SKENARIO A BLOK 9
(04011281320050)
(04011281320052)
3. Frischa Trirosalia
(04011381320006)
4. Khairinnisa
(04011381320012)
(04011381320024)
6. Esti yolanda
(04011381320034)
7. Monica Trifitriana
(04011381320042)
(04011381320062)
9. Klara Sinta
(04011181320002)
(04011181320060)
(04011181320082)
(04011181320084)
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2014
Klarifikasi Istilah
No.
1.
Terasi
2.
Ikan Asin
3.
Produk Awetan
4.
Benjolan
5.
Tumor
6.
7.
II.
Istilah
Pemeriksaan
Patologi
Anatomi
Pemeriksaan
serologi
8.
PCR RFLP
9.
Karsinoma
nasofaring
10.
Titer antibody
11.
EBV
12
Polimorfisme
Definisi
Bumbu penyedap masakan yang dibuat dari ikan yang kecil-kecil dan
udang yang dilunakkan halus-halus
Ikan yang diberi garam dan dikeringkan untuk bahan lauk
Identifikasi Masalah
1. Tn. Aam Syaroni, 42 tahun seorang WNI asli sunda, mempunyai kebiasaan
mengkonsumsi terasi, ikan asnin dan produk awetan lainnya.
2. Dia datang ke Rumah Sakit dengan keluhan benjolan di leher sebelah kiri sejak 6
bulan yang lalu. (*****)
Analisis Masalah
1.
Tn. Aam Syaroni, 42 tahun seorang WNI asli sunda, mempunyai kebiasaan
mengkonsumsi terasi, ikan asnin dan produk awetan lainnya.
a. Apa kandungan terasi, ikan asin dan produk awetan lainnya?
Kandungan gizi yang terdapat pada terasi, ikan bakar, ikan asin di
satu sisi baik karena mengandung protein, lemak, vitamin & mineral, serta
garam namun disisi lain makanan itu semua beserta produk-produk awetan
lainnya banyak mengandung nitrosamine yaitu senyawa yang berbahaya
yang bersifat karsinogenik.
Terasi
Terasi udang terkandung yodium dalam jumlah tinggi yang berasal
dari bahan bakunya. Proses fermentasi juga menghasilkan amonia, yang
mengakibatkan terasi mentah mempunyai aroma yang kurang sedap. Asam
amino esensial tertinggi pada terasi adalah leusin, sedangkan yang
nonesensial adalah asam amino glutamat. Tingginya kadar asam glutamat
yang membuat terasi enak digunakan sebagai komponen bumbuProses
fermentasi ikan untuk terasi dapat menghasilkan aroma yang khas.
Komponen aroma tersebut adalah senyawa yang mudah menguap, yang
terdiri dari 16 macam senyawa hidrokarbon, 7 macam alkohol, 46 macam
karbonil, 7 macam lemak, 34 macam senyawa nitrogen, 15 macam senyawa
belerang, serta 10 macam senyawa lainnya. Namun, Menurut hasil survei
Badan POM tahun 2006 terhadap berbagai sampel makanan, ditemukan
terasi yang mengandung Rhodamin B di pasaran.Rhodamin B adalah suatu
zat beracun dan karsinogenik.
Ikan asin
Didalam ikan asin juga terdapat beberapa kandungan gizi. Berikut isi
kandungan gizi yang terdapat pada ikan asin menurut Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia serta sumber lainnya: Ikan Asin Kering
mengandung energi sebesar 193 kilokalori, protein 42 gram, karbohidrat 0
gram, lemak 1,5 gram, kalsium 200 miligram, fosfor 300 miligram, dan zat
besi 3 miligram. Namun, pada proses pengasinan atau pengeringan ikan
dengan sinar matahari terjadi reduksi biokimiawi berupa nitrosasi. Zat nitrat
dan nitrit yang dihasilkan akan bereaksi dengan ekstrak ikan asin menjadi
nitrosamin. Nitrosamin inilah yang bersifat pro karsinogenik. Nitrosamin
akan menjadi promotor aktivasi Virus Epstein-Barr (EBV).
Produk Awetan
Makanan produk awetan menggunakan pengawet alami maupun
sintetis.Pada pengawet sintetis banyak digunakan bahan-bahan kimia dalam
pembuatannya.Beberapa kandungan bahan kimia yang biasa digunakan
dalam produk awetan:
a. Asam propionat (natrium propionat atau kalsium propionat)
Sering digunakan untuk mencegah tumbuhnya jamur atau kapang. Untuk
bahan tepung terigu.
b. Asam Sitrat (citric acid) dipakai untuk meningkatkan rasa asam (mengatur
tingkat keasaman) pada berbagai pengolahan minum, produk air susu,
selai, jeli, dan lain-lain.
c. Benzoat
(acidum
benzoicum
atau
flores
benzoes
atau
benzoic
kanker).Nitrosamin
ini
merupakan
pencetus
utama
kanker
berbahaya itu bisa dikenali melalui tampilan fisiknya yang berwarna merah
mencolok dan berpendar.
Di dalam Rhodamin B sendiri terdapat ikatan dengan klorin ( Cl )
yang dimana senyawa klorin ini merupakan senyawa anorganik yang reaktif
dan juga berbahaya. Rekasi untuk mengikat ion klorin disebut sebagai
sintesis zat warna.Disini dapat digunakan Reaksi Frield- Crafts untuk
mensintesis zat warna seperti triarilmetana dan xentana.Rekasi antara ftalat
anhidrida dengan resorsinol dengan keberadaan seng klorida menghasilkan
fluoresein. Apabila resorsinol diganti dengan N-N-dietilaminofenol, reaksi
ini akan menghasilkan rhodamin B.
Selain terdapat ikatan Rhodamin B dengan Klorin terdapat juga
ikatan
konjugasi.Ikatan
konjugasi
dari
Rhodamin
inilah
yang
contohnya
berdiferensiasi
minimal
berdiferensiasi
ke
jenis
seminoma
contohnya
jaringan
atau
digerminoma.
karsinoma
termasuk
embrional.
trofoblas
Yang
Yang
misalnya
10
misalnya
retinoblastoma,
hepatoblastoma,
embryonal
rhabdomyosarcoma.
3. Sel bediferensiasi
Jenis sel dewasa yang berdiferensiasi, terdapat dalam bentuk sel alat-lat
tubuh pada kehidupan postnatal. Kebanyakan tumor pada manusia
terbentuk dari sel berdiferensiasi.
b. Bagaimanan patofisiologi tumor?
Tumor biasanya disebabkan adanya mutasi DNA didalam sel,
akumulasi dari mutasi-mutasi ini menyebabkan timbulnya tumor, tumor ini
bisa di pacu oleh paparan bahan kimia ,racun alkohol , genetik ataupun
radiasi.
Inisiasi tumor bermula saat karsinogenesis kimiawi yang terjadi pada
sel menyebabkan kerusakan genetik yang tidak dapat dipulihkan. Kerusakan
genetik tersebut disebabkan kesalahan genetik yang diinduksi oleh
karsinogen kimiawi dengan mengubah struktur molekul pada DNA yang
berakibat pada mutasi dalam sintesis DNA. Perubahan struktur molekul
DNA, terjadi setelah terjadi adduct atau ligasi antara karsinogen atau salah
satu gugus fungsionalnya dengan salah satu nukleotida di dalam DNA. Hal
ini menjelaskan mengapa tumor sangat jarang ditemukan pada jaringan tubuh
yang tidak dapat membentuk ligasi karsinogen-DNA.
Ligasi ini akan mengaktivasi proto onkogen atau meng-inaktivasi gen
penghambat tumor. Metilasi DNA pada area promoter dalam berkas gen,
dapat mentranskripsikan inaktivasi gen penghambat tumor.
Akumulasi mutasi kemudian terjadi, jika sel mempunyai kemampuan
proliferasi dan hidup cukup lama di dalam organisme. Karena akumulasi
mutasi berbanding lurus dengan laju proliferasi, atau setidaknya pada laju
pergantian sel punca, ekspansi klonal dari sel terinisiasi, akan menghasilkan
populasi sel, sebelum mengalami perubahan genetik lebih jauh. Pada tahap
ini, sebuah zat yang disebut promoter tumor bekerja.
Promoter tumor, pada umumnya tidak bersifat mutagenik, tidak
bersifat
karsinogenik,
dan
sering
memiliki
kemampuan
untuk
11
Istilah
keganasan
mengacu
pada
kemampuan
tumor
12
pemeriksaan
histopatologi non
keratinizing
squamous
cell
carcinomamemperlihatkan gambaran stratified dan membentuk pulaupulau. Sel-sel menunjukkan batas antar sel yang jelas dan terkadang
dijumpai intercellular
bridgeyang
samar-samar.
Dibandingkan
carcinoma berupa
kelompokan
sel-sel
berukuran besar yang tidak berdiferensiasi, batas sel tidak jelas, inti bulat
sampai oval, vesikular inti, membesar dan khromatin pucat, terdapat
anak inti yang besar, sitoplasma sedang, dijumpai latar belakang sel-sel
radang limfosit diantara sel-sel epitel. Sel-sel tumor sering tampak
terlihat tumpang tindih. Beberapa sel tumor dapat berbentuk spindel.
Dijumpai infiltrat sel radang dalam jumlah banyak, khususnya limfosit
13
14
f. Apakah ada hubungan anatara makan terasi, ikan asin, dan produk awetan
lainnya terhadap tumor?
Ada. Terasi, ikan asin dan produk awetan lain mengandung senyawa
nitrosamin yang merupakan zat karsinogenik dan pencetus aktifnya EpsteinBarr virus.
3. Untuk meneggakkan diagnosis dokter melakukan pemeriksaan patologi anatomi
(PA).
a. Apa ciri-ciri penderita karsinoma nasofaring?
1. Air liur yang mengandung darah.
2. Terjadinya pembengkakan kelenjar getah bening yang mengakibatkan
timbulnya benjolan di leher.
