PRASETYO MIMBORO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
RINGKASAN
PRASETYO MIMBORO. Pengembangan Kriteria Kesesuaian Lahan untuk
Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) di areal PT. Perkebunan Nusantara-III,
Sumatera Utara. Dibimbing oleh WIDIATMAKA, ATANG SUTANDI dan
ASDAR ISWATI.
Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.), merupakan salah satu penghasil
devisa negara dari sektor perkebunan yang mengalami peningkatan luas areal dari
tahun ke tahun. Pada tahun 1990 luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia hanya
1,12 juta hektar, kemudian pada tahun 2000 meningkat tajam menjadi 4,15 juta
hektar, dan pada tahun 2012 sudah mencapai 9,07 juta hektar. Kelapa sawit
memiliki banyak keunggulan dibandingkan dengan tanaman penghasil minyak
nabati lainya. Beberapa keunggulan itu antara lain adalah produksi per satuan luas
yang tinggi, umur ekonomis yang panjang dan produknya dapat digunakan dalam
berbagai industri baik pangan maupun non pangan.
Produksi kelapa sawit sangat beragam, yang disebabkan oleh beragamnya
karakteristik tanah dan lahan di areal kelapa sawit. Tingginya keragaman produksi
tersebut, menghendaki adanya informasi yang obyektif tentang sifat-sifat setiap
jenis tanah, agar tindakan manajemen tanah dan upaya yang dilakukan bersifat
spesifik dengan hasil yang maksimal. Produksi kelapa sawit yang maksimal
diperoleh dari bibit tanaman yang unggul, pemilihan lahan yang sesuai dengan
syarat tumbuh tanaman, manajemen yang tepat serta pengelolaan kebun dilakukan
secara berkelanjutan dan lestari. Untuk memperoleh informasi maksimal
mengenai kondisi lahan yang ditanami kelapa sawit, perlu dilakukan evaluasi
lahan melalui kajian kesesuaian lahan dengan mengetahui hubungan karakteristik
lahan dan produksi kelapa sawit.
Penelitian dilaksanankan dengan metode survei eksplorasi, yang bertujuan
untuk mengembangkan kriteria kesesuaian lahan kelapa sawit khususnya di areal
PT. Perkebunan Nusantara-III Sumatera Utara, berdasarkan pada produksi dengan
karakteristik tanah dan lahannya. Data yang digunakan dalam penelitian ini
berupa data produksi tanaman (ton.ha-1), data hasil analisis kesuburan tanah, data
curah hujan tahunan dan data kriteria lahan seperti elevasi, topografi dan
kedalaman efektif.
Sampai saat ini, banyak penelitian dilakukan untuk melihat korelasi antara
pertumbuhan /produksi dengan berbagai faktor, misalnya Model Diagnostik.
Model diagnostik merupakan hubungan yang khas antara satu faktor tumbuh
dengan respon tanaman dapat didefmisikan maka pertumbuhan produksi
maksimum dapat diperoleh dengan mengoptimasikan faktor tumbuh tersebut.
Kelemahan model diagnostik ini adalah, hubungan ditetapkan dibawah kondisi
tertentu (under control), dimana hanya salah satu faktor peubah yang divariasikan
dan faktor lainnya dikondisikan tetap.
Altematifnya adalah membangun model empirik dimana data dikumpulkan
dari lokasi dengan zone tanah iklim yang lebar. Apabila kumpulan data tersebut
diplot dalam suatu hubungan antara salah satu faktor tumbuh dengan produksi
atau kualitas hasil, hasilnya adalah produksi rendah akan berada pada selang
faktor tumbuh yang lebar karena semakin banyak faktor pembatas lain yang
berpengaruh. Semakin tinggi produksi makin mengerucut bentuk sebaran data,
yang menunjukkan semakin sedikit faktor pembatas yang bekerja. Pola sebaran
data dibungkus oleh garis batas (boundary line), yang memisahkan data yang real
dari yang tidak real. Artinya kecil kemungkinan diperolehnya data diluar garis
batas tersebut.
Pengembangan kriteria kesesuaian lahan dihasilkan dengan menggunakan
proyeksi persimpangan antara garis batas dan selang produksi. Pengolahan data
menggunakan metode garis batas (Boundary Line Method) dan interpolasi Inverse
Distance Weighted (IDW) untuk mengetahui sebaran spasial.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa, karakteristik lahan yang optimal
untuk mendukung produksi tanaman kelapa sawit dijumpai pada tanah dengan
tekstur lempung berpasir, lempung liat berpasir dan lempung, elevasi <149 mdpl,
curah hujan antara 1.371 sampai 1.971 mm, bulan kering 1, bulan basah 6,
kedalaman efektif antara 82,3 sampai 110,9 cm, KTK >3,8 cmol(+).kg-1, pH
antara 4,9 sampai 6,5, C-organik >1,1%, KB >16,3%, kejenuhan Al <39,4%,
N-total >0,06%, P-tersedia >16,8 ppm, K-dd >0,1 cmol(+).kg-1 dan lereng <11,6%.
Secara agregat, tingkat kedetailan hasil analisis spasial kesesuaian lahan
menggunakan pengembangan kriteria meningkat 26% dibandingkan dengan
kriteria BBSDLP. Analisis spasial yang dilakukan diareal yang sama,
menunjukkan hasil bahwa pengembangan kriteria menunjukkan hasil yang lebih
detail yaitu S1, S2, S3 dan N, sedangkan kriteria BBSDLP menunjukkan 2 kelas
kesesuaian lahan yaitu S2 dan S3.
Kata kunci: Evaluasi lahan, produksi kelapa sawit, kriteria kesesuaian lahan,
boundry line, inverse diastance weighted, analisis spasial.
SUMMARY
Prasetyo MIMBORO. Establishing land suitability criteria for palm oil (Elaeis
guineensis Jacq.) at Nusantara III (Pvt limited) Plantation site, North Sumatra.
Supervised by WIDIATMAKA, Atang SUTANDI and Asdar ISWATI.
Oil palm (Elaeis guineensis Jacq.) is an important source of foreign
exchange earnings amongst oil sector with an ever increasing areal extant from
time to time. In 1990 oil palm plantations in Indonesia were 1.12 million hectares
which increased to 4.15 million hectares in 2000 and 9.07 million hectares in
2012. Palm oil has many advantages over other edible oil crops such as high
production per unit area, long economic life and multiples uses of its derivatives
in various industries both food and non-food.
Palm oil production is influenced by various factors including both
internal and external ones. Palm oil production is effected by various soil and land
characteristics in a plantation area. The greater diversity in production can be
managed by making objective oriented information available such as
characteristics of various types of soil; these information can then be used to
undertake specific land management actions and efforts to improve yield. Optimal
yield of palm oil can be achieved by using better quality seeds, selecting suitable
land fulfilling conditions for growth followed by sustainable land and farm
management. Thus for the establishment of palm oil and to obtain information
regarding the growing condition particularly land, it is inevitable to investigate
land characteristics and evaluate land suitability along with production at the same
time.
In the current research we used exploration survey method which aimed to
develop oil palm land suitability criteria at Nusantara Plantation-III (Pvt limited)
in North Sumatra, based on the production characteristics of soil and land. We
used production data (ton.ha-1), soil fertility parameters, rainfall data and land data
such as elevation, topography and effective depth. Land suitability criteria were
developed by using the projected intersection between the line and hose
production. Data was processed using Boundary Line Method. So far most of the
research done has used Diagnostic Model to check the correlation between growth
and production. Diagnostic Model considers the plant growth response governed
by various factors and based on this relationship optimal conditions are provided
to obtain maximum yield. The limitation of Diagnostic Model is that only one
factor effecting the growth and production can be made under control at one time
while remaining must remained constant.
The alternative to this is to develop an empirical model where data from
diverse climatic and soil backgrounds can be used. In this case when we plot the
data representing relationship of one growth factor versus yield or quality and if
the yield is low then we can modify the remaining factors that limit the production.
The data distribution will be more conical in shape when yield is high and limiting
factors are less. The data distribution pattern is marked by a boundary line which
separates the real and unreal data; this decreases the possibility of data to lie
outside the boundary line. We developed land suitability criteria by using the
projected intersection between the line and hose production. Data was processed
PRASETYO MIMBORO
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Tanah
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Untung Sudadi, M.Sc
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
karunia-Nya sehingga dapat menyelesaikan penulisan tesis ini. Tema yang dipilih
dalam penelitian ini adalah Pengembangan Kriteria Kesesuaian Lahan Tanaman
Kelapa Sawit (Elaeis gueneensis Jacq.) di Areal PT. Perkebunan Nusantara III,
Sumatera Utara.
