Stridor Pada Anak
Stridor Pada Anak
BAB I
PENDAHULUAN
Sumbatan saluran pernapasan atas jauh lebih penting pada bayi dan anak
kecil dibandingkan pada anak yang lebih tua, karena jalan napas yang lebih kecil
cenderung menghadapkan anak kecil pada suatu keadaan penyempitan yang relatif
lebih berat daripada yang ditimbulkan oleh tingkat radang yang sama pada anak
yang lebih tua.
Stridor adalah salah satu tanda dari sumbatan saluran pernafasan. Stridor
sendiri adalah suara nafas kasar yang disebabkan karena adanya turbulensi aliran
udara karena adanya sumbatan di saluran nafas bagian atas. Stridor merupakan
indikasi dari keadaan darurat medis potensial dan harus selalu mendapat
perhatian. Jika memungkinkan, harus dilakukan upaya untuk segera mendirikan
penyebab dari stridor.
Empat penyebab tersering penyebab gagal napas pada obstruksi saluran
napas atas yang dapat menimbulkan stridor yaitu, Benda asing (tersedak kacang,
aspirasi makanan), Epiglotitis (peradangan pita suara), Sindrom croup, dan
Laringomalasia.
Stridor pada anak sangat memerlukan perhatian karena dengan adanya
sumbatan jalan nafas, akan berbahaya pada kesehatan anak. Maka dengan
mengetahui secara dini sumbatan saluran nafas terutama saluran nafas bagian
atas, tanda sumbatan saluran nafas seperti stridor perlu mendapat perhatian, serta
perlunya untuk segera mendiagnosa penyebab stridor dan tatalaksana yang tepat
demi menangani sumbatan saluran nafas yang terjadi pada anak.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Stridor adalah salah satu tanda dari sumbatan saluran pernafasan. Stridor
sendiri adalah suara nafas kasar yang disebabkan karena adanya turbulensi aliran
udara karena adanya sumbatan di saluran nafas bagian atas. Stridor merupakan
indikasi dari keadaan darurat medis potensial dan harus selalu mendapat
perhatian. Jika memungkinkan, harus dilakukan upaya untuk segera mendirikan
penyebab dari stridor.
Empat penyebab tersering penyebab gagal napas pada obstruksi saluran
napas atas yang dapat menimbulkan stridor yaitu, Benda asing (tersedak kacang,
aspirasi makanan), Epiglotitis (peradangan pita suara), Sindrom croup, dan
Laringomalasia.
A. Benda asing
Sekitar 70% kejadian aspirasi benda asing terjadi pada anak berumur
kurang dari 3 tahun. Hal ini terjadi karena anak seumur ini sering tidak terawasi,
lebih aktif, dan cenderung memasukkan benda apapun ke dalam mulutnya.
Aspirasi benda asing ke dalam saluran napas akan menimbulkan gejala sumbatan
jalan napas. Gejala klinik yang timbul tergantung pada jenis benda asing, ukuran,
sifat iritasinya terhadap mukosa, lokasi, lama benda asing di saluran napas, dan
ada atau tidaknya komplikasi. Penderita umumnya datang ke rumah sakit pada
fase asimptomatik. Pada fase ini keadaan umum penderita masih baik dan foto
toraks belum memperlihatkan kelainan. Pada fase pulmonum, benda asing di
bronkus utama atau cabang-cabangnya akan menimbulkan gejala batuk, sesak
napas yang makin lama semakin bertambah berat, pada auskultasi terdengar
ekspirasi memanjang dengan mengi, dan dapat disertai demam.
Faktor predisposisi yang dapat menyebabkan terjadinya aspirasi benda
asing adalah: usia yaitu pada anak-anak, dimana mereka sering memasukkan
segala sesuatu ke dalam mulut, gigi geligi yang belum lengkap dan refleks
menelan yang belum sempurna. Kedua, jenis kelamin, lebih sering pada laki-laki.
B. Epiglotitis
Epiglotitis (kadang disebut supraglotitis) adalah suatu infeksi pada
epiglotis, yang bisa menyebabkan penyumbatan saluran pernafasan dan kematian.