3. Mengalami hidung tersumbat.
4. Keluarnya darah dari lubang hidung.
5. Terjadinya gangguan pendengaran.
6. Sering mengalami sakit kepala.
7. Suara serak
8. Kerap terkena infeksi pada telinga.
b. Apa ciri-ciri makroskopis dan mikroskopis karsinoma nasofaring?
1. Makroskopis
Tumor dapat berupa massa yang menonjol pada mukosa dan memiliki
permukaan halus, bernodul dengan atau tanpa ulserasi pada permukaan
atau massa yang menggantung dan infiltratif. Namun terkadang tidak
dijumpai lesi pada nasofaring
2. Mikrokopis
Secara mikroskopis karsinoma nasofaring dapat dibedakan menjadi 3
bentuk yaitu:
1. Bentuk ulseratif Bentuk ini paling sering terdapat pada dinding
posterior dan di daerah sekitar fosarosenmulleri. Juga dapat ditemukan
pada dinding lateral didepan tuba eustachius dan pada bagian atap
nasofaring. Lesi ini biasanya lebih kecil disertai dengan jaringan
yangnekrotik dan sangat mudah mengadakan infiltrasi ke jaringan
sekitarnya. Gambaranhistopatologik bentuk ini adalah karsinoma sel
skuamosa deengan diferensiasi baik.
2. Bentuk noduler/lubuler/proliferative
15
Bentuk noduler atau lobuler sangat sering dijumpai pada daerah sekitar
muara tubaeustachius.Tumor jenis ini berbentuk seperti buah
angguratau polipoid jarang, dijumpaiadanya ulserasi, namun kadangkadang dijumpai ulserasi kecil. Gambaran histopatologik bentuk ini
biasanya karsinoma tanpa diferensiasi.
3. Bentuk eksofitik
Bentuk eksofitik biasanya tumbuh pada satu sisi nasofaring, tidak
dijumpai adanyaulserasi, kadang-kadang bertangkai dan prmukaannya
licin.Tumor jenis ini biasanyatumbuh dari atap nasofaring dan dapat
mengisi seluruh rongga nasofaring.Tumor ninidapat mendorong
palatum mole ke bawah dan tumbuh kearah koana dan masuk ke
dalamrongga hidung. Gambaran histopatologik berupa limfasarkoma
c. Apa saja faktor yang mempengaruhi munculnya karsinoma nasofaring?
Penyebap pasti karsinoma faring tidak di ketahui namun ada beberapa
faktor yang diduga dapat memicu terjadinya kanker faring yaitu :
1. Kerentanan Genetik
Walaupun karsinoma faring tidak termasuk tumor genetic, tetapi
kerntanan terhadap karsinoma faring pada kelompok masyrakat tertentu
relative menonjol dan memiliki agregasi familial. Analisis korelasi
menunjukkan gen HLA (human leukocyte antigen) dan gen pengode
enzim sitokrom p4502E (CYP2E1) kemungkinan adalah gen kerentanan
terhadap karsinoma faring, mereka berkaitan dengan sebagian besar
karsinoma faring. Bisa juga karena pola pemotongan DNA yang berbeda
(polimorfisme).
2. Virus Eipstein-Barr
Banyak perhatian ditujukan kepada hubungan langsung antara karsinoma
faring dengan ambang titer antibody virus Epstein-Barr (EBV). Serum
pasien-pasien
orang
asia
dan
afrika
dengan
karsinoma
faring
16
tetapi biasanya tidak dengan tumor sel skuamosa atau elemen limfoid
dalam limfoepitelioma.
3. Faktor Lingkungan
Menurut laporan luar negeri, orang cina generasi pertama (Umumnya
penduduk kanton ) yang bermigrasi ke Amerika Serikat, Kanada
memiliki angka kematian akibat karsinoma faring 30 kali lebih tinggi dari
penduduk kulit putih setempat, sedangkan pada generasi kedua turun
menjadi 15 kali, generasi ketiga belum ada angka pasti, tetapi secara
keseluruhan cenderung menurun. Dalam pada itu, orang kulit putih yang
lahir d Asia Tenggara, angka kejadian faring meningkat. Sebabnya selain
pada sebagian orang terjadi perubahan pada hubungan darah, jelas factor
lingungan juga berperan penting. Penelitian akhir-akhir ini menemukan
zat-zat berikut berkaitan dengan timbulnya karsinoma faring: Golongan
Nitrosamin,diantaranya
dimetilnitrosamin
dan
dietilnitrosamin.
virus
di
dalam
sel
host.
Secara
formal,
tahap
infeksi/peradangan ini tidak tak terelakkan dari terjadinya lisis dari sel tuan
rumah (host) ketika virion-virion EBV dihasilkan oleh pertunasan dari siklus
sel. Siklus tersembunyi yang terinfeksi (lysogenic) dimana program-program
mereka tidak mengakibatkan produksi virion-virion. Protein laten ini dapat
dipakai sebagai pertanda (marker) dalam mendiagnosa KNF, yaitu EBNA-1
dan LMP-1, LMP-2A dan LMP -2B. Dari semua antigen yang diekspresikan
oleh EBV dan KNF, latent membrane protein-1 ( LMP-1) merupakan faktor
penting yang berkontribusi dalam pathogenesis KNF sebab LMP-1 ini
menginduksi
pertumbuhan
selular
dan
mempengaruhi
mekanisme
17
18
Pada
bagian
lateral,
berbatasan
dengan
muara
tuba
19
20
Cara mengujinya:
Sampel darah diambil sebanyak 6 ml, diambil 0,5 ml darah + 4,0 ml
N lysis buffer dicampur segera dan disimpan pada suhu -80C. Sisa darah
diisolasi serumnya kemudian disimpan pada suhu -20C.Serum dianalisis
menggunakan peptida sintetik imunodominan epitop protein VCA-p18 dan
EBNA1. Piring ELISA yang dilapisi dengan peptida kombinasi (1 ug/ml
EBNA1 plus 0,5 ug/ml VCA-p18) dalam 0,05 M Na2CO3, pH 9,6
diinkubasikan dua jam pada 4C. Setelah itu buang cairan, berikan 3% BSA
(dalam 1x PBS) 200 ul /wadah pada lapisan, lalu diinkubasikan satu jam
pada 37C, kemudian dicuci tiga kali dengan PBS Tween 0,05%.
Berikutnya ambil 100 ul sampel (1:100), serum dimasukkan dan
diinkubasikan satu jam pada 37C, tutup piring/wadah, buang cairan, setelah
pencucian keempat dengan PBS-Tween 0,05%, buang cairan pencuci.
Berikan konjugate (mouse anti-human IgA-HRP dilarutkan dalam cairan
sampel (1;4000), tutup piring inkubasikan satu jam pada 37C. Buang cairan,
cuci dengan PBS Tween 0,05% (4x), buang cairan pencuci. Campurkan
larutan TMB A (merah) dan B (biru) (1:1), berikan warna dengan TMB
(100ul/wadah), inkubasikan dalam ruang gelap 30 menit. Berikan 0,5 M
H2SO4 100 ul/wadah, hindari terjadi gelembung. Baca OD 450 nm dengan
menggunakan pembaca ELISA.
b. Mengapa bisa terjadi peningkatan titer antibody?
Pada pemeriksaan IgA-VCA dan IgA-EA dengan menggunakan
prinsip antigen-antibodi invitro melalui metode ELISA, dapat dilihat pada
seseorang yang memiliki virus EBV akan ditandai pula dengan
meningkatnya kadar IgA. Hal ini disebabkan fungsi utama dari IgA, yaitu
untuk mencegah perlarutan virus dan bakteri ke permukaan epitel. Fungsi
IgA setelah bergabung dengan antigen pada mikroorganisme mungkin dalam
pencegahan melekatnya mikroorganisme pada sel mukosa.
Maka dari itu IgA yang merupakan sistem imum (antibody) dalam
tubuh kita akan meningkat yang merupakan upaya tubuh untuk melawan
virus. Oleh karena itu terjadi peningkatan IgA. Peningkatan titer antibodi
menunjukkan kalau antibodi dalam tubuh penderita sudah tinggi kadarnya
karna sudah ada infeksi virus EBV.
21
22
23
respon
Peningkatan
antibodi
imun,
inilah
terutama
yang
dalam
menghasilkan
menyebabkan
antibodi.
peningkatan
pada
pemeriksaan antibodi.
f. Bagaimana ciri-ciri EBV?
Berdasarkan struktur dan sifat imunologinya virus Epsteinbarr
digolongkan ke dalam famili human herpes virus, subfamili gamma
herpesvirus dan genus lymphokryptovirus. EBV dimasukkan dalam genus
tersebut karena mempunyai kemampuan untuk menginfeksi dan menetap di
sel limfosit hostnya serta menginduksi proliferasi sel yang terinfeksi secara
laten (Paul, 2001).
Struktur virus epsteinbarr adalah toroid, dengan panjang 184-kb,
nukleokapsid, protein tegument dan envelop di bagian luarnya. Protein
envelop yang paling banyak adalah bp 350/220. Genom EBV berupa DNA
berbentuk linear dan double stranded dan dapat mengkode kurang lebih 100
macam protein. Kapsid dibentuk dari kulit protein (C protein) yang
24
ikosahedral. Kapsid ini dikelilingi oleh lapisan lipid yang saling berdekatan
dan mengandung tiga protein (E1, E2 dan E3). Di dalam kapsid terdapat
nukleokapsid dengan 162 kapsomer, tiap-tiap kapsomer terdiri dari protein.
Tegumen terdapat di luar nukleokapsid merupakan lapisan amorpis dengan
struktur yang fibrous. Tegumen ini berada diantara nukleokapsid dan
envelope. Di luar permukaan envelope mengandung banyak spike yang
terdiri dari glikoprotein (Thomson et al, 2004).
g. Bagaimana proses masuk dan berkembangnya virus EBV
Virus Epstein-Barr bereplikasi dalam sel-sel epitel dan menjadi laten
dalam limfosit B. Infeksi virus epstein-barr terjadi pada dua tempat utama
yaitu sel epitel kelenjar saliva dan sel limfosit. EBV memulai infeksi pada
limfosit B dengan cara berikatan dengan reseptor virus, yaitu komponen
komplemen C3d (CD21 atau CR2). Glikoprotein (gp350/220) pada kapsul
EBV berikatan dengan protein CD21 dipermukaan limfosit B3. Aktivitas ini
merupakan rangkaian yang berantai dimulai dari masuknya EBV ke dalam
DNA limfosit B dan selanjutnya menyebabkan limfosit B menjadi immortal.