Sesuai surat dari PPKS No: 25/PPKS/0.1/XII/2014 tanggal 22 Desember
2014, bagian dari tesis ini telah ditulis dan lolos peer review (Mitra Bestari) pada
Jurnal Penelitian Kelapa Sawit, Medan.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Widiatmaka, DAA,
Bapak Ir. Atang Sutandi, M.Si, PhD dan Ibu Dr. Ir. Asdar Iswati, MS selaku
komisi pembimbing, yang telah banyak membantu, mengarahkan dan
membimbing dalam pelaksanaan penelitian dan penyusunan tesis ini. Terima
kasih kepada Bapak Dr. Ir. Untung Sudadi M.Sc selaku dosen penguji luar komisi
pada ujian tesis. Selain itu, penghargaan dan terima kasih penulis ucapkan kepada
jajaran Direksi dan Manajemen PT. Perkebunan Nusantara-III Medan atas
kesempatan pendidikan, beasiswa, dukungan dan segala batuan materiil maupun
moril yang telah diberikan. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada istri
tercinta dan juga kepada anak-anakku yang telah menjadi penyemangat selama
saya menempuh studi, orang tua di Surabaya dan Kediri serta seluruh keluarga
atas segala doa, dukungan dan kasih sayangnya.
Akhir kata penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat memberikan
manfaat bagi praktisi perkebunan kelapa sawit khususnya dan masyarakat pada
umumnya.
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
viii
DAFTAR GAMBAR
ix
DAFTAR LAMPIRAN
ix
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Kerangka Pemikiran
1
1
2
3
3
2 TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Kelapa sawit
Kesesuaian Lahan untuk Kelapa Sawit
Metode Garis Batas (Boundary Line Methode) untuk menilai
hubungan karakteristik lahan dan produksi
6
6
7
7
3 METODE
Tempat dan Waktu
Bahan dan Alat
Pelaksanaan penelitian
Analisis Data
Peneraan Umur Tanaman
Hubungan Karakteristik Lahan dengan Produksi Tanaman
Kontribusi Karakteristik Lahan terhadap Kelas Produksi
Penyusunan Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Kelapa
Sawit
Uji Validasi
Analisis Spasial Penilaian Kesesuaian Lahan
9
9
10
10
10
10
11
11
14
14
16
17
17
17
17
17
20
20
20
20
21
24
25
26
11
12
13
29
30
31
33
35
38
39
41
42
44
44
44
45
49
51
54
54
54
DAFTAR PUSTAKA
55
LAMPIRAN
58
RIWAYAT HIDUP
66
DAFTAR TABEL
1.
15
2.
3.
16
27
11.
Struktur Matrik
Hasil Prediksi Letepatan Kelas Produksi berdasarkan Karakteristik
Lahan
Rangkuman Persamaan Hubungan Produksi dengan Umur Tanaman,
Peneraan Tanaman dan Parameter-parameter Karakteristik Lahan
Kriteria Kesesuaian Lahan berdasarkan Elevasi
12.
33
13.
35
14.
38
15.
39
16.
41
17.
42
18.
43
19.
45
20.
47
21.
22.
48
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
23.
24.
23
25
25
26
27
28
29
31
50
50
51
DAFTAR GAMBAR
1. Kerangka Pemikiran
8
13
16
19
23
30
32
34
37
38
40
42
52
53
DAFTAR LAMPIRAN
1. Kriteria Kesesuaian Lahan Kelapa Sawit
2. Hasil Analisis Regresi Linear Berganda Metode Stepwise dari
Hubungan Karakteristik Lahan dengan Produksi Teraan (ton.ha-1)
3. Perbandingan Kriteria Kesesuaian Lahan Kelapa Sawit
58
59
65
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) merupakan salah satu penghasil
devisa negara dari sektor perkebunan yang mengalami peningkatan luas tanam
dari tahun ke tahun. Pada tahun 2012, Indonesia memiliki areal perkebunan kelapa
sawit seluas 9.074.621 hektar dengan produksi 23.521.071 ton yang tersebar pada
berbagai kondisi tanah dan lahan dengan rata-rata peningkatan luas mencapai
5,45% per tahun dalam periode 2009 sampai 2012 (Ditjenbun, 2012). Produk
yang dihasilkan adalah crude palm oil (CPO) yang bisa dimanfaatkan baik sebagai
bahan pangan maupun sebagai salah satu alternatif pengganti bahan bakar minyak
melalui energi biodiesel (Chan, 2005). Konsumsi minyak kelapa sawit dunia pada
tahun 2050 diperkirakan mencapai 156 juta ton (Corley, 2009).
Kelapa sawit merupakan tanaman tahunan dari famili Palmae yang hidup
di daerah tropis. Berdasarkan kajian empiris dalam pustaka, kelapa sawit mampu
tumbuh baik pada suhu optimum antara 29 sampai 30oC. Curah hujan optimum
yang dikehendaki tanaman ini adalah antara 2.000 sampai 2.500 mm pertahun
dengan distribusi hujan merata sepanjang tahun tanpa ada bulan kering yang
berkepanjangan. Kondisi lahan ideal untuk pertumbuhan kelapa sawit adalah
wilayah dengan tanah yang subur dan gembur, pH antara 5,0 sampai 5,5,
kedalaman efektif yang dalam tanpa lapisan padas, serta kelerengan antara
0 sampai 15%. Ketinggian tempat yang dikehendaki tanaman kelapa sawit adalah
antara 0 sampai 400 m dpl (Sugiyono et al., 2003).
Keragaman produktivitas kelapa sawit antara lain disebabkan oleh
beragamnya karakteristik lahan, oleh karena itu untuk mencapai produksi yang
optimum diperlukan informasi tentang karakteristik lahan. Informasi ini sangat
penting untuk manajemen areal perkebunan secar spesifik. Karakteristik fisik
lahan merupakan faktor penting dalam budidaya tanaman kelapa sawit. Lahan
yang curam misalnya, memiliki potensi terjadinya kerusakan tanah akibat erosi
yang menyebabkan turunnya kandungan bahan organik tanah, kandungan unsur
hara dan ketersediaan air tanah bagi tanaman. Lebih lanjut Yahya et al. (2010)
menyatakan tanah-tanah yang mengalami erosi berat umumnya memiliki tingkat
kepadatan yang tinggi sebagai akibat terkikisnya lapisan atas tanah yang lebih
gembur.
Lahan memiliki sifat beragam, sehingga kemampuannya dalam mendukung
pertumbuhan tanaman berbeda-beda. Oleh karena itu, penggunaan lahan untuk
suatu komoditas (kelapa sawit) diperlukan evaluasi kesesuaian lahan terlebih
dahulu, sehingga diperoleh kepastian dapat dikembangkannya komoditas tersebut.
Evaluasi kesesuaian lahan untuk kelapa sawit perlu dilakukan sejak awal sebelum
rencana pengembangan areal perkebunan yang luas. Hal ini sangat penting
mengingat kelapa sawit merupakan jenis tanaman tahunan yang mempunyai umur
produktif panjang. Dengan demikian, dilakukannya evaluasi kesesuaian lahan
dapat menghindarkan petani dan perusahaan perkebunan dari risiko kegagalan
yang disebabkan ketidakcocokan lahan.
Evaluasi kesesuaian lahan merupakan proses penilaian potensi suatu lahan
untuk penggunaan tertentu. Hasil dari evaluasi kesesuaian lahan bermanfaat untuk
2
perencanaan penggunaan lahan yang rasional. Dengan demikian jika lahan sesuai
untuk tanaman kelapa sawit, maka lahan dapat digunakan secara optimal dan
lestari. Oleh itu, kajian kesesuaian lahan untuk kelapa sawit merupakan salah satu
mata rantai yang perlu dilakukan agar rencana usaha kelapa sawit dapat tersusun
dengan baik. Untuk memperoleh informasi maksimal mengenai kondisi lahan
lokasi yang ditanami kelapa sawit, perlu dilakukan kajian karakteristik lahan dan
produktivitasnya.
