SKRIPSI
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi
Nama
NIM
: 108102000025
Tanda Tangan
Tanggal
: 21 Januari 2013
iii
Nama
NIM
: 108102000025
Program Studi
: Farmasi
Judul Skripsi
(TU)
dengan Kekuatan Sediaan yang Optimum pada
Penggunaan
Injeksi Intramuskular
Disetujui oleh :
Pembimbing I
Pembimbing II
Mengetahui,
Ketua Program Studi Farmasi
FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
iv
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi ini diajukan oleh
Nama
: Sivia Nurulliana Septianingrum
NIM
: 108102000025
Program Studi
: Farmasi
Judul Skripsi
: Optimasi Formula Mikroemulsi Testosteron Undekanoat
(TU)
dengan Kekuatan Sediaan yang Optimum pada
Penggunaan
Injeksi Intramuskular
Telah berhasil dipertahankan dihadapan Dewan Penguji dan diterima
sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar
Sarjana Farmasi pada Program Farmasi, Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan, Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
DEWAN PENGUJI
Pembimbing I
Pembimbing II
Penguji I
Penguji II
Penguji III
Ditetapkan di
Tanggal
: Jakarta
: 21 Januari 2013
)
(
)
(
Mengetahui,
Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
)
)
ABSTRAK
Nama
Program Studi
Judul Skripsi
Kata kunci
v
i
ABSTRACT
Nama
Program Study
Tittle
Key Word
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, atas segala
rahmat dan karunia-Nya yang tidak terhimgga sehimgga saya
dapat
KATA PENGANTAR
6) Adik-adik tersayang Hafina Rehana Jannah dan Shalscha Fatimah Az Zahra
yang
selalu
mendoakan
dan
menyemangati
selama
ini.
7) Seluruh karyawan dan laboran khususnya Eris Risenti Amd. yang telah
membantu saya selama penelitian di dalam laboratorium.
8) Ilham Adraviatma S.Kom. atas segala bantuan, saran, semangat dan doa yang
tiada henti kepada saya agar skripsi ini selesai tepat pada waktunya.
9) Teman-teman terbaik (Widya dwi arini, RR. Alvira Widjaya, Indah
Prihandini, Amalia Khairunnisa, Ade Fithrotinnadhiroh, Septi Purnamasari,
Yosseane Widia Kristi) yang tidak bosan untuk memberikan saran dan
semangat dan selalu mendorong saya untuk cepat menyelesaikan skripsi ini.
10) Teman-teman satu perjuangan dalam labolatorium Dina Haryani, Dwi Nur
Astria, dan Mahmudah yang selalu membuat suasana di labolatorium menjadi
hangat seperti keluarga.
11) Teman-teman ALCOOLIQUE yang selalu mewarnai hari-hari selama masa
kuliah (yuni, endah, sinthi, nia, dian, fitri, dewa, ikhsan) dan semuanya yang
tidak dapat disebutkan satu per satu.
12) Seluruh teman-teman farmasi 2008 yang banyak membantu selama masa
perkuliahan maupun selama penelitian serta atas kebersamaan yang tidak akan
terlupa.
Saya berharap Allah SWT, berkenan membalas segala kebaikan semua
pihak yang telah membantu. Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari
sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran untuk
kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat membawa manfaat bagi
pengembangan ilmu.
Jakarta,
Januari
2013 Penulis
NIM
: 108102000025
Program Studi
: Farmasi
Fakultas
Jenis Karya
: Skripsi
1
0
DAFTAR ISI
1
1
3
3
4
1
1
3.4
3.4.1
3.3.2 Bahan.............................................................................................. 23
Prosedur Kerja.......................................................................................... 23
Percobaan Pendahuluan..............................................................................23
3.4.2 Optimasi Formula Mikroemulsi dengan Variasi Konsentrasi... 24
3.4.3
Pembuatan Mikroemulsi
...
26
3.4.4 Evaluasi Mikroemulsi..................................................................... 26
3.4.4.1
Cycling Test.........................................................................26
3.4.4.2
Uji Sentrifugasi...................................................................26
3.4.4.3
Uji pH..................................................................................26
3.4.4.4
Uji Ukuran Partikel.............................................................27
3.4.5 Uji Difusi........................................................................................ 27
3.4.5.1
Preparasi Cuplikan Uji Difusi dan Penetapan Kadar
Sampel Menggunakan KCKT.............................................28
3.4.5.2
Penetapan kadar Zat Aktif pada Sediaan Mikroemulsi
dan Kosolvensi yang Beredar di Pasaran............................28
3.4.5.3
Pembuatan Kurva Kalibrasi................................................ 28
3.4.6 Analisis Data...................................................................................29
1
2
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Kelarutan Testosteron Undekanoat pada Beberapa Pelarut ..................... 6
Tabel 2.2 Kegunaan IPM dalam Formulasi Farmasetik............................................12
Tabel 3.1 Perbandingan Campuarn Minyak..............................................................24
Tabel 3.2 Optimasi Formula Mikroemulsi................................................................25
Tabel 4.1 Hasil Uji Kelarutan Testosteron Undekanoat dalam Campuran
Minyak........................................................................................................30
Tabel 4.2 Hasil Optimasi Kecepatan Pengadukan....................................................30
Tabel 4.3 Hasil Pengukuran Partikel Mikroemulsi...................................................33
Tabel 4.4 Penetapan kadar Zat Aktif pada Sediaan Mikroemulsi dan Kosolvensi yang
Beredar di Pasaran.....................................................................................34
Tabel 4.5 Persen Jumlah Kumulatif Testosteron Undekanoat yang Terpenetrasi
dari Sediaan Mikroemulsi dan Kosolvensi yang Beredar
di Pasaran.................................................................................................35
Tabel 4.6 Fluks Testosteron Undekanoat dari Sediaan.............................................36
13
DAFTAR GAMBAR
14
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Data Konsentrasi dan AUC dari Kurva Kalibrasi................................51
Lampiran 2 Contoh Perhitungan Jumlah Testosteron Undekanoat yang
Terpenetrasi dari Sediaan Komersil Jam ke-3......................................52
Lampiran 3 Contoh Perhitungan persen Zat Aktif yang Terpenetrasi dari
Sediaan Kosolvensi Terhadap Kadar yang diaplikasikannya...............52
Lampiran 4 Contoh Perhitungan Fluks Testosteron Undekanoat dari Sediaan
Mikroemulsi...........................................................................................53
Lampiran 5 Perhitungan Kadar testosteron Undekanoat Sebenarnya yang
dimasukan ke Dalam Persamaan Regresi Linear Kurva
Kalibrasi 1............................................................................................54
Lampiran 6 Hasil Uji Penetrasi Testosteron Undekanoat dalam Larutan
Phosphate Buffer Saline pH 7,4 dari Sediaan Mikroemulsi dan
Sediaan Komersi yang Beredar............................................................55
Lampiran 7 Gambar Hasil Optimasi Formula.........................................................56
Lampiran 8 Gambar Alat dan Bahan yang Digunakan............................................57
Lampiran 9 Gambar Hasil Distribusi Ukuran Partikel Sediaan Sebelum
Cycling Test........................................................................................58
Lampiran 10 Kromatogram TU dalam Sediaan Mikroemulsi...................................59
Lampiran 11 Kromatogram TU dalam Sediaan Kosolvensi yang Beredar...............59
Lampiran 12 Kromatogram TU dalam PBS..............................................................60
Lampiran 13 Kromatogram Blangko Medium PBS..................................................60
Lampiran 14 Certificate of Analysis Testosteron Undekanoat.................................61
Lampiran 15 Certificate of Analysis Benzil Benzoat...............................................62
Lampiran 16 Certificate of Analysis Minyak Jarak...................................................63
x
v
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Kelarutan suatu zat berkhasiat memerankan peran penting dalam formulasi
suatu sediaan farmasi (Kim CK, & Park KM, 1999 dalam Rahmawati J., 2004).
