Anda di halaman 1dari 14

JURNAL ILMIAH

FAKTOR BERHUBUNGAN DENGAN PERILAKU SEKSUAL REMAJA


SMA NEGERI 3 CILEGON-BANTEN
TAHUN 2013

DISUSUN OLEH :

TRIES AGUSTINI
10.09.000.108

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN INDONESIA MAJU


PROGRAM STUDI DIPLOMA IV KEBIDANAN
JAKARTA 2013

Faktor Berhubungan Dengan Perilaku Seksual Remaja


SMA Negeri 3 Cilegon-Banten Tahun 2013
Tries Agustini1, Finka Reztya2
1

Program DIV Kebidanan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Indonesia Maju


2
Dosen Kebidanan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Indonesia Maju
1
trisagustini@rocketmail.com, 2finka.reztya@ui.ac.id

ABSTRAK
Perilaku seksual dipahami sebagai bentuk perilaku yang muncul karena adanya dorongan seksual atau
kegiatan remaja untuk mendapatkan kesenangan organ seksual melalui berbagai perilaku. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seksual remaja di SMA
Negeri 3 Cilegon-Banten tahun 2013. Penelitian ini dengan pendekatan kuantitatif menggunakan
metode cross sectional. Sampel yang diambil sebanyak 133 siswa kelas XII di SMA Negeri 3 Cilegon
yang memenuhi kriteria inklusi, non inklusi dan eksklusi. Cara pengambilan sampel dengan teknik
total sampling. Dengan analisa data univariat dan data bivariat. Penelitian ini dilakukan pada di
minggu pertama pada bulan Desember 2013 menggunakan kuisioner dengan pertanyaan tertutup. Data
diolah dan dianalisis dengan pendekatan statistik menggunakan SPSS 18.0. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa nilai pengetahuan p= 0.700 (p>0.05), sikap p=0.005 (p<0.05), lingkungan p=
0.355 (p>0.05), dan nilai sumber informasi p= 0.011 (p<0.05 disimpulkan bahwa ada hubungan antara
sikap dan sumber informasi terhadap perilaku seksual remaja dan tidak ada hubungan antara
pengetahuan dan lingkungan terhadap perilaku seksual remaja. Saran dalam penelitian ini yaitu
diharapkan untuk referensi bagi siswa tentang dampak seks pranikah, dengan mencari sumber
informasi yang baik dan akurat. Bagi orang tua/ wali diharapkan dapat membantu dalam memberikan
pengetahuan tentang seksual pranikah pada anak remajanya sejak usia dini.
Kata kunci : Perilaku, Seksual, Pranikah, Remaja

ABSTRACT
Sexual behavior is understood as a form of behavior that appear due to sexual drive or teen activities
to get the pleasure of sexual organs through a variety of behaviors. But the compensation of this sense
of encouragement towards the opposite sex, teens have less good self control and first distributed
through improper promote special safety lanes. This research aims to know the factors that affect
adolescent sexual behavior in SMA Negeri 3-Cilegon of Banten by 2013. This research with
quantitative methods approach of cross sectional. Samples taken as much as 133 class XII students in
SMA Negeri 3 Cilegon which meet the criteria of inclusion, the non inclusion and exclusion. Way of
sampling technique with total sampling. With data analysis univariate data and bivariat. This
research was conducted in the first week in December 2013 using a questionnaire with closed
questions. Data is processed and analyzed with the SPSS statistical approach using 18.0. The results
showed that the value of knowledge p = 0.700 (p > 0.05), attitude p = 0,005 (p < 0.05), environment
p = 0.355 (p >0.05), and the value of information resources p = 0,011 (p < 0.05) so that it can be
concluded that there is a relationship between attitudes and information sources on teen sexual
behavior and there is no relationship between knowledge and environment against teenage sexual
behavior. As for the suggestions in this study which is expected to be a reference for students about the
impact of premarital sex, by finding a good source of information and accurate as well as a good
friend can choose to avoid premarital sex behaviors to be affected. For parents/carers are expected to
assist in providing knowledge of premarital sexual at older teenage years since an early age.
Keyword : Behavior, Sexual, Premarital, Teenage

Pendahuluan
Menurut World Health Organization
(WHO), remaja merupakan individu yang
sedang mengalami masa peralihan, yang dari
segi kematangan biologis, seksual sedang
berangsur-angsur memperlihatkan karakteristik
seks sekunder sampai mencapai kematangan
seks, dari segi perkembangan kejiwaan,
jiwanya sedang berkembang dari sifat anakanak menjadi dewasa. Dari segi sosial ekonomi
remaja adalah individu yang beralih dari
ketergantungan, menjadi relatif bebas.1
Masa remaja menjadi masa transisi dimana
individu merupakan makhluk aseksual menjadi
seksual.
Kematangan
hormonal
serta
menguatnya karakteristik seksual primer dan
sekunder
diikuti
pula
perkembangan
emosionalnya. Selama masa peralihan ini
diikuti perkembangan secara biologis dari
masa anak-anak menuju dewasa dini. Pada
masa transisi seperti ini menjadi rawan
terhadap meningkatnya aktifitas seksual aktif
maupun pasif. Pada masa ini impuls-impuls
dorongan seksual (sexdrive) mengalami
peningkatan dan pada saat tersebut rasa
ketertarikan
remaja
untuk
merasakan
kenikmatan seksual meningkat. Perilaku
seksual sendiri dipahami sebagai bentuk
perilaku yang muncul karena adanya dorongan
seksual atau kegiatan mendapatkan kesenangan
organ seksual melalui berbagai perilaku.
Namun pemahaman pengertian mengenai
perilaku seksual yang selama ini yang
berkembang di masyarakat hanya berkutat
seputar penetrasi dan ejakulasi.2
Perilaku seksual sendiri dipahami sebagai
bentuk perilaku yang muncul karena adanya
dorongan seksual atau kegiatan mendapatkan
kesenangan organ seksual melalui berbagai
perilaku. Namun pemahaman pengertian
mengenai perilaku seksual yang selama ini
yang berkembang di masyarakat hanya
berkutat seputar penetrasi dan ejakulasi. Dalam
kondisi tertentu remaja cenderung memiliki
dorongan seks yang kuat. Namun kompensasi
dari dorongan rasa ini terhadap lawan jenis,
remaja kurang memiliki kontrol diri yang baik
dan terlebih disalurkan memalui kanalisasi
yang tidak tepat. Perilaku semacam ini rawan
terhadap timbulnya masalah-masalah baru bagi
remaja. Banyak ditemukan remaja melakukan
penyaluran dorongan yang tidak sesuai dengan
apa yang menjadi norma masyarakat setempat
ataupun diwujudkan melalui ekspresi seksual
yang kurang sehat. Dorongan ini rawan

terhadap munculnya pelecehan seksual.


Perilaku seks yang kurang sehat itu jarang
disadari remaja dan selanjutnya menimbulkan
kerugian terhadap remaja itu sendiri.2
Menurut survey terbaru tahun 2010
terhadap pengguna internet, 40 persen remaja
di seluruh dunia belum pernah berhubungan
seks. Survei yang melibatkan 1.210 remaja pria
dan 1.100 remaja wanita di seluruh dunia ini
mengungkap, 40 persen atau hampir setengah
remaja berusia 18-24 tahun masih perawan
atau belum berhubungan seks. Menurut hasil
survey yang dilakukan Komisi Nasional
(Komnas) Perlindungan Anak tahun 2008 di 33
provinsi di Indonesia, 62,7 % siswi remaja
yang tercatat sebagai pelajar SMP dan SMA di
Indonesia sudah tidak perawan lagi. Hal ini
merupakan gambaran dari banyaknya remaja
yang melakukan free sex sebelum menikah
yang merupakan salah satu faktor penyebaran
HIV/AIDS, PMS dan masalah kesehatan
reproduksi serius lainnya.3
Menurut Dr. Tb. Rachmat Sentika, SpA,
MARS dalam acara konferensi pers Gerakan
Nasional Kesehatan Ibu dan Anak menuju
Pencapaian MDGs 2015, di Hotel Milenium,
Jakarta, Rabu (23/6/2010), Dr Rachmat
menuturkan berdasarkan survei terhadap
kesehatan reproduksi remaja yang dilakukan
pada tahun 2007 remaja usia 15-19 tahun baik
putra maupun putri tidak sedikit yang sudah
pernah melakukan hubungan seksual. Data
terhadap 10.833 remaja laki-laki berusia 15-19
tahun didapatkan sekitar 72 % sudah
berpacaran, sekitar 92 % sudah pernah
berciuman, sekitar 62 % sudah pernah merabameraba pasangan, sekitar 10.2 % sudah pernah
melakukan hubungan seksual. Sedangkan hasil
survey dari 9.344 remaja putri yang berusia 1519 tahun didapatkan data sekitar 77 % sudah
berpacaran, sekitar 92 % sudah pernah
berciuman, sekitar 62 % sudah pernah merabameraba pasangan, sekitar 6.3 % sudah pernah
melakukan hubungan seksual.4
Sikap remaja terhadap seks bebas sudah
berada pada tingkat yang mengkhawatirkan,
hal itu dibuktikan oleh berbagai hasil survei
dan penelitian mengenai sikap seks bebas
kalangan remaja, termasuk di lingkungan
kampus, yang menunjukkan bahwa angka
relatif sikap setuju terhadap perilaku seks
bebas antara 10% -32%.5
Berdasarkan data kumulatif dari tahun 1989
sampai September 2011, tercatat sebanyak
3.925 kasus AIDS dan 2.354 kasus HIV di

