Anda di halaman 1dari 67

IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI

PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT


DI KECAMATAN BIRU-BIRU

Hasil Penelitian

Oleh :
ELMIRA SAFITRI
041201003/MANAJEMEN HUTAN

DEPARTEMEN KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009

Elmira Safitri : Identifikasi Dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kecamatan Biru-Biru, 2009.

Lembar Pengesahan

Judul
Nama
NIM
Departemen
Program Studi

:Identifikasi dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan


Rakyat di Kecamtan Biru-Biru
: Elmira Safitri
: 041201003
: Kehutanan
: Manajemen Hutan

Disetujui oleh,
Komisi Dosen Pembimbing

Ketua

Anggota

(Oding Affandi, S.Hut, MP)

(Bejo Slamet, S.Hut, M.Si)

NIP.19730603 200003 1001

NIP.19750709 200003 1002

Diketahui,
Ketua Departemen Kehutanan

(Dr.Ir.Edy Batara Mulya Siregar, MS)


NIP. 19641228 200012 1001

Elmira Safitri : Identifikasi Dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kecamatan Biru-Biru, 2009.

ABSTRAK
ELMIRA SAFITRI. Identifikasi dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan
Rakyat Di Kecamatan Biru-Biru Kabupaten Deli Serdang. Dibimbing oleh
Oding Affandi, S.Hut, M.P dan Bejo Slamet, S. Hut, M.Si.
Penelitian ini dilakukan pada bulan Desember 2008 sampai Maret 2009 dengan
tujuan untuk mengidentifikasi kegiatan pengelolaan hutan rakyat di Kecamatan
Biru-biru Kabupaten Deli Serdang, mengetahui beberapa karakteristik hutan
rakyat (pola pengelolaan, pola penggunaan lahan, rasio antara pohon kayu dan
pohon buah), mengetahui potensi tegakan hutan rakyat, dan mengetahui manfaat
ekonomis hutan rakyat berupa tambahan pendapatan masyarakat. Data penelitian
yang diambil adalah data sekunder dan data primer yang didapat dari instansi
terkait maupun dengan metode wawancara terhadap masyarakat setempat. Analisa
data menghitung potensi tegakan hutan menggunakan rumus penghitungan
volume pohon dan kemudian dijelaskan secara deskriptif berdasarkan tabulasi
dan grafik yang di peroleh. Hasil diperoleh di Kecamatan Biru-biru kegiatan
pengelolaan hutan rakyat dimulai dengan kegiatan persiapan lahan, penanaman,
pemeliharaan, pemanenan, dan pemasaran dengan bentuk pengelolaan hutan
rakyat paling dominan adalah sistem agroforestri. Pada umumnya pola
penggunaan lahan tidak intensif dengan persentase 72,72 %, struktur tegakan yang
mendominasi adalah pohon yang memiliki diameter 11-20 cm sedangkan jenis
pohon yang mendominasi adalah mahoni (Swietenia mahagoni), dan rasio pohon
kayu lebih besar daripada rasio pohon buah. Potensi tegakan tanaman Hutan
Rakyat di Kecamatan Biru-Biru adalah 148 m3 dengan luas lahan 13,9 ha dan
potensi 10,64 m3, dengan nilai total tegakan hutan rakyat yang mencapai
Rp1.480.0000. Manfaat ekonomi dari hutan rakyat di Kecamatan Biru-biru bagi
masyarakat dapat membantu menambah pendapatan petani/masyarakat sekaligus
meningkatkan kesejahteraannya selain manfaat ekologis merehabilitasi lahanlahan kritis dan terlantar.
Kata kunci: Agroforestri, pengelolaan hutan rakyat, pola pengelolaan tanaman,
manfaat ekonomi, potensi tegakan.

Elmira Safitri : Identifikasi Dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kecamatan Biru-Biru, 2009.

ABSTRACT
This research conducted on December 2008 until March 2009. The aims of this
research is to identify forest society management activity in Biru-biru sub district,
Deli Serdang, to know some characters of forest society (such as management
pattern, land useful pattern, and ratio of wood trees and fruit trees), potencial of a
stand forest society, and to know economics benefit of forest society in form
society additional funds. Data collected as secondary data and primary data, these
got by agency and interview with society. Analyse data to count potencial of a
stand forest society used tree volume formula and then described it based on graph
and table. Forest society management activity in Biru-biru sub district starting by
land preparation, planting, maintenance, harvesting, and distribution with the most
dominant form of management forest society is agroforestry. Globally, useful land
pattern in Biru-biru sub district is not intensively. the procentage is 72,72 %. The
most dominant structure of a stand are the trees that have 11-20 diameter and
mahoni (Swietenia mahagony) is tree that the most dominant in that area. Wood
trees ratio is bigger than fruit trees ratio. Potencial of a stand forest society in
Biru-biru sub district is 148 m3 with land at large 13,9 ha and potency is 0,64 m3,
total summary a stand of forest society could be reached Rp14.800.000. economis
benefit getting from forest society in Biru-biru sub district could help
farmer/society additional funds and all increasing at once prosperity of the people
beside ecology benefit that rehabilitating critical land.
Key words: Agroforestry, forest society management, planting management
pattern, economic benefit, potencial of a stand

Elmira Safitri : Identifikasi Dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kecamatan Biru-Biru, 2009.

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jambi 13 Juli 1986. Penulis merupakan anak pertama


dari tiga bersaudara dari Keluarga Bapak Ajizar dan Ibu Zawida.
Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri No.121/II
Kotomajidin Hilir Kerinci, lulus tahun 1998, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di
MTS Negeri 1 Penawar Kerinci, lulus tahun 2001. Tahun 2004 penulis lulus dari
MA Negeri 1 Sungai Penuh Kerinci dan pada tahun yang sama penulis diterima di
Universitas Sumatera Utara, Fakultas Pertanian, Departemen Kehutanan, Program
Studi Manajemen Hutan melalui Jalur PMP (Pemanduan Minat Prestasi).
Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah mengikuti kegiatan
Keagamaan (mentoring) pada tahun 2004 sampai 2008. penulis pernah menjabat
sebagai anggota Pengembangan Minat dan Bakat dalam kegiatan organisasi
HIMAS (Himpunan Mahasiswa SYILVA) Kehutanan USU pada tahun 2005
sampai 2007. Penulis telah melaksanakan PKL (Praktek Kerja Lapang) di Perum
Perhutani Unit III Jawa Barat KPH Sumedang pada tahun 2008.

Elmira Safitri : Identifikasi Dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kecamatan Biru-Biru, 2009.

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
Rahmat dan KaruniaNya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Judul yang
dipilih dalam penelitian ialah "Identifikasi dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan
Rakyat Di Kecamatan Biru-Biru Kabupaten Deli Serdang ".
Penelitian dilakukan di empat desa yang memiliki Hutan Rakyat di
Kecamatan Biru-Biru Kabupaten Deli serdang. Penelitian ini menggambarkan
kegiatan dan bentuk pengelolaan hutan rakyat, potensi dan manfaat dari hutan
rakyat bagi masyarakat.
Selama melakukan penelitian ini penulis banyak mendapatkan dukungandukungan dari berbagai pihak. Ucapan terima kasih penulis ucapkan:
1. Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya serta
yang telah memberikan kekuatan kepada saya dalam menjalani
kehidupan dan termasuk penyelesaian skripsi.
2. Kedua orang tua tersayang yang sangat saya cintai yang telah
mendidik, membesarkan dan memberikan motivasi baik berupa materi
maupun spirit yang menyertai penulis serta adik-adik atas dukungan
dan doanya.
3. Bapak Oding Affandi S.Hut, M.P dan Bapak Bejo Slamet S.Hut, M.Si
selaku dosen pembimbing atas segala arahan dan perhatiannya dalam
membimbing penulis untuk menyelesaikan skripsi.

Elmira Safitri : Identifikasi Dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kecamatan Biru-Biru, 2009.

4. Bpk Dr. Edy Batara Mulya Siregar M.S selaku ketua Departemen
Kehutanan USU, serta seluruh staff pengajar Departemen Kehutanan
USU atas didikannya selama masa perkuliahan.
5. Seluruh Staff Kantor Kecamatan Biru-Biru atas informasi yang
berguna bagi penulis.
6. Kepala Desa Biru-Biru Bapak Mahmud ginting beserta bang Rinaldi
selaku Staff Pemberdayaan Masyarakat dan masyarakat Desa BiruBiru yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian ini.
7. Kepada orang-orang yang saya cintai Ibu Marni, Riska Tanjung, dan
Bang Amir Tanjung yang telah memberikan dukungan dan doanya
dalam penyelesaian skripsi.
8. Kepada sahabatku syarifah Lia Andriaty, Yeni Agustiarni, Rosmawati
Sitompul, dan Umairoh yang telah membantu dan memberi motivasi
dalam penyelesaian skripsi, seluruh teman-teman angkatan 2004 yang
telah memberikan dukungan serta doanya selama menemuh pendidikan
sampai penelitian berlangsung.
Semoga Skripsi ini bermanfaat bagi kita semua

Medan, Agustus 2009

Penulis

Elmira Safitri : Identifikasi Dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kecamatan Biru-Biru, 2009.

DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRACT .................................................................................................. i
ABSTRAK..................................................................................................... ii
RIWAYAT HIDUP ...................................................................................... iii
KATA PENGANTAR ...................................................................................iv
DAFTAR ISI ................................................................................................. v
DAFTAR TABEL .........................................................................................vi
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... vii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... viii
PENDAHULUAN
Latar Belakang .................................................................................... 1
Perumusan Masalah............................................................................. 3
Tujuan Penelitian ................................................................................ 5
Manfaat Penelitian............................................................................... 6
TINJAUAN PUSTAKA

Hutan Rakyat ...................................................................................... 7


Pengertian Hutan Rakyat ..................................................................... 7
Sejarah Perkembangan Hutan Rakyat .................................................. 8
Konsepsi Kehutanan Masyarakat ........................................................ 10
Konsepsi Hutan Rakyat dan Penyebaran Hutan Rakyat....................... 11
Perhutanan Sosial............................................................................... 13
Pola Hutan Rakyat .............................................................................. 14
Pengelolaan Hutan Rakyat .................................................................. 14
METODOLOGI PENELITIAN
Waktu Penelitian dan Tempat Penelitian............................................. 18
Bahan dan Alat ................................................................................... 18
Objek dan Data Kegiatan .................................................................... 18
Metode Pengumpulan Data................................................................. 19
Analisis Data ...................................................................................... 21

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN


Kondisi Geografis .............................................................................. 23
Letak dan Geografis ........................................................................... 23
Keadaan Alam/Topografi Iklim .......................................................... 24
Demografi/Kependudukan .................................................................. 24
Mata Pencaharian ............................................................................... 25
Kondisi Sosial Ekonomi Penduduk ..................................................... 25
Elmira Safitri : Identifikasi Dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kecamatan Biru-Biru, 2009.

Sarana dan Prasarana .......................................................................... 26


HASIL DAN PEMBAHASAN
Kegiatan dan Bentuk Pengelolaan Hutan Rakyat ................................ 28
Karakteristik Hutan Rakyat ................................................................ 41
Pola Hutan Rakyat .............................................................................. 41
Pola Penggunaan Lahan...................................................................... 41
Struktur Tegakan dan Rasio Pohon ..................................................... 42
Potensi Hutan Rakyat ......................................................................... 45
Manfaat Ekonomi yang Diperoleh dari Hutan Rakyat ......................... 48

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan ........................................................................................ 54
Saran .................................................................................................. 55
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. .......56
LAMPIRAN ........................................................................................... .......58

Elmira Safitri : Identifikasi Dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kecamatan Biru-Biru, 2009.

DAFTAR TABEL
Halaman
1. Pola Penggunaan Lahan Lokasi Penelitian (Kecamatan Biru-Biru) ....... 24
2. Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Mata Pencaharian di Lokasi ......... 25
Penelitian Tahun 2007
3. Bentul Pengelolaan Hutan Rakyat ........................................................ 39
4. Pola Penggunaan Lahan di Kecamatan Biru-biru .................................. 41
3. Hubungan antara kelas diameter dan jumlah batang .............................. 43
4. Taksiran Potensi Tegakan tanaman Hutan Rakyat pada ........................ 46
Setiap Lahan Responden
6. Kontribusi Hutan Rakyat terhadap Pendapatan Rumah ......................... 49
Tangga Petani tahun 2008 2009

Elmira Safitri : Identifikasi Dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kecamatan Biru-Biru, 2009.

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Sarana Produksi di Kecamatan Biru-Biru .............................................. 27
2. Jalur Pemasaran Hasil Hutan Rakyat Kecamatan Biru-biru .................... 35
3. Rantai Pemasar Buah Duku .................................................................. 35
4. Jalur Pemasaran Coklat ........................................................................ 36
5. Jalur Pemasaran Buah Durian ............................................................... 37
6. Hubungan antara kelas diameter dan jumlah batang .............................. 43
7. Tanaman yang memiliki kelas umur yang seragam ............................... 44
8. Rasio pohon kayu dan pohon buah ....................................................... 44
9. Persentase potensi tegakan Hutan Rakyat ............................................ 47

Elmira Safitri : Identifikasi Dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kecamatan Biru-Biru, 2009.

