Anda di halaman 1dari 12

Aktualisasi Diri Perspektif Al-Ghazali

Oleh : Dudun Ubaedullah, M.Ag.


Pendahuluan
Para ahli psikologi sepakat bahwa manusia adalah makhluk yang unik. Unik dalam
arti tidak ada satu pun manusia yang benar-benar sama dengan manusia lainnya
secara utuh, baik fisik maupun psikis. Mungkin karena itulah agaknya tidak mungkin
memahami manusia secara utuh kecuali hanya dengan pendekatan-pendekatan
yang umumnya dimiliki oleh individu manusia. Pendekatan itu lebih kepada teori
tentang kepribadian manusia.
Pembahasan tentang kepribadian sangat berkaitan erat dengan perilaku manusia,
dan salah satu dari determinan perilaku adalah motivasi. Determinan perilaku
tersebut dapat dibagi menjadi 3 bagian. Pertama, determinan yang timbul dari
dalam individu (determinan internal) seperti instink, cita-cita, harapan, dan emosi.
Kedua, determinan yang timbul dari lingkungan, seperti bahaya, desakan teman,
dan ancaman. Ketiga, tujuan, insentif, atau nilai dari suatu obyek, baik berasal dari
dalam diri individu maupun dari luar lingkungan individu, seperti kepuasan (berasal
dari dalam individu), dan status sosial (berasal dari luar individu).
Berdasarkan penggolongan determinan tersebut, para psikolog mengemukakan
teori-teorinya tentang motivasi. Salah satu teori tersebut adalah teori aktualisasi
diri. Teori ini pertama kalinya dikemukakan oleh Carl Rogers yang kemudian
dikembangkan oleh tokoh madzhab ketiga dari aliran psikologi amerika, yaitu
Abrahalm Harold Maslow.
Aktualisasi diri adalah potensi tertinggi yang dimiliki manusia sehingga orang yang
dapat mengaktualisasikan dirinya adalah orang-orang yang selalu berpikir dan
bersikap positif. al-Ghazali dengan konsep fitrahnya juga memandang bahwa
manusia pada dasarnya memiliki potensi-potensi positif. Konsep tersebut dikenal
dengan istilah al-nafs al-rabbaniyyah. Karya-karya al-Ghazali melalui pendekatan
tasawufnya banyak mengungkap hakekat dan perilaku manusia.

Pembahasan
1. Sturktur Jiwa
Al-Ghazali menjelaskan tentang struktur jiwa ini dalam karya-karyanya, baik
sebelum memasuki dunia tasawuf seperti Mizan al-amal dan Miraj al-Salikin,
maupun setelah menjalani hidup kesufiannya seperti Ihya Ulumu al-Din khususnya
pada bab Ajaib al-Qalb. Pandangan Al-Ghazali tentang manusia baik sebelum
maupun sesudah memasuki kehidupan tasawufnya secara mendasar tidak ada
perbedaan.

Al-Ghazali membagi manusia dalam tiga dimensi, yaitu dimensi materi (aljism), dimensi nabati (al-nabatiyyah) dan hewani (al-Hayawaniyun), dan dimensi
insani. Sulaiman Dunya mengelompokkan dimensi mausia menurut Al-ghazali
menjadi empat dengan memisahkan unsur nabati (tumbuhan) dan unusr hewani. 1
Ketiga dimensi tersebut merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan. Lebih
lanjut Sulaiman Dunya menjelaskan bahwa manusia ditinjau dari sisi manusia yang
berkembang biak, dan memerlukanmakanan maka manusia mempunyai dimensi alnafs al-nabatiyyah, manusia yang memliki anggota tubuh dan bergerak sesuai
dengan iradat-nya maka manusia memiliki dimensi al-nafs al-hayawaniyyah, dan
manusia yang dapat memilih alternatif dari perilaku-perilaku yang muncul dengan
akal, mampu berpersepsi, dan daya cerap maka manusia memiliki dimensi al-nafs
al-insaniyyah.2
Dalam membahas ketiga dimensi di atas Al-Ghazali memberikan istilah al-qalb,
al-ruh, al-nafs, dan al-aql. Berikut ini penjelasan singkat dari istilah-istilah tersebut:
Pertama, al-qalb. Al-Ghazali memandang al-qalb ini dalam dua sudut pandang,
yaitu al-qalb dalam arti jantung (ragawi) dan dalam arti latifah, sesuatu immateri
dan bersifat rabbani ruhani (ruh ilahiah).3
Sekalipun Al-Ghazali memberikan dua kategori terhadap term al-qalb namun
pada dasarnya mencakup ketiga dimensi seperti tersebut di atas. Al-Qalb dalam arti
jantung merupakan term yang dapat digunakan dalam konteks ragawi (al-jism)
sekaligus dalam konteks hewani (al-hayawaniyyun) sebaga secara fisik ia berupa
materi (organ tubuh) yang juga terdapat pada hewan. Adapun al-qalb dalam arti
latifah merupakan esensi dari manusia yang memiliki daya cerap, mengetahui dan
mengenal, dan sekaligus yang menjadi obyek pertangungjawaban terhadap
perbuatan yang dilakukannya. Namun demikian dalam hal ini Al-Ghazali hanya
menjelaskan bagaimana sifat dan kondisi yang menyertai al-qalb, bukan pada
hakikat al-qalb (dalam arti latifah) karena makna dari hakekat latifah tersebut di
luar jangkauan manusia.4
Pergerakan al-qalb pada setiap manusia menurut al-Ghazali terdapat empat
macam, yaitu raf, fath, khafd, dan waqf.5 Al-qalb akan berada pada tingkata raf
ketika seseorang melakukan zikir kepada Allah dengan tanda-tandanya adanya
muraqabah, hilangnya mukhalafah (penyimpangan), dan lestarinya kerinduan. Alqalb bergerak ke arah fath (terbukanya hati seseorang) manakala ia ridha kepada
1Sulaiman Dunya, Al-Haqiqat fi Nazri al-Ghazali, Mesir: Dar al-Maarif, 1971, cet. ke3, h. 257.
2Ibid., h. 260.
3Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Dini, Beirut: Dar al-Fikr, 1994, jilid III, h.4.
4Ibid.
5Al-Ghazali, Minhaj al-Arifin, dalam Majmuat Rasail al-Ghazali, Beirut:Darul Fikr,
1996, cet. pertama, h. 214.