Banten. Di antara jumlah tersebut, sebanyak


934 kasus AIDS dan 614 kasus HIV diderita
oleh perempuan yang juga merupakan salah
satunya merupakan remaja yang tidak perawan
lagi.6
Hasil studi pendahuluan penulis pada tahun
2012 dengan judul Gambaran Faktor-Faktor
Yang Mempengaruhi Perilaku Seksual Remaja
di SMA Negeri 3 Cilegon-Banten menggambarkan bahwa sekitar 57 % remaja
memiliki resiko rendah terhadap perilaku
seksualnya yaitu pernah berpacaran dan
bergandengan tangan dengan lawan jenis dan
25% remaja memiliki resiko tinggi terhadap
perilaku seksualnya yaitu pernah berpacaran,
bergandengan tangan, berciuman hingga
melakukan hubungan seksual. diketahui bahwa
sebagian besar dari 167 responden mempunyai
tingkat pengetahuan kurang yaitu sebanyak 82
responden (49,1%), siswa yang terpapar media
informasi yaitu sebanyak 107 orang (64.1%)
dari media elektronik maupun dari media
cetak. Dari hasil penelitian tahun 2012 lalu
dapat disimpulkan masih banyaknya siswa dan
siswi SMA Negeri Cilegon memiliki resiko
tinggi terhadap perilaku seksual dan tingkat
pengetahuan yang rendah serta masih
banyaknya remaja yang mendapat sumber
informasi tentang seks dari media elektronik
maupun dari media cetak.7
Kerangka konsep pada penelitian ini adalah
Berdasarkan teori Lawrence Green dalam buku
Notoadmodjo maka yang mempengaruhi
perilaku dibagi menjadi 3 yaitu faktor faktor
predisposisi (Disposing factors) yaitu faktorfaktor yang mempermudah atau mempredisposisi terjadinya perilaku seseorang,
antara lain keyakinan, kepercayaan, tradisi,
pengetahuan, sikapdan nilai (norma). Faktor
faktor Pemungkin (enabling factors) adalah
faktor-faktor yang memungkinkan atau yang
memfasilitasi perilaku atau tindakan. Yang
dimaksud dengan faktor pemungkin adalah
sarana dan prasarana, sumber informasi dan
lingkungan sekitar remaja. Faktor faktor
penguat (reinforcing factors) adalah faktorfaktor
yang mendorong atau meperkuat
terjadinya perilaku. Kadang-kadang meskipun
seseorang tahu dan mampu untuk berperilaku
sehat, tetapi tidak melakukanya. Faktor yang
mendorong adalah tokoh masyarakat dan tokoh
agama.8
Tujuan umum dilakukannya penelitian ini
adalah untuk Mengetahui faktor-faktor yang
berhubungan dengan perilaku seksual remaja

pranikah di SMA Negeri 3 Kelas XII CilegonBanten tahun 2013.


Metode
Penelitian ini menggunakan metode
deskriptif analitik dengan menggunakan
pendekatan secara cross sectional. Populasi
dalam penelitian adalah seluruh siswa-siswi di
SMA Negeri 3 Cilegon-Banten kelas XII yang
berpacaran, sebanyak 200 orang. Sampel atau
populasi studi merupakan hasil pemilihan
subyek dari populasi untuk memperoleh
karakteristik populasi. Dalam penelitian ini
menggunakan teknik probability sampling
yaitu pengambilan sampel secara random
dimana setiap subjek dalam populasi mendapat
peluang yang sama untuk dipilih sebagai
anggota sampel. Sampel dalam penelitian ini
dengan cara menghitung rumus sampel dengan
hasil sampel berjumlah 133 orang.9
Kriteria inklusi adalah karakteristik umum
subjek penelitian dari suatu populasi target
yang terjangkau yang akan diteliti10. Kriteria
inklusi dalam penelitian ini adalah seluruh
siswa siswi di SMA Negeri 3 Cilegon, kelas
XII dan juga berpacaran yang bersedia menjadi
responden tahun 2013.
Kriteria eksklusi adalah menghilangkan/
mengeluarkan subjek yang memenuhi kriteria
inklusi dari penelitian karena sebab-sebab
tertentu10.
Kriteria Ekslusi dalam penelitian ini adalah
siswa siswi di SMA Negeri 3 Cilegon, kelas
XII dan juga berpacaran tahun 2013 yang
menolak untuk dijadikan sampel pada
penelitian ini atau yang berhalangan hadir pada
saat penelitian seperti sakit atau pergi.
Analisis data diolah menggunakan software
SPSS for Windows Versi 18. Yang hasilnya
meliputi: Univariat pada analisis univariat, data
yang diperoleh dari hasil pengumpulan dapat
disajikan dalam bentuk tabel distribusi
frekuensi, ukuran tendensi sentral, atau grafik.
Analisa
univariat
digunakan
untuk
mendeskripsikan karakteristik dari variabel
independen dan dependen.10 Keseluruhan data
yang ada dalam kuesioner diolah dan disajikan
dalam bentuk tabel distribusi frekuensi. Data
yang terkumpul kemudian di analisis dengan
cara univariat terhadap semua variabel
independent pengetahuan, sikap, lingkungan,
sumber informasi dan dependent perilaku
seksual remaja. Data ini akan menghasilkan
distribusi frekuensi dan prosentase dari tiap
variabel yang bertujuan untuk memperoleh

gambaran distribusi dari tiap variabel yang


diteliti, data yang telah dianalisis disajikan
dalam bentuk tabel-tabel distribusi frekuensi
dan prosentase. Hasil penelitian diperoleh
dengan menghitung prosentase (%) jawaban
yang benar untuk setiap pertanyaan. Setiap
pertanyaan yang dijawab benar diisi nilai 1
(satu) jika salah diberi nilai 0 (nol), selanjutnya
dimasukkan dalam rumus untuk memperoleh
prosentase.
Bivariat analisis bivariat merupakan
analisis untuk mengetahui interaksi dua
variable, baik berupa komparatif, asosiatif
maupun korelatif. Analisis bivariat digunakan
untuk melihat hubungan antara variabel
independen dan variabel dependen dengan
menggunakan analisis uji chi square10. Dalam
penelitian ini mengunakan uji kai kuadrat
karena data yang digunakan dalam bentuk data
kategorik. Dalam penelitian kesehatan sering
kali peneliti perlu melakukan analisi hubungan
variabel kategorik dengan variabel kategorik.
Analisis ini bertujuan untuk menguji
perbedaan proporsi dua atau lebih kelompok
sampel, dalam hal ini uji yang cocok
digunakan adalah uji kai kuadrat (Chi Square).
Dalam bidang kesehatan untuk mengetahui
derajat hubungan, dikenal ukuran Risiko
Realatif (RR) dan Odss Ratio (OR). Risiko
relatif membandingkan risiko pada kelompok
ter-ekspose dengan kelompok tidak terekspose.
Sedangkan Odss Rasio membandingkan Odss
pada kelompok ter-ekspose dengan Odss
kelompok tidak ter-ekspose. Ukuran RR pada
umumnya digunakan pada desain Kohort,
sedangkan ukuran OR biasanya digunakan
pada desain kasus kontrol atau potong lintang
(Cross sectional), dan dalam penelitian ini
peneliti menggunakan nilai OR bila terdapat
tabel 2x2. Melalui uji statistik chi square akan
diperoleh nilai p, dimana dalam penelitian ini
digunakan tingkat kemaknaan sebesar 0,05.
Penelitian antara dua variabel dikatakan
bermakna jika mempunyai nilai p 0,05 yang
berarti Ho ditolak dan Ha diterima dan
dikatakan tidak bermakna jika mempunyai
nilai p >0,05 yang berarti Ho diterima dan Ha
ditolak.10
Penyajian Data dalam penelitian ini yaitu
Naratif (Tekstular) penyajian data dengan
narasi (kalimat) atau memberikan keterangan
secara tulisan. Pengumpulan data dalam bentuk
tertulis mulai dari pengambilan sampel,
pelaksanan pengumpulan data dan sampai hasil
analisis yang berupa informasi dari pe-