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Data Pengukuran Potensi Plot Contoh Tanaman Hutan Rakyat ......... 59
2. Sumber-Sumber Pendapatan Petani Tahun 2008-2009
Kecamatan Biru-Biru ..................................................................... 108
3. Data Responden Petani Hutan Rakyat ............................................. 109
4. Tabel Plot Contoh pada Setiap Lahan Hutan Rakyat Responden ..... 110
5. Surat Keterangan Pemilik Tanah .................................................... 111
6.

Gambar Hutan Rakyat Hasil Penelitian di Lapangan ...................... 112

Elmira Safitri : Identifikasi Dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kecamatan Biru-Biru, 2009.

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang besar peranannya
dalam berbagai aspek kehidupan baik aspek ekonomi, sosial, pembangunan dan
lingkungan. Hutan dan ekosistemnya sebagai modal dasar pembangunan nasional
dengan keanekaragaman flora dan fauna yang dapat memberikan manfaat bagi
kehidupan manusia. Kawasan hutan alam mengalami penurunan yang cukup
signifkan, hal ini seiring juga terjadinya penurunan dari segia kualitas hutan
sebagai fungsinya. Menurut Reksohadiprojo (1994), pentingnya hutan bagi
kehidupan sosial ekonomi suatu masyarakat kini dirasakan semakin meningkat,
hal ini menurut kesadaran untuk mengelola sumber daya hutan tidak hanya dari
segi finansial saja namun diperluas menjadi pengelolaan sumber daya hutan
secara utuh.
Salah satu upaya untuk menunjang keseimbangan ekosistem alam dan
kebutuhan ekonomi adalah pembentukan hutan rakyat. Hutan rakyat sudah
berkembang sejak lama di kalangan masyarakat Indonesia meskipun dilakukan
secara tradisional. Pada saat ini hasil kayu dari kawasan hutan negara tidak bisa
diandalkan lagi, baik hasil kayu sebagai bahan baku kayu pertukangan, kayu pulp,
maupun kayu bakar. Perkiraan kebutuhan kayu oleh industri perkayuan nasional
sebesar 64,3 juta m3 per tahun, sedangkan yang dapat dipenuhi secara lestari
sebesar 25,4 juta m3, sehingga setiap tahun terdapat kekurangan sebesar 38,9 juta
m3 (Usman 2001). Data dari BP2HP Wilayah II Medan pada tahun 2005
menyebutkan bahwa kebutuhan kayu bulat rata-rata untuk industri di Sumatera
Elmira Safitri : Identifikasi Dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kecamatan Biru-Biru, 2009.

Utara adalah 2,5 juta m/tahun dengan produksi kayu rata-rata 1,5 juta m/tahun
sehingga terdapat kekurangan sebesar 1 juta m/tahun. Usman (2001 dalam
Sanudin dan Harianja, 2008).
Hutan rakyat merupakan salah satu model pengelolaan sumberdaya alam
yang berdasarkan inisiatif masyarakat. Yang mana hutan rakyat ini dibangun
secara swadaya oleh masyarakat, ditujukan untuk menghasilkan kayu atau
komoditas ikutannya yang secara ekonomis bertujuan untuk meningkatkan
pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Hal ini dapat di lihat dari adanya hutan
rakyat tradisional yang di usahakan masyarakat sendiri tanpa campur tangan
pemerintah (swadaya murni), baik berupa tanaman satu jenis (hutan rakyat mini),
maupun dengan pola tanaman campuran (agroforestry) (Awang, 2005).
Keberadaan hutan rakyat tidaklah semata-mata akibat interaksi alami
antara komponen botani, mikro organisme, mineral tanah, air dan udara,
melainkan juga adanya peran manusia dan kebudayaannya. Kreasi budaya yang
dikembangkan dalam interaksinya dengan hutan, berbeda-beda antar kelompok
masyarakat (Awang, 2005). Oleh karena itu diperlukan suatu kajian tentang
potensi dan kondisi hutan rakyat, serta menyusun sistem informasi tentang hutan
rakyat, sehingga hutan rakyat dapat dikelola secara lestari (BPS, 2006).
Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti tertarik melakukan kajian untuk
mengidentifikasi dan menginventarisasi pengelolaan hutan rakyat di Kecamatan
Biru-biru.

Elmira Safitri : Identifikasi Dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kecamatan Biru-Biru, 2009.

Perumusan Masalah
Hutan rakyat merupakan hutan yang dimiliki oleh masyarakat yang
dinyatakan oleh kepemilikan lahan dan dikatakan juga sebagai hutan milik.
Manfaat yang diperoleh dari hutan rakyat sangat dirasakan masyarakat, selain
sebagai investasi ternyata juga dapat memberi tambahan penghasilan yang dapat
diandalkan. Secara ekonomi hutan rakyat memberikan pendapatan dalam rumah
tangga dengan hasilnya berupa obat-obatan, kayu pertukangan, dan bahkan
memberikan hasil secara periodik misalnya dengan menjual kayu bakar. Menurut
Sukadaryati (2006), potensi hutan rakyat di Indonesia mencakup populasi jumlah
pohon ini diharapkan mampu menyokong bahan baku untuk industri. Berdasarkan
data yang dihimpun dari dinas yang menangani kehutanan tingkat kabupaten di
seluruh Indonesia luas hutan rakyat adalah 1.568.415,64 ha (Anonim, 2005).
Masyarakat pemilik lahan kini semakin sadar akan manfaat hutan rakyat. Mereka
tetap melakukan peremajaan setelah mereka menebang pohon sehingga jumlah
dan luas hutan tetap dipertahankan bahkan kalau perlu ditambah. Oleh karena itu
pengelolaan hutan rakyat perlu dikembangkan selain untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan, juga
mampu mendukung kebutuhan industri kehutanan. Sejalan dengan kegiatan
GNRHL yang dilakukan di hutan rakyat, peran aktif masyarakat sekitar lokasi
tetap diperlukan dalam kegiatan penanaman, pemeliharaan hingga menjaga
keamanan (Anonim, 2006).
Tingkat pertumbuhan yang tinggi ini menunjukkan bahwa masyarakat
benar-benar memelihara tanaman dengan baik dan menjaganya dari gangguan

Elmira Safitri : Identifikasi Dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kecamatan Biru-Biru, 2009.

keamanan. Namun demikian ada beberapa permasalahan yang dijumpai dalam


pengembangan hutan rakyat ini, yaitu :
1) Pengelolaan hutan rakyat masih sangat tergantung pada pemilik lahan
begitu juga penentuan jenis pohon yang akan ditanam sangat ditentukan
oleh pemilik lahan, karena mereka menginginkan jenis pohon tertentu
untuk ditanam di lahan miliknya. Hal ini dapat menghambat pemerataan
jenis tanaman di lahan hutan rakyat.
2) Sulitnya mengendalikan kegiatan penebangan pohon yang dilakukan di
lahan hutan rakyat. Hal ini terkait dengan belum adanya landasan hukum
(Peraturan Pemerintah/Peraturan Daerah)

yang

mengatur kegiatan

pemanenan tersebut. Terlebih lagi bila masyarakat pemilik lahan


dihadapkan pada persoalan ekonomi, masyarakat akan menjualnya tanpa
memperhatikan apakah pohon tersebut masih muda atau sudah pantas
untuk dipanen, yang penting ada pedagang yang mau membelinya.
Potensi pohon di hutan rakyat memiliki prospek untuk dikembangkan
dalam rangka menggantikan peran hutan yang hilang akibat kerusakan alam. Oleh
karena itu, perlu perhatian khusus dari pemerintah dan pihak lembaga swadaya
masyarakat. Faktor-faktor yang menjadi kekuatan, kelemahan, peluang dan
ancaman serta berapa besar daya dukung masyarakat untuk lebih mengembangkan
kegiatan pengusahaan hutan rakyat adalah sangat tergantung dari sistem
pengelolaaannya. Berbagai bentuk dan pola hutan rakyat secara umum memiliki
perbedaan dan karakteristik yang unik. Informasi sangat penting sebagai bahan
pertimbangan dalam pengambilan keputusan perencanaan, pengelolaan, dan
monitoring hutan rakyat. Data dan informasi ini belum terkelola dengan baik,

Elmira Safitri : Identifikasi Dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kecamatan Biru-Biru, 2009.

sehingga proses perencanaan, pengelolaan dan monitoring hutan rakyat belum


optimal.

Salah satu kendala dalam perencanaan dan monitoring pengelolaan

hutan rakyat adalah ketersediaan informasi penting tentang sumberdaya hutan


rakyat, dimana ketersedian informasi ini akan sangat menunjang dalam kegiatan
operasional, pengendalian manajerial, dan perencanaan strategis pengelolaan
hutan rakyat. Informasi yang akurat dan cukup detail akan membantu dalam
pengelolaan hutan rakyat sehingga memiliki keunggulan kompetitif untuk
pencapaian tujuan pengelolaan yang optimal dan berkelanjutan. Berkaitan dengan
masalah tersebut di atas, timbul beberapa pertanyaan yang merupakan ruang
lingkup kajian dalam penelitian, yaitu :
1. Bagaimana kegiatan pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan oleh pemilik
dan sekaligus pengelolaan hutan rakyat di Kecamatan Biru-biru Kabupaten
Deli Serdang
2. Berapa besar potensi hutan rakyat di Kecamatan Biru-biru Kabupaten Deli
Serdang
3. Seberapa besar pengaruh ekonomi hutan rakyat berupa tambahan pendapatan
masyarakat di Kecamatan Biru-biru Kabupaten Deli Serdang.

Tujuan Penelitian
1. Mengidentifikasi kegiatan pengelolaan hutan rakyat di Kecamatan Biru-biru
Kabupaten Deli Serdang
2. Mengetahui beberapa karakteristik hutan rakyat (pola pengelolaan, pola
penggunaan lahan, struktur tegakan dan rasio antara pohon kayu dan pohon
buah).

Elmira Safitri : Identifikasi Dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kecamatan Biru-Biru, 2009.

3. Mengetahui potensi tegakan hutan rakyat.


4. Mengetahui manfaat ekonomis hutan rakyat berupa tambahan pendapatan
masyarakat.

Manfaat Penelitian
Tersedianya informasi potensi sumberdaya hutan rakyat di Kecamatan
Biru-biru Kabupaten Deli Serdang yang berguna dalam mendukung kegiatan
operasional, pengendalian manajerial, dan perencanaan strategis pengelolaan
hutan rakyat yang terintegrasi dan lestari. Dan sebagai bahan masukan kepada
pemerintah daerah, stake holders dan berbagai pihak pengelola yang terlibat di
dalamnya dalam pengembangan pengelolaan hutan rakyat di Kecamatan Biru-biru
Kabupaten Deli Serdang .

Elmira Safitri : Identifikasi Dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kecamatan Biru-Biru, 2009.

TINJAUAN PUSTAKA

Hutan Rakyat
Pengertian Hutan Rakyat
Hutan rakyat dalam pengertian menurut Undang-undang No.41/1999
tentang kehutanan adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak
milik. Definisi ini diberikan untuk membedakannya dari hutan negara, yaitu hutan
yang tumbuh di atas tanah yang tidak dibebani hak milik atau tanah negara. Dari
sudut pandang pemerintah mengatakan bahwa keberhasilan pembangunan hutan
rakyat karena ada dukungan progam penghijauan dan kegiatan pendukung seperti
demplot dan penyuluhan. Hutan rakyat atau hutan milik adalah semua hutan yang
ada di Indonesia yang tidak berada di atas tanah yang dikuasai oleh pemerintah,
dimiliki oleh masyarakat, proses terjadinya dapat dibuat oleh manusia, dapat juga
terjadi secara alami, dan dapat juga karena upaya rehabilitasi tanah kritis
(Jaffar, 1993).
Majalah Kehutanan Indonesia (1995, dalam Novel, 2005), menyatakan
bahwa pada prinsipnya pengertian hutan rakyat adalah status hak milik (hutan
milik) di luar kawasan hutan dengan penanaman pohon-pohonan secara intensif
juga penanaman tanaman yang lebih dikenal tumpangsari. Hutan Rakyat
merupakan salah satu kegiatan perhutanan sosial yang dilaksanakan pada tanah
yang dibebani (hak milik/hutan rakyat) yang ditanami secara intensif oleh
masyarakat baik perorangan dan kelompok yang berupa tanaman kayu-kayuan.
Program hutan rakyat merupakan salah satu alternatif dalam rangka mewujdkan
pengelolaan hutan rakyat lestari.
Elmira Safitri : Identifikasi Dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kecamatan Biru-Biru, 2009.

Sejarah Perkembangan Hutan Rakyat


Istilah hutan rakyat sudah lebih lama digunakan dalam program-program
pembangunan kehutanan dan disebut dalam Undang-Undang Pokok Kehutanan
(UUPK) tahun 1967 dengan terminologi hutan milik. Di Jawa, hutan rakyat
dikembangkan pada tahun 1930-an oleh pemerintah kolonial. Setelah merdeka,
pemerintah Indonesia melanjutkan pada tahun 1952 melalui gerakan Karang
Kitri. Secara nasional, pengembangan hutan rakyat selanjutnya berada di bawah
payung program penghijauan yang diselenggarakan pada tahun 1960-an dimana
Pekan Raya Penghijauan I diadakan pada tahun 1961. Sampai saat ini hutan rakyat
telah diusahakan di tanah milik yang diakui pada tingkat lokal (tanah adat). Di
dalam hutan rakyat ditanam aneka pepohonan yang hasil utamanya bisa beraneka
ragam. Untuk hasil kayu misalnya, sengon (Paraserianthes falcataria), jati
(Tectona grandis), akasia (Acacia sp), mahoni (Swietenia mahagoni) dan lain
sebagainya. Sedang yang hasil utamanya getah antara lain kemenyan (Styrax
benzoin), damar (Shorea javanica). Sementara itu yang hasil utamanya berupa
buah antara lain kemiri, durian, kelapa dan bambu
(Suharjito dan Darusman, 1998).
Beberapa manfaat dari hutan rakyat antara lain dapat merehabilitasi dan
meningkatkan produktivitas lahan-lahan kritis dan lahan yang tidak produktif,
membantu masyarakat dalam menyediakan kayu bahan bangunan dan bahan baku
industri, memperbaiki tata air dan lingkungan, dan dapat meningkatkan
pendapatan masyarakat pemilik/penggarap hutan rakyat.

