditambahkan.
3. Ditambahkan antibodi kedua yang dikonjugasikan dengan enzim tertentu seperti
peroksidase alkali. Antibodi kedua ini akan menempel pada antibodi sampel
sebelumnya
4. Dimasukkan substrat enzim yang dapat menimbulkan warna tertentu saat bereaksi.
5. Intensitas warna campuran diukur dengan spektrofotometer yang disebut ELISA
reader hingga mendapatkan hasil berupa densitas optis (OD).
Adapun cara-cara pemeriksaan serologi, yaitu:
1. Pertama periksalah serum untuk mencari ada tidaknya IgG spesifik untuk
Toksoplasma, bila hasilnya NEGATIF, berarti anda tidak pernah terinfeksi
Toksoplasma. Bila POSITIF, berarti anda pernah terinfeksi.
2. Bila POSITIF IgG, maka untuk menentukan kapan infeksi tersebut, anda harus
melakukan pemeriksaan serum untuk mencari ada tidaknya IgM Toksoplasma.
3. Bila IgG POSITIF dan IgM Negatif : Anda telah terinfeksi lebih dari setahun yang
lalu. Saatini anda mungkin telah mengembangkan kekebalan terhadap parasit itu
4. Bila IgG POSITIF dan IgM juga POSITIF : Anda tengah mengalami infeksi dalam 2
tahunterakhir. (mungkin pula ada false pada hasil IgM). Anda harus catat berapa angka
IgM tersebut.
5. Selanjutnya anda harus melakukan lagi pemeriksaan IgM (kalau perlu sekalian IgG)
setelah 2minggu dari pemeriksaan pertama. Bila IgM tetap POSITIF atau malah
naik angkanya, berarti anda sedang terinfeksi Toksoplasma

7. Titer antibody
Titer antibodi adalah tes laboratorium untuk mengukur tingkat antibodi dalam sampel
darah.Tingkat antibodi dalam darah dapat menentukan apakah anda telah terkena antigen
atau sesuatu yang asing menurut tubuh.Tubuh menggunakan antibodi untuk menyerang
dan menghilangkan zat-zat asing.Uji titer antibodi bertujuan untuk melihat tingkat atau
titer antibodi hasil vaksinasi.Oleh karena itu pemeriksaan titer antibodi yang efektif yaitu
saat titer antibodi mencapai titer protektif/melindungi.Pengambilan sampel darah dapat
dilakukan 3-4 minggu setelah vaksinasi sesuai dengan lama pembentukan titer antibodi
vaksin killed/inaktif, dimana titer antibodi protektif/melindungi baru tercapai pada 3-4
minggu setelah vaksinasi. Agar tingkat keseragaman titer antibodi hasil vaksinasi dapat
terlihat, ambil sampel darah sebanyak 0,5 % dari total populasi atau minimal 15 20
sampel. ELISA adalah sarana umum untuk menentukan titer antibody.

52

Ada dua jenis utama pengujian titer yang bisa dilakukan, yaitu:
1. Titer fisik
titer ini memberikan satu konsentrasi partikel virus per satuan pengukuran .
2. Titer menular
Tes ini menceritakan salah satu konsentrasi partikel menular yang memiliki
kemampuan untuk menyebabkan infeksi .
Sebuah titer fisik jauh lebih mudah dan lebih cepat
untuk melakukan tetapi tidak selalu mengatakan satu jika
tingkat itu adalah jumlah yang menular atau tidak .
Spesifikasi reaksi antara antigen dan antibodi telah
ditunjukkan melalui penelitian-penelitian yang dilakukan
oleh Landsteiner.

Ia

menggabungkan

radikal-radikal

organik padaprotein dan menghasilkan antibodi terhadap


antigen-antigen tersebut.
Hasil yang diperoleh menunjukkan antibodi dapat
membedakan antara kelompok berbeda pada protein
ataupun kumpulan kimia yang sama tetapi berbeda
kedudukan.
Ikatan kimia antara antigen dan antibodi
Terdiri dari ikatan non kovalen, (seperti ikatan hidrogen, van der Waals, elektrostatik,
hidrofobik), sehingga reaksi ini dapat kembali ke semula (reversible). Kekuatan ikatan
ini bergantung kepada jarak antara paratop dan bagian-bagian tertentu pada epitop.
Reaksi pelarutan (precipitation)
Antara antibodi khusus dengan antigen larut seperti protein. Penelitian yang dilakukan
oleh Heidelberger dan Kendall menunjukkan

reaksi

ini

dapat optimum pada

zona

kesetaraan (equivalence zone) di mana antibodi dan antigen terbentuk pada kondisi yang
paling sesuai untuk membentuk satuan ikatan (lattice). Pada zona antibodi berlebih
(antibody excess zone) dan zona antigen Berlioz (antigen excess zone) maka
pembentukan satuan ikatan tidak optimum dan masih terdapat antibodi atau antigen
bebas yang tidak terdapat dalam larutan.
Reaksi pembekuan (aglutinasi)
Antara antibodi khusus dengan antigen partikulat seperti bakteri, sel dll. Prinsipprinsip reaksi pembekuan adalah sama seperti reaksi pelarutan.Di dalam percobaan di
atas antibodi spesifik terhadap antigen dicairkan dalam satu set cawan mikrotiter (baris
atas), kemudian antigen pada kepekatan yang sama ditambah kepada setiap cawan yang