Perumusan Masalah
Kelapa sawit memerlukan kondisi fisik yang khas untuk pertumbuhan yang
optimal. Peningkatan produktivitas tanaman kelapa sawit per satuan luas
merupakan target utama dalam manajemen perkebunan kelapa sawit saat ini.
Perseroan Terbatas Perkebunan Nusantara-III (PTPN-III) merupakan salah satu
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) perkebunan yang mengusahai komoditi
kelapa sawit 70% (dari total luas areal) dan 30% diusahai tanaman karet, sehingga
kelapa sawit merupakan tumpuan bagi kesejahteraan karyawan dan masyarakat
disekitarnya.
Permasalahan yang umum dihadapi pada perkebunan milik negara, adalah
manajemen perkebunan menganggap kondisi lahan tidak berpengaruh besar
terhadap produksi kelapa sawit sehingga memberikan target produksi yang
seragam pada berbagai kondisi lahan yang berbeda serta pengelolaan di lapangan
yang kurang memenuhi standart. Hal ini berdampak negatif dalam proses
pengelolaan perkebunan, pemanenan tandan buah segar (TBS), transportasi TBS
dan pengolahan TBS di Pabrik Kelapa Sawit (PKS) sehingga sering dilakukan
tindakan yang tidak sesuai dengan manajemen kebun yang baik. Tindakan
tersebut menimbulkan risiko jangka panjang yaitu penurunan produktivitas lahan
dan pencemaran lingkungan (Hasibuan, 2005).
Produktivitas lahan perkebunan yang rendah terlihat dari pencapian
produktivitas rataan nasional minyak kelapa sawit (CPO) Indonesia adalah 2,7
ton.ha-1, dengan rincian produktivitas perkebunan swasta 2,6 ton.ha-1, perkebunan
rakyat 2,4 ton.ha-1 dan perkebunan negara 3,1 ton.ha-1 (Ditjenbun, 2011). Selain
produksi yang rendah, pengelolaan yang tidak memenuhi standar juga berdampak
terhadap umur ekonomis kelapa sawit yang lebih pendek dari normal sekitar 25
tahun (Adiwiganda, 2005).
Beberapa hal yang mendasari penelitian ini adalah beberapa masalah,
diantaranya:
1. Bagaimanakah hubungan antara karakteristik lahan dengan produksi kelapa
sawit?
2. Apakah kriteria kesesuaian lahan kelapa sawit yang ada pada saat ini
layak/sesuai
diterapkan
di
PTPN-III,
Sumatera
Utara
dengan
mempertimbangkan aspek produksi tanaman? Dapatkah dikembangkan kriteria
kesesuaian lahan kelapa sawit yang relevan dengan produksi tanaman di
PTPN-III?
3. Bagaimanakah validitas hasil pengembangan kriteria dengan kriteria kelapa
sawit yang sudah ada?
3
4. Bagaimanakah perbandingan sebaran spasial kesesuaian lahan
pengembangan kriteria dan kriteria kelapa sawit yang sudah ada?
hasil
Tujuan Penelitian
Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengembangkan kriteria
kesesuaian lahan kelapa sawit yang relevan dengan produksi. Tujuan spesifik
penelitian ini adalah:
1. Mempelajari hubungan karakteristik lahan dengan produktivitas kelapa sawit.
2. Menyusun kriteria kesesuaian lahan untuk tanaman kelapa sawit yang relevan
dengan produksi tanaman.
3. Melakukan uji validasi hasil pengembangan kriteria kesesuaian lahan dan
membandingkan dengan kriteria BBSDLP.
4. Membuat sebaran spasial dari hasil uji validasi dan membandingkan antar kelas
kesesuaian lahan
Kerangka Pemikiran
Kelapa sawit merupakan salah satu tanaman perkebunan yang banyak
diusahakan di Indonesia dan mempunyai potensi tinggi. Saat ini tanaman ini
merupakan komoditas utama di PTPN-III, Sumatera Utara dengan sistem
pengelolaan lahan yang mengacu pada kriteria yang sudah ada. Kriteria
kesesuaian lahan yang ada pada umumnya masih didasarkan pada perkiraan sifat
lahan secara relatif dan belum dikaitkan dengan perkiraan produksi yang
diperoleh. Untuk memperoleh potensi produksi yang ingin dicapai, maka kriteria
kesesuaian lahan perlu dibangun dengan pendekatan produksi tanaman kelapa
sawit. Sampai saat ini, PTPN-III belum memiliki kriteria kesesuaian lahan untuk
tanaman kelapa sawit yang berkorelasi dengan produksi tanaman.
Produktivitas kelapa sawit PTPN-III pada tahun 2013 adalah 23,24 ton.ha-1.
Menurut Pahan (2008) produksi TBS yang tertinggi didapatkan dari daerah yang
rata-rata suhu tahunannya berkisar 25-27oC. Produksi TBS/tahun juga dipengaruhi
oleh jumlah jam efektif penyinaran matahari. Panjang penyinaran yang diperlukan
kelapa sawit adalah 5-12 jam/hari dengan kondisi kelembaban udara 80%,
keragaman produktivitas kelapa sawit antara lain disebabkan beragamnya sifat
tanah dan lahan di areal kelapa sawit. Sehubungan dengan tingginya keragaman
tersebut maka informasi yang lebih obyektif tentang sifat-sifat fisik tanah di setiap
jenis tanah sangat diperlukan untuk lebih mengarahkan tindakan manajemen tanah
serta upaya pemeliharaan kultur teknis kelapa sawit. Untuk memperoleh informasi
mengenai kondisi lahan pada daerah yang ditanami kelapa sawit, maka dilakukan
evaluasi lahan (Wigena et al., 2009).
Evaluasi kesesuaian lahan merupakan kegiatan yang sangat penting dalam
merancang pengelolaan sebidang lahan yang sesuai dengan potensinya. Kegiatan
ini merupakan suatu proses penilaian sumberdaya lahan untuk tujuan penggunaan
tertentu menggunakan pendekatan atau cara yang sudah teruji. Keluarannya
adalah alternatif pilihan penggunaan lahan yang optimum di masa mendatang
dengan mempertimbangkan aspek fisik dan sosial ekonomi serta konservasi
sumberdaya alam (FAO, 1986; Erningpraja et al., 2006).
4
Dengan alasan tersebut, maka dilakukan penelitian untuk membangun
kriteria kesesuaian lahan tanaman kelapa sawit yang berkorelasi dengan produksi
tanaman, agar hasil penilaian evaluasi lahan yang diperoleh benar-benar
memberikan gambaran produksi dan potensi lahannya untuk memperoleh
pengelolaan yang sesuai dengan potensi lahannya. Hal ini sangat bermanfaat
untuk manajemen kebun establish ke depan, karena penentuan target produksi
akan lebih mendekati potensi lahan yang ada di masing-masing kebun/lokasi
sehingga pencapaian produksi sawit optimal, dengan pengelolaan kebun dilakukan
secara berkelanjutan dan lestari.
Sudah banyak penelitian dilakukan untuk melihat korelasi antara
pertumbuhan /produksi dengan babagai faktor. Alasannya adalah jika hubungan
yang khas antara satu faktor tumbuh dengan respon tanaman dapat didefmisikan
maka pertumbuhan produksi maksimum dapat diperoleh dengan
mengoptimasikan faktor tumbuh tersebut. Hubungan tersebut seringkali
ditetapkan untuk kepeduan berbagai model diagnostik (Escano et al., 1981).
Hubungan tersebut ditetapkan dibawah kondisi tertentu (under control),
dimana hanya salah satu faktor peubah yang divariasikan dan faktor lainnya
dikondisikan tetap. Konsekuensinya hubungan tersebut hanya khas dan spesifik
pada kondisi dimana percobaan dilakukan. Padahal pengaruh faktor tumbuh akan
berubah dengan kondisi yang berubah, akibat dari interaksi dengan faktor lainnya.
Dengan demikian model hubungan yang diperoleh menjadi tidak dapat digunakan
secara luas.
