Pembahasan
1. Sturktur Jiwa
Al-Ghazali menjelaskan tentang struktur jiwa ini dalam karya-karyanya, baik
sebelum memasuki dunia tasawuf seperti Mizan al-amal dan Miraj al-Salikin,
maupun setelah menjalani hidup kesufiannya seperti Ihya Ulumu al-Din khususnya
pada bab Ajaib al-Qalb. Pandangan Al-Ghazali tentang manusia baik sebelum
maupun sesudah memasuki kehidupan tasawufnya secara mendasar tidak ada
perbedaan.
Al-Ghazali membagi manusia dalam tiga dimensi, yaitu dimensi materi (aljism), dimensi nabati (al-nabatiyyah) dan hewani (al-Hayawaniyun), dan dimensi
insani. Sulaiman Dunya mengelompokkan dimensi mausia menurut Al-ghazali
menjadi empat dengan memisahkan unsur nabati (tumbuhan) dan unusr hewani. 1
Ketiga dimensi tersebut merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan. Lebih
lanjut Sulaiman Dunya menjelaskan bahwa manusia ditinjau dari sisi manusia yang
berkembang biak, dan memerlukanmakanan maka manusia mempunyai dimensi alnafs al-nabatiyyah, manusia yang memliki anggota tubuh dan bergerak sesuai
dengan iradat-nya maka manusia memiliki dimensi al-nafs al-hayawaniyyah, dan
manusia yang dapat memilih alternatif dari perilaku-perilaku yang muncul dengan
akal, mampu berpersepsi, dan daya cerap maka manusia memiliki dimensi al-nafs
al-insaniyyah.2
Dalam membahas ketiga dimensi di atas Al-Ghazali memberikan istilah al-qalb,
al-ruh, al-nafs, dan al-aql. Berikut ini penjelasan singkat dari istilah-istilah tersebut:
Pertama, al-qalb. Al-Ghazali memandang al-qalb ini dalam dua sudut pandang,
yaitu al-qalb dalam arti jantung (ragawi) dan dalam arti latifah, sesuatu immateri
dan bersifat rabbani ruhani (ruh ilahiah).3
Sekalipun Al-Ghazali memberikan dua kategori terhadap term al-qalb namun
pada dasarnya mencakup ketiga dimensi seperti tersebut di atas. Al-Qalb dalam arti
jantung merupakan term yang dapat digunakan dalam konteks ragawi (al-jism)
sekaligus dalam konteks hewani (al-hayawaniyyun) sebaga secara fisik ia berupa
materi (organ tubuh) yang juga terdapat pada hewan. Adapun al-qalb dalam arti
latifah merupakan esensi dari manusia yang memiliki daya cerap, mengetahui dan
mengenal, dan sekaligus yang menjadi obyek pertangungjawaban terhadap
perbuatan yang dilakukannya. Namun demikian dalam hal ini Al-Ghazali hanya
menjelaskan bagaimana sifat dan kondisi yang menyertai al-qalb, bukan pada
hakikat al-qalb (dalam arti latifah) karena makna dari hakekat latifah tersebut di
luar jangkauan manusia.4
Pergerakan al-qalb pada setiap manusia menurut al-Ghazali terdapat empat
macam, yaitu raf, fath, khafd, dan waqf.5 Al-qalb akan berada pada tingkata raf
ketika seseorang melakukan zikir kepada Allah dengan tanda-tandanya adanya
muraqabah, hilangnya mukhalafah (penyimpangan), dan lestarinya kerinduan. Alqalb bergerak ke arah fath (terbukanya hati seseorang) manakala ia ridha kepada
1Sulaiman Dunya, Al-Haqiqat fi Nazri al-Ghazali, Mesir: Dar al-Maarif, 1971, cet. ke3, h. 257.
2Ibid., h. 260.
3Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Dini, Beirut: Dar al-Fikr, 1994, jilid III, h.4.
4Ibid.
5Al-Ghazali, Minhaj al-Arifin, dalam Majmuat Rasail al-Ghazali, Beirut:Darul Fikr,
1996, cet. pertama, h. 214.