Allah dengan cirinya tawakal, ketulusan, dan keyakinan. Sebaliknya ketika


seseorang menyibukkan diri dari selain Allah maka pergerakan hati akan berada
pada kondisi khafd dengan tanda-tandanya selalu bangga diri, pamer diri, dan
tamak. Selanjutnya pergerakan hati akan sampai pada tahapan waqf manakala
seseorang lalai dari Allah SWT dengan cirinya hilangnya rasa manis ketaatan,
tiadanya rasa pahit kemaksiatan, dan ketidakjelasan kehalalan.
Kedua, makna al-ruh. Seperti halnya al-qalb, term al-ruh ini juga mengandung
dua makna. Al-ruh diartikan seperti udara yang dibawa darah hitam dan disebarkan
ke bagian tubuh melalui perantaraan pembuluh darah. 6 Uraian yang dimaksud AlGhazali tersebut mengarah kepada arti oksigen. Sama halnya dnegan makna alqalb di atas, al-ruh dalam arti ini juga dimiliki oleh manusia, hewan, bahkan juga
tumbuhan. Dengan demikian al-ruh pada arti yang pertama mencakup dua dimensi
pertama.
Adapun al-ruh dalam arti lainnya adalah latifah sebagaimana makna yang
diungkap pada penjelasan tentang al-qalb.
Ketiga, al-nafs yang mengandung arti emosi (gadab) dan hasrat (syahwat). Hal
ini merupakan makna yang berkonotasi negatif dalam pandangan tasawuf, dan alnafs dalam arti bagian dari hakekat manusia (latifah) seperti halnya kedua term
sebelumnya. Untuk makna kedua hal ini merupakan itni dari manusia dan bagian
terpenting dalam kajian tasawuf. Nafs dalam perspektif yang kedua ini terdapat tiga
tingkata sesuai dengan keadaan qalb (bukan dalam arti jantung). Ketiga tingkatan
tersebut adalah nafs mutmainah, nafs lawwamah, dan nafs ammarah bi al-su.
Susunan tersebut menunjukkan hirarki dari tingkat tertinggi (mulia) hingga tingkat
terendah (buruk).
Al-Nafs dalam tahap nafs mutmainnah adalah nafs dlam kondisi di mana qalb
selalu tenang dan tentram (dalam menerima ketentuan Allah SWT) dan terhindar
dari kegelisahan yang diakibatkan oleh berbagai macam ambisi. Sebaliknya apabila
ia selalu gelisah karena berada dalam kondisi berseteru (berlawanan) terhadap
ambisi dan nafsu (syahwat) maka nafs turun peringkat berada dalam stage kedua
yaitu nfas lawwamah. Selanjutnya jika tidak ada perseteruan antara qalb dan
ambisi-ambisi tersebut bahkan cenderung berkawan dan mengikuti ambisi-ambisi
yang muncul maka nafs turun peringkat lagi hingga ke peringkat terakhir yaitu nafs
ammarat bi al-su.
Keempat, al-aql. Kajian yang memiliki relevansi dengan pembahasan ini
terdapat dua makna dari al-aql, pertama dalam arti pengetahuan tentang hakikat
sesuatu permasalahan, dankedua dalam makna latifah seperti makna ketiga term
sebelumnya.
Dari uraian di atas, pandangan para ahli tasawuf tentang nafs dalam makna
pertama, al-nafs (emosi dan hasrat), pada dasarnya tidak selalu negatif. Kedua term
tersebut dalam psikologi dikenal dengan teori motivasi. Hal ini juga dikemukakan AlGhazali sekalipun berbeda istilah. Lebih lanjut Al-Ghazali memasukkan gadab dan
syahwat sebagai bagian dari apa yang disebutnya sebagai junud al-qalb.7

6Al-Ghazali, Raudat at-Talibin wa Umdat al-Salikin, Beirut: Dar al-Fikr, 1996, cet.
pertama, h. 113.

