Anda di halaman 1dari 51

SKLEROSIS SISTEMIK

DEFINISI DAN EPIDEMIOLOGI


Sklerosis sistemik (Skleroderma) adalah penyakit jaringan ikat yang tidak diketahui
penyebabnya yang ditandai oleh fibrosis kulit dan organ visceral serta kelainan mikrovaskuler.
Penyakit ini berhubungan dengan adanya antibodi anti nuklear spesifik, terutama anti-sentromer
dan anti sklero-70 (anti-Scl-70)1. Spektrum penyakit ini cukup luas, mulai dari kelainan yang
disertai penebalan kulit yang luas dan berat, atau hanya penebalan kulit pada ekstremitas distal
dan muka atau tanpa kelainan kulit sama sekali.2
Kasus skleroderma pertama kali dilaporkan oleh Carlo Curzio pada tahun 1753 di Napoli yang
menyerang seorang wanita yang berumur 17 tahun. Hubungan skleroderma dengan fenomena
Raynaud, pertama kali dilaporkan oleh Maurice Raynaud pada tahun 1865. kemudian pada
tahun-tahun berikutnya diketahui bahwa penyakit ini juga menyerang organ viseral. Pada tahun
1964, Goetz mengusulkan istilah Progressive Systemic Sclerosis yang menggambarkan lesi yang
luas, baik di kulit maupun di organ viseral. Pada tahun 1964, Winterbauer mendiskripsikan
salah satu varian dari skleroderma yang hanya terbatas pada ekstremitas distal dan muka yang
disebut CREST Syndrome (calcinosis, Raynauds phenomenon, esophageal dysmotility,
skerodactily, teleangiectasis). 3
Prevalensi penyakit ini relatif rendah karena banyak kasus yang tidak dilaporkan, apalagi kasus
yang tidak disertai kelainan kulit. Penelitian pada masyarakat umum di Carolina Selatan
mendapatkan prevalensi sebesar 19 75 kasus per 100.000 penduduk dengan perbandingan
wanita dan laki-laki 2,9 4 : 1. pada penelitian di Tennessee, ternyata jumlah penderita
skleroderma pada wanita usia reproduksi (20 44 tahun) 15 kali jumlah penderita laki-laki pada
usia yang sama, sedangkan pada wanita usia 45 tahun atau lebih, frekwensinya hanya 1,8 kali
penderita laki-laki pada usia yang sama. 1,2,3
Hubungan penyakit ini dengan ras tidak jelas, walaupun penderita skleroderma pada kulit
berwarna lebih banyak dibandingkan kulit putih. Selain itu beberapa faktor lingkungan mungkin

berhubungan dengan timbulnya skleroderma, misalnya debu silika dan implantasi silikon.
Beberapa bahan kimia seperti vinil-klorida, epoksi-resin dan trikoroetilen serta obat-obatan
seperti bleomisin, pentazosin dan L-triptofan, juga diketahui berhubungan dengan timbulnya
sklerosis sistemik. Pemaparan terhadap vinil-klorida diketahui berhubungan dengan timbulnya
skleroderma yang disertai fenomena Raynaud, akro-osteolisis dan fibrosis paru. Sedangkan
pemakaian bleomesin pada kanker testis, terutama bila dikombinasi dengan sis-platinum,
ternyata berhubungan dengan timbulnya skleroderma, fenomena Raynaud dan fibrosis paru. 1,2,4
GAMBARAN PATOLOGI
Fibrosis pada kulit dan organ lainnya, termasuk pembuluh darah, merupakan gambaran patologik
yang paling sering ditemukan pada sklerosis sistemik. Peningkatan matriks ekstraseluler pada
dermis, terutama kolagen I dan III, yang disertai penipisan epidermis dan hilangnya rate pegs
merupakan gambaran patologik yang khas pada sklerosis sistemik. Hal ini menyebabkan
penebalan kulit yang khas pada skleroderma. Pada stadium awal, tampak infiltrasi sel radang
mononuklear di dalam dermis, terutama limfosit T dan sel mast. Sel-sel ini, banyak ditemukan
mengelilingi pembuluh darah dermis. Pada stadium akhir (fase atrofik), kulit relatif aseluler. 5
Lesi vaskuler pada kulit menunjukkan gambaran yang sama dengan lesi pada organ lainnya.
Tunika intima arteri dan arteriol tampak berproliferasi sehingga lumen menjadi sempit. Dengan
tehnik nailfold capilaroscopy, akan tampak kerusakan dan hilangnya kapiler yang makin lama
makin banyak. Pada pembuluh darah besar, akan tampak hiperlasia tunika intima, sehingga
lumennya menyempit dan akhirnya berobliterasi. 5
Pada paru-paru, dapat ditemukan 2 gambaran patologik, yaitu fibrosis paru dan kelainan
vaskuler. Walaupun kedua keadaan ini sering bersamaan, tetapi pada wanita dengan skleroderma
yang terbatas sering hanya didapatkan kelainan pembuluh darah paru yaitu penebalan tunika
media, sehingga terjadi penyempitan lumen dan timbul hipertensi pulmonal yang dapat berakhir
sebagai gagal jantung kanan.
Stadium awal fibrosis paru pada sklerosis sistemik, merupakan reaksi radang akut yang ditandai
oleh peningkatan makrofag alveolar dan sel radang polimorfonuklear. Pada penelitian in vitro,
ternyata makrofag alveolar penderita sklerosis sitemik memproduksi fibronektin dalam jumlah

yang banyak yang berperan dalam pertumbuhan fibroblas. Pada stadium lanjut, tampak deposisi
kolagen dan komponen jaringan ikat lainnya di ruang interstitial alveolar sehingga pada akhirnya
akan tampak jaringan fibrosa yang lebih banyak dibandingkan ruang udara alveolar. Akibatnya
proses difusi di dalam paru-paru akan terhambat. 5,6
Pada jantung, sklerosis sitemik dapat menyerang perikardium dan miokardium. Kelainan pada
perikardium ditandai oleh fibrosis dan penebalan perikardium parietal dan viseral yang akhirnya
dapat berkembang menjadi perikarditis konstriktif. Pada miokardium, tampak proliferasi intima
dan penyempitan pembuluh darah koroner. Disekeliling pembuluh darah koroner, ditemukan
banyak jaringan fibrosa. Akhirnya dapat timbul vasospasme dan infark miokard. 5,7
Pada saluran cerna, lesi terbanyak terdapat pada esofagus, walaupun gaster, usus halus proksimal
dan kolon juga dapat terserang. Secara histologi, tampak gambaran fibrosis pada tunika propia
dan submukosa, serta peningkatan sel radang pada tunika muskularis. Akibat fibrisis maka
peristaltik usus akan berkurang. Akibat fibrosis, atropi lapisan otot dan berkurangnya peristaltik,
akan timbul divertikel di kolon dengan mulut yang lebar. Pada esofagus dapat timbul Barretts
esophagus (gastrikasi esofagus distal). Walaupun demikian, insiden adenokarsinoma esofagus
pada keadaan ini sangat rendah. 5,7,8
Pada ginjal akan tampak lesi arteriol yang berupa proliferasi intima, penipisan tunika media dan
redupikasi lamina elastika. Membran basal glomeruli mengalami duplikasi, tetapi tidak ada
tanda-tanda glomerulonefritis. Gambaran skerotik pada glomeruli, merupakan tanda khas infark
korteks ginjal dan stadium akhir skleroderma. Pada sklerosis sistemik yang disertai kelainan
ginjal, sering didapatkan hemolisis mikroangiopatik akibat kerusakan fisik eritrosit yang beredar
pada gangguan sirkulasi renal yang berat. 8
Pada otot rangka, akan tampak jaringan fibrosa perivaskuler yang menyebabkan penurunan
kekuatan otot dan peningkatan enzim otot dalam serum yang ringan. Selain itu dapat juga terjadi
kelainan seperti yang tampak pada poli dan dermatomiositis yaitu infiltrasi limfosit perivaskuler,
nekrosis, degenerasi dan regenerasi jaringan otot. Secara klinik akan tampak kelemahan otot
proksimal dan peningkatan enzim otot serum yang bermakna. Pada tendon akan tampak deposisi

fibrin dalam sarung tendon, sehingga gerak tendon terbatas dan akhirnya dapat timbul kontraktur
fleksi, terutama pada jari-jari. 5
GAMBARAN IMUNOPATOLOGI
Berbagai kelainan imunitas humoral dan seluler, tampak terjadi pada penderita sklerosis
sistemik. Pada umumnya kelainan imunitas ini menggambarkan proses autoimun yang sedang
terjadi yang menghasilkan berbagai autoantibodi terhadap berbagai sel dan konstituen jaringan.
Beberapa kelainan serologik yang nonspesifik adalah ditemukannya hipergammaglobulinemia
poliklonal, krioglobulinemia, faktor rheumatoid dan uji VRDL yang positif palsu. 9
Pada 95% penderita sklerosis sitemik, didapatkan antibodi anti-nuklear (antinuclear antibodi,
ANA). ANA spesifik terhadap DNA topoisomerase I (Anti-topoisomerase I, anti-Sel-70)
didapatkan pada 20-30% penderita, dan separuhnya terdapat pada penderita sklerosis sistemik
difus. Enzim DNA topoisomerase I sangat penting peranannya pada proses pembukaan gulungan
DNA untuk replikasi dan transkripsi RNA. 5,9-13
ANA spesifik yang lain adalah anti DNA-histone-complex yang banyak ditemukan pada
penderita sklerosis sistemik dengan fibrosis paru, anti Ku yang banyak ditemukan pada penderita
sklerosis sistemik dengan miopati inflamasi, anti PM-Sel yang banyak ditemukan pada penderita
sklerosis sistemik dengan miopati inflamasi dan kelainan ginjal, anti RNA-polimerase I, II dan
III yang banyak ditemukan pada kelainan ginjal, anti U3-RNP yang berhubungan dengan
kelainan jantung dan paru-paru, anti U1-RNP yang berhubungan dengan artritis dan hipertensi
pulmonal dan ANA spesifik lainnya (table 1). 10,14,15,16
Autoantibodi lain yang sering ditemukan adalah antibodi antisentromer yang terdapat pada 30%
penderita sklerosis sistemik yang terbatas dan CREST Syndrome. Ada 3 antigen sentromer yang
spesifik pada penderita sklerosis sistemik yaitu CENP-A (17/19 kDa protein), CENP-B (80 kDa
protein) dan CENP-C (120 kDa protein). Adanya autoantibodi terhadap antigen sentromer
menunjukkan tingginya pemecahan kromosom. 5,10,13

Autoantibodi lain yang sering ditemukan pada CREST Syndrome adalah antibodi antimitokondrial yang merupakan tanda khas adanya sirosis bilier primer. 9
Antibodi lain terhadap self-protein adalah antibodi anti-kolagen tipe I,III,IV dan VI. Antibodi
anti-kolagen tipe IV berhubungan dengan beratnya kelainan paru pada sklerosis sistemik. Selain
itu juga dapat ditemukan Circulating Imune Complex (CIC) yang berhubungan dengan
perjalanaan penyakit yang lama. 5
Sedangkan penelitian Endo dan kawan-kawan mendapatkan adanya antineutrophilic cytoplasmic
antibodies (ANCA), yang berhubungan dengan gagal ginjal dan perdarahan paru. 16
Sampai saat ini belum diketahui apa dan bagaimana peranan antibodi terhadap material inti sel
pada patogenesis sklerosis sistemik. Salah satu dugaan adalah bahwa ANA turut berperan pada
perusakan sel endotelial. 5
Selain kelainan imunitas humoral, juga terjadi kelainan imunitas seluler pada sklerosis sistemik.
Secara umum didapatkam limfopenia dengan rasio sel T dan sel B yang normal, tetapi
didapatkan peningkatan rasio sel T penolong (T-4) terhadap sel T penekan (T-8+). Selain itu juga
terdapat penurunan kadar sel NK (Natural Killer) yang pada permukaannya terdapat antigen T8+. Sel-sel inflamasi mononuklear banyak terkumpul pada lapisan dermis penderita sklerosis
sistemik dan pada umumnya sel T penolong yang teraktivasi. Sel T berperan memproduksi
interleukin-2 (IL-2) yang dapat merubah sel NK menjadi sel LAK (Lymphocite-activated killer)
yang ternyata sangat penting pada kerusakan endotelial. Selain itu sel T juga berperan pada
Graft-versus-host disease (GVHD) pada penderita yang menjalani transplantasi sumsum tulang.
Kelainan ini ditandai oleh adanya fenomena Raynaud, sklerosis dermal (terutama pada jari) dan
kelainan vaskuler. 5,9,17
Tabel 1 : Kelainan imunitas humoral pada penderita sklerosis sistemik 9

Abnormalitas humoral
Hipergamaglobulinemia poliklonal

Persentase
30%

Faktor rheumatoid
Antibodi antinuklear (ANA)

30 50%
95 %

Anti DNA-topoisomerase I (Anti-Sel-70)

5%

Anti DNA-histone-complex

5%

Anti nukleolar 7,2-RNP (anti Th-RNP & anti To-RNP)

