Pertapa Gotama meneruskan perjalanannya dan pada sore hari tiba di Gaya. Ia
memilih tempat untuk bermeditasi di bawah pohon Bodhi (Latin : Ficus Religiosa),
kemudian mempersiapkan tempat duduk di sebelah timur pohon itu dengan rumput
kering yang diterima dari pemotong rumput bernama Sotthiya. Di tempat itulah
pertapa Gotama duduk bermeditasi dengan wajah menghadap ke Timur dengan
tekad yang bulat. Ia kemudian berkata dalam hati :
Perjuangan hebat dalam batin pertapa Gotama melawan keinginan dan nafsu-nafsu
tidak baik, dalam buku-buku suci digambarkan sebagai perjuangan melawan Dewa
Mara yang jahat, seperti dapat diikuti dalam pembabaran di bawah ini.
Pada saat itu muncul Mara, dewa hawa nafsu, yang bermaksud menghalang-halangi
pertapa Gotama memperoleh Penerangan Agung, disertai bala tentaranya yang
maha besar. Bala tentara itu ke depan, ke kanan dan ke kiri lebarnya 12 league dan
ke belakang sampai ke ujung cakrawala, sedangkan tingginya 9 league. Mara
sendiri membawa berbagai macam senjata dan duduk di atas gajah Girimekhala
yang tingginya 150 league. Melihat bala tentara yang demikian besar datang,
semua dewa yang sedang berkumpul di sekeliling pertapa Gotama, seperti MahaBrahma, Sakka, Rajanaga Mahakala dan lain-lain cepat-cepat menyingkir dari
tempat itu dan pertapa Gotama ditinggal sendirian dengan hanya berlindung
kepada sepuluh Paramita yang sejak lama dilatihnya. Semua usaha Mara untuk
menakut-nakuti pertapa Gotama dengan hujan besar disertai angin kencang dan
halilintar yang berbunyi tak henti-hentinya diikuti dengan pemandanganpemandangan lain yang mengerikan ternyata gagal semua dan akhirnya Mara
menyambit dengan Cakkavudha yang ternyata berubah menjadi payung yang
dengan tenang bergantung dan melindungi kepala pertapa Gotama.
Bumi telah menjadi saksi, bahwa pertapa Gotama lulus dari semua percobaanpercobaan dan layak untuk menjadi Buddha. Gajah Girimekhala berlutut di hadapan
pertapa Gotama dan Mara menghilang dan lari bersama-sama dengan bala
tentaranya. Para dewa yang menyingkir sewaktu Mara tiba dengan bala tentaranya
datang kembali dan semua bersuka cita dengan keberhasilan pertapa Gotama.
Pada waktu jaga kedua, yaitu antara jam 22.00 02.00, pertapa Gotama
memperoleh Cutupapatanaria, yaitu kebijaksanaan untuk dapat melihat dengan
terang kematian dan tumimbal lahir kembali dari makhluk-makhluk sesuai dengan
tumpukan karma mereka masing-masing. Tumpukan karma yang berlainan inilah
yang membuat satu makhluk berbeda dengan makhluk lain. Kemampuan ini juga
dinamakan Dibbacakkunana, yaitu kebijaksanaan dari Mata Dewa.
Pada waktu jaga ketiga, yaitu antara jam 02.00 04.00, pertapa Gotama
memperoleh Asavakkhayanana, yaitu kebijaksanaan yang dapat menyingkirkan
secara menyeluruh semua Asava (kekotoran batin yang halus sekali).
Dengan demikian ia mengerti sebab dari semua keburukan dan juga mengerti cara
untuk menghilangkannya. Dengan ini ia telah menjadi orang yang paling bijaksana
dalam dunia yang dapat menjawab pertanyaan yang disampaikan kepadanya.
Sekarang ia mendapat jawaban tentang cara untuk mengakhiri penderitaan,
kesedihan, ketidak-bahagiaan, usia tua dan kematian. Batinnya menjadi tenang
sekali dan penuh kedamaian, karena sekarang ia mengerti semua persoalan hidup
dan menjadi Buddha.
Anekajati samsarang
Sandhavissang anibbissang
Gohakarakang gavesanto
Dukkha jati punappunang.
Gahakaraka! ditthosi
Punagehang na kahasi
Sabba to phasuka bhagga
Gahakutang visamkhitang
Visamkharagatang cittang
Tanhanang khayamajjhaga.
Artinya :
Dengan sia-sia aku mencari Pembuat Rumah ini
Berlari berputar-putaran dalam lingkaran Tumimbal Lahir
Menyakitkan, tumimbal lahir yang tiada habisnya
O, Pembuat Rumah, sekarang telah kuketahui
Engkau tak akan dapat membuat rumah lagi
Di kisahkan bahwa pada saat itu bumi tergetar karena gembira dan di udara sayupsayup terdengar suara musik yang merdu; seluruh tempat itu penuh dengan
kehadiran para dewa yang turut bergembira dan ingin melihat orang yang berhasil
mencapai Penerangan Agung dan menjadi Buddha; pohon-pohon mendadak
berbunga dan menyebarkan bau harum ke seluruh penjuru; binatang hutan yang
biasanya saling bermusuhan pada waktu itu dapat hidup berdampingan dengan
damai.
Demikianlah Pangeran Siddhattha yang dilahirkan pada saat purnama sidhi di bulan
Vaisak tahun 623 SM, menikah pada usia 16 tahun, meninggalkan istana pada usia
29 tahun, setelah bertapa selama 6 tahun menjadi Buddha pada usia 35 tahun.