Rendahnya kelarutan suatu zat hidrofobik menyebabkan kecilnya penetrasi obat
tersebut dalam tubuh sehingga kegunaan obat menjadi tidak efisien (Lawrence, &
Ress, 2000).
Testosteron undekanoat (3-Oxoandrost-4-en-17-yl undecanoate) bersifat
hidrofobik dengan nilai kelarutan dalam air 0,00052 mg/ml (Saraswati A., 2012)
dan nilai koefisien partisi [n-oktanol/air] (log P) sebesar 6,91+ 0,49 (Azifitria,
2012). Secara klinik testosteron undekanoat (TU) digunakan untuk pengobatan
hypogonadism dan sedang dikembangkan sebagai kontrasepsi hormonal pada pria
(Kamischke A., 2005 dalam Wistuba J., 2005).
Sifat testosteron undekanoat yang sangat hidrofobik menyebabkan
tantangan dalam memformulasikannya. Salah satu sediaan komersil TU yang
beredar di pasaran adalah dalam bentuk kapsul lunak dengan dosis 40 mg tetapi
dosis yang dibutuhkan 80 mg sehingga pasien harus meminum 2 kapsul. Setiap
kapsul mempunyai berat sekitar 777 mg sehingga jika diminum 2 kapsul
menyebabkan ketidaknyamanan pada pasien (Muchow M., 2011). Pemberian
secara oral mempunyai kelemahan dalam hal mempunyai waktu paruh yang
pendek setelah dikonsumsi (Nieschlag E., 2006).
Berdasarkan keterbatasan sediaan oral tersebut maka dikembangkan
formula testosteron undekanoat dalam bentuk injeksi intramuskular. Pemberian
Injeksi intramuskular testosteron undekanoat mempunyai waktu paruh yang
panjang (+ 70 hari) sehingga pemberianya dapat dilakukan setiap 3 bulan
(Zitzmann M., 2006). Pengembangan formulasi obat-obat hidrofobik yang
ditujukan
untuk
penggunaan
parenteral
lebih
sulit
dibanding
dengan
-1
miristat,
minyak jarak, benzil benzoat, tween 80, dan air. Hasilnya menunjukan kelarutan
testosteron undekanoat paling besar pada benzil benzoat dan peningkatan benzil
benzoat dalam sediaan mikroemulsi dapat meningkatkan kelarutan testosteron
undekanoat.
Berdasarkan latar belakang tersebut peneliti tertarik untuk membuat
mikroemulsi TU sesuai dosis klinis 1000 mg dengan memperhatikan volume
maksimal pemberian intramuskular (4 mL) mikroemulsi yang dibuat dengan
komponen isopropil miristat, minyak jarak, benzil benzoat sebagai fase minyak,
tween 80 sebagai surfaktan dan air sebagai fase airnya dengan variasi konsentrasi
fase minyak dan surfaktan. Selanjutnya, mikroemulsi yang dibuat dievaluasi
meliputi cycling test, uji pH, uji sentrifugasi, uji ukuran partikel serta dilakukan
uji difusi secara in vitro yang dibandingkan dengan uji difusi sediaan kosolvensi
yang beredar di pasaran.
1.2
Rumusan Masalah
Tujuan Penelitian
1.4
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mendapatkan formula mikroemulsi testosteron
testosteron
undekanoat
difusi
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Testosteron Undekanoat
Testosteron undekanoat (3-Oxoandrost-4-en-17-yl undecanoate; 17Hydroxyandrost-4-en-3-one undecanoate) mempunyai 30 atom C, 48 atom H dan
3 atom O (C30H48O3) serta mempunyai bobot molekul 456,7. Secara organoleptis
testosteron undekanoat berbentuk kristal atau serbuk kristal tidak berbau dan tidak
berwarna atau putih serta tidak berasa. Testosteron undekanoat merupakan derivat
testosteron yang berbentuk ester yang dihasilkan melalui esterifikasi testosteron
alami pada posisi 17.
Panjangnya rantai atom karbon yang dimiliki testosteron undekanoat
menyebabkan hormon ini bersifat sangat hidrofobik. Estserifikasi mengurangi
kepolaran suatu zat namun meningkatkan kelarutan terhadap minyak/lemak.
Kelarutan testosteron undekanoat yaitu sangat mudah larut dalam metanol dan
larut dalam minyak nabati dan etanol. Testosteron undecanoat stabil di bawah
suhu dan temperatur normal.
Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan oleh Saraswati 2012
diketahui kelarutan tu pada beberapa komponen
Pelarut
Benzil Benzoat
Isopropil Miristat
Minyak jarak
Tween 80
Air
TU (mg/mL)*
544,17096 19,52971
289,59857 16,90818
162,06436 55,68066
37,95878 4,72130
0,00052 0,00012
G
Tujuan utama dari pemberian testosteron adalah mempertahankan
tingginya tingkat serum testosteron jangka panjang pada pria yang ikut dalam
kontrasepsi pria. Hal ini bertujuan untuk menekan spermatogenesis sehingga
terjadi azoospermia atau oligozoospermia berat yang berlangsung lebih lama
namun bersifat aman, efektif, reversibel, dan aseptibel (Ilyas, 2008).
Spermatogenesis memerlukan kerja stimulasi dari kedua hormon
gonadotropin di hipofisis yaitu LH dan FSH. LH berfungsi untuk menstimulasi sel
leydig untuk memproduksi testosteron dan mempertahankan kadar testosteron
mengurangi
atau
mencegah
spermatogenesis.
Pemberian
testosteron dari luar menyebabkan kadar testosteron dalam darah tetap tinggi
menyebabkan reaksi umpan balik negatif terhadap hipofisis sehingga produksi
FSH dan LH menurun sehingga proses spermatogenesis terhambat.
Bioavailibilitas TU hanya sekitar 7% di dalam tubuh (Muchow, Maincent,
Muller, & Keck 2011) Testosteron ester lambat diabsorbsi ke dalam peredaran
darah dan secara cepat berubah menjadi metabolit aktif yang tidak teresterifikasi.
Ekskresi testosteron 90% melalui urin, 6% melalui feses dalam bentuk asal,
metabolit dan konjugat. Hanya 30% dari 17-ketosteroid yang diekskresi melalui
urin, dengan demikian kadar 17-ketosteroid urin tidak menggambarkan jumlah
sekresi androgen oleh testis tetapi terutama oleh korteks adrenal (Katzung, 2004;
Ilyas, 2008).
2.2 Mikroemulsi
Mikroemulsi adalah sistem dispersi minyak dan air yang secara
termodinamika stabil, transparan atau jernih yang distabilkan oleh lapisan
antarmuka dari molekul surfaktan (El-Laithy, 2003). Mikroemulsi terdiri dari
empat komponen yaitu minyak, air, surfaktan dan kosurfaktan. Hampir semua
penggunaan tunggal surfaktan baik ionik maupun nonionik tidak dapat
menurunkan tegangan antarmuka antara minyak dan air yang mendekati nol. Oleh
karena itu, kosurfaktan dibutuhkan dalam pembuatan mikroemulsi (Kim, &
Cherng-ju, 2004).