Sementara itu, sampai saat ini mekanisme masuknya EBV ke dalam sel epitel
nasofaring belum dapat dijelaskan dengan pasti. Namun demikian, ada dua
reseptor yang diduga berperan dalam masuknya EBV ke dalam sel epitel
nasofaring yaitu CR2 dan PIGR (Polimeric Immunogloblin Receptor). Sel
yang terinfeksi oleh virus epstein-barr dapat menimbulkan beberapa
kemungkinan yaitu : sel menjadi mati bila terinfeksi dengan virus epsteinbarr dan virus mengadakan replikasi, atau virus epstein- barr yang
meninfeksi sel dapat mengakibatkan kematian virus sehingga sel kembali
menjadi normal atau dapat terjadi transformasi sel yaitu interaksi antara sel
dan virus sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan sifat sel sehingga
terjadi transformsi sel menjadi ganas sehingga terbentuk sel kanker.
Gen EBV yang diekspresikan pada penderita KNF adalah gen laten,
yaitu EBERs, EBNA1, LMP1, LMP2A dan LMP2B. Protein EBNA1
berperan dalam mempertahankan virus pada infeksi laten. Protein
transmembran LMP2A dan LMP2B menghambat sinyal tyrosine kinase yang
dipercaya dapat menghambat siklus litik virus. Diantara gen-gen tersebut,
gen yang paling berperan dalam transformasi sel adalah gen LMP1. Struktur
protein LMP1 terdiri atas 368 asam amino yang terbagi menjadi 20 asam
amino pada ujung N, 6 segmen protein transmembran (166 asam amino) dan
25
200 asam amino pada ujung karboksi (C). Protein transmembran LMP1
menjadi perantara untuk sinyal TNF (tumor necrosis factor) dan
meningkatkan regulasi sitokin IL-10 yang memproliferasi sel B dan
menghambat respon imun lokal.
5. PCR RFLP dengan hasil menunjukkan adanya polimorfisme.\
a. Bagaimana prinsip kerja dari PCR RFLP?
Polymerase Chain Reaction (PCR) dan Restriction Fragment Length
Polymorphism
(RFLP)
Metode
RFLP
merupakan
metode
analisis
Deteksi
polimorfisme:
RFLP
(restriction
fragment
length
26
PCR
dua
langkah
(denaturasi
dan
kombinasi
annealing
ekstensi/amplifikasi).
-
PCR in situ
merupakan
suatu
konsep
yang
menunjukkan
bahwa
28
29
DNA
ketika
dipotong
dengan
enzim
restriksi
endonuklease. Pada kasus ini, dapat terjadi perubahan pada DNA di gen
proto-oncogene menjadi oncogene (yang mengaktivasi pembelahan sel)
maupun gen tumor supressor gen (yang menghambat pembelahan sel)
menjadi tidak aktif
30
IV.
Kerangka Konsep
Faktor genetik
polimorfisme
Faktor
lingkungan
Pemeriksaan
Suka makan terasi,
PCR RFLP
awetan
genetik
Mengandung
Mutasi pada
Infeksi EBV
serologi
nitrosamin
CYPE21
Pemeriksaan
Titer antibody
Metabolisme
nitrosamine
Penumpukan
Terdapatnya
Insersi DNA
LMP1
virus ke host
nitrosamin
P53
BCL2
Pemeriksaan
Karsinoma
PA
nasofaring
Apoptosis
Siklus sel
menurun
berjalan terus
Proliferase sel
abnormal
EGF
(onkogen)
faktor
angiogenesis
Metastasis
Tumor sekunder
(benjolan)
31
V.
What I Have To
Know
Kandungan,
akibatnya
Mekanisme
No.
Learning Issue
What I Know
1.
Produk awetan
Definisi
2.
Tumor
Definisi
3.
Definisi
Definisi
Etiologi, gejala
Patofisiologi
Definisi
Struktur yang
menyusun
Definisi
Jenis-jenis
Batas-batasnya,
struktur yang
melewatinya
Teknik
7.
8.
Pemeriksaan
PA
Karsinoma
nasofaring
Anatomi dan
histology
nasofaring
Pemeriksaan
serologi
Titer antibody
EBV
Etiologi,
Gejala
Jenis-jenis
Definisi
Definisi
Jenis-jenis
Struktur
9.
10.
PCR RFLP
Polimorfisme
Definisi
Definisi
Jenis-jenis
Etiologi
4.
5.
6.
Teknik
Sumber
Text book
Jurnal
Pakar
Internet
Teknik
Proses
masuknya
kedalam tubuh
Prinsip kerja
Akibatnya
32
VI.
Sintesis Masalah
1. Produk awetan
Pengertian Pengawetan Makanan
Pengawetan makanan adalah cara yang digunakan untuk membuat makanan
memiliki daya simpan yang lama dan mempertahankan sifat-sifat fisik dan kimia
makanan. Dalam melakukan pengawetan makanan perlu memperhatikan beberapa
hal, yaitu jenis bahan makanan yang diawetkan, keadaan bahan makanan, cara
pengawetan yang dipilih dan daya tarik produk pengawetan makanan.
Tujuan Pengawetan Makanan
Pengawetan makanan bertujuan untuk:
1. Memperpanjang umur simpan bahan makanan (lamanya suatu produk dapat
disimpan tanpa mengalami kerusakan);
2. Mempertahankan sifat fisik dan kimia bahan makanan;
3. Mencegah atau memperlambat laju proses dekomposisi (autolisis) bahan
makanan;
4. Mencegah pertumbuhan mikroba yang menggunakan pangan sebagai substrat
untuk memproduksi toksin didalam pangan;
5. Mencegah kerusakan yang disebabkan oleh faktor lingkungan termasuk serangan
hama;
6. Mencegah atau memperlambat kerusakan microbial.
Cara-Cara Pengawetan makanan
Pengawetan makanan dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:
1. Pengawetan makanan secara Biologi
a) Dengan Fermentasi
Pengawetan secara biologis, misalnya peragian (fermentasi) adalah proses
produksi energi dalam sel dalam keadaan anaerobik (tanpa oksigen). Secara
umum, fermentasi adalah salah satu bentuk respirasi anaerobik, akan tetapi,
terdapat definisi yang lebih jelas yang mendefinisikan fermentasi sebagai
respirasi dalam lingkungan anaerobik dengan tanpa akseptor elektron eksternal.
Gula adalah bahan yang umum dalam fermentasi. Beberapa contoh hasil
fermentasi adalah etanol, asam laktat, dan hidrogen. Akan tetapi beberapa
komponen lain dapat juga dihasilkan dari fermentasi seperti asam butirat dan
aseton. Ragi dikenal sebagai bahan yang umum digunakan dalam fermentasi
untuk menghasilkan etanol dalam bir, anggur dan minuman beralkohol lainnya.
Contoh makanan dengan pengawetan fermentasi adalah yoghurt, mengawetkan
33
34
Acar pada dasarnya terbuat dari sayur-sayuran yang di tambahkan asam cuka
untuk pengawetan. Mikroba yang dapat merusak makanan tidak dapat hidup
pada makanan. Karena adanya asam cuka menyebabkan konsentrasi menjadi
tinggi, terjadinya difusi osmosis sehingga mikroba akan mati.
3. Pengasinan
Cara ini dengan menggunakan bahan NaCl atau yang kita kenal sebagai
garam dapur untuk mengawetkan makanan. Teknik ini disebut juga dengan
sebutan penggaraman. Garam dapur memiliki sifat yang menghambat
perkembangan dan pertumbuhan mikroorganisme perusak atau pembusuk
makanan. Contohnya seperti ikan asin yang merupakan paduan antara
pengasinan dengan pengeringan
Penggaraman adalah suatu proses pengolahan yang dilakukan dengan cara
memberi garam dengan tujuan untuk menghambat pertumbuhan bakteri dan
enzim-enzim khususnya yang merusak daging dan ikan. Selain itu
penggaraman mengakibatkan cairan yang ada dalam tubuh ikan mengental
serta kadar proteinnya menggumpal dan daging ikan mengkerut.
Proses penggaraman biasanya diikuti oleh proses pengeringan untuk
menurunkan lebih lanjut kadar air yang ada dalam daging ikan, proses
penggaraman dipengaruhi oleh ukuran butiran garam (ukuran yang baik 1 5
mm), ukuran ikan (semakin besar ikan semakin banyak garam yang
dibutuhkan) dan kemurnian garam (garam yang baik adalah garam
murni/Nacl).
4. Pemanisan
Pemanisan makanan yaitu dengan menaruh atau meletakkan makanan pada
medium yang mengandung gula dengan kadar konsentrasi sebesar 40%
untuk menurunkan kadar mikroorganisme. Jika dicelup pada konsenstrasi
70% maka dapat mencegah kerusakan makanan.
Penambahan gula adalah suatu proses pengolahan yang dilakukan dengan
cara pemberian gula dengan tujuan untuk mengawetan karena air yang ada
akan mengental pada akhirnya akan menurunkan kadar air dari bahan
pangan tersebut. Konsentrasi gula yang ditambahkan minimal 40% padatan
terlarut sedangkan di bawah itu tidak cukup untuk mencegah kerusakan
karena bakteri, apabila produk tersebut disimpan dalam suhu kamar atau
normal (tidak dalam suhu rendah). Contoh makanan dengan pengawetan
pemanisan adalah manisan buah.
35
Manisan buah adalah buah-buahan yang direndam dalam larutan gula selama
beberapa waktu. Teknologi membuat manisan merupakan salah satu cara
pengawetan
makanan
yang
sudah
diterapkan
sejak
dahulu
kala.