Elmira Safitri : Identifikasi Dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kecamatan Biru-Biru, 2009.

Sasaran pembangunan hutan rakyat adalah lahan milik dengan kriteria :


(Jaffar, 1993)
1. areal kritis dengan keadaan lapangan berjurang dan bertebing yang
mempunyai kelerengan lebih dari 30%;
2. areal kritis yang telah diterlantarkan atau tidak digarap lagi sebagai lahan
pertanian tanaman pangan semusim;
3. areal kritis yang karena pertimbangan-pertimbangan khusus seperti untuk
perlindungan mata air dan bangunan pengairan perlu dijadikan areal tertutup
dengan tanaman tahunan;
4. lahan milik rakyat yang karena pertimbangan ekonomi lebih menguntungkan
bila dijadikan hutan rakyat daripada untuk tanaman semusim.
Unsur-unsur hutan rakyat dalam materi dan penjelasan Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 dicirikan antara lain:
a. Hutan yang diusahakan sendiri, bersam orang lain atau badan hukum.
b. Berada diatas tanah milik atau hak lain berdasarkan aturan perundangundangan.
c. Dapat dimiliki berdasarkan penetapan Menteri Kehutanan.
Dalam kepustakaan ilmu kehutanan dapat ditemukan istilah Hutan rakyat,
hutan rakyat ini dapat mencakup hutan individu, hutan kelompok, hutan keluarga,
hutan kolektif. Dengan demikian membuat klasifikasi tentang hutan dapat
bermacam-macam dengan dasar klasifikasi yang berbeda, namun konsisten dan
sepadan (apakah menurut jenis, habitat, status hak atau pelaku). Istilah hutan
rakyat tidak dikenal dalam bahasa kelompok-kelompok masyarakat pengelola

Elmira Safitri : Identifikasi Dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kecamatan Biru-Biru, 2009.

hutan, meskipun dalam undang-undang kehutanan disebutkan bahwa hutan hak


yang berada pada tanah yang dibebani hak milik lazim disebut hutan rakyat. Kata
lazim di sini menurut pihak pembuat undang-undang, tetapi tidak lazim dalam
masyarakat. Istilah yang digunakan berbeda-beda antarkelompok masyarakat, ada
talun, leuweung, wono, lembo, tembawang, repong, tombak dan lain-lain sebutan
(Dephut, 1974).
Pengelompkan jenis-jenis tanaman di suatu hamparan lahan ditentukn oleh
kemampuan jenis tersebut untuk berasosiasi dengan jenis lainnya. Perubahan
komposisi jenis dalam suatu hamparan lahan tergantung pada kompetisi diantara
jenis-jenis yang ada perbedaan kemampuan jenis-jenis untuk berkembang menjadi
pohon yang masak pada keadaan tertentu (Brower dan Zar, 1977).

Konsepsi kehutanan masyarakat


Konsepsi kehutanan masyarakat (community forestry) sebenarnya relatif
baru karena community forestry (CF) muncul sebagai tanggapan dari kegagalan
konsep indusrialisasi kehutanan yang populer pada sekitar tahun 1960-an. Yang
menarik, penggagas CF justru ekonom kehutanan yang merasa bersalah karena
terlibat dalam inisiatif industrialisasi kehutanan. Orang itu bernama Jack Westoby
(Munggoro, 1998). Ia kemudian tercatat sebagai salah seorang yang banyak
terlibat dalam gagasan tema pokok Kongres Kehutanan Dunia VIII yang
diselenggarakan pada tahun 1978 di Jakarta : Forest for People. Kristalisasi
pikiran-pikirannya tentang CF ini kemudian banyak dipublikasikan FAO. Dan
kemudian pada tahun 1983, secara resmi FAO mendefinisikan CF sebagai :

Elmira Safitri : Identifikasi Dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kecamatan Biru-Biru, 2009.

konsep radikal kehutanan yang berintikan partisipasi rakyat, artinya rakyat


diberi wewenang merencanakan dan memutuskan sendiri apa yang mereka
kehendaki. Hal ini berarti memfasilitasi mereka dengan saran dan masukan yang
diperlukan untuk menumbuhkan bibit, menanam, mengelola dan melindungi
sumber daya hutan milik mereka dan memperoleh keuntungan maksimal dari
sumber daya itu dan memanennya secara maksimum. CF didedikasikan sebagai
gagasan untuk meningkatkan keuntungan langsung sumber daya hutan kepada
masyarakat pedesaan yang miskin (Awang, dkk, 2001).
Beberapa tahun terakhir ini, konsepsi kehutanan masyarakat (CF) sering
dikonfrontasikan dengan konsep perhutanan sosial yang merupakan terjemahan
dari social forestry (SF). Konsepsi SF lebih dikonotasikan sebagai bentuk
pengusahaan kehutanan yang dimodifikasi supaya keuntungan yang diperoleh dari
pembalakan kayu didistribusikan kepada masyarakat lokal. Dan kemudian di
Indonesia Perum Perhutani sebagai salah satu pelopor SF di Indonesia
mendefinisikan bahwa SF adalah : Suatu sistem dimana masyarakat lokal
berpartisipasi dalam manajemen hutan dengan tekanan pada pembuatan hutan
tanaman. Tujuan sistem SF adalah reforestasi yang jika berhasil akan
meningkatkan fungsi hutan, dan pada saat yang bersamaan meningkatkan
kesejahteraan sosial (Awang, dkk, 2001).

Konsepsi Hutan Rakyat dan Penyebaran Hutan Rakyat


Istilah Hutan Rakyat merupakan fenomena yang relative baru untuk
Indonesia. Oleh karena itu dalam UUPK No.5 Tahun 1967 tentang Ketentuan
Pokok Kehutanan, perihal istilah hutan rakyat juga belum dimasukkan secara

Elmira Safitri : Identifikasi Dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kecamatan Biru-Biru, 2009.

proporsional. Di dalam undang-undang tersebut istilah yang digunakan adalah


hutan milik, yaitu lahan milik rakyat yang ditanami dengan pepohonan
(Simon, 1998). Sementara itu Departemen Kehutanan mendefinisikan bahwa
hutan rakyat adalah : Suatu lapangan di luar hutan Negara yang didominasi oleh
pohon-pohonan, sedemikian rupa sehingga secara keseluruhan merupakan
persekutuan hidup alam hayati beserta lingkungannya (Dephut, 1998).
Definisi ini sesungguhnya hanyalah untuk membedakan hutan yang
tumbuh di lahan negara dan lahan milik rakyat. Sedangkan menurut Kamus
Kehutanan (1990), hutan rakyat adalah :Lahan milik rakyat atau milik adat atau
ulayat yang secara terus menerus diusahakan untuk usaha perhutanan yaitu jenis
kayu-kayuan, baik tumbuh secara alami maupun hasil tanaman.
Tujuan pembangunan hutan rakyat adalah : ( Jaffar, 1993 )
1. meningkatkan produktivitas lahan kritis atau areal yang tidak produktif secara
optimal dan lestari;
2. membantu penganekaragaman hasil pertanian yang dibutuhkan masyarakat;
3. membantu masyarakat dalam penyediaan kayu bangunan dan bahan baku
industri serta kayu bakar;
4. meningkatkan pendapatan masyarakat tani di pedesaan sekaligus meningkatkan
kesejahteraannya;
5. memperbaiki tata air dan lingkungan, khususnya pada lahan milik rakyat yang
berada di kawasan perlindungan daerah hulu DAS.

Penanaman pepohonan di tanah milik masyarakat oleh pemiliknya, yang


tanamannya sekarang dikenal sebagai hutan rakyat, merupakan salah satu butir
kearifan masyarakat agraris dalam rangka memenuhi berbagai kebutuhan rumah
Elmira Safitri : Identifikasi Dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kecamatan Biru-Biru, 2009.

tangganya.

Dengan

semakin

meningkatnya

jumlah

penduduk

berikut

kebutuhannya, serta semakin terbatasnya kepemilikan tanah, peran hutan rakyat


bagi kesejahteraan masyarakat semakin penting. Pengetahuan tentang kondisi
tanah dan faktor-faktor lingkungannya untuk dipadukan dengan pengetahuan
mengenai jenis-jenis pohon yang akan ditanam untuk mendapatkan hasil yang
diharapkan oleh pemilik lahan, merupakan faktor yang menentukan keberhasilan
pembangunan hutan rakyat. Keempat jenis pohon yang disajikan dalam tulisan ini
tergolong jenis pohon multi guna (multi purpose tree species), dapat beradaptasi
pada berbagai jenis dan kondisi tanah dan iklim, tumbuh cepat, dan tidak
memerlukan pemeliharaan intensif, sehingga cocok untuk dibudidayakan dalam
bentuk hutan rakyat.

Perhutanan sosial
Penyelenggaraan

progran Perhutanan sosial

pertama kali digunakan

dalam penyelenggaraan program oleh Perum Perhutani di Jawa pada tahun 1986
dan proyek percontohan oleh Kantor Wilayah Departemen Kehutanan, yaitu di
Belangian, Kalaan dan selaru Kalimantan timur, Ormu, dan Parieri Irian jaya.
Semua

kegiatan

memperoleh

dukungan

dari

The

for

Fondation.

Pengembangannya oleh Perum Perhutani di Jawa merupakan penyempurnaan


program-program Prosperity Approach, yaitu intensifikasi tumpang sari dan
PMDH (Pembangunan Masyarakat Desa Hutan). Pada awalnya perkembangan
Perhutani kegiatan perhutanan sosial meliputi kegiatan dalam kawasan hutan yaitu
pengembangan agroforestri yang merupakan pengembangan pola-pola tanam
yang lebih intensif sehingga masyarakat memperoleh manfaat lebih besar dengan

Elmira Safitri : Identifikasi Dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kecamatan Biru-Biru, 2009.

upaya melebarkan jarak tanam dan mengembangkan tanaman buah-buahan


tahunan dalam program tumpang sari (Awang dkk, 2001).

Pola Hutan Rakyat

Berdasarkan kepemilikan jenis lahan, usahatani yang dilakukan oleh petani


hutan rakyat secara fisik memiliki pola tanam yang sangat beragam. Akan tetapi
sebagian besar hutan rakyat pada umumnya menggunakan pola tanam campuran
(wanatani), yaitu campuran tanaman pangan dengan tanaman kayu-kayuan.
Menurut Munawar (1986, dalam Awang, 2001), Berdasarkan pola tanam, hutan
rakyat diklasifikasikam menjadi 3 yaitu:

a. penanaman di sepanjang batas milik


b. penanaman pohon di teras bangku
c. penanaman pohon di seluruh lahan milik

Pola-pola tersebut secara arif dikembangkan masyarakat sesuai dengan


tingkat kesuburan lahan dan ketersedian tenaga kerja. Tujuan pengembangan pola
seperti yang telah disebutkan di atas adalah dalam rangka meningkatkan produksi
lahan secara optimal, baik di lihat dari nilai ekologi maupun ekonomi. Sementara
itu berdasarkan Rencana Pengembangan Hutan Rakyat yang disusun oleh Kanwil
Daerah Istimewa Yogyakarta, pola-pola hutan rakyat meliputi kayu-kayuan, buahbuahan, HMT (Hijauan Makanan Ternak) dan campuran, kebun, pangan, dan
hortikultura serta Tegalan (Awang, 2001).

Elmira Safitri : Identifikasi Dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kecamatan Biru-Biru, 2009.