Dalam prakteknya, kunci perbedaan antara emulsi dan mikroemulsi adalah
pembentukannya. Emulsi cenderung membentuk dua lapisan di fasa awal
sedangkan
mikroemulsi
tidak
dan
mikroemulsi
bersifat
stabil
secara
Tipe-Tipe Mikroemulsi
Ada tiga tipe sistem dispersi yang dibentuk oleh mikroemulsi yaitu tipe
minyak dalam air (M/A atau O/W), tipe air dalam minyak (A/M atau W/O) dan
tipe kesetimbangan air dan minyak (bicountinous structure). Tipe sistem dispersi
mikroemulsi tersebut terbentuk tergantung komposisi dari komponen mikroemulsi
itu sendiri.
Mikroemulsi tipe M/A atau O/W akan terbentuk jika volume fraksi
minyak lebih sedikit dari volume fraksi air. Sebaliknya, mikroemulsi tipe A/M
atau W/O akan terbentuk jika volume fraksi minyak lebih banyak dari volume
fraksi air. Sedangkan mikroemulsi tipe kesetimbangan air dan minyak
(bicountinous structure) akan terbentuk jika volume fraksi minyak sama banyak
dengan volume fraksi air (Lawrence dan Rees, 2000).
2.2.2
Surfaktan
Surfaktan atau zat aktif antarmuka adalah suatu zat yang dapat
Ada empat jenis surfaktan berdasarkan ionisasinya dalam larutan air yaitu
anionik, kationik, nonionik, dan amfoterik (Myers, 2006).
1
0
surfaktan
kationik
yaitu
cetrimide,
cetrimonium
bromide
1
1
2.2.3
Ko Surfaktan
Kosurfaktan merupakan molekul kecil bersifat amfifilik, sebuah alkohol
rantai pendek hingga medium (C2-C10). Surfaktan dalam keadaan sendiri tidak
dapat menurunkan tegangan antarmuka air-minyak secara cukup untuk
menghasilkan sebuah mikroemulsi. Penambahan kosurfaktan dapat membantu
menghasilkan tegangan antarmuka mendekati nol. Tegangan antarmuka yang
mendekati nol mengakibatkan diameter globul menjadi sangat kecil. Secara luas
molekul yang dapat berfungsi sebagai kosurfaktan meliputi surfaktan nonionik,
alkohol, asam alkanoat, alkanediol dan alkil amina (Lawrence, 2000).
2.2.4
Komponen Mikroemulsi
g/cm . Isopropil miristat (IPM) berbentuk cairan bening atau jernih berbau lemah.
IPM larut dalam aseton, kloroform, etanol, etil asetat, lemak, lemak alkohol,
campuran minyak, larutan hidrokarbon, toluen dan lilin. Praktis tidak larut dalam
gliserin, propilenglikol dan air (Rowe, Paul, & Marian, 2009).
Tabel 2.2 Kegunaan IPM dalam Formulasi Farmasetik
Kegunaan IPM
Deterjen
Konsentrasi (%)
0,003-0,03
Olic Suspension
0,024
Mikroemulsi
< 50
1,0 10,0
Isopropil miristat (IPM) merupakan pelarut non air pada sediaan parenteral
yang memiliki toksisitas rendah (Rowe, Paul, & Marian, 2009). Selain itu, IPM
tidak menimbulkan aktivitas karsinogenik, mutagenik dan toksisitas akut rendah
dari studi toksisitas secara oral, dermal, inhalasi atau parenteral. IPM tunggal
dapat meningkatkan solubilisasi progesteron 3300 kali dibanding kelarutanya
dalam air. Solubilisasi progesteron dalam IPM dan air berturut turut adalah 17,0
mg/mL dan 0,007 mg/mL (Nandi, Bahri, Joshi, 2003).
memiliki bobot jenis 1,08 g/cm dan nilai HLB 15 . Nilai HLBnya 14,9. Tween 80
larut dalam etanol dan air. Selain itu, tidak larut dalam minyak mineral dan
minyak nabati. Dalam sediaan farmasetik tween 80 digunakan sebagai agen
pengemulsi, solubilisator, pembasah, dan agen pensuspensi atau pendispersi.
Dosis tween 80 yang dapat digunakan di dalam tubuh selama sehari (acceptable
daily intake) yaitu 25 mg/kgbb (Rowe, Paul, & Marian, 2009).
2.3
Kestabilan Mikroemulsi
Ada empat fenomena yang terjadi jika sebuah emulsi tidak stabil yaitu
2.4
dalam otot rangka, biasanya pada otot deltoid di bahu atau otot gluteal di bokong.
Suspensi dan larutan berminyak serta injeksi dengan pembawa air dapat diberikan
melalui rute ini. Perbedaan tempat injeksi membuat menyebabkan perbedaan
volume maksimal pemberian. Jika disuntikan pada otot .bagian deltoid maka
volume pemberian maksimal 2ml sedangkan jika diberikan pada otot bagian
gluteeal volume pemberian maksimal adalah 5ml (TPC,92; Lachman 1992) tetapi
biasanya 4 ml.
Persyaratan injeksi intramuskular yaitu dapat diberikan sediaan injeksi
dengan pembawa air ataupun non-air yang dapat bercampur atau tidak dengan air,
suspensi atau larutan koloid, dan emulsi. Tujuan suatu obat diberikan secara
intramuskular adalah mendapatkan efek obat yang tidak terlalu cepat ataupun
untuk sistem depo dimana obat dilepaskan secara lambat sehingga obat dapat
bertahan lama di dalam tubuh seperti contohnya obat-obat KB.
2.5
Uji Difusi
Difusi didefinisikan sebagai suatu proses perpindahan massa molekul
suatu zat yang dibawa oleh gerakan molekular secara acak dan berhubungan
dengan adanya perbedaan konsentrasi aliran molekul melalui suatu batas,
misalnya suatu membran polimer, merupakan suatu cara yang mudah untuk
menyelidiki proses difusi (Martin, 1983).
Difusi adalah proses menjadi difus atau tersebar luas, gerakan molekul
spontan atau partikel dalam larutan, disebabkan gerakan acak suhunya, sehingga
kadarnya sama di seluruh larutan, proses itu tidak memerlukan penambahan
energi terhadap sistem. Pada dasarnya difusi ada 2 macam yaitu difusi aktif dan
difusi pasif. Perbedaan dari keduanya ada pada penggunaan energi. Difusi aktif
memerlukan energy dalam perpindahanya sedangkan difusi pasif tidak
memerlukan energi untuk perpindahan zat. Difusi bebas atau traspor pasif suatu
zat melalui cairan, zat padat, atau melalui membran adalah suatu proses yang
sangat penting dalam ilmu farmasi (Martin, 1983).
2.6
Hukum Fick
Mengacu kepada hukum Fick tentang difusi, jumlah materi M (satuan =
2
gram atau mol) yang melintasi suatu unit area (satuan = cm ) per satuan waktu
(satuan = detik) dikenal sebagai aliran J, digambarkan sebagai berikut :
=
Di mana dC/dx adalah perubahan konsentrasi dalam sebuah jarak kecil tak
berhingga. Untuk merubah tanda proporsional menjadi tanda sama dengan maka
sebuah konstanta ditambahkan
cm /det). Koefisien difusi adalah ukuran laju permeabilitas dari molekul melintasi
suatu area. Tanda negatif menunjukkan bahwa konsentrasi berkurang sebagai
fungsi dari jarak. Bagaimanapun, aliran selalu memiliki nilai positif (Amiji, M.
