Anda di halaman 1dari 25

REFERAT

HIFEMA TRAUMATIKA

Pembimbing :
dr. Yulia Fitriani, Sp.M

Disusun oleh :
Gilang Rara Amrullah

G4A015213

SMF ILMU PENYAKIT MATA


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2016

LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
HIFEMA TRAUMATIKA

Disusun oleh :
Gilang Rara Amrullah

G4A015213

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik


Bagian Ilmu Penyakit Mata
Rumah Sakit Umum Daerah Prof. DR.Margono Soekarjo
Disetujui dan dipresentasikan
Pada tanggal September 2016

Pembimbing

dr. Yulia Fitriani, Sp.M


NIP. 1982.0730.201412.2001

BAB I
PENDAHULUAN
2

A. Latar Belakang
Salah satu diantara penyebab kebutaan yang terjadi pada mata ialah
trauma okuli (persentuhan mata dengan benda tumpul). Trauma okuli ialah
trauma yang terjadi pada mata yang dapat mengakibatkan kerusakan pada
bola mata, kelopak mata, saraf mata, dan rongga orbita. Trauma okuli sering
terjadi pada anak dan dewasa muda, karena kelompok usia ini sering
mengalami trauma okuli. Trauma okuli menjadi salah satu penyebab tersering
yang menyebabkan kebutaan unilateral. Kerusakan ini akan memberikan
penyulit yang mengganggu fungsi mata sebagai indra penglihat. Dewasa
muda (terutama laki-laki) merupakan kelompok yang paling sering
mengalami trauma okuli. Penyebabnya dapat bermacam-macam, diantaranya
kecelakaan di rumah, kekerasan, ledakan, cedera olahraga, dan kecelakaan
lalu lintas (Ilyas, 2009).
Trauma okuli merupakan salah satu penyebab terjadinya Hifema
traumatik. Hifema adalah suatu keadaan terdapatnya darah di daerah bilik
depan mata. Hal ini dapat terjadi akibat trauma tumpul pada mata yang
merobek pembuluh darah iris atau badan siliar. Hifema primer terjadi segera
sesudah trauma, sedangkan hifema sekunder terjadi lima sampai tujuh hari
sesudah trauma terjadi. Hifema sekunder biasanya terjadi akibat gangguan
mekanisme pembekuan atau penyembuhan luka sehingga mempunyai
prognosis yang lebih buruk. Hifema dapat beresiko meningkatan tekanan
intraokuler, pembentukan sinekia posterior atau anterior, dan katarak.
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mengetahui perjalanan penyakit dan penatalaksanaan hifema traumatika
3

2. Tujuan Khusus
Untuk menyelesaikan tugas referat dari kepaniteraan klinik di SMF Ilmu
Penyakit Mata RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi


1. Iris
Iris merupakan bagian di sepanjang traktus uvea. Iris terdiri dari
pembuluh darah dan jaringan ikat, disamping itu juga terdapat melanosit
dan sel pigmen yang berperan dalam khas warnanya. Mobilitas dari iris
memungkinkan pupil untuk merubah ukuran. Diafragma iris membagi
bagian anterior menjadi bilik anterior dan bilik posterior (Book, 2008).

Gambar 2.1 Anatomi Bilik Mata Depan dan Jaringan Sekitar

Gambar 2.2 Vaskularisasi pada Segmen Anterior

a) Stroma
Stroma iris terdiri dari sel pigmen (melanosit) dan sel non
pigmen, kolagen fibril, dan marix yang mengandung asam hyaluronic.
Aqueous humor mengalir secara bebas melalui stroma disepanjang
pinggir anterior iris. Struktur keseluruhan dari stroma iris tetap sama
pada semua warna. Perbedaan warna terkait dengan jumlah pigmen
pada lapisan anterior dan stroma (Book, 2008).
b) Pembuluh darah
Pembuluh darah membentuk sebagian besar stroma iris. Sebagian
besar membentuk jalur radial, yang muncul dari arteri sirkulus mayor
dan melewati bagian tengah pupil. Di bagian paling tebal dari iris,
anastomosis trjadi antara iris dan venauntuk membentuk lingkaran
vaskular kecil dan iris, yang sering tidak lengkap. Arteri sirkulus
mayor terletak pada bagian apex dari korpus siliaris, bukan iris. Pada
manusia, di bagian pinggir lapisan anterior secara normal avaskular.
Diameter dari kapiler relatif luas. Endotelium non fenestrated dan
dikelilingi oleh bagian basal membran. Intimanya tidak memiliki

lamina yang elastis. Serabut saraf sensorik mielin dan non mielin ,
vasomotor, dan fungsi muskular di sepanjang stroma (Khan, 2007).