Pengelolaan Hutan Rakyat


Menurut Simon (1998, dalam Awang dkk, 2001) perkembangan teori
pengelolaan hutan rakyat dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori yaitu
kategori kehutanan konvensional dan kehutanan modern (kehutanan sosial). Teori
pengelolaan hutan yang termasuk ke dalam kehutanan konvensional adalah
penambangan kayu atau timber extraction (TE) dan perkebunan kayu atau timber
management (TM). Sementara itu yang termasuk kedalam golongan kehutanan
sosial adalah pengelolaan hutan sebagai sumber daya atau forest resource
management (FRM) dan pengelolaan hutan sebagai ekosistem atau forest
ecosystem management (FEM). Keempat teori pengelolaan hutan tersebut, secara
evolutif berkembang, sejak dari mulai penerbangan kayu (TE) hingga sampai pada
pengelolaan ekosistem hutan (FEM).
Hutan rakyat dikelola oleh masing-masing pemilik dengan basis sistem
hutan rakyat (SHR). Istilah ini memang belum banyak dikenal dalam literatur atau
berbagai macam penelitian oleh mahasiswa dan staf peneliti lainnya. Selama ini
hutan rakyat hanya dilihat sebagai kumpulan pohon-pohon yang tumbuh dan
berkembang di atas lahan milik rakyat. Sehingga banyak dijumpai dalam
kalkulasi-kalkulasi ekonomi hutan rakyat yang

kurang muncul kepermukaan

adalah soal yang berkaitan dengan hasil kayu saja. Harus diakui pula bahwa
diantara pengertian hutan rakyat dan sistem hutan rakyat masih harus
diperdebatkan, tetapi harus disesuaikan dengan konteks sosial, ekonomi dan
budaya masyarakat setempat. Fakultas kehutanan tentang hutan rakyat, sering kali
menghitung kontribusi pendapatan hutan rakyat terhadap pendapatan keluarga
tani. Umumnya perhitungan pendapatan hutan rakyat tersebut hanya berasal dari

Elmira Safitri : Identifikasi Dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kecamatan Biru-Biru, 2009.

unsur kayunya saja. Hal ini terjadi karena komoditi yang dilihat dari hutan rakyat
hanya pohon-pohon saja (Awang, dkk, 2002).
Pengelolaan hutan rakyat dilaksanakan oleh organisasi masyarakat baik
pada lahan individu, komunal (bersama), lahan adat, maupun lahan yang dikuasai
oleh negara. Hutan rakyat tersusun dari satuan ekosistem kehidupan mulai dari
tanaman keras, non kayu, satwa, buah-buahan, satuan usaha tani semusim,
peternakan, barang dan jasa, serta rekreasi alam. Bentuk dan pola hutan rakyat di
Indonesia sebagai inisiatif masyarakat adalah antara lain : hutan rakyat sengon,
hutan rakyat jati, hutan rakyat campuran, hutan rakyat suren di Bukit Tinggi
(disebut Parak), dan hutan adat campuran (Awang, 2001).
Pengelolaan hutan rakyat bertujuan untuk mencapai esistensi masyarakat
desa hutan rakyat dengan proses pembangunan yang memuat berbagai proses,
yang terdiri dari : perubahan perencanaan (planned change), Transformasi
structural (structural transformation), otonomi, (autonomy) dan keberlanjutan,
(suistainability). Perubahan terencana menekankan pada keterlibatan Masyarakat
dalam pengelolaan hutan sejak tahap awal (perencanaan sampai pada tahap
pemasaran hasil). Dengan demikian keterlibatan masyarakat sebagai pemilik lahan
hutan rakyat adalah sebuah syarat yang harus dipenuhi untuk menjamin adanya
perencanaan yang sesuai dengan kondisi dan kemauan masyarakat sebagai
pengelola hutan rakyat. Transformasi struktural adalah suatu proses terciptanya
struktur secara mendasar dan lebih baik yang berisikan pemberdayaan yang
memberikan ruang agar masyarakat dapat mengembangkan kebudayaannya,
otonomi adalah cara untuk mengembalikan wewenag pengelolaan hutan kepada
masyarakat

yang bertujuan untuk peningkatan ekonomi rakyat dengan

Elmira Safitri : Identifikasi Dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kecamatan Biru-Biru, 2009.

memberikan posisi yang sama dengan stakeholder kehutanan lainnya. Konsep


keberlanjutan mewajibkan adanya tanggung jawab generasi masa sekarang dalam
mengelola kehutanan tanpa mengurangi kesempatan generasi akan dating untuk
menikmati hal yang sama dengan memperhatikan kelestarian fungsi-fungsi hutan
( Awang, 2001).

Elmira Safitri : Identifikasi Dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kecamatan Biru-Biru, 2009.

METODE PENELITIAN

Lokasi Dan Waktu Penelitian


Penelitian dilaksanakan di empat Desa, yakni; Desa Biru-biru, Rumah
Gerat, Kuala Deka dan Desa Sarilaba Jahe di Kecamatan Biru-biru Kabupaten
Deli Serdang mulai bulan Desember sampai dengan Maret 2009.

Bahan dan Alat


Bahan dan peralatan yang digunakan dalam kegiatan ini adalah :
1. Peta wilayah kabupaten dan dokumen lain yang berkaitan dengan lokasi studi.
2. Kuesioner untuk mengumpulkan data sekunder maupun primer.
3. Laporanlaporan hasil penelitian (individu dan lembaga) terdahulu dan
berbagai pustaka penunjang sebagai sumber data sekunder untuk melengkapi
pengamatan langsung di lapangan.
4. Kamera untuk dokumentasi dan visualisasi obyek kegiatan guna kelengkapan
pelaporan.
5. Alat inventarisasi hutan (pita ukur, tali rafia, clinometer, dan tally sheet).

Objek dan Data Kegiatan


1. Objek Kegiatan
Kegiatan ini melibatkan pihak yang terkait dengan pengelolaan dan hutan
rakyat di wilayah studi, dengan objek penelitian :
1.1. Aparat desa, tokoh masyarakat, dan masyarakat setempat pengelola hutan
rakyat
Elmira Safitri : Identifikasi Dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kecamatan Biru-Biru, 2009.

1.2. Kawasan hutan rakyat, kebun maupun ladang


2. Data Penelitian
Data penelitian yang diambil adalah data sekunder dan data primer. Data
sekunder yang dikumpulkan antara lain adalah : kondisi umum lokasi penelitian
atau data umum yang ada pada instansi pemerintahan desa dan kecamatan.
Sedangkan data primer yang dikumpulkan antara lain adalah data sosial ekonomi
masyarakat, bentuk pengelolaan dan hasil penelitian yang terkait dengan tujuan
penelitian.

Pengumpulan Data
1. Pengambilan Sampel
1.1. Sampel Desa
Jumlah Sampel di ambil secara sensus. Menurut Arikunto (1996), apabila
subyeknya kurang dari 100 lebih baik diambil semuanya sehingga penelitian
merupakan penelitian populasi, namun jika subyeknya besar dapat diambil antara
10 sampai 15 % atau lebih.
1.2. Sampel Responden
Responden yang diambil dalam penelitian ini 11 KK karena dari hasil
penelitian hanya 11 KK yang memiliki lahan hutan rakyat yang berada di lokasi
penelitian.
1.3. Sampel Pohon
Sampel pohon diambil untuk memperoleh data potensi tegakan. Data
potensi tegakan diperoleh dengan membuat 3 plot contoh berbentuk lingkaran
dengan jari-jari 17,8 meter dan luas masing-masing plot 0,1 ha pada masing-

Elmira Safitri : Identifikasi Dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kecamatan Biru-Biru, 2009.

masing lahan pemilik hutan rakyat (responden). Lalu dihitung jumlah pohon
dalam plot dan diukur diameter setinggi dada dan tinggi bebas cabang pohonnya.

2. Teknik dan Tahapan Pengambilan Data


Pengambilan data dilakukan secara langsung di lapangan sebagai berikut :
(1) Identifikasi jenis dan inventarisasi tanaman hutan yang dibudidayakan
masyarakat di wilayah studi.
(2) Melakukan observasi dan analisis pengelolaan tanaman hutan rakyat yang
ada di lapangan untuk memperoleh informasi mengenai proses
pengelolaannya.
(3) Wawancara dan diskusi dengan menggunakan kuesioner terhadap para
pelaku (aktor utama) yang mewakili dan para pihak pemangku
kepentingan dalam pengelolaan tanaman hutan rakyat.
(4) Keseluruhan data, baik primer maupun sekunder selanjutnya diedit dan
ditabulasikan sesuai dengan kebutuhan sebelum dilakukan pengolahan dan
analisis data. Data primer yang bersifat kualitatif dianalisis secara
deskriptif sesuai dengan tujuan penelitian, serta dilakukan analisis para
pihak untuk mengidentifikasi pihak-pihak yang terkait dalam pengelolaan
hutan rakyat. Sedangkan data yang bersifat kuantitatif diolah secara
tabulasi.
Teknik untuk memperoleh informasi dan data dari responden dilakukan dengan:
a. Wawancara
Informasi yang diperoleh dari setiap responden meliputi :
(a) Identifikasi diri responden.

Elmira Safitri : Identifikasi Dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kecamatan Biru-Biru, 2009.

(b) Luas lahan yang digunakan untuk tanaman hutan rakyat.


(c) Jenis kegiatan yang dilakukan dalam pengelolaan tanaman hutan rakyat atau
teknis budidayanya (penyiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, dan
pemanenan) serta waktu kegiatan tersebut dilakukan.
(d) Kebutuhan input untuk kegiatan budidaya hutan rakyat dan harga input yang
digunakan.
(e) Metode penjualan hasil kayu yang dilakukan petani dan harga jualnya

b. Pengukuran langsung di lapangan


Pengukuran potensi tanaman hutan rakyat yang dibudidayakan yang meliputi
jenis, sebaran diameter, tinggi pohon, Tinggi bebas cabang, dan volume
tegakan.

Analisis Data
1. Potensi Tanaman Hutan Rakyat
Potensi tegakan diukur dengan membuat 3 petak ukur contoh berbentuk
lingkaran dengan diameter 17,8 meter dan luas 0,1 Ha pada masing-masing lahan
responden. Lalu dihitung jumlah pohon yang ada dalam plot dan diukur diameter
setinggi dada dan tinggi bebas cabang pohonnya. Alat yang digunakan antara lain
adalah pita ukur, clinometer, tali rafia dan galah. Pendugaan potensi kayu tanaman
hutan rakyat dimulai dengan perhitungan potensi tanaman hutan rakyat yang
dimiliki oleh setiap responden pada desa kajian. Data dari hasil inventarisasi kayu
di tanaman hutan rakyat kemudian dapat dihitung parameter-parameter

Elmira Safitri : Identifikasi Dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kecamatan Biru-Biru, 2009.

tegakannya yang meliputi jenis pohon, jumlah pohon, luas bidang dasar (lbds),
dan volume per satuan luas.
Lbds dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :
Lbds = 0,25 x x Di
Dimana :
Lbds

: luas bidang dasar tegakan (m)

Di

: diameter batang (tinggi pengukuran 1,3 m) untuk pohon jenis i (m)

Penghitungan volume tegakan berdiri tanaman hutan rakyat dapat dihitung


dengan rumus berikut (Widayanti dan Riyanto, 2005) :
Vi = Lbds x ti x fi
Dimana :
Vi

: Volume pohon jenis i (m)

ti

: Tinggi total pohon jenis i (m)

fi

: Bilangan bentuk pohon i (jati : 0,6 dan jenis lainnya : 0,7)


Data yang diperoleh disusun dan diolah dalam bentuk tabulasi dan grafik.

Analisa data dilakukan secara deskriptif berdasarkan tabulasi dan grafik yang di
peroleh.

Elmira Safitri : Identifikasi Dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kecamatan Biru-Biru, 2009.

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

Kondisi Geografis
Kecamatan Biru-biru merupakan Kecamatan yang tediri dari 17 Desa, 18
dusun dengan luasnya 89,69 Km atau sekitar 8.969 Ha. Ditinjau dari Topologinya
Kecamatan Biru-biru merupakan Daerah Perladangan. Pada dasarnya pelaksanan
tugas dibidang Pemerintahan, Pembangunan dan Kemasyarakatan di Kecamatan
Biru-biru berpedoman pada Undang-Undang Nomor: 32 Tahun 2004 tentang
pemerintahan yang mengatur tentang penyelenggaraan Pemerintahan Desa yang
susunan organisasi tiap Desa terdiri dari : Kepala Desa, Sekretaris Desa, Kaur
Pemerintahan, Kaur Pembangunan, Kaur Umum dan Kepala Dusun. Adapun
lokasi penelitian yang dilaksanakan di

4 Desa dari 17 Desa yang ada di

Kecamatan Biru-biru Kabupaten Deli Serdang meliputi; Desa Biru-biru, Rumah


Gerat, Kuala Deka dan Sarilaba Jahe.
Letak dan Geografis
Kecamatan Biru-biru terletak pada ketinggian 75-160 mdpl dengan suhu
rata-rata 24-35C,merupakan daerah dataran tinggi di Kecamatan Biru-biru yang
luas wilayahnya 150 Ha dengan batas-batas sebagai berikut:

Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Delitua

Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Patumbak

Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Namorambe

Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan STM Hilir

Elmira Safitri : Identifikasi Dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kecamatan Biru-Biru, 2009.

Penggunaan Tanah dari luas wilayah Kecamatan Biru-biru Keseluruhannya adalah


sebagai berikut:
Tabel 1. Pola Penggunaan Lahan Lokasi Penelitian (Kecamatan Biru-Biru)
No
1
2
3
4

Pola Penggunaan Lahan


Lahan Pertanian
Lahan Sawah
Lahan bukan sawah
Lahan bukan Pertanian
Total

Luas (km)
862
2.751
4.979
8.969
17.561

Sumber: Data Potensi Kecamatan Biru-Biru 2008

Dengan luas keseluruhan wilayah yang digunakan 17.561 km


Dengan jarak orbitasi dari kecamatan Biru-Biru ke Ibukota:

Kabupaten

: 36 KM

Propinsi

: 18 KM

Keadaan Alam/Topografi dan Iklim


Secara umum Kecamatan Biru-biru beriklim sedang dipengaruhi oleh dua
arah mata angina yang mempunyai dua iklim musim yaitu musim hujan dan
musim kemarau yang dipengaruhi oleh angin laut dan angin pegunungan. Angin
laut membawa hujan sedangkan udara pegunungan membawa udara panas dan
lembab. Curah hujan pada umumnya pada bulan September s/d Desember,
sedangkan musim kemarau pada bulan Januari s/d Agustus.