25%

Anti U3-RNP-associated fibrillarin

86%

Anti U-1 RNP

44%

Anti RNA-polymerase I,II,III

55%

Anti Ku
Anti PM-Sel (PM-1)
Anti SS-A (Ro) dan SS-B (La)
Anti Sel-4
Anti Sel-6
Antibodi antisentromer
Antibodi antimitokondrial
Antibodi antikardiolipin
Antibodi anti-kolagen tipe I
Antibodi anti-kolagen tipe IV

Circulating immune cimplex (CIC)


Fagosit mononuklear juga mempunyai peranan yang sangat penting dalam patogenesis sklerosis
sistemik, terutama makrofag alveolar. Sel-sel ini memproduksi berbagai sitokin seperti
transforming growth factor-B (TGF-B), platelet-derived growth factor (PDGF), tumor necrosis
factor (TNF), IL-1B, berbagai protease dan mediator lain yang penting pada patogenesis
sklerosis sistemik. 5,9
Sel lain yang banyak ditemukan di dalam dermis penderita sklerosis sistemik adalah sel mast. Sel
ini berperan dalam memproduksi berbagai mediator seperti triptase yang dapat merusak sel
endotel, serta histamin yang dapat merangsang proliferasi dan sintesis matriks fibroblas dan
menyebabkan retraksi sel endotel. 9
Berbagai sitokin meningkat kadarnya pada penderita sklerosis sistemik, seperti fibronektin, IL
1, IL 2, PDGF, TGF-B, Connective-tissue activating peptidase (CTAP), endotelin dan
interferon-gamma (IFN-g). 5,18
Tabel 2 : Berbagai sitokin yang berperan pada penderita sklerosis sistemik 5

Jenis Sitokin
Fibronektin

Sumber

Fibroblas, sel endotel, makrofag, Kemoatraktan monosit & fibroblas,


hepatosit

IL-1

Peranannya pada patogenesis

mitogen fibroblas

Makrofag, sel endotel, limfosit, Mitogen fibroblas, merangsang sintesis


fibroblas, sel epitel, osteosit,

kolagen

osteoblas, keratinosit
IL-2

Sel T

Mengaktifkan sel NK menjadi sel


LAK

PDGF

Trombosit, fibroblas,

Mitogen fibroblas

makrofag
TGF-B

Megakariosit, makrofag, sel

Merangsang sintesis kolagen,

epidermal, fibroblas dan sel T

merangsang sintesis fibronektin,


menghambat pertumbuhan sel
endotel, mitogen fibroblas indirek,
kemoatraktan fibroblas & monosit
merangsang sekresi IL-1

CATP

CATP I : limfosit

Mitogen fibroblas, meningkatkan


sintesis glikosaminoglikan

CATP III : trombosit


CATP V : sel mesenkimal
TNF

Makrofag, sel T, sel B, sel NK

Merusak endotel

Endotelin

Sel endotel

Vasokonstriktor

IFN-g

Sel T, sel NK

Aktifator makrofag, diferensiasi sel


T menjadi sel T sitolitik,
pertumbuhan sel B

FAKTOR GENETIK
Faktor keturunan yang berperan pada sklerosis sistemik adalah jenis kelamin, dimana
didapatkan rasio jenis kelamin wanita dan pria berkisar antara 2 : 1 sampai 20 : 1. walaupun
demikian peranan hormon sex pada patogenesis penyakit ini tidak diketahui. 19

Hasil penelitian mengenai hubungan antara sklerosis sistemik dengan antigen MHC
(Major Histocompability Complex) menunjukkan perbedaan yang bermakna antara satu peneliti
dengan peneliti dari negara lain. Penelitian di Inggris menunjukkan hubungannya dengan HLAA1, B8, DR3 dengan DR5 dan dengan DRw52, sedangkan penelitian di Amerika Serikat tidak
menunjukkan hubungannya dengan HLA-DR5. Penelitian di Jepang menunjukkan hubungannya
dengan HLA-Bw52, DR2 dan DR4. 4,12,19,20
Gen lain yang dilaporkan juga berhubungan dengan sklerosis sistemik adalah alel C4null (C4 AQO dan C4 BQO). C4 AQO dikatakan banyak terdapat pada penderita sklerosis
sistemik yang mengidap gen HLA-DR3. 19
Faktor genetik lain yang tampak pada penderita sklerosis sistemik adalah instabilitas
kromosom dimana terdapat peningkatan pemecahan kromosom. 19
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa frekwensi autoantibodi pada berbagai grup
etnik ternyata berbeda. Antibody anti sentromer banyak terdapat pada orang berkulit putih di
Amerika dan tidak pernah pada orang berkulit hitam. Antibodi anti U1-RNP, anti RNA
polimerase I, II, III dan anti U3-RNP banyak didapatkan pada orang Jepang, orang kulit putih
dan kulit hitam. 21
PATOGENESIS
Secara pasti, patogenesis sklerosis sistemik tidak diketahui. Diduga sesuatu faktor
pencetus yang sampai sekarang belum diketahui, mengaktifkan sistem imun dan menimbulkan
kerusakan-kerusakan sel endotelial. Kerusakan sel endotelial akan mengaktifkan trombosit,
sehingga trombosit mengeluarkan berbagai mediator seperti PDGF, TGF-B dan CATP-III yang
akan menyebabkan proliferasi fibroblas dan sintesis matriks oleh fibroblas. Aktivasi sistem imun
juga akan berakhir pada proliferasi fibroblas dan sintesis matriks. 5
Secara skematis, patogenesis sklerosis sistemik dapat digambarkan seperti pada gambar
1.

FENOMENA RAYNAUD & KELAINAN VASKULER


Fenomena Raynaud adalah perubahan warna yang episodik (polar, sianosis, eritema)
yang terjadi sebagai respons terhadap lingkungan yang dingin atau stress emosional. Walaupun
perubahan yang spesifik umumnya terjadi pada jari tangan, tetapi dapat juga mengenai ibu jari
kaki, daun telinga, hidung dan lidah. Pada fase polar dan sianosis, penderita akan merasa nyeri
dan kaku, sedang pada fase hiperemis, penderita akan merasa seperti terbakar. 3
Fenomena Raynaud dapat dijumpai pada beberapa penyakit kolagen yaitu 95% pada
penderita sklerosis sistemik, 91% pada penderita Mixed Connective Tissue Diseases (MCTD)
dan 40% pada penderita lupus eritematosus sistemik. Selain itu, fenomena Raynaud juga dapat
dijumpai pada berbagai trauma akibat perkerjaan (vibrasi, mikrotrauma, vinil klorida), efek
samping

obat

(penghambat

reseptor-beta),

kelainan

onkologik

dan

hematologik

(disglobulinemia, kelainan mieloproliferatif, sindrom paraneoplastik) dan hipotiroidisme.


Populasi fenomena Raynaud pada populasi umum tidak diketahui dengan pasti, diperkirakan
sekitar 10 20 %. Fenomena Raynaud pada penyakit kolagen terutama pada sklerosis sistemik
umumnya berlangsung lama sebelum seluruh gejala penyakit kolagen tersebut timbul, sehingga

kadang-kadang sulit membedakannya dengan fenomena Raynaud primer yang tak diketahui
penyebabnya. 3,22,24
Table : 3 Perbedaan Fenomena Raynaud Primer dengan Fenomena Raynaud
pada Sklerosis Sistemik.23
Fenomena Raynaud

Sclerosis Sistemik

Primer
Perempuan : Laki-laki

20 : 1

4:1

Umur mula timbul

Pubertas

24 tahun

Frekwensi serangan perhari

10 x

5 x

Dingin, emosi

Dingin

Negatif

Positif

Negatif

90 95%

Negatif

50 60%

Negatif

20 30%

Negatif

95%

Negatif

75%

Faktor pencetus
Proliferasi intimal
Antibodi antinuclear
Antibodi antisentromer
Antibodi anti-Sel-70
Kapilaroskopi abnormal
Aktifasi trombosit in vivo

Fenomena Raynaud merupakan gejala awal dari 70% penderita sklerosis sistemik. Sebagian kecil
(5%) dari penderita sklerosis sistemik yang tidak mengalami fenomena Raynaud umumnya lakilaki dan mempunyai prognosis yang buruk karena risiko yang tinggi untuk mendapatkan
kelainan ginjal dan miokardial. 23,24

Berbagi faktor turut-turut berperan pada patogenesis fenomena Raynaud pada sklerosis
sistemik. Sel endothelial yang rusak akan mengaktifkan trombosit. Trombosit yang diaktifkan
akan menghasilkan vasokonstriktor, seperti 5-hidroksitriptamin (5-HT), tromboksan-Az (Tx-Az)
dan ADP. Untuk mengatasi hal ini, sel endothelial yang masih utuh akan menghasilkan
vasodilator seperti prostasiklin, Monoamineoxidase (MAO) dan endothelium-dependent
relaxation factor (EDRF). Tetapi sel endothelial yang rusak tidak dapat bereaksi terhadap
vasodilator tersebut. Selain itu sel endothelial yang rusak juga menghasilkan vasokonstriktor
endothelin-1. akibatnya akan terjadi vasokonstriksi. Penyempitan lumen akan makin diperberat
oleh adanya hiperplasi intima. Selain itu pada sklerosis sistemik juga terjadi gangguan
deformabilitas eritrosit, sehingga vasokonstriksi darah akan meningkat dan oklusi pembuluh
darah akan makin berat. 3
Beratnya fenomena Raynaud pada sklerosis sistemik ditandai dengan timbulnya iskemi
jari yang akan diikuti oleh ulserasi dan gangren. 2
Gambaran fenomena Raynaud juga terjadi pada berbagai arteri kecil dan arteriol pada
organ viseral, sehingga timbul berbagi kelainan pada organ tersebut. Perubahan yang terjadi pada
mikrosirkulasi meliputi timbulnya celah diantara sel endotel, vakuolisasi dan pembengkakan sel
endotel, nekrosis seluler, duplikasi lamina basalis dan infiltrasi seluler perivaskuler oleh limfosit,
plasmosit dan makrofag. Kelainan vaskuler ini menyebabkan penderita sklerosis sistemik sangat
rentan terhadap perubahan hemodinamika, dimana hipovolemi ringan dapat mencetuskan krisis
renal, sedangkan hipervolemia akan mencetuskan edema pulmonal. 3,23
Kerusakan vaskuler pada sklerosis sistemik akan menyebabkan peningkatan kadar
berbagai petanda seperti faktor von Willebrand, trombomodulin, ICAM 1 (interleukin adhesion
malecule 1) serum dan ELAM 1 (endhotelial leucocyte adhesion molecule 1) serum.
Peningkatan kadar faktor van Willebrand berhubungan dengan progesifitas fenomena Raynaud,
keterlibatan banyak organ dan tingginya angka mortalitas. 23
Pada sklerosis sistemik juga didapatkan gangguan fibrinolisis, karena kerusakan sel
endotel menyebabkan penurunan sintesis aktivator plasminogen dan berbagai faktor pro dan
antikoagulan. 23

Secara non-invasif, mikroangiopati pada sklerosis sistemik dapat diperiksa dengan


kapilaroskopi lipat kuku. 22

KELAINAN KULIT
Pada tahap awal akan tampak edema pada tangan dan jari tangan yang tidak disertai rasa nyeri.
Kadang-kadang dapat disertai timbulnya sindrom terowongan karpal (carpal tunnel syndrome)
akibat kompresi nervus medinus. Edema ini berhubungan dengan deposisi glikosaminoglikan di
dalam dermis atau efek hidrostatik akibat kerusakan vaskuler.
Beberapa minggu sampai beberapa bulan kemudian, edema akan diikuti dengan indurasi
sehingga kulit menjadi tebal dan keras. Penebalan kulit akan mengenai jari tangan dan bagian
yang lebih proksimal yaitu dorsum manus, lengan atas, muka dan akhirnya ke seluruh tubuh.
Kelainan ini patognomonis untuk sklerosis sistemik karena hampir tidak pernah ditemukan pada
penyakit lain. Umunya kelainan pada bagian distal tubuh lebih berat daripada di bagian
proksimal tubuh. Bersamaan dengan kelainan tersebut, lipatan kelainan tersebut lipatan kulit
akan menghilang, kulit akan tampak mengkilap dan terjadi hipo dan hiperpigmentasi.
Pada sklerosis sitemik yang difus, penebalan kulit akan menyebar ke seluruh tubuh,
terutama pada dinding dada dan abdomen sedangkan pada kelainan yang terbatas pada kulit akan
didapatkan pada jari atau jari dan muka.
Pada sebagian kecil penderita (2%), dapat ditemukan tanpa kelainan kulit (Sklerosis
sistemik sine skleroderma).
Pada fase awal indurasi, secara histologik akan tampak peningkatan serat kolagen pada dermis,
hiperplasi dan hialinisasi subintimal arteriol, dan infiltrasi limfosit, terutama sel T.
Kulit yang menebal makin lama akan makin menebal. Tetapi kadang-kadang akan terjadi
pelunakan yang biasanya dimulai dari bagian tubuh yang sentral. Jadi kulit yang mengeras
terakhir akan membaik lebih dahulu.
Beberapa tahun kemudian, akan tampak bintik-bintik teleangiektasi, terutama pada muka,
jari, lidah dan bibir. Teleangiektasis terutama terjadi pada subtipe yang terbatas (CREST