Gambar 2.3 Peredaran darah dari Arteri sirkulus mayor dari iris
2. Korpus Siliaris
Korpus siliaris memiliki lebar 6-7 dan memiliki dua bagian, yaitu:
pars plana dan pars plicata. Pars plana relatif avaskular, memiliki pigmen
yang halus, lebarnya 4 mm dan memanjang dari ora serata ke prosesus
siliaris. Pendekatan paling aman pada bedah ke rongga vitreus adalah
melalui pars plana, berlokasi 3-4 mm dari limbus kornea. Pars plikata kaya
vaskulatisasi dan terdiri dari sekitar 70 lipatan radial, atau prosesus siliaris
(Ilyas, 2009).
Pleksus kaliper setiap prosesus siliaris disuplai oleh arteriol ketika
mereka melewati anterior dan posteriir arteri sirkulus mayor; setiap
pleksus dialirkan oleh 1 atau 2 venula besar yang terletak di puncak setiap
7

prosesus. Tonus sfingter dalam otot polos arteri mempengaruhi tekanan


hidrostatik kapiler atau secara langsung mengalirkan aliran ke vena koroid,
dengan melewati pleksus (Ilyas, 2009).

Gambar 2.4 Vaskularisasi pada Bola Mata

Korpus siliaris dilapisi oleh dua sel epitel, epitel non pigmen dan
pigmen. Bagian dalam adalah epitel non pigmen yang berlokasi diantara
aqueous humor pada bilik posterior dan epitel berpigmen. Permukaan
basal dari epitel non pigmen yang berbatasan dengan bilik posterior
ditutupi oleh lamina basalis yang multilaminar. Lamina basalis dari epitel
pigmen yang berhadapan dengan stroma iris, lebih tebal dan homogen
dibandingkan dengan epitel non pigmen (Khan, 2007).

Epitel pigmen secara relatif di sepanjang korpus siliaris. Sel kuboid


ditandai oleh multiple basal, nukleus yang luas, mitokondria, retikulum
endoplasma yang luas, dan banyak melanosom. Epitel non pigmen
cenderung menjadi kuboid di bagian pars plana tetapi kolumnar di bagian
pars plikata. Epitel non pigmen juga memiliki multiple basal, mitokondria
yang berlimpah, dan nukleus yang luas. Retikulum endoplasma dan
kompleks golgi pada sel ini penting untuk pembentukan aqueous humor.
Terkadang terdapat melanosom, terutama dibagian anterior, di dekat iris
(Khan, 2007).
Bagian uvea dari korpus siliaris terdiri dari kapiler besar yang
fenestrated, kolagen fibril dan fibroblas. Arteri utama yang menyuplai
korpus siliaris berasal dari arteri siliaris anterior dan arteri siliaris posterior
longum yang bergabung membentuk pleksus arteri yang berlapis-lapis,
terdiri dai pleksus episklera superfisial, pleksus intramuskular, dan arteri
sirkulus mayor yang secara salah dihubungkan ke iris, namun sebenarnya
terletak di posterior ke sudut bilik pada korpus siliaris. Vena mayor
mengalir secara posterior di sepanjang sistem vortex, meskipun beberapa
aliran juga terhadi melalui vena intrasklera dan vena episklera menuju
bagian limbus (Ilyas, 2009).
B. Definisi
Hifema merupakan keadaan dimana terdapat darah di dalam bilik mata
depan, yaitu daerah di antara kornea dan iris, yang dapat terjadi akibat trauma
tumpul yang merobek pembuluh darah iris atau badan siliar dan bercampur
dengan humor aqueus (cairan mata) yang jernih. Darah yang terkumpul di