53

mengandung antibodi. Selepas inkubasi untuk jangka waktu yang sesuai telaga-telaga
dicerap untuk melihat sama ada terdapat pembentukan aglutinat(baris kedua). Hasil yang
didapat menunjukkan terdapat aglutinat terbentuk dalam telaga 2 - 5 dan tidak dalam
telaga-telaga lain. Dalam telaga pertama aglutinat tidak terbentuk walaupun terdapat
banyak antibodi karena nisbah antigen dan antibodi tidak optimum untuk pembentukan
aglutinat.Kepekatan antibodi adalah terlalu tinggi dibanding antigen.Ini disebut fenomena
prozon. Dalam telaga 6 dan 7 kepekatan antibodi adalah terlalu rendah dan tidak cukup
untuk untuk menghasilkan aglutinat. Dalam percobaan di atas titer antibodi terdapat pada
telaga 5 karena ini adalah cairan tertinggi yang menghasilkan respon positif, yaitu pengglutinat-an. Rajah sebelah bawah menunjukkan mekanisme reaksi peng-hemaglutinat-an
tak terus (indirect hemagglutination reaction). Dalam kaedah ini antigen larut
diselaputkan ke permukaan eritrosit dan kehadiran antibodi terhadap antigen tersebut
diketahui.
Mendakan dalam tub
Reaksi

pemendakan juga boleh dilakukan

dalam medium

separa pepejal

seperti gel dan prinsip reaksi adalah sama seperti reaksi dalam larutan. Aturan ini bisa
dilakukan dalam tub atau potongan.Rajah di atas menerangkan prinsip pemendakan
dalam tub. Dalam cara pertama (gambar atas) larutan antigen ditambah ke tub yang
mengandung antibodi. Setelah inkubasi garis mendakan akan terbentuk pada zona
kesetaraan antara larutan antigen dan antibodi. Cara kedua (gambar tengah) menunjukkan
reaksi pemendakan dalam gel.Antibodi dicampurkan dengan gel dan dibekukan dalam
tub. Kemudian antigen ditambah dan tub tersebut diinkubasi. Antigen akan menyerap
masuk ke dalam gel dan membentuk satu cerun kepekatan dan garis mendakan (precipitin
line) terbentuk di mana terdapat zona kesetaraan hasil. Lebih dari satu garis mendakan
akan terbentuk jika terdapat lebih dari satu antigen yang dicam oleh antibodi. Gambar
ketiga menunjukkan peralihan garis mendakan (pseudomigration) yang terjadi selama
inkubasi. Ini terjadi karena sewaktu inkubasi lebih banyak antigen akan menyerap masuk
ke dalam gel dan bagian di mana terdapat zona kesetaraan akan bertukar karena
kepekatan antibodi dalam gel adalah malar. Rajah ini juga menunjukkan di mana zona
antigen dan antibodi berlebih terbentuk dalam gel tersebut.

Kaidah imunoserapan bulatan


Kaidah ini berguna untuk menentukan kehadiran atau menentukan kepekatan antigen.
Dalam rajah di bawah kepekatan IgG dalam sampel ditentukan menggunakan cara ini.
Anti-IgG dicampurkan dengan gel dan dibekukan di atas piringan. Kemudian telaga-

54

telaga diaduk di dalam gel tersebut dan satu set lengkap IgG ditambah ke dalam telaga.
Setelah inkubasi garis mendakan berbentuk bulatan akan terbentuk di keliling setiap
telaga dan diameter bulatan ini bergantung kepada kepekatan antigen (IgG) yang
ditambah.

8. EBV
Virus Epstein Barr (virus EB) juga disebut herpesvirus manusia 4 yang termasuk
dalam famili herpes (yang juga termasuk dalam virus simplex dan sitomegalovirus).
Virus ini merupakan salah satu virus yang paling umum pada manusia dan mampu
menyebabkan mononukleosis infeksiosa. Penyakit ini lebih sering terjadi pada anak-anak
dan dewasa muda. Sel target virus EB adalah limposit B. Virus EB biasanya ditularkan
melalui air liur yang terinfeksi dan memulai infeksi di orofaring. Diagnosis tidak hanya
berdasarkan gejala-gejala yang dialami, namun juga dengan pemeriksaan darah.
Virus Epstein-Barr berasal dari nama Michael Epstein dan Yvonne Barr, yang bersama
dengan Bert Achong, menemukan virus ini tahun 1964. Sampai saat ini belum ditemukan
vaksin virus EB. Epstein Barr Virus ditularkan secara per oral, umumnya ditularkan
melalui saliva, menginfeksi epitel nasofaring dan limfosit B.
Struktur
Seperti semua virus herpes , virus Epstein - Barr relatif besar dan kompleks . Struktur
virus terdiri dari envelope , spikes , inti, kapsid dan tegument . Semua struktur ini
membantu dalam membuat virus dalam proses infeksi dan sebagai cara untuk
menghindari deteksi dari sistem kekebalan tubuh kita
Spikes, banyak glikoprotein yang melapisi permukaan luar envelope virus . Protein ini
adalah sarana untuk virus ketika bertemu sel inang potensial. Dengan protein ini , virus
bisa menempel pada permukaan sel inang dan memulai siklus replikasi . Protein ini juga
merupakan sarana untuk mencari sel inang ,
protein mereka akan mengikat dengan sel
reseptor yang khusus pada host .
Envelop, membran luar pelindung yang
mengelilingi virus . Ini adalah membran
yang tercakup dalam glikoprotein yang
disebutkan di atas. Envelop virus ini tidak
terlalu kokoh dan mudah rusak. membran
yang