36
bumbu
yang
bertujuan
untuk
mengawetkan,
atau
dikeringkan
mutu
warna
hijaunya
lebih
baik
37
2. Pasteurisasi
Pasteurisasi adalah proses pemanasan yang dilakukan dengan tujuan
untuk membunuh mikroba patogen atau penyebab penyakit seperti
bakteri penyebab penyakit TBC, disentri, diare dan penyakit perut lain.
Panas yang diberikan pada pasteurisasi harus cukup untuk membunuh
bakteri-bakteri patogen tersebut, misalnya pasteurisasi susu harus
dilakukan pada suhu 600C selama 30 menit. Pada suhu 600C selama 30
menit setara dengan pemanasan pada suhu 720C selama 15 detik.
Pasteurisasi yang terakhir ini sering disebut dengan proses HTST (High
Temperature Short Time) atau pasteurisasi dengan suhu tinggi dalam
waktu singkat. Disamping pada produk susu, pasteurisasi juga umumnya
dilakukan pada produk sari buah-buahan asam.
Satu hal yang penting adalah pasteurisasi hanya bakteri patogen saja yang
dibunuh, sedangkan bakteri lain yang lebih tahan panas bisa saja masih
terdapat hidup dalam bahan pangan yang dipasteurisasi. Dengan
demikian, meskipun bakteri ini tidak menimbulkan penyakit tetapi jika
tumbuh
di
dalam
produk
pangan
dapat
menyebabkan
38
mencegah
rekontaminasi,
dapat
menghambat/merusak
ikan
hasil
tangkapannya.
Di
rumah-rumah
biasanya
39
pangan
adalah
suatu
teknik
pengawetan
pangan
dengan
40
2. Tumor
Neoplasma atau tumor adalah massa jaringan yang abnormal, pertumbuhan yang
berlebihan dan tidak bersesuaian dengan jaringan normal serta tetap berlangsung lama
bahkan setelah stimulus yang memicu perubahan berhenti diberikan. Tumor yang
berlangsung terus-menerus walau stimulus sudah hilang adalah akibat dari perubahan
herediter genetik yang diturunkan ke progeni dari sel tumor. Perubahan genetik ini
menyebabkan proliferasi berlebihan dan tidak teratur yang bersifat autonom (tidak
terikat pada stimuli pertumbuhan fisiologis), walaupun tumor biasanya tetap
bergantung pada host untuk nutrisi dan kebutuhan darah. Neoplasma bisa bersifat
benign (jinak) atau malignant (ganas).
Benign Tumors (Tumor Jinak)
Tumor jinak tidak menginfiltrasi jaringan sebelahnya dan tidak melakukan
metastasis tetapi bisa tumbuh menjadi besar (ekspansif). Tumor jinak juga tidak akan
kembali setelah pengangkatan bedah. Selama tumor pada epithelial tidak menembus
basal lamina, masih disebut sebagai tumor jinak. Tumor adalah massa dari jaringan
yang tidak mempunyai tujuan yang berguna dan biasanya ada sebagai kelebihan dari
jaringan sehat. Tumor jinak tumbuh lebih lambat daripada tumor ganas dan kurang
menyebabkan masalah kesehatan. Namun, tidak bisa dilupakan begtu saja, seperti
contoh colon polyps adalah tumor jinak dan sebagian besar kanker kolon berkembang
dari polip. Selain itu, contoh lainnya jika tumor jinak dalam ukuran yang besar, akan
menekan pembuluh darah, saraf, organ atau kelenjar endokrin di dekatnya sehingga
menimbulkan masalah seperti dalam kasus tumor jinak pada otak dan penekanan pada
kelenjar endokrin bisa membuat produksi hormon yang berlebihan (thyroid adenomas,
adrenocortical adenomas, dan pituitary adenomas).
Malignant Tumors (Tumor Ganas)
41
Tumor ganas disebut juga kanker. Kanker mempunyai beberapa sifat yaitu
pertumbuhannya agresif, tidak terbatas, lalu menginfiltrasi jaringan di sekelilingnya
serta bermetastasis (menyebar ke bagian tubuh lain). Tidak semua kanker membentuk
tumor, contohnya leukemia.
Kanker bisa dikategorikan menjadi beberapa kategori, antara lain:
1. Karsinoma - kanker yang berasal dari jaringan epithelial pada semua tiga lapisan
germinal (kulit atau pada jaringan yang membatasi atau menutupi organ dalam)
2. Sarkoma - kanker yang berasal dari jaringan mesenkimal (tulang, kartilago, lemak,
otot, pembuluh darah atau jaringan ikat).
3. Leukimia - kanker yang berasal dari jaringan penghasil darah seperti sumsum
tulang belakang dan menyebabkan produksi sel darah yang abnormal dan masuk
ke aliran darah menuju seluruh tubuh.
4. Limfoma dan myeloma - kanker yang berasal dari sel pada sistem imun yaitu
limfosit. Biasanya di nodus limfe mengalami pembesaran.
5. Kanker sistem saraf pusat - kanker yang berasal dari jaringan pada otak dan tulang
belakang.
Tahap terjadinya kanker
1. Induksi : ada perubahan sel (displasia)
2. Kanker in situ : pertumbuhan kanker terbatas pada jaringan tempat asalnya tumbuh
3. Kanker invasif : sel kanker telah menembus membran basal dan masuk ke jaringan
atau organ sekitar yang berdekatan
4. Metastasis : Penyebaran kanker ke kelenjar getah bening dan atau organ lain yang
letaknya jauh (misal kanker usus besar menyebar ke hati). Penyebaran ini dapat
melalui aliran darah, aliran getah bening, atau langsung dari tumor
Progresi Tumor
Dari waktu ke waktu, banyak tumor menjadi lebih agresif dan mendapatkan potensi
untuk menjadi ganas. Misalnya , ada evolusi yang bertahap dari preneoplastic lesion ke
tumor jinak, dan akhirnya menjadi kanker invasive. Fenomena ini disebut progresi
tumor. Angiogenesis dan perubahan pada stroma tumor juga merupakan komponen
progresi tumor. Dari penelitian klinis dan eksperimental ditunjukkan bahwa
menigkatnya keganasan biasanya didapatkan secara bertahap. Pada tingkat molecular,
progresi tumor dan heterogeneity kemungkinan besar adalah hasil dari mutasi multipel
yang berakumulasi secara independent pada sel yang berbeda-beda, dengan karakteristi
yang juga berbeda-beda. Bagaimanapun juga, progresi tumor tetap dipengaruhi oleh
perubahan pada stroma tumor dan angiogenesis, yang bisa memodulasi proliferasi sel,
42
invasiveness, dan potensi metastatik. Apa yang menyebabkan sel yang bertransformasi
mendapat kerusakan genetik lebih lanjut belum jelas sepenuhnya. Sel yang mengalami
tranformasi relatif tidak stabil secara genetik. Ketidakstabilan ini mungkin berakibat
dari, contohnya, hilangnya p53 atau dari mutasi acquired pada gen yang meregulasi
perbaikan DNA
Penyebab tumor
Faktor utama penyebab tumor yaitu mutasi DNA di dalam sel yang terakumulasi.
Sebenarnya sel tubuh manusia memiliki mekanisme perbaikan DNA (DNA Repair) dan
mekanisme lainnya yang menyebabkan sel merusak dirinya dengan apoptosis (proses
aktif kematian sel yang ditandai dengan pembelahan DNA kromosom, kondensasi
kromatin, serta pregmentasi nucleus) jika kerusakan DNA terlalu berat. Berikut
beberapa hal yang dapat menjadi pemicu terjadinya tumor.
1.
2.
3.
Masalah genetic
4.
5.
Obesitas
6.
7.
Radiasi
Gejala tumor
Gejala pada jenis tumor jinak
Gejala tergantung pada jenis dan lokasi dari tumor. Misalnya, tumor paru-paru
dapat menyebabkan batuk, sesak napas, atau nyeri dada, sedangkan tumor usus besar
dapat menyebabkan penurunan berat badan, diare dan sembelit. Tumor payudara dapat
menyebabkan rasa nyeri dan ngilu pada payudara. Tanda lainnya adalah adanya
benjolan dan sakit pada bagian yang ditekan. Ketika suatu bagian tubuh yang diduga
terserang kanker ditekan dan menimbulkan sakit, hal ini perlu juga dicurigai.
Gejala pada jenis tumor ganas
1.
2.
Luka yang susah sembuh bahkan terjadi koreng / borok pada bagian tubuh yang
terkena tumor
3.
4.
Terdapat benjolan
5.
Bila menyerang paru-paru suara serak dan batuk yang tidak sembuh-sembuh
6.
43
3. Pemeriksaan PA
Pemeriksaan Patologi Anatomi adalah menentukan diagnosis penyakit berdasarkan
pada pemeriksaan gross (makroskopik), mikroskopik, dan molekuler atas organ, jaringan,
dan sel.
1. Macam-macam pemeriksaan Patologi Anatomi
Histopatologi
Pemeriksaan mikroskopik pada salah satu bagian jaringan yang dicat menggunakan
teknik histologis.
Imunohistokimia
Menggunakan antibodi untuk mendeteksi keberadaan dan lokalisasi protein spesifik.
Teknik ini penting untuk membedakan antara gangguan dengan morfologi yang mirip
dan juga mencirikan sifat-sifat molekuler kanker tertentu.
Hibridisasi in situ
Molekul DNA dan RNA spesifik dapat dikenali pada bagian yang menggunakan
teknik ini. Bila probe dilabeli dengan celupan berpendar, teknik ini disebut FISH.
Sitopatologi
Pemeriksaan sel-sel lepas yang dicat pada kaca menggunakan teknik sitologi.
Mikroskopi elektron
Pemeriksaan jaringan dengan mikroskop elektron, yang memungkinkan pembesaran
yang jauh lebih besar, memungkinkan visualisasi organel dalam sel.
2. Berbagai teknik pemeriksaan patologi
Mikroskop cahaya
Jaringan dipotong tipis untuk memungkinkan transmisi cahaya. jaringan diproses
berdasarkan prosedur baku prosesing preparat histopatologi demikian juga sitologi.
Histokimia
Jaringan diperiksa secara mikroskopik setelah mendapat reagen khusus, gambaran
Khusus sel individual dapat diperlihatkan.