ngumpulan data tersebut. Tabel penyajian data


secara tabular yaitu memberikan keterangan
berbentuk angka. Jenis yang digunakan dalam
penelitian ini adalah master table dan table
distribusi frekuensi. Dimana data disusun
dalam baris dan kolom dengan sedemikian
rupa sehingga dapat memberikan gambaran.
Grafik selain dapat disajikan ke dalam bentuk
tabel sebagaimana dikemukakan di atas, datadata angka juga dapat disajikan ke dalam
bentuk grafik, atau lengkapnya grafik
frekuensi. Pembuatan grafik frekuensi pada
hakikatnya merupakan kelanjutan dari
pembuatan tabel distribusi frekuensi karena
pembuatan grafik itu haruslah didasarkan pada
tabel distribusi frekuensi.10
Hasil
Tabel 1 Analisa Univariat
Variable
Kategori
Perilaku
Buruk
seksual
Baik
Pengetahua Rendah
n
Sedang
Tinggi
Sikap
Negatif
Positif
Lingkungan Ling.
Keluarga
Ling.
Pergaulan
Ling.
Sekolah
Sumber
Med. Cetak
informasi
Med.
Elektronik
Teman
sebaya

N
62
71
16
43
74
56
66
51

%
47%
53%
12%
32%
56%
42%
58%
38%

58

44%

24

18%

37
45

28%
34%

51

38%

Sumber: Data SPSS Frekuensi Tahun 2013

Berdasarkan hasil analisa tabel diatas,


diketahui bahwa dari 133 responden yang
memiliki perilaku seksual baik lebih banyak
persentasenya yaitu sebanyak 71 orang (53,4
%) dibandingkan perilaku seksual yang buruk
yaitu sebanyak 62 orang (46,6 %). Yang
mempunyai tingkat pengetahuan tinggi yaitu
74 responden (55,6%) dan yang berpengetahuan sedang yaitu 43 responden
(32,3%) sedangkan dari 16 responden (12 %)
berpengetahuan rendah. Yang mempunyai
sikap yang positif yaitu 77 responden (57,9 %)
sedangkan dari 56 responden (42,1 %)
mempunyai sikap yang negatif. Yang
mendapatkan dukungan dari lingkungan

pergaulan yaitu 58 responden (43,6 %), dari 51


responden (38,3%) mendapatkan dukungan
dari lingkungan keluarga sedangkan dari 24
responden (18,0 %) mendapat dukungan dari
lingkungan sekolah. Yang mendapatkan

sumber informasi dari teman sebaya yaitu 51


responden (38,3 %), dari media elektronik
yaitu 45 responden (33,8%) sedangkan dari 37
responden (27,8 %) mendapat sumber
informasi dari media cetak.

Tabel 2 Analisa Bivariat


Buruk

Perilaku
Baik

Total

Variabel
f
Pengetahuan
Rendah
9
Sedang
19
Tinggi
34
Sikap
Negatif
34
Positif
28
Lingkungan
Ling. Keluarga
26
Ling. Pergaulan
23
Ling. Sekolah
13
Sumber Informasi
Media Cetak
10
Media Elektronik
27
Teman Sebaya
25
Sumber: Data SPSS Crosstab Tahun 2013

P value

0,700

6,8
14,3
25,5

7
24
40

5,3
18,0
30,1

16
43
74

12,0
32,3
55,6

25,6
21,1

22
49

16,5
36,8

56
77

42,1
57,9

19,5
17,3
9,8

25
35
11

18,8
26,3
8,3

51
58
24

38,3
43,6
18,0

0,355

7,5
20,3
18,8

27
18
26

20,3
13,5
19,5

37
45
51

27,8
33,8
38,3

0,011

Berdasarkan hasil analisa tabel 2 diatas,


bahwa hubungan antara pengetahuan remaja
dengan perilaku seksual remaja menunjukkan
bahwa responden yang memiliki pengetahuan
rendah dan perilaku buruk adalah sebanyak 9
responden (6,8%), responden yang memiliki
pengetahuan tinggi dan perilaku buruk adalah
sebanyak 34 responden (25,5%). Responden
yang memiliki pengetahuan rendah dan
perilaku baik adalah sebanyak 7 responden
(5,3%) dan responden yang memiliki
pengetahuan tinggi dan perilaku baik adalah
sebanyak 40 responden (30,1%). Hasil uji
statistik di peroleh nilai p = 0,700 dalam hal ini
nilai p > 0.05 berarti Ho di terima dan
pernyataan Ha di tolak maka dapat
disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara
pengetahuan dengan perilaku seksual remaja.
Hubungan antara sikap remaja dengan
perilaku seksual remaja menunjukkan bahwa
responden yang memiliki sikap negatif dan
perilaku buruk adalah sebanyak 34 responden
(25,6%), responden yang memiliki sikap
positif dan perilaku buruk adalah sebanyak 28
responden (21,1%). Responden yang memiliki
sikap negatif dan perilaku baik adalah
sebanyak 22 responden (16,5%) dan responden

OR
%

2,705
0,005
(1,331-5,497)

yang memiliki sikap positif dan perilaku baik


adalah sebanyak 49 responden (36,8%). Hasil
uji statistik di peroleh nilai p = 0,005 dalam hal
ini nilai p < 0.05 berarti Ho di tolak dan
pernyataan Ha di terima maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara sikap
dengan perilaku seksual remaja. Analisa
keeratan hubungan dua variabel didapatkan
OR = 2,705 (95% CI: 1,331-5,497) berarti
responden dengan perilaku negatif mempunyai
peluang terhadap perilaku seksual remaja
2,705 kali dibanding responden dengan
perilaku positif.
Hubungan antara lingkungan remaja
dengan perilaku seksual remaja menunjukkan
bahwa responden yang memiliki dukungan di
lingkungan keluarga dan perilaku buruk adalah
sebanyak 26 responden (19,5%), responden
yang memiliki dukungan di lingkungan
pergaulan dan perilaku buruk adalah sebanyak
23 responden (17,3%) dan responden yang
memiliki dukungan di lingkungan sekolah dan
perilaku buruk adalah sebanyak 13 responden
9,8%. Sedangkan responden yang memiliki
dukungan di lingkungan keluarga dan perilaku
baik adalah sebanyak 25 responden (18,8%)
responden yang memiliki dukungan di
lingkungan pergaulan dan perilaku baik adalah
sebanyak 35 responden (26,3%) dan responden