Epiglotis adalah tulang rawan yang berfungsi sebagai katup pada pita suara
(laring) dan tabung udara (trakea), yang akan menutup selama proses menelan
berlangsung. Epiglotitis hampir selalu disebabkan oleh bakteri Haemophillus
influenzae tipe B. Pada anak-anak yang lebih tua dan orang dewasa kadang
disebabkan oleh streptokokus.
Epiglotitis paling sering ditemukan pada anak-anak yang berumur 2-5
tahun dan jarang terjadi pada anak yang berumur dibawah 2 tahun. Infeksi
biasanya bermula di saluran pernafasan atas sebagai peradangan hidung dan
tenggorokan. Kemudian infeksi bergerak ke bawah, ke epiglotis. Infeksi seringkali
disertai dengan bakteremia. Epiglotitis bisa segera berakibat fatal karena
pembengkakan jaringan yang terinfeksi bisa menyumbat saluran udara dan
menghentikan pernafasan.
Infeksi biasanya dimulai secara tiba-tiba dan berkembang dengan cepat.
Gejalanya terdiri dari, nyeri tenggorokan, gangguan menelan, gangguan
pernafasan, badannya bungkuk ke depan sebagai upaya untuk bernafas, stridor,
suara serak, menggigil, demam, sianosis. Infeksi juga kadang menyebar ke
persendian, selaput otak, kantung jantung atau jaringan bawah kulit. Diagnosis
ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan dengan laringoskopi yang
menunjukkan pembengkakan epiglotis.
Pembiakan darah atau lendir tenggorokan bisa menunjukkan adanya
bakteri. Pada pemeriksaan darah lengkap tampak peningkatan jumlah sel darah
putih. Rontgen leher bisa menunjukkan adanya pembengkakan epiglotis.
Epiglotitis merupakan suatu keadaan gawat darurat, yang jika tidak segera diatasi
bisa berakibat fatal. Anak harus segera dibawa ke rumah sakit dan biasanya
ditempatkan di ruang perawatan intensif. Diberikan oksigen dan hampir selalu
dilakukan pembukaan saluran pernafasan, baik dengan cara memasukkan tuba
endotrakeal maupun dengan cara membuat lubang di leher bagian depan
(trakeostomi).
Untuk
meningkatkan
hidrasi,
diberikan
cairan
infus.
pernafasan
yang
memiliki
karakteristik
berupa
batuk
yang
Derajat Kegawatan
Karakteristik
Ringan
Sedang
Berat
Nilai
Tidak ada
Ringan
Sedang
Berat
Masuknya udara
Srtidor inspirasi
Sianosis
Derajat Kesadaran
Normal
Berkurang
Sangat berkurang
Tidak ada
Gelisah
Tidak ada
Gelisah
Istirahat
Sadar
Gelisah, cemas
Penurunan kesadaran
2, 3, 5]
namun gambaran ini hanya didapatkan pada 50% kasus. Akan tetapi, jika terdapat
kecurigaan laringotrakeo-bronkitis atau laringotrakeobronkopneumonitis maka
pemeriksaan sel darah putih, hitung jenis, foto thorak dan leher PA dan lateral
diindikasikan. Jika ditemukan peningkatan leukosit yang di dominasi PMN
kemungkinan sudah terjadi superinfeksi. Gambaran radiografis dada yang
menunjukan adanya pneumonia bilateral menunjang diagnosis keterlibatan jalan
napas bawah pada penyakit croup. Pada kasus laringotrakeitis tidak jarang pula
dijumpai adanya infeksi bakteri sekunder. Hal ini perlu dipertimbangkan apabila
dengan pengobatan kortikosteroid yang adekuat tidak mengalami perbaikan.
Endoskopi belum memiliki peran yang jelas dalam diagnosis croup.
Adanya pembengkakan pada daerah subglotis merupakan salah satu pertimbangan
untuk tidak melakukan instrumentasi dan sebaiknya hanya dilakukan pada
kecurigaan selain viral / spasmodik croup.