Demografi/Kependudukan
Jumlah keseluruhan Penduduk Kecamatan Biru-biru 33.601 jiwa, dengan
kepadatan penduduk 375 jiwa. Laki-laki 16.926 orang, dan perempuan 16.675
orang. Banyaknya penduduk dewasa dan anak-anak berdasarkan jenis kelamin.

Elmira Safitri : Identifikasi Dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kecamatan Biru-Biru, 2009.

Untuk tingkat dewasa laki-laki 10.256 orang dan perempuan 10.489 orang, untuk
tingkat anak-anak, laki-laki 5.596 orang, dan perempuan 5.185 orang, dengan
perincian sebagai berikut: Desa Biru-biru 1.635 jiwa, terdiri dari 290 KK, laki-laki
822 orang, perempuan 813 orang; Desa Rumah Gerat 1.410 jiwa, terdiri dari 366
KK, laki-laki 717 orang, perempuan 693 orang; Desa Sarilaba Jahe 1.449 jiwa,
terdiri dari 300 KK, laki-laki 732 orang, perempuan 717 orang; dan Desa Kuala
Deka 792 jiwa terdiri dari 203 KK, laki-laki 412 orang, perempuan 380 orang.

Mata Pencaharian
Sebagian besar penduduk di lokasi penelitian bermata pencaharian sebagai
petani, sebagian kecil lainnya bermata pencaharian sebagai PNS, Pedagang,
ABRI, Swasta dan lain-lain. Untuk lebih jelas mengenai mata pencaharian
penduduk dapat dilihat pada table 2.
Tabel 2. Jumlah Penduduk MenuruT Tingkat Mata Pencaharian di Lokasi
Penelitian Tahun 2007
No
1
2

Mata Pencaharian
Pertanian

Pedagang
Pegawai Negeri Sipil (PNS)

4
5

ABRI
Swasta

Lain-lain
Total

Jumlah (jiwa)
13.500
629
349
721
2.882
586
18.667

Kondisi Sosial Ekonomi Penduduk


Tata guna lahan di Kecamatan Biru-biru didominasi oleh perladangan,
yaitu tanaman-tanaman pertanian (tanaman pangan semusim) seperti padi, duku,

Elmira Safitri : Identifikasi Dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kecamatan Biru-Biru, 2009.

jagung, dan tanaman hortikultura lainnya. Selain itu ditanami juga dengan
tanaman coklat dan sebagian besar penduduk di desa ini memiliki kebun coklat.
Selebihnya tata guna lahan di desa ini digunakan untuk pekarangan, Perkebunan,
dan hutan rakyat. Pekarangan ini biasanya ditanami dengan berbagai komposisi
jenis tanaman, seperti tanaman pangan semusim, coklat, perkebunan ditanami
jenis karet, dan sawit dan sedikit tanaman keras (Mindi, Mahoni, Jati, dan Kapas)
(Sumber: Kepala Desa).
Penduduk di Kecamatan Biru-biru mayoritas adalah pemeluk agama
Kristen Protestan (80%) dan sisanya adalah pemeluk agama Islam (20 %). Pada
umumnya di daerah-daerah pedesaan, masyarakat di Kecamatan Biru-biru
mayoritas mata pencahariannya adalah bertani. Tingkat pendidikan penduduk di
Kecamatan Biru-biru pada usia produktif (1835 thn) sebagian besar adalah tamat
SLTA, selebihnya adalah tamat SLTP, tamat SD. Dan juga ada yang sampai ke
jenjang Perguruan tinggi tamat D1 (Diploma 1), D2 (Diploma 2), D3 (Diploma 3),
S1 (Strata 1), dan tamat S2 (Strata 2). Kondisi demikian menunjukkan masyarakat
di Kecamatan ini berusaha dan berjuang menyekolahkan anak-anaknya sampai ke
jenjang perguruan tinggi atau akademi, minimal sampai ke tingkat Sekolah
Lanjutan Atas (SLTA) (Sumber: Profil (exspose) Kecamatan Biru-Biru, 2008).

Sarana dan Prasarana


Beberapa sarana dan prasarana umum yang terdapat di Kecamatan Birubiru antara lain adalah sarana ekonomi, pelayanan masyarakat dan transportasi
Untuk sarana produksi terdiri dari industri kecil kerajinan tangan dan industri

Elmira Safitri : Identifikasi Dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kecamatan Biru-Biru, 2009.

kecil non-kerajinan tangan yang memproduksi peti mati, lemari, pintu dan jendela
dari bahan-bahan kayu gergajian atau papan.

Gambar 1. Sarana Produksi di Kecamatan Biru-Biru

Prasarana perhubungan berupa jalan darat atau jalan utama (beraspal) yang
menghubungkan antar Desa. Jalan utama ini biasa disebut dengan jalan protokol.
Sebagian besar jalan-jalan ini masih jalan berbatu.
Kecamatan Biru-biru memiliki sarana perhubungan angkutan darat
misalnya mobil angkutan umum yang melalui jalan utama. Jalan utama ini
merupakan suatu aksesibilitas penting yang memperlancar kegiatan ekonomi
maupun sosial-budaya di Kecamatan Biru-biru, Kabupaten Deli Serdang. Sarana
kesehatan terdiri dari Puskesmas dan Posyandu, dan sarana ibadah seperti Gereja
dan Mesjid dan Kuil juga tersedia di desa ini.

Elmira Safitri : Identifikasi Dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kecamatan Biru-Biru, 2009.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Kegiatan dan Bentuk Pengelolaan Hutan Rakyat
Kegiatan pengelolaan hutan rakyat di Kecamatan Biru-biru dimulai dengan
kegiatan persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, dan pemasaran.
1. Persiapan lahan
Teknis di lapangan yang dilakukan masyarakat (pemilik lahan) selama
kegiatan berlangsung mulai dari cara pembuatan larikan, jarak tanam, piringan,
lubang tanam, dan penanaman.
2. Penanaman
Sebelum penanaman dilakukan, kegiatan yang harus dipersiapkan

terlebih

dahulu oleh pemilik lahan di lokasi penanaman adalah pembuatan larikan,


kemudian pembuatan piringan tanaman dengan diameter 1 meter. Setelah itu
dilakukan pembuatan lubang tanaman, lalu dibiarkan selama 1-2 minggu dengan
tujuan supaya tanahnya gembur, selain itu ada sebagian masyarakat khususnya
pemilik hutan rakyat yang tidak melakukan kegiatan tersebut melainkan langsung
melakukan kegiatan penanaman.
Pada pelaksanaan pembuatan hutan rakyat, penanamannya dapat dilaksanakan
dengan berbagai cara tergantung dari jenis tanaman yang akan dikembangkan.
Pada umumnya setiap jenis tanaman mempunyai persyaratan tumbuh, hal ini
tergantung pada kondisi tempat tumbuhnya. mindi (Mellia azedara) merupakan
salah satu tanaman yang dipilih dalam pengelolaan hutan rakyat di desa ini dan

Elmira Safitri : Identifikasi Dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kecamatan Biru-Biru, 2009.

sangat mendominasi. Sebab sistem pemeliharaannya tidak sulit, tidak mudah


terserang penyakit, kondisi alamnya mendukung dan masa panennya relatif cepat.
Beberapa tanaman lain yang dipilih dalam pengelolaan hutan rakyat ini yakni
mahoni (Switenia mahagoni), kemiri (Aleurite molucana), kapas dan gmelina
(Gmelina arborea) .Namun, dalam pengelolaan hutan rakyat ini juga dilakukan
pengkombinasian dengan tanaman pertanian dan perkebunan sebagai tanaman
penyela. Tanaman tersebut antara lain; coklat, duku, sawo, padi, pisang, sawit,
durian dan karet .
Penanaman mindi dilakukan ke dalam lubang-lubang yang telah dibuat dengan
jarak tanam yang bervariasi. Umumnya petani menanam dengan jarak 5 x 5 m
sehingga per hektarnya terdapat 400 pohon. Pada pelaksanaan pembuatan
tanaman, teknik penanaman dapat dilaksanakan dengan berbagai cara tergantung
dari jenis tanaman yang akan dikembangkan. Teknik penanaman mindi dapat
dilaksanakan dengan cara bumbung. Dimana pada waktu menanam hendaknya
bumbung dilepas/disobek supaya tidak mengganggu pertumbuhan selanjutnya
(Ginting, Komunikasi Pribadi 2009).
3. Pemeliharaan
Kegiatan pemeliharaan tanaman meliputi :
a. Penyiangan, pendangiran, dan penyulaman.
Penyiangan dan pendangiran adalah upaya untuk membebaskan tanaman
dari jenis-jenis tanaman pengganggu (rumput liar). Penyiangan adalah upaya
pembebasan tanaman dari jenis-jenis pengganggu atau gulma seperti rumputrumputan dan semak. Pendangiran adalah upaya penggemburan tanah disekeliling

Elmira Safitri : Identifikasi Dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kecamatan Biru-Biru, 2009.

tanaman dengan maksud memperbaiki kondisi fisik tanah. Sedangkan penyulaman


adalah upaya atau usaha penanaman untuk mengganti tanaman yang rusak/mati.

b. Pemupukan dan pemberantasan hama penyakit


Kegiatan pemupukan dilakukan oleh pemilik hutan rakyat ini dilakukan
sebanyak 2 kali pemupukan dalam 1 tahun, yaitu pada awal penanaman dan 6
bulan setelah penanaman. Sedangkan untuk pemberantasan hama penyakit ini
dilakukan pada saat tanaman tersebut mengalami serangan hama atau sakit.
Pemberantasan ini dilakukan oleh pemilik lahan dengan cara tersendiri dan
menurut pengelola lahan lebih praktis agar pertumbuhan tanaman dapat tumbuh
dengan baik.
Cara mengatasinya dengan melakukan penyemprotan pestisida atau air
tembakau yang dicampur kapur. Pemberantasan penyakit dengan menggunakan
campuran tembakau dan kapur pada tanaman Mahoni seperti yang dilakuan ibu
Rasli Sitepu, dengan menyemprotkan air tembakau pada bagian batang tanaman
yang mengalami sakit untuk mengatasi terjadinya kerusakan pada tanaman
mahoni tersebut. Hal ini dilakukan mutu dan kualitas serta harga jual kayu
tersebut tidak berkurang. Karena semakin baik kualitas kayu maka semakin tinggi
nilai jualnya.
4. Pemanenan
Mindi dapat dipanen pada umur 5 tahun. Kayu mindi ditebang ketika
dibutuhkan saja, baik untuk keperluan kebutuhan hidup sehari-hari maupun untuk
dijual guna mendapatkan uang tunai. Para pemilik maupun sekaligus

Elmira Safitri : Identifikasi Dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kecamatan Biru-Biru, 2009.

pengelolanya akan memanen atau menjual kayu mindi tersebut di lahan miliknya
masing-masing disaat mereka memang benar-benar membutuhkannya (untuk
memenuhi kebutuhan yang mendesak). Salah satu kebutuhan yang mendesak itu
adalah keperluan sehari-hari dan untuk biaya melanjutkan pendidikan/sekolah
anak-anaknya.
Sistem penebangan di desa ini dilakukan dengan sistem tebang pilih.
Biasanya di desa ini, petani menjual kayu mindi kepada pembeli (pengusaha)
dalam keadaan pohon berdiri dan diborongkan. Pemanenan kayu gelondongan ini
biasanya dilakukan oleh pembeli, karena mereka telah mempunyai modal dan
peralatan yang lebih memadai seperti gergaji mesin (chain saw) dan sarana
pengangkutan.
5.

Pemasaran
a. Tanaman Kehutanan
Kayu yang dijual oleh masyarakat/pemilik hutan rakyat di empat desa di

Kecamatan Biru-biru ini biasanya melalui agen kayu terlebih dahulu. Agen kayu
adalah seseorang yang profesinya/pekerjaannya adalah mencari dan menyediakan
kayu (dalam hal ini kayu mindi, jati dan mahoni) dari lahan-lahan petani/pemilik
hutan rakyat kepada pengusaha-pengusaha kayu rakyat (pembeli kayu), baik
pengusaha industri kecil maupun besar untuk keperluan sumber bahan baku bagi
industri-industri tersebut. Agen kayu di desa ini dalam hal ini adalah seorang
penduduk yang berdomisi di desa tersebut.
Agen

kayu

ini

memiliki

keahlian

dalam

mencari

kayu

dan

menaksir/menghitung berapa kira-kira volume kayu yang dapat dihasilkan dari


suatu lahan hutan rakyat yang benar-benar layak untuk dipasarkan, dengan

Elmira Safitri : Identifikasi Dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kecamatan Biru-Biru, 2009.