bilik mata depan biasanya terlihat dengan mata telanjang. Walaupun darah
yang terdapat di bilik mata depan sedikit, tetap dapat menurunkan penglihatan
(Ilyas, 2009).
Hifema atau darah di dalam bilik mata depan dapat terjadi akibat trauma
tumpul yang merobek pembuluh darah iris atau badan siliar. Bila pasien
duduk hifema akan terlihat terkumpul dibawah bilik mata depan dan hifema
dapat memenuhi seluruh ruang bilik mata depan.
Penglihatan pasien akan sangat menurun. Kadang-kadang terlihat
iridoplegia dan iridodialisis. Pasien akan mengeluh sakit disertai dengan
epifora dan blefarospasme (Ilyas, 2009).
Gaya-gaya kontusif sering merobek pembuluh darah di iris dan merusak
sudut bilik mata depan. Darah di dalam aqueous dapat membentuk suatu
lapisan yang dapat terlihat (hifema). Glaukoma akut terjadi bila anyaman
trabekular tersumbat oleh fibrin dan sel atau bila pembentukan bekuan darah
menimbulkan bokade pupil (Khan, 2007).
C. Epidemiologi
Angka kejadian rata-rata terjadinya hifema di Amerika Utara adalah 1720/100.000 populasi setiap tahunnya dengan mayoritas terjadi pada pasien
dengan usia kurang dari 20 tahun. Olahraga merupakan penyebab utama
sebesar 60% pada pasien usia muda. Hifema traumatika lebih sering
didapatkan pada anak laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan, dengan
perbandingan 3:1. Trauma tumpul merupakan penyebab paling umum yang
didapatkan pada pasien dengan hifema traumatika (American Academy
Ophthalmology, 2011).

10

Sementra itu, American Academy Ophthalmology (2010) menemukan 33%


dari trauma serius padamata akan menyebabkan terjadinya hifema. Resiko
terjadinya hifema sendiri sebesar 31% pada trauma terbuka bulbus okuli, 35%
pada trauma tertutup bulbus okuli. USEIR juga menemukan 80% penderita
hifema adalah laki-laki.
D. Etiologi
Hifema biasanya disebabkan oleh trauma tumpul pada mata seperti terkena
bola, batu, peluru senapan angin, dan lain-lain. Selain itu, hifema juga dapat
terjadi karena kesalahan prosedur operasi mata. Keadaan lain yang dapat
menyebabkan hifema namun jarang terjadi adalah adanya tumor mata
(contohnya retinoblastoma), dan kelainan pembuluh darah (contohnya
juvenile xanthogranuloma) (American Academy Ophthalmology, 2011).
Hifema yang terjadi karena trauma tumpul pada mata dapat diakibatkan
oleh kerusakan jaringan bagian dalam bola mata, misalnya terjadi robekanrobekan jaringan iris, korpus siliaris dan koroid. Jaringan tersebut
mengandung banyak pembuluh darah, sehingga akan menimbulkan
perdarahan. Pendarahan yang timbul dapat berasal dari kumpulan arteri utama
dan cabang dari badan ciliar, arteri koroid, vena badan siliar, pembuluh darah
iris pada sisi pupil. Perdarahan di dalam bola mata yang berada di kamera
anterior akan tampak dari luar. Timbunan darah ini karena gaya berat akan
berada di bagian terendah (Ilyas, 2009).

E. Klasifikasi
a)

Berdasarkan waktu terjadinya, hifema dibagi atas 2 yaitu (Bruce, 2005):


1.

Hifema primer, timbul segera setelah trauma hingga hari ke 2.


11

2.
b)

Hifema sekunder, timbul pada hari ke 2-5 setelah terjadi trauma.

Berdasarkan klinisnya dibagi menjadi beberapa grade (Khan, 2007) :


1.

Grade I

: darah mengisi kurang dari sepertiga COA (58%)

2.

Grade II

: darah mengisi sepertiga hingga setengah COA

(20%)
3.

Grade III

: darah mengisi hampir total COA (14%)

4.