yang memiliki dukungan di lingkungan


sekolah dan perilaku baik adalah sebanyak 11
responden (8,3%). Hasil uji statistik di peroleh
nilai p = 0,355 dalam hal ini nilai p > 0.05
berarti Ho di terima dan pernyataan Ha di tolak
maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada
hubungan antara lingkungan dengan perilaku
seksual remaja.
Hubungan antara sumber informasi dengan
perilaku seksual remaja menunjukkan bahwa
responden yang mendapat informasi melalui
media cetak dan perilaku buruk adalah
sebanyak 10 responden (7,5%), responden
yang mendapat informasi melalui media
elektronik dan perilaku buruk adalah sebanyak
27 responden (20,3%) dan responden yang
mendapat informasi melalui teman sebaya dan
perilaku buruk adalah sebanyak 25 responden
(18,8%). Sedangkan responden yang mendapat
informasi melalui media cetak dan perilaku
baik adalah sebanyak 27 responden (20,3%),
responden yang mendapat informasi melalui
media elektronik dan perilaku baik adalah
sebanyak 18 responden (13,5%) dan responden
yang mendapat informasi melalui teman
sebaya dan perilaku buruk adalah sebanyak 26
responden (19,5%). Hasil uji statistik di
peroleh nilai p = 0,011 dalam hal ini nilai p <
0.05 berarti Ho di tolak dan pernyataan Ha di
terima maka dapat disimpulkan bahwa ada
hubungan antara sumber informasi dengan
perilaku seksual remaja.
Diskusi
Gambaran perilaku seksual pada siswa
siswi kelas 3 SMA Negeri 3 Cilegon Banten
tahun 2013 di ketahui bahwa yang terbanyak
terdapat pada responden yang memiliki
perilaku baik yaitu 71 responden (53,4%)
sedangkan responden yang memiliki perilaku
buruk sebanyak 62 responden (46,6%).
Perilaku seksual remaja adalah segala
tingkah laku yang didorong oleh hasrat
seksual, baik dengan lawan jenis maupun
sesama jenis. Bentuk-bentuk tingkah laku ini
dapat beraneka ragam, mulai dari perasaan
tertarik hingga tingkah laku berkencan,
bercumbu, dan bersenggama.11
Menurut Mutadin perilaku seksual
ptranikah merupakan perilaku seksual yang
dilakukan tanpa melalui proses pernikahan
resmi menurut agama dan kepercayaan
masing-masing. Proporsi responden beresiko
perilaku seksual pranikah yaitu berciuman
bibir 53%, meraba-raba dada 18,4%, kegiatan

meraba-raba kelamin 7,7%, menggesek-gesek


kelamin 5,7%, hubungan seksual 6,5%. Dan
perilaku seksual yang tidak beresiko yaitu
berpacaran
sebesar
94,3%,
kegiatan
berpegangan tangan 90,8%, berangkulan
80,1%, berpelukan 69,3% dan berciuman pipi
73,9%. Hasil penelitian ini dibuktikan oleh
penelitian Ariyanto mengungkapkan bahwa
41,3% melakukan ciuman bibir dengan
pasangannya, 16,7% melakukan ciuman pipi,
1,4% tidak melakukan perilaku seksual dalam
berpacaran. Berciuman bibir merupakan
perilaku seksual yang paling banyak dilakukan
oleh partisipan.12
Penelitian lain yang mendukung diungkapkan oleh Darmasih bahwa bentuk perilaku
seksual pranikah remaja SMA di Surakarta
adalah melakukan berciuman bibir 81,6%,
masturbasi sebanyak 20,2%. Perilaku seksual
pranikah pada remaja di SMA Surakarta
menunjukkan sebagian besar perilaku seks
pranikah remaja dalam kategorik baik
sebanyak 43,9%, kategorik sedang sebanyak
40,4% dan kategorik buruk sebanyak 15,8%.
Berdasarkan hasil analisis univariat terhadap
perilaku seksual pranikah pada mahasiswa
semester V STIKes X Jakarta Timur tahun
2010 diperoleh bahwa 55,2% responden
beresiko melakukan perilaku seksual pranikah.
Pada penelitian Sukartini tahun 2011 terhadap
murid SMK Kesehatan di Kabupaten Bogor
diketahui bahwa 60,7% responden berperilaku
seksual beresiko berat seperti melakukan
mencium bibir, mencium leher, meraba daerah
erogen, bersentuhan alat kelamin dan
melakukan hubungan seks. Sedangkan 39,3%
berperilaku seksual dalam kategori ringan
seperti mengobrol, menonton film berdua,
jalan berdua, berpegangan tangan, mencium
pipi dan berpelukan. Menurut Damayanti dari
beberapa perilaku seksual tersebut yang
termasuk perilaku seksual beresiko berat
adalah mulai berciuman bibir, meraba alat
kelamin pasangan, mengesek-gesek kelamin
sampai dengan hubungan seks.13
Penelitian ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Anggia Fraselia Putri14
yaitu frekuensi yang terbanyak terdapat pada
responden yang memiliki baik yaitu 96
responden (84,2%) sedangkan responden yang
memiliki perilaku buruk sebanyak 18
responden (15,8%).
Penelitian ini juga sesuai dengan teori
Notoadmodjo yang mengatakan bahwa
perilaku seksual remaja adalah tindakan yang

dilakukan remaja yang berhubungan dengan


dorongan seksual yang datang dari dalam atau
dari luar dirinya. Dan Quadrel et. Al dalam
buku Notoadmodjo juga mengatakan bahwa
persepsi bahwa dirinya memiliki resiko yang
lebih rendah atau tidak beresiko sama sekali
yang berhubungan dengan perilaku seksual,
semakin mendorong remaja memenuhi
dorongan seksualnnya pada saat sebelum
menikah. Persepsi seperti ini disebut youth
vulnerability.8
Tapi berlawanan dengan penelitian dari
Amaliyasari dan Puspitasari bahwa remaja
yang berperilaku seksual pranikah sekarang ini
jumlahnya semakin meningkat, responden
yang pernah melakukan masturbasi sebanyak
8,6%, berpegangan tangan sebanyak 31,8%,
bermimpi tentang seks sebanyak 28,5% yang
masih tergolong wajar, sedangkan perilaku
seksual pranikah yang tidak wajar terdiri dari
berkata jorok sebanyak 25,8%, melihat dengan
sengaja sesuatu yang berbau seks sebanyak
10,6%, sengaja berfantasi seksual sebanyak
17,9%, pernah berciuman sebanyak 11,9%,
pernah berpelukan sebanyak 7,3%, pernah
memegang bagian sensitif orang lain sebanyak
8,6%, dan menggesekkan alat kelamin ke
tubuh orang lain sebanyak 1,3%. Kegiatan
petting, berhubungan seks, anal seks, dan oral
seks, tidak satupun responden yang pernah
melakukannya. Hasil penelitian Nursal juga
menyatakan bahwa ada sebanyak 58 orang
(16,6%) murid di SMU Negeri di Padang
berperilaku seksual beresiko, diantaranya 15
orang (4,3%) telah melakukan hubungan
seksual. Agama, budaya dan normatif
walaupun proporsinya kecil menunjukkan telah
terjadi penyimpangan perilaku seksual pada
remaja karena telah melakukan hubungan
seksual yang boleh dilakukan orang yang
sudah menikah. Kemungkinan adanya
underestimate yang disebabkan remaja takut
ataupun malu mengakui perilaku seksual
mereka.15
Analisis univariat pengetahuan adalah
gambaran pengetahuan remaja tentang periaku
seksual. Gambaran pengetahuan tentang periku
seksual remaja pada remaja siswa siswi kelas 3
di SMA Negeri 3 Cilegon Banten tahun 2013
di ketahui bahwa yang terbanyak responden
yang berpengetahuan tinggi adalah sebanyak
74 responden (55,6%) dan yang terendah
adalah responden yang berpengetahuan rendah
sebanyak 16 responden (12%). disimpulkan
yang terbesar adalah di pengetahuan tinggi.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian


yang dilakukan oleh Anggia Fraselia Putri
yaitu frekuensi yang terbanyak terdapat pada
responden yang berpengetahuan tinggi yaitu 94
responden (82,5%) sedangkan responden yang
memiliki pengetahuan rendah sebanyak 20
responden (17,5%).14
Menurut Notoadmodjo pengetahuan merupakan hasl dari tahu dan ini terjadi setelah
orang melakukan pengindraan terhadap suatu
objek tertentu. Pengetahuan yang baik
didukung oleh tingkat pengetahuan orang tua
yang baik dalam memberikan informasi
tentang seks pranikah. Pengetahuan atau
kognitif merupakan domain yang sangat
penting untuk terbentuknya tindakan seseorang
(overt
behavior).
Pengetahuan
adalah
merupakan hasil dari tahu dan ini setelah orang
melakukan penginderaan terhadap objek
tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca
indera manumur, yakni indera pengelihatan,
pendengaran, penciuman, rasa dan raba.
Sebagian besar pengetahuan manumur
diperoleh melalui mata dan telinga. Dalam
wikipedia dijelaskan pengetahuan adalah
informasi atau maklumat yang diketahui atau
disadari
oleh
seseorang.
Pengetahuan
termasuk, tetapi tidak dibatasi pada deskripsi,
hipotesis, konsep, teori, prinsip dan prosedur
yang secara probabilitas Bayesian adalah benar
atau berguna. Pengetahuan bukanlah sesuatu
yang sudah ada dan tersedia dan sementara
orang lain tinggal menerimanya. Pengetahuan
adalah sebagai suatu pembentukan yang terus
menerus oleh seseorang yang setiap saat
mengalami reorganisasi karena adanya pemahaman-pemahaman baru. Dalam pengertian lain, pengetahuan adalah berbagai
gejala yang ditemui dan diperoleh manumur
melalui pengamatan akal. Pengetahuan muncul
ketika seseorang menggunakan akal budinya
untuk mengenali benda atau kejadian tertentu
yang belum pernah dilihat atau dirasakan
sebelumnya. Misalnya ketika seseorang
mencicipi masakan yang baru dikenalnya, ia
akan mendapatkan pengetahuan tentang
bentuk, rasa, dan aroma masakan tersebut.8
Analisis univariat sikap adalah gambaran
sikap remaja terhadap perilaku seksual remaja.
Gambaran sikap pada siswa siswi kelas 3 SMA
Negeri 3 Cilegon Banten tahun 2013 di ketahui
bahwa yang terbanyak terdapat pada responden
yang memiliki sikap positif yaitu 77 responden
(57,9%) sedangkan responden yang memiliki
sikap negatif sebanyak 56 responden (42,1%).

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang


dilakukan oleh Anggia Fraselia Putri yaitu
frekuensi yang terbanyak terdapat pada
responden yang memiliki sikap positif yaitu 76
responden (66,7%) sedangkan responden yang
memiliki sikap negatif sebanyak 38 responden
(33,3%).14
Analisis univariat lingkungan adalah
gambaran dukungan lingkungan remaja
terhadap perilaku seksual remaja. Gambaran
lingkungan pada siswa siswi kelas 3 SMA
Negeri 3 Cilegon Banten tahun 2013 di ketahui
bahwa yang terbanyak terdapat pada
lingkungan pergaulan sebanyak 58 responden
(43,6%) sedangkan yang terendah terdapat
pada lingkungan sekolah sebanyak 24
responden (18,1%).
Penelitian ini berlawanan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Anggia Fraselia Putri
yaitu frekuensi yang terbanyak terdapat pada
lingkungan sekolah yaitu 77 responden
(67,5%) sedangkan yang rendah terdapat pada
lingkungan pergaulan sebanyak 37 responden
(32,5%).14
Analisis univariat sumber informasi adalah
gambaran sumber informasi yang didapat
remaja dalam mencari tahu informasi tentang
seks. Gambaran sumber informasi pada siswa
siswi kelas 3 SMA Negeri 3 Cilegon Banten
tahun 2013 di ketahui bahwa yang terbanyak
terdapat pada sumber informasi teman sebaya
yaitu sebanyak 51 responden (38,3%)
sedangkan yang terendah terdapat pada sumber
informasi media cetak yaitu sebanyak 37
responden (27,8%).
Penelitian ini berlawanan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Anggia Fraselia Putri
yaitu frekuensi yang terbanyak terdapat pada
responden yang mendapat sumber informasi
dari media elektronik yaitu 73 responden
(64%) sedangkan yang terendah terdapat pada
responden yang mendapat sumber informasi
dari media cetak sebanyak 41 responden
(36%).14
Hubungan antara pengetahuan remaja
dengan perilaku seksual remaja menunjukkan
bahwa yang tertinggi adalah responden yang
memiliki pengetahuan tinggi dan perilaku baik
yaitu 40 responden (30,1%) sedangkan yang
terendah adalah responden yang memiliki
pengetahuan rendah dengan perilaku baik yaitu
7 responden (5,3%). Hasil penelitian ini
menunjukkan nilai p = 0,700 (p> 0,05) maka
secara statistik tidak terdapat hubungan antara
pengetahuan dengan perilaku seksual.

Penelitian ini berlawanan dengan penelitian


yang dilakukan oleh Rini Kundaryati yang
menggambarkan bahwa adanya hubungan yang
signifikan antara pengetahuan dengan perilaku
seksual remaja.16
Tetapi hal ini sesuai dengan teori yang
dikemukakan oleh Arikunto Pengetahuan
adalah informasi yang telah dikombinasikan
dengan pemahaman dan potensi untuk
menindaki; yang lantas melekat di benak
seseorang. Pada umumnya, pengetahuan
memiliki kemampuan prediktif terhadap
sesuatu sebagai hasil pengenalan atas suatu
pola. Manakala informasi dan data sekedar
berkemampuan untuk menginformasikan atau
bahkan menimbulkan kebingungan, maka
pengetahuan
berkemampuan
untuk
mengarahkan tindakan. Ini lah yang disebut
potensi untuk menindaki. Penelitian ini
berlawanan dengan teori dan penelitian oleh
Rini Kundaryati. Menurut peneliti disebabkan
oleh perbedaannya tempat dan jumlah
responden
yang
diteliti
yang
dapat
mengakibatkan perbedaan hasil yang diteliti.17
Dari hasil penelitian oleh Samino yaitu
hasil uji Chi-Square dilaporkan tidak
menunjukkan adanya hubungan antara
pengetahuan remaja mengenai kesehatan
reproduksi dengan perilaku seksual remaja
(p=1,000). Tapi hasil penelitian yang
dilakukan Samino bertentangan dengan
Wulandari,
dinyatakan
ada
hubungan
pengetahuan dengan perilaku seksual remaja
SMA di Bandar Lampung 2009 (p=0,000).
Hasil penelitian ini tidak selaras dengan
penelitian terdahulu. Hal ini dapat dimengerti
bahwa masalah perilaku seksual remaja sangat
unik dan sulit untuk mengukurnya. Hemat
peneliti apakah jawaban responden yang
diberikan kepada peneliti apa adanya, atau ada
sebagian yang menutupi perilakunya sehingga
hasilnya tidak sesuai dengan kenyataan. Hal ini
terlihat bahwa responden yang pengetahuannya
kurang baik, perilaku seksualnya beresiko
lebih kecil dibandingkan dengan yang tidak
beresiko (44,4%:55,6%). Kalau mereka
memberikan apa adanya, secara teoritis jika
pengetahuan rendah maka perilaku seksual
yang beresiko lebih banyak. Hal ini juga
terlihat bahwa responden yang berpengetahuan
baik seharusnya perilaku yang beresiko juga
sedikit, tetapi hasil ini menunjukkan angka
44,6%, tidak jauh berbeda dengan yang tidak
beresiko (55,4%). Walaupun hasil ini tidak
menunjukkan
pentingnya
pengetahuan