M., 2003).
2.7
pertama kali dibuat oleh Franz. Difusi Franz Cell mungkin adalah sel difusi yang
paling banyak digunakan dan telah tersedia secara komersil (Crown Glass
company, Somerville, New Jersey) selama bertahun-tahun. Hal-hal yang perlu
diperhatikan tentang Sel Difusi Franz adalah sebagai berikut (Bronaugh and
Raymond, 1984):
a) Volume Reseptor
Volume reseptornya dapat dibuat bervariasi dengan diameter peletakan membran.
Volume reseptor Sel Franz tidak harus dimodifikasi seperti pada Flow Through
Cell karena volume reseptor yang relaitf besar (Bronaugh and Raymond, 1984).
b) Pemeliharaan Suhu
Air yang dipanaskan biasanya digunakan untuk mempertahankan suhu fisiologis,
meskipun ada perdebatan mengenai suhu yang sesuai untuk studi difusi. Sel harus
dipanaskan dengan air pada suhu yang diinginkan. Pada umumnya air dengan
suhu 37 C disirkulasikan melalui sel Franz untuk menjaga suhu sesuai dengan
keadaan fisiologis tubuh (Bronaugh and Raymond, 1984).
c) Tempat Peletakan Membran
Membran diletakkan diantara pertemuan dua bagian gelas utama dan direkatkan
dengan penjepit logam. Biasanya pada pertemuan kedua gelas utama ini terdapat
karet O ring. Pada saat pengujian karet ini harus dilepas karena dapat
mengabsorbsi bahan-bahan yang bersifat lipofil (Bronaugh and Raymond, 1984).
d) Pencampuran Isi Reseptor
Magnetic stirrer biasanya digunakan untuk mengaduk medium reseptor pada sel
Franz. Magnetic stirrer ini digunakan agar senyawa yang ada dalam medium
difusi tetap tercampur homogen (Bronaugh and Raymond, 1984).
2.8
Aguiar dan Weiner, diduga paling baik untuk pekerjaan difusi. Sel tersebut dibuat
dari gelas atau plastik terang, yang mudah untuk dirakit dan dibersihkan, dan
memberikan kemudahan untuk melihat cairan dan pengaduk yang berputar. Alatalat seperti itu dilengkapi dengan alat untuk mengumpulkan sampel dan uji secara
otomatis. Kompartemen sebelah atas atau kompartemen donor diisi
dengan
larutan obat. Larutan reseptor dipompa dari tempat yang lebih rendah. Sampel
dikumpulkan dalam suatu tabung di dalam alat pengumpul fraksi otomatis,
kemudian berturut-turut ditentukan kadarnya secara spektrofotometri. Percobaan
bisa dilakukan selama berjam-jam pada kondisi yang terkontrol ini (Martin,
Swarbrick, Cammarata, 1983).
Biber dan Rhodes membuat suatu konstruksi sel difusi tiga kompartemen
dari pleksiglas untuk penggunaan baik dengan membran sintetis
maupun
membran biologis yang diisolasi. Obat tersebut dibiarkan berdifusi dari kedua
kompartemen donor sebelah luar ke dalam suatu ruang reseptor pusat. Hasilnya
dapat direproduksi dan dibandingkan dengan hasil penelitian lain. Sel dengan
desain tiga-kompartemen menciptakan pemukaan membran yang lebih besar dan
memperbaiki sensitivitas analitik (Martin, 1983).
Permeasi uap air dan senyawa organik aromatik dari larutan air melalui
lapisan (film) plastik bisa diselidiki dalam sel gelas dengan dua-ruang serupa
dengan desain yang digunakan untuk menyelidiki larutan obat pada umumnya.
Nasim et al. melaporkan tentang permeasi senyawa 19 aromatik dari larutan
dalam air melalui lapisan (film) polietilena. Higuchi dan Auguiar menyelidiki
permeabilitas uap air melalui bahan yang bersalut enterik dengan menggunakan
sel difusi gelas dan ukuran McLeod untuk mengukur perubahan tekanan melewati
lapisan tersebut (Martin, 1983).
Dalam menyelidiki absorpsi melalui kulit, yang biasanya diperoleh dengan
cara autopsi, digunakan kulit manusia atau hewan. Scheuplein menerangkan suatu
sel untuk percobaan penetrasi kulit, dibuat dari Pireks dan terdiri dari dua belahan.
Ruang donor dan ruang reseptor dipisahkan oleh sampel kulit yang ditunjang pada
piring berlubang-lubang dan disekrup kencang di tempatnya. Cairan dalam
reseptor diaduk dengan batang magnet yang dilapis teflon. Alat ini direndam
dalam bejana yang mempunyai temperatur konstan. Sampel diambil secara
periodik dan diuji dengan cara yang sesuai. Untuk senyawa seperti steroida,
penetrasinya lambat. Telah ditemukan metode radioaktif yang diperlukan untuk
menentukan konsentrasi yang rendah tersebut (Martin, 1983).
Wurster et al. mengembangkan suatu sel permeabilitas untuk menyelidiki
difusi melalui lapisan kornea (lapisan kornea diambil dari manusia), dari berbagai
zat yang berpermeasi, termasuk gas, cairan dan gel. Selama percobaan difusi alat
tersebut dijaga pada temperatur konstan dan perlahan-lahan diaduk pada daerah
sekitar membran. Sampel diambil dari ruang reseptor pada waktu-waktu tertentu
dan dianalisis zat yang berpermeasi melalui mebran tersebut (Martin, 1983).
2.9
Solubilisasi
Istilah 'solubilisasi' diperkenalkan oleh McBain untuk menunjukkan
untuk
menghilangkan
kumpulan
minyak dari permukaan padat dan media berpori, dan untuk menghilangkan
campuran minyak yang tersebar di air. Praktik paling penting dari solubilisasi
berkaitan dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari: detergen dalam
merawat diri dan rumah tangga, juga sama pentingnya dalam berbagai proses
industri (Christian DD., Scamehorn, 1995 dalam Kralchevsk, Peter A., 2005).
Pelaku utama dalam proses solubilisasi yaitu misel dari surfaktan ataupun
kopolimer. Kemampuan mereka untuk menyelimuti minyak adalah hal yang
sangat penting. Penambahan kopolimer yang membentuk campuran misel dengan
surfaktan, adalah cara untuk mengontrol dan meningkatkan kinerja solubilisasi
oleh misel. Mekanisme utama kinetik dari solubilisasi telah dibangun, dengan
keefektifan yang tergantung pada sistem tertentu (Kralchevsk, Peter A., 2005).
Solubilisasi sebagai reaksi massal: disolusi molekul dan difusi minyak
ke dalam fasa air terjadi, dengan penyerapan molekul minyak oleh surfaktan dan
selanjutnya menjadi misel. Mekanisme ini Operatif untuk minyak (seperti
benzena, heksana, dll), yang menunjukkan kelarutan cukup tinggi dalam air
murni. Pertama, molekul minyak larut dari permukaan tetesan minyak ke dalam
air. Kinetika, proses ini dapat ditandai dengan koefisien perpindahan massa.
Berikutnya, oleh difusi, molekul minyak menembus dalam fasa air, yang mana
2
0
2
1
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Alur Penelitian
Formulasi Mikroemulsi
Testosteron Undekanoat.