Grade IV

: darah memenuhi seluruh COA (8%)

Tabel 2.1 Klasifikasi hifema berdasarkan klinis


F. Patofisiologi
Trauma tumpul menyebabkan kompresi bola mata, disertai peregangan
limbus, dan perubahan posisi dari iris atau lensa. Hal ini dapat meningkatkan
tekanan intraokuler secara akut dan berhubungan dengan kerusakan jaringan
pada sudut mata. Perdarahan biasanya terjadi karena adanya robekan

12

pembuluh darah, antara lain arteri-arteri utama dan cabang-cabang dari badan
siliar, arteri koroidalis, dan vena-vena badan siliar (Book, 2008).

Gambar 2.5 Mekanisme Perdarahan akibat Trauma Tumpul Mata

Inflamasi yang parah pada iris, sel darah yang abnormal dan kanker
mungkin juga bisa menyebabkan perdarahan pada COA. Trauma tumpul
dapat merobek pembuluh darah iris atau badan siliar. Gaya-gaya kontusif
akan merobek pembuluh darah iris dan merusak sudut COA. Tetapi dapat
juga terjadi secara spontan atau pada patologi vaskuler okuler. Darah ini dapat
bergerak dalam ruang COA, mengotori permukaan dalam kornea (Stilger,
1999).
Perdarahan pada bilik mata depan mengakibatkan teraktivasinya
mekanisme hemostasis dan fibrinolisis. Peningkatan tekanan intraokular,
spasme pembuluh darah, dan pembentukan fibrin merupakan mekanisme
pembekuan darah yang akan menghentikan perdarahan. Bekuan darah ini
dapat meluas dari bilik mata depan ke bilik mata belakang. Bekuan darah ini
biasanya berlangsung hingga 4-7 hari. Hifema yang terjadi karena trauma
tumpul pada mata dapat diakibatkan oleh kerusakan jaringan bagian dalam
bola mata, misalnya terjadi robekan-robekan jaringan iris, korpus siliaris dan
13

koroid. Jaringan tersebut mengandung banyak pembuluh darah, sehingga


akan menimbulkan perdarahan. Selain trauma tumpul, hifema traumatic dapat
disebabkan

oleh

trauma

tembus

dengan

merusak

secara

langsung

vaskularisasi okuli (Stilger, 1999).


Perdarahan dapat terjadi segera sesudah trauma yang disebut perdarahan
primer. Perdarahan primer dapat sedikit dapat pula banyak. Perdarahan
sekunder biasanya timbul pada hari ke 5 setelah trauma. Perdarahannya
biasanya lebih hebat daripada yang primer. Oleh karena itu seseorang dengan
hifema harus dirawat sedikitnya 5 hari. Dikatakan perdarahan sekunder ini
terjadi karena resorpsi daribekuan darah terjadi terlalu cepat sehingga
pembuluh darah tak mendapat waktu yang cukup untuk regenerasi kembali
(Khan, 2007).
Penyembuhan darah pada hifema dikeluarkan dari COA dalam bentuk sel
darah merah melalui sudut COA menuju kanal schlem sedangkan sisanya
akan diabsorbsi melalui permukaan iris. Penyerapan pada iris dipercepat
dengan adanya enzim fibrinolitik di daerah ini. Sebagian hifema dikeluarkan
setelah terurai dalam bentuk hemosiderin. Bila terdapat penumpukan dari
hemosiderin ini, dapat masuk ke dalam lapisan kornea, menyebabkan kornea
menjadi bewarna kuning dan disebut hemosiderosis atau imbibisi kornea,
yang hanya dapat ditolong dengan keratoplasti. Imbibisio kornea dapat
dipercepat terjadinya oleh hifema yang penuh disertai glaucoma (Khan,
2007).
Adanya darah pada bilik mata depan memiliki beberapa temuan klinis
yang berhubungan. Resesi sudut mata dapat ditemukan setelah trauma tumpul