kesehatan
reproduksi
remaja,
peneliti
menganggap tetap penting, sehingga materi
kesehatan
reproduksi
remaja
tetap
ditingkatkan, baik pada lingkungan rumah
tangga, sekolah, maupun dalam masyarakat. 18
Hubungan antara sikap remaja dengan
perilaku seksual remaja menunjukkan bahwa
yang tertinggi adalah responden yang memiliki
sikap positif dan perilaku baik yaitu 49
responden (36,8%) sedangkan yang terendah
adalah responden yang memiliki sikap negatif
dengan perilaku baik yaitu 22 responden
(16,5%). Hasil penelitian ini menunjukkan
nilai p = 0,005 (p< 0,05) maka secara statistik
terdapat hubungan antara sikap dengan
perilaku seksual responden. Analisa keeratan
hubungan dua variabel didapatkan OR = 2,705
(95% CI: 1,331-5,497) berarti responden
dengan perilaku negatif mempunyai peluang
terhadap perilaku seksual remaja 2,705 kali
dibanding responden dengan perilaku positif.
Penelitian ini berlawanan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Rini Kundaryati yang
menggambarkan
bahwa
tidak
adanya
hubungan yang signifikan antara sikap dengan
perilaku seksual remaja.16
Tetapi penelitian ini sesuai dengan teori
yang dikemukakan oleh Notoadmodjo bahwa
sikap adalah kecenderungan tingkah laku yang
didasari oleh proses evaluatif dalam diri
individu terhadap suatu objek tertentu.1
Sikap adalah kecenderungan tingkah laku
yang didasari oleh proses evaluatif dalam diri
individu terhadap suatu objek tertentu. Sikap
dikatakan sebagai suatu respon evaluasi. Sikap
dapat pula diartikan sebagai kemampuan
internal yang berperan sejalan dalam mengambil tindakan. Respon hanya akan timbul
apabila individu dihadapkan pada suatu
stimulus yang menghendaki adanya reaksi
individual. Sikap adalah sesuatu reaksi atau
respon seseorang yang masih tertutup terhadap
suatu stimulus atau objek. Respon evaluasi
berarti bahwa bentuk reaksi yang dinyatakan
sebagai sikap itu timbulnya didasari oleh
proses evaluasi dalam diri individu yang
memberi kesimpulan terhadap stimulus dalam
bentuk nilai baik-buruk, positif-negatif,
menyenangkan dan tidak menyenangkan, yang
kemudian mengkristal sebagai potensi reaksi
terhadap objek sikap.8
Respon hanya akan timbul apabila individu
dihadapkan pada suatu stimulus yang
menghendaki adanya reaksi individual. Sikap
adalah sesuatu reaksi atau respon seseorang

yang masih tertutup terhadap suatu stimulus


atau objek. Penelitian ini berlawanan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Kundaryati
menurut peneliti disebabkan oleh perbedaan
waktu, tempat, kriteria responden dan jumlah
responden yang diteliti yang mengakibatkan
berbedanya hasil yang diteliti.16
Sikap akan menentukan perilaku seseorang,
sikap akan mendorong kearah perbuatan, dapat
berupa kebaikan atau sebaliknya. Sikap yang
baik akan mendorong seorang remaja
berperilaku sesuai dengan norma-norma
berlaku. Sedangkan sikap yang buruk juga
akan mendorong pada perbuatan yang
cenderung melawan norma-norma sosial,
hukum, dan agama. Sikap merupakan sebuah
pendapat, keyakinan seseorang mengenai
objek atau situasi yang relative juga yang
disertai adanya perasaan tertentu, dan
memberikan dasar pada orang tersebut untuk
memilih perilaku tertentu. Namun hasil
penelitian ini tidak melihat adanya hubungan
variabel sikap dalam menjaga keperawanan
dengan perilaku seksual remaja (p=0,485).18
Hasil penelitian ini juga tidak sejalan
dengan
pendapat
Notoatmodjo,
yang
menjelaskan bahwa sikap yang baik akan
meningkatkan perilaku baik, artinya antara
sikap dan perilaku terdapat korelasi. Remaja
yang bersikap berhati-hati dalam menjaga
keperawananannya, terdapat perilaku seksual,
tentu akan berdampak pada perilaku seksual itu
sendiri.1
Selain sesuai dengan teori diatas, juga
bertentangan dengan hasil penelitian Sinaga,
bahwa sikap remaja berkaitan dengan perilaku
seksual beresiko di SMAN 1 Padang Cermin
Kabupaten Pesawaran Tahun 2008 menyebutkan ada hubungan yang signifikan antara
sikap remaja dengan perilaku seksual yang
beresiko (p=0,017). Hemat peneliti, berdasarkan fakta-fakta dan hasil penelitian
tersebut, bahwa sikap remaja dalam menjaga
keperawanan sangat berkaitan dengan perilaku
seksual bebas. Semakin baik sikap remaja
dalam menanggapi masalah keperawanan,
akan semakin baik perilaku seksual bebasnya.
Dengan kemampuan untuk mengendalikan
sikap masing-masing remaja, jelas akan
menghindari perilaku seksual yang tidak
dibenarkan baik moral maupun agama.19
Hubungan antara lingkungan remaja
dengan perilaku seksual remaja menunjukkan
bahwa yang tertinggi adalah responden yang
mendapat dukungan dari lingkungan pergaulan

dan perilaku baik yaitu 35 responden (26,3%)


sedangkan yang terendah adalah responden
yang mendapat dukungan dari lingkungan
sekolah dengan perilaku baik yaitu 11
responden (8,3%). Hasil penelitian ini
menunjukkan nilai p = 0,355 (p> 0,05) maka
secara statistik tidak terdapat hubungan antara
lingkungan dengan perilaku seksual responden.
Dari perbandingan hasil penelitian diatas,
penelitian diatas berlawanan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Soekartini yang
menggambarkan bahwa adanya hubungan yang
signifikan antara lingkungan dengan perilaku
seksual remaja.20
Dan penelitian ini juga tidak sesuai dengan
teori yang dikemukakan oleh Gibson et.al,
bahwa lingkungan memiliki pengaruh yang
sangat besar dalam merubah individu. Tidak
benar jika perubahan individu tidak berkaitan
dengan
lingkungan.
Lingkungan
yang
dimaksud disini adalah lingkungan kerja,
keluarga, komunitas dan sosial.21
Dan juga penelitian ini tidak sesuai dengan
teori yang dikemukakan oleh Hurlock bahwa
faktor lingkungan yang sangat berpengaruh
terhadap
perilaku
reproduksi
remaja
diantaranya adalah faktor keluarga. Remaja
yang melakukan hubungan seksual sebelum
menikah banyak diantara berasal dari keluarga
yang bercerai atau pernah cerai, keluarga
dengan banyak konflik dan perpecahan.
Hubungan orang tua yang harmonis akan
menumbuhkan kehidupan emosional yang
optimal terhadap perkembangan kepribadian
anak dan sebaliknya. Orangtua yang sering
bertengkar akan menghambat komunikasi
dalam keluarga, dan anak akan melarikan
diri dari keluarga. Keluarga yang tidak
lengkap misalnya karena perceraian, kematian,
dan keluarga dengan keadaan ekonomi yang
kurang, dapat mempengaruhi perkembangan
jiwa anak. Karena remaja lebih banyak berada
diluar rumah bersama dengan teman-teman
sebagai kelompok, maka dapatlah dimengerti
bahwa pengaruh teman-teman pada sikap,
pembicaraan, minat, penampilan dan perilaku
lebih besar dari pada pengaruh keluarga,
misalnya, sebagian besar remaja mengetahui
bahwa bila mereka memakai model pakaian
yang sama dengan pakaian anggota kelompok
yang popular, maka kesempatan baginya untuk
diterima oleh kelompok menjadi lebih besar
(96,109). Demikian pula bila anggota
kelompok mencoba minum alcohol. Obat-obat
terlarang atau merokok, maka remaja