Altematifnya adalah membangun model empirik dimana data dikumpulkan
dari lokasi dengan zone tanah iklim yang lebar. Apabila kumpulan data tersebut
diplot dalam suatu hubungan antara salah satu faktor tumbuh dengan produksi
atau kualitas hasil, hasilnya adalah produksi rendah akan berada pada selang
faktor tumbuh yang lebar, karena semakin banyak faktor pembatas lain yang
berpengaruh. Semakin tinggi produksi makin mengerucut bentuk sebaran data,
yang menunjukkan semakin sedikit faktor pembatas yang bekerja (Sumner dan
Farina, 1986). Pola tersebut mengikuti hukum minimum J.V. Liebig. Pola sebaran
data dibungkus oleh garis batas (boundary line), yang memisahkan data yang real
dari yang tidak real. Artinya kecil kemungkinan diperolehnya data diluar garis
batas tersebut (Walworth and Sumner, 1986).
Dari perpotongan garis batas dengan sekat produksi kelas kesesuaian lahan,
dan proyeksi titik potong tersebut pada sumbu x (karakteristik lahan) maka dapat
diperoleh kriteria klasifikasi kesesuaian lahan. Sekat produksi antaraS1 dan S2,
antara S2 dan S3, berturut-turut adalah 80 dan 60 % dari produksi maksimum,
sedangkan sekat produksi antara S3 dan N adalah didasarkan kepada titik impas
(break event point) dari pengusahaan tanaman.
Metode Boundary Line merupakan salah satu metode untuk menentukan
produktivitas suatu komoditas (Walworth et al., 1986). Tahap pertama adalah
pembuatan sebuah nilai standar. Metode ini menggunakan pendekatan survey
untuk penetapan standar yang didasarkan pada respons tanaman terhadap faktorfaktor lingkungannya. Jika suatu set data telah dikumpulkan, data-data produksi
dapat diplot terhadap status hara atau faktor-faktor lingkungan dalam sebuah atau
beberapa grafik. Sebaran atau distribusi titik-titik observasi tersebut akan patuh
terhadap suatu model. Dengan demikian garis paling atas akan merepresentasikan
batas, pada kondisi mana produksi aktual dibatasi oleh variable yang di plot pada
5
absis. Puncak (peak) observasi menunjukkan nilai optimal bagi kombinasi
produksi faktor yang di plot pada absis. Sebaliknya, garis paling bawah
merepresentasikan respons produksi pada kondisi yang paling tidak optimal.
Menurut Sutandi dan Barus (1996), pendekatan survey merupakan pendekatan
yang paling memungkinkan untuk menetapkan standar pada metode ini.
Data tersebut diplot sebaran diagramnya sehingga sebaran data lebih
banyak pada produksi rendah dengan kadar hara rendah daripada kadar hara tinggi.
Hal ini disebabkan oleh karena petani lebih banyak bekerja pada dosis rendah,
daripada pemupukan berlebihan, dan kelebihan unsur hara juga dapat
menyebabkan produksi rendah. Dari rataan komposisi hara pada sub populasi
produksi tinggi diperkirakan pada keadaan optimal. Koefisien keragaman dari
sebaran data sub populasi tinggi diperoleh untuk mengukur sebaran relatif dari
respon pada tingkat produksi yang lebih tinggi. Kelompok produksi tinggi
merupakan cerminan dari kondisi optimum dimana jumlah faktor pembatas sudah
lebih banyak berkurang dibanding pada kelompok produksi rendah. Pertumbuhan
dan produksi tanaman yang terjadi dalam periode ditentukan oleh interaksi antara
iklim, tanah, tanaman dan pengelolaannya. Pada lingkungan tanah dan iklim
tertentu dapat dikatakan bahwa produksi tanaman merupakan fungsi dari berbagai
karakteristik lahan disekitranya. (Hermantoro dan Purnawan, 2009). Sejumlah
faktor pembatas yang membatasi produksi pada tingkat rendah, semakin dikurangi
faktor pembatas tersebut, maka produksi akan semakin tinggi (Widiatmaka et al.,
2014). Dengan demikian, boundary line dapat digunakan untuk mencari kisaran
nilai kecukupan untuk hara maupun parameter yang lainnya (Walworth et al.,
1986). Secara keseluruhan, kerangka pemikiran penelitian ini disajikan pada
Gambar 1.
Bahan Tanaman
Pengelolaan kebun
Tanah
Iklim (Curah
Hujan, Suhu,
Kelembapan)
Syarat Tumbuh
Tanaman
Karakteristik Lahan
Kedalaman
Efektif
Lereng
Pemeliharaan
Pemupukan
Pengelolaan
Spesifik Lokasi
Produksi Tanaman
Manajemen
Target Produksi
Keuntungan
PAO
Asumsi
semua kondisi lahan sama
=
potensi produksi sama
Evaluasi Lahan
2 TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Kelapa Sawit
Kelapa sawit (Ealeis guineensis Jacq) merupakan jenis tanaman palma asli
Afrika. Tanaman ini awalnya ditanam di Kebun Raya Bogor sebagai tanaman hias.
Seiring berjalannya waktu, kelapa sawit diusahakan untuk tanaman perkebunan
sebagai penghasil minyak nabati yang memiliki banyak manfaat baik di bidang
pangan maupun non pangan. Tanaman kelapa sawit termasuk ke dalam divisi
Embryophita Siphonogama, kelas Angiospermae, ordo Monocotiledone, famili
Arecaceae/Palmae, subfamili Cocodiae, genus Elaeis dengan spesies Elaeis
guineensis Jacq, Elaeis oleifera (H.B.K) cortes dan Elaeis odora (Pahan, 2008).
Kelapa sawit dapat tumbuh dengan baik di daerah-daerah dengan curah
hujan 1.500 sampai 4.000 mm/tahun. Akan tumbuh secara optimal di daerah
dengan curah hujan 2.000 sampai 3.000 mm/tahun dengan sebaran merata
sepanjang tahun. Suhu optimum yang dikehendaki kelapa sawit adalah 24 sampai
28oC, namun juga masih dapat tumbuh dengan suhu terendah 18oC dan tertinggi
32oC (Mulyani et al., 2003).
Secara umum kelapa sawit dapat berproduksi sepanjang tahun. Buah akan
terbentuk setelah bunga mengalami penyerbukan dan waktu yang diperlukan dari
penyerbukan sampai buah matang secara fisiologis sangat dipengaruhi oleh iklim.
Setelah di tanam di lapangan, bakal bunga akan terbentuk sekitar 33 sampai 34
bulan sebelum bunga mekar (anthesis), sedangkan penentuan terjadinya bunga
jantan atau betina terjadi sekitar 14 bulan sebelum bunga mengalami anthesis
(Breure dan Mendez, 1990). Oleh sebab itu waktu yang dibutuhkan untuk
membentuk buah pada suatu daerah dapat saja berbeda dengan daerah yang
lainnya. Jumlah tandan per pohon tanaman kelapa sawit tergantung pada laju
produksi daun, rasio seks bunga, dan kegagalan pembentukan tandan akibat
terjadinya aborsi bunga (Corley dan Thinker, 2003). Jumlah tandan per pohon
cenderung menurun sejalan dengan bertambahnya umur tanaman, sedangkan berat
tandan akan meningkat seiring dengan bertambahnya umur tanaman.
Dalam kondisi lingkungan dan pengelolaan yang optimal tandan buah
kelapa sawit umumnya dapat dipanen untuk pertama kalinya setelah tanaman
berumur 30-36 bulan di lapangan. Produktivitas tanaman akan terus meningkat
sejalan dengan bertambahnya umur tanaman dan akan mencapai maksimum pada
saat tanaman berumur 8-12 tahun di lapangan. Setelah itu produktivitasnya akan
berangsur-angsur menurun dengan semakin tuanya umur tanaman hingga umur
ekonomis tanaman yaitu 25 tahun (Corley dan Thinker, 2003).
Kelapa sawit memiliki umur yang sangat panjang, namun untuk usaha
perkebunan kelapa sawit umumnya hanya diusahakan selama 25 tahun. Hal
tersebut berkaitan dengan semakin tingginya pohon kelapa sawit sehingga akan
semakin sulit untuk memanen tandan buahnya dan biaya yang dikeluarkan
dianggap menjadi tidak ekonomis. Selain itu tanaman kelapa sawit yang sudah tua
(>20 tahun) umumnya produksi mulai turun sehingga dianggap tidak ekonomis
untuk terus diusahakan. Berdasarkan hal tersebut maka kelapa sawit akan ditanam
ulang (replanting) setelah tanaman berumur 25 tahun.