Immunohistokimia dan immunofluoresens
Menggunakan
antibodi
(immunoglobulin
dengan
antigen
spesifik)
untuk
menggunakan
antibodi
dengan
pewarnaan
fluoresens.
44
4. Karsinoma nasofaring
Karsinoma nasofaring berkembang di nasofaring, suatu area di belakang hidung
menuju batang tenggorok. Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala
dan leher yang banyak di Indonesia ( American Cancer Society, 2011 dan Roezin, 2010).
Karsinoma relatif ditemukan di berbagai Asia Tenggara dan China. Karsinoma dapat
terjadi pada segala usia, tapi umumnya menyerang usia 30-60 tahun, hingga 75-90%.
Proporsi laki-laki dan perempuan adalah 2-2,8-1 (Desen, 2008).
Latar belakang etnis dan paparan kepada EBV bisa mempengaruhi faktor resiko
berkembangnya karsinoma nasofaring. Faktor resiko yang termasuk kedalam halayak
yang berisiko ini adalah : Orang Cina dan keturunan Asia, Paparan EBV terlah berkaitan
dengan karsinomatertentu, termasuk karsinoma nasofaring. ( National Cancer Institute,
2011).
Hampir semua sel karsinoma nasofaring mengandung virus EBV, dan kebanyakan
orang dengan karsinoma nasofaring memiliki bukti infeksi oleh virus ini di dalam darah.
Infeksi EBV sendiri belum cukup untuk menyebabkan karsinoma nasofaring, faktor-faktor
45
ini
menginduksi
pertumbuhan
selular
dan
mempengaruhi
mekanisme
46
Patogenesis
1. Virus Epstein-Barr
Virus Epstein-Barr bereplikasi dalam sel-sel epitel dan menjadi laten dalam limfosit B.
Infeksi virus epstein-barr terjadi pada dua tempat utama yaitu sel epitel kelenjar saliva
dan sel limfosit. EBV memulai infeksi pada limfosit B dengan cara berikatan dengan
reseptor virus,yaitu komponen komplemen C3d (CD21 atau CR2). Glikoprotein
(gp350/220) pada kapsul EBV berikatan dengan protein CD21 dipermukaan limfosit
B3. Aktivitas ini merupakan rangkaian yang berantai dimulai dari masuknya EBV ke
dalam DNA limfosit B dan selanjutnya menyebabkan limfosit B menjadi immortal.
Sementara itu, sampai saat ini mekanisme masuknya EBV ke dalam sel epitel
nasofaring belum dapat dijelaskan dengan pasti. Namun demikian, ada dua reseptor
yang diduga berperan dalam masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring yaitu CR2
dan PIGR ( Polimeric Immunogloblin Receptor ). Sel yang terinfeksi oleh virus
epstein-barr dapat menimbulkan beberapa kemungkinan yaitu : sel menjadi mati bila
terinfeksi dengan virus epstein-barr dan virus mengadakan replikasi, atau virus
epstein- barr yang meninfeksi sel dapat mengakibatkan kematian virus sehingga sel
kembali menjadi normal atau dapat terjadi transformasi sel yaitu interaksi antara sel
dan virus sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan sifat sel sehingga terjadi
transformsi sel menjadi ganas sehingga terbentuk sel kanker. Gen EBV yang
diekspresikan pada penderita KNF adalah gen laten, yaitu EBERs EBNA1,LMP1,
LMP2A dan LMP2B. Protein EBNA1 berperan dalam mempertahankan virus
padainfeksi laten. Protein transmembran LMP2A dan LMP2B menghambat sinyal
tyrosine kinase yang dipercaya dapat menghambat siklus litik virus. Diantara gen-gen
tersebut, gen yang paling berperan dalam transformasi sel adalah gen LMP1. Struktur
protein LMP1 terdiri atas 368 asam amino yang terbagi menjadi 20 asam amino pada
ujung N, 6 segmen protein transmembran (166 asam amino) dan 200 asam amino pada
ujung karboksi (C). Protein transmembran LMP1 menjadi perantara untuk sinyal TNF
(tumor necrosis factor ) dan meningkatkan regulasi sitokin IL-10 yang memproliferasi
sel B dan menghambat respon imunlokal.
2. Genetik
Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetic, tetapi kerentana
terhadap karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relative menonjol
dan memiliki agregasi familial. Analisis korelasi menunjukkan gen HLA (human
leukocyte antigen) dan gen pengode enzim sitokrom p450 2E1 (CYP2E1)
kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap karsinoma nasofaring. Sitokrom p450
47
2E1 bertanggung jawab atas aktivasi metabolik yang terkait nitrosamine dan
karsinogen
3. Faktor lingkungan
Sejumlah besar studi kasus yang dilakukan pada populasi yang berada di berbagai
daerah diasia dan america utara, telah dikonfirmasikan bahwa ikan asin dan makanan
lain yang awetkanmengandung sejumlah besar nitrosodimethyamine (NDMA), Nnitrospurrolidene (NPYR) dannitrospiperidine (NPIP ) yang mungkin merupakan
faktor karsinogenik karsinoma nasofaring.Selain itu merokok dan perokok pasif yg
terkena paparan asap rokok yang mengandung formaldehide dan yang tepapar debu
kayu diakui faktor risiko karsinoma nasofaring dengancara mengaktifkan kembali
infeksi dari EBV. Beberapa faktor risiko karsinoma nasofaring antara lain virus
Epstein Barr, ikan asin, kurang konsumsi buah dan sayuran segar, tembakau, asap lain,
alkohol, obat herbal, paparan pekerjaan, paparan lain, familial clustering, Human
Leukocyte Antigen Genes, dan variasi genetik lain.
48
6. Pemeriksaan serologi
Serologi merupakan cabang imunologi yang mempelajari reaksi antigen-antibodi secara
invitro.Pemeriksaan serologis adalah pengujian yang menggunakan serum sebagai
sampel.Prinsip utama uji serologis adalah mereaksikan antibodi dengan antigen yang
sesuai.Antibodi adalah zat kekebalan yang dilepaskan oleh sel darah putih untuk mengenali
serta menetralisir antigen (bibit penyakit baik virus maupun bakteri) yang ada dalam tubuh.
Fungsi pemeriksaan serologis adalah :
49
lapangan
atau
dari
hasil
kerja
vaksin.Contohnya ayam layer umur 60 hari yang belum pernah divaksin AI.Hasil uji serologi
terdeteksi adanya titer antibodi AI.Hal ini mengindikasikan adanya virus AI lapangan.
Monitoring titer antibodi
Karena perbedaan kondisi peternakan, kadang titer antibodi lebih cepat turun daripada yang
seharusnya.Penyebabnya
adalah
tingginya
infeksi
lapang,
ayam
stres
atau
penyakitimmunosupressif seperti Gumboro atau CRD. Dengan uji serologis rutin tiap bulan,
diharapkan status titer antibodi ayam tetap terpantau dan dapat memperkirakan kapan ayam
akan divaksinasi kembali.
Mengetahui keberhasilan vaksinasi
Untuk mengetahui tingkat keberhasilan vaksinasi maka pemeriksaan uji serologis dapat
dilakukan pada 2-3 minggu post vaksinasi aktif atau 3-4 minggu post vaksinasi inaktif.
Pemetaan baseline titer
Baseline titer adalah level minimal titer antibodi agar peternakan aman dari infeksi penyakit
tertentu di lingkungan peternakan itu sendiri. Baseline titer bersifat spesifik untuk satu
penyakit dan satu peternakan.Daerah yang sering terinfeksi ND tentu baseline titernya lebih
tinggi dibanding daerah jarang kasus ND.
Mengukur antibodi maternal
Antibodi maternal merupakan antibodi yang diwariskan dari induk ayam kepada anaknya.
Antibodi maternal ini akan berkurang (menurun) secara periodik. Pada saat antibodi maternal
rendah (di bawah standar protektif) peluang terinfeksi penyakit semakin besar.Oleh karena itu
perlu dilakukan vaksinasi untuk menggertak pembentukan antibodi dalam tubuh yang
protektif.
Beberapa contoh uji serologi, yaitu:
Reaksi serologis untuk EBV
IgG seroreaktif terhadap EBV dinilai dengan imunoblotting dengan menggunakan fraksi
nukklir HH514.c16. Diinduksi secara kimia untuk mengekspresi kan kapsid antigen virus.
Immunoblots diberi skor semikuantitatif dari 1 (paling lemah) sampai 4 (terkuat). Dengan
mengacu pasa control dianalisis dalam parallel. IgA reaktivitas secara kuantitatif. Dinilai oleh
50
atau
konjugat
antobodienzim,
dan
51
Uji ini dilakukan pada plate96-well diperlukan beberapa tahap yang meliputi:
1. Well dilapisi atau ditempeli antigen.
2. Sampel (antibodi) yang ingin diuji ditambahkan.
3. Ditambahkan antibodi kedua yang dikonjugasikan dengan enzim tertentu seperti
peroksidase alkali. Antibodi kedua ini akan menempel pada antibodi sampel
sebelumnya
4. Dimasukkan substrat enzim yang dapat menimbulkan warna tertentu saat bereaksi.
5. Intensitas warna campuran diukur dengan spektrofotometer yang disebut ELISA
reader hingga mendapatkan hasil berupa densitas optis (OD).
Adapun cara-cara pemeriksaan serologi, yaitu:
1. Pertama periksalah serum untuk mencari ada tidaknya IgG spesifik untuk
Toksoplasma, bila hasilnya NEGATIF, berarti anda tidak pernah terinfeksi
Toksoplasma. Bila POSITIF, berarti anda pernah terinfeksi.
2. Bila POSITIF IgG, maka untuk menentukan kapan infeksi tersebut, anda harus
melakukan pemeriksaan serum untuk mencari ada tidaknya IgM Toksoplasma.
3. Bila IgG POSITIF dan IgM Negatif : Anda telah terinfeksi lebih dari setahun yang
lalu. Saatini anda mungkin telah mengembangkan kekebalan terhadap parasit itu
4. Bila IgG POSITIF dan IgM juga POSITIF : Anda tengah mengalami infeksi dalam 2
tahunterakhir. (mungkin pula ada false pada hasil IgM). Anda harus catat berapa angka
IgM tersebut.