Variasi
Konsentrasi Pelarut
Diagram fase
pseudoterner
Uji pH
Uji Sentrifugasi
Mikroemulsi TU
2
2
2
3
Alat
pendingin
(Sanyo
Bahan
Testosteron Undekanoat (Jinan Yunxiang Co. Ltd), Benzil Benzoat
Percobaan Pendahuluan
Percobaan pendahuluan dilakukan untuk mencari konsentrasi campuran
No
IPM
Minyak Jarak
BB
20
43
20
41
22
44
25
41
stabil. Diagram Fase dibuat dengan variasi konsentrasi minyak dan surfaktan.
Persamaan yang digunakan untuk komposisi diagram fase adalah :
% A (Tween 80)+% B (minyak jarak + IPM + benzil benzoat)+% C (Air) = 100%
% A = Surfaktan %B = Fase minyak
%C = Air
Tabel 3.2 Optimasi Formula Mikroemulsi
Nama
Formula
Tween 80
Benzil
Benzoat
Isopropil
Miristat
Minyak
Jarak
Air
55,46
27,26
11,48
10
51,33
25,23
10,44
15
48,38
23,78
9,48
20
45,43
22,33
9,24
22
44,25
21,75
23
43,66
24,46
8,88
24
43,07
21,17
8,76
25
42,48
20,88
8,64
27
41,3
20,3
8,4
28
41
20
29
40,12
19,72
7,806
30
39,53
19,43
7,68
33
37,46
18,56
7,68
37
35,76
17,4
7,2
45
21,32
10,4
4,16
30
36,58
17,96
7,44
30
36,84
17,97
7,19
25
35,4
17,4
4,8
15
20
17,7
8,7
3,6
50
30
11,8
5,8
2,4
50
40
11,8
5,8
2,4
40
3.4.3
Pembuatan Mikroemulsi
Prosedur pembuatan mikroemulsi dilakukan dengan cara benzil benzoat
Evaluasi Mikroemulsi
TM
Sampel yang akan diukur adalah sediaan mikroemulsi suhu ruang dan sediaan
yang telah diuji cycling test. Mikroemulsi didilusi 1:100 dengan aquades sebelum
pengukuran
3.4.5
Uji Difusi
Pengujian dilakukan dengan menggunakan alat uji difusi statis Franz
Temperatur pada saat pengujian diatur konstan pada suhu 37 + 0,5 C dengan
menggunakan thermostat.
Sebagai barier digunakan potongan melintang otot bagian Biceps Femoris
tikus jantan Sprague-Dawley dengan berat + 380 gram dengan ketebalan otot
2
yang digunakan 2mm + 0,3 mm dan luas membran 2,46 cm . Untuk mendapatkan
otot tikus terlebih dahulu tikus dilakukan anestesi menggunakan eter. Selanjutnya
kulit yang melapisi otot dipisahkan dengan perlahan agar otot tidak terluka karena
ditakutkan akan berpengaruh kepada penetrasi zat aktif. Lemak dan pembuluh
darah yang ada pada bagian dalam ataupun luar otot dibersihkan agar tidak
mengganggu penetrasi obat melalui otot. Otot disimpan di dalam lemari pendingin
sebelum digunakan tetapi sebaiknya digunakan otot yang masih segar, otot dapat
digunakan dalam rentan waktu kurang dari 24 jam agar otot masih segar dan tidak
mempengaruhi penetrasi obat
Untuk menciptakan kondisi sink, digunakan medium difusi Phosphate
Buffer Saline sebanyak 21 mL dan diaduk dengan pengaduk magnetik dengan
kecepatan 1500 rpm. Pada interval waktu yang telah ditentukan (1, 2, 3, 4, 5, 6, 7,
8 jam) diambil cuplikan sebanyak 2 ml dengan menggunakan syringe dan segera
digantikan dengan larutan Phosphate Buffer Saline sejumlah volume yang sama.
Uji difusi dilakukan terhadap mikroemulsi dan sediaan kosolvensi yang beredar di
pasaran. Penentuan kadar TU pada sampel dilakukan dengan menggunakan
metode KCKT.
ke
dalam instrumen KCKT dengan fase gerak (Metanol dan Acetonitril (90:10)
o
gerak
o
3.4.6
Analisis Data
Data yang dianalisis pada penelitian ini yaitu persentase testosteron
. }
Q
Cn
1
=
= Volume sampling 2 ml
Kemudian dilakukan perhitungan fluks (kecepatan penetrasi obat tiap
Dimana:
-2
-1
= Fluks (g cm jam )
= Waktu (jam)
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
HASIL
4.1.1
Percobaan Pendahuluan
Percobaan pendahuluan dilakukan untuk mencari konsentrasi campuran
Formula
IPM
Minyak Jarak
BB
20
43
310
20
41
340
22
44
331
25
41
330
Kecepatan (Rpm)
Hasil
100-200
750
1000-1500
3
0
3
1
4.1.2
100
10
90
20
80
30
70
40
60
50
50
60
40
30
70
80
20
90
10
100
AIR
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
MINYAK
Emulsi;
Mikroemulsi;
2 Lapisan
Pembuatan Mikroemulsi
Formula J, K, dan L ,meghasilkan mikroemulsi yang jernih, stabil dan
transparan. Akan tetapi, hanya formula J yang akan digunakan untuk evaluasi
selanjutnya dan uji difusi. Formula J mengandung surfaktan paling kecil yaitu
28% dan viskositasnya tidak terlalu kental serta dalam penyimpanan selama 1
bulan mikroemulsi tetap stabil. Selanjutnya formula ini dibuat untuk dosis
manusia (250 mg/mL) dan dilakukan evaluasi serta uji difusi. Kondisi pembutan
dilakukan dengan kecepatan pengadukan 750rpm dengan lama pengadukan +
o
Evaluasi Mikroemulsi
4.1.5
Formula Terpilih
Ukuran (nm)
91,4 + 26,2
86,8 + 24,2
Uji Difusi
1.0000
AUC
y = 0,721795x 0,010763
R = 0,999766
0.5000
0.0000
0.3
0.9
1.5
2.4
2.1
Line
ar
(AUC
)
Konsetrasi (ppm)
4.1.5.2 Hasil Penetapan Kadar Zat Aktif pada Sediaan Mikroemulsi dan
Kosolvensi yang Beredar di Pasaran
Perhitungan konsentrasi sebenarnya didapat dari konsentrasi sediaan
dikalikan dengan faktor pengenceran yaitu 1000x (5L sediaan diencerkan
menjadi 5 mL).
Tabel 4.4 Kadar Zat Aktif dalam Sediaan Mikroemulsi dan Kosolvensi yang
Beredar di Pasaran
143,751 + 0,803
248,654 + 1.3321
Konsentraasi
sebenarnya
mg/mL
248,654 + 1,3321
141,708 + 0,476
245,267 + 0,7889
245,267 + 0,7889
AUC
Sediaan yang
beredar
mikroemulsi
Konsentrasi
sediaan (ppm)
0,143
512,286
0,412
274,815
0,224
739,273
0,595
425,361
0,347
1386,334
1,115
528,340
0,431
1837,518
1,478
801,994
0,654
2273,700
1,829
962,441
0,785
2823,872
2,271
1258,528
1,026
3354,958
2,698
6
7
8
(%) Persen
testosteron undekanoat yang
terpenetrasi
3
2.5
2
1.5
1
0.5
0
1
Jam
Mikroemulsi
Kosolvensi di Pasaran
Fluks
(g cm-2 jam
63,950
170,476
-2 jam-1)
(g cmFluks
Mikroemulsi
Sediaan kosolvensi
170.476
180
160
140
120
100
80
60
40
20
0
63.95
Mik
Sed
Sediaan
4.2 PEMBAHASAN
Mikroemulsi adalah suatu sistem dispersi antara 2 carian yang tidak
tercampurkan yang stabil secara termodinamika, jernih, transparan dan terbentuk secara sepontan
keuntungan pembuatan mikroemulsi yaitu stabil secara termodinamika,
pembentukan yang mudah (tegangan antarmuka yang kecil dan terbentuk secara
spontan), serta dapat distrerilisasi dengan filtrasi,(Talegaonkar, Sushama et al.,
2008).