6Al-Ghazali, Raudat at-Talibin wa Umdat al-Salikin, Beirut: Dar al-Fikr, 1996, cet.
pertama, h. 113.
yang lain tidak ada yang memiliki keperibadian yang sama. Konsep ini juga diakui
oleh psikologi, terutama psikologi keperibadian.
Kehendak atau keinginan yang ada pada manusia sebagaimana yang
dimaksud Al-Ghazali di atas bukan dorongan secara biologis seperti yang terdapat
pada hewan (syahwat). Dorongan yang dimiliki oleh hewan (physiological needs)
adalah keinginan yang tidak disertai nalar dan cenderung ke arah kenikmatan
secara biologis, sedangkan dorongan yang berdasarkan hasil nalar cenderung
bertujuan demi kemaslahatan manusia. Dalam hal ini Al-Ghazali memberikan
contoh tentang pengobatan berbekam. Syahwat cenderung menolak pengobatan
tersebut karena sakit, seangkan secara nalar justeru menginginkan hal tersebut
sekalipun harus mengeluarkan biaya karena yang ingin dicapai adalah
kemaslahatan (sembuh dari sakit).12
Perbedaan antara kehendak pada sisi hewani dan kehendak pada sisi insani
sebagaimana dimaksud al-Ghazali adalah adanya penilaian yang diperankan oleh
akal terhadap kehendak tersebut sebelum sebuah perbuatan direalisasikan.
Perbuatan yang dilakukan oleh seekor hewan hanya didasarkan atas dorongandorongan yang bersifat biologis dengan berbagai cara tanpa melakukan penilaian
apakah dorongan tersebut berakibat baik atau buruk. Hal ini berbeda dengan
manusia. Sebuah dorongan yang muncul, baik bersifat intrinsik maupun ekstrinsi,
oleh akalnya terlebih dahulu akan dinilai baik atau buruk. Kemudian hasil penilaian
tersebut suatu perbuatan akan direalisasikan. Namun standar nilai baik dan buruk
bagi manusia inilah yang menjadi pembicaraan lain. Dalam tulisan lain, Al-Ghazali
memberikan standar nilai baik dan buruk dalam sebuah terma akhlak yang
dijelaskan dalam karyanya Ihya Ulumuddin pada bab adab, Ayyuha al-walad, dan
beberapa risalah lainnya.
2. Junud al-Qalb sebagai unsur motivasi
Ada tiga unsur yang harus dibagai mengenai sebuah teori motivasi, yaitu
dorongan, perilaku bermotivasi, dan tujuan. Selain itu tujuan merupakan satusatunya dasar yang sehat dan pokok bagi landasan konstruksi klasifikasi kehidupan
motivasional. Ketiga unsur tersebut merupakan unit motivasional yang secara khas
berdasarkan manusia sebagai obyeknya. Oleh karena itu pembahasan motivasi AlGhazali paling tidak mencakup ketiga unsur itu.
Struktur jiwa dalam pandangan Al-Ghazali sebagaimana yang telah diuraikan
di atas tampak bahwa inti dari manusia adala al-ruh al-rabbaniyah, sebuah konsep
psiko-spiritual. Hal tersebut tercermin dari pembagian unsur-unsur terjadinya
sebuah perilaku yang disebut junud al-qalb (tentara hati). Penekanan pada
Pembahasan al-qalb tersebut menunjukkan bahwa inti manusia itu adalah hati (alqalb) dalam arti ruh rabbaniyah sebagaimana yang telah disebutkan. Konsep inilah
yang menjadi dasar pemikiran Al-Ghazali tentang sebuah perilaku.
Al-Ghazali membagi dua macam junud al-qalb, yaitu junud al-qalb dalam
bentuk fisik dan kasat mata, dan junud al-qalb dalam arti psikis yang hanya dapat
dilihat dengan mata hati. Hubungan antara hati dengan junud ini adalah sebagai
akalnya juga memiliki keinginan. Antara keinginan (dorongan) yang bersumber dari
akal berbeda dengan dorongan yang bersumber dari syahwat. Dorongan yang
bersumber dari akal cenderung untuk mendapatkan suatu kemasalahan bagi dirinya
seperti yang telah disebutkan di atas.