terbuat

dari

lipoprotein

mudah

mengalami kerusakan itu berarti virus tidak


dapat menginfeksi sel inang dan karena itu tidak dapat menyebabkan penyakit pada

55

manusia. Membran ini sangat sensitif terhadap pengeringan, asam, deterjen dan banyak
pelarut organik lainnya.
Inti, Inti mengandung DNA beruntai ganda dan tertutup dalam semua struktur lainnya .
Inti memiliki bentuk toroidal , yang berarti menyerupai donat . terletak di sekitar protein
khusus di tengah inti.
Kapsid, Kapsid mengelilingi inti dan melindungi informasi genetik ( DNA untai ganda ) .
Kapsid sendiri memiliki nukleokapsid dengan bentuk ikosahedral , yang berarti memiliki
dua puluh sisi.
Tegument, Tegument adalah ruang antara kapsid dan amplop . Ruang ini diisi dengan
protein , yang menangani protein dan enzim yang diperlukan untuk replikasi .
Imunitas terhadap virus Epstein Barr Virus ditularkan secara per oral, umumnya
ditularkan melalui saliva, menginfeksi epitel nasofaring dan limfosit B. Kegagalan
imunitas spesifik EBV dapat memberikan peran pada patogenesis tumor yang berkaitan
dengan EBV dan juga pada penderita immunodeficiencies tanpa manifestasi klinik.
Peranan virus dalam karsinogenesis terjadinya kanker dapat berasal dari berbagai
mutasi. Mutasi dapat terjadi akibat respons terhadap kerusakan yang ditimbulkan oleh
faktor lingkungan, seperti zat kimia, radiasi, dan virus. Pada keadaan fisiologis proses
pertumbuhan, pembelahan, dan diferensiasi sel diatur oleh gen yang disebut
protoonkogen yang dapat berubah menjadi onkogen bila mengalami mutasi. Onkogen
dapat menyebabkan kanker karena memicu pertumbuhan dan pembelahan sel secara
patologis.
Implikasi kelainan siklus sel terhadap keganasan. Keganasan pada umumnya dapat
terjadi melalui dua mekanisme yaitu, pertama pemendekan waktu siklus sel sehingga
akan menghasilkan lebih banyak sel yang diproduksi dalam satuan waktu. Kedua,
penurunan jumlah kematian sel akibat gangguan pada proses apoptosis.
Transformasi
EBV dapat menginfeksi beberapa jenis sel yang berbeda, termasuk sel B dan sel
epitel, pada kasus tertentu juga dapat menginfeksi sel T, sel natural-killer, dan sel otot
polos.Menginfeksi sel B dan sel-sel epitel merupakan bagian dari siklus normal virus
untuk bertahan.
Untuk menginfeksi sel B, virus protein gp350 berikatan dengan reseptor seluler
komplemen reseptor 2 (CR2), dan memicu endositosis . Selain itu, gp42 mengikat untuk
MHC kelas II molekul. Melalui interaksi ini, mesin fusi, terdiri dari gHgL dan GB, dipicu
dan sekering membran virus dengan membran endosomal untuk melepaskan bahan
genetik virus.

56

Untuk menginfeksi sel epitel, gp350 juga mengikat untuk CR2, namun tidak dipicu
endositosis. Kemudian, gHgL berinteraksi dengan reseptor gHgL (mungkin integrins
v6 atau v8) dan mesin fusi gHgL dan GB dipicu untuk memungkinkan fusi pada
membran sel. Fusion with epithelial cells is actually impeded by gp42. Fusi dengan selsel epitel sebenarnya terhambat oleh gp42.
EBV sebagai penyebab utama infeksi mononucleosis.Infeksi ini kebanyakan
menyerang anak-anak dan menyebar melalui air liur.Virus EBV mempunyai masa
inkubasi 4-7 minggu.Gejala infeksi mononukleosis biasanya berlangsung selama 2-3
minggu.Infeksi mononukleosis ini sering tidak dianggap serius karena dapat sembuh
sendiri.Gejala pada infeksi mononukleosis ini mirip dengan gejala penyakit yang
disebabkan oleh virus sitomegalovirus. Pasien yang pernah terinfeksi oleh virus EBV ini
akan membawa terus virus tersebut selama hidupnya. Virus ini biasanya hidup dan
menetap di limfosit B. Virus dapat kembali aktif bergantung pada lingkungan dari
penderita dan akan menyebabkan keluhan fisik yang tidak jelas, dan selama fase ini,
virus ini dapat menyebar ke orang lain.
Pengaktifan kembali virus ini dapat memicu autoimun hospes dari beberapa
penyakit, seperti rheumatoid arthritis, sindrom antibodi antifosfolipid, dan multiple
sclerosis.Imunologi rangsangan kronis semacam itu juga dapat memicu beberapa jenis
kanker, dan kanker yang paling sering terjadi adalah karsinoma nasofaring.Hal ini
berhubungan dengan infeksi utama dari limfosit B, yaitu sel antibodi yang memproduksi
utama dari sel kekebalan tubuh, serta kemampuan untuk mengubah baik proliferasi
limfosit dan produksi antibodi limfosit.

9. PCR RFLP
Prinsip Dasar PCR
PCR merupakan teknik amplifikasi DNA selektif in vitro yang meniru fenomena
replikasi DNA in vivo. Komponen reaksi yang diperlukan dalam teknik ini adalah untai
tunggal

DNA

sebagai

cetakan,

primer

(sekuens

oligonukleotida

yang

mengkomplementeri akhiran sekuens cetakan DNA yang sudah ditentukan), dNTPs


(deoxynucleotide triphosphates), dan enzim polimerase DNA.
1.

DNA
Untuk aplikasi PCR, kemurnian DNA mempengaruhi hasil. DNA yang tidak murni
sering menyebabkan masalah reproduksibilitas. Untuk tujuan diagnosis DNA (atau
RNA) harus dimurnikan dahulu sebelum diproses dengan PCR. Dalam proses isolasi
tersebut DNA yang dihasilkan sebaiknya bebas nuklease, endo-atau eksoprotease,

57

dan DNA-binding protein. Khusus untuk RNA, karena RNA tidak dapat digunakan
sebagai cetakan langsung untuk PCR, maka diperlukan tahapan transkripsi balik
untuk membuat mRNA menjadi DNA komplementernya (cDNA) yang kemudian
dapat digunakan sebagai cetakan untuk PCR. Teknik ini disebut dengan RT-PCR
(reverse transcription-PCR atau PCR transkripsi balik).
2.