5. Selanjutnya anda harus melakukan lagi pemeriksaan IgM (kalau perlu sekalian IgG)
setelah 2minggu dari pemeriksaan pertama. Bila IgM tetap POSITIF atau malah
naik angkanya, berarti anda sedang terinfeksi Toksoplasma
7. Titer antibody
Titer antibodi adalah tes laboratorium untuk mengukur tingkat antibodi dalam sampel
darah.Tingkat antibodi dalam darah dapat menentukan apakah anda telah terkena antigen
atau sesuatu yang asing menurut tubuh.Tubuh menggunakan antibodi untuk menyerang
dan menghilangkan zat-zat asing.Uji titer antibodi bertujuan untuk melihat tingkat atau
titer antibodi hasil vaksinasi.Oleh karena itu pemeriksaan titer antibodi yang efektif yaitu
saat titer antibodi mencapai titer protektif/melindungi.Pengambilan sampel darah dapat
dilakukan 3-4 minggu setelah vaksinasi sesuai dengan lama pembentukan titer antibodi
vaksin killed/inaktif, dimana titer antibodi protektif/melindungi baru tercapai pada 3-4
minggu setelah vaksinasi. Agar tingkat keseragaman titer antibodi hasil vaksinasi dapat
terlihat, ambil sampel darah sebanyak 0,5 % dari total populasi atau minimal 15 20
sampel. ELISA adalah sarana umum untuk menentukan titer antibody.
52
Ada dua jenis utama pengujian titer yang bisa dilakukan, yaitu:
1. Titer fisik
titer ini memberikan satu konsentrasi partikel virus per satuan pengukuran .
2. Titer menular
Tes ini menceritakan salah satu konsentrasi partikel menular yang memiliki
kemampuan untuk menyebabkan infeksi .
Sebuah titer fisik jauh lebih mudah dan lebih cepat
untuk melakukan tetapi tidak selalu mengatakan satu jika
tingkat itu adalah jumlah yang menular atau tidak .
Spesifikasi reaksi antara antigen dan antibodi telah
ditunjukkan melalui penelitian-penelitian yang dilakukan
oleh Landsteiner.
Ia
menggabungkan
radikal-radikal
reaksi
ini
zona
kesetaraan (equivalence zone) di mana antibodi dan antigen terbentuk pada kondisi yang
paling sesuai untuk membentuk satuan ikatan (lattice). Pada zona antibodi berlebih
(antibody excess zone) dan zona antigen Berlioz (antigen excess zone) maka
pembentukan satuan ikatan tidak optimum dan masih terdapat antibodi atau antigen
bebas yang tidak terdapat dalam larutan.
Reaksi pembekuan (aglutinasi)
Antara antibodi khusus dengan antigen partikulat seperti bakteri, sel dll. Prinsipprinsip reaksi pembekuan adalah sama seperti reaksi pelarutan.Di dalam percobaan di
atas antibodi spesifik terhadap antigen dicairkan dalam satu set cawan mikrotiter (baris
atas), kemudian antigen pada kepekatan yang sama ditambah kepada setiap cawan yang
53
mengandung antibodi. Selepas inkubasi untuk jangka waktu yang sesuai telaga-telaga
dicerap untuk melihat sama ada terdapat pembentukan aglutinat(baris kedua). Hasil yang
didapat menunjukkan terdapat aglutinat terbentuk dalam telaga 2 - 5 dan tidak dalam
telaga-telaga lain. Dalam telaga pertama aglutinat tidak terbentuk walaupun terdapat
banyak antibodi karena nisbah antigen dan antibodi tidak optimum untuk pembentukan
aglutinat.Kepekatan antibodi adalah terlalu tinggi dibanding antigen.Ini disebut fenomena
prozon. Dalam telaga 6 dan 7 kepekatan antibodi adalah terlalu rendah dan tidak cukup
untuk untuk menghasilkan aglutinat. Dalam percobaan di atas titer antibodi terdapat pada
telaga 5 karena ini adalah cairan tertinggi yang menghasilkan respon positif, yaitu pengglutinat-an. Rajah sebelah bawah menunjukkan mekanisme reaksi peng-hemaglutinat-an
tak terus (indirect hemagglutination reaction). Dalam kaedah ini antigen larut
diselaputkan ke permukaan eritrosit dan kehadiran antibodi terhadap antigen tersebut
diketahui.
Mendakan dalam tub
Reaksi
dalam medium
separa pepejal
seperti gel dan prinsip reaksi adalah sama seperti reaksi dalam larutan. Aturan ini bisa
dilakukan dalam tub atau potongan.Rajah di atas menerangkan prinsip pemendakan
dalam tub. Dalam cara pertama (gambar atas) larutan antigen ditambah ke tub yang
mengandung antibodi. Setelah inkubasi garis mendakan akan terbentuk pada zona
kesetaraan antara larutan antigen dan antibodi. Cara kedua (gambar tengah) menunjukkan
reaksi pemendakan dalam gel.Antibodi dicampurkan dengan gel dan dibekukan dalam
tub. Kemudian antigen ditambah dan tub tersebut diinkubasi. Antigen akan menyerap
masuk ke dalam gel dan membentuk satu cerun kepekatan dan garis mendakan (precipitin
line) terbentuk di mana terdapat zona kesetaraan hasil. Lebih dari satu garis mendakan
akan terbentuk jika terdapat lebih dari satu antigen yang dicam oleh antibodi. Gambar
ketiga menunjukkan peralihan garis mendakan (pseudomigration) yang terjadi selama
inkubasi. Ini terjadi karena sewaktu inkubasi lebih banyak antigen akan menyerap masuk
ke dalam gel dan bagian di mana terdapat zona kesetaraan akan bertukar karena
kepekatan antibodi dalam gel adalah malar. Rajah ini juga menunjukkan di mana zona
antigen dan antibodi berlebih terbentuk dalam gel tersebut.
54
telaga diaduk di dalam gel tersebut dan satu set lengkap IgG ditambah ke dalam telaga.
Setelah inkubasi garis mendakan berbentuk bulatan akan terbentuk di keliling setiap
telaga dan diameter bulatan ini bergantung kepada kepekatan antigen (IgG) yang
ditambah.
8. EBV
Virus Epstein Barr (virus EB) juga disebut herpesvirus manusia 4 yang termasuk
dalam famili herpes (yang juga termasuk dalam virus simplex dan sitomegalovirus).
Virus ini merupakan salah satu virus yang paling umum pada manusia dan mampu
menyebabkan mononukleosis infeksiosa. Penyakit ini lebih sering terjadi pada anak-anak
dan dewasa muda. Sel target virus EB adalah limposit B. Virus EB biasanya ditularkan
melalui air liur yang terinfeksi dan memulai infeksi di orofaring. Diagnosis tidak hanya
berdasarkan gejala-gejala yang dialami, namun juga dengan pemeriksaan darah.
Virus Epstein-Barr berasal dari nama Michael Epstein dan Yvonne Barr, yang bersama
dengan Bert Achong, menemukan virus ini tahun 1964. Sampai saat ini belum ditemukan
vaksin virus EB. Epstein Barr Virus ditularkan secara per oral, umumnya ditularkan
melalui saliva, menginfeksi epitel nasofaring dan limfosit B.
Struktur
Seperti semua virus herpes , virus Epstein - Barr relatif besar dan kompleks . Struktur
virus terdiri dari envelope , spikes , inti, kapsid dan tegument . Semua struktur ini
membantu dalam membuat virus dalam proses infeksi dan sebagai cara untuk
menghindari deteksi dari sistem kekebalan tubuh kita
Spikes, banyak glikoprotein yang melapisi permukaan luar envelope virus . Protein ini
adalah sarana untuk virus ketika bertemu sel inang potensial. Dengan protein ini , virus
bisa menempel pada permukaan sel inang dan memulai siklus replikasi . Protein ini juga
merupakan sarana untuk mencari sel inang ,
protein mereka akan mengikat dengan sel
reseptor yang khusus pada host .
Envelop, membran luar pelindung yang
mengelilingi virus . Ini adalah membran
yang tercakup dalam glikoprotein yang
disebutkan di atas. Envelop virus ini tidak
terlalu kokoh dan mudah rusak. membran
yang
terbuat
dari
lipoprotein
mudah
55
manusia. Membran ini sangat sensitif terhadap pengeringan, asam, deterjen dan banyak
pelarut organik lainnya.
Inti, Inti mengandung DNA beruntai ganda dan tertutup dalam semua struktur lainnya .
Inti memiliki bentuk toroidal , yang berarti menyerupai donat . terletak di sekitar protein
khusus di tengah inti.
Kapsid, Kapsid mengelilingi inti dan melindungi informasi genetik ( DNA untai ganda ) .
Kapsid sendiri memiliki nukleokapsid dengan bentuk ikosahedral , yang berarti memiliki
dua puluh sisi.
Tegument, Tegument adalah ruang antara kapsid dan amplop . Ruang ini diisi dengan
protein , yang menangani protein dan enzim yang diperlukan untuk replikasi .
Imunitas terhadap virus Epstein Barr Virus ditularkan secara per oral, umumnya
ditularkan melalui saliva, menginfeksi epitel nasofaring dan limfosit B. Kegagalan
imunitas spesifik EBV dapat memberikan peran pada patogenesis tumor yang berkaitan
dengan EBV dan juga pada penderita immunodeficiencies tanpa manifestasi klinik.
Peranan virus dalam karsinogenesis terjadinya kanker dapat berasal dari berbagai
mutasi. Mutasi dapat terjadi akibat respons terhadap kerusakan yang ditimbulkan oleh
faktor lingkungan, seperti zat kimia, radiasi, dan virus. Pada keadaan fisiologis proses
pertumbuhan, pembelahan, dan diferensiasi sel diatur oleh gen yang disebut
protoonkogen yang dapat berubah menjadi onkogen bila mengalami mutasi. Onkogen
dapat menyebabkan kanker karena memicu pertumbuhan dan pembelahan sel secara
patologis.