demikian, agen kayu ini dapat memberikan keterangan/informasi kepada


pengusaha kayu mindi, jati dan mahoni yang sedang mencari kayu, yaitu berapa
jumlah pohon dan volume kayu yang dapat dihasilkan di pabrik/kilang kayu.
Agen kayu ini dapat dikatakan sebagai perpanjangan tangan dari pengusaha kayu
atau dengan perkataan lain agen kayu merupakan penyedia jasa bagi para
pengusaha kayu yang memang benarbenar membutuhkan jasanya. Tentu saja
pengusaha kayu harus membayar jasa kepada agen kayu tersebut, dan besarnya
nilai/nominal jasa yang harus dibayarkan tersebut adalah tergantung kesepakatan
dan negosiasi diantara mereka.
Sistem penjualan kayu mindi, jati dan mahoni di empat desa Kecamatan
Biru-biru ini melalui sistem borongan. Sistem ini dikatakan sistem borong bila
pengusaha (pembeli) melalui agen kayu datang dan berminat membeli kayu-kayu
tersebut

kepada

pemilik

kayu,

kemudian

agen

kayu

akan

menaksir/memperkirakan berapa kira-kira kubikasi kayu yang dapat dihasilkan


dari kayukayu tersebut. Pembeli kayu membeli kayu-kayu tersebut dalam
keadaan pohon berdiri lalu dihitung jumlahnya dan dikalikan dengan harga per
pohonnya sesuai dengan kesepakatan antara pembeli dan pemilik, kemudian
transaksipun dilakukan antara pembeli kayu dengan pemilik kayu. Cara penjualan
seperti ini banyak dilakukan petani karena dianggap mudah dan praktis, sehingga
tidak menyusahkan petani sekaligus pemilik hutan rakyat.
Bila kesepakatan harga sudah didapat, maka pemanenanpun segera
dilaksanakan. Biasanya di desa ini, pemilik lahan hanya tinggal terima bersih,
yang berarti pengusaha/pembeli yang mengurus semua kegiatan operasional dan
mengeluarkan biaya yang diperlukan dalam kegiatan penebangan, pengangkutan,

Elmira Safitri : Identifikasi Dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kecamatan Biru-Biru, 2009.

pemasaran, dan termasuk perijinan. Perijinan dalam menebang pohon,


mengangkut, dan memasarkan kayu dari hutan tanah milik harus dimiliki.
Perijinan yang dimaksud adalah Ijin Pemanfaatan Kayu pada Tanah Milik
(IPKTM).
IPKTM merupakan surat ijin atau

wewenang tertulis untuk kegiatan

penebangan pohon, pengumpulan, pengangkutan dan pemasaran kayu yang


menjadi suatu bukti kelegalitasan kayunya, atau surat keterangan yang
menyatakan sahnya pengangkutan, penguasaan, atau kepemilikan hasil hutan kayu
yang berasal dari hutan hak atau lahan masyarakat. IPKTM dapat diberikan pada
setiap orang atau badan hukum atau koperasi yang melakukan kegiatan
pemanfaatan kayu pada tanah milik yang tumbuh hasil tanaman.
Adapun prosedur penjualan dan sekaligus perijinan (IPKTM) yang
dimaksud adalah sebagai berikut :
1) Seseorang yang memiliki kayu dan mau menjualnya, harus terlebih dahulu
mengurus Surat Keterangan Tanah (SKT) (Lampiran 5) dari Kepala Desa
(Penghulu). SKT ini berisikan bahwa si pemilik benar memiliki suatu
tanah/lahan yang disertai dengan luasnya, dan di atasnya ditumbuhi jenis
pohon yang disertai dengan jumlahnya.
2) Kemudian kepala desa meninjau ke lokasi untuk mengecek kebenaran
keberadaan lahan dan kayu (pohon) di lahan pemilik tersebut.
3) Setelah SKT selesai diurus dan sudah diperoleh si pemilik, lalu diurus akte
tanah dari camat setempat.
4) Setelah akte tanah selesai diurus, maka SKT diserahkan kepada si
pembeli/pengusaha, lalu si pembeli mengusulkan permohonan penebangan

Elmira Safitri : Identifikasi Dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kecamatan Biru-Biru, 2009.

kayu ke Dinas Kehutanan dengan menyertakan SKT, surat jual beli yang sudah
ditandatangani oleh si pemilik lahan dan si pembeli dilengkapi dengan kopi
KTP.
5) Setelah itu, Dinas Kehutanan akan datang ke lokasi/lahan hutan rakyat yang
bersangkutan untuk melakukan cruising (peninjauan resmi ke lokasi).
6) Setelah cruising, maka IPKTM dapat dikeluarkan lalu penebangan kayu bisa
dikerjakan. Biaya yang dikenakan dalam IPKTM ini adalah sebesar Rp
100.000 per meter kubik.
Pengusaha kayu rakyat menjual kayu (mindi, jati dan mahoni) dari hasil
hutan rakyat ke panglong (usaha dagang kayu) maupun industri pengolahan kayu
skala kecil dan menengah, (misal industri kayu gergajian, industri meubel lokal,
dan lain-lain) yang berada di Kecamatan Biru-biru Kabupaten Deli Serdang dan
sebagainya.
Kayu dari hutan rakyat diolah untuk berbagai kegunaan seperti bahan
pertukangan, baik untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun ekspor.
Harga kayu yang dijual oleh pengusaha mindi rakyat di pabrik/industri
pengolahan kayu adalah Rp 150.000 per meter kubik. Industri kayu gergajian
misalnya, akan mengolah kayu mindi, jati dan mahoni itu menjadi menjadi kayu
kayu gergajian, kemudian kayu-kayu gergajian ini akan dibeli oleh industri
industri meubel lokal sebagai bahan baku.
Jalur pemasaran hasil hutan rakyat di Kecamatan Biru-biru disajikan pada
Gambar 2

Elmira Safitri : Identifikasi Dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kecamatan Biru-Biru, 2009.

A gen K ayu
H asil
H utanR akyat

Pengusaha
K ayu

Industri
Penggergajian

Panglong

Industri
M eubel L okal

Gambar 2. Jalur Pemasaran Hasil Hutan Rakyat Kecamatan Biru-biru.

b. Tanaman Pertanian
1) Duku (Lancium domesticum)
Petani menjual duku langsung kepada pedagang pengumpul (penadah).
Petani biasanya hanya mengeluarkan biaya berupa upah panjat sebesar Rp. 50.000
per orang. Biasanya tenaga kerja yang dibutuhkan 4-5 orang. Untuk pengangkutan
buah duku ditanggung oleh pedagang pengumpul sekitar Rp. 4.000 u/kg. Rantai
pemasaran buah duku, dilokasi peneliti disajikan pada Gambar 3.

Petani D uku

Pedagang
Pengum pul

K onsum en

Gambar 3. Rantai Pemasaran Buah Duku di Kecamatan Biru-Biru

2) Coklat (Theobroma cacao)


Coklat yang dijual merupakan coklat yang sudah dikeringkan. Pengeringan
dilakukan dengan menjemur di halaman rumah. Harga coklat yang dijual ke pasar
sekitar Rp. 20.000 u/kg. Pemasaran coklat kering ada dua bagian, pertama petani
yang langsung menjual ke pasar sedangkan yang kedua dijual kepada pedagang
pengumpul yang membeli coklat kepada petani. Pada pemasaran coklat, jika
rantai pemasaran diperpendek harga jual coklat hanya naik Rp. 1000 u/kg.
Elmira Safitri : Identifikasi Dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kecamatan Biru-Biru, 2009.

Hasil wawancara dengan responden (pemilik atau pengelola lahan) volume


maksimal dari tanaman coklat yang diperoleh petani diperoleh petani setiap kali
panen maksimal 60 kg. Jadi jika diperhitungkan jika petani yang memasarkannya
sendiri, hasilnya juga tidak terlalu jauh perbedaannya jika dibandingkan dengan
menjual kepedagang pengumpul. Resiko yang dimiliki petani cukup besar karena
menjual sendiri, hal ini dikarenakan keterbatasan waktu untuk bahan mentah dan
secara kuantitas juga hasilnya tidak begitu besar, sehingga kebanyakan petani
memutuskan untuk menjual pada pedagang pengumpul. Untuk mengetahui Jalur
pemasaran coklat selengkapnya pada Gambar 4.

Petani C oklat

Pedagang
Pengum pul di
D esa

D istribusi C oklat
L angsung O leh
Petani

Penjual Pada
T ingkat
K abupaten

Pedagang
Pengum pul di
K ecam atan

Gambar 4. Jalur Pemasaran Coklat

3) Durian (Durio zibethinus)


Rantai Pemasaran durian tidak terlalu rumit, sama dengan pemasaran duku.
Durian yang telah jatuh kemudian dikumpulkan oleh petani pada pondok-pondok
kecil di lahan tersebut. Hasil yang terkumpul kemudian dijual pada pedagang
pengumpul atau ada juga yang dibeli langsung oleh konsumen. Durian dijual

Elmira Safitri : Identifikasi Dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kecamatan Biru-Biru, 2009.

dengan harga Rp. 2000,- sampai Rp. 4000,- per buah. Pembeli secara langsung
menyediakan alat angkut untuk membawa durian. Durian selain dijual juga
dikonsumsi oleh masyarakat. Jalur pemasaran buah durian disajikan pada Gambar
5.
P edagang
P engum pul

P etani D uku

K onsum en

K onsum si
R um ah
T angga

Gambar 5. Jalur Pemasaran Buah Durian


4) Pisang (Musa parasidiaca)
Pemasaran pisang memiliki jalur yang sama dengan coklat, ada pembeli
yang langsung membeli kepada petani dan ada yang dipasarkan sendiri ke pasar
ditingkat desa atau kecamatan. Harga pisang yang dijual pedagang, lebih murah
dibandingka dijual sendiri ke pasar. Jika dijual pada pedagang harganya Rp.
2000,- per tandan sementara jika dijual ke pasar harganya sekitar Rp. 6000,- per
tandan.
5) Pinang (Areca catechu)
Pemasaran pinang memiliki jalur yang sama dengan coklat dan pisang,
Harga pinang di tingkat pengumpul rendah dibandingkan bila pinang dijual
sendiri ke pasar. Jika dijual pada pedagang harganya Rp. 3000,- u/kg. Sementara
di pasar harganya mencapai Rp. 5000,- / kg.
c. Tanaman Perkebunan
1) Sawit (Elais guinensis)

Elmira Safitri : Identifikasi Dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kecamatan Biru-Biru, 2009.

Petani menjual duku langsung kepada pedagang pengumpul (penadah).


Dengan rantai pemasaran sama dengan pemasaran duku. Petani biasanya tidak
mengeluarkan biaya berupa upah karena mereka melakukan pemungutan sendiri.
Pengangkutan buah sawit ditanggung oleh pedagang pengumpul (penadah).
dengan harga berkisar rata-rata Rp.1200,- / kg.
2) Karet (Hevea brasilensis )
Hasil dari komoditas karet yang dijual berupa getah yang sudah padat atau
menggumpal. Harga getah karet di pasar mencapai Rp. 4500,-/ kg. Pemasaran
karet sama dengan pemasaran coklat, pertama petani yang langsung menjual ke
pasar sedangkan yang kedua dijual kepada pedagang pengumpul yang membeli
getah karet kepada petani. Harga jual di pasaran adalah Rp. 6.000,- /kg. Resiko
yang dimiliki petani cukup besar karena menjual sendiri, hal ini dikarenakan
keterbatasan waktu untuk bahan mentah dan secara kuantitas juga hasilnya tidak
begitu besar. Untuk model pemasaran getah karet sama dengan pemasaran coklat.
Pengelolaan hutan rakyat di Kecamatan Biru-biru dilakukan oleh
masyarakat, dimana pemilik lahan menanam pohon di lahan miliknya sendiri
tanpa adanya bantuan dari pemerintah (pola swadaya). Berdasarkan jenis
tanamannya, Lembaga penelitian IPB (1983) membagi hutan rakyat kedalam tiga
bentuk, yaitu:
(1). Hutan Rakyat murni (monoculture), yaitu hutan rakyat yang terdiri dari satu
jenis tanaman pokok berkayu yang ditanam secara homogen atau monokultur.
(2). Hutan Rakyat Campuran (polyculture), yaitu hutan rakyat yang terdiri dari
berbagai jenis pohon-pohon yang ditanam secara campuran.

Elmira Safitri : Identifikasi Dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kecamatan Biru-Biru, 2009.

(3). Hutan Rakyat Wanatani (agroforestry), yaitu yang mempunyai bentuk usaha
kombinasi antara kehutanan dengan cabang usahatani lainnya seperti tanaman
pangan, perkebunan, peternakan, perikanan dan lain-lain yang dikembangkan
secara terpadu. Dalam pengelolaan hutan rakyat di Kecamatan Biru-biru
ketiga bentuk pengelolaan hutan rakyat diatas telah dilakukan, dimana
masing-masing pemilik lahan memiliki bentuk pengelolaan yang berbedabeda berdasarkan jenis tanaman yang ditanam.
Bentuk pengelolaan berdasarkan pemilik lahan luasan yang dikelola berkisar
antara 0,5 s/d 2 Ha. Ditabulasikan seperti terlihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Bentuk Pengelolaan Hutan Rakyat
Luas Lahan Hutan
No.

Nama

Bentuk Pengelolaan
Rakyat (Ha)

Muslim Tarigan

1.2 ha

Agroforestri

Julianus Ginting

0.6 ha

Agroforestri

Alim Tarigan

1.3 ha

Agroforestri

Linggem Sembiring

2 ha

Agroforestri

Ngapul Sembiring

1.5 ha

Hutan rakyat murni

Chandra Ginting

0.5 ha

Hutan rakyat campuran

Rasli Sitepu

0.8 ha

Hutan Rakyat campuran

Ramli Sembiring

2 ha

Ramli Sembiring

0.6 ha

Hutan rakyat campuran

10

Rinaldi ginting

1.5 ha

Hutan rakyat campuran

11

Serasi ginting

2 ha

Agroforestri

Hutan rakyat murni

Elmira Safitri : Identifikasi Dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kecamatan Biru-Biru, 2009.