14

mata. Hal ini menunjukkan terpisahnya serat longitudinal dan sirkular dari
otot siliar. Resesi sudut mata dapat terjadi pada 85 % pasien hifema dan
berkaitan dengan timbulnya glaukoma sekunder di kemudian hari. Iritis
traumatik, dengan sel-sel radang pada bilik mata depan, dapat ditemukan
pada pasien hifema. Pada keadaan ini, terjadi perubahan pigmen iris
walaupun darah sudah dikeluarkan. Perubahan pada kornea dapat dijumpai
mulai dari abrasi endotel kornea hingga ruptur limbus. Kelainan pupil seperti
miosis dan midriasis dapat ditemukan pada 10 % kasus. Tanda lain yang
dapat ditemukan adalah siklodialisis, iridodialisis, robekan pupil, subluksasi
lensa, dan ruptur zonula zinn. Kelainan pada segmen posterior dapat meliputi
perdarahan vitreus, jejas retina (edema, perdarahan, dan robekan), dan ruptur
koroid. Atrofi papil dapat terjadi akibat peninggian tekanan intraokular
(American Academy Ophthalmology, 2011).
G. Penegakan Diagnosis
Adanya riwayat trauma, terutama mengenai matanya dapat memastikan
adanya hifema. Pada gambaran klinik ditemukan adanya perdarahan pada
COA (dapat diperiksa dengan flashlight), kadang-kadang ditemukan
gangguan visus. Ditemukan adanya tanda-tanda iritasi dari conjunctiva dan
pericorneal, fotofobia (tidak tahan terhadap sinar), penglihatan ganda,
blefarospasme, edema palpebra, midriasis, dan sukar melihat dekat,
kemungkinan disertai gangguan umum yaitu letargic, disorientasi atau
somnolen (Khan, 2007).
Pasien akan mengeluh nyeri pada mata disertai dengan mata yang berair.
Penglihatan pasien akan sangat menurun. Terdapat penumpukan darah yang

15

terlihat dengan mata telanjang bila jumlahnya cukup banyak. Bila pasien
duduk, hifema akan terlihat terkumpul di bagian bawah COA, dan hifema
dapat memenuhi seluruh ruang COA. Otot sfingter pupil mengalami
kelumpuhan, pupil tetap dilatasi (midriasis), dapat terjadi pewarnaan darah
(blood staining) pada kornea, anisokor pupil (Book, 2008).
Akibat langsung terjadinya hifema adalah penurunan visus karena darah
mengganggu media refraksi. Darah yang mengisi kamera okuli ini secara
langsung dapat

mengakibatkan tekanan intraokuler meningkat akibat

bertambahnya isi kamera anterior oleh darah. Kenaikan tekanan intraokuler


ini disebut glaukoma sekunder. Glaukoma sekunder juga dapat terjadi akibat
massa darah yang menyumbat jaringan trabekulum yang berfungsi
membuang humor aqueous yang berada di kamera anterior. Selain itu akibat
darah yang lama berada di kamera anterior akan mengakibatkan pewarnaan
darah pada dinding kornea dan kerusakan jaringan kornea (Book, 2008).
H. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada kasus hifema traumatika,
ialah (Bruce, 2005):
1. Pemeriksaan ketajaman penglihatan: menggunakan kartu mata
Snellen; visus dapat menurun akibat kerusakan kornea, aqueous
humor, iris dan retina.
2. Lapangan pandang: penurunan dapat disebabkan oleh patologi
vaskuler okuler, glaukoma.
3. Pengukuran tonografi: mengkaji tekanan intra okuler.
4. Slit Lamp Biomicroscopy: untuk menentukan kedalaman COA dan
iridocorneal contact, aqueous flare, dan synechia posterior.
5. Pemeriksaan oftalmoskopi: mengkaji struktur internal okuler.

16

6. Tes provokatif: digunakan untuk menentukan adanya glaukoma bila


TIO normal atau meningkat ringan.
I. Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan hifema traumatika secara umum, ialah (Bruce,
2005):
1.
2.
3.
4.
5.

Menghentikan perdarahan.
Menghindari timbulnya perdarahan sekunder.
Mengevakuasi darah dari bilik depan bola mata.
Mengontrol glaukoma sekunder dan menghindari komplikasi yang lain.
Berusaha mengobati kelainan yang menyertainya.
Penatalaksanaan hifema traumatika dapat dilakukan secara konservatif

ataupun operatif (Khan, 2007).


1.