Adapun fungsi dari tentara hati sebagaimana disebut Al-Ghazali adalah


pertama berfungsi sebagai pembangkit dan pendorong sekaligus motif. Kedua
sebagai impuls, dan ketiga sebagai instrumen pengetahuan dan pencerapa
(kognitif).8 Kekuatan kognitif ini dapat berupa lahirian seperti panca indera maupun
secara batiniah yang meliputi daya persepsi (al-hiss al-musytarak), imajinasi
(khayal), daya pikiran, daya ingatan, dan daya hafalan. 9 Proses pencerapan tersebut
keduanya bekerja secara sistematis dan saling berkaitan satu sama lain.
Uraian mengenai unsur manusia sebagaimana tersebut di atas menunjukkan
bahwa Al-Ghazali memandang manusia sebagai makhluk yang memiliki kualitas
insani. Namun Al-Ghazali juga tidak mengingkari adanya unsur jiwa yang bersifat
hewati selain unsur materi (jasmani). Unsur tersebut memiliki pengertian secara
tiga dimensi yang tidak hanya dimensi fisik-biologis dan mental-psikologis saja
melainkan Al-Ghazali memandang manusia memiliki dimensi spiritual-religius. Inti
kemanusiaan menurut Al-Ghazali terletak pada empat unsur di atas yang bermakna
pada satu kata yaitu latifah atau al-ruh al-rabbaniyyah dan keempat unsur tersebut
dalam pengertian metafisik memiliki integritas yang tinggi antara satu sama lainnya
dan tidak dapat dibeda-bedakan semuanya bersifat ruhaniah, suci, mampu
mengenali dan memahami sesuatu yang diciptakan Tuhan dengan sifat kekal.
Unsur manusia yang terbagi pada al-qalb, al-ruh, al-nafs, dan al-aql pada
dasarnya mengerucut pada satu makna yaitu latifahi, esensi hakiki dari manusia.
Dalam karya lainnya Al-Ghazali memberikan istilah esensi hakikat dari manusia
tersebut dengan al-nafs al-nathiqah.10
Terlepas dari kualitas insani yang dimaksud di atas, Al-Ghazali membedakan
manusia dengan hewan dan makhluk lainnya dalam dua sisi. Pertama manusia
memiliki pengetahuan, dan kedua manusia memiliki kehendak.
Pengetahuan yang dimaksud Al-Ghazali bersifat universal, baik pengetahuan
tentang duniawi maupun ukhrawi dan pengetahuan yang bersifat rasional.
Pengetahuan yang dimaksud di sini tampaknya merupakan sebuah proses yang
dialami dan didapati manusia melalui belajar dalam makna yang luas. Selain
melalui pembelajaran Al-Ghazali juga mengakui adanya pengetahuan yang tidak
diperoleh melalui usaha pembelajaran, yaitu melalui ilham. 11
Pengetahuan yang didapat manusia melalui usaha pembelajaran sebagaimana
tersebut di atas menunjukkan adanya sifat keunikan dari manusia. Dengan
pengalaman dan pemelajran yang didapat menjadikan manusia yang satu dengan
7Al-Ghazali, Ihya, op.cit., h. 7.
8Ibid.
9Al-Ghazali, Raudat at-Talibin wa Umdat al-Salikin, op.cit., h. 115.
10Al-Ghazali, al-Risalah al-Laduniyah, dalam Majmu Rasail al-Imam al-Ghazali,
Beirut: Dar al-Fikr, 1996, cet. pertama, h. 225.
11Ibid., h. 235.