cenderung mengikuti tanpa memperdulikan


perasaan mereka sendiri akibatnya.22
Orang tua sebagai pemberi pengasuhan
kepada anak sangat berperan dalam
mengarahkan dan menanamkan perilaku anak
dalam kehidupan sehari-hari dimana sikap,
perilaku, dan kebiasaan orang tua selalu
dilihat, dinilai, dan ditiru oleh anaknya yang
kemudian semua itu secara sadar atau tidak
sadar diresapi oleh anak dan bisa berkembang
menjadi suatu kebiasaan bagi anak. Penerapan
pola asuh tertentu dapat membentuk perilaku
anak yang berbeda-beda. Sikap orang tua
dalam menerapkan pola asuh kepada anak
dapat meliputi cara orang tua memberikan
aturan-aturan, hadiah, maupun hukuman, cara
orang tua menunjukkan otoritasnya, dan cara
orang tua memberikan perhatian serta
tanggapan terhadap anaknya. Penelitian ini
juga menggambarkan karakteristik berdasarkan
perilaku seksual pranikah dengan hasil bahwa
dari 91 responden, sebagian besar responden
mempunyai perilaku seksual pranikah dengan
kategori tidak wajar yaitu sebanyak 65
responden (71,4%). Perilaku seksual pranikah
menurut Sari adalah segala tingkah laku yang
didorong oleh hasrat seksual dengan lawan
jenisnya melalui perbuatan yang tercermin
dalam tahap-tahap perilaku seksual yang
paling ringan hingga tahap yang paling berat.
Perilaku seksual pranikah pada remaja tidak
terjadi dengan sendirinya, melainkan ada yang
memotivasinya baik dari internal seperti
kelalaian, gairah, perasaan, maupun dari
eksternal seperti sumber informasi, pergaulan,
lingkungan fisik, kurang kontrol orang tua,
perekonomian orang tua, restu orang tua,
kelebihan pacar, latar belakang pacar, dan sifat
negatif pacar. Orang tua yang mampu
memberikan pemahaman mengenai perilaku
seks kepada anak-anaknya, maka anakanaknya cenderung mengontrol perilaku
seksnya itu sesuai dengan pemahaman yang
diberikan orang tuanya. Hal ini terjadi karena
pada dasarnya pendidikan seks yang terbaik
adalah yang diberikan oleh orang tua sendiri,
dan dapat pula diwujudkan melalui cara hidup
orang tua dalam keluarga sebagai suami-istri
yang bersatu dalam perkawinan. Hubungan
seksual pertama mereka kebanyakan terjadi
setelah lepas dari sekolah menengah atas.
Remaja dalam penelitiannya, sebagian besar
(lebih dari 50% responden) bertempat tinggal
terpisah dari orang tua untuk melanjutkan
belajar atau bekerja. Temuan ini memperkuat

10

pandangan bahwa kurangnya pengawasan dari


orang tua memperbesar kemungkinan terjadinya hubungan seksual pranikah.15
Semakin maraknya hubungan seks pranikah
terjadi alam kehidupan remaja, khususnya
remaja yang sedang merantau, dewasa ini
memiliki latar belakang penyebab seseorang
melakukannya, baik yang berasal dari diri
seseorang maupun dari luar diri seseorang
tersebut, yang dimaksud dari luar diri
seseorang yaitu lingkungan. Dengan kedua
sumber penyebab inilah seseorang remaja yang
ada di alam perantauannya akan mengalami
perubahan secara lambat tapi pasti sebagai
salah satu upayanya untuk melakukan adaptasi
menghadapi alam lingkungan yang berbeda
dengan daerah asalnya. Dalam masa perantauannya ini, remaja seperti mengalami
masa puber tahap kedua, terutama bagi mereka
yang belum menemukan akan jati dirinya atau
mereka yang selama ini hanya berkecimpung
dalam lingkaran keluarga maupun lingkungan
akademik. Dari hal itulah kemudian memunculkan perubahan yang positif (sesuai
dengan agama dan nilai-nilai yang ada) dan
juga perubahan yang negatif, dimana
kebanyakan dari remaja terdorong kepada hal
negatif yang salah satu diantaranya adalah
terjadinya hubungan seks pra nikah dalam
kehidupan remaja di perantauan. Lingkungan
sangat besar pengaruhnya terhadap perilaku
seseorang. Jika seseorang berada ditempat atau
lingkungan yang berbeda dengan lingkungan
sebelumnya, secara otomatis dia akan
mengubah perilakunya demi kelangsungan
hidupnya. Dia akan mengubah perilakunya
agar bisa diterima dilingkungan baru tersebut.
Lingkungan yang beraneka ragam merupakan
salah satu faktor yang mempengaruhi terhadap
pembentukan dan perkembangan perilaku
individu. Baik lingkungan fisik maupun
lingkungan sosio-psikologis, termasuk di
dalamnya adalah belajar. Hubungan individu
dengan lingkungannya ternyata memiliki
hubungan
timbal
balik
lingkungan
mempengaruhi
individu
dan
individu
mempengaruhi lingkungan.15
Menurut
Darmasi
peran
keluarga
berhubungan dengan perilaku seks pranikah
remaja (pvalue=0,000). Keadaan keluarga atau
situasi keluarga terhadap remaja SMA di
Surakarta dalam hal komunikasi dengan orang
tua, orang tua yang tidak bercerai, dan remaja
tinggal bersama orang tua termasuk dalam
kategori baik yaitu sebanyak 77 orang (67,5%).

Sedangkan yang tidak baik yaitu sebanyak 37


orang (32,5%). Orang tua adalah tokoh penting
dalam perkembangan identitas remaja. Orang
tua dapat membangun hubungan dan
merupakan sistem dukungan ketika remaja
menjajaki suatu dunia sosial yang lebih luas
dan lebih kompleks. Hubungan orang tua yang
harmonis akan menumbuhkan kehidupan
emosional yang optimal terhadap perkembangan kepribadian remaja dan se-baliknya,
orang tua yang sering bertengkar akan
menghambat komunikasi dalam keluarga, dan
remaja akan melarikan diri dari keluarga.
Keluarga yang tidak lengkap misalnya karena
perceraian, kematian, dan keluarga dengan
keadaan ekonomi yang kurang, dapat mempengaruhi perkembangan jiwa remaja.
Keluarga yang mengabaikan pengawasan
terhadap media informasi, remaja dapat dengan
mudah meniru peilaku-perilaku yang mennyimpang.13
Hubungan antara sumber informasi remaja
dengan perilaku seksual remaja menunjukkan
bahwa yang tertinggi adalah responden yang
mendapat sumber informasi dari media cetak
dengan perilaku baik dan media elektronik
dengan perilaku buruk yaitu 27 responden
(20,3%) sedangkan yang terendah adalah
responden yang mendapat sumber informasi
dari media cetak dengan perilaku buruk yaitu
10 responden (7,5%). Hasil penelitian ini
menunjukkan nilai p = 0,011 (p< 0,05) maka
secara statistik terdapat hubungan antara
sumber informasi dengan perilaku seksual
responden.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Rini Kundaryati yang
menggambarkan bahwa adanya hubungan yang
signifikan antara sumber informasi dengan
perilaku seksual remaja.16
Penelitian ini juga sesuai dengan teori yang
dikemukakan oleh Notoatmodjo bahwa
semakin banyak informasi dapat mempengaruhi atau menambah pengetahuan seseorang dan dengan pengetahuan menimbulkan
kesadaran yang akhirnya seseorang akan
berperilaku sesuai dengan pengetahuan yang
dimilikinya.1
Menurut Willis pada era kemajuan
informasi dan teknologi modern pornografi
makin maju pesat. VCD porno, dan situs-situs
porno diinternet amat membahayakan remaja
yang menontonnya. Sebagai contoh banyak
kasus perkosaan terhadap anak dibawah umur
oleh remaja-remaja yang sering menonton

11

VCD porno, yang sering kita tonton diberita tv


dan dibaca di berita sumber cetak. Hal-hal
yang berusaha untuk merangsang dorongan
seks dengan tulisan dan gambar. Pengaruhnya
cepat meluas terutama dikalangan remaja yang
sedang berada pada masa pubertas. Hal ini bisa
berakibat menimbulkan krisis moral di
kalangan remaja itu, terutama apabila dasardasar agama kurang sekali dilatihkan sejak
kecil.
Usaha
pornografi
dapat
juga
melemahkan potensi bangsa sebab akibatnya
dapat merusak sendi-sendi falsafah Pancasila.23
Menurut Darmasih sumber informasi
berhubungan dengan perilaku seksual pranikah
remaja (pvalue=0,022). Sumber informasi
remaja SMA di Surakarta yang diperoleh
tentang perilaku seksual pranikah sebanyak 73
orang (64,0%), dalam kategori sedikit (kirang
dari atau sama dengan 7) dari sumber-sumber
yang ada seperti internet, TV, HP, VCD, video
porno, teman, radio, poster, koran, buku
bacaan, majalah, dan brosur. Sedangkan
sumber informasi yang diperoleh remaja yaitu
41 orang (36,0%), dalam kategori banyak yaitu
(lebih dari 7) dari sumber-sumber yang ada
seperti internet, TV, HP, VCD, video porno,
teman, radio, poster, koran, buku bacaan,
majalah,
dan
brosur
yaang
dapat
mempengaruhi perilaku seksual pranikah
remaja.13
Menurut Notoatmodjo bahwa semakin
banyak informasi dapat mempengaruhi atau
menambah pengetahuan seseorang dan dengan
pengetahuan menimbulkan kesadaran yang
akhirnya seseorang akan berperilaku sesuai
dengan pengetahuan yang dimilikinya.8
Konklusi
Berdasarkan
hasil
penelitian
dapat
disimpulkan
bahwa
hubungan
antara
pengetahuan remaja dengan perilaku seksual
remaja menunjukkan bahwa yang tertinggi
adalah responden yang memiliki pengetahuan
tinggi dan perilaku baik yaitu 40 responden
(30,1%). Hasil penelitian ini menunjukkan
nilai p = 0,700 (p> 0,05) maka secara statistik
tidak terdapat hubungan antara pengetahuan
dengan perilaku seksual responden
Berdasarkan penelitian tentang hubungan
antara sikap remaja dengan perilaku seksual
remaja menunjukkan bahwa yang tertinggi
adalah responden yang memiliki sikap positif
dan perilaku baik yaitu 49 responden (36,8%).
Hasil penelitian ini menunjukkan nilai p =
0,005 (p< 0,05) maka secara statistik terdapat