Tabel 3 menunjukan bahwa ketiga bentuk pengelolaan hutan rakyat diatas telah
dilakukan, dimana masing-masing pemilik lahan memiliki bentuk pengelolaan
yang berbeda-beda berdasarkan jenis tanaman yang ditanam dan luas lahan yang
dimiliki. Akan tetapi yang paling dominan yaitu bentuk pengelolaan hutan rakyat
Agroforesti / hutan rakyat wanatani.
Menurut Hairiah dkk (2003), hutan rakyat dapat dikatakan menerapkan sistem
agroforestri jika memiliki unsur-unsur berikut :
1) Penggunan lahan atau sistem penggunaan lahan oleh manusia
2) Penerapan teknologi
3) Komponen tanaman semusim, tahunan, dan/atau ternak
4) Waktu bisa bersamaan atau bergiliran dalam suatu periode tertentu
5) Ada interaksi ekologi, sosial, dan ekonomi

Karakteristik Hutan Rakyat


Pola hutan rakyat
Berdasarkan Kepemilikan jenis lahan, Usahatani yang dilakukan oleh petani
hutan rakyat secara fisik memiliki pola tanam yang sangat beragam. Hutan rakyat
pada umumnya menggunakan pola tanam campuran (wanatani), yaitu campuran
tanaman pangan dengan tanaman kayu-kayuan. Pola tanam campuran merupakan
hutan rakyat yang terdiri dari berbagai jenis pohon-pohon yang ditanam secara
campuran,

dimana

pola

pengelolaannya

berdasarkan

inisiatif/pola

pikir

masyarakat selaku pemilik lahan tanpa ada bantuan dari pemerintah (Pola
Swadaya).

Elmira Safitri : Identifikasi Dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kecamatan Biru-Biru, 2009.

Pola Subsidi tidak ditemukan di lokasi penelitian karena pola ini dilakukan
pada saat melakukan program penghijauan dari pemerintah dijalankan. Pola
subsidi ini pengelolaannya mengupayakan bantuan dari pemerintah, berupa; bibit,
pupuk, akan tetapi dikelola di tanah milik masyarakat.

Pola penggunaan lahan


Pola penggunaan lahan pada hutan rakyat di Kecamatan Biru-biru
dilakukan dengan penanaman tanaman kehutanan (berkayu) dengan tanaman
pertanian yang dilakukan secara intensif. Pola penggunaan lahan disajikan pada
Tabel 4.

Tabel 4. Pola Penggunaan Lahan di Kecamatan Biru-biru


No.

Nama

Bentuk Pengelolaan Lahan

Muslim Tarigan

Intensif

Julianus Ginting

Tidak intensif

Alim Tarigan

Tidak Intensif

Linggem Sembiring

Intensif

Ngapul Sembiring

Tidak intensif

Chandra Ginting

Tidak intensif

Rasli Sitepu

Intensif

Ramli Sembiring

Tidak intensif

Ramli Sembiring

Tidak intensif

10

Rinaldi Ginting

Tidak intensif

11

Serasi Ginting

Tidak intensif

Elmira Safitri : Identifikasi Dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kecamatan Biru-Biru, 2009.

Tabel 4 diatas menunjukkan bahwa bentuk pengelolaan lahan di Kecamatan


Biru-biru adalah intensif dan tidak intensif. Persentase pengelolaan lahan yang
intensif berkisar 27,27 % sedangkan yang tidak intensif 72,72 %.
Pola penggunaan lahan intensif dipengaruhi dengan adanya tanaman
pertanian yang bersifat musiman atau adanya pemeliharaan. Hal ini bertujuan agar
mendapatkan keuntungan yang maksimal dari pemungutan hasil tanaman
pertanian tersebut. Hutan rakyat lebih ditujukan untuk memenuhi kebutuhan
ekonomi dari pemilik lahan tersebut.
Struktur tegakan dan rasio pohon
Kayu pada hutan rakyat memiliki diameter mulai dari 11 cm sampai 41 cm.
Hutan rakyat ini merupakan tanaman yang dibudidayakan, oleh karena itu kelas
diameternya dapat dikatakan seragam untuk satu lahan milik tertentu. Hubungan
antara kelas diameter dengan jumlah batang dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Hubungan antara kelas diameter dan jumlah batang
Kelas Diameter
11 - 20 cm
21 - 30 cm
31 - 40 cm
> 41 cm

Jumlah Batang
1723
193
127
27

Sedangkan grafiknya dapat dilihat pada Gambar 6


2000
1500
1000
500
0
11 - 20 21 - 30 31 - 40
cm
cm
cm

> 41
cm

Gambar 6 . Hubungan antara kelas diameter dan jumlah batang

Elmira Safitri : Identifikasi Dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kecamatan Biru-Biru, 2009.

Tanaman yang memiliki kelas umur dan masa tanam yang sama di Kecamatan
Biru-Biru dapat dilihat pada Gambar 7

Gambar 7. Tanaman yang memiliki kelas umur dan masa tanam yang sama
Rasio antara pohon kayu dan pohon berbuah dapat dilihat pada diagram di
bawah ini.

Gambar 7. Rasio pohon kayu dan pohon buah


Rasio perbandingan antara pohon kayu adalah 1976 pohon dan pohon berbuah
dengan 94 pohon atau 1 : 21. Hal ini berarti pada hutan rakyat Kecamatan Birubiru merupakan hutan rakyat yang mengutamakan kayu sebagai pemenuhan
kebutuhan pasar.

Elmira Safitri : Identifikasi Dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kecamatan Biru-Biru, 2009.

Potensi Tegakan Hutan Rakyat


Taksiran potensi tegakan hutan rakyat pada setiap lahan responden
dilakukan terhadap 11 KK petani hutan rakyat, dimana 7 KK yang masih memiliki
hutan rakyat tetapi belum memanen kayunya.
Taksiran volume total (potensi) hutan rakyat di empat desa Kecamatan Birubiru disajikan pada tabel 6 .
Tabel 6. Taksiran Potensi Tegakan tanaman Hutan Rakyat pada Setiap Lahan
Responden
Luas
No.

Nama

Volume Setiap Kelas Diameter ( m3 )

Lahan
(Ha)

Volume
Total

11 20cm

21 30cm

31 40cm

> 41cm

(M3)

Muslim Tarigan

1.2 ha

3.84

0.76

4.6

Julianus Ginting

0.6 ha

1.71

6.4

8.11

Alim Tarigan

1.3 ha

10.13

0.48

10.61

Linggem Sembiring

2 ha

2.11

6.24

8.35

Ngapul Sembiring

1.5 ha

14.66

14.66

Chandra Ginting

0.5 ha

4.54

0.82

5.36

Rasli Sitepu

0.8 ha

5.52

3.8

9.32

Ramli Sembiring

2 ha

5.05

0.49

5.54

Ramli Sembiring

0.6 ha

5.16

0.82

5.98

10

Rinaldi Ginting

1.5 ha

3.19

48.81

13.48

65.48

11

Serasi Ginting

2 ha

9.82

0.16

9.98

13.9 ha

62.54

23.16

48.81

13.48

147.99

4,5

1,67

3,51

0,7

Total
Volume/ha

10.38

Berdasarkan tabel 6, taksiran volume total (potensi) tegakan hutan rakyat


yang diperoleh adalah sebesar 10.38 Ha. Total luas lahan hutan rakyat di empat
Elmira Safitri : Identifikasi Dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kecamatan Biru-Biru, 2009.

deesa ini dapat dikatakan kecil, demikian juga pada masing-masing luas lahan
responden yang juga bisa dikatakan kecil. Tetapi inilah luas hutan rakyat yang
masih ada atau tersisa di empat desa ini. Hasil wawancara yang dilakukan kepada
pemilik lahan hal yang menjadi penyebabnya adalah sebagian besar masyarakat
pemilik hutan rakyat di desa ini sudah memanen kayunya (Ginting, 2009).

Gambar 8. Persentase potensi tegakan Hutan Rakyat

Gambar 10 diatas menunjukkan bahwa lahan milik Rinaldi Ginting


memiliki potensi tegakan yang besar dengan volume total 65,48 m3 dengan luas
lahan 1,5 Ha. Sedangkan Muslim Tarigan memiliki potensi tegakan yang paling
kecil yaitu dengan volume total 4,6 m3 dengan luas lahan 1,2 Ha.
Dari hasil wawancara yang dilakukan dengan Kepala Desa (Penghulu),dan
Julianus Ginting salah satu masyarakat/petani pemilik maupun si pengelola hutan
rakyat di empat desa Kecamatan Biru-biru ini sebenarnya sudah mulai memanen
dan menjual kayu hutan rakyatnya mindi (Mellia azedara) tahun 2007-2008. Hal
ini juga menunjukkan bahwa masyarakat/petani hutan rakyat di desa ini benar
benar merasakan manfaatnya dalam membantu menambah pendapatan petani,

Elmira Safitri : Identifikasi Dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kecamatan Biru-Biru, 2009.

sekaligus meningkatkan kesejahteraannya selain manfaat ekologis merehabilitasi


lahanlahan kritis dan terlantar (Jaffar, 1993).
Diameter tegakan hutan rakyat berdasarkan tabel 5 diatas, dapat dibagi
menjadi 7 kelas diameter. Rata-rata dari 7 kelas diameter ini dapat dikatakan
bahwa tegakan hutan rakyat ini belum layak tebang/panen, karena diameternya
11 cm (tidak memenuhi syarat minimal industri pembeli), akan tetapi ada
diameter pohon yang mencapai 47 cm tetapi hanya sebagian pohon saja. Data
pengukuran volume pohon pada lahan masing-masing lahan responden di sajikan
dalam Lampiran 3 dan 4.

Manfaat Ekonomis yang Diperoleh dari Hutan Rakyat


Manfaat ekonomis yang diperoleh dari hutan rakyat empat desa di
Kecamatan Biru-biru adalah berupa penambahan pendapatan masyarakat pemilik
hutan rakyat dan pengelolanya.
a. Penambahan pendapatan masyarakat
Hasil wawancara dan observasi yang dilakukan di empat desa di Kecamatan
Biru-biru terdapat 11 Kepala Keluarga (KK) yang memiliki hutan rakyat (petani
hutan rakyat). Pada tahun 2008-2009 terdapat 4 KK yang sudah memanen mindi,
dan 7 KK lagi belum memanen kayunya. Adapun kontribusi penambahan
pendapatan petani dari hutan rakyat (hasil hutan kayu dan non kayu) pada tahun
2008 adalah sebesar Rp 47.900.000 atau berkisar 21.82 % dari seluruh sumbersumber pendapatan petani. Kontribusi yang diperoleh dari hasil hutan kayu
(mindi) adalah sebesar Rp 39.400.000 (17.95 %), (mahoni) adalah sebesar Rp.
8.500.000 (3.87 %) hasil hutan non kayu (HHNK) berupa coklat sebesar Rp

Elmira Safitri : Identifikasi Dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kecamatan Biru-Biru, 2009.

118.800.000 (54.13%), duku sebesar Rp 45.000.000 (20.50 %) dan durian sebesar


Rp 2.400.000 (1.09 %), Pinang Rp.380.000 (0.17 %), dan untuk Perkebunan sawit
Rp.4.800.000 (2.19 %). Data lengkap di sajikan pada Lampiran 1
Coklat kering dijual petani ke pedagang pengumpul dengan harga Rp
20.000 per kg, Duku dijual dengan harga berkisar Rp. 7.000.000 sampai Rp.
9.000.000 untuk 1 kali panen sedangkan per kg nya Rp. 10.000 Karena
penjualannya dalam sistem borongan langsung di pohon pemilik lahan tersebut.
Selain untuk dikonsumsi sendiri, duku ini juga dijual ke pedagang/ agen
penampung.
Hutan rakyat dapat memberikan manfaat ganda dan dampak yang cukup
besar dalam menambah pendapatan petani baik itu berupa kayu maupun non
kayunya. Kontribusi yang diberikan hutan rakyat di desa ini di sajikan dalam
Tabel 7.
Tabel 7. Kontribusi Hutan Rakyat terhadap Pendapatan Rumah Tangga Petani
tahun 2008 2009
Hutan Rakyat

Pertanian

Perkebunan

Gaji

Jumlah

(Rp/thn)

(Rp/thn)

(Rp/thn)

(Rp/thn)

(Rp/thn)

4.800.000

219.800.000

47.900.000
(21,82%)

166.780.000
(75,99%)

(2,19%)

(100%)

Tabel 6 menunjukan hutan rakyat memiliki peringkat ke-2 setelah sektor


pertanian. Hal ini menunjukkan bahwa petani belum menggantungkan
penghidupannya dari sektor kehutanan (hutan rakyat), khususnya dari hasil
kayunya. Adapun kontribusi dari hutan rakyat yang 21,82 % (kecil), hal ini
disebabkan karena :
Elmira Safitri : Identifikasi Dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kecamatan Biru-Biru, 2009.

a. Pengusahaan mindi yang murah dan relatif lama


Mindi (Mellia azedara) memiliki umur 5-8 tahun baru bisa ditebang. Bagi
pemilik lahan ketika mindi dipanen dengan sistem tebang habis, Namun, pada
kenyataannya para petani memanen mindi pada umur 5-6 tahun. Dimana pada
umur 5-6 tahun mindi di jual dengan

harga yang relatif murah, sehingga

kontribusi yang diperoleh petani relatif kecil. Oleh sebab itu petani lebih
cenderung untuk mengusahakan jenis tanaman yang tidak membutuhkan waktu
lama untuk menghasilkan seperti: coklat, duku, padi, pisang, sawo dan
sebagainya. Karena tanaman campuran ini memiliki masa panen lebih dari dua
kali dalam setahun.
Tanaman duku misalnya, biasanya dapat menghasilkan 2-3 kali dalam
setahun, coklat 40 kali dalam setahun, dan sebagainya. Dengan demikian, selama
dalam jangka waktu 5-8 tahun ini secara ekonomis sektor pertanian dapat menjadi
sumbangsih yang terbesar.
b. Luas lahan yang semakin berkurang
Budidaya hutan rakyat yang dilakukan oleh masing-masing petani tidak
dapat menjamin kelestarian hasil, dimana sistem penjualan tegakan sering
dilakukan secara borongan dan penebangan sering dilakukan secara tebang habis.
Hal ini salah satunya disebabkan karena kondisi ekonomi petani yang rendah
sehingga sering petani menjual tegakan hutan rakyat yang belum masak tebang
(diameter <16 cm). Hal ini membuat kondisi luas hutan rakyat semakin cepat
berkurang sehingga akhirnya kontribusi yang diberikan hutan rakyat pun semakin
menurun.