Perawatan Konservatif
a. Tirah baring
Penderita ditidurkan dengan posisi terlentang dengan kepala
ditinggikan sebesar 30-45o. Darah terkumpul di inferior bilik mata
depan sehingga sehingga memfasilitasi pemeriksaan segmen posterior
dan pemulihan fungsi penglihatan
b. Pelindung mata
Digunakan untuk mencegah kerusakan lebih lanjut pada mata
untuk 5 hari pertama.
c. Obat-obatan
i. Antifibrinolitik
Asam amino kaproat oral (50 mg/kg setiap 4 jam sampai
maksimum 30 gram/ hari selama lima hari) untuk menstabilkan
pembentukan

bekuan

darah

sehingga

menurunkan

risiko

perdarahan ulang. Selain itu, dalam penelitian klinis lain, pada anak

17

dapat diberikan asam traneksamat oral digunakan dengan dosis 25


mg/kg/ hari.
ii. Steroid
Prednisolone acetat 1% 4x sehari. Steroid dapat mengurangi
iritis dan spasme siliaris, meningkatkan kenyamanan pasien,
menstabilisasi

pembentukan

bekuan,

menurunkan

angka

perdarahan sekunder, dan mencegah terjadinya sinekia posterior.


Kontraindikasi pada hifema dengan glaukoma.
iii. Sikloplegik
Cyclopentolate 1% diberikan 1 tetes tiga kali sehari atau
scopolamine 0,25% 1 tetes dua kali sehari atau atropine 1% 1 tetes
empat kali sehari selama lima hari bermanfaat dalam mengurangi
rasa nyeri, mencegah terjadinya sinekia posterior yang dapat
mengakibatkan disfungsi iris permanen.
2.

Perawatan Operasi
Perawatan cara ini akan dikerjakan bilamana ditemukan glaukoma
sekunder, tanda imbibisi kornea atau hemosiderosis cornea. Dan tidak ada
pengurangan dari tingginya hifema dengan perawatan non-operasi selama
3 - 5 hari. Untuk mencegah atrofi papil saraf optik dilakukan pembedahan
bila tekanan bola mata maksimal > 50 mmHg selama 5 hari atau tekanan
bola mata maksimal > 35 mmHg selama 7 hari. Untuk mencegah imbibisi
kornea dilakukan pembedahan bila tekanan bola mata rata-rata > 25
mmHg selama 6 hari atau bila ditemukan tanda-tanda imbibisi kornea
(Kuhn, 2002).
Tindakan operatif dilakukan untuk mencegah terjadinya sinekia
anterior perifer bila hifema total bertahan selama 5 hari atau hifema difus

18

bertahan selama 9 hari. Indikasi dilakukan tindakan operatif pada hifema


traumatika adalah (Kuhn, 2002):
a) Empat hari setelah onset hifema total
b) Microscopic corneal bloodstaining (setiap waktu)
c) Total dengan dengan Tekanan Intra Okular 50 mmHg atau lebih
selama 4 hari (untuk mencegah atrofi optic)
d) Hifema total atau hifema yang mengisi lebih dari COA selama 6
hari

dengan

tekanan

25

mmHg

(untuk

mencegah

corneal

bloodstaining)
e) Hifema mengisi lebih dari COA yang menetap lebih dari 8-9 hari
(untuk mencegah peripheral anterior synechiae)
f) Pada pasien dengan sickle cell disease dengan hifema berapapun
ukurannya dengan tekanan Intra ocular lebih dari 35 mmHg lebih dari
24 jam. Jika Tekanan Inta Ocular menetap tinggi 50 mmHg atau lebih
selama 4 hari, segera lakukan tindakan operatif.
Tindakan operasi yang dikerjakan adalah (Kuhn, 2002):
a) Parasentesis
Parasentesis merupakan tindakan pembedahan dengan mengeluarkan
cairan/darah dari bilik depan bola mata dengan teknik membuat insisi
kornea 2 mm dari limbus ke arah kornea yang sejajar dengan
permukaan iris. Biasanya bila dilakukan penekanan pada bibir luka
maka koagulum dari bilik mata depan akan keluar. Bila darah tidak
keluar seluruhnya maka bilik mata depan dibilas dengan garam
fisiologis. Biasanya luka insisi kornea pada parasentesis tidak perlu

19

dijahut. Parasentese dilakukan bila TIO tidak turun dengan diamox


atau jika darah masih tetap terdapat dalam COA pada hari 5-9.
b) Melakukan irigasi di bilik depan bola mata dengan larutan fisiologik.
c) Dengan cara seperti melakukan ekstraksi katarak dengan membuka
korneoscleranya sebesar 1200
J. Komplikasi
Komplikasi yang paling sering ditemukan pada traumatik hifema adalah
perdarahan sekunder, glaukoma sekunder dan hemosiderosis di samping
komplikasi dari traumanya sendiri berupa dislokasi dari lensa, ablatio retina,
katarak dan iridodialysis. Besarnya komplikasi juga sangat tergantung pada
tingginya hifema (Oldham, 2012).
1.