Primer
Primer PCR adalah komponen yang sangat menentukan keberhasilan PCR. Sangat
penting untuk mendesain sepasang primer yang baik-efektif-efisien. Ada beberapa
program untuk mendesain primer PCR yang dapat digunakan secara gratis, seperti
MEDUSA, Primer3, PrimerQuest, dan lain-lain. Penggunaan program semacam ini
sangat disarankan untuk mendesain protokol PCR baru. Meskipun begitu, kita juga
dapat mendesain primer PCR secara manual berbekal beberapa aturan dasar.
Kelebihan dari desain primer secara manual adalah kita dapat mendesain primer
PCR yang efektif dengan karakteristik yang mungkin "tidak diijinkan" oleh program
yang ada.
Aturan dasar tersebut adalah sebagai berikut:
1.

Panjang primer sebaiknya antara 18-30 nukleotida (kecuali untuk tujuan


tertentu).

2.

Sekuens dalam primer sebaiknya tidak mengandung daerah komplementari


internal.

3.

Sebaiknya

dalam

sepasang

primer

tidak

ada

daerah

yang

saling

berkomplementari.
4.

Dalam primer tidak ada struktur sekunder.

5.

Memiliki

kandungan

GC

(guanosine

dan

cytosine)

50%.

Hindari

ketidakseimbangan distribusi daerah kaya G/C dan A/T.


6.

Untuk PCR diagnostik pilih primer PCR yang mengamplifikasi daerah yang
stabil secara genetik.

7.

Perbedaan suhu anealing dalam suatu pasangan primer jangan lebih dari 5 0C.

PCR dapat digunakan untuk berbagai macam aplikasi. Aplikasi yang berbasis PCR
biasanya membutuhkan primer PCR yang telah dimodifikasi. Ada berbagai macam
modifikasi primer PCR yang mungkin kita lakukan, namun pada prinsipnya adalah:
Modifikasi 5'end

58

1. Penambahan tempat restriksi (sekuens yang dapat dikenali oleh enzim restriksi
endonuklease)
2. Penambahan sekuens pengatur
3. Penambahan Promotor dan RBS (ribosomal binding sites)
4. Penambahan label
5. Penambahan GC-clamp
Degenerate primer
1. Site directed mutagenesis
2. DOP (degenerate oligonucleotide primer) PCR
3. Translasi sekuens asam amino ke dalam sekuens genomik
4. Primer universal
5. Primer competitor
Miscellaneous
1. Primer sekuens berulang
2. Primer concatemeric
3. Primer PCR multipleks
4. Megaprimer
5. Molecular beacon
3. dNTPs (Deoxynucleotide triphosphates)
dNTPS merupakan blok pembangun molekul asam nukleat yang terdiri dari
deoxyadenosine triphosphate (dATP), deoxythymidine triphosphate (dTTP),
deoxycytosine triphosphate (dCTP), dan deoxyguanosine triphosphate (dGTP).
Dalam beberapa aplikasi dan protokol PCR, salah satu dari empat dNTP tersebut
dapat diganti elemen analog. Modifikasi ini berguna untuk aplikasi yang berbasis
paska-PCR.
4. Polimerase DNA
Ketika terjadi sintesis DNA, enzim polimerase DNA akan melakukan seleksi
nukleotida yang tepat untuk ditambahkan ke primer untuk melanjutkan rantai DNA
sesuai dengan aturan pasangan basa Watson-Crick (A:T dan G:C). Polimerase DNA
selalu mengkatalis sintesis DNA dalam orientasi 5' ke 3'. Beberapa polimerase DNA
juga memiliki aktivitas eksonuklease atau yang sering disebut dengan aktivitas
"proofreading" yang akan memeriksa basa yang telah ditambahkan untuk
menumbuhkan untai DNA. Ketika terjadi penambahan nukleotida yang tidak tepat
aktivitas proofreading tersebut akan membuang basa yang tidak tepat tersebut.
Mekanisme koreksi ini akan meningkatkan akurasi atau atau yang disebut juga

59

dengan fidelitas. Ketika membandingkan atau memilih polimerase DNA, ada dua hal
yang penting dalam PCR yaitu fidelitasnya dan efisiensi sintesisnya. Macam-macam
polymerase lainnya yang saat ini ada di pasaran: AmpliTaq, Stoffel, Ampliterm,
Pyra, TTH 94, Tfl, Tfu, Deep Vent, Vent, Tli, Proofstart, PFU 92, Pfx, Pwo, UL
Tma, dan Thermal Ace. Dari enzim polimerase tersebut yang memiliki aktivitas 53 proofreading adalah: AmpliTaq, TTH 94, dan Tfl. Yang memiliki aktivitas 3-5
proofreading adalah: Tfu, Deep Vent, Vent, Tli, Proofstart, PFU 92, Pfx, Pwo, dan
Thermal Ace.
5. Bufer reaksi PCR
Bufer reaksi PCR biasanya mengandung Mg2+, kation monovalen, dan beberapa cosolvent.

Co-solvent

membantu

menstabilisasi

enzim

polimerase

DNA,

mempengaruhi kerja enzim, dan atau DNA melting temperature (Tm). Ion
Monovalen seperti Na+, K+ dan NH4+ menstimulasi aktivitas polimerase DNA dan
melindungi muatan negatif gugus fosfat DNA, sehingga melemahkan kekuatan
elektronik yang saling menolak antara primer dan DNA target. Ion Mg2+ berperan
sebagai ko-faktor aktivitas polimerase DNA thermostabil. Secara umum konsentrasi
ion Mg2+ yang sering digunakan adalah 2,5 mM (antara 0,5-5 mM). Yang perlu
diingat, konsentrasi ion magnesium yang berlebihan menghambat reaksi amplifikasi
PCR.
Reaksi PCR
Pada prinsipnya, reaksi PCR (protokol PCR konvensional) membutuhkan tiga tahap:
1. Denaturasi (Melting)
Prinsipnya adalah memisahkan DNA untai ganda menjadi komponen untai tunggal,
sehingga memungkinkan terjadinya hibridisasi primer PCR untai tunggal pada
sekuens targetnya (jika ada).
2. Annealing (Hibridisasi) Primer PCR
Pada tahap ini terjadi hibridisasi primer PCR pada sekuens targetnya. Secara umum
suhu annealing PCR biasanya berasal dari suhu annealing primer hasil kalkulasi
matematis dikurangi 5 derajat Celcius, dengan kata lain primer dapat berikatan
dengan target komplementarinya dan jika sudah terhibridisasi tidak mudah
mengalami disosiasi. Waktu yang dibutuhkan biasanya 15-60 detik.
3. Elongasi (ekstensi rantai DNA)
Tahap ini penting untuk mengamplifikasi daerah yang sudah dihibridisasi oleh
primer, dari 5'end ke 3'end. Sebagian besar enzym polimerase membutuhkan suhu
elongasi 72 0C. Secara umum suhu elongasi sebaiknya 5 0C di bawah suhu melting