Implikasi kelainan siklus sel terhadap keganasan. Keganasan pada umumnya dapat
terjadi melalui dua mekanisme yaitu, pertama pemendekan waktu siklus sel sehingga
akan menghasilkan lebih banyak sel yang diproduksi dalam satuan waktu. Kedua,
penurunan jumlah kematian sel akibat gangguan pada proses apoptosis.
Transformasi
EBV dapat menginfeksi beberapa jenis sel yang berbeda, termasuk sel B dan sel
epitel, pada kasus tertentu juga dapat menginfeksi sel T, sel natural-killer, dan sel otot
polos.Menginfeksi sel B dan sel-sel epitel merupakan bagian dari siklus normal virus
untuk bertahan.
Untuk menginfeksi sel B, virus protein gp350 berikatan dengan reseptor seluler
komplemen reseptor 2 (CR2), dan memicu endositosis . Selain itu, gp42 mengikat untuk
MHC kelas II molekul. Melalui interaksi ini, mesin fusi, terdiri dari gHgL dan GB, dipicu
dan sekering membran virus dengan membran endosomal untuk melepaskan bahan
genetik virus.
56
Untuk menginfeksi sel epitel, gp350 juga mengikat untuk CR2, namun tidak dipicu
endositosis. Kemudian, gHgL berinteraksi dengan reseptor gHgL (mungkin integrins
v6 atau v8) dan mesin fusi gHgL dan GB dipicu untuk memungkinkan fusi pada
membran sel. Fusion with epithelial cells is actually impeded by gp42. Fusi dengan selsel epitel sebenarnya terhambat oleh gp42.
EBV sebagai penyebab utama infeksi mononucleosis.Infeksi ini kebanyakan
menyerang anak-anak dan menyebar melalui air liur.Virus EBV mempunyai masa
inkubasi 4-7 minggu.Gejala infeksi mononukleosis biasanya berlangsung selama 2-3
minggu.Infeksi mononukleosis ini sering tidak dianggap serius karena dapat sembuh
sendiri.Gejala pada infeksi mononukleosis ini mirip dengan gejala penyakit yang
disebabkan oleh virus sitomegalovirus. Pasien yang pernah terinfeksi oleh virus EBV ini
akan membawa terus virus tersebut selama hidupnya. Virus ini biasanya hidup dan
menetap di limfosit B. Virus dapat kembali aktif bergantung pada lingkungan dari
penderita dan akan menyebabkan keluhan fisik yang tidak jelas, dan selama fase ini,
virus ini dapat menyebar ke orang lain.
Pengaktifan kembali virus ini dapat memicu autoimun hospes dari beberapa
penyakit, seperti rheumatoid arthritis, sindrom antibodi antifosfolipid, dan multiple
sclerosis.Imunologi rangsangan kronis semacam itu juga dapat memicu beberapa jenis
kanker, dan kanker yang paling sering terjadi adalah karsinoma nasofaring.Hal ini
berhubungan dengan infeksi utama dari limfosit B, yaitu sel antibodi yang memproduksi
utama dari sel kekebalan tubuh, serta kemampuan untuk mengubah baik proliferasi
limfosit dan produksi antibodi limfosit.
9. PCR RFLP
Prinsip Dasar PCR
PCR merupakan teknik amplifikasi DNA selektif in vitro yang meniru fenomena
replikasi DNA in vivo. Komponen reaksi yang diperlukan dalam teknik ini adalah untai
tunggal
DNA
sebagai
cetakan,
primer
(sekuens
oligonukleotida
yang
DNA
Untuk aplikasi PCR, kemurnian DNA mempengaruhi hasil. DNA yang tidak murni
sering menyebabkan masalah reproduksibilitas. Untuk tujuan diagnosis DNA (atau
RNA) harus dimurnikan dahulu sebelum diproses dengan PCR. Dalam proses isolasi
tersebut DNA yang dihasilkan sebaiknya bebas nuklease, endo-atau eksoprotease,
57
dan DNA-binding protein. Khusus untuk RNA, karena RNA tidak dapat digunakan
sebagai cetakan langsung untuk PCR, maka diperlukan tahapan transkripsi balik
untuk membuat mRNA menjadi DNA komplementernya (cDNA) yang kemudian
dapat digunakan sebagai cetakan untuk PCR. Teknik ini disebut dengan RT-PCR
(reverse transcription-PCR atau PCR transkripsi balik).
2.
Primer
Primer PCR adalah komponen yang sangat menentukan keberhasilan PCR. Sangat
penting untuk mendesain sepasang primer yang baik-efektif-efisien. Ada beberapa
program untuk mendesain primer PCR yang dapat digunakan secara gratis, seperti
MEDUSA, Primer3, PrimerQuest, dan lain-lain. Penggunaan program semacam ini
sangat disarankan untuk mendesain protokol PCR baru. Meskipun begitu, kita juga
dapat mendesain primer PCR secara manual berbekal beberapa aturan dasar.
Kelebihan dari desain primer secara manual adalah kita dapat mendesain primer
PCR yang efektif dengan karakteristik yang mungkin "tidak diijinkan" oleh program
yang ada.
Aturan dasar tersebut adalah sebagai berikut:
1.
2.
3.
Sebaiknya
dalam
sepasang
primer
tidak
ada
daerah
yang
saling
berkomplementari.
4.
5.
Memiliki
kandungan
GC
(guanosine
dan
cytosine)
50%.
Hindari
Untuk PCR diagnostik pilih primer PCR yang mengamplifikasi daerah yang
stabil secara genetik.
7.
Perbedaan suhu anealing dalam suatu pasangan primer jangan lebih dari 5 0C.
PCR dapat digunakan untuk berbagai macam aplikasi. Aplikasi yang berbasis PCR
biasanya membutuhkan primer PCR yang telah dimodifikasi. Ada berbagai macam
modifikasi primer PCR yang mungkin kita lakukan, namun pada prinsipnya adalah:
Modifikasi 5'end
58
1. Penambahan tempat restriksi (sekuens yang dapat dikenali oleh enzim restriksi
endonuklease)
2. Penambahan sekuens pengatur
3. Penambahan Promotor dan RBS (ribosomal binding sites)
4. Penambahan label
5. Penambahan GC-clamp
Degenerate primer
1. Site directed mutagenesis
2. DOP (degenerate oligonucleotide primer) PCR
3. Translasi sekuens asam amino ke dalam sekuens genomik
4. Primer universal
5. Primer competitor
Miscellaneous
1. Primer sekuens berulang
2. Primer concatemeric
3. Primer PCR multipleks
4. Megaprimer
5. Molecular beacon
3. dNTPs (Deoxynucleotide triphosphates)
dNTPS merupakan blok pembangun molekul asam nukleat yang terdiri dari
deoxyadenosine triphosphate (dATP), deoxythymidine triphosphate (dTTP),
deoxycytosine triphosphate (dCTP), dan deoxyguanosine triphosphate (dGTP).
Dalam beberapa aplikasi dan protokol PCR, salah satu dari empat dNTP tersebut
dapat diganti elemen analog. Modifikasi ini berguna untuk aplikasi yang berbasis
paska-PCR.
4. Polimerase DNA
Ketika terjadi sintesis DNA, enzim polimerase DNA akan melakukan seleksi
nukleotida yang tepat untuk ditambahkan ke primer untuk melanjutkan rantai DNA
sesuai dengan aturan pasangan basa Watson-Crick (A:T dan G:C). Polimerase DNA
selalu mengkatalis sintesis DNA dalam orientasi 5' ke 3'. Beberapa polimerase DNA
juga memiliki aktivitas eksonuklease atau yang sering disebut dengan aktivitas
"proofreading" yang akan memeriksa basa yang telah ditambahkan untuk
menumbuhkan untai DNA. Ketika terjadi penambahan nukleotida yang tidak tepat
aktivitas proofreading tersebut akan membuang basa yang tidak tepat tersebut.
Mekanisme koreksi ini akan meningkatkan akurasi atau atau yang disebut juga
59
dengan fidelitas. Ketika membandingkan atau memilih polimerase DNA, ada dua hal
yang penting dalam PCR yaitu fidelitasnya dan efisiensi sintesisnya. Macam-macam
polymerase lainnya yang saat ini ada di pasaran: AmpliTaq, Stoffel, Ampliterm,
Pyra, TTH 94, Tfl, Tfu, Deep Vent, Vent, Tli, Proofstart, PFU 92, Pfx, Pwo, UL
Tma, dan Thermal Ace. Dari enzim polimerase tersebut yang memiliki aktivitas 53 proofreading adalah: AmpliTaq, TTH 94, dan Tfl. Yang memiliki aktivitas 3-5
proofreading adalah: Tfu, Deep Vent, Vent, Tli, Proofstart, PFU 92, Pfx, Pwo, dan
Thermal Ace.
5. Bufer reaksi PCR
Bufer reaksi PCR biasanya mengandung Mg2+, kation monovalen, dan beberapa cosolvent.
Co-solvent
membantu
menstabilisasi
enzim
polimerase
DNA,
mempengaruhi kerja enzim, dan atau DNA melting temperature (Tm). Ion
Monovalen seperti Na+, K+ dan NH4+ menstimulasi aktivitas polimerase DNA dan
melindungi muatan negatif gugus fosfat DNA, sehingga melemahkan kekuatan
elektronik yang saling menolak antara primer dan DNA target. Ion Mg2+ berperan
sebagai ko-faktor aktivitas polimerase DNA thermostabil. Secara umum konsentrasi
ion Mg2+ yang sering digunakan adalah 2,5 mM (antara 0,5-5 mM). Yang perlu
diingat, konsentrasi ion magnesium yang berlebihan menghambat reaksi amplifikasi
PCR.
Reaksi PCR
Pada prinsipnya, reaksi PCR (protokol PCR konvensional) membutuhkan tiga tahap:
1. Denaturasi (Melting)
Prinsipnya adalah memisahkan DNA untai ganda menjadi komponen untai tunggal,
sehingga memungkinkan terjadinya hibridisasi primer PCR untai tunggal pada
sekuens targetnya (jika ada).