Mengenai pengetahuan yang bersumber dari akal, Al-Ghazali membagi dua.
Pertama, pengetahuan dasar (pengetahuan naluriah) dan bersifat universal. Kedua,
pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman maupun sebagai hasil pemikiran
dan penalaran.
Al-qalb dalam makna al-ruh al-Rabbaniyyah sebagaimana yang dimaksud AlGhazali adalah manusia yang seutuhnya (al-insan al-kamil). Konsep inilah yang
menjadi tujuan perilaku motivasional manusia sebab hanya manusia yang mampu
mencapai tingkatan tersebut. Hal ini tercermin dalam kaitan antara al-qalb dan
junud al-qalb yang diuraikan sebagai berikut:
Adapun kebutuhan hati kepada tentara ini sama seperti kebutuhannya kepada
kendaraan dan bekal untuk perjalanan, yang memang untuk itu ia diciptakan. Yakni
perjalanan menuju Allah SWT, melewati bermacam-macam terminal, untuk berjuma
dengan-Nya. Untuk itulah hati (kalbu) diciptakan. Dan tiadalah Aku (Allah)
menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka mengabdi kepada-Ku (QS.
Adz-Dzariat:56). Adapun kendaraan hati adalah tubuhnya; dan bekalnya adalah
ilmu. Sedangkan sarana yang dapat menyampaikan kepada bekalnya itu serta
pemanfaatannya, adalah amal salehnya semata-mata. Dalam kenyataannya,
seorang hamba takkan mungkin sampai kepada Allah SWT sebelum tubuhnya diam
(mati) tak bergerak lagi, dan sebelum ia melewati (kehidupan) dunia ini. 16
Pernyataan Al-Ghazali di atas jelas menunjukkan bahwa tujuan dari segala
aspek perilaku manusia harus ditujukan untuk sampai kepada Allah SWT. Konsep
psiko-spiritual inilah yang menjadi landasan teori motivasi, motivasi yang
berdasarkan atas motif teogenetis.
Ada tiga tingkatan perilaku motivasional manusia menurut Al-Ghazali.
Pertama, tingkatan al-ammarah. Perilaku yang dilandasi oleh motivasi tingkat ini
memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Kebutuhan-kebutuhan yang dicari bersifat physiological needs dan
hedonistik.
2. Upaya pemenuhan kebutuhannya cenderung bersifat bio-homeostatis
(prinsip keseimbangan yang bersifat biologis atau fisik) tanpa batas.
3. Kehidupan psikologis bersifat patologis;
20Abdul Mujib, Fitrah dan Kepribadian Islam Sebuah Pendekatan Psikologis, Jakarta:
Darul Falah, 1999, h. 170.
21Ibid., h. 164.
5. Aktualisasi Diri
Makna aktualisasi diri dalam kajian ini adalah dalam pengertian
transendensi23 (dalam istilah psikologi Barat) atau sufistik (dalam istilah
literatur Islam).
Berkaitan dengan aktualisasi diri, Al-Ghazali lebih banyak menulis hampir pada
setiap karyanya, terutama karya-karyanya setelah mengalami kegelisahan hati,
konflik batin, dan memasuki dunia kesufian, antara lain Ihya Ulumuddin,
Raudatuttalibin wa umdatussalikin, Minhaj al-Arifin.
Dalam bukunya Al-Munqidz min al-Dhalal secara jelas Al-Ghazali
menggambarkan perjalanan hidupnya dalam melewati masa kegelisahan diri dan
masa konflik batin yang terjadi pada dirinya hingga ia menemukan sebuah jalan
menuju tasawuf, sebuah proses menuju transendensi.
Proses transendensi yang dialami Al-Ghazali jelas bukan merupakan proyek
ilmiah, lebih subyektif, dan penuh spiritual-religius. Sekalipun bukan sebuah proyek
ilmiah, namun bukan berarti transendensi dalam Islam tidak dapat dipelajari. Caracara dan upaya untuk mencapai transendensi diri kemudian oleh al-Ghazali
diungkapkan dalam tulisan-tulisannya.
22Keseimbangan dalam budi pekerti dan perilak adalah pertanda bagi sehatnya
jiwa. Sebaliknya, penyimpangan yang baik dalam perilaku adalah pertanda bagi
sakitnya jiwa. Pokok dari segala penyakit jiwa adalah ingkar dan kufur kepada Allah
Swt, dan kesehatan jiwa terletak pada mengakui-Nya dan tetap beribadah dengan
penuh khusuk kepada-Nya. Lihat catatan kaki pada Fathiyah Hasan Sulaiman,
op.cit., h. 54.
23Abraham H. Maslow memberikan daftar 35 definisi transendensi, antara lain the
same kind of self-forgenfulness which comes from getting absorbed, fascinated,
concentrated. Cara yang dapat dilakukan untuk mencapai transendensi adalah
dengan metode meditasi. Lebih lanjut lihat Maslow, Various Meanings of
Trancendence, dalam The Farther Reaches of Human Nature, New York: The Viking
Press, 1971, h. 269-279.
Menurut Al-Ghazali, ciri-ciri manusia yang sampai pada tingkat aktualisasi diri
adalah sebagai berikut:
1. Mengendalikan lidah dengan berkata jujur, amar maruf, nahi munkar, berkata
baik, dan sebagainya. Pengendalian lidah juga dapat berupa menghindari
pembicaraan negatif, seperti pembicaraan yang tidak berguna (ghibah),
berlebihan dalam berbicara, melibatkan diri dalam pembicaraan yang batil,
melakukan perbantahan24 dan perdebatan, pertengkaran, memaksakan bersajak
dan membuat-buat kefasihan, memberikan laknat binatang, benda mati atau
manusia, bersenda gurau yang berlebihan atau terus menerus, menyebarkan
rahasia, melakukan janji palsu, menghasut, dan bentuk pembicaraan negatif
lainya.
2. Menghargai hak-hak sesama manusia dan hubungan antara sesama manusia,
seperti hak-hak kedua orang tua dan anak, hak-hak kerabat dan sanak
keluarga, dan hak-hak tetangga.
3. Mudah memberi maaf, setia, dan ikhlas.
4. Bersifat simpati dan empati terhadap sesama.
5. Pada orang-orang yang mampu mencapai bertransendensi dapat mencapai ilmu
mukasafah, sebuah perolehan ilmu secara langsung dari Allah SWT.
Aktualisasi diri dapat dilakukan antara lain melalui riyadah al-nafs, tatahhur
(penyucian jiwa), tahaqquq (realisasi dari penyucian jiwa), iqtida atau tahalluq.
Pengertian riyadah al-nafs yang dimaksud adalah dalam bentuk pengendalian hawa
nafsu. Terhadap hal ini dalam karyanya mukasyafat al-qulub, al-Ghazali banyak
mengutip hadis dan perkataan sahabat lainnya tentang nafsu, antara lain adalah
perkataan Yahya bin Muadz Ar-Razi.
Perangilah nafsumu dengan ketaatan kepada Allah dan riyadhah. Riyadhah adalah
meninggalkan tidur, sedikit bicara, bertahan dari gangguan manusia, dan sedikit
makan. Dari sedikit tidur keinginan-keinginan hati menjadi baik, dari sedikit bicara
akan timbul keselamatan dari bahaya, dari kesabaran menghadapi gangguan ia
akan mencapai derajat tertinggi dan dari sedikit makan akan lenyap kesenangankesenangan nafsu.25
Selanjutnya, arti dari tatahhur menurut al-Ghazali sebagai bentuk penyucian
jiwa yang terdiri atas pengawasan (muraqabah), perhitungan (muhasabah), dan
menghukum diri atas segala kekurangan (muaqabah), bersungguh-sungguh
(mujahadah), dan mencela diri (muatabah).
Tahapan kedua untuk mencapai aktualisasi diri adalah melakukan tahaqquq
(pencapaian) berbagai maqam (state). Maqam (state) yang harus ditempuh
seseorang untuk mencapai transendensi ilahi (marifat) setidaknya meliputi zuhud,
tawakal, cinta (mahabbah Allah), khauf, raja, wara, syukur, sabar, rida, muraqabah
dan musyahadah. Puncak dari tahaqquq tersebut adalah kondisi di mana seseorang
24Said Hawwa, Mensucikan Jiwa: Konsep Tazkiyatun Nafs Terpadu, terj. AlMustakhlash fi Tazkiyat al-Anfus, Jakarta: Robbani Press, 2000, cet. ke-3, h. 479.
25Al-Ghazali, Dibalik Ketajaman Mata Hati, terj. dari Mukasyafat al-Qulub, Jakarta:
Pustaka Amani, 1997, h. 25.
telah merasakan bahwa Allah SWT melihatnya (muraqabah) dan beribadah kepada
Alah SWT seolah-olah ia melihat-Nya (musyahadah).
Tahapan terakhir untuk mencapai aktualisasi diri (transendensi) adalah
tahalluq. Tahalluq adalah peneladanan terhadap sifat-sifat Allah SWT yang
terkandung dalam sebagian asmaul husna. Selain itu, proses tahaqquq juga harus
meneladani sifat-sifat Rasulullah saw.
Selain memberikan arahan dalam upaya pencapaian transendensi Al-Ghazali
juga memberikan warning terhadap setan atau ilusi diri sendiri yang merasa sudah
mencapai transendensi. Tidak mustahil orang menganggap bahwa dirinya telah
sampai pada tingkatan transendensi padahal tidak. Terhadap hal ini Al-Ghazali
menyebutnya ghurur (orang-orang yang terkelabui. Oleh karena itu dalam rangka
mencapai transendensi, setiap orang harus benar-benar memperhatikan kaedah
agama yang meliputi akidah, syariat, dan ihsan.
Daftar Pustaka
Al-Ghazali. al-Risalah al-Laduniyah, dalam Majmu Rasail al-Imam al-Ghazali, Beirut: Dar alFikr, 1996, cet. pertama
-------------. Dibalik Ketajaman Mata Hati, terj. dari Mukasyafat al-Qulub, Jakarta: Pustaka
Amani, 1997.
-------------. Ihya Ulum al-Dini, Beirut: Dar al-Fikr, 1994, jilid III.
-------------. Minhaj al-Arifin, dalam Majmuat Rasail al-Ghazali, cet. pertama. Beirut:Darul Fikr,
1996,
-------------. Raudat at-Talibin wa Umdat al-Salikin, cet. pertama. Beirut: Dar al-Fikr, 1996.
Dunya, Sulaiman. Al-Haqiqat fi Nazri al-Ghazali. cet. ke-3. Mesir: Dar al-Maarif, 1971.
Hawwa, Said. Mensucikan Jiwa: Konsep Tazkiyatun Nafs Terpadu, terj. Al-Mustakhlash fi
Tazkiyat al-Anfus. Cet. ke-3. Jakarta: Robbani Press, 2000.
Maslow, A.H., Various Meanings of Trancendence, dalam The Farther Reaches of Human
Nature, New York: The Viking Press, 1971.
Mujib, Abdul. Fitrah dan Kepribadian Islam Sebuah Pendekatan Psikologis, Jakarta: Darul
Falah, 1999.
Sulaiman, Fatiyah Hasan. Aliran-aliran dalam Pendidikan: Studi tentang Aliran Pendidikan
menurut Al-Ghazali, terj. Kitab Mazahib fi al-Tarbiyah, bahtsun fi al-mazhabi al-tarbawy
inda al-Ghazali, Semarang: Dina Utama Semarang, 1993.