60

seluruh amplimer. Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan langkah
elongasi adalah waktu inkubasi, yaitu sebaiknya cukup panjang bagi polimerase
DNA mengamplifikasi sekuens target secara komplit tetapi cukup pendek untuk
mencegah amplifikasi produk non-spesifik yang lebih panjang daripada sekuens
target. Secara detail, protokol suatu PCR tergantung dari tujuan, enzim polimerase,
primer, bahkan kit yang digunakan.
Berdasarkan proses kinetik yang terjadi, reaksi PCR dapat dibagi menjadi 3 fase kinetik:
1. Fase Awal
2. Fase Eksponensial
3. Fase Plateau
Analisis dan Visualisasi Produk PCR
Analisis produk PCR dapat dilakukan secara ex-vitro (dilakukan di luar tabung PCR,
misalnya: elektroforesis gel, hibridisasi DNA) maupun in-vitro (dalam tabung PCR dan
selama reaksi PCR berlangsung). Kedua teknik tersebut membutuhkan produk PCR
yang telah di-"visualisasi"-kan sebelum dianalisis. Visualisasi produk amplifikasi PCR:
1. mengecat DNA untai ganda dengan bahan pewarna kimia atau ion perak yang
berinterkalasi di antara untai ganda DNA
2. labelisasi primer PCR atau nukleotida dNTP dengan bahan pewarna fluoresen
(fluorophore) atau hapten sebelum amplifikasi PCR
Analisis berasaskan PCR- sekatan panjang serpihan polymorphism ( RFLP ) adalah
teknik popular untuk genotyping. Teknik ini mengeksploitasikan Single Nucleotide
Polymorphism (SNP), multi-nucleotide polymorphisms (MNPs) dan microindels sering
dikaitkan dengan penciptaan atau penghapusan tempat restriction enzyme recognition. (
Narayanan ,1991 ). Langkah pertama dalam analisis PCR- RFLP adalah amplifikasi
serpihan yang mengandungi pengubahan/viariasi

Ini diikuti oleh rawatan serpihan

dikuatkan dengan enzim sekatan yang sesuai. Kehadiran atau ketiadaan restriction enzim
recognition site mengakibatkan dalam pembentukan serpihan sekatan saiz yang berbeza,
identifikasi alel boleh dilakukan dengan serpihan fragment dengan mengunakan
elektrophoretik.
Kelebihan utama dalam teknik PCR- RFLP termasuk tidak mahal dan kekurangan
keperluan untuk instrumen maju. Di samping itu, reka bentuk PCR- RFLP analisis
umumnya adalah mudah dan boleh dicapai dengan menggunakan program-program
awam tersedia.
Kelemahan meliputi keperluan endonucleases tertentu dan kesukaran dalam
mengenal pasti variasi yang tepat.. sekiranya beberapa Single Nucleotide Polymorphism

61

(SNP) terjejas akanmengakibatkan tempat restriction enzyme recognition juga terjejas.


Ini kerana PCR- RFLP terdiri daripada beberapa langkah termasuk langkah pemisahan
elektroforetik (electrophoretic separation step), ia agak memakan masa. Teknik itu tidak
sesuai untuk analisis serentak bagi sejumlah besar Single Nucleotide Polymorphism
(SNP) yang berbeza kerana keperluan untuk primer specifik dan sekatan tertentu enzim
(restriction enzymes) bagi setiap SNP . Ini menghadkan kebolehgunaan untuk tinggi
sepanjang analisis.
Salah satu allel RFLP kurang mempunyai sekatan enzim pengiktirafan tapak
(enzyme recognition site) dan bermanifestasi sebagai serpihan tunggal (hitam dalam
pokok keluarga). Allele lain adalah tempat pelabuhan sekatan enzim pengiktirafan tapak
dan memaparkan dua serpihan sekatan (putih dalam pokok keluarga). Marker RFLP
diwarisi dengan cara yang Mendel.
Jadual 1. Kelebihan dan kekurangan PCR-RFLP

Kelebihan

Kekurangan

Mudah untuk mereka bentuk

Memerlukan
menghapuskan

Dipakai utuk menganalisis polimorfisme

pennjana
sekatan

variasi
tapak

atau
enzyme

recognisation.

nukleotida tunggalsebagai microindels


Sesetengah enzim sekatan mahal
Tiada keperluan untuk instrumen mahal
Genotyping yang tepat tidak dapat dicapai
Tiada keperluan untuk latihan yang
meluas daripada kakitangan makmal

sekiranya terdapat lebih daripada satu


variasi nukleotida dalam tapak enzyme
restriction site)
Memerlukan jumlah pekerja yang terlibat
dalam penyertaan peribadi secara aktif
Proses penyiapan analisis mengambil masa
yang lama.
Tidak sesuai untuk analisis pemprosesan
tinggi

62

Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP). Restriction Fragment Length