hubungan antara sikap dengan perilaku seksual


responden. Analisa keeratan hubungan dua
variabel didapatkan OR = 2,705 (95% CI:
1,331-5,497) berarti responden dengan
perilaku negatif mempunyai peluang terhadap
perilaku seksual remaja 2,705 kali dibanding
responden dengan perilaku positif.
Berdasarkan penelitian tentang hubungan
antara pengetahuan remaja dengan perilaku
seksual remaja menunjukkan bahwa yang
tertinggi adalah responden yang mendapat
dukungan dari lingkungan pergaulan dan
perilaku baik yaitu 35 responden (26,3%).
Hasil penelitian ini menunjukkan nilai p =
0,355 (p> 0,05) maka secara statistik tidak
terdapat hubungan antara lingkungan dengan
perilaku seksual responden.
Berdasarkan penelitian tentang hubungan
antara sumber informasi remaja dengan
perilaku seksual remaja menunjukkan bahwa
yang tertinggi adalah responden yang
mendapat sumber informasi dari media cetak
dengan perilaku baik dan media elektronik
dengan perilaku buruk yaitu 27 responden
(20,3%). Hasil penelitian ini menunjukkan
nilai p = 0,011 (p< 0,05) maka secara statistik
terdapat hubungan antara sumber informasi
dengan perilaku seksual responden.
Adapun saran dalam penelitian ini yaitu
dengan melakukan penelitian ini diharapkan
hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan
pertimbangan untuk memasukkan kurikulum
tentang kespro dalam mata pelajaran di sekolah
menengah atas dan hasil penelitian ini juga
dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk
diadakannya beberapa ekstrakulikuler wajib
bagi siswa agar setelah jam pulang sekolah
para siswa siswi mempunyai kegiatan yang
positif dan terorganisis oleh sekolah. Bagi
siswa siswi di SMA Negeri 3 Cilegon Banten
hasil penelitian ini dapat digunakan untuk
referensi bagi siswa tentang dampak seks
pranikah, pemahaman tingkat agama, dengan
mencari sumber informasi yang baik dan
akurat serta dapat memilih teman yang baik
agar tidak terpengaruh terhadap perilaku seks
pranikah. Bagi orang tua/ wali dari siswa/ siswi
di SMA Negeri 3 Cilegon Banten hasil
penelitian ini diharapkan dapat membantu
orang tua dalam memberikan pengetahuan
tentang seksual pranikah pada anak remajanya
sejak usia dini, pemahaman agama yang baik
serta memberikan informasi yang baik dan
bertanggung jawab agar remaja tidak salah
dalam mendapatkan informasi yang dapat

12

mempengaruhi perilaku, khususnya perilaku


seksual pranikah.
Daftar Pustaka
1. Notoatmodjo.Soejidjo. 2007. Kesehatan
Masyarakat Ilmu dan Seni.Jakarta; Rineka
Cipta.
2. Yocta Nur Rahma,2012, Perilaku Seksual
Pada Remaja,Jurnal, Yogyakarta:UNY.
3. Rossa.2012.My Virginity was Gone.
Cibubur: Germedia komik.
4. Perilaku Seks Remaja Indonesia Parah.
2010. diakses pada tanggal 10 Januari
2012.
5. Kadar Kuswandi. Pengaruh in-formasi
perilaku seks bebas dan tanggapan
mahasiswa mengenai akibat perilaku seks
terhadap sikap Setuju Yang dihubungkan
dengan perilaku seks bebas bagi
mahasiswa Akademi Kesehatan di Provinsi
Banten. Thesis. Depok: UI. 2000.
6. Peduli AIDS? Hentikan Free Sex!.
2012.diakses pada tanggal 31 Juli 2012.
7. Tries Agustini. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seksual remaja di SMA
N 3 Cilegon-Banten. Studi pendahuluan.
STIKIM. Jakarta. 2012
8. Notoadmodjo. Soekidjo. 2007. Promosi
Kesehatan dan Ilmu Perilaku .Jakarta:
Rineka Cipta
9. Nursalam, Siti Pariani. 2008. Metodologi
riset Keperawatan. Jakarta: Info medika.
10. Nursalam. 2003. Konsep & Penerapan
Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan:
Pedoman Skripsi, Tesis, dan Instrumen
Penelitian Keperawatan. Jakarta: Salemba
Medika.
11. Wirawan, Sarlito Sarwono. 2001. Psikologi Remaja. Jakarta: Radja Grafindo
Persada.
12. Mutadin Z. 2002. Pendidikan Seksual
Pada Remaja. Diakses di http//: www.
Epsikologi.com. tanggal 26 April 2013
13. Darmasih, Ririn. Kajian Perilaku Sex
Pranikah Remaja SMA di Surakarta. Jurnal
Kesehatan, ISSN 1979-7621, vol. 4, No. 2,
Desember 2011: 111-119. Program Studi
Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu
Kesehatan, UMS. Akademi Kebidanan
Aifa Husada Madura, 2011.
14. Anggia F.P. Faktor-Faktor Yang mempengaruhi seks pranikah pada remaja di
SMA Di Rengat Kabupaten Indra-girihulu.
Skripsi. Riau: Universitas Riau. 2012

15. Amaliyasari Y, Puspitasari N. Perilaku


Seksual Anak Usia Pra Remaja Di Sekitar
Lokalisasi dan Faktor Yang Mempengaruhi. The Indonesian Journal of
Public Health. Vol 5. N0 1.: 31-38. Juli
2008.
16. Rini, K. Faktor-Faktor Yang Berhubungan
Dengan Perilaku Seksual Remaja Di SMK
Yaperjasa Jakarta Tahun 2011. Thesis.
Jakarta: STIKIM. 2011.
17. Arikunto. 2006. Prosedur Penelitian
Suatu Pendekatan Praktik edisi 8.
Jakarta : Rineka Cipta.
18. Samino. Analisis Perilaku Sex remaja
SMAN 14 Bandar Lampung 2011. Jurnal
Dunia Kesmas. Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Malahayati B.
Lampung. Vol 1. No 4. 2012
19. Sinaga, Frisca Lina. Hubungan Pengetahuan Kesehatan reproduksi Remaja
dan Sikap Dengan Perilaku Sexual
Beresiko Siswa di SMAN 1 Padang
Cermin Kabupaten Pesawaran. Jurnal.
FKM UNIMAL. Lampung. 2008
20. Soekartini. 2012. Pengaruh Gaya Hidu[
Remaja, Lingkungan, dan Dukungan
Keluarga Terhadap Perilaku Seksual
Pranikah Pada Mahasiswa Di Akademi
Kebidanan Kartini Kebayoran Lama
Jakarta Selatan.Thesis.Jakarta: STIKIM.
2012.
21. Gibson, et, al. 2006. Organization
Behavior structure. Mc-Grow Hill
International Edition. Singapore
22. Hurlock Elizabeth B.2002. Psikologi
Perkembangan Edisi Kelima. Jakarta:
Penerbit Erlangga.
23. Willis, Sofyan S. 2010. Remaja dan
Masalahnya. Bandung: Alfabeta.

Anda mungkin juga menyukai