2. Annealing (Hibridisasi) Primer PCR
Pada tahap ini terjadi hibridisasi primer PCR pada sekuens targetnya. Secara umum
suhu annealing PCR biasanya berasal dari suhu annealing primer hasil kalkulasi
matematis dikurangi 5 derajat Celcius, dengan kata lain primer dapat berikatan
dengan target komplementarinya dan jika sudah terhibridisasi tidak mudah
mengalami disosiasi. Waktu yang dibutuhkan biasanya 15-60 detik.
3. Elongasi (ekstensi rantai DNA)
Tahap ini penting untuk mengamplifikasi daerah yang sudah dihibridisasi oleh
primer, dari 5'end ke 3'end. Sebagian besar enzym polimerase membutuhkan suhu
elongasi 72 0C. Secara umum suhu elongasi sebaiknya 5 0C di bawah suhu melting
60
seluruh amplimer. Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan langkah
elongasi adalah waktu inkubasi, yaitu sebaiknya cukup panjang bagi polimerase
DNA mengamplifikasi sekuens target secara komplit tetapi cukup pendek untuk
mencegah amplifikasi produk non-spesifik yang lebih panjang daripada sekuens
target. Secara detail, protokol suatu PCR tergantung dari tujuan, enzim polimerase,
primer, bahkan kit yang digunakan.
Berdasarkan proses kinetik yang terjadi, reaksi PCR dapat dibagi menjadi 3 fase kinetik:
1. Fase Awal
2. Fase Eksponensial
3. Fase Plateau
Analisis dan Visualisasi Produk PCR
Analisis produk PCR dapat dilakukan secara ex-vitro (dilakukan di luar tabung PCR,
misalnya: elektroforesis gel, hibridisasi DNA) maupun in-vitro (dalam tabung PCR dan
selama reaksi PCR berlangsung). Kedua teknik tersebut membutuhkan produk PCR
yang telah di-"visualisasi"-kan sebelum dianalisis. Visualisasi produk amplifikasi PCR:
1. mengecat DNA untai ganda dengan bahan pewarna kimia atau ion perak yang
berinterkalasi di antara untai ganda DNA
2. labelisasi primer PCR atau nukleotida dNTP dengan bahan pewarna fluoresen
(fluorophore) atau hapten sebelum amplifikasi PCR
Analisis berasaskan PCR- sekatan panjang serpihan polymorphism ( RFLP ) adalah
teknik popular untuk genotyping. Teknik ini mengeksploitasikan Single Nucleotide
Polymorphism (SNP), multi-nucleotide polymorphisms (MNPs) dan microindels sering
dikaitkan dengan penciptaan atau penghapusan tempat restriction enzyme recognition. (
Narayanan ,1991 ). Langkah pertama dalam analisis PCR- RFLP adalah amplifikasi
serpihan yang mengandungi pengubahan/viariasi
dikuatkan dengan enzim sekatan yang sesuai. Kehadiran atau ketiadaan restriction enzim
recognition site mengakibatkan dalam pembentukan serpihan sekatan saiz yang berbeza,
identifikasi alel boleh dilakukan dengan serpihan fragment dengan mengunakan
elektrophoretik.
Kelebihan utama dalam teknik PCR- RFLP termasuk tidak mahal dan kekurangan
keperluan untuk instrumen maju. Di samping itu, reka bentuk PCR- RFLP analisis
umumnya adalah mudah dan boleh dicapai dengan menggunakan program-program
awam tersedia.
Kelemahan meliputi keperluan endonucleases tertentu dan kesukaran dalam
mengenal pasti variasi yang tepat.. sekiranya beberapa Single Nucleotide Polymorphism
61
Kelebihan
Kekurangan
Memerlukan
menghapuskan
pennjana
sekatan
variasi
tapak
atau
enzyme
recognisation.
62
memperkuat jumlah DNA yang sangat sedikit, biasanya dalam 2-3 jam, ke tingkat yang
dibutuhkan untuk analisis RFLP. Oleh karena itu, lebih banyak sampel dapat dianalisis
dalam waktu yang lebih singkat
Aplikasi Medis PCR
Aplikasi medis PCR utama adalah deteksi patogen infeksius dan identifikasi mutasi
pada gen yang berkaitan dengan faktor resiko penyakit. Contohnya, antara lain:
-
Labelisasi amplimer PCR untuk visualisasi produk PCR, pembuatan probe DNA dan
kloning.
PCR booster (untuk menghambat akumulasi amplimer non spesifik dan komplek
primer dimer).
Inverse PCR (untuk mengamplifikasi daerah yang belum diketahui sekuensnya yang
terletak tepat di atas atau di bawah daerah yang sudah diketahui sekuensnya).
PCR asimetrik (salah satu primer PCR mempunyai konsentrasi yang lebih tinggi
dibandingkan primer pasangannya sehingga menghasilkan konsentrasi tinggi
molekul DNA untai tunggal).
PCR Touchdown dan Touch-Up (untuk sampel DNA komplek yang hanya
63
PCR repeat dan inter-repeat. PCR repeat (untuk menentukan panjang daerah
genetik yang mengandung sekuens pengulangan tandem. PCR inter-repeat
dilakukan dengan teknik RAPD (random amplification of polymorphic DNA) atau
arbitrary primed (AP-PCR) untuk mengetahui keberadaan daerah pengulangan
sekuens genetik).
Protein Truncation Test (PTT), untuk mendeteksi adanya mutasi pada DNA
genomik yang menginduksi adanya stop codon pada mRNA-nya.
PCR mutagenesis (untuk mengintroduksi mutasi pada sekuens DNA yang telah
diketahui).
PCR ELISA
64
PCR in situ
10. Polimorfisme
Berdasarkan perbedaan sifat sifat fisiknya, secara antropologis manusia digolongkan
dalam berbagai suku dan ras. Penggolongan ini didasarkan atas perbedaan parameter
morfologis yang antara lain terdiri dari warna kulit, warna dan tekstur rambut, tinggi
badan, bentuk raut muka, bentuk hidung, dan sebagainya, yang membedakan sukusuku
tertentu dengan suku lainnya. Dalam pendekatan secara genomik, perbedaan-perbedaan
morfologis tersebut ternyata disebabkan oleh adanya beberapa gen yang bertanggung
jawab terhadap perbedaan fenotipe dari masing-masing etnik tersebut (Owen, S and
King,M.C. 1999). Perbedaan warna kulit misalnya, disebabkan oleh perbedaan atau
65
66
pada promo- promotor gen ataupun pada sekuen regulator. Ekspansi dari trinukleotida
berulang (trinucleotide repeat) diketahui merupakan modulator penting dalam ekspresi
gen, disamping dinukleotida berulang ataupun simple tandom repeats (STRs). Penyakit
fragile X syndrome, merupakan salah satu contoh sindroma yang disebabkan oleh
terjadinya mutasi dari CCG trinukleotida berulang pada gen FMR1. Beberapa jenis
kelainan neurologik seperti myotonic distrophy, spinobulbar muscular atrophy,
Huntingtons disease dan spinocerebellar atrophy, diketahui disebabkan oleh adanya
AGC trinucleotide repeat. Variasi mutasi dalam suatu gen dapat menyebabkan beberapa
kelainan. Berbagai jenis penyakit diketahui berhubungan dengan terjadinya berbagai
mutasi DNA. Saat ini diperkirakan sekitar 1500 jenis penyakit yang berkaitan dengan
kelainan genetik. (Peltonen, L. and McKusick, V.A. 2001).
Penanda genetik adalah sekuens DNA yang bervariasi dalam populasi. Dalam gen,
variasi sekuens semacam itu merupakan dasar dari alel-alel yang berbeda. Seperti
sekuens pengode, sekuens bukan pengode di sebuah lokus spesifik pada kromosom
mungkin menunjukkan sedikit perbedaan nukleotida pada individu-individu yang
berbeda. Variasi sekuens DNA disebut polimorfisme ( polymorphism, dari bahasa
Yunani, berarti banyak bentuk).
Salah satu penanda genetik yang paling bermanfaat adalah variasi pasangan asambasa tunggal dalam genom populasi manusia. Situs pasangan basa tunggal tempat
ditemukan variasi pada setidaknya 1% populasi disebut polimorfisme nukleotida tunggal
( single nucleotide polymorphism, SNP). SNP rata-rata terjadi sekali setiap 100 sampai
300 pasangan basa dalam genom manusia, dan ditemukan pada sekuens DNA pengode
maupun bukan pengode.
Sejumlah SNP mengubah sekuens yang dikenali oleh enzim retriksi, seperti yang
terjadi pada perbedaan nukleotida tunggal antara alel beta-globin normal dan sel sabit.
Perubahan ini mengubah panjang fragmen restriksi yang di bentuk oleh pencernaan
dengan enzim tersebut. Perubahan sekuens tipe ini, yang dapat terjadi di wilayah
pengode maupun bukan pengode, disebut polimorfisme panjang fragmen restriksi
(restriction frgamen lenght polymorphism, RFLP). Para ilmuwan menemukan cara
menggunakan Southern blotting untuk mendeteksi RFLP hampir 30 tahun lalu, dan
menyadari bahwa RFLP dapat berperan sebagai penanda genetik yang bermanfaat.
Tidak perlu menyekuensing DNA dari banyak individu untuk menemukan SNP. Kini
SNP dapat dideteksi dengan PCR.
67
VII.
Kesimpulan
Tn. Aam Syaroni, 42 tahun seorang WNI asli sunda mengalami karsinoma nasofaring
karena kebiasaan mengkonsumsi produk awetan dan terinfeksi EBV.
68
DAFTAR PUSTAKA
Alberts , Johnson, Lewis ,Raff , Roberts , Walter, Molecular Biology of the Cell Fifth Edition,
Garland Science, 2008
Budiani,
Dyah
Ratna.
Petunjuk Praktikum
ELISA.
Surakarta:
Laboratorium
Biomedik
RM
(2005).
"Enzyme
Immunoassay
(EIA)/Enzyme-Linked
Immunosorbent
69
70
71
72