Polymorphism (RFLP) adalah perbedaan dalam urutan DNA homolog yang dapat
dideteksi oleh kehadiran fragmen dengan panjang yang berbeda setelah pencernaan
sampel DNA yang bersangkutan dengan endonuklease restriksi tertentu. RFLP, sebagai
penanda/marker molekuler, khusus untuk kombinasi enzim clone / pembatasan tunggal.
Kebanyakan penanda/marker RFLP adalah co-dominan (kedua alel dalam sampel
heterozigot akan terdeteksi) dan sangat-lokus tertentu. Isolasi DNA yang cukup untuk
analisis RFLP,

memakan waktu dan tenaga. Namun, PCR dapat digunakan untuk

memperkuat jumlah DNA yang sangat sedikit, biasanya dalam 2-3 jam, ke tingkat yang
dibutuhkan untuk analisis RFLP. Oleh karena itu, lebih banyak sampel dapat dianalisis
dalam waktu yang lebih singkat
Aplikasi Medis PCR
Aplikasi medis PCR utama adalah deteksi patogen infeksius dan identifikasi mutasi
pada gen yang berkaitan dengan faktor resiko penyakit. Contohnya, antara lain:
-

Deteksi polimorfisme: RFLP (restriction fragment length polymorphisms), VNTR


(variable number of tandem repeat sequences), dan STR (short tandem repeats)

Skreening/deteksi mutasi berbasis PCR

PCR kuantitatif: dengan menggunakan kompetitor/mimic (internal exogenous


standards), dengan housekeeping gene (internal endogenous standard), atau dengan
Real-Time PCR.

Variasi dan adaptasi protokol PCR konvensional:


-

Labelisasi amplimer PCR untuk visualisasi produk PCR, pembuatan probe DNA dan
kloning.

PCR dua langkah (denaturasi dan kombinasi annealing + ekstensi/amplifikasi).

PCR booster (untuk menghambat akumulasi amplimer non spesifik dan komplek
primer dimer).

PCR Hot-Start dan Time-Release (untuk mengurangi pembentukan amplimer non


spesifik).

Inverse PCR (untuk mengamplifikasi daerah yang belum diketahui sekuensnya yang
terletak tepat di atas atau di bawah daerah yang sudah diketahui sekuensnya).

PCR asimetrik (salah satu primer PCR mempunyai konsentrasi yang lebih tinggi
dibandingkan primer pasangannya sehingga menghasilkan konsentrasi tinggi
molekul DNA untai tunggal).

Sekuensing DNA yang dimediasi PCR.

PCR Touchdown dan Touch-Up (untuk sampel DNA komplek yang hanya
63

mengandung sedikit molekul cetakan, PCR multiplek, amplifikasi selektif daerah


target dimana satu atau lebih sekuens primer sangat mirip dengan sekuens lainnya
yang terdapat dalam cetakan DNA yang digunakan, untuk protokol umum PCR
dengan banyak pasangan primer PCR).
-

PCR multiplek (menggunakan beberapa pasangan primer dalam campuran PCR


yang sama untuk mengamplifikasi beberapa target yang berbeda pada waktu yang
sama).

PCR degenerasi (menggunakan campuran primer PCR yang didesain untuk


mengamplifikasi sekuens target DNA genetik yang sama dimana diharapkan ada
sejumlah kecil perubahan nukleotida antara isolat atau individual yang berbeda)/

PCR repeat dan inter-repeat. PCR repeat (untuk menentukan panjang daerah
genetik yang mengandung sekuens pengulangan tandem. PCR inter-repeat
dilakukan dengan teknik RAPD (random amplification of polymorphic DNA) atau
arbitrary primed (AP-PCR) untuk mengetahui keberadaan daerah pengulangan
sekuens genetik).

AFLP-PCR (amplification fragment length polymorphism) untuk membedakan isolat


atau spesies yang berbeda berdasarkan keberadaan daerah enzim restriksi
(polimorfisme daerah restriksi).

BESS-T-Scan (Base Excision Sequence Scanning) untuk mendeteksi mutasi T/A


atau A/T.

DD-RT-PCR (Differential Display RT-PCR) untuk memvisualisasikan perbedaan


ekspresi gen pada sel-sel yang berbeda tipenya atau sel-sel yang sama tipenya tapi
mendapatkan perlakuan yang berbeda.

Protein Truncation Test (PTT), untuk mendeteksi adanya mutasi pada DNA
genomik yang menginduksi adanya stop codon pada mRNA-nya.

PCR untuk mendeteksi adanya metilasi DNA.

Breakpoint PCR (untuk mengamplifikasi daerah yang mengalami translokasi).

PCR mutagenesis (untuk mengintroduksi mutasi pada sekuens DNA yang telah
diketahui).

PCR untuk kloning.

SAGE (Serial Analysis of Gene Expression)

PCR ELISA

Amplification refractory mutation system (ARMS) untuk mendeteksi point mutation


melalui priming oligonukleotida kompetitif.

64

PCR in situ

10. Polimorfisme
Berdasarkan perbedaan sifat sifat fisiknya, secara antropologis manusia digolongkan
dalam berbagai suku dan ras. Penggolongan ini didasarkan atas perbedaan parameter
morfologis yang antara lain terdiri dari warna kulit, warna dan tekstur rambut, tinggi
badan, bentuk raut muka, bentuk hidung, dan sebagainya, yang membedakan sukusuku
tertentu dengan suku lainnya. Dalam pendekatan secara genomik, perbedaan-perbedaan
morfologis tersebut ternyata disebabkan oleh adanya beberapa gen yang bertanggung
jawab terhadap perbedaan fenotipe dari masing-masing etnik tersebut (Owen, S and
King,M.C. 1999). Perbedaan warna kulit misalnya, disebabkan oleh perbedaan atau

diferensiasi ekspresi dari gen multiallelic melanocortin stimulating hormone receptor-1