Elmira Safitri : Identifikasi Dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kecamatan Biru-Biru, 2009.

c. Akses terhadap pasar lemah


Petani hutan rakyat biasanya menjual hasil kayunya dalam bentuk pohon
berdiri dengan sistem borongan. Pengusaha yang berminat membeli mendatangi
lokasi hutan rakyat, kemudian melakukan inventarisasi untuk menentukan volume
kayu. Sistem penjualan seperti ini banyak dilakukan oleh petani karena dianggap
lebih praktis.
Harga borongan ditentukan dengan memperhatikan beberapa faktor
diantaranya adalah volume/kubikasi, kualitas kayu, aksesibilitas, topografi, dan
sebagainya yang sangat menentukan biaya penebangan. Posisi tawar petani dalam
hal ini cenderung mudah karena petani menerima bersih dari hasil penjualan kayu
tanpa harus mengeluarkan biaya/upah untuk penebangan. Pengusaha mempunyai
kewenangan yang cukup besar sebagai penentu harga dengan adanya faktor-faktor
tersebut,

namun

petani

dimudahkan

karena

perlu

memasarkannya

ke

panglong/penerima.
Secara teori petani akan mendapat nilai ekonomi yang lebih besar jika
mampu mengolah sendiri kayu tersebut karena produksi kayu dari hutan rakyat
cukup besar. Hal ini berkaitan dengan lemahnya akses pasar dimana petani tidak
mempunyai posisi tawar yang tinggi dalam memasarkan hasil kayunya. Hal ini
terkait dengan lemahnya petani terhadap akses pasar terutama harga, terbatasnya
pengusaha sebagai pembeli, serta kemudahan dan kepraktisan yang diperoleh
petani dengan sistem pemasaran yang ada sehingga petani tidak bisa memasarkan
kayu langsung kepada konsumen.
Sektor pertanian mempunyai kontribusi terbesar terhadap pendapatan petani
sebesar Rp 166.780.000 atau berkisar 75,99%, lalu diikuti oleh sektor perkebunan

Elmira Safitri : Identifikasi Dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kecamatan Biru-Biru, 2009.

sebesar Rp 4.800.000 atau berkisar 2,19 %. Adapun komoditi-komoditi yang


dihasilkan dari sektor pertanian sebagai sumber-sumber pendapatan petani adalah
duku (20,50%),

durian (1,09%) dan pinang (0,17%). Untuk lebih jelasnya

komposisi sumber-sumber pendapatan petani di sajikan pada Lampiran 2.


Komoditi-komoditi pertanian ini memiliki harga yang relatif stabil dan
terkadang cenderung meningkat. Hal ini dikarenakan kebutuhan masyarakat
(konsumen) akan hasil-hasil pertanian ini tetap berkesinambungan. Hasil-hasil
pertanian ini merupakan kebutuhan pokok masyarakat sehari-hari, terutama dari
hasil pertanian tanaman pangan. Petani juga dapat langsung menjual/memasukkan
hasil-hasil pertaniannya kepada konsumen melalui pasar tradisional/pekan (sistem
pemasaran yang langsung). Melalui sistem pemasaran yang langsung ini, petani
dapat memperoleh informasi mengenai harga, jumlah permintaan, waktu
permintaan, dan berbagai informasi pasar yang lain. Akses pasar yang kuat ini,
membuat petani berada dalam posisi tawar yang tinggi dalam memasarkan hasil
pertaniannya sehingga membuat petani cenderung untuk mengembangkan sektor
pertaniannya.
Perkebunan memiliki peringkat ke-3 sebagai kontributor bagi pendapatan
petani dengan kontribusi sebesar Rp. 4.800.000 atau berkisar 2,19 %. Harga sawit
untuk 1 kg adalah Rp 12.000. Ini menjadi peluang bagi petani dalam menambah
pendapatannya, apalagi prospek sawit sangat baik. Untuk selengkapnya,
komposisi sumber-sumber pendapatan petani di Kecamatan Biru-biru dapat kita
perhatikan pada Lampiran 2.
Namun demikian, hutan rakyat masih dapat menjadi sumber penghasilan
yang cukup dalam menambah pendapatan petani. Atau dengan kata lain, hutan

Elmira Safitri : Identifikasi Dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kecamatan Biru-Biru, 2009.

rakyat sudah sangat membantu dalam perekonomian petani. Hal ini didukung kuat
oleh pernyataan Jaffar (1993), yang menyatakan bahwa salah satu tujuan
pembangunan hutan rakyat adalah meningkatkan produktivitas lahan kritis atau
areal yang tidak produktif secara optimal dan lestari dan meningkatkan
pendapatan

masyarakat

tani

di

pedesaan

sekaligus

meningkatkan

kesejahteraannya.

Elmira Safitri : Identifikasi Dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kecamatan Biru-Biru, 2009.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
1. Kegiatan pengelolaan hutan rakyat di Kecamatan Biru-biru dimulai
dengan kegiatan persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan,
dan pemasaran dan bentuk pengelolaannya adalah hutan rakyat
agroforestri (wanatani), Hutan rakyat campuran dan hutan rakyat murni.
2. Karakteristik hutan rakyat di kecamatan ini memiliki pola penggunaan
lahan yang bersifat campuran (pola tanam campuran)/wanatani yaitu
campuran tanaman pangan dengan tanaman kayu-kayuan. Dimana pola
pengelolaannya berdasarkan inisiatif masyarakat (pola swadaya).
3. Pola penggunaan lahan di Kecamatan Biru-biru tidak intensif dengan
persentase 72,72 %, dengan struktur tegakan yang mendominasi adalah
pohon yang memiliki diameter 11-20 cm sedangkan jenis pohon yang
mendominasi adalah mahoni (Swieteni mahagoni), dan rasio pohon kayu
lebih besar daripada rasio pohon buah.
4. Potensi tegakan tanaman Hutan Rakyat di Kecamatan Biru-Biru per Ha
adalah 0,74 m.
5. Hutan rakyat di 4 (empat) Desa Kecamatan Biru-biru memiliki peringkat
ke-2 setelah sektor pertanian dengan kontribusi sebesar Rp. 47.900.000
(21,82 %). Hal ini menunjukkan bahwa petani belum menggantungkan
penghidupannya dari hutan rakyat, khususnya dari hasil kayunya.
6. Manfaat ekonomi dari hutan rakyat di Kecamatan Biru-biru bagi
masyarakat dapat membantu menambah pendapatan petani/masyarakat
sekaligus meningkatkan kesejahteraannya selain manfaat ekologis
merehabilitasi lahan-lahan kritis dan terlantar.

Elmira Safitri : Identifikasi Dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kecamatan Biru-Biru, 2009.

Saran
Hutan rakyat di Kecamatan Biru-biru yang dikelola oleh masyarakat
sebagian besar pemilik lahan belum memiliki Surat Keterangan Tanah (SKT) dan
Izin Pemanfaatan Kayu Tanah Milik (IPKTM). Masyarakat di Kecamatan Birubiru belum menggantungkan penghidupannya sepenuhnya dari sektor kehutanan
(hutan rakyat), dengan demikian penyuluhan demi peningkatan kesejahteraan
masyarakat dapat dilakukan secara intensif pada masyarakat.

Elmira Safitri : Identifikasi Dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kecamatan Biru-Biru, 2009.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2005. Siaran Pers Pusat Informasi Kehutanan tentang Hutan Rakyat
Indonesia sangat Prospektif untuk Industri Kehutanan, No. S.375/II/PIK1/2005, tanggal 7 Juni 2005. Website: htpp:/www.dephut.go.id. Diakses
tanggal 8 Juni 2005
Anonim, 2006. Menjaga Hutan dari Ambang Kehancuran. Harian Kedaulatan
Rakyat, tanggal 29 Mei 2006, Hlm.19. PT Balai Pustaka Kedaulatan
Rakyat. Yogyakarta
Arikunto, S. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan. Rineka Cipta. Jakarta
Awang, S.A. 2001. Gurat Hutan Rakyat di Kapur Selatan. Pustaka Kehutanan
Masyarakat, Yogyakarta: DEBUT 2001
Awang, S.A., Andayani, W., Himmah, B., Widayanti, W.T., Affianto, Agus.
2002. Hutan Rakyat, Sosial Ekonomi dan Pemasaran. Universitas Gadjah
Mada Press Yogyakarta
Awang, S. 2005. Petani, Ekonomi, Dan Konservasi Aspek Penelitian Dan
Gagasan. Pustaka Hutan Rakyat. Press. Debut. Yogyakarta
Badan Pusat Statistik (BPS). 2006. Potensi Hutan Rakyat Indonesia 2003.
Website http://www.google.co.id. Diakses tanggal 28 Juni 2006
BP2HP Wilayah II Medan. 2005. Pemanfaatan/Pengangkutan Hasil Hutan Kayu
dari Hutan Milik/Hak. Medan
Brower, J.E. and Zar, J.H. 1977. Field and Laboratory Methods for General
Ecology. Brown Co Publisher, Iowa, USA
Darusman, D dan D. Suharjito, 1998. Kehutanan Masyarakat: Beragam Pola
Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan. Institut Pertanian Bogor
Depatemen Kehutanan RI, 1974. Informasi Peratuan Perundang-Undangan
Nasional di Bidang Kehutanan. Jakata: Penerbit Biro Hukum dan
Organisasi Setjen Dephut
[Dephutbun] Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kehutanan dan Perkebunan. 1998. Jakarta
Ginting, J. 2009. Komunikasi Pribadi dengan Julianus Ginting sebagai Salah Satu
Pemilik Hutan Rakyat Mindi dan Pengelola Kayu Mindi. Desa Biru-Biru
Kecamatan Biru-Biru.[13 April 2009]

Elmira Safitri : Identifikasi Dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kecamatan Biru-Biru, 2009.

Harairah K, M. A. Sardjono, Sambas. 2003. Pengantar Agroforestry. ICRAF.


Bogor
Hardjosoediro, S, 1980. Pemilihan jenis Tanaman Reboisasi dan penghijauan
hutan alam dan Hutan rakyat. Lokakarya Pemilihan Tanaman
Reboisasi.Yokyakarta.Yayasan Pembinaan Fakultas Kehutanan UGM
Jaffar,E.R. 1993. Pola Pengembangan Hutan Rakyat sebagai Upaya Peningkatan
Luasan Lahan, dan peningkatan Pendapatan Masyarakat di Propinsi D.I.Y.
Makalah pada petemuan Persaki Propinsi D.I.Y Tanggal 17 Juli 1993,
Yogyakarta
Munggoro, W. Dhani. 1998. Sejarah dan Evolusi Pemikiran Komuniti Forestri,
Seri Kajian Komuniti Forestri, Seri 1 Tahun 1 Maret 1998
Novel, R. 2005. Hutan Rakyat dan Peranannya dalam Pembangunan Daerah.
Skripsi. Departemen Kehutanan USU. Medan
Prabowo, S.A. 1998. Hutan Rakyat : Sistem Pengelolaan dan Manfaat Ekonomis.
Program Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Masyarakat Institut
Pertanian Bogor. Bogor
Reksohadiprodjo, S. 1994. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Energi. Yogyakarta.
Penerbit BPFE
Sanudin dan Alfonsus Harianja, 2008. Pengelolaan Hutan Rakyat Pinus di Desa
Aek Nauli, Kabupaten Humbang Hasundutan. BPK Aek Nauli
http://bpk.aeknauli.org/index.php?option=com_content&task=view&id=5
9&Itemid=1[28 Agustus 2008]
Sukadaryati, 2006. Potensi Hutan Rakyat Di Indonesia Dan Permasalahannya.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.
http://www.dephut.go.id/files/HR_Permasalahan.pdf&w=potensi+hutan+r
akyat [20 Juli 2009]
Usman, M. 2001. Memposisikan Hutan Rakyat sebagai Aktualisasi Ekonomi
Kerakyatan. http://mofrinet.cbn.net.id/informasi/ menteri/apr. Diakses [12
Oktober 2006]
Widayanti, W.T dan Riyanto, S. 2005. Kajian Potensi Hutan Rakyat dan Analis
Interaksi Masyarakat dengan Sumerdaya Alam di Kabupaten Boyolali.
Jurnal Hutan Rakyat Volume VII No. 2 Tahun 2005. Yogyakarta. Fakultas
Kehutanan UGM

Elmira Safitri : Identifikasi Dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kecamatan Biru-Biru, 2009.

Anda mungkin juga menyukai