Percobaan pendahuluan kali ini dilakukan optimasi campuran minyak
dengan tujuan mencari perbandingan komposisi minyak yang dapat meningkatkan
solubilisasi testosteron undekanoat di dalam mikroemulsi. Hal ini diperlukan
karena testosteron undekanoat mempunyai kelarutan yang sangat kecil di dalam
air (0,00052 mg/ml) (Saraswati A., 2012) tetapi kelarutanya besar di dalam
pelarut minyak. Selain itu, pemberian testosteron undekanoat ditujukan untuk efek
depo maka pemberian testosteron undekanoat dilakukan melalu injeksi
intramuskular.
Injeksi intramuskular adalah injeksi yang disuntikan ke dalam lapisan otot
di bawah jaringan subkutan dan tidak langsung masuk ke dalam pembuluh darah.
Pemberian injeksi intramuskular dapat diberikan pada otot bagian deltoid ataupun
bagian gluteus. Perbedaan tempat injeksi menyebabkan perbedaan volume
maksimal pemberian. Injeksi testosteron undekanoat diberikan melalui otot bagian
gluteus. Pemberian pada otot gluteus mempunyai volume maksimal pemberian
yaitu 4ml. Pemberian dengan volume melebihi volume maksimal akan
menyebabkan nyeri dan terkadang bisa menyebabkan nekrosis. Perlu dicari
perbandingan campuran minyak yang dapat mensolubilisasi testosteron undeknoat
yang paling besar sehingga dapat memenuhi syarat volume pemberian melalui
otot gluteus.
Perbandingan campuran minyak yang digunakan mempertimbangkan
keamanan zat tersebut dalam penggunaan injeksi intramuskular dan kelarutan
testosteron undekanoat pada masing-masing komponen. Dari penelitian yang
sudah dilakukan Saraswati, 2012 menunjukan kelarutan testosteron undekanoat
pada komponen mikroemulsi paling besar pada benzil benzoat selanjutnya
isopropil miristat lalu pada minyak jarak. Sehingga benzil benzoat mempunyai
bagian yang lebih besar dalam campuran.
Berdasarkan hasil penelitian ini perbandingan campuran minyak yang
dapat mensolubilisasi testosteron undekanoat paling besar yaitu 41:20:8 ( benzil
benzoat : ipm : minyak jarak) dapat mensolubilisasi testosteron undekanoat
mencapai 340 mg/ml. Meskipun demikian ke 4 formula tersebut sudah mampu
meningkatkan solubilisasi testostern undekanoat dan dapat dibuat sesuai dosis
(250 mg/mL).
Pada penggunaan injeksi intramuskular minyak yang digunakan harus
memenuhi syarat yang berada pada Farmakope Indonesia. Syaratnya adalah
Bilangan asam tidak kurang dari 0,2 dan tidak lebih dari 0,9. Bilangan iodium.
tidak kurang dari 79 dan tidak lebih dari 128. Bilangan penyabunan tidak kurang
dari 185 dan tidak lebih dari 200. Pada penelitian kali ini belum diketahui nilai
bilangan asam, bilangan iodium dan bilangan penyabunan dari masing-masing
komponen minyak yang digunakan. Akan tetapi, berdasarkan studi literatur
komponen tersebut merupakan komponen yang biasa digunakan untuk
penggunaan intramuskular.
Selain optimasi perbandingan campuran fase minyak dilakukan optimasi
kondisi pembuatan mikroemulsi agar dihasilkan mikroemulsi yang jernih dan
stabil. Kondisi yang penting untuk diperhatikan adalah kecepatan pengadukan dan
waktu. Pengadukan konstan dalam pembuatan mikroemulsi kali ini dilakukan
menggunakan pengaduk magnet. Awalnya pengadukan dilakukan dengan
kecepatan 100-200 rpm tetapi bahan yang ada tidak dapat bercampur sehingga
mikroemulsi tidak dapat terbentuk (2 lapisan). Selanjutnya, kecepatan pengadukan
ditingkatkan antara 1000-1500 rpm menghasilkan mikroemulsi yang berbusa dan
setelah didiamkan 3 jam membentuk 2 lapisan. Mikroemulsi yang jernih dan
stabil dapat terbentuk ketika kecepatan pengadukan diturunkan menjadi + 750
rpm. Dengan demikian, kecepatan + 750 rpm merupakan kecepatan
yang
fase
hal
yaitu
tegangan
4
0
4
1
terjadi
ukuran
partikel
suatu
mikroemulsi
bertujuan
untuk
pengukuran
partikel menunjukan ukuran partikel sebelum cycling test adalah 91,4 + 26,2 nm
dan setelah cycling test adalah 86,8 + 24,4 nm. Hasil tersebut tidak menunjukan
perbedaan yang jauh, sehingga dikatakan stabil. Walaupun demikian, ukuran
tersebut masih masuk dalam kriteria mikroemulsi yang mempunyai ukuran
partikel 10-100 nm (Myers D., 2006). Pengukuran partikel dilakukan dengan
mendispersikan mikroemulsi ke dalam air. Sehingga yang terukur adalah partikel
minyaknya. Hal ini beranggapan bahwa, di dalam tubuh setelah disuntikan akan
terjadi pengenceran dengan cairan fisiologis tubuh sehingga minyak akan menjadi
droplet-droplet yang kecil. Ukuran partikel ini mempengaruhi laju pelepasan obat
dan bioavailibilitas. Dengan ukuran yang kecil diharapkan obat lebih mudah
melintasi barier sehingga mudah masuk dalam sistem sirkulasi untuk mencapai
reseptor.
Uji difusi dapat dilakukan secara in vivo ataupun secara in vitro. Dalam
penelitian ini, dilakukan uji difusi atau penetrasi zat aktif secara in vitro
menggunakan sel difusi Franz. Pengujian dilakukan untuk mengetahui jumlah
testosteron undekanoat yang dapat berdifusi melalui membran selama interval
waktu tertentu.
Kompartemen reseptor yang digunakan adalah larutan Phosphate Buffer
Saline dengan pH 7,4. Larutan ini dipilih sebagai simulasi kondisi pH cairan
tubuh manusia. Pada kompartemen reseptor dilakukan pengadukan yang berfungsi
sebagai homogenisasi zat yang sudah terpenetrasi. Pengadukan dilakukan dengan
menggunakan pengaduk magnet dengan kecepatan konstan yaitu 1500 rpm. Suhu
o
yang digunakan harus sama dengan kondisi suhu tubuh (37 C). Suhu uji
difusi
harus dijaga karena suhu berpengaruh terhadap penetrasi obat. Semakin tinggi
suhu maka obat yang berdifusi dalam kompartemen reseptor akan semakin banyak
o
(Ansel, 1989). Suhu dijaga 37 + 1 C karena harus sesuai dengan suhu tubuh.