Perdarahan sekunder
Komplikasi ini sering terjadi pada hari ke 3 sampai ke 6, sedangkan
insidensinya sangat bervariasi, antara 10 - 40%. Perdarahan sekunder ini
timbul karena iritasi pada iris akibat traumanya, atau merupakan lanjutan
dari perdarahan primernya. Perdarahan sekunder biasanya lebih hebat
daripada yang primer. Terjadi pada 1/3 pasien, biasanya antara 2-5 hari
setelah trauma inisial dan selalu bervariasi sebelum 7 hari post-trauma.

2.

Glaukoma sekunder
Timbulnya glaukoma sekunder pada hifema traumatik disebabkan
oleh tersumbatnya trabecular meshwork oleh butirbutir/gumpalan darah.
Insidensinya 20% , sedang di RS: Dr: Soetomo sebesar17,5%. Adanya
darah dalam COA dapat menghambat aliran cairan bilik mata oleh karena
unsur-unsur darah menutupi sudut COA dan trabekula sehingga terjadinya
glaukoma.Glaukoma sekunder dapat pula terjadi akibat kontusi badan

20

siliar berakibat suatu reses sudut bilik mata sehingga terjadi gangguan
pengaliran cairan mata.
3.

Hemosiderosis kornea
Pada penyembuhan darah pada hifema dikeluarkan dari COA dalam
bentuk sel darah merah melalui sudut COA menuju kanal Schlemm
sedangkan sisanya akan diabsorbsi melalui permukaan iris. Penyerapan
pada iris dipercepat dengan adanya enzim fibrinolitik di daerah
ini.Sebagian hifema dikeluarkan setelah terurai dalam bentuk hemosiderin.
Bila terdapat penumpukan dari hemosiderin ini, dapat masuk ke dalam
lapisan kornea, menyebabkan kornea menjadi bewarna kuning dan disebut
hemosiderosis atau imbibisio kornea, yang hanya dapat ditolong dengan
keratoplasti. Imbibisio kornea dapat dipercepat terjadinya oleh hifema
yang penuh disertai glaukoma. Hemosiderosis ini akan timbul bila ada
perdarahan/perdarahan sekunder disertai kenaikan tekanan intraokuler.
Gangguan visus karenahemosiderosis tidak selalu permanen, tetapi
kadang-kadang dapat kembali jernih dalam waktu yang lama (2 tahun).
Insidensinya 10%.3 Zat besi di dalam bola mata dapat menimbulkan
siderosis bulbi yang bila didiamkan akan dapat menimbulkan ftisis bulbi
dan kebutaan.

4.

Sinekia Posterior
Sinekia

posterior

bisa

timbul

pada

pasien

traumatik

hifema.Komplikasi ini akibat dari iritis atau iridocyclitis.Komplikasi ini


jarang pada pasien yang mendapat terapi medikamentosa dan lebih sering
terjadi pada pada pasien dengan evakuasi bedah pada hifema.Peripheral

21

anterior synechiae anterior synechiae terjadi pada pasien dengan hifema


pada COA dalam waktu yang lama, biasanya 9 hari atau lebih.Patogenesis
dari sinekia anterior perifer berhubungan dengan iritis yang lama akibat
trauma atau dari darah pada COA. Bekuan darah pada sudut COA
kemudian bisa menyebabkan trabecular meshwork fibrosis yang
menyebabkan sudut bilik mata tertutup.
5.

Atrofi optik
Atrofi optik disebabkan oleh peningkatan tekanan intra okular.

6.