yang lain tidak ada yang memiliki keperibadian yang sama. Konsep ini juga diakui
oleh psikologi, terutama psikologi keperibadian.
Kehendak atau keinginan yang ada pada manusia sebagaimana yang
dimaksud Al-Ghazali di atas bukan dorongan secara biologis seperti yang terdapat
pada hewan (syahwat). Dorongan yang dimiliki oleh hewan (physiological needs)
adalah keinginan yang tidak disertai nalar dan cenderung ke arah kenikmatan
secara biologis, sedangkan dorongan yang berdasarkan hasil nalar cenderung
bertujuan demi kemaslahatan manusia. Dalam hal ini Al-Ghazali memberikan
contoh tentang pengobatan berbekam. Syahwat cenderung menolak pengobatan
tersebut karena sakit, seangkan secara nalar justeru menginginkan hal tersebut
sekalipun harus mengeluarkan biaya karena yang ingin dicapai adalah
kemaslahatan (sembuh dari sakit).12
Perbedaan antara kehendak pada sisi hewani dan kehendak pada sisi insani
sebagaimana dimaksud al-Ghazali adalah adanya penilaian yang diperankan oleh
akal terhadap kehendak tersebut sebelum sebuah perbuatan direalisasikan.
Perbuatan yang dilakukan oleh seekor hewan hanya didasarkan atas dorongandorongan yang bersifat biologis dengan berbagai cara tanpa melakukan penilaian
apakah dorongan tersebut berakibat baik atau buruk. Hal ini berbeda dengan
manusia. Sebuah dorongan yang muncul, baik bersifat intrinsik maupun ekstrinsi,
oleh akalnya terlebih dahulu akan dinilai baik atau buruk. Kemudian hasil penilaian
tersebut suatu perbuatan akan direalisasikan. Namun standar nilai baik dan buruk
bagi manusia inilah yang menjadi pembicaraan lain. Dalam tulisan lain, Al-Ghazali
memberikan standar nilai baik dan buruk dalam sebuah terma akhlak yang
dijelaskan dalam karyanya Ihya Ulumuddin pada bab adab, Ayyuha al-walad, dan
beberapa risalah lainnya.
2. Junud al-Qalb sebagai unsur motivasi
Ada tiga unsur yang harus dibagai mengenai sebuah teori motivasi, yaitu
dorongan, perilaku bermotivasi, dan tujuan. Selain itu tujuan merupakan satusatunya dasar yang sehat dan pokok bagi landasan konstruksi klasifikasi kehidupan
motivasional. Ketiga unsur tersebut merupakan unit motivasional yang secara khas
berdasarkan manusia sebagai obyeknya. Oleh karena itu pembahasan motivasi AlGhazali paling tidak mencakup ketiga unsur itu.
Struktur jiwa dalam pandangan Al-Ghazali sebagaimana yang telah diuraikan
di atas tampak bahwa inti dari manusia adala al-ruh al-rabbaniyah, sebuah konsep
psiko-spiritual. Hal tersebut tercermin dari pembagian unsur-unsur terjadinya
sebuah perilaku yang disebut junud al-qalb (tentara hati). Penekanan pada
Pembahasan al-qalb tersebut menunjukkan bahwa inti manusia itu adalah hati (alqalb) dalam arti ruh rabbaniyah sebagaimana yang telah disebutkan. Konsep inilah
yang menjadi dasar pemikiran Al-Ghazali tentang sebuah perilaku.
Al-Ghazali membagi dua macam junud al-qalb, yaitu junud al-qalb dalam
bentuk fisik dan kasat mata, dan junud al-qalb dalam arti psikis yang hanya dapat
dilihat dengan mata hati. Hubungan antara hati dengan junud ini adalah sebagai

12Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, op.cit., h. 9.

sebuah sistem perilaku di mana hati sebagai pusatnya (Al-Ghazali menyebutnya


hati sebagai raja).13
Adapun junud al-qalb dalam bentuk kasat mata adalah semua anggota tubuh,
dan anggota gerak yang bertugas melayani dan mengikuti perintah hati, antara lain
tangan, kaki, mata, telinga, dan lidah.
Junud al-qalb dalam bentuk kasat mata ini berfungsi sebagai alat penggerak
tubuh dari apa yang diperintahkan hati. Hal ini tampaknya berbeda dengan konsep
medis yang menyatakan bahwa anggota tubuh adalah sebagai alat penggerak yang
diperintahkan oleh otak. Jadi dalam pandangan medis sebuah gerakan adalah hasil
dari impuls yang diperintahkan oleh otak.
Junud al-qalb dalam bentuk psikis terbagai dua, yaitu syahwat dan gadab.
Syahwat berfungsi sebagai impuls yang mendorong seseorang untuk melakukan
sesuatu (motif mendekat) dan ghadab berfungsi sebagai impuls yang melawan atau
menolak dari sesuatu (motif menjauh). Keduanya bekerja sama dengan judul alqalb dalam bentuk kasat mata sebagaimana telah disebutkan. Terhadap konsep
motivasi ini, yang didasar oleh motif mendekat dan motif menjauh, Al-Ghazali
menguraikannya dalam Ihya dengan menyebutkan motif mendekat sebagai sebabsebab instrinsik (al-sabab al-dakhili) dan motif menjauh sebagai sebab-sebab
ekstrinsik (al-sabab al-Khariji).14
Sebagai contoh, apabila seseorang merasakan lapar, syahwat akan
memberikan impuls kepada anggota tubuh untuk dapat memenuhi kebutuhan akan
makan itu dnegan cara-cara yang lazim. Dalam teori motivasi hal ini disebut motif
mendekat. Jika seseorang melihat seekor ular dan dalam persepsinya, Al-Ghazali
menyebutnya dengan istilah al-idrak, ular adalah binatang yang berbahaya maka
dalam hal ini ghadab memberikan impuls kepada anggota tubuh untuk menjauh,
misalnya dalam bentuk lari, lompat, atau teriak. Dalam teori motivasi ini yang
disebut motif menjauh.
Syahwat dan gadab sebagaimana yang telah diuraikan di atas memiliki fungsi
sebagai pembangkin atau pendorong., Al-Ghazali menyebutkan sebagai keinginan
atau kehendak (iradah) dan anggota tubuh memiliki fungsi sebagai al-qudrat.
Term syahwat dan gadab yang telah digambarkan di atas menunjukkan bahwa
pada dasarnya kedua term tersebut tidak berarti negatif. Ia akan memiliki nilai
negatif (buruk) apabila syahwat dan gadab menguasai hati dan bernilai positif
(baik) manakala hati yang menguasai syahwat dan gadab.15
Teori motivasi di atas bukanlah teori motivasi yang sesungguhnya
dimaksudkan Al-Ghazali, sebab bentuk motivasi yang terjadi pada fenomena di atas
tidak hanya dimiliki oleh manusia melainkan hewan juga memiliki bentuk yang
sama, sehingga dalam hal ini tidak ada perbedaan antara manusia dan hewan.
Perilaku motivasional manusia yang khas adalah sebuah perilaku yang
didasarkan atas pengetahuan dan kehendak (iradat). Pengetahuan manusia melalui
13Ibid., h. 8.
14Ibib., h. 178.
15Fatiyah Hasan Sulaiman, Aliran-aliran dalam Pendidikan: Studi tentang Aliran
Pendidikan menurut Al-Ghazali, terj. Kitab Mazahib fi al-Tarbiyah, bahtsun fi almazhabi al-tarbawy inda al-Ghazali, Semarang: Dina Utama Semarang, 1993, h. 53.