(MCIR) yang dipengaruhi oleh adaptasinya terhadap paparan sinar matahari (Palmer,J.S,
et al., 2000). Munculnya beberapa jenis allele dan haplotip tersebut disebabkan karena
terjadinya beberapa mutasi yang terjadi pada sel reproduksi dari masing-masing individu
(Brown, T.A., 1999). Perbedaan allele dan polimorfisme dalam individu disebabkan oleh
terjadinya perubahan susunan basa-basa DNA seperti perubahan salah satu basa DNA,
delesi ataupun rearrangement DNA dalam salah satu lokus kromosomnya. Ekspresi dari
allele tertentu tergantung dari struktur dan sekuen regulatornya sehingga kadang kala
epksresinya sangat tinggi sedangkan yang lainnya mungkin mengalami represi.
Berdasarkan asumsi bahwa sedemikian besarnya variasi ekspresi dan variasi yang
terdapat dalam genom setiap individu maka bisa diperkirakan betapa besarnya diversitas
allele yang terjadi dalam populasi manusia. Keterlibatan gen dan protein di dalam
perjalanan penyakit dan respon tubuh terhadap obat telah lama menjadi perhatian para
praktisi baik dalam bidang kedokteran maupun dalam bidang farmasi.
Heterogenitas genom manusia
DNA atau genom merupakan materi genetik yang amat penting dalam sistem biologis
termasuk pada manusia. Informasi genetik yang disandi oleh DNA ini diturunkan dari
setiap generasi ke generasi berikutnya mengalami proses mutasi dan seleksi (Sander,C.,
2000). Proyek pemetaan genom manusia telah berhasil dilakukan. Dalam laporannya
The International Human Genome Sequencing Consortium memperkirakan bahwa dari
3 milyar pasang basa genom manusia, terdapat sekitar 30.000 35.000 gen fungsional
yang menyandi sintesis berbagai jenis protein (Lander E.S. et al. 2001, Venter, J.C. et
al. 2001). Tingginya frekuensi mutasi dan seleksi dari genom tersebut menyebabkan
meningkatnya variasi genetik pada populasi manusia. Varian DNA pertama yang
diidentifikasi adalah berdasarkan perbedaan panjang fragmen DNA yang terpotong oleh

65

enzim endonuklease restriksi disebut dengan restriction fragment length polymorphisms


(RFLPs), yang kemudian disusul dengan ditemukannya variable number of tandem
repeats (VNTRs). Perbedaan dalam varian DNA inilah yang kemudian banyak
digunakan dalam penentuan sidik jari DNA dalam bidang forensik. Varian DNA baru
yang saat ini lebih banyak dipakai sebagai penanda (marker) adalah apa yang disebut
sebagai single nucleotide polymorphisms (SNPs). SNP terjadi bila satu jenis nukleotida
dalam posisi tertentu tersubstitusi dengan jenis nukleotida lainnya pada individu lain.
SNPs merupakan penanda utama dalam variasi genom antar individu manusia
(Campbell,D.A. et al. 2000). Di dalam 3 milyar pasang basa DNA dari genom manusia
diperkirakan terdapat sekitar 1.6 juta 3,2 juta SNPs. Sebagian besar perbedaan
manusia dipengaruhi oleh adanya perbedaan SNPs yang terjadi pada genomnya, dan hal
ini seringkali dihubungkan dengan adanya perbedaan dalam predisposisinya dalam jenis
penyakit tertentu ataupun respon tubuhnya terhadap penggunaan obat (Stoneking, M.
2001). SNPs yang lokasinya\ terletak pada coding regions disebut cSNPs. Dampak
cSNPs ini terhadap ekspresi protein yang disintesis adalah : (i) Substitusi basa DNA
tersebut tidak menimbulkan perbedaan pada sekuen asam aminonya. (ii) Substitusi basa
DNA dapat menyebabkan perubahan dalam sekuen asam aminonya akan tetapi efeknya
tidak menyebabkan perubahan yang berarti pada struktur dan fungsi dari protein yang
dihasilkan. (iii) Menimbulkan perubahan pada sekuen asam aminonyadan menyebabkan
perubahan yang nyata pada struktur dan fungsi protein yang dihasilkan. Beberapa SNPs
yang berada pada lokasi non-coding regions ternyata juga dapat mempengaruhi
stabilitas mRNA dan kecepatan transkripsinya. Perbedaan sekecil apapun dapat
mempengaruhi fungsinya oleh sebab itu dapat diduga bahwa perubahan dalam struktur
dan fungsi protein yang menjadi target kerja obat akan dapat mempengruhi respon obat
dalam tubuh(Rothberg, B.E.G., 2001). Beberapa gen yang bertanggung jawab terhadap
metabolisme obat adalah gen P450, yang menyandi ekspresi dari enzim-enzim
metabolisme obat yaitu CYP2C19, CYPIA1, CYP206, CYP2C9, CYP2E1. Variasi
struktur dan fungsi dari enzim-enzim tersebut dapat menyebabkan meningkatnya efek
samping dari berbagai jenis obat termasuk antidepresan, amfetamin, dan beberapa obat
golongan beta-adreno receptor. Variasi allele pada enzim metabolisme obat lainnya
yaitu thiopurine methyl transferase (TPMT), dapat menyebabkan efek samping yang
tidak diinginkan. Polimorfisme pada enzim sering kali juga dapat meningkatkan efek
toksik dari obat dibandingkan denganindividu normal. Penyakit-penyakit kelainan
genetik telah diketahui antara lain disebabkan oleh terjadinya mutasi DNA, dan
polimorfisme. Mutasi dan polimorfisme ini dapat terjadi pada coding regions dari gen,