Membran yang digunakan harus kontak dengan larutan reseptor agar sediaan yang
diberikan pada membran (barier) dapat berpenetrasi langsung menembus otot
menuju cairan reseptor dalam hal ini tidak diperbolehkan adanya gelembung
antara reseptor dan membran. Adanya gelembung dapat menyebabkan penetrasi
yang tidak stabil.
Berdasarkan uji pendahuluan diketahui Phosphate Buffer Saline dapat
melarutkan testosteron undekanoat hingga 4 ppm dan diketahui pada jam ke-8
cuplikan mengandung sekitar 2,4 ppm testosteron undekanoat. Dalam
menciptakan sink condition digunakan volume reseptor 21 ml Phosphate Buffer
Saline. Pemilihan 8 jam ditujukan agar tidak terjadi penjenuhan pada cairan
reseptor sehingga tidak mempengaruhi penetrasi zat aktif pada cairan reseptor.
Perbedaan perlakuan dapat memberikan hasil yang berbeda. Oleh karena
itu, dalam penelitian ini diusahakan untuk mengkondisikan perlakuan yang sama
kepada kedua sediaan tersebut. Hal yang diperhatikan adalah seperti ketebalan
otot, kecepatan pengadukan dan titik pengambilan cuplikan. Semakin tebal otot
maka akan semakin sulit obat yang terpenetrasi mencapai cairan reseptor maka
ketebalan otot yang digunakan hampir sama yaitu sekitar 2mm. Kecepatan
pengadukan berpengaruh kepada homogenitas dari cairan reseptor sehingga
kecepatan pengaukan diatur konstan yaitu 1500 rpm. Hasil uji penetrasi juga
dipengaruhi tempat pengambilan sampel maka titik pengambilan sampel
diusahakan hampir sama pada setiap jam dalam semua perlakuan.
Perhitungan kadar zat aktif dilakukan menggunakan KCKT. Sebelum
pengujian kadar zat aktif dilakukan preparasi sampel cuplikan hasil difusi. Sampel
dilakukan pengenceran menggunakan fase gerak.Pengukuran kadar zat aktif yang
terpermeasi ke dalam medium diukur menggunakan instrument KCKT dengan
fase gerak metanol:asetonitril (90:10), laju alir 1,2 mL/menit, volume injeksi 20
L dan pada panjang gelombang 245 nm (Irma, 2010). Pengukuran dilakukan
menggunakan KCKT karena KCKT mempunyai selektifitas yang tinggi dan
KCKT dapat menghitung kadar suatu zat yang sangat kecil.
secara
berturut-turut adalah 50,101 g/cm .jam dan 133,557 g/cm .jam. Berdasarkan
hasil tersebut dapat dilihat bahwa dari sediaan kosolvensi yang beredar di pasaran
memiliki kecepatan penetrasi obat yang lebih tinggi dibandingkan dengan sediaan
mikroemulsi. Hasil jumlah akumulatif testosteron undekanoat yang terpenetrasi
dapat dilihat pada gambar 4.4. serta fluks dari kedua sediaan dapat dilihat pada
gambar 4.5.
Dari hasil pengujian tersebut ternyata sediaan kosolvensi memiliki
kecepatan penetrasi testosteron undekanoat yang lebih besar jika dibandingkan
dengan sediaan mikroemulsi. Dalam pemberian mikroemulsi
diharapkan
pelepasan
obat
yang kecil
berhubungan
dengan
rendahnya
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil yang diperoleh dalam penelitian ini, dapat disimpulkan
beberapa hal sebagai berikut :
1. Formula mikroemulsi dengan komposisi BB 41%; IPM 20%; minyak jarak
8%; tween 80 20%; dan Air 3% menghasilkan ukuran partikel minyak
91,4 + 26,2 dan dapat meningkatkan solubilisasi testosteron undekanoat
hingga sesuai dosis injeksi intramuskular.
2. Pada uji in vitro, persentase jumlah akumulatif testosteron undekanoat
terpenetrasi pada mikroemulsi dan pada sediaan kosolvensi yang beredar
di pasaran berturut turut sebesar 1,026% dan 2,698% dengan fluks sebesar
-2
-1
-2
-1
4
6
DAFTAR PUSTAKA
Anderson RA, Baird DT. 2002. Male Contraception.Endocrine Reviews
23(6):735762
Ansel, Howard C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi edisi keempat.
Terjemahan dari Introduction to Pharmaceutical Dosage Form, oleh Ibrahim,
Farida. UI-Press. Jakarta: 143;376-390
Azrifitria. 2012. Formula Mikroemulsi Kombinasi Testosteron Undekanoat dan
Medroksiprogesteron Asetat serta Profil Farmakokinetik dan Farmakodinamik
pada Tikus Jantan Sprague-Dawley. Disertasi Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Bakan, J.A. 1995. Microemulsion. Dalam. Swarbrick, J., J.C. Boylan (eds.). 1995.
Encyclopedia of pharmaceutical technology. Volume Marcel Dekker Inc, New
York: 335-369.
Behre H M, K. Abshagen, M. Oettel, D. Hbler and E. Nieschlag. Intramuscular
Injection of Testosterone Undecanoate for the Treatment of Male Hypogonadism :
Phase I Studies. European Journal of Endocrinology 140, 414-419, 1999.
Germany
Bronaugh, Robert L and Raymond F Stewart. 1984. Methods for In Vitro
Percutaneous Absorption Studies IV : The Flow Through Diffusion Cell. Journal
of Pharmaceutical Sciences Vol. 74 No 1. January 1985
Date, A.A., Nagarsenker, M.S. 2008. Parenteral Microemulsion: An
International Journal of Pharmaceutics. 355: 1930
Overview.
4
8
Myers D. 2006. Surfactant science and technology (3 ). John Wiley & Sons Inc,
New Jersey. 186-189
Nandi, I., M. Bari, H. Joshi. 2003. Synergistic Effect of PEG-400 and
Cyclodextrin to Enhance Solubility of Progesterone. AAPS PharmSciTech. 4 (1):
artikel 5.
Nieschlag E., 2006. Testosterone treatment comes of age: new options for
hypogonadal men. Journal Compilation Clinical Endocrinology. 65: 275281.
Blackwell Publishing Ltd
Park KM., Kim CK., Preparation and Evaluation of Flurbifropen-Loaded
Microemlsions For Parenteral Delivery. International Journal Pharm. 1999 ; 181
; 173-179
Paul, B.K., S.P. Moulik. 2001. Uses and applications of microemulsions. Current
Science. 80 (8): 990-1001.
Putra, Efendy D. 2004. Kromatografi Cair Kinerja Tinggi Dalam Bidang
Farmasi. USU Digital Library. Medan.
Rahmawati, J. 2003. Percobaan Pendahuluan Pembuatan Sedian Mikroemulsi
dengan Gameksan sebagai Model Obal. Skripsi Program Sarjana Farmasi,
FMIPA-UI. Depok.
Rakshit AK, Satya PM. 2008. Physicochemistry of o/w microemulsion :
formation, stability and droplet clustering. Journal of Microemulsions Properties
and Application. 144.
Reynolds, James E.F. 1982. Martindale The Extra Pharmacopeia 21th edition. The
Pharmaceutical Press. London: 1416-1417
5
0
5
1
LAMPIRAN 1
Data Konsentrasi dan AUC dari Kurva Kalibrasi
Data Konsentrasi dan Luas Area Testosteron Undekanoat untuk sampel uji
difusi.