Kortikosteroid merupakan pengobatan evidence based utama pada croup
yang telah diteliti dan disepakati. Penggunaan kortikosteroid pada menajemen
croup antara lain budesonid nebulisasi dan dexamethason oral. Pada kebanyakan
kasus croup cukup digunakan dexametason 0,6 mg/kgBB per oral / intramuskular.
Dapat pula diberikan prednison atau prednisolon 1-2 mg/kgBB, dapat diulang 6
24 jam. Namun pada kasus berat dapat dipertimbangkan pemberian budesonid
nebulisasi 2-4 mg (2ml) dapat diulang 12 48 jam pertama, karena efek terapi
budesonid nebulisasi terjadi dalam 30 menit sedangkan efek kortikosteroid
sistemik terjadi dalam satu jam. Pada sebagian besar kasus, pemakaian budesonid
tidak lebih baik daripada kortikosteroid sistemik.
Selain
racemik
untuk membantu
meringankan gejala sesak dengan mengurangi edema dan sekresi lendir mukosa
saluran nafas (perangsangan pada reseptor alfa) serta membuat relaksasi otot
bronkus (reseptor beta). Pada umumnya, adrenalin racemik digunakan pada kasus
sindrom croup derajat sedang - berat. Dari hasil berbagai penelitian menunjukan
bahwa adrenalin racemik secara signifikan efektif menurunkan skor croup.
Namun efek ini hanya berlangsung dua jam dan pasien harus tetap diobservasi
karena gejala dapat muncul kembali yang merupakan efek fenomena rebound dari
10
11
12
intoleransi ketika diberi makanan, namun bayi kadang tersedak atau batuk ketika
diberi makan jika ada refluks pada bayi.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan takipneu, aliran udara nasal
terdengar dan suara ini meningkat jika posisi bayi terlentang. Stridor murni berupa
inspiratoris. Suara terdengar lebih jelas di sekitar angulus sternalis.
Laringomalasia merupakan penyakit yang dapat sembuh sendiri, yang
mula-mula terjadi segera setelah kelahiran, dan memberat pada bulan keenam,
serta membaik pada umur 12-18 bulan. Terkadang kelainan kongenital ini dapat
menjadi cukup berat sehingga membutuhan penanganan bedah. Penyebab pasti
laringomalasia masih belum diketahui. Penegakan diagnosis didapatkan melalui
pemeriksaan menggunakan endoskopi fleksibel selama respirasi spontan.
BAB III
KESIMPULAN
Stridor adalah suara nafas kasar yang disebabkan karena adanya turbulensi
aliran udara karena adanya sumbatan di saluran nafas bagian atas. Stridor
merupakan indikasi dari keadaan darurat medis potensial dan harus selalu
mendapat perhatian. Sumbatan saluran pernapasan atas jauh lebih penting pada
bayi dan anak kecil dibandingkan pada anak yang lebih tua, karena jalan napas
yang lebih kecil cenderung menghadapkan anak kecil pada suatu keadaan
13
penyempitan yang relatif lebih berat daripada yang ditimbulkan oleh tingkat
radang yang sama pada anak yang lebih tua.
Empat penyebab tersering penyebab gagal napas pada obstruksi saluran
napas atas yang dapat menimbulkan stridor yaitu, Benda asing (tersedak kacang,
aspirasi makanan), Epiglotitis (peradangan pita suara), Sindrom croup, dan
Laringomalasia.
Pada permasalahan stridor ini yang pertama harus diperhatikan adalah
terjaminnya kelancaran jalan napas bagi anak. Kelancaran jalan napas ini dapat
diupayakan dengan beberapa cara, diantara pada kasus obstruksi jalan napas
akibat benda asing dapat diupayakan tindakan seperti back blows, abdominal
thrusts atau Heimlich. Pemasangan alat bantu seperti orofaringeal airway dapat
pula dipertimbangkan. Penatalaksaan harus cepat karena terkait ketersediaan
udara pernapasan bagi anak terutama pada kasus-kasus obstruksi berat.
Penatalaksanaan kausa juga penting pada kasus dengan penyebab infeksi atau
pertimbangkan tindakan operatif pada keadaan kongenital seperti laringomalasia.