66

pada promo- promotor gen ataupun pada sekuen regulator. Ekspansi dari trinukleotida
berulang (trinucleotide repeat) diketahui merupakan modulator penting dalam ekspresi
gen, disamping dinukleotida berulang ataupun simple tandom repeats (STRs). Penyakit
fragile X syndrome, merupakan salah satu contoh sindroma yang disebabkan oleh
terjadinya mutasi dari CCG trinukleotida berulang pada gen FMR1. Beberapa jenis
kelainan neurologik seperti myotonic distrophy, spinobulbar muscular atrophy,
Huntingtons disease dan spinocerebellar atrophy, diketahui disebabkan oleh adanya
AGC trinucleotide repeat. Variasi mutasi dalam suatu gen dapat menyebabkan beberapa
kelainan. Berbagai jenis penyakit diketahui berhubungan dengan terjadinya berbagai
mutasi DNA. Saat ini diperkirakan sekitar 1500 jenis penyakit yang berkaitan dengan
kelainan genetik. (Peltonen, L. and McKusick, V.A. 2001).
Penanda genetik adalah sekuens DNA yang bervariasi dalam populasi. Dalam gen,
variasi sekuens semacam itu merupakan dasar dari alel-alel yang berbeda. Seperti
sekuens pengode, sekuens bukan pengode di sebuah lokus spesifik pada kromosom
mungkin menunjukkan sedikit perbedaan nukleotida pada individu-individu yang
berbeda. Variasi sekuens DNA disebut polimorfisme ( polymorphism, dari bahasa
Yunani, berarti banyak bentuk).
Salah satu penanda genetik yang paling bermanfaat adalah variasi pasangan asambasa tunggal dalam genom populasi manusia. Situs pasangan basa tunggal tempat
ditemukan variasi pada setidaknya 1% populasi disebut polimorfisme nukleotida tunggal
( single nucleotide polymorphism, SNP). SNP rata-rata terjadi sekali setiap 100 sampai
300 pasangan basa dalam genom manusia, dan ditemukan pada sekuens DNA pengode
maupun bukan pengode.
Sejumlah SNP mengubah sekuens yang dikenali oleh enzim retriksi, seperti yang
terjadi pada perbedaan nukleotida tunggal antara alel beta-globin normal dan sel sabit.
Perubahan ini mengubah panjang fragmen restriksi yang di bentuk oleh pencernaan
dengan enzim tersebut. Perubahan sekuens tipe ini, yang dapat terjadi di wilayah
pengode maupun bukan pengode, disebut polimorfisme panjang fragmen restriksi
(restriction frgamen lenght polymorphism, RFLP). Para ilmuwan menemukan cara
menggunakan Southern blotting untuk mendeteksi RFLP hampir 30 tahun lalu, dan
menyadari bahwa RFLP dapat berperan sebagai penanda genetik yang bermanfaat.
Tidak perlu menyekuensing DNA dari banyak individu untuk menemukan SNP. Kini
SNP dapat dideteksi dengan PCR.

67

VII.

Kesimpulan
Tn. Aam Syaroni, 42 tahun seorang WNI asli sunda mengalami karsinoma nasofaring
karena kebiasaan mengkonsumsi produk awetan dan terinfeksi EBV.

68

DAFTAR PUSTAKA
Alberts , Johnson, Lewis ,Raff , Roberts , Walter, Molecular Biology of the Cell Fifth Edition,
Garland Science, 2008
Budiani,

Dyah

Ratna.

Petunjuk Praktikum

ELISA.

Surakarta:

Laboratorium

Biomedik

FakultasKedokteran Universitas Sebelas Maret, 2012.


Campbell, Neil A, dkk. 2010. Biologi Edisi 8 Jilid 1. Jakarta : Erlangga.
Campbell, D.A.; Valdes, A.M. and Spurr, N. (2000). Making Drug Discovery a SN(i)P. Drug
Discov. Today 5, 388-396.
Corwin, Elizabeth J. 2001 . Buku Saku Patofisiologi.EGC.Jakarta
Hariwiyanto B, Peran protein EBNA1, EBNA2, LMP1 dan LMP2 Virus Ebtein Barr sebagai factor
prognosis pada pengobatan Karsinoma Nasofaring, Program Doktor Ilmu Kedokteran dan
Kesahatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, 2009.
Lequin,

RM

(2005).

"Enzyme

Immunoassay

(EIA)/Enzyme-Linked

Immunosorbent

Assay(ELISA)".Clinical Chemistry 51(12): 24152418.


Maryani, dkk. 2011.Buku Praktikum Serologi. Surakarta: Laboratorium Mikrobiologi Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret.
Pelczar and Chan. 1988.Dasar-Dasar Mikrobiologi 2. Jakarta: UI Press.
Pringgoutomo S. HimawanS. Tjarta. 2006. Buku ajar Patologi I (umum). Ed 1. Jakarta: Sagung
Seto.
Rusdiana .2010. Hubungan anti bodi anti Epstein - Barr - Virus (EBNA-1) Dengan Karsinoma
Nasofaring Pada Pasien Etnis Batak Di Medan
Tambayong,Jan.2000 .Patofisiologi.EGC.Jakarta
Walker, JM (1994).Basic Protein and Peptide Protocols, Volume 32. New Jersey: Humana Press
Inc..
Victor P. Eroschenko, Atlas Histologi Difiore. Penerbit EGC. Jakarta Edisis 11, 2010.
http://www.proteinatlas.org/dictionary/normal/nasopharynx/detail+1/magnification+1 diunduh 26
Mei 2014.
http://bioweb.uwlax.edu/bio203/s2009/weisser_mich/structure.html diunduh pada tanggal 26 Mei
2014.
http://www.dharmais.co.id/index.php/kanker-nasofaring.html diunduh pada tanggal 26 Mei 2014
http://www.parkwaycancercentre.com/id/informasi-kanker/jenis-kanker/apa-itu-kanker-nasofaring/
diunduh pada tanggal 25 Mei 2014.
Febrianto,Paulus.2011.Karsinoma Nasofaring http://mikrobia.files.wordpress.com/2008/05/paulusfebrianto-silor-078114130.pdf diunduh pada tanggal 26 Mei 2014.

69

70

71

72

Anda mungkin juga menyukai