akalnya juga memiliki keinginan. Antara keinginan (dorongan) yang bersumber dari
akal berbeda dengan dorongan yang bersumber dari syahwat. Dorongan yang
bersumber dari akal cenderung untuk mendapatkan suatu kemasalahan bagi dirinya
seperti yang telah disebutkan di atas.
Mengenai pengetahuan yang bersumber dari akal, Al-Ghazali membagi dua.
Pertama, pengetahuan dasar (pengetahuan naluriah) dan bersifat universal. Kedua,
pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman maupun sebagai hasil pemikiran
dan penalaran.
Al-qalb dalam makna al-ruh al-Rabbaniyyah sebagaimana yang dimaksud AlGhazali adalah manusia yang seutuhnya (al-insan al-kamil). Konsep inilah yang
menjadi tujuan perilaku motivasional manusia sebab hanya manusia yang mampu
mencapai tingkatan tersebut. Hal ini tercermin dalam kaitan antara al-qalb dan
junud al-qalb yang diuraikan sebagai berikut:
Adapun kebutuhan hati kepada tentara ini sama seperti kebutuhannya kepada
kendaraan dan bekal untuk perjalanan, yang memang untuk itu ia diciptakan. Yakni
perjalanan menuju Allah SWT, melewati bermacam-macam terminal, untuk berjuma
dengan-Nya. Untuk itulah hati (kalbu) diciptakan. Dan tiadalah Aku (Allah)
menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka mengabdi kepada-Ku (QS.
Adz-Dzariat:56). Adapun kendaraan hati adalah tubuhnya; dan bekalnya adalah
ilmu. Sedangkan sarana yang dapat menyampaikan kepada bekalnya itu serta
pemanfaatannya, adalah amal salehnya semata-mata. Dalam kenyataannya,
seorang hamba takkan mungkin sampai kepada Allah SWT sebelum tubuhnya diam
(mati) tak bergerak lagi, dan sebelum ia melewati (kehidupan) dunia ini. 16
Pernyataan Al-Ghazali di atas jelas menunjukkan bahwa tujuan dari segala
aspek perilaku manusia harus ditujukan untuk sampai kepada Allah SWT. Konsep
psiko-spiritual inilah yang menjadi landasan teori motivasi, motivasi yang
berdasarkan atas motif teogenetis.
Ada tiga tingkatan perilaku motivasional manusia menurut Al-Ghazali.
Pertama, tingkatan al-ammarah. Perilaku yang dilandasi oleh motivasi tingkat ini
memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Kebutuhan-kebutuhan yang dicari bersifat physiological needs dan
hedonistik.
2. Upaya pemenuhan kebutuhannya cenderung bersifat bio-homeostatis
(prinsip keseimbangan yang bersifat biologis atau fisik) tanpa batas.
3. Kehidupan psikologis bersifat patologis;

16Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, op.cit., h. 6.

