Anda di halaman 1dari 2

Analisis Psikologi di Balik Demam Pokemon

Go
Firdaus Anwar - detikHealth
Minggu, 17/07/2016 09:14 WIB

Foto: Rachman Haryanto


Jakarta, Permainan Pokemon Go meski belum sebulan dirilis tetapi sudah menjadi fenomena
sosial di dunia. Pemainnya yang datang dari semua kalangan membuat Niantic selaku
pengembang beberapa kali kewalahan karena servernya tak mampu menampung kapasitas
pemain.
Apa yang membuat permainan begitu sangat mudah diterima? Ahli Pamela Rutledge dari Media
Psychology Research Center Amerika Serikat mencoba menganalisisnya dan mengatakan ada
berbagai faktor yang mungkin terlibat.
Pertama dari teknologi itu sendiri, Pokemon Go adalah permainan pertama yang berhasil sukses
memanfaatkan teknologi augmented reality. Orang-orang dapat melihat dan merasa dekat dengan
karakter yang ada di dalam game.
Baca juga: Demam Pokemon Melanda Tempat-tempat Olahraga di Jakarta
Kedua yang membuat Pokemon Go berbeda dengan permainan pada umumnya adalah ia
menyinggung beberapa kebutuhan psikologis manusia. Perlunya bersosialisasi dengan orang
lain, jalan-jalan, lalu berkompetisi semua didorong untuk pemain-pemainnya.
Rutledge mengatakan aktif secara fisik karena bermain ini lah yang kemudian bisa berdampak
juga untuk psikologis. Studi menyebut dengan bergerak aktif dan berinteraksi dengan orang lain
(sesama pemain) meski hanya sedikit punya dampak positif memperbaiki suasana hati.

"Salah satu fitur dari permainan ini adalah memungkinkan Anda untuk mengubah keluhan utama
dari permainan secara umum: membuat malas bergerak dan mengisolasi orang-orang," kata
Rutledge seperti dikutip dari Live Science, Minggu (17/7/2016).
Namun demikian psikolog anak dan remaja dari RaQQi - Human Development & Learning
Centre, Ratih Zulhaqqi mengatakan Pokemon Go tidak cocok untuk anak-anak. Alasannya
karena tanpa kendali diri yang baik akan mudah untuk terlena permainan dan menjadi
kecanduan.
Selain itu butuh juga kemampuan multitasking agar bisa bermain sambil tetap fokus dengan
lingkungan sekitar.
"Kita harus tahu kapan main atau kapan setop. Misalnya pada anak yang kontrol dirinya kurang,
di sekolah terus tahu-tahu keluar aja gitu dari sekolah, kan bahaya," tutur Ratih.

Anda mungkin juga menyukai