Syndrome), tetapi dapat juga terjadi pada subtipe yang difus. Pada subtipe yang terbatas, juga
dapat timbul kalsinosis subkutan. Kalsinosis subkutan dapat hanya berupa titik kecil, tetapi dapat
juga berupa masa yang besar.
Pada stadium akhir, akan timbul atropi dan penipisan kulit terutama pada bagian ekstensor sendi
yang kontraktur, sehingga dapat terjadi ulserasi akibat tarikan mekanik pada bagian itu. 3,7
KELAINAN SISTEMIK
Berbagai kelainan sistemik dapat timbul pada sklerosis sistemik yang umumnya terjadi
akibat kelainan vaskuler pada organ yang bersangkutan.
Pada paru dapat timbul fibrosis paru dan atau kelainan vaskuler paru. Fibrosis paru
umumnya terjadi pada kedua basl paru yang dapat dilihat jelas pada gambaran radiologik toraks.
Keadaan ini akan menyebabkan penurunan kapasitas difusi karbon monoksida dan pada akhirnya
akan terjadi penurunan kapasitas vital (penyakit paru restriktif). Pada bilasan bronkoalveolar,
akan ditemukan banyak sel radang terutama limfosit dan makrofag. Kelainan paru umumnya
lebih berat pada penderita dengan antibodi antitopoisomerase 1 dan anti U3 RNP yang positif
dan lebih ringan pada penderita dengan antibodi antisentromer yang positif. 6,16
Hipertensi pulmonal dapat terjadi pada sebagian kecil penderita, terutama pada subtipe terbatas
dengan antibodi antisentromer yang positif.
Untuk mencegah perburukan fungsi, maka deteksi dini kelainan paru pada sklerosis
sistemik harus dilakukan. Umumnya kelainan paru tidak memberikan gejala yang spesifik,
kecuali setelah ada kelainan hemodinamika atau penurunan kapasitas vital yang berat. Untuk itu
dianjurkan pemeriksaan uji fungsi paru secara berkala (3 6 bulan sekali) dan bila dicurigai
terdapat penurunan fungsi paru, dilakukan tomografi dengan komputer (CT Scan) dan bilasan
bronkoalveolar. 16
Kelainan pada sistem gastrointestinal, dapat mengenai esofagus bagian distal dan saluran cerna
yang lebih bawah. Pada esofagus distal akan terjadi dismotalitas motorik sehingga timbul
disfagia dan refluks gastroesofageal. Peristaltik esofagus akan menurun dan pada pemeriksaan
flouroskopi akan tampak hipomotalitas. Pada esofagus distal akan terjadi metaplasi mukosa

(metaplasi Barret) yang merupakan predisposisi timbulnya adenokarsinoma esofagus, tetapi


keganasan ini jarang terjadi pada sklerosis sistemik. Pada usus kecil akan terjadi hipomotalitas
dan berkurangnya lapisan otot. Atropi pada lapisan mukosa dan otot usus kecil, akan
menyebabkan udara masuk ke dinding usus sehingga timbul pnematosis intestinalis yang akan
tampak pada gambaran radiologik. Pada kolon juga dapat terjadi atropi lapisan otot sehingga
mengakibatkan timbulnya divertikel yang bermulut lebar yang khas untuk sklerosis sistemik.
Hipomotalitas kolon akan menyebabkan konstipasi dan pada beberapa keadaan dapat terjadi
atropi otot sfingter ani yang mengakibatkan inkontinensia alvi dan prolaps rekti. 3,7,8,16
Kelainan miokardial, jarang didapatkan pada sklerosis sistemik tetapi bila didapatkan akan
meningkatkan angka mortalitas. Umumnya akan terjadi fibrosis pada sistem konduksi jantung,
sehingga mengakibatkan timbulnya aritmia dan kematian jantung mendadak. Berbeda dengan
oragan lain, kelainan pada pembuluh koroner jarang didapatkan pada sklerosis sistemik. Kadangkadang dapat timbul perikarditis yang ditandai dengan penebalan perikardium parietal dan
viseral yang berakhir dengan perikarditis konstriktif. Selain itu dapat juga terjadi gangguan
fungsi ventrikel kanan sebagai akibat hipertensi pulmonal. 3,25
Pada ginjal, sklerosis sistemik akan menyebabkan krisis renal skleroderma akibat
hiperreninemia yang ditandai oleh peningkatan tekanan darah yang tiba-tiba, insufisiensi renal
yang progesif dan hemolisis mikroangiopatik. Kelainan ini umumnya terjadi pada subtipe yang
difus dan sangat jarang terjadi pada subtipe yang terbatas. Krisis renal merupakan penyebab
kematian yang utama pada sklerosis sistemik. Penyebab uatama kelainan ginjal adalah kelainan
vasuker, terutama pada arteri arkuata dan interlobular. Pada dinding pembuluh darah tersebut
terjadi hiperplasi mukoid subintimal yang akan berkembang menjadi nekrosis fibrinoid. 3,16,26
Pada persendian, dapat timbul poliartralgia terutama pada subtipe yang difus. Secara radiologik
akan tampak gambaran atropati erosive. Pada falang distal, dista radius dan ulna, ramus
mandibula dan permukaan superior iga posterior dapat terjadi osteolisis akibat hipovaskularisasi
sehingga terjadi resopsi tulang pada tempat tersebut. 3,7
Pada otot, dapat terjadi atropi akibat keterbatasan pengunaan sendi. Miopati yang lain
juga dapat terjadi yang ditandai oleh kelemahan otot, terutama otot proksimal dan peningkatan

kadar ezim otot serum (keratin-kinase dan aldolase). Secara histologik akan tampak serat
miofibril yang mengalami fibrosis. 3,7
Xerostomia ditemukan pada 20 30 % penderita sklerosis sistemik dan hal ini
berhubungan dengan sklerosis atau infiltrasi limfosit pada kelenjar liur. Separuh dari penderita
xerostomia memiliki antibodi terhada presipitin syogren yaitu SS-A (Ro) dan anti SS-B (La). 7,16
Tiroiditis Hashimoto dan fibrosis tiroid juga dapat ditemukan pada sklerosis sistemik dan
hal ini akan menyebabkan hipotiriodisme. 7
DIAGNOSIS DAN KLASIFIKASI
Diagnosis sklerosis sistemik ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan
penunjang. Secara klinis agak sulit menegakkan diagnosis sklerosis sistemik sebelum timbul
kelainan kulit yang khas. Tetapi kemungkinan sklerosis sistemik harus dipikirkan bila ditemukan
gambaran fenomena Raynaud pada wanita umur 20 50 tahun. Pemeriksaan autoantibodi anti
topoisomerase-1 dan anti sentromer harus dilakukan karena memiliki spesifitas yang baik pada
sklerosis sistemik. Evaluasi terhadap berbagai organ yang mungkin terkena juga harus dilakukan.
Bila keadaan meragukan, dapat dilakukan biopsy kulit. 27
Pada tahun 1980, Amerikan Rheumatism Association (ARA) menganjurkan kriteria
pendahuluan untuk klasifikasi sklerosis sistemik progresit. 27
Kriteria ini terdiri atas :
A. Kriteria mayor :
Skleroderma proksimal : penebalan, penegangan dan pengerasan kulit yang simetris pada
kulit jari dan kulit proksimal terhadap sendi metakarpofalangeal atau metatarsofalangeal.
Perubahan ini dapat mengenai seluruh ekstremitas, muka, leher dan batang tubuh (toraks
dan abdomen)
B. Kriteria minor :

1. Sklerodaktili : perubahan kulit seperti tersebut diatas, tetapi hanya terbatas pada
jari.
2. Pencekungan jari atau hilangnya substansi jari. Daerah yang mencekung pada
ujung jari atau hilangnya substansi jarinagan jari tersebut akibat iskemia.
3. Fibrosis basal di kedua paru. Gambaran linier atau lineonoduler yang retikuler
terutama di bagian basal kedua paru tampak pada gambaran foto toraks standard.
Gambaran paru mungkin menimbulkan bercak difus atau seperti sarang lebah.
Kelainan ini bukan merupakan kelainan primer paru.
Diagnosis sklerosis sistemik ditegakkan bila didapatkan 1 kriteria mayor atau 2 atau lebih
kriteria minor .
Secara klinik, sklerosis sistemik dibagi dalam 5 kelompok, yaitu :
1. Sklerosis sistemik difus, dimana penebalan kulit terdapat di ekstremitas distal,
proksimal, muka dan seluruh batang tubuh.
2. Sklerosis sistemik terbatas, penebalan kulit terbatas pada distal siku dan lutut, tetapi
dapat juga mengenai muka dan leher. Sinonimnya adalah CREST Syndrome (C=kalsinosis
subkutan, R=fenomena Raynaud, E=dismotilitas esophagus, S=sklerodaktili, T=
teleangiektasis).
3. Sklerosis sistemik sine skleroderma, secara klinis tidak didapatkan kelainan kulit,
walaupun terdapat kelainan oragan dan gambaran serologik yang khas untuk sklerosis
sistemik.
4. Sklerosis sistemik pada overlap syndrome, yaitu bila didapatkan kriteria yang lengkap
untuk sklerosis sistemik bersamaan dengan kriteria lengkap untuk lupus eritrematosus
sistemik, arthritis rheumatoid atau penyakit otot inflamasi.
5. Penyakit jarinagn ikat yang tidak terdiferensiasi, yaitu bila didapatkan fenomena
Raynaud dengan gambaran klinis dan/atau laboratorik sesuai dengan sklerosis sistemik.

Table 4. Perbedaan antara sklerosis sistemik terbatas dan sklerosis sistemik difus 3

Sklerosis sistemik terbatas


Fenomena

Raynaud

berlangsung

Sklerosis sistemik difus


dalamFenomena

jangka waktu yang lama.

Raynaud

berlangsung

dalam

jangka waktu yang singkat; kelainan kulit


timbul sebelum terjadi kelainan fenomena

Pembengkakan jari, intermiten dalam jangka

Raynaud.

waktu yang lama.


Pembengkakan tangan dan kaki.
Progesifitas lambat.
Progesifitas cepat.
Dapat

disertai

artralgia

ringan,

jarang

mengenai tendon.

Disertai

artralgia/artritis,

sindrom

terowongan karpal.
Problem utama : ulkus jari, fibrosis esofagus,
usus halus dan paru.

Semua organ viseral dapat terkena.

10% disertai hipertensi pulmonal dan fatal.

Jarang disertai hipertensi pulmonal.

Antisentromer pada 50 90% kasus: Anti- Antisentromer pada 5% kasus: Anti-topi-1


topi-1 pada 10 15% kasus.

pada 20 30% kasus.

Ada beberapa bentuk skleroderma yang mengenai kulit secara lokal tanpa disertai
kelainan sistemik. Keadaan ini disebut skleroderma lokal dan harus dibedakan dengan sklerosis
sistemik terbatas. Termasuk dalam kelompok ini adalah morfea, skleroderma linier dan
skleroderma en, coup de sabre. 27
Morfea adalah perubahan skleroderma setempat yang dapat ditemukan pada bagian tubuh mana
saja. Fenomena Raynaud sangat jarang didapatkan.

Skleroderma linier, umumnya didapatkan pada anak-anak, ditandai oleh perubahan


skleroderma pada kulit dalam bentuk garis-garis dan umumnya disertai atropi otot dan tulang
dibawahnya.
Skleroderma en coup de sabre, merupakan varian skleroderma linier, dimana garis yang
sklerotik terdapat pada ekstremitas atas atau bawah atau daerah frontoparietal yang
mengakibatkan deformitas muka dan kelainan tulang.
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan terhadap Sklerosis Sistemik meliputi penyuluhan dan dukungan psikososial,
pemberian golongan obat remitik dan terapi terhadap organ spesifik.
Penyuluhan dan dukungan psikologik memegang peranan yang sangat penting dalam
penatalaksanaan penderita sklerosis sistemik, karena perjalanana penyakit ini lama dan progresif.
Berbagai obat golongan remitif yang dapat diberikan pada penderita Sklerosis Sistemik
adalah D-penisilamin, kolkisin, obat-obat imunosupresif dan sebagainya, tetapi hasilnya masih
belum menggembirakan.
Fenomena Raynaud, merupakan gejala yang dominan pada sklerosis sistemik.
Menghindari merokok dan udara dingin, serta menjaga tetap dalam keadaan hangat, biasanya
cukup efektif untuk mengatasi fenomena Raynaud yang ringan dan sedang. Pada keadaan yang
berat, misalnya bila disertai ulkus pada ujung jari atau mengganggu aktivitas sehari-hari, maka
dapat dicoba penggunaan vasodilator, misalnya nifedipin, prazosin atau nitrogliserin topical.
Penggunaan nifedipin lepas lambat menunjukkan hasil yang baik dan efek hipotensif yang tidak
terlalu besar. 28
Selain itu, nifedipin juga dapat memperbaiki perfusi miokard pada penderita sklerosis sistemik. 29
Obat lain yang dapat dicoba untuk mengatasi fenomena Raynaud adalah Iloprost, suatu analog
prostasiklin. Obat ini diberikan perdrip dengan dosis 3 mg/KgBB/menit, 5 8 jam/hari selama 3
hari berturut-turut. Selain untuk mengatasi fenomena Raynaud, obat ini juga dapat digunakan
untuk mengatasi ulkus pada jari.30

Perawatan kulit sangat penting diperhatikan, apalagi bila sudah timbul ulkus. Pemberian
antibiotik dapat dipertimbangkan bila ada infeksi skunder. Bila luka cukup dalam, mungkin
dibutuhkan perawatan secara bedah, nekrotomi dan pemberian antibiotik parenteral.26
D-penisilamin, menunjukkan hasil yang cukup baik untuk mengatasi kelainan kulit pada
sklerosis sistemik, walaupun dibutuhkan pengobatan dalam jangka waktu yang cukup lama.31
Secara in vitro, Interferon-gamma dapat menghambat proliferasi fibroblas dan produksi
kolagen. Pada beberapa kasus, obat ini dapat mengurangi kekakuan kulit, tetapi tidak efektif
terhadap fenomena Raynaud.28
Obat lain yang dapat mempengaruhi transport prokolagen dan sekresi prokolagen oleh fibroblas
adalah kolkisin. Tetapi masih harus diteliti efektifitasnya pada penggunaan jangka panjang. 30
Demikian juga penggunaan ketotifen, suatu stabilisator sel mast: N-Asetil-sistein, suatu
perangsang pemecahan kolagen, fotofaresis dan globulin antitimosit masih perlu diteliti
efektifitasnya.30,31
Artralgia/arthritis dan tenosinovitis biasanya dapat diatasi dengan pemberian anti
inflamasi non steroid. Bila nyeri tetap timbul, dapat dipertimbangkan pemberian injeksi steroid
lokal atau steroid sistemik dosis kecil dalam jangka waktu yang singkat. Selain itu, fisioterapi
yang agresif harus dilakukan untuk mencegah dan mengatasi kontraktur.27
Dismotilitas esofagus, akan menimbulkan keluhan heart-burn dan disfagia. Penderita
dianjurkan untuk meninggikan kepalanya pada waktu berbaring, makan pada posisi tegak dengan
porsi kecil dan sering. Biasanya pemberian antasid, antagonis H2 dan obat sitoprotektif, cukup
efektif untuk mengatasi keluhan nyeri yang ringan dan sedang. Pada keadaan yang berat, dapat
dianjurkan pemberian omeprazol. Obat prokinetik, dapat diberikan pada keadaan disfagia. Bila
terdapat striktur esophagus, harus dilakukan dilatasi secaraberkala.7,28
Keterlibatan usus halus, akan menyebabkan gangguan pasase makanan dan meningkatkan
pertumbuhan bakteri. Pada keadaan yang terakhir dianjurkan untuk mengunakan antibiotik yang
berspektrum luas selama 2 minggu. Untuk mengatasi hipomotilitas usus dapat dicoba pemberian
prokinetik. Bila terdapat konstipasi, harus diberikan pelunak feses dan diet tinggi serat. Bila

hipomotilitas usus sangat berat dan timbul distensi abdomen, penderita harus dipuasakan untuk
mengistirahatkan usus dan dilakukan dekompresi dengan pipa nasogastrik. Tindakan bedah harus
dihindari karena akan mencetuskan ileus dan memperlama penyembuhan.7,28
Pnemonitis interstisial merupakan keadaan yang harus segera diatasi. Pemberian
kortikosteriod atau siklofosfamid memberikan hasil yang cukup memuaskan.31,33
Hipertensi pulmonal tanpa kelainan interstisial paru mempunyai prognosis yang buruk, karena
tidak ada satupun obat yang dapat mengatasi keadaan ini. 6
Krisis renal dengan hipertensi berat, merupakan komplikasi yang serius dengan angka
kematian yang cukup tinggi. Dengan adanya obat inhibitor enzim pengkoncersi angiotensin,
angka kematian dapat diturunkan secara drastis.28,30,31
PROGNOSIS
Angka harapan hidup 5 tahun penderita sklerosis sistemik adalah sekitar 68%. Harapan hidup
akan semakin pendek dengan luasnya kelainan kulit dan banyaknya keterlibatan organ viseral.
Pada sklerosis sistemik difus, kematian biasanya terjadi karena kelainan paru, jantung atau
ginjal. Sedangkan pada sklerosis sistemik terbatas, kematian terjadi karena hipertensi pulmonal
dan malabsorbsi.4
Penderita sklerosis sistemik mempunyai risiko yang tinggi untuk mendapatkan
keganasan, terutama karsinoma payudara, paru dan limfoma non Hodgkin. Hal ini turut
meningkatkan angka kematian penderita sklerosis sistemik.4
Satu hal yang unik adalah bahwa risiko timbulnya adenokarsinoma esofagus sangat
rendah, walaupun terdapat metaplasi mukosa esofagus distal (metaplasi Barret). 3,7
Penelitian Altman dkk, mendapatkan beberapa prediktor yang memperburuk prognosis
penderita Sklerosis Sistemik adalah usia kanjut ( > 64 tahun), penurunan fungsi ginjal (BUN <>
14 gr/dl atau kapasitas vital paksa <>
KESIMPULAN

1. Sklerosis sistemik adalah penyakit jaringan ikat yang tidak diketahui penyebabnya yang
ditandai oleh fibrosis kulit dan organ viseral serta kelainan mikrovaskuler.
2. Secara patologik, Sklerosis sistemik akan memberi gambaran fibrosis kulit dan organ
viseral lainnya disertai proliferasi tunika intima arteri dan arteriol.
3. Sklerosis sistemik berhubungan dengan adanya antibodi anti nuklear spesifik, terutama
antibodi anti sklero-70 dan antibodi anti sentromer. Faktor genetik pada kelainan ini
masih belum jelas, walaupun banyak penelitian yang menghubungkan kelainan ini
dengan gen C4 null.
4. Secara klinis, Sklerosis Sistemik memberi gambaran berupa fenomena Raynaud, fibrosis
kulit dan manifestasi berbagai organ viseral akibat fibrosis dan kelainan vaskuler pada
organ tersebut.
5. Untuk diagnosis Sklerosis Sistemik, dapat digunakan criteria ARC untuk Sklerosis
Sistemik.
6. Penatalaksanaan Sklerosis Sistemik meliputi penyuluhan dan dukungan psikososial,
pemberian golongan obat remitif dan terapi terhadap organ spesifik. Ada beberapa
golongan obat remitif yang dapat diberikan pada Sklerosis Sistemik, tetapi hasilnya
masih kurang menggembirakan.
7. Beberapa prediktor prognosis yang buruk adalah usia lanjut, penurunan fungsi ginjal,
anemia, penurunan kapasitas difusi CO pada paru, penurunan kadar protein serum total
dan penurunan cadangan paru.

DAFTAR RUJUKAN
1. LeRoy EC, Silver RM. Systemic sclerosis and related syndrome: Epidemiology,
Pathology and Pathogenesis. In: Schumacher HR, Klippel JH, Koopman WJ (eds).
Primer on the Rheumatic Diseases. 10th ed. Arthritis Foundation, Atlanta, Georgia 1993:
118 20.

2. Steen VD, Medsger TA. Epidemiologi and Natural History of Systemic Sclerosis. Rheum
Dis Clin N Am 1990: 16 (1): 1 10.
3. Seibold JR. Systemic Sclerosis: Clinical Features. In: Klippel JH, Dieppe P (eds).
Rheumatology. 1st ed. Mosby-Year Book Europe Limited, London 1994: 8. 1-14.
4. Silman AJ, Newmwn J. Genetic and Environmental Factors in Scleroderma. Curr Op
Rheumatol 1994; 6(6): 607-11.
5. Smith EA, LeRoy EC. Systemic Sclerosis: Etiology and Pathogenesis. In: Klippel JH,
Dieppe P (eds). Rheumatology. 1st ed. Mosby-Year Book Europe Limited, London 1994:
9. 1-10.
6. Silver RM, Miller KS. Lung involvement in Systemic Sclerosis. Rheuma Dis Clin N Am
1990; 16 (1): 199-216.
7. Medsger TA, Steen V. Systemic Sclerosis and Related Syndromes: Clinical Features and
Treatment. In: Schumacher HR, Klippel JH, Koopman WJ (eds). Primer on the
Rheumatic Diseases. 10th ed. The Arthritis Foundation. Atlanta, Georgia 1993: 127-30.
8. Sjorgen RW. Gastrointestinal Motility Disorders in Scleroderma. Arthritis Rheuma 1994;
37 (9): 1265-82.
9. Postlethwaite AE. Early Immune Events in Scleroderma. Rheum Dis Clin N Am 1990; 16
(1): 125-40.
10. Reimer G. Autoantibodies Against Nuclear, Nucleolar and Mitochondrial Antigens in
Systemic Sclerosis. Rheuma Dis Clin N Am 1990; 16 (1): 169-84.
11. McHugh NJ, Whyte J, Harvey G et al. Anti-topoisomerase I antibodies in Siliacaassociated Systemic Sclerosis: A Model for autoimmunity. Arthritis Rheum 1994; 37 (8):
1198-1205.

12. Hietarinta M. Ilonen J, Lassila O et al. Association of HLA antigen with anti-Sel-70
antibodies and alinical manifestations of Systemic Sclerosis. Br J Rheumatol 1994; 33:
323-6.
13. Weiner ES, Hildebrandt S, Senecal JL et al. Prognostic significance of anticentromere
antibodies and anti-topoasomerase I antibodies in Raynaud disease: A prospective study.
Arthritis Rheum 1991; 34 (1): 68-77.
14. Sato S, Ihn H, Kikuchi K et al. Antihistone antibodies in Systemic Sclerosis: Association
with Pulmonary Fibrosis. Arthritis Rheum 1994; 37 (3): 391-4.
15. White B. Immunologic aspect of Scleroderma. Curr Op Rheumatol 1994; 6 (6): 612-5.
16. Wigley FM. Clinical aspects of systemic and localized scleroderma. Curr Op Rheumatol
1994; 6 (6): 628-36.
17. Fiocco U, Rosada M, Cozzi L et al. Early phenotypic activation of circulating helper
memory T cells in scleroderma: correlation with disease activity. Ann Rheum Dis 1993;
52: 272-7.
18. Postletwite AE. Connective tissue metabolism including cytokines in scleroderma. Curr
Op Rheumatol 1994; 6 (6): 616-20.
19. Briggs D, Black C, Welsh K. Genetic factors in Scleroderma. Rheum Dis Clin N Am
1990; 16 (1): 31-52.
20. Genth E, Mierau R, Genetzky P et al. Immunogenetic associations of Sclerodermarelated antinuclear antibodies. Arthritis Rheum 1990; 33 (5): 657-65.
21. Kuwana M, Okano Y, Kaburaki J. Racial differences in the distribution of Systemic
Sclerosis-related serum anti-nuclear antibodies. Arthritis Rheum 1994; 37 (6): 902-6.
22. Carpentier PH, Maricq HR. Microvasculature in Systemic Sclerosis. Rheum Dis Clin N
Am 1990; 16 (1): 75-92.

23. Kahaleh MB. Raynauds phenomenon and vascular disease in Scleroderma. Curr Op
Rheumatol 1994; 6 (6): 621-7.
24. Kahaleh MB. Matucci-Cerinic

M. Raynauds phenomenon

and Scleroderma:

Dysregulated Neuroendothelial Control of Vascular tone. Arthritis Rheum 1995; 18 (1):


1-4.
25. Clements PJ, Lachenbruch PA, Furst DE et al. Cardiac score: A semiquantitative measure
of cardiac invollement that improves prediction of prognosis in Systemic Sclerosis.
Arthritis Rheum 1991; 34 (11): 1371-80.
26. Clements PJ, Lachenbruch PA, Furst DE et al. Abnormalities of renal physiology in
systemic sclerosis: A prospective study with 10-year follow up. Arthritis Rheum 1994; 37
(1): 67-74.
27. Albar Z. Sklerosis sistemik. In: Soeparman (ed). Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi
kedua. Balai Penerbit FKUI, Jakarta: 1987: 747-52.
28. Steen VD. Systemic Sclerosis: Management. In: Klippel JH, Dieppe PA (eds).
Rheumatology. 1st ed. Mosby-Year Book Europe Limited, London 1994: 10.1-8.
29. Duboc D, kahan A, Maziere B et al. The effect of nifedipine on myocardial perfusion and
metabolism in Systemic Sclerosis: A positron emission tomographic study. Arthritis
Rheum 1991; 34 (2): 198-203.
30. Hoogen FHJ, Putte LBA. Treatment of Systemic sclerosis. Curr Op Rheumatol 1994; 6
(6): 637-41.
31. Torres MA, Furst DE Treatment of Generalized Systemic Sclerosis. Rheum Dis Clin N
Am 1990; 16 (1): 217-42.
32. Steen VD, Lanz JK, Conte C et al. Therapy for severe interstitial lung disease in Systemic
Sclerosis: A retrospective study. Arthritis Rheum 1994; 37 (9): 1290-6.

33. Akesson A. Scheja A, Lundin A et al. Improved pulmonary function in systemic sclerosis
after treatment with cyclophosphamide. Arthritis Rheum 1994; 37 (50): 729-35.
34. Altman RD, Medsger TA, Bloch DA et al. Predictors of survival in Systemic sclerosis
(Scleroderma). Arthritis Rheum 1991; 34 (4): 403-13.

SKLEROSIS SISTEMIK

SKLEROSIS SISTEMIK
DEFINISI DAN EPIDEMIOLOGI
Sklerosis sistemik (Skleroderma) adalah penyakit jaringan ikat yang tidak diketahui
penyebabnya yang ditandai oleh fibrosis kulit dan organ visceral serta kelainan mikrovaskuler.
Penyakit ini berhubungan dengan adanya antibodi anti nuklear spesifik, terutama anti-sentromer
dan anti sklero-70 (anti-Scl-70)1. Spektrum penyakit ini cukup luas, mulai dari kelainan yang
disertai penebalan kulit yang luas dan berat, atau hanya penebalan kulit pada ekstremitas distal
dan muka atau tanpa kelainan kulit sama sekali.2
Kasus skleroderma pertama kali dilaporkan oleh Carlo Curzio pada tahun 1753 di Napoli yang
menyerang seorang wanita yang berumur 17 tahun. Hubungan skleroderma dengan fenomena
Raynaud, pertama kali dilaporkan oleh Maurice Raynaud pada tahun 1865. kemudian pada
tahun-tahun berikutnya diketahui bahwa penyakit ini juga menyerang organ viseral. Pada tahun
1964, Goetz mengusulkan istilah Progressive Systemic Sclerosis yang menggambarkan lesi yang
luas, baik di kulit maupun di organ viseral. Pada tahun 1964, Winterbauer mendiskripsikan
salah satu varian dari skleroderma yang hanya terbatas pada ekstremitas distal dan muka yang
disebut CREST Syndrome (calcinosis, Raynauds phenomenon, esophageal dysmotility,
skerodactily, teleangiectasis). 3
Prevalensi penyakit ini relatif rendah karena banyak kasus yang tidak dilaporkan, apalagi kasus
yang tidak disertai kelainan kulit. Penelitian pada masyarakat umum di Carolina Selatan
mendapatkan prevalensi sebesar 19 75 kasus per 100.000 penduduk dengan perbandingan
wanita dan laki-laki 2,9 4 : 1. pada penelitian di Tennessee, ternyata jumlah penderita
skleroderma pada wanita usia reproduksi (20 44 tahun) 15 kali jumlah penderita laki-laki pada

usia yang sama, sedangkan pada wanita usia 45 tahun atau lebih, frekwensinya hanya 1,8 kali
penderita laki-laki pada usia yang sama. 1,2,3
Hubungan penyakit ini dengan ras tidak jelas, walaupun penderita skleroderma pada kulit
berwarna lebih banyak dibandingkan kulit putih. Selain itu beberapa faktor lingkungan mungkin
berhubungan dengan timbulnya skleroderma, misalnya debu silika dan implantasi silikon.
Beberapa bahan kimia seperti vinil-klorida, epoksi-resin dan trikoroetilen serta obat-obatan
seperti bleomisin, pentazosin dan L-triptofan, juga diketahui berhubungan dengan timbulnya
sklerosis sistemik. Pemaparan terhadap vinil-klorida diketahui berhubungan dengan timbulnya
skleroderma yang disertai fenomena Raynaud, akro-osteolisis dan fibrosis paru. Sedangkan
pemakaian bleomesin pada kanker testis, terutama bila dikombinasi dengan sis-platinum,
ternyata berhubungan dengan timbulnya skleroderma, fenomena Raynaud dan fibrosis paru. 1,2,4

GAMBARAN PATOLOGI
Fibrosis pada kulit dan organ lainnya, termasuk pembuluh darah, merupakan gambaran patologik
yang paling sering ditemukan pada sklerosis sistemik. Peningkatan matriks ekstraseluler pada
dermis, terutama kolagen I dan III, yang disertai penipisan epidermis dan hilangnya rate pegs
merupakan gambaran patologik yang khas pada sklerosis sistemik. Hal ini menyebabkan
penebalan kulit yang khas pada skleroderma. Pada stadium awal, tampak infiltrasi sel radang
mononuklear di dalam dermis, terutama limfosit T dan sel mast. Sel-sel ini, banyak ditemukan
mengelilingi pembuluh darah dermis. Pada stadium akhir (fase atrofik), kulit relatif aseluler. 5
Lesi vaskuler pada kulit menunjukkan gambaran yang sama dengan lesi pada organ lainnya.
Tunika intima arteri dan arteriol tampak berproliferasi sehingga lumen menjadi sempit. Dengan
tehnik nailfold capilaroscopy, akan tampak kerusakan dan hilangnya kapiler yang makin lama
makin banyak. Pada pembuluh darah besar, akan tampak hiperlasia tunika intima, sehingga
lumennya menyempit dan akhirnya berobliterasi. 5
Pada paru-paru, dapat ditemukan 2 gambaran patologik, yaitu fibrosis paru dan kelainan
vaskuler. Walaupun kedua keadaan ini sering bersamaan, tetapi pada wanita dengan skleroderma
yang terbatas sering hanya didapatkan kelainan pembuluh darah paru yaitu penebalan tunika

media, sehingga terjadi penyempitan lumen dan timbul hipertensi pulmonal yang dapat berakhir
sebagai gagal jantung kanan.
Stadium awal fibrosis paru pada sklerosis sistemik, merupakan reaksi radang akut yang ditandai
oleh peningkatan makrofag alveolar dan sel radang polimorfonuklear. Pada penelitian in vitro,
ternyata makrofag alveolar penderita sklerosis sitemik memproduksi fibronektin dalam jumlah
yang banyak yang berperan dalam pertumbuhan fibroblas. Pada stadium lanjut, tampak deposisi
kolagen dan komponen jaringan ikat lainnya di ruang interstitial alveolar sehingga pada akhirnya
akan tampak jaringan fibrosa yang lebih banyak dibandingkan ruang udara alveolar. Akibatnya
proses difusi di dalam paru-paru akan terhambat. 5,6
Pada jantung, sklerosis sitemik dapat menyerang perikardium dan miokardium. Kelainan pada
perikardium ditandai oleh fibrosis dan penebalan perikardium parietal dan viseral yang akhirnya
dapat berkembang menjadi perikarditis konstriktif. Pada miokardium, tampak proliferasi intima
dan penyempitan pembuluh darah koroner. Disekeliling pembuluh darah koroner, ditemukan
banyak jaringan fibrosa. Akhirnya dapat timbul vasospasme dan infark miokard. 5,7
Pada saluran cerna, lesi terbanyak terdapat pada esofagus, walaupun gaster, usus halus proksimal
dan kolon juga dapat terserang. Secara histologi, tampak gambaran fibrosis pada tunika propia
dan submukosa, serta peningkatan sel radang pada tunika muskularis. Akibat fibrisis maka
peristaltik usus akan berkurang. Akibat fibrosis, atropi lapisan otot dan berkurangnya peristaltik,
akan timbul divertikel di kolon dengan mulut yang lebar. Pada esofagus dapat timbul Barretts
esophagus (gastrikasi esofagus distal). Walaupun demikian, insiden adenokarsinoma esofagus
pada keadaan ini sangat rendah. 5,7,8
Pada ginjal akan tampak lesi arteriol yang berupa proliferasi intima, penipisan tunika media dan
redupikasi lamina elastika. Membran basal glomeruli mengalami duplikasi, tetapi tidak ada
tanda-tanda glomerulonefritis. Gambaran skerotik pada glomeruli, merupakan tanda khas infark
korteks ginjal dan stadium akhir skleroderma. Pada sklerosis sistemik yang disertai kelainan
ginjal, sering didapatkan hemolisis mikroangiopatik akibat kerusakan fisik eritrosit yang beredar
pada gangguan sirkulasi renal yang berat. 8

Pada otot rangka, akan tampak jaringan fibrosa perivaskuler yang menyebabkan penurunan
kekuatan otot dan peningkatan enzim otot dalam serum yang ringan. Selain itu dapat juga terjadi
kelainan seperti yang tampak pada poli dan dermatomiositis yaitu infiltrasi limfosit perivaskuler,
nekrosis, degenerasi dan regenerasi jaringan otot. Secara klinik akan tampak kelemahan otot
proksimal dan peningkatan enzim otot serum yang bermakna. Pada tendon akan tampak deposisi
fibrin dalam sarung tendon, sehingga gerak tendon terbatas dan akhirnya dapat timbul kontraktur
fleksi, terutama pada jari-jari. 5

GAMBARAN IMUNOPATOLOGI
Berbagai kelainan imunitas humoral dan seluler, tampak terjadi pada penderita sklerosis
sistemik. Pada umumnya kelainan imunitas ini menggambarkan proses autoimun yang sedang
terjadi yang menghasilkan berbagai autoantibodi terhadap berbagai sel dan konstituen jaringan.
Beberapa kelainan serologik yang nonspesifik adalah ditemukannya hipergammaglobulinemia
poliklonal, krioglobulinemia, faktor rheumatoid dan uji VRDL yang positif palsu. 9
Pada 95% penderita sklerosis sitemik, didapatkan antibodi anti-nuklear (antinuclear antibodi,
ANA). ANA spesifik terhadap DNA topoisomerase I (Anti-topoisomerase I, anti-Sel-70)
didapatkan pada 20-30% penderita, dan separuhnya terdapat pada penderita sklerosis sistemik
difus. Enzim DNA topoisomerase I sangat penting peranannya pada proses pembukaan gulungan
DNA untuk replikasi dan transkripsi RNA. 5,9-13
ANA spesifik yang lain adalah anti DNA-histone-complex yang banyak ditemukan pada
penderita sklerosis sistemik dengan fibrosis paru, anti Ku yang banyak ditemukan pada penderita
sklerosis sistemik dengan miopati inflamasi, anti PM-Sel yang banyak ditemukan pada penderita
sklerosis sistemik dengan miopati inflamasi dan kelainan ginjal, anti RNA-polimerase I, II dan
III yang banyak ditemukan pada kelainan ginjal, anti U3-RNP yang berhubungan dengan
kelainan jantung dan paru-paru, anti U1-RNP yang berhubungan dengan artritis dan hipertensi
pulmonal dan ANA spesifik lainnya (table 1). 10,14,15,16
Autoantibodi lain yang sering ditemukan adalah antibodi antisentromer yang terdapat pada 30%
penderita sklerosis sistemik yang terbatas dan CREST Syndrome. Ada 3 antigen sentromer yang

spesifik pada penderita sklerosis sistemik yaitu CENP-A (17/19 kDa protein), CENP-B (80 kDa
protein) dan CENP-C (120 kDa protein). Adanya autoantibodi terhadap antigen sentromer
menunjukkan tingginya pemecahan kromosom. 5,10,13
Autoantibodi lain yang sering ditemukan pada CREST Syndrome adalah antibodi antimitokondrial yang merupakan tanda khas adanya sirosis bilier primer. 9
Antibodi lain terhadap self-protein adalah antibodi anti-kolagen tipe I,III,IV dan VI. Antibodi
anti-kolagen tipe IV berhubungan dengan beratnya kelainan paru pada sklerosis sistemik. Selain
itu juga dapat ditemukan Circulating Imune Complex (CIC) yang berhubungan dengan
perjalanaan penyakit yang lama. 5
Sedangkan penelitian Endo dan kawan-kawan mendapatkan adanya antineutrophilic cytoplasmic
antibodies (ANCA), yang berhubungan dengan gagal ginjal dan perdarahan paru. 16
Sampai saat ini belum diketahui apa dan bagaimana peranan antibodi terhadap material inti sel
pada patogenesis sklerosis sistemik. Salah satu dugaan adalah bahwa ANA turut berperan pada
perusakan sel endotelial. 5
Selain kelainan imunitas humoral, juga terjadi kelainan imunitas seluler pada sklerosis sistemik.
Secara umum didapatkam limfopenia dengan rasio sel T dan sel B yang normal, tetapi
didapatkan peningkatan rasio sel T penolong (T-4) terhadap sel T penekan (T-8+). Selain itu juga
terdapat penurunan kadar sel NK (Natural Killer) yang pada permukaannya terdapat antigen T8+. Sel-sel inflamasi mononuklear banyak terkumpul pada lapisan dermis penderita sklerosis
sistemik dan pada umumnya sel T penolong yang teraktivasi. Sel T berperan memproduksi
interleukin-2 (IL-2) yang dapat merubah sel NK menjadi sel LAK (Lymphocite-activated killer)
yang ternyata sangat penting pada kerusakan endotelial. Selain itu sel T juga berperan pada
Graft-versus-host disease (GVHD) pada penderita yang menjalani transplantasi sumsum tulang.
Kelainan ini ditandai oleh adanya fenomena Raynaud, sklerosis dermal (terutama pada jari) dan
kelainan vaskuler. 5,9,17
Tabel 1 : Kelainan imunitas humoral pada penderita sklerosis sistemik 9

Abnormalitas humoral
Hipergamaglobulinemia poliklonal
Faktor rheumatoid
Antibodi antinuklear (ANA)

Persentase
30%
30 50%
95 %

Anti DNA-topoisomerase I (Anti-Sel-70)

5%

Anti DNA-histone-complex

5%

Anti nukleolar 7,2-RNP (anti Th-RNP & anti To-RNP)

25%

Anti U3-RNP-associated fibrillarin

86%

Anti U-1 RNP

44%

Anti RNA-polymerase I,II,III

55%

Anti Ku
Anti PM-Sel (PM-1)
Anti SS-A (Ro) dan SS-B (La)
Anti Sel-4
Anti Sel-6
Antibodi antisentromer
Antibodi antimitokondrial
Antibodi antikardiolipin

Antibodi anti-kolagen tipe I


Antibodi anti-kolagen tipe IV
Circulating immune cimplex (CIC)
Fagosit mononuklear juga mempunyai peranan yang sangat penting dalam patogenesis sklerosis
sistemik, terutama makrofag alveolar. Sel-sel ini memproduksi berbagai sitokin seperti
transforming growth factor-B (TGF-B), platelet-derived growth factor (PDGF), tumor necrosis
factor (TNF), IL-1B, berbagai protease dan mediator lain yang penting pada patogenesis
sklerosis sistemik. 5,9
Sel lain yang banyak ditemukan di dalam dermis penderita sklerosis sistemik adalah sel mast. Sel
ini berperan dalam memproduksi berbagai mediator seperti triptase yang dapat merusak sel
endotel, serta histamin yang dapat merangsang proliferasi dan sintesis matriks fibroblas dan
menyebabkan retraksi sel endotel. 9
Berbagai sitokin meningkat kadarnya pada penderita sklerosis sistemik, seperti fibronektin, IL
1, IL 2, PDGF, TGF-B, Connective-tissue activating peptidase (CTAP), endotelin dan
interferon-gamma (IFN-g). 5,18
Tabel 2 : Berbagai sitokin yang berperan pada penderita sklerosis sistemik 5

Jenis Sitokin
Fibronektin

Sumber

Fibroblas, sel endotel, makrofag, Kemoatraktan monosit & fibroblas,


hepatosit

IL-1

Peranannya pada patogenesis

mitogen fibroblas

Makrofag, sel endotel, limfosit, Mitogen fibroblas, merangsang sintesis


fibroblas, sel epitel, osteosit,
osteoblas, keratinosit

kolagen

IL-2

Sel T

Mengaktifkan sel NK menjadi sel


LAK

PDGF

Trombosit, fibroblas,

Mitogen fibroblas

makrofag
TGF-B

Megakariosit, makrofag, sel

Merangsang sintesis kolagen,

epidermal, fibroblas dan sel T

merangsang sintesis fibronektin,


menghambat pertumbuhan sel
endotel, mitogen fibroblas indirek,
kemoatraktan fibroblas & monosit
merangsang sekresi IL-1

CATP

CATP I : limfosit

Mitogen fibroblas, meningkatkan


sintesis glikosaminoglikan

CATP III : trombosit


CATP V : sel mesenkimal
TNF

Makrofag, sel T, sel B, sel NK

Merusak endotel

Endotelin

Sel endotel

Vasokonstriktor

IFN-g

Sel T, sel NK

Aktifator makrofag, diferensiasi sel


T menjadi sel T sitolitik,
pertumbuhan sel B

FAKTOR GENETIK

Faktor keturunan yang berperan pada sklerosis sistemik adalah jenis kelamin, dimana
didapatkan rasio jenis kelamin wanita dan pria berkisar antara 2 : 1 sampai 20 : 1. walaupun
demikian peranan hormon sex pada patogenesis penyakit ini tidak diketahui. 19
Hasil penelitian mengenai hubungan antara sklerosis sistemik dengan antigen MHC
(Major Histocompability Complex) menunjukkan perbedaan yang bermakna antara satu peneliti
dengan peneliti dari negara lain. Penelitian di Inggris menunjukkan hubungannya dengan HLAA1, B8, DR3 dengan DR5 dan dengan DRw52, sedangkan penelitian di Amerika Serikat tidak
menunjukkan hubungannya dengan HLA-DR5. Penelitian di Jepang menunjukkan hubungannya
dengan HLA-Bw52, DR2 dan DR4. 4,12,19,20
Gen lain yang dilaporkan juga berhubungan dengan sklerosis sistemik adalah alel C4null (C4 AQO dan C4 BQO). C4 AQO dikatakan banyak terdapat pada penderita sklerosis
sistemik yang mengidap gen HLA-DR3. 19
Faktor genetik lain yang tampak pada penderita sklerosis sistemik adalah instabilitas
kromosom dimana terdapat peningkatan pemecahan kromosom. 19
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa frekwensi autoantibodi pada berbagai grup
etnik ternyata berbeda. Antibody anti sentromer banyak terdapat pada orang berkulit putih di
Amerika dan tidak pernah pada orang berkulit hitam. Antibodi anti U1-RNP, anti RNA
polimerase I, II, III dan anti U3-RNP banyak didapatkan pada orang Jepang, orang kulit putih
dan kulit hitam. 21

PATOGENESIS
Secara pasti, patogenesis sklerosis sistemik tidak diketahui. Diduga sesuatu faktor
pencetus yang sampai sekarang belum diketahui, mengaktifkan sistem imun dan menimbulkan
kerusakan-kerusakan sel endotelial. Kerusakan sel endotelial akan mengaktifkan trombosit,
sehingga trombosit mengeluarkan berbagai mediator seperti PDGF, TGF-B dan CATP-III yang
akan menyebabkan proliferasi fibroblas dan sintesis matriks oleh fibroblas. Aktivasi sistem imun
juga akan berakhir pada proliferasi fibroblas dan sintesis matriks. 5

Secara skematis, patogenesis sklerosis sistemik dapat digambarkan seperti pada gambar
1.

FENOMENA RAYNAUD & KELAINAN


VASKULER
Fenomena Raynaud adalah perubahan warna yang episodik (polar, sianosis, eritema)
yang terjadi sebagai respons terhadap lingkungan yang dingin atau stress emosional. Walaupun
perubahan yang spesifik umumnya terjadi pada jari tangan, tetapi dapat juga mengenai ibu jari
kaki, daun telinga, hidung dan lidah. Pada fase polar dan sianosis, penderita akan merasa nyeri
dan kaku, sedang pada fase hiperemis, penderita akan merasa seperti terbakar. 3
Fenomena Raynaud dapat dijumpai pada beberapa penyakit kolagen yaitu 95% pada
penderita sklerosis sistemik, 91% pada penderita Mixed Connective Tissue Diseases (MCTD)
dan 40% pada penderita lupus eritematosus sistemik. Selain itu, fenomena Raynaud juga dapat
dijumpai pada berbagai trauma akibat perkerjaan (vibrasi, mikrotrauma, vinil klorida), efek
samping

obat

(penghambat

reseptor-beta),

kelainan

onkologik

dan

hematologik

(disglobulinemia, kelainan mieloproliferatif, sindrom paraneoplastik) dan hipotiroidisme.

Populasi fenomena Raynaud pada populasi umum tidak diketahui dengan pasti, diperkirakan
sekitar 10 20 %. Fenomena Raynaud pada penyakit kolagen terutama pada sklerosis sistemik
umumnya berlangsung lama sebelum seluruh gejala penyakit kolagen tersebut timbul, sehingga
kadang-kadang sulit membedakannya dengan fenomena Raynaud primer yang tak diketahui
penyebabnya. 3,22,24
Table : 3 Perbedaan Fenomena Raynaud Primer dengan Fenomena Raynaud
pada Sklerosis Sistemik.23
Fenomena Raynaud

Sclerosis Sistemik

Primer
Perempuan : Laki-laki

20 : 1

4:1

Umur mula timbul

Pubertas

24 tahun

Frekwensi serangan perhari

10 x

5 x

Dingin, emosi

Dingin

Negatif

Positif

Negatif

90 95%

Negatif

50 60%

Negatif

20 30%

Negatif

95%

Negatif

75%

Faktor pencetus
Proliferasi intimal
Antibodi antinuclear
Antibodi antisentromer
Antibodi anti-Sel-70
Kapilaroskopi abnormal
Aktifasi trombosit in vivo

Fenomena Raynaud merupakan gejala awal dari 70% penderita sklerosis sistemik. Sebagian kecil
(5%) dari penderita sklerosis sistemik yang tidak mengalami fenomena Raynaud umumnya lakilaki dan mempunyai prognosis yang buruk karena risiko yang tinggi untuk mendapatkan
kelainan ginjal dan miokardial. 23,24
Berbagi faktor turut-turut berperan pada patogenesis fenomena Raynaud pada sklerosis
sistemik. Sel endothelial yang rusak akan mengaktifkan trombosit. Trombosit yang diaktifkan
akan menghasilkan vasokonstriktor, seperti 5-hidroksitriptamin (5-HT), tromboksan-Az (Tx-Az)
dan ADP. Untuk mengatasi hal ini, sel endothelial yang masih utuh akan menghasilkan
vasodilator seperti prostasiklin, Monoamineoxidase (MAO) dan endothelium-dependent
relaxation factor (EDRF). Tetapi sel endothelial yang rusak tidak dapat bereaksi terhadap
vasodilator tersebut. Selain itu sel endothelial yang rusak juga menghasilkan vasokonstriktor
endothelin-1. akibatnya akan terjadi vasokonstriksi. Penyempitan lumen akan makin diperberat
oleh adanya hiperplasi intima. Selain itu pada sklerosis sistemik juga terjadi gangguan
deformabilitas eritrosit, sehingga vasokonstriksi darah akan meningkat dan oklusi pembuluh
darah akan makin berat. 3
Beratnya fenomena Raynaud pada sklerosis sistemik ditandai dengan timbulnya iskemi
jari yang akan diikuti oleh ulserasi dan gangren. 2
Gambaran fenomena Raynaud juga terjadi pada berbagai arteri kecil dan arteriol pada
organ viseral, sehingga timbul berbagi kelainan pada organ tersebut. Perubahan yang terjadi pada
mikrosirkulasi meliputi timbulnya celah diantara sel endotel, vakuolisasi dan pembengkakan sel
endotel, nekrosis seluler, duplikasi lamina basalis dan infiltrasi seluler perivaskuler oleh limfosit,
plasmosit dan makrofag. Kelainan vaskuler ini menyebabkan penderita sklerosis sistemik sangat
rentan terhadap perubahan hemodinamika, dimana hipovolemi ringan dapat mencetuskan krisis
renal, sedangkan hipervolemia akan mencetuskan edema pulmonal. 3,23
Kerusakan vaskuler pada sklerosis sistemik akan menyebabkan peningkatan kadar
berbagai petanda seperti faktor von Willebrand, trombomodulin, ICAM 1 (interleukin adhesion
malecule 1) serum dan ELAM 1 (endhotelial leucocyte adhesion molecule 1) serum.

Peningkatan kadar faktor van Willebrand berhubungan dengan progesifitas fenomena Raynaud,
keterlibatan banyak organ dan tingginya angka mortalitas. 23
Pada sklerosis sistemik juga didapatkan gangguan fibrinolisis, karena kerusakan sel
endotel menyebabkan penurunan sintesis aktivator plasminogen dan berbagai faktor pro dan
antikoagulan. 23
Secara non-invasif, mikroangiopati pada sklerosis sistemik dapat diperiksa dengan
kapilaroskopi lipat kuku. 22

KELAINAN KULIT
Pada tahap awal akan tampak edema pada tangan dan jari tangan yang tidak disertai rasa nyeri.
Kadang-kadang dapat disertai timbulnya sindrom terowongan karpal (carpal tunnel syndrome)
akibat kompresi nervus medinus. Edema ini berhubungan dengan deposisi glikosaminoglikan di
dalam dermis atau efek hidrostatik akibat kerusakan vaskuler.
Beberapa minggu sampai beberapa bulan kemudian, edema akan diikuti dengan indurasi
sehingga kulit menjadi tebal dan keras. Penebalan kulit akan mengenai jari tangan dan bagian
yang lebih proksimal yaitu dorsum manus, lengan atas, muka dan akhirnya ke seluruh tubuh.
Kelainan ini patognomonis untuk sklerosis sistemik karena hampir tidak pernah ditemukan pada
penyakit lain. Umunya kelainan pada bagian distal tubuh lebih berat daripada di bagian
proksimal tubuh. Bersamaan dengan kelainan tersebut, lipatan kelainan tersebut lipatan kulit
akan menghilang, kulit akan tampak mengkilap dan terjadi hipo dan hiperpigmentasi.
Pada sklerosis sitemik yang difus, penebalan kulit akan menyebar ke seluruh tubuh,
terutama pada dinding dada dan abdomen sedangkan pada kelainan yang terbatas pada kulit akan
didapatkan pada jari atau jari dan muka.
Pada sebagian kecil penderita (2%), dapat ditemukan tanpa kelainan kulit (Sklerosis
sistemik sine skleroderma).
Pada fase awal indurasi, secara histologik akan tampak peningkatan serat kolagen pada dermis,
hiperplasi dan hialinisasi subintimal arteriol, dan infiltrasi limfosit, terutama sel T.

Kulit yang menebal makin lama akan makin menebal. Tetapi kadang-kadang akan terjadi
pelunakan yang biasanya dimulai dari bagian tubuh yang sentral. Jadi kulit yang mengeras
terakhir akan membaik lebih dahulu.
Beberapa tahun kemudian, akan tampak bintik-bintik teleangiektasi, terutama pada muka,
jari, lidah dan bibir. Teleangiektasis terutama terjadi pada subtipe yang terbatas (CREST
Syndrome), tetapi dapat juga terjadi pada subtipe yang difus. Pada subtipe yang terbatas, juga
dapat timbul kalsinosis subkutan. Kalsinosis subkutan dapat hanya berupa titik kecil, tetapi dapat
juga berupa masa yang besar.
Pada stadium akhir, akan timbul atropi dan penipisan kulit terutama pada bagian ekstensor sendi
yang kontraktur, sehingga dapat terjadi ulserasi akibat tarikan mekanik pada bagian itu. 3,7

KELAINAN SISTEMIK
Berbagai kelainan sistemik dapat timbul pada sklerosis sistemik yang umumnya terjadi
akibat kelainan vaskuler pada organ yang bersangkutan.
Pada paru dapat timbul fibrosis paru dan atau kelainan vaskuler paru. Fibrosis paru
umumnya terjadi pada kedua basl paru yang dapat dilihat jelas pada gambaran radiologik toraks.
Keadaan ini akan menyebabkan penurunan kapasitas difusi karbon monoksida dan pada akhirnya
akan terjadi penurunan kapasitas vital (penyakit paru restriktif). Pada bilasan bronkoalveolar,
akan ditemukan banyak sel radang terutama limfosit dan makrofag. Kelainan paru umumnya
lebih berat pada penderita dengan antibodi antitopoisomerase 1 dan anti U3 RNP yang positif
dan lebih ringan pada penderita dengan antibodi antisentromer yang positif. 6,16
Hipertensi pulmonal dapat terjadi pada sebagian kecil penderita, terutama pada subtipe terbatas
dengan antibodi antisentromer yang positif.
Untuk mencegah perburukan fungsi, maka deteksi dini kelainan paru pada sklerosis
sistemik harus dilakukan. Umumnya kelainan paru tidak memberikan gejala yang spesifik,
kecuali setelah ada kelainan hemodinamika atau penurunan kapasitas vital yang berat. Untuk itu
dianjurkan pemeriksaan uji fungsi paru secara berkala (3 6 bulan sekali) dan bila dicurigai

terdapat penurunan fungsi paru, dilakukan tomografi dengan komputer (CT Scan) dan bilasan
bronkoalveolar. 16
Kelainan pada sistem gastrointestinal, dapat mengenai esofagus bagian distal dan saluran cerna
yang lebih bawah. Pada esofagus distal akan terjadi dismotalitas motorik sehingga timbul
disfagia dan refluks gastroesofageal. Peristaltik esofagus akan menurun dan pada pemeriksaan
flouroskopi akan tampak hipomotalitas. Pada esofagus distal akan terjadi metaplasi mukosa
(metaplasi Barret) yang merupakan predisposisi timbulnya adenokarsinoma esofagus, tetapi
keganasan ini jarang terjadi pada sklerosis sistemik. Pada usus kecil akan terjadi hipomotalitas
dan berkurangnya lapisan otot. Atropi pada lapisan mukosa dan otot usus kecil, akan
menyebabkan udara masuk ke dinding usus sehingga timbul pnematosis intestinalis yang akan
tampak pada gambaran radiologik. Pada kolon juga dapat terjadi atropi lapisan otot sehingga
mengakibatkan timbulnya divertikel yang bermulut lebar yang khas untuk sklerosis sistemik.
Hipomotalitas kolon akan menyebabkan konstipasi dan pada beberapa keadaan dapat terjadi
atropi otot sfingter ani yang mengakibatkan inkontinensia alvi dan prolaps rekti. 3,7,8,16
Kelainan miokardial, jarang didapatkan pada sklerosis sistemik tetapi bila didapatkan akan
meningkatkan angka mortalitas. Umumnya akan terjadi fibrosis pada sistem konduksi jantung,
sehingga mengakibatkan timbulnya aritmia dan kematian jantung mendadak. Berbeda dengan
oragan lain, kelainan pada pembuluh koroner jarang didapatkan pada sklerosis sistemik. Kadangkadang dapat timbul perikarditis yang ditandai dengan penebalan perikardium parietal dan
viseral yang berakhir dengan perikarditis konstriktif. Selain itu dapat juga terjadi gangguan
fungsi ventrikel kanan sebagai akibat hipertensi pulmonal. 3,25
Pada ginjal, sklerosis sistemik akan menyebabkan krisis renal skleroderma akibat
hiperreninemia yang ditandai oleh peningkatan tekanan darah yang tiba-tiba, insufisiensi renal
yang progesif dan hemolisis mikroangiopatik. Kelainan ini umumnya terjadi pada subtipe yang
difus dan sangat jarang terjadi pada subtipe yang terbatas. Krisis renal merupakan penyebab
kematian yang utama pada sklerosis sistemik. Penyebab uatama kelainan ginjal adalah kelainan
vasuker, terutama pada arteri arkuata dan interlobular. Pada dinding pembuluh darah tersebut
terjadi hiperplasi mukoid subintimal yang akan berkembang menjadi nekrosis fibrinoid. 3,16,26

Pada persendian, dapat timbul poliartralgia terutama pada subtipe yang difus. Secara radiologik
akan tampak gambaran atropati erosive. Pada falang distal, dista radius dan ulna, ramus
mandibula dan permukaan superior iga posterior dapat terjadi osteolisis akibat hipovaskularisasi
sehingga terjadi resopsi tulang pada tempat tersebut. 3,7
Pada otot, dapat terjadi atropi akibat keterbatasan pengunaan sendi. Miopati yang lain
juga dapat terjadi yang ditandai oleh kelemahan otot, terutama otot proksimal dan peningkatan
kadar ezim otot serum (keratin-kinase dan aldolase). Secara histologik akan tampak serat
miofibril yang mengalami fibrosis. 3,7
Xerostomia ditemukan pada 20 30 % penderita sklerosis sistemik dan hal ini
berhubungan dengan sklerosis atau infiltrasi limfosit pada kelenjar liur. Separuh dari penderita
xerostomia memiliki antibodi terhada presipitin syogren yaitu SS-A (Ro) dan anti SS-B (La). 7,16
Tiroiditis Hashimoto dan fibrosis tiroid juga dapat ditemukan pada sklerosis sistemik dan
hal ini akan menyebabkan hipotiriodisme. 7

DIAGNOSIS DAN KLASIFIKASI


Diagnosis sklerosis sistemik ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan
penunjang. Secara klinis agak sulit menegakkan diagnosis sklerosis sistemik sebelum timbul
kelainan kulit yang khas. Tetapi kemungkinan sklerosis sistemik harus dipikirkan bila ditemukan
gambaran fenomena Raynaud pada wanita umur 20 50 tahun. Pemeriksaan autoantibodi anti
topoisomerase-1 dan anti sentromer harus dilakukan karena memiliki spesifitas yang baik pada
sklerosis sistemik. Evaluasi terhadap berbagai organ yang mungkin terkena juga harus dilakukan.
Bila keadaan meragukan, dapat dilakukan biopsy kulit. 27
Pada tahun 1980, Amerikan Rheumatism Association (ARA) menganjurkan kriteria
pendahuluan untuk klasifikasi sklerosis sistemik progresit. 27
Kriteria ini terdiri atas :
A. Kriteria mayor :

Skleroderma proksimal : penebalan, penegangan dan pengerasan kulit yang simetris pada
kulit jari dan kulit proksimal terhadap sendi metakarpofalangeal atau metatarsofalangeal.
Perubahan ini dapat mengenai seluruh ekstremitas, muka, leher dan batang tubuh (toraks
dan abdomen)
B. Kriteria minor :
1. Sklerodaktili : perubahan kulit seperti tersebut diatas, tetapi hanya terbatas pada
jari.
2. Pencekungan jari atau hilangnya substansi jari. Daerah yang mencekung pada
ujung jari atau hilangnya substansi jarinagan jari tersebut akibat iskemia.
3. Fibrosis basal di kedua paru. Gambaran linier atau lineonoduler yang retikuler
terutama di bagian basal kedua paru tampak pada gambaran foto toraks standard.
Gambaran paru mungkin menimbulkan bercak difus atau seperti sarang lebah.
Kelainan ini bukan merupakan kelainan primer paru.
Diagnosis sklerosis sistemik ditegakkan bila didapatkan 1 kriteria mayor atau 2 atau lebih
kriteria minor .
Secara klinik, sklerosis sistemik dibagi dalam 5 kelompok, yaitu :
1. Sklerosis sistemik difus, dimana penebalan kulit terdapat di ekstremitas distal,
proksimal, muka dan seluruh batang tubuh.
2. Sklerosis sistemik terbatas, penebalan kulit terbatas pada distal siku dan lutut, tetapi
dapat juga mengenai muka dan leher. Sinonimnya adalah CREST Syndrome (C=kalsinosis
subkutan, R=fenomena Raynaud, E=dismotilitas esophagus, S=sklerodaktili, T=
teleangiektasis).

3. Sklerosis sistemik sine skleroderma, secara klinis tidak didapatkan kelainan kulit,
walaupun terdapat kelainan oragan dan gambaran serologik yang khas untuk sklerosis
sistemik.
4. Sklerosis sistemik pada overlap syndrome, yaitu bila didapatkan kriteria yang lengkap
untuk sklerosis sistemik bersamaan dengan kriteria lengkap untuk lupus eritrematosus
sistemik, arthritis rheumatoid atau penyakit otot inflamasi.
5. Penyakit jarinagn ikat yang tidak terdiferensiasi, yaitu bila didapatkan fenomena
Raynaud dengan gambaran klinis dan/atau laboratorik sesuai dengan sklerosis sistemik.
Table 4. Perbedaan antara sklerosis sistemik terbatas dan sklerosis sistemik difus 3

Sklerosis sistemik terbatas

Fenomena

Raynaud

berlangsung

Sklerosis sistemik difus


dalamFenomena

jangka waktu yang lama.

Raynaud

berlangsung

dalam

jangka waktu yang singkat; kelainan kulit


timbul sebelum terjadi kelainan fenomena

Pembengkakan jari, intermiten dalam jangka

Raynaud.

waktu yang lama.


Pembengkakan tangan dan kaki.
Progesifitas lambat.
Progesifitas cepat.
Dapat

disertai

artralgia

ringan,

jarang

mengenai tendon.

Disertai

artralgia/artritis,

sindrom

terowongan karpal.
Problem utama : ulkus jari, fibrosis esofagus,
usus halus dan paru.

Semua organ viseral dapat terkena.

10% disertai hipertensi pulmonal dan fatal.

Jarang disertai hipertensi pulmonal.

Antisentromer pada 50 90% kasus: Anti- Antisentromer pada 5% kasus: Anti-topi-1


topi-1 pada 10 15% kasus.

pada 20 30% kasus.

Ada beberapa bentuk skleroderma yang mengenai kulit secara lokal tanpa disertai
kelainan sistemik. Keadaan ini disebut skleroderma lokal dan harus dibedakan dengan sklerosis
sistemik terbatas. Termasuk dalam kelompok ini adalah morfea, skleroderma linier dan
skleroderma en, coup de sabre. 27
Morfea adalah perubahan skleroderma setempat yang dapat ditemukan pada bagian tubuh mana
saja. Fenomena Raynaud sangat jarang didapatkan.
Skleroderma linier, umumnya didapatkan pada anak-anak, ditandai oleh perubahan
skleroderma pada kulit dalam bentuk garis-garis dan umumnya disertai atropi otot dan tulang
dibawahnya.
Skleroderma en coup de sabre, merupakan varian skleroderma linier, dimana garis yang
sklerotik terdapat pada ekstremitas atas atau bawah atau daerah frontoparietal yang
mengakibatkan deformitas muka dan kelainan tulang.

PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan terhadap Sklerosis Sistemik meliputi penyuluhan dan dukungan psikososial,
pemberian golongan obat remitik dan terapi terhadap organ spesifik.
Penyuluhan dan dukungan psikologik memegang peranan yang sangat penting dalam
penatalaksanaan penderita sklerosis sistemik, karena perjalanana penyakit ini lama dan progresif.
Berbagai obat golongan remitif yang dapat diberikan pada penderita Sklerosis Sistemik
adalah D-penisilamin, kolkisin, obat-obat imunosupresif dan sebagainya, tetapi hasilnya masih
belum menggembirakan.
Fenomena Raynaud, merupakan gejala yang dominan pada sklerosis sistemik.
Menghindari merokok dan udara dingin, serta menjaga tetap dalam keadaan hangat, biasanya
cukup efektif untuk mengatasi fenomena Raynaud yang ringan dan sedang. Pada keadaan yang
berat, misalnya bila disertai ulkus pada ujung jari atau mengganggu aktivitas sehari-hari, maka
dapat dicoba penggunaan vasodilator, misalnya nifedipin, prazosin atau nitrogliserin topical.