4. Formulasi sifat-sifat hati terdiri atas syaithaniyyah17, sabuiyyah18, dan


bahimiyyah19.
Perilaku manusia yang dimotivasi oleh jenis ini cenderung menghasilkan
kepribadian yang mengejar pada prinsip-prinsip kenikmatan (pleasure principle).
Tingkatan kedua dari motivasional menurut Al-Ghazali adalah al-lawwamah.
Melalui pengalaman, pencerapan, dan latihan-latihan kehidupan motivasional
ammarah ini dapat meningkat menjadi perilaku motivasional lawwamah.
Posisi perilaku motivasional lawwamah berada antara tingkat terendah
(motivasi ammarah) dan tingkat tertinggi (motivasi mutmainnah) sehingga perilaku
motivasional pada tingkat ini bagian upaya untuk sampai pada tingkat yang lebih
tinggi atau justeru perjalanan menuju tingkat yang lebih rendah akibat munculnya
distorsi-distorsi yang diakibatkan oleh sifat-sifat hati yang empat.
Formulasi sifat-sifat hati pada tingkatan ini mencakup seluruh sifat-sifat hati
yang disebutkan al-Ghazali, yaitu rabbaniyyah syaithaniyah, sabuiyyah, dan
bahimiyah. Sifat rabbaniyyah senantiasa mengontrol ketiga sifat lainnya, hal ini
tidak terdapat pada perilaku motivasional pada tahap sebelumnya. Sejauh mana
sifat rabbaniyyah tersebut mampu mengontrol sifat hati yang tiga tergantung
upaya, cita-cita, dan pengetahuan seseorang. Jika seseorang memiliki cita-cita yang
tinggi untuk dapat hidup secara mutmainnah maka ia akan memiliki upaya-upaya
kuat yang secara otomatis kekuatan kontrol rabbaniyyah akan semakin baik hingga
ia akan sampai pada kehidupan motivasional mutmainnah. Sebaliknya apabila
seseorang tidak memiliki cita-cita tinggi dan tidak diimbangi oleh pengetahuan
(agama) maka sedikit demi sedikit kontrol yang diberikan oleh sifat rabbaniyyah
pada diri seseorang akan melemah dan pada kondisi tertentu sifat itu menghilang
dari dirinya sehingga ia terjerumus pada tingkata perilaku motivasional yang sangat
rendah, tingkata perilaku motivasional yang dimiliki oleh hewan-hewan lainnya,
yaitu perilaku motivasional ammarah.
Ketiga dari tingkatan perilaku motivasional menurut Al-Gazali adalah
mutmainnah. Manusia yang dapat mencapai tingkatan ini adalah manusia-manusia
yang mampu beraktualisasi diri, bertransendensi, dan mencapai tingkat peakexperience.
17Sifat syaithaniyyah adalah sifat yang secara terus menerus membangkitkan
kerasukan, emosi (marah), mendorong dan memuji kejahatan.
18Kata sabuiyyah mengandung arti buas. Al-Ghazali memberikan misal dnegan
seekor anjing. Anjing sebagai binatang buas yang suka menggigit. Bukan buas
karena struktur fisik melainkan jiwanya yang buas dan ganas. Manusia yang
senantiasa diliputi oleh amarah adalah manusia yang memiliki sifat sabuiyyah.
19Bahimiyyah berarti binatang atau hewan. Al-Ghazali memberikan misal dnegan
binatang babi. Babi memliki jiwa rakus dan jorok. Manusia yang hatinya dikuasai
oleh syahwat adalah manusia babi, manusia yang rakus dan jorok.

Aktualisasi diri, transendensi, dan puncak pengalaman (peak-experence)


manusia-manusia yang mutmainnah tidak hanya didasarkan atas pengalamanpengalaman melainkan dengan ilmu dan usaha. Manusia yang mutmainah adalah
manusia yang dapat mengkatualisasikan fitranhya, al-ruh al-rabbaniyyah, manusia
yang dapat bertransendensi ilahiyyah sehingga mampu mencapai marifat melalui
daya cita rasa (dzawq), dan kasyf (terbukanya tabir misteri yang menghalangi
penglihatan batin manusia). Kebenaran dari pengetahuan yang dicapai adalah
kebenaran yang bersifat supra rasional sehingga bisa jadi tidak mampu diterima
akal.
Ciri-ciri dari perilaku motivasi mutmainnah menurut Ibn Qayyim al-Jauzy
sebagaimana dikutip Abdul Mujib adalah memiliki harga diri, rendah hati,
dermawan, wibawa, memelihara diri, berani, prihatin, ekonomis, waspada, firasat,
memberi peringatan, memberi hadiah, sabar, pemaaf, mengetahui dan berilmu,
dapat dipercaya, penuh pegharapan, menceritakan nikmat dari Allah, hati lembut,
iri hati atas kebaikan, berlomba demi kebaikan, menyintai Allah, tawakkal, bersikap
hati-hati, mendapat inspirasi dari malaikat, dan cekatan dalam bekerja. 20
Pada tahapan ini tidak ada formulasi dari sifat-sifat hati kecuali sifat
rabbaniyah. Ketiga sifat lainnya yaitu sifat syaithaniyah, sabuiyyah, dan bahimiyah
sudah tidak tampak dan bahkan hilang dikalahkan oleh sifat rabbaniyah. Kebutuhan
fisiologis dan kebutuhan lain yang muncul hanya sebatas menjaga kesehatan dan
menjauhkannya dari penyakit-penyakit yang akan menyebabkan kebinasaan.
Peralihan dari perilaku motivasional ammarah ke tingkat yang lebih tinggi
hanya dapat dicapai pada satu derajat di atasnya. Hal itu disebabkan oleh
prosentase sifat-siat hati yang tiga, sealin sifat rabbaniyyah, lebih dekat dengan
prosentasi daya akal dan terlalu jauh jaraknya dengan daya kalbu. 21
Hirarki dari perilaku motivasional di atas bukanlah sesuatu yang permanen,
dalam artian bahwa seseorang sudah mencapai tingkat mutmainnah dapat saja
kembali ke tahapan di bawahnya apabila tidak ada usaha untuk mempertahankan
posisi motivasionalnya. Begitupula manusia yang pada awal perilakunya selalu
didasari atas motivasi ammarah dengan usaha-usaha tertentu dapat naik satu
tahap ke tahapan berikutnya yang lebih tinggi.
Teori motivasi yang telah diuraikan di atas dalam perspektif psikologi modern
dapat ditinjau dari dua sisi. Pertama, dari sisi tujuan perilaku motivasional tersebut
dapat dikategorikan sebagai teori aktualisasi diri. Pandangan ini didasarkan atas
tujuan perilaku yang diharapkan oleh Al-Ghazali yaitu manusia-manusia yang
memiliki motivasi mutmainnah, sebuah motivasi tingkat tertinggi, motivasi insan
yang hakiki.

20Abdul Mujib, Fitrah dan Kepribadian Islam Sebuah Pendekatan Psikologis, Jakarta:
Darul Falah, 1999, h. 170.
21Ibid., h. 164.

Kedua, dari sisi keseimbangan antara stimulus-respon yang dikategorikan


sebagai teori homoestatis dengan bentuk yang lebih spesifik dan mendalam, yaitu
spiritual-homeostatis.22 Perbedaannya dengan psikologi modern terletak pada
subyek homeostatis. Apabila psikologi modern memandang bahwa terjadinya
homeostatis adalah stimulus-respon yang bersifat fisik maka menurut Al-Ghazali
adalah spiritual, al-ruh al-rabbaniyah. Jiwa yang bersifat al-ruh al-rabbaniyyah jika
diberikan stimulus oleh hal-hal yang bukan fitrahnya akan terjadi suatu
ketidakseimbangan sehingga akan terjadi konflik, ketegangan jiwa, dan kegelisahan
hati. Sebaliknya jika diberikan situmuls yang sesuai dengan fitrah manusia maka
terjadilah sebuah keseimbangan, homoestatis, yang ditandai dengan ketenangan
hati, berpikir positif, transendensi, dan peak-experience. Hal ini dapat dibuktikan
dengan pengalaman Al-Ghazali ketika mengalami goncangan jiwa sebagaimana
yang ia tulis dalam al-munqidz min al-dlalal.

5. Aktualisasi Diri
Makna aktualisasi diri dalam kajian ini adalah dalam pengertian
transendensi23 (dalam istilah psikologi Barat) atau sufistik (dalam istilah
literatur Islam).
Berkaitan dengan aktualisasi diri, Al-Ghazali lebih banyak menulis hampir pada
setiap karyanya, terutama karya-karyanya setelah mengalami kegelisahan hati,
konflik batin, dan memasuki dunia kesufian, antara lain Ihya Ulumuddin,
Raudatuttalibin wa umdatussalikin, Minhaj al-Arifin.
Dalam bukunya Al-Munqidz min al-Dhalal secara jelas Al-Ghazali
menggambarkan perjalanan hidupnya dalam melewati masa kegelisahan diri dan
masa konflik batin yang terjadi pada dirinya hingga ia menemukan sebuah jalan
menuju tasawuf, sebuah proses menuju transendensi.
Proses transendensi yang dialami Al-Ghazali jelas bukan merupakan proyek
ilmiah, lebih subyektif, dan penuh spiritual-religius. Sekalipun bukan sebuah proyek
ilmiah, namun bukan berarti transendensi dalam Islam tidak dapat dipelajari. Caracara dan upaya untuk mencapai transendensi diri kemudian oleh al-Ghazali
diungkapkan dalam tulisan-tulisannya.
22Keseimbangan dalam budi pekerti dan perilak adalah pertanda bagi sehatnya
jiwa. Sebaliknya, penyimpangan yang baik dalam perilaku adalah pertanda bagi
sakitnya jiwa. Pokok dari segala penyakit jiwa adalah ingkar dan kufur kepada Allah
Swt, dan kesehatan jiwa terletak pada mengakui-Nya dan tetap beribadah dengan
penuh khusuk kepada-Nya. Lihat catatan kaki pada Fathiyah Hasan Sulaiman,
op.cit., h. 54.
23Abraham H. Maslow memberikan daftar 35 definisi transendensi, antara lain the
same kind of self-forgenfulness which comes from getting absorbed, fascinated,
concentrated. Cara yang dapat dilakukan untuk mencapai transendensi adalah
dengan metode meditasi. Lebih lanjut lihat Maslow, Various Meanings of
Trancendence, dalam The Farther Reaches of Human Nature, New York: The Viking
Press, 1971, h. 269-279.

Menurut Al-Ghazali, ciri-ciri manusia yang sampai pada tingkat aktualisasi diri
adalah sebagai berikut:
1. Mengendalikan lidah dengan berkata jujur, amar maruf, nahi munkar, berkata
baik, dan sebagainya. Pengendalian lidah juga dapat berupa menghindari
pembicaraan negatif, seperti pembicaraan yang tidak berguna (ghibah),
berlebihan dalam berbicara, melibatkan diri dalam pembicaraan yang batil,
melakukan perbantahan24 dan perdebatan, pertengkaran, memaksakan bersajak
dan membuat-buat kefasihan, memberikan laknat binatang, benda mati atau
manusia, bersenda gurau yang berlebihan atau terus menerus, menyebarkan
rahasia, melakukan janji palsu, menghasut, dan bentuk pembicaraan negatif
lainya.
2. Menghargai hak-hak sesama manusia dan hubungan antara sesama manusia,
seperti hak-hak kedua orang tua dan anak, hak-hak kerabat dan sanak
keluarga, dan hak-hak tetangga.
3. Mudah memberi maaf, setia, dan ikhlas.
4. Bersifat simpati dan empati terhadap sesama.
5. Pada orang-orang yang mampu mencapai bertransendensi dapat mencapai ilmu
mukasafah, sebuah perolehan ilmu secara langsung dari Allah SWT.
Aktualisasi diri dapat dilakukan antara lain melalui riyadah al-nafs, tatahhur
(penyucian jiwa), tahaqquq (realisasi dari penyucian jiwa), iqtida atau tahalluq.
Pengertian riyadah al-nafs yang dimaksud adalah dalam bentuk pengendalian hawa
nafsu. Terhadap hal ini dalam karyanya mukasyafat al-qulub, al-Ghazali banyak
mengutip hadis dan perkataan sahabat lainnya tentang nafsu, antara lain adalah
perkataan Yahya bin Muadz Ar-Razi.
Perangilah nafsumu dengan ketaatan kepada Allah dan riyadhah. Riyadhah adalah
meninggalkan tidur, sedikit bicara, bertahan dari gangguan manusia, dan sedikit
makan. Dari sedikit tidur keinginan-keinginan hati menjadi baik, dari sedikit bicara
akan timbul keselamatan dari bahaya, dari kesabaran menghadapi gangguan ia
akan mencapai derajat tertinggi dan dari sedikit makan akan lenyap kesenangankesenangan nafsu.25
Selanjutnya, arti dari tatahhur menurut al-Ghazali sebagai bentuk penyucian
jiwa yang terdiri atas pengawasan (muraqabah), perhitungan (muhasabah), dan
menghukum diri atas segala kekurangan (muaqabah), bersungguh-sungguh
(mujahadah), dan mencela diri (muatabah).
Tahapan kedua untuk mencapai aktualisasi diri adalah melakukan tahaqquq
(pencapaian) berbagai maqam (state). Maqam (state) yang harus ditempuh
seseorang untuk mencapai transendensi ilahi (marifat) setidaknya meliputi zuhud,
tawakal, cinta (mahabbah Allah), khauf, raja, wara, syukur, sabar, rida, muraqabah
dan musyahadah. Puncak dari tahaqquq tersebut adalah kondisi di mana seseorang
24Said Hawwa, Mensucikan Jiwa: Konsep Tazkiyatun Nafs Terpadu, terj. AlMustakhlash fi Tazkiyat al-Anfus, Jakarta: Robbani Press, 2000, cet. ke-3, h. 479.
25Al-Ghazali, Dibalik Ketajaman Mata Hati, terj. dari Mukasyafat al-Qulub, Jakarta:
Pustaka Amani, 1997, h. 25.

telah merasakan bahwa Allah SWT melihatnya (muraqabah) dan beribadah kepada
Alah SWT seolah-olah ia melihat-Nya (musyahadah).
Tahapan terakhir untuk mencapai aktualisasi diri (transendensi) adalah
tahalluq. Tahalluq adalah peneladanan terhadap sifat-sifat Allah SWT yang
terkandung dalam sebagian asmaul husna. Selain itu, proses tahaqquq juga harus
meneladani sifat-sifat Rasulullah saw.
Selain memberikan arahan dalam upaya pencapaian transendensi Al-Ghazali
juga memberikan warning terhadap setan atau ilusi diri sendiri yang merasa sudah
mencapai transendensi. Tidak mustahil orang menganggap bahwa dirinya telah
sampai pada tingkatan transendensi padahal tidak. Terhadap hal ini Al-Ghazali
menyebutnya ghurur (orang-orang yang terkelabui. Oleh karena itu dalam rangka
mencapai transendensi, setiap orang harus benar-benar memperhatikan kaedah
agama yang meliputi akidah, syariat, dan ihsan.

Daftar Pustaka
Al-Ghazali. al-Risalah al-Laduniyah, dalam Majmu Rasail al-Imam al-Ghazali, Beirut: Dar alFikr, 1996, cet. pertama
-------------. Dibalik Ketajaman Mata Hati, terj. dari Mukasyafat al-Qulub, Jakarta: Pustaka
Amani, 1997.
-------------. Ihya Ulum al-Dini, Beirut: Dar al-Fikr, 1994, jilid III.
-------------. Minhaj al-Arifin, dalam Majmuat Rasail al-Ghazali, cet. pertama. Beirut:Darul Fikr,
1996,
-------------. Raudat at-Talibin wa Umdat al-Salikin, cet. pertama. Beirut: Dar al-Fikr, 1996.
Dunya, Sulaiman. Al-Haqiqat fi Nazri al-Ghazali. cet. ke-3. Mesir: Dar al-Maarif, 1971.
Hawwa, Said. Mensucikan Jiwa: Konsep Tazkiyatun Nafs Terpadu, terj. Al-Mustakhlash fi
Tazkiyat al-Anfus. Cet. ke-3. Jakarta: Robbani Press, 2000.
Maslow, A.H., Various Meanings of Trancendence, dalam The Farther Reaches of Human
Nature, New York: The Viking Press, 1971.
Mujib, Abdul. Fitrah dan Kepribadian Islam Sebuah Pendekatan Psikologis, Jakarta: Darul
Falah, 1999.
Sulaiman, Fatiyah Hasan. Aliran-aliran dalam Pendidikan: Studi tentang Aliran Pendidikan
menurut Al-Ghazali, terj. Kitab Mazahib fi al-Tarbiyah, bahtsun fi al-mazhabi al-tarbawy
inda al-Ghazali, Semarang: Dina Utama Semarang, 1993.

Anda mungkin juga menyukai