Konsentrasi
0
0,300
0,900
1,500
2.100
2,400
AUC
0
0,249
0,643
1,106
1,517
1,748
AUC
0
29,061
50,974
104,134
234,490
478,880
sehingga
didapatkan
konsentrasi
sediaan
5
2
143,751 + 0,803
248,654 + 1.3321
Konsentraasi
sebenarnya
mg/mL
248,654 + 1,3321
141,708 + 0,476
245,267 + 0,7889
245,267 + 0,7889
Konsentrasi
sediaan (ppm)
AUC
Sediaan yang
beredar
mikroemulsi
LAMPIRAN 2
Contoh Perhitungan Jumlah Testosteron Undekanoat yang Terpenetrasi
dari Sediaan Komersil Jam ke-3
() = 0,462
= +
= 0,010763 + 0,721794
= 0,625
Faktor pengenceran (FP)
Konsentrasi terpenetrasi
= { . +
=1
Cn
V
. }
=
2 + 22,617 2
21 +
31,237
18,6718,67
= 739,273
ml
LAMPIRAN 3
Contoh Perhitungan Persen Zat Aktif yang Terpenetrasi dari Sediaan
Kosolvensi Terhadap Kadar yang Diaplikasikan
Persentase kadar yang terpenetrasi dihitung dengan rumus :
%
=
Dimana :
100%
5
3
P = 124,327 mg = 124327 g
739,273
%
= 124327 100% = 0.595 %
3
0,595%
LAMPIRAN 4
Contoh Perhitungan Fluks Testosteron Undekanoat dari Sediaan
Mikroemulsi
Kecepatan penetrasi testosteron undekanoat (fluks; J, g cm-2 jam-1) dihitung
dengan rumus:
Dimana:
-2
-1
J
= Fluks (g cm jam )
M
= Jumlah kumulatif testosteron undekanoat yang melalui membran (g)
2
S
= Luas area difusi (cm )
t
= Waktu (jam)
Diketahui :
2
M = 1258,528 g S = 2,46 cm
t = 8 jam
1258,528
1
2
=
= 63,95
2,46 2 8
50,101 2 1
5
4
LAMPIRAN 5
Perhitungan Kadar Tesosteron Undekanoat Sebenarnya yang dimasukan ke
dalam Persaam Regresi Linear Kurva Kalibrasi 1.
= 0,010763 + 0,721794
A. Dalam Sediaan Komersil
Waktu
Sampli
ng
1
2
3
4
5
6
7
8
AUC
A(mAU*min)
B
0,269
0,366
0,489
0,846
0,938
1,03
1,517
1,639
0,291
0,308
0,434
0,882
1,247
1,449
1,575
1,891
rata-rata C
AUC
0,28
0,337
0,462
0,864
1,093
1,294
1,546
1,765
C
cuplik
an
0,373
0,452
0,625
1,182
1,499
1,777
2,127
2,43
sebenar
nya
18,67
22,617
31,237
59,106
74,927
88,844
106,327
121,49
B. Dalam Mikroemulsi
Waktu
Sampli
ng
1
AUC
A(mAU*min)
B
rata-rata C
C
cuplik
an
0,062
sebenar
nya
3,091
0,042
0,068
AU
C
0,055
0,107
0,147
0,127
0,162
8,076
0,163
0,205
0,184
0,24
12,023
0,296
0,245
0,271
0,361
18,047
0,308
0,325
0,317
0,425
21,232
0,42
0,531
0,476
0,645
32,241
0,54
0,544
0,542
0,736
36,811
0,728
0,662
0,695
0,948
47,404
Ket :
** Kadar sebenarnya yatiu C cuplikan X fp (50x)
5
5
LAMPIRAN 6
Hasil Uji Penetrasi Testosteron Undekanoat dalam Larutan Phosphate Buffer
Saline pH 7,4 dari Sediaan Mikroemulsi dan Sediaan Komersi yang Beredar
Tabel jumlah akumulatif zat yang terpenetrasi
Waktu (Jam)
1
2
3
4
5
6
7
8
4000
3500
3000
2500
2000
1500
1000
500
0
Sediaan
Komersil
Mikroemul si
12345678
Jam
5
6
LAMPIRAN 7
Gambar Hasil Optimasi Formula Mikroemulsi
5
7
LAMPIRAN 8
Gambar Alat dan Bahan yang Digunakan
Refrigerator (Sanyo
Medicool )
3000 )
Timbangan analitik
(AND GH-202 )
Centrifuge (Eppendrof
SH7R)
Psa Analyser
Keterangan Gambar
A= Wadah Fase Gerak
B = Pompa
C = Injektor
D = Kolom
E = Detektor UV
F = Monitor
5
8
LAMPIRAN 9
Hasil Distribusi Ukuran Partikel Sediaan Sebelum Cycling Test
5
9
LAMPIRAN 10
Kromatogram TU dalam Sediaan Mikremulsi
STANDAR TU BESAR #15
m AU
1,600
m e 5m ikro 1
UV_VIS_1
WVL:240 nm
8 - 1.913
1,400
1,200
1,000
800
600
17 - Testosteron und
400
200
16 - 5.287
123---000..24.237-033075.56-77-030.-8.195.130320
-200
0.00
1.00
2.00
15 - 4.920
10 - 31.130-1
732.6-13
13.386- 741.417-34.493
9 - 2.553
3.00
4.00
5.00
m in
7.00
6.00
LAMPIRAN 11
Kromatogram TU dalam Sediaan Kosolvensi yang Beredar
STANDAR TU BESAR #23
m AU
1,600
1,400
UV_VIS_1
WVL:240 nm
nebido 5 mikro
10 - 1.920
1,200
1,000
800
600
19 - Testosteron un
400
200
18 - 5.340
-200
0.00
1.00
2.00
3.00
17 - 4.940
12 - 31.3 2-1734.6-4317.588-7
41.620-74.527
4.00
5.00
6.00
min
7.00
6
0
LAMPIRAN 12
Kromatogram TU dalam PBS
8.00
UV_VIS_1
WVL:245 nm
Kelarutan tu pbs
5 - 1.927
6.25
12 - TU - 5.713
5.00
3.75
3 - 1.280
2.50
1.25
6 - 2.333
4 - 1.433
11 - 5.353
9 - 3.527
7 - 2.897- 33.280
10 - 4.973
13 - 6.
1 - 0.0332 - 0.593
-1.00
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
min
7.00
LAMPIRAN 13
Kromatogram Blangko Medium PBS
9.0
PBS BLANK 3
UV_VIS_1
WVL:245 nm
11 - 1.767
6.0
4.0
2.0
10 - 1.620
12 - 3.113
1 2-304--.03-0.904.53.9645307-607.-9-1871.3
1-.24107.3760
9 - 1.473
-1.0
0.00
1.00
2.00
3.00
131-4155-.05-4.520.0300711671- 8-56.-9.6
02.01020
4.00
5.00
6.00
min
7.00
6
1
LAMPIRAN 14
Certificate of Analysis Testosteron Undecanoat
0086-531-8237
CERTIFICATE OF ANALYSIS
Product Name
MFG. Date
Test Items
Appearance
Loss on drying
Optical rotation
Melting Point
HPLCAssay
Free acid
Conclusion
Tesosteron Undecanate
Lot no
2010.12.22
Specification
White or almost white crystalline powder
0.5%
+68~+72
60~65C
97-103.0%
0.5%max
The aboye product conforms analysis standard
Director
011222
2010.12.23
Test Results
0.24%
70.3
61-63C
98.81%
0.35%
(tester) (Retester)
6
2
LAMPIRAN 15
Certificate of Analysis Benzil Benzoat
6
3
LAMPIRAN 16
Certificate of Analysis Minyak Jarak