Uveitis
Penyulit yang harus diperhatikan adalah glaukoma, imbibisio kornea,
uveitis. Selain dari iris, darah pada hifema juga datang dari badan siliar
yang mungkin juga masuk ke dalam badan kaca (corpus vitreum) sehingga
pada funduskopi gambaran fundus tak tampak dan ketajaman penglihatan
menurunnya lebih banyak.Hifema dapat sedikit, dapat pula banyak. Bila
sedikit ketajaman penglihatan mungkin masih baik dan tekanan intraokular
masih

normal.

Perdarahan

yang

mengisi

setengah

COA dapat

menyebabkan gangguan visus dan kenaikan tekanan intra okular sehingga


mata terasa sakit oleh karena glaukoma. Jika hifemanya mengisi seluruh
COA, rasa sakit bertambah karena tekanan intra okular lebih meninggi dan
penglihatan lebih menurun lagi.
K. Prognosis
Prognosis tergantung pada banyaknya darah yang tertimbun pada kamera
okuli anterior. Biasanya hifema dengan darah yang sedikit dan tanpa disertai
glaukoma, prognosisnya baik (bonam) karena darah akan diserap kembali dan

22

hilang sempurna dalam beberapa hari. Sedangkan hifema yang telah


mengalami glaukoma, prognosisnya bergantung pada seberapa besar
glaukoma tersebut menimbulkan defek pada ketajaman penglihatan. Bila
tajam penglihatan telah mencapai 1/60 atau lebih rendah maka prognosis
penderita adalah buruk (malam) karena dapat menyebabkan kebutaan (Khan,
2007).

BAB III
KESIMPULAN
1.

Hifema merupakan keadaan dimana terdapat darah di dalam bilik mata


depan, yaitudaerah di antara kornea dan iris, yang dapat terjadi akibat trauma
tumpul (gaya-gayakontusif) yang merobek pembuluh darah iris atau badan

2.

siliar dan bercampur denganhumor aqueus (cairan mata) yang jernih.


Berdasarkan waktu terjadinya, hifea dibagi menjadi dua, yaitu hifema primer
dan sekunder. Sedangkan berdasarkan keadaan klinisnya, hifema diagi

3.

menjadi grade I, II, III dan IV.


Penatalaksanaan hifema traumatika dapat dilakukan secara konservatif dan
operatif, sesuai dengan derajat hifema pada pasien.

23

4.

Hifema traumatika dapat menyebabkan kmplikasi yaitu perdarahan sekunder,


glaukoma sekunder, hemosiderosis kornea, sinekia posterior, atrofik optik
dan uveitis.

DAFTAR PUSTAKA

Albiani DA, Asbury T, Augsberg JJ, Biswell R, Campbell RJ et al. 2010. Vaughan &
Asbury Oftalmologi Umum. Edisi 17. Jakarta: EGC;.hlm.12-3, 377-8.

American Academy Ophthalmology. 2011. Traumatic Hyphema. Clinical Aspects


of Toxic and Traumatic Injuries. Session 8.367-369
Bag. SMF Ilmu Penyakit Mata Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
Surabaya , 2006 , Pedoman Diagnosis dan Terapi Ed III , Rumah Sakit
Umum Dokter Soetomo Surabaya
Book BP, Van der woerdt A, Wilkie DA. 2008. Journal of Veterinary Emergency and
Critial Care. 18(4):383-387.

Bruce James, dkk. 2005 . Lecture Notes Oftalmologi . Ed 9 , Erlangga Medical


Series Surabaya
24

Ilyas, Sidarta. 2009. Hifema, dalam: Ilmu Penyakit Mata, edisi ketiga, FKUI,
Jakarta.
Khan BS, Hussain I, Nawaz A. 2007. Management of Traumatic Hyphema with
Raised Intraocular Pressure.
Kuhn F, Pieramici DJ. 2002. Ocular Trauma Principles and Practice. New York.
Thieme New York.

Oldham

GW, 2012. Hyphema. Diakses


http://eyewiki.aao.org/Hyphema

pada

Juli

2016

di

Stilger VG, Jeromy M, Robinson TW. 1999. Traumatic Hyphema in an


Intercollegiate Baseball Player: A Case Report. Di unduh di
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1322870/pdf/jathtrain000
05-0039.pdf pada tanggal 9 Juli 2016

25

Anda mungkin juga menyukai