8
1986) (Gambar 3). Dari gambar tersebut terlihat sejumlah n faktor pembatas yang
membatasi produksi pada tingkat rendah, kemudian semakin berkurang faktor
pembatas tersebut maka produksi bertambah tinggi. Apabila salah satu faktor
pembatas dikoreksi, maka produksi akan naik akan tetapi masih tetap dipengaruhi
oleh sejumlah n-1 faktor pembatas.
Semakin banyak faktor pembatas yang dikoreksi maka produksi semakin
meningkat. Garis batas terdapat di bagian sebelah kiri dan sebelah kanan sebaran
data dan mengerucut ke atas. Garis batas tersebut menggambarkan bahwa semakin
tinggi produksi maka semakin kecil selang kadar hara. Dengan demikian garis
paling atas akan menggambarkan batas pada kondisi produksi aktual yang dibatasi
oleh variabel yang diplot pada absis. Puncak observasi merepresentasikan nilai
optimal produksi dengan faktor yang diplot pada absis. Sementara garis paling
bawah mempresentasikan respon produksi pada kondisi yang tidak optimal
(Sumner dan Ferina, 1986) .
Yieldt/ha
Leaf N/DM
3 METODE
Tempat dan Waktu
Penelitian dilakukan di lingkup PTPN-III, Sumatera Utara. Lokasi
pengambilan data didelapan Distrik yaitu; Distrik Labuhan Batu-I, Distrik
Labuhan Batu-II, Distrik Labuhan Batu-III, Distrik Asahan, Distrik Simalungun,
Distrik Deli Serdang-I, Distrik Deli Serdang-II dan Distrik Tapanuli Selatan.
Penelitian dilaksanakan selama enam bulan yaitu dari bulan Desember 2013
sampai Mei 2014.
10
Peneraan Umur Tanaman
Seperti tanaman tahunan pada umumnya, selain merupakan respon dari
sifat-sifat biofisik lahan, pertumbuhan dan produksi kelapa sawit juga dipengaruhi
umur tanaman dan kegiatan budidaya. Setiap tanaman secara genetik mempunyai
umur optimum untuk berproduksi secara maksimal. Produksi kelapa sawit
meningkat dengan semakin bertambahnya umur tanaman sampai umur optimum
tertentu, selanjutnya produksi menurun dengan semakin bertambahnya umur
tanaman.
Karakteristik lahan dan produktivitas dapat diperbandingkan satu sama
lain, setelah dilakukan peneraan umur tanaman. Data produksi setiap sampel dapat
dibandingkan satu sama lain setelah dilakukan peneraan umur tanaman (Sutandi
dan Barus, 2007). Peneraan dilakukan untuk menghilangkan pengaruh faktor
umur, karena umur tanaman dilapangan sangat beragam.
Persamaan hubungan yang harus dibangun dalam menera umur terhadap
data produksi tanaman yang diperoleh dilapangan adalah persamaan regresi.
Persamaan tersebut dibangun dari hubungan faktor umur sebagai variabel
independen dengan produksi TBS ton.ha-1 sebagai variabel dependen. Peneraan
dilakukan dengan analisis korelasi dan regresi antara umur dengan produksi aktual
tanaman sehingga diperoleh persamaan untuk mencari produksi dugaan
berdasarkan umur. Peneraan dilakukan dengan meluruskan garis persamaan
regresi antara produksi aktual dengan umur tanaman sejajar dengan sumbu x
(umur tanaman). Garis peneraan ini merupakan rataan dari total data secara
keseluruhan.
Model peneraan yang digunakan adalah sebagai berikut (Rathfon dan
Burger, 1991):
i = f(t)
i = produksi dugaan menurut umur
t = umur (tahun)
Yti = Y + (Yi i)
dimana
Yti = produksi teraan contoh ke i
Y = rataan umum contoh produksi aktual
Yi = produksi aktual contoh ke i
i = produksi dugaan menurut umur
Selanjutnya yang dimaksud dengan produksi dalam bahasa penelitian ini adalah
produksi teraan.
Hubungan Karakteristik Lahan dengan Produksi Tanaman
Hubungan karakteristik lahan dengan produksi TBS (ton.ha-1) tanaman
teraan dianalisis regresi berganda dengan metode stepwise. Pemodelan ini
bertujuan untuk menentukan hubungan antara karakteristik lahan dengan produksi
tanaman. Berdasarkan pemodelan tersebut, diperoleh variabel karakteristik lahan
yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap produksi dengan melakukan
seleksi atas variabel produksi tanaman.
11
Kontribusi Karaktersitik Lahan terhadap Kelas Produksi
Analisis diskriminan digunakan untuk melihat kontribusi karakteristik lahan
terhadap kelas produksi kelapa sawit yaitu produksi sangat baik, baik, sedang, dan
buruk. Analisis diskriminan ini menggunakan metode stepwise (pendekatan
bertahap). Pemilihan metode stepwise dimaksudkan untuk mengeluarkan variabelvariabel karakteristik lahan yang terdeteksi saling kolinear (multikoliearitas),
sehingga diperoleh variabel-variabel karakteristik lahan yang berkontribusi tinggi
terhadap kelas produksi.
Penyusunan Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Kelapa Sawit
Selang kriteria kesesuaian lahan dari kelas S1, S2, S3 dan N ditentukan
batasnya dengan metode garis batas (boudary line method). Diagram sebar
hubungan antara produksi teraan dan karakteristik lahan dibungkus oleh garis
batas terluar. Garis tersebut berupa satu atau dua garis persamaan regresi linier
sederhana (simple regression) yang dibangun dari titik-titik terluar dari sebaran
data hubungan antara karakteristik lahan dengan produksi teraan. Pola garis batas
terluar yang dipilih adalah yang logis dan mempunyai koefisien determinan (R2)
tertinggi (Purnama, 2011).
Proyeksi titik potong antara persamaan garis batas (boundary lines)
dengan sekat produksi pada sumbu x (karakteristik lahan) merupakan kriteria
kesesuaian lahan. Sekat produksi yang digunakan untuk kelas S1 dan S2 mengacu
terhadap kriteria FAO (1986), yaitu lahan dengan kesesuaian S1 dengan tingkat
produksi sangat baik adalah >80% dari produksi maksimum dan kelas kesesuaian
S2, mempunyai tingkat produksi baik (60% sampai 80% dari produksi
maksimum). Dalam penelitian ini, kelas S3 dengan tingkat produksi sedang
digunakan selang produksi dari Break Event Point (BEP) yaitu 29,79% sampai
60% dari produksi maksimum, sedangkan untuk kelas N dengan tingkat produksi
buruk yaitu lebih rendah dari (<29,79% dari produksi maksimum). Apabila
kesesuaian lahan untuk tanaman kelapa sawit dengan produksi di bawah BEP,
maka tidak menguntungkan secara nilai ekonomis untuk usaha perkebunan.
Perhitungan Break Event Point (BEP) produksi diperoleh dari biaya
tanaman, harga pokok dan luas kelapa sawit PTPN-III pada tahun penelitian
(Anonim, 2013). Dengan perhitungan komponen BEP sebagai berikut:
a. Biaya tanaman (T-0 s/d TM 22th)
b. Harga pokok (Rp/Kg)
c. Luas kelapa sawit
(
: Rp. 1.761.535.000
: Rp. 2.285,67
: 75.782,13 hektar
)
12
Berdasarkan perhitungan tersebut, BEP produksi kelapa sawit dalam penelitian ini
adalah 10,17 ton.ha-1 atau 29,79% dari produksi maksimum yaitu 34,13 ton.ha-1.
Uji Validasi
Uji validasi dilakukan terhadap kriteria kesesuaian lahan yang dihasilkan
terhadap data produksi tanaman dan karakteristik lahan. Uji validasi dilakukan
terhadap 10% dari total jumlah data yang dianalisis. Setelah itu, dilakukan
penilaian kesesuaian lahan pada beberapa data karakteristik lahan dengan
menggunakan prinsip faktor pembatas ( Widiatmaka et al., 2014).