Penggunaan nifedipin lepas lambat menunjukkan hasil yang baik dan efek hipotensif yang tidak
terlalu besar. 28
Selain itu, nifedipin juga dapat memperbaiki perfusi miokard pada penderita sklerosis sistemik. 29
Obat lain yang dapat dicoba untuk mengatasi fenomena Raynaud adalah Iloprost, suatu analog
prostasiklin. Obat ini diberikan perdrip dengan dosis 3 mg/KgBB/menit, 5 8 jam/hari selama 3
hari berturut-turut. Selain untuk mengatasi fenomena Raynaud, obat ini juga dapat digunakan
untuk mengatasi ulkus pada jari.30
Perawatan kulit sangat penting diperhatikan, apalagi bila sudah timbul ulkus. Pemberian
antibiotik dapat dipertimbangkan bila ada infeksi skunder. Bila luka cukup dalam, mungkin
dibutuhkan perawatan secara bedah, nekrotomi dan pemberian antibiotik parenteral.26
D-penisilamin, menunjukkan hasil yang cukup baik untuk mengatasi kelainan kulit pada
sklerosis sistemik, walaupun dibutuhkan pengobatan dalam jangka waktu yang cukup lama.31
Secara in vitro, Interferon-gamma dapat menghambat proliferasi fibroblas dan produksi
kolagen. Pada beberapa kasus, obat ini dapat mengurangi kekakuan kulit, tetapi tidak efektif
terhadap fenomena Raynaud.28
Obat lain yang dapat mempengaruhi transport prokolagen dan sekresi prokolagen oleh fibroblas
adalah kolkisin. Tetapi masih harus diteliti efektifitasnya pada penggunaan jangka panjang. 30
Demikian juga penggunaan ketotifen, suatu stabilisator sel mast: N-Asetil-sistein, suatu
perangsang pemecahan kolagen, fotofaresis dan globulin antitimosit masih perlu diteliti
efektifitasnya.30,31
Artralgia/arthritis dan tenosinovitis biasanya dapat diatasi dengan pemberian anti
inflamasi non steroid. Bila nyeri tetap timbul, dapat dipertimbangkan pemberian injeksi steroid
lokal atau steroid sistemik dosis kecil dalam jangka waktu yang singkat. Selain itu, fisioterapi
yang agresif harus dilakukan untuk mencegah dan mengatasi kontraktur.27
Dismotilitas esofagus, akan menimbulkan keluhan heart-burn dan disfagia. Penderita
dianjurkan untuk meninggikan kepalanya pada waktu berbaring, makan pada posisi tegak dengan

porsi kecil dan sering. Biasanya pemberian antasid, antagonis H2 dan obat sitoprotektif, cukup
efektif untuk mengatasi keluhan nyeri yang ringan dan sedang. Pada keadaan yang berat, dapat
dianjurkan pemberian omeprazol. Obat prokinetik, dapat diberikan pada keadaan disfagia. Bila
terdapat striktur esophagus, harus dilakukan dilatasi secaraberkala.7,28
Keterlibatan usus halus, akan menyebabkan gangguan pasase makanan dan meningkatkan
pertumbuhan bakteri. Pada keadaan yang terakhir dianjurkan untuk mengunakan antibiotik yang
berspektrum luas selama 2 minggu. Untuk mengatasi hipomotilitas usus dapat dicoba pemberian
prokinetik. Bila terdapat konstipasi, harus diberikan pelunak feses dan diet tinggi serat. Bila
hipomotilitas usus sangat berat dan timbul distensi abdomen, penderita harus dipuasakan untuk
mengistirahatkan usus dan dilakukan dekompresi dengan pipa nasogastrik. Tindakan bedah harus
dihindari karena akan mencetuskan ileus dan memperlama penyembuhan.7,28
Pnemonitis interstisial merupakan keadaan yang harus segera diatasi. Pemberian
kortikosteriod atau siklofosfamid memberikan hasil yang cukup memuaskan.31,33
Hipertensi pulmonal tanpa kelainan interstisial paru mempunyai prognosis yang buruk, karena
tidak ada satupun obat yang dapat mengatasi keadaan ini. 6
Krisis renal dengan hipertensi berat, merupakan komplikasi yang serius dengan angka
kematian yang cukup tinggi. Dengan adanya obat inhibitor enzim pengkoncersi angiotensin,
angka kematian dapat diturunkan secara drastis.28,30,31

PROGNOSIS
Angka harapan hidup 5 tahun penderita sklerosis sistemik adalah sekitar 68%. Harapan hidup
akan semakin pendek dengan luasnya kelainan kulit dan banyaknya keterlibatan organ viseral.
Pada sklerosis sistemik difus, kematian biasanya terjadi karena kelainan paru, jantung atau
ginjal. Sedangkan pada sklerosis sistemik terbatas, kematian terjadi karena hipertensi pulmonal
dan malabsorbsi.4

Penderita sklerosis sistemik mempunyai risiko yang tinggi untuk mendapatkan


keganasan, terutama karsinoma payudara, paru dan limfoma non Hodgkin. Hal ini turut
meningkatkan angka kematian penderita sklerosis sistemik.4
Satu hal yang unik adalah bahwa risiko timbulnya adenokarsinoma esofagus sangat
rendah, walaupun terdapat metaplasi mukosa esofagus distal (metaplasi Barret). 3,7
Penelitian Altman dkk, mendapatkan beberapa prediktor yang memperburuk prognosis
penderita Sklerosis Sistemik adalah usia kanjut ( > 64 tahun), penurunan fungsi ginjal (BUN <>
14 gr/dl atau kapasitas vital paksa <>

KESIMPULAN
1. Sklerosis sistemik adalah penyakit jaringan ikat yang tidak diketahui penyebabnya yang
ditandai oleh fibrosis kulit dan organ viseral serta kelainan mikrovaskuler.
2. Secara patologik, Sklerosis sistemik akan memberi gambaran fibrosis kulit dan organ
viseral lainnya disertai proliferasi tunika intima arteri dan arteriol.
3. Sklerosis sistemik berhubungan dengan adanya antibodi anti nuklear spesifik, terutama
antibodi anti sklero-70 dan antibodi anti sentromer. Faktor genetik pada kelainan ini
masih belum jelas, walaupun banyak penelitian yang menghubungkan kelainan ini
dengan gen C4 null.
4. Secara klinis, Sklerosis Sistemik memberi gambaran berupa fenomena Raynaud, fibrosis
kulit dan manifestasi berbagai organ viseral akibat fibrosis dan kelainan vaskuler pada
organ tersebut.
5. Untuk diagnosis Sklerosis Sistemik, dapat digunakan criteria ARC untuk Sklerosis
Sistemik.
6. Penatalaksanaan Sklerosis Sistemik meliputi penyuluhan dan dukungan psikososial,
pemberian golongan obat remitif dan terapi terhadap organ spesifik. Ada beberapa

golongan obat remitif yang dapat diberikan pada Sklerosis Sistemik, tetapi hasilnya
masih kurang menggembirakan.
7. Beberapa prediktor prognosis yang buruk adalah usia lanjut, penurunan fungsi ginjal,
anemia, penurunan kapasitas difusi CO pada paru, penurunan kadar protein serum total
dan penurunan cadangan paru.

DAFTAR RUJUKAN
1. LeRoy EC, Silver RM. Systemic sclerosis and related syndrome: Epidemiology,
Pathology and Pathogenesis. In: Schumacher HR, Klippel JH, Koopman WJ (eds).
Primer on the Rheumatic Diseases. 10th ed. Arthritis Foundation, Atlanta, Georgia 1993:
118 20.
2. Steen VD, Medsger TA. Epidemiologi and Natural History of Systemic Sclerosis. Rheum
Dis Clin N Am 1990: 16 (1): 1 10.
3. Seibold JR. Systemic Sclerosis: Clinical Features. In: Klippel JH, Dieppe P (eds).
Rheumatology. 1st ed. Mosby-Year Book Europe Limited, London 1994: 8. 1-14.
4. Silman AJ, Newmwn J. Genetic and Environmental Factors in Scleroderma. Curr Op
Rheumatol 1994; 6(6): 607-11.
5. Smith EA, LeRoy EC. Systemic Sclerosis: Etiology and Pathogenesis. In: Klippel JH,
Dieppe P (eds). Rheumatology. 1st ed. Mosby-Year Book Europe Limited, London 1994:
9. 1-10.
6. Silver RM, Miller KS. Lung involvement in Systemic Sclerosis. Rheuma Dis Clin N Am
1990; 16 (1): 199-216.
7. Medsger TA, Steen V. Systemic Sclerosis and Related Syndromes: Clinical Features and
Treatment. In: Schumacher HR, Klippel JH, Koopman WJ (eds). Primer on the
Rheumatic Diseases. 10th ed. The Arthritis Foundation. Atlanta, Georgia 1993: 127-30.

8. Sjorgen RW. Gastrointestinal Motility Disorders in Scleroderma. Arthritis Rheuma 1994;


37 (9): 1265-82.
9. Postlethwaite AE. Early Immune Events in Scleroderma. Rheum Dis Clin N Am 1990; 16
(1): 125-40.
10. Reimer G. Autoantibodies Against Nuclear, Nucleolar and Mitochondrial Antigens in
Systemic Sclerosis. Rheuma Dis Clin N Am 1990; 16 (1): 169-84.
11. McHugh NJ, Whyte J, Harvey G et al. Anti-topoisomerase I antibodies in Siliacaassociated Systemic Sclerosis: A Model for autoimmunity. Arthritis Rheum 1994; 37 (8):
1198-1205.
12. Hietarinta M. Ilonen J, Lassila O et al. Association of HLA antigen with anti-Sel-70
antibodies and alinical manifestations of Systemic Sclerosis. Br J Rheumatol 1994; 33:
323-6.
13. Weiner ES, Hildebrandt S, Senecal JL et al. Prognostic significance of anticentromere
antibodies and anti-topoasomerase I antibodies in Raynaud disease: A prospective study.
Arthritis Rheum 1991; 34 (1): 68-77.
14. Sato S, Ihn H, Kikuchi K et al. Antihistone antibodies in Systemic Sclerosis: Association
with Pulmonary Fibrosis. Arthritis Rheum 1994; 37 (3): 391-4.
15. White B. Immunologic aspect of Scleroderma. Curr Op Rheumatol 1994; 6 (6): 612-5.
16. Wigley FM. Clinical aspects of systemic and localized scleroderma. Curr Op Rheumatol
1994; 6 (6): 628-36.
17. Fiocco U, Rosada M, Cozzi L et al. Early phenotypic activation of circulating helper
memory T cells in scleroderma: correlation with disease activity. Ann Rheum Dis 1993;
52: 272-7.

18. Postletwite AE. Connective tissue metabolism including cytokines in scleroderma. Curr
Op Rheumatol 1994; 6 (6): 616-20.
19. Briggs D, Black C, Welsh K. Genetic factors in Scleroderma. Rheum Dis Clin N Am
1990; 16 (1): 31-52.
20. Genth E, Mierau R, Genetzky P et al. Immunogenetic associations of Sclerodermarelated antinuclear antibodies. Arthritis Rheum 1990; 33 (5): 657-65.
21. Kuwana M, Okano Y, Kaburaki J. Racial differences in the distribution of Systemic
Sclerosis-related serum anti-nuclear antibodies. Arthritis Rheum 1994; 37 (6): 902-6.
22. Carpentier PH, Maricq HR. Microvasculature in Systemic Sclerosis. Rheum Dis Clin N
Am 1990; 16 (1): 75-92.
23. Kahaleh MB. Raynauds phenomenon and vascular disease in Scleroderma. Curr Op
Rheumatol 1994; 6 (6): 621-7.
24. Kahaleh MB. Matucci-Cerinic

M. Raynauds phenomenon

and Scleroderma:

Dysregulated Neuroendothelial Control of Vascular tone. Arthritis Rheum 1995; 18 (1):


1-4.
25. Clements PJ, Lachenbruch PA, Furst DE et al. Cardiac score: A semiquantitative measure
of cardiac invollement that improves prediction of prognosis in Systemic Sclerosis.
Arthritis Rheum 1991; 34 (11): 1371-80.
26. Clements PJ, Lachenbruch PA, Furst DE et al. Abnormalities of renal physiology in
systemic sclerosis: A prospective study with 10-year follow up. Arthritis Rheum 1994; 37
(1): 67-74.
27. Albar Z. Sklerosis sistemik. In: Soeparman (ed). Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi
kedua. Balai Penerbit FKUI, Jakarta: 1987: 747-52.

28. Steen VD. Systemic Sclerosis: Management. In: Klippel JH, Dieppe PA (eds).
Rheumatology. 1st ed. Mosby-Year Book Europe Limited, London 1994: 10.1-8.
29. Duboc D, kahan A, Maziere B et al. The effect of nifedipine on myocardial perfusion and
metabolism in Systemic Sclerosis: A positron emission tomographic study. Arthritis
Rheum 1991; 34 (2): 198-203.
30. Hoogen FHJ, Putte LBA. Treatment of Systemic sclerosis. Curr Op Rheumatol 1994; 6
(6): 637-41.
31. Torres MA, Furst DE Treatment of Generalized Systemic Sclerosis. Rheum Dis Clin N
Am 1990; 16 (1): 217-42.
32. Steen VD, Lanz JK, Conte C et al. Therapy for severe interstitial lung disease in Systemic
Sclerosis: A retrospective study. Arthritis Rheum 1994; 37 (9): 1290-6.
33. Akesson A. Scheja A, Lundin A et al. Improved pulmonary function in systemic sclerosis
after treatment with cyclophosphamide. Arthritis Rheum 1994; 37 (50): 729-35.
34. Altman RD, Medsger TA, Bloch DA et al. Predictors of survival in Systemic sclerosis
(Scleroderma). Arthritis Rheum 1991; 34 (4): 403-13.

Anda mungkin juga menyukai