Pengamatan lapangan:
Karakteristik lahan
Aspek tanaman:
Umur
Produksi (ton.ha-1)
Tabulasi dan
Olah data
Peneraan umur
tanaman
Uji validasi
(Produksi teraan)
Kriteria BBSDLP
13
14
Tabel 1 Luas Areal Statement PTPN-III (Persero)
Nama Kebun
Distrik Labuhanbatu-I
Kebun Bukit Tujuh
Kebun Sei Meranti
Kebun Sei Daun
Kebun Torgamba
Jumlah
Distrik Labuhanbatu-II
Kebun Sei Baruhur
Kebun Sei Kebara
Kebun Aek Torop
Kebun Aek Raso
Jumlah
Distrik Labuhanbatu-III
Kebun Sei Sumut
Kebun Aek Nabara Utara
Kebun Aek Nabara Selatan
Kebun Rantau Prapat
Kebun Mambang Muda
Kebun Labuhan Haji
Kebun Merbau Selatan
Jumlah
Distrik Asahan
Kebun Sei dadap
Kebun Pulau Mandi
Kebun Ambalutu
Kebun Bandar Selamat
Kebun Huta Padang
Kebun Sei Silau
Jumlah
Distrik Simalungun
Kebun Dusun Hulu
Kebun Bangun
Kebun Bandar Betsy
Jumlah
Distrik Deli Serdang-I
Kebun Gunung Para
Kebun Gunung Pamela
Kebun Gunung Monako
Kebun Silau Dunia
Jumlah
Distrik Deli Serdang-II
Kebun Sarang Giting
Kebun Rambutan
Kebun Tanah Raja
Kebun Sei Putih
Jumlah
Distri Tapanuli Selatan
Kebun Hapesong
Kebun Batang Toru
Jumlah
Luas (ha)
3.847,06
7.105,90
7.141,67
6.098,37
24.193,00
5.823,10
5.821,19
5.561,15
3.065,70
20.271,14
5.598,93
3.575,20
7.201,88
3.563,39
2.704,15
3.104,16
3.237,95
28.985,56
4.459,43
3.619,43
3.018,69
3.570,34
4.315,52
5.515,28
24.588,69
4.444,31
2.864,75
4.754,50
12.063,56
3.506,47
3.888,16
1.975,62
4.107,48
13.477,73
2.744,65
6.405,06
3.234,29
2.632,66
15.016,66
2.998,87
3.238,27
6.237,14
15
Keadaan Lokasi Penelitian
Perseroan Terbatas Perkebunan Nusantara-III sebagai BUMN di bawah
Kementerian Badan Usaha Milik Negara, disusun atas dasar prinsip agroindustri.
Jenis usaha yang dilakukan adalah: (1) Perkebunan Kelapa Sawit, (2) Perkebunan
Karet, (3) Pabrik Kelapa Sawit, (4) Pabrik Pengolahan Karet, (5) Rumah Sakit, (6)
Pusat Pelatihan dan Wisata Agro Sei Karang, (7) Kawasan Industri Sei Mangke
serta beberapa anak perusahaan yang bergerak pada masing-masing bidang usaha.
PTPN-III mempunyai total luas areal 164.308,71 hektar, dimana untuk komoditi
kelapa sawit seluas 116.780,30 hektar dan komoditi karet seluas 47.528,41 hektar,
secara rinci ditampilkan pada (Tabel 2):
Tabel 2 Luas areal PTPN-III
Uraian
Kebun Sendiri (Inti)
Kebun Plasma
Jumlah
KSO
Sumber: Laporan Kinerja PTPN-III, 2013
16
Deskripsi Distrik
Distrik adalah unit kerja bisnis yang dibentuk setelah penggabungan PTP III,
PTP IV dan PTP V menjadi PTPN-III melalui program transformasi bisnis.
Distrik di tahun 2000-an akrab disebut dengan Inspektorat. Distrik merupakan
unit kerja ke-2 (dua) setelah kantor direksi Medan. Secara manajemen kerja,
Distrik membawahi beberapa Kebun/Unit Kerja (Pabrik Pengolahan Karet dan
Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit) yang berada diwilayah kerjanya masing-masing.
Deskripsi Kebun
Kebun merupakan unit kerja ke-3 (tiga) setelah kantor Direksi dan Distrik.
Secara manajemen kerja. kebun dikepalai oleh seorang Manajer Kebun. Luas satu
kebun rata-rata 4.000-5.000 hektar membawahi beberapa unit kerja
(afdeling/divisi).
Deskripsi Afdeling/ Divisi
Afdeling/Divisi adalah satuan manajemen unit kerja di bawah tingkat kebun,
yang dikepalai oleh seorang Asisten Afdeling/Asisten Divisi. Luas 1
afdeling/divisi antara 750-1.000 hektar, tergantung pada jenis komoditi yang
diusahai.
Deskripsi Blok
Blok merupakan satuan unit kerja lapangan terkecil di bawah manajemen
afdeling dengan luas rata-rata 25 hektar. Dengan ukuran panjang: 1.000 meter dan
lebar: 250 meter, dimana dalam panjang 1.000 meter terdapat 128 baris tanaman
(jarak antar baris 7,8 meter) dan dalam lebar 250 meter terdapat 28 pohon (jarak
antar pohon 9 meter) sehingga kerapatan pohon sejumlah 143 pohon/hektar
dengan total jumlah pohon ideal 3.575 pohon/blok.
17
18
Distrik Tapanuli Selatan terletak di Kabupaten Tapanuli Selatan
Letak geografis berada pada 0o5835 - 2o733 Lintang Utara dan 98o4250
o
- 99 3416 Bujur Timur dengan luas daerah 433.470 ha. Secara adminsitrasi
Kabupaten Tapanuli Selatan berbatasan dengan, Kabupaten Padang Lawas Utara
disebelah utara, Kabupaten Mandailing Natal dan Propinsi Sumatera Barat
disebelah selatan, Kabupaten Padang Lawas disebelah timur dan Kabupaten
Mandailing
Natal
dan
Samudera
Indonesia
disebelah
barat
(http://www.tapanuliselatankab.go.id/, 2014).
19
20
Subgroup di Distrik Labuhan Batu-III dan Distrik Asahan diklasifikasikan
sebagai Typic Dystrudepts. Subgroup di Distrik Labuhanbatu-III selain Typic
Dystrudepts juga ditemui Typic Endoaquepts. Endoaquepts adalah tanah yang
mempunyai epipedon histik, mengandung bahan sufidik pada kedalaman 50 75
cm, mempunyai rejim kelembaban akuik dan telah mengalami perkembangan
profil, kandungan C-organik tinggi (12-18%) dengan ketebalan >40 cm.
Karakteristik Tanah Terkait dengan Produksi Kelapa Sawit
Karakterisasi dilakukan terhadap beberapa sifat tanah, terutama yang
berpengaruh terhadap produksi tanaman kelapa sawit. Contoh tanah yang
dianalisis diambil dari lokasi yang menggambarkan tingkatan produksi yang
bervariasi dari rendah sampai tinggi di masing-masing wilayah penelitian.
Produktivitas tanaman yang tinggi dapat diharapkan pada tanah-tanah yang kaya
akan unsur hara (Rahmawaty et al., 2012).
Karakteristik tanah yang dianalisis adalah karakteristik tanah yang terkait
dengan produksi tanaman yaitu tekstur, pH, kejenuhan Al, C-organik, P-tersedia,
N-total, basa-basa yang dapat ditukar, KTK dan KB. Beberapa karakteristik tanah
tersebut dinilai secara kualitatif berdasarkan kriteria PPT (1983). Secara umum
tanah-tanah disemua Distrik lokasi penelitian mempunyai tekstur lempung
berpasir sampai lempung liat berpasir. Kandungan pasir keseluruhan distrik
berada diatas 50% dengan kandungan liat yang relatif sedikit sekitar 20%. Kondisi
pH tanah umumnya bereaksi agak masam dengan pH secara umum <6,5. Nilai
kejenuhan Al berkisar dari sangat rendah hingga sangat tinggi. Menurut kriteria
PPT (1983), secara kualitatif kadar C-organik, N-total dan P-tersedia pada tanahtanah dilokasi penelitian bervariasi dari sangat rendah sampai sangat tinggi.
Beberapa karakteristik tanah yang terkait dengan kemampuan tanah dalam
mensuplai hara diantaranya adalah kadar kation-kation basa, nilai KTK dan
kejenuhan basa. Berdasarkan kriteria PPT (1983), contoh-contoh tanah dari daerah
pengamatan memiliki kadar Na sangat rendah hingga rendah, kadar K, Ca dan Mg
sangat rendah hingga tinggi. Nilai KTK secara umum sangat rendah hingga sangat
tinggi. Kejenuhan basa (KB) merupakan rasio antara jumlah kadar basa-basa Ca,
Mg, Na dan K dengan nilai KTK. Pada tanah-tanah dilokasi penelitian nilai KB
berkisar dari sangat rendah sampai sangat tinggi.
Hasil ekstraksi data tekstur dan sifat kimia tanah dari laporan hasil analisis
kesuburan tanah yang dilakukan oleh PPKS tahun 2010 diwilayah penelitian dapat
dilihat pada Tabel 3:
21
Tabel 3 Jenis Tanah, Tekstur dan Karakteristik Lahan secara umum dilokasi penelitian
No.
Distrik
1. Labuhan Batu-I
Subgroup
Karakteristik Tanah
Tekstur
pH H2 O
rata-rata
kisaran
Ultisol
Typic Paleudults,
Typic Hapludults
Typic Paleudults,
Lempung berpasir,
Liat berpasir,
Lempung berpasir
4,87
M
5,30 - 4,00
M - SM
Kejenuhan Al
rata-rata
kisaran
(%)
33,22
80,98 - 4,40
T
ST - SR
C-organik
N-total
rata-rata
kisaran
rata-rata
kisaran
(%)
(%)
1,67
2,74 - 0,93
0,14
0,22 - 0,9
R
S - SR
R
S - ST
2.
Labuhan Batu-II
Ultisol
Typic Hapludults
Lempung,
Lempung berdebu,
Lempung liat berpasir,
Liat berpasir,
Lempung berpasir
5,81
AM
7,40 - 4,60
N-M
24,97
T
83,47 - 0,62
ST - SR
1,2
R
2,44 - 0,59
S - SR
0,13
R
0,44 - 0,07
S - SR
3.
Labuhan Batu-III
Ultisol dan
Inceptisol
Typic Paleudults,
Typic Dystrudepts,
Typic Hapludults,
Typic Endoaquepts,
Typic Kandiudults
5,26
AM
6,30 - 4,50
AM - M
30,4
T
77,84 - 0,80
ST - SR
1,8
R
20,65 - 0,61
ST - SR
0,17
R
1,23 -0,08
ST - SR
4. Asahan
Ultisol dan
Inceptisol
Typic Paleudults,
Typic Hapludults,
Typic Dystrudepts,
Liat berpasir,
Pasir berlempung,
Lempung berpasir,
Lempung liat berpasir,
5,48
AM
7,30 - 4,30
N - SM
11,66
S
72,61 - 0,38
ST - SR
1,14
R
2,10 - 0,18
S - SR
0,16
R
0,22 - 0,06
S - SR
5. Simalungun
Ultisol
Typic Hapludults
Liat berpasir,
Lempung liat berpasir
6,02
AM
7,30 - 5,40
N - AM
14,43
S
53,53 - 0,52
ST - SR
1,15
R
1,75 - 0,64
S - SR
0,16
R
0,21 - 0,12
S-R
6. Deli Serdang-I
Ultisol
Typic Hapludults
6,46
AM
7,90 - 5,60
AA - AM
3,63
SR
16,04 - 0,50
S -SR
1,06
R
2,99 - 0,49
S - SR
0,17
R
0,42 - 0,08
S - SR
7. Deli Serdang-II
Ultisol dan
Inceptisol
Typic Dystrudepts,
Typic Hapludults,
Typic Paleudults
6,43
AM
7,60 -5,10
AA - M
6,11
R
44,59 - 0,38
ST - SR
0,95
SR
1,47 - 0,52
S - SR
0,14
R
0,19 - 0,07
R - SR
8. Tapanuli Selatan
Ultisol
Typic Hapludults,
Typic Paleudults
Liat berpasir,
Pasir berlempung,
Lempung liat berpasir
5,27
6,40 - 4,30
25,63
80,47 - 0,48
1,79
R
3,04 - 1,20
T- R
0,18
R
0,22 - 0,18
S-R
AM
AM - SM
ST - SR
21
22
Tabel 3 Jenis Tanah, Tekstur dan Karakteristik Lahan secara umum dilokasi penelitian
No.
Karakteristik Tanah
Distrik
1. Labuhan Batu-I
P-tersedia
Na
K
Ca
Mg
KTK
KB
rata-rata
kisaran
rata-rata
kisaran rata-rata
kisaran rata-rata
kisaran
rata-rata
kisaran rata-rata
kisaran
rata-rata
kisaran
(ppm)
(cmol(+) kg)
(%)
(%)
44,11 148,00 - 3,00
0,02
0,03 - 0,01
0,13 0,33 - 0,02
1,37
2,74 - 0,17
0,59 1,15 - 0,07
6,43 13,12 - 2,84 32,51
59,69 - 8,31
ST
ST - SR
SR
SR
R
SR
SR
R - SR
R
S - SR
R
R - SR
R
T - SR
2.
Labuhan Batu-II
59,85
ST
184,00 - 6,00
ST - R
0,02
SR
0,08 - 0,01
SR
0,27
R
1,39 - 0,01
R - SR
1,68
SR
5,74 - 0,14
R - SR
0,92
R
2,30 - 0,06
S - SR
6,38
R
11,90 - 2,97
R - SR
44,99
S
99,88 - 7,30
ST - SR
3.
Labuhan Batu-III
49,04
ST
229,00 - 3,00
ST - SR
0,03
SR
0,16 - 0,01
R - SR
0,26
R
1,11 - 0,05
R - SR
1,66
SR
8,80 - 0,39
S - SR
0,7
R
2,12 - 0,15
T - SR
8,16
R
49,02 - 3,26
ST - SR
34,83
R
96,20 - 8,19
ST - SR
4. Asahan
56,89
ST
237,00 - 3,00
ST - SR
0,03
SR
0,26 - 0,01
R - SR
0,52
T
1,97 - 0,08
R - SR
2,22
R
7,07 - 0,44
S - SR
1,03
S
4,73 - 0,08
T - SR
7,53
R
11,47 - 3,79
R - SR
48,75
S
96,23 - 8,98
ST - SR
5. Simalungun
33,25
ST
150,00 - 2,00
ST - SR
0,03
SR
0,11 - 0,01
R - SR
0,5
S
1,76 - 0,06
R - SR
1,7
SR
5,03 - 0,35
S - SR
0,74
R
1,71 - 0,15
S - SR
8,23
R
11,67 - 6,07
R
36,71
R
93,82 - 9,43
ST - SR
6. Deli Serdang-I
23,6
ST
120,00 - 1,00
ST - SR
0,04
SR
0,15 - 0,01
R - SR
0,54
T
1,06 - 0,04
R - SR
3,02
R
9,26 - 0,85
S - SR
1,52
S
3,47 - 0,44
T - SR
9,45
R
26,53 - 6,73
S-R
53,74
S
88,89 - 21,95
ST - R
7. Deli Serdang-II
56,84
ST
236,00 - 3,00
ST - SR
0,05
SR
0,42 - 0,01
S - SR
0,81
T
3,45 - 0,07
S - SR
3,27
R
8,81 - 0,91
S - SR
1,59
S
4,27 - 0,56
T - SR
9,03
R
15,71 - 4,68
R - SR
62,3
T
96,72 - 30,03
ST - R
28,43
ST
65,00 - 3,00
ST - SR
0,08
SR
0,28 - 0,01
R - SR
0,22
R
0,54 - 0,07
T - SR
3,71
R
13,43 - 0,15
T - SR
1,56
S
4,69 - 0,09
T - SR
12,06
R
22,89 - 4,43
S - SR
48,71
S
108,13 - 3,21
ST - SR
8.
Tapanuli Selatan
23
Peneraan Produksi berdasarkan Umur Tanaman
Hubungan karakteristik lahan dengan produksi tanaman dibangun dalam
penelitian ini. Data menunjukkan produksi tanaman dipengaruhi oleh faktor-faktor
lain diluar karakteristik lahan. yaitu umur tanaman. Pengaruh umur tanaman
terhadap produksi (ton.ha-1) tanaman bersifat genetik, artinya setiap jenis tanaman
mempunyai pola kecenderungan peningkatan dalam pertumbuhan dan
produksinya serta mempunyai umur optimum dalam berproduksi yang khas. Oleh
karena itu, peneraan umur tanaman perlu dilakukan agar produksi tidak
dipengaruhi oleh umur dan dapat dibandingkan satu sama lainnya.
Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa, hubungan antara umur tanaman
dengan produksi berkorelasi nyata dengan nilai determinasi (R2) sebesar 0,075
dan mempunyai pola kecenderungan yang bersifat polynomial dengan persamaan:
y = -0,0708x2 + 1,7503x + 12,2 (Gambar 7-a). Dengan demikian, secara umum
produksi dipengaruhi oleh umur tanaman. Hasil peneraan umur terhadap produksi
tanaman ditunjukkan pada (Gambar 7-b). Pada gambar tersebut terlihat bahwa
produksi teraan tidak dipengaruhi oleh umur tanaman, sehingga tinggi rendahnya
produksi hanya dipengaruhi oleh faktor pembatas. Setelah peneraan, maka
perbedaan produksi teraan dapat dibandingkan satu sama lainnya dan hanya
dipengaruhi oleh karakteristik lahan.
y = -0,0708x2 + 1,7503x + 12,2
R = 0,075; n = 189
35
30
25
20
15
10
5
40
Produksi Teraan (ton.ha-1)
40
35
30
25
20
15
10
5
0
0
10
Umur (thn)
15
20
10
Umur (thn)
15
20
(a)
(b)
Gambar 7 (a) Diagram sebar hubungan antara umur tanaman dan produksi aktual
dan (b) Hubungan umur tanaman dengan produksi teraan.
Nilai produksi teraan digunakan dalam menyusun kriteria kesesuaian
lahan. Distribusi data produksi yang ditera menunjukkan bahwa produksi
maksimum mencapai 34,13 ton.ha-1 dan produksi minimum 6,54 ton.ha-1.
Berdasarkan nilai tersebut, sesuai dengan kriteria FAO (1983) selang produksi
yang dihasilkan menurut umur untuk masing-masing kelas kesesuaian lahan,
yaitu: produksi untuk kelas S1 >27,31 ton.ha-1, produksi kelas S2 antara 27,31
sampai 20,48 ton.ha-1, produksi di kelas S3 antara 20,48 sampai 10,17 ton.ha-1,
dan produksi untuk kelas N <10,17 ton.ha-1. Ringkasan sekat produksi ini
ditampilkan pada (Tabel 4).
24
Tabel 4 Kriteria kesesuaian lahan berdasarkan produksi teraan.
Kelas
Kriteria
S1
>80%
>27,31
S2
60% - 80%
20,48 27,31
S3
10,17 20,48
<29,79%
<10,17
Model
Unstandardized
Coefficients
B
Std,
Error
(Constant)
6,928
1,996
Kedalaman
Efektif
,115
,018
Kejenuhan Al
Standardized
Coefficients
t
Sig,
Beta
95% Confidence
Interval for B
Lower
Bound
Upper
Bound
3,471
,001
2,992
10,864
,358
6,214
,000
,078
,151
Collinearity
Statistics
Correlations
Zeroorder
,443
Partia
l
,407
Part
Tolerance
VIF
,338
,889
1,124
,098
,018
-,488
5,339
,000
,062
,134
,290
,357
,290
,354
2,828
-,455
,086
-,298
5,273
,000
-,626
-,285
-,222
-,353
-,287
,928
1,078
-,597
,329
-,118
1,812
,072
-1,246
,053
-,228
-,129
-,099
,701
1,427
KB
,068
,020
,371
3,425
,001
,029
,107
-,138
,238
,186
,252
3,961
Elevasi
,017
,007
-,162
2,579
,011
,004
,030
,227
,182
,140
,750
1,334
P-tersedia
,012
,005
,132
2,162
,032
,001
,022
,091
,153
,118
,793
1,260
-,424
,201
-,170
2,113
,036
-,819
-,028
-,193
-,150
-,115
,455
2,196
% Lereng
Bulan Kering
Ca
25
Koefisien determinasi (R2) yang dihasilkan sebesar 40%, artinya keragaman
produksi yang dapat dijelaskan oleh data peubah x sebesar 40%, sedangkan
sisanya 60% dijelaskan oleh faktor lain diluar model. Nilai koefisien yang
distandarisasi (standardized coefficients) pada Tabel 5 menunjukkan kontribusi
masing-masing karakteristik lahan terhadap produksi tanaman. Faktor penentu
produksi tanaman dalam penelitian ini adalah kedalaman efektif, kejenuhan Al,
lereng, bulan kering, kejenuhan basa, elevasi, P-tersedia dan Ca yang berpengaruh
terhadap produksi dengan korelasi negatif dan positif. Artinya setiap kenaikan
satu satuan dari karakteristik tanah tersebut akan menurunkan produksi masingmasing sebesar 0,488 (kejenuhan Al), 0,298 (lereng), 0,118 (bulan kering), 0,170
(Ca) dan 0,162 (elevasi) satuan dengan asumsi variabel-variabel yang lain tetap.
Kedalaman efektif, kejenuhan basa dan P-tersedia berpengaruh positif terhadap
produksi tanaman. Hal ini berarti bahwa setiap kenaikan satu satuan dari variabel
tersebut akan meningkatkan produksi masing-masing sebesar 0,358 (kedalaman
efektif), 0,371 (kejenuhan basa) dan 0,132 (P-tersedia) satuan dengan asumsi
variabel-variabel yang lain tetap.
Kontribusi Karakteristik Lahan terhadap Kelas Produksi Tanaman
Untuk mengetahui karakteristik lahan yang paling berkontribusi terhadap
kelas produksi, maka dilakukan analisis diskriminan dengan menggunakan
metode stepwise. Produksi dikelaskan menjadi sangat baik (>80% dari produksi
maksimum), baik (60-80% dari produksi maksimum), sedang (60-29,67% dari
produksi maksimum). Hasil uji beda 3 nilai tengah dalam kelas produksi sangat
baik, baik dan sedang disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 menunjukkan bahwa
variabel kedalaman efektif, kejenuhan Al, P-tersedia, bulan basah, bulan kering,
lereng dan kejenuhan basa memberikan pengaruh yang nyata dalam membuat
analisis diskriminan, sedangkan faktor lainnya tidak nyata.
Tabel 6 Uji beda 3 nilai tengah dalam kelas produksi sangat baik, baik, sedang, dan
buruk
Wilks' Lambda
Step
Number of
Variables
Lambda
df1
df2
Exact F
df3
Statistic
df1
df2
Sig,
Kedalaman
Effektif
,747
201
34,054
201,000
,000
Kejenuhan Al
,673
201
21,870
400,000
,000
P-tersedia
,643
201
16,360
398,000
,000
Bulan Basah
,614
201
13,648
396,000
,000
Bulan Kering
,570
201
12,787
10
394,000
,000
Lereng
,534
201
12,047
12
392,000
,000
Kejenuhan Basa
,511
201
11,110
14
390,000
,000
26
Tabel 7 Hasil uji nyata fungsi sebaran linier
Wilks' Lambda
Chi-square
df
Sig,
1 through 2
Test of Function(s)
,511
132,913
14
,000
,806
42,749
,000
Hasil analisis uji nyata fungsi sebaran linier dapat dilihat dari nilai Wilks
Lambda dan Chi Square (Wijaya 2010). Dari Tabel 7 terlihat bahwa fungsi
diskriminan pertama (1 melalui 2) dan 2 bersifat signifikan yang ditunjukkan oleh
nilai uji p <0,00 lebih kecil dari alpha 0,05 yang berarti fungsi ini signifikan dan
ada perbedaan nyata pada kedua fungsi diskriminan yang terbentuk. Dengan
demikian, fungsi diskriminan pertama dan kedua menghasilkan fungsi
diskriminan terbaik dan dapat dipakai dalam bahasan ini.
Setelah hasil uji nyata fungsi sebaran linier diketahui, analisis dilanjutkan
untuk mengetahui karakteristik lahan yang paling berkontribusi terhadap kelas
produksi tanaman. Hasil analisis tersebut disajikan sebagai Tabel 8. Tabel struktur
matrik tersebut menjelaskan korelasi antara variabel independen dengan fungsi
diskriminan yang terbentuk.
Tabel 8 Struktur matrik
Structure Matrix
Function
1
,691*
,512
-,326
,316
-,221
-,062
C Org
,188
-,077
Naa
-,129*
,076
-,122
,096
-,113
,005
% Liat
,090
-,070
% Pasir
,083*
-,022
Kejenuhan Al
,325
-,463*
P-tersedia
,029
-,237*
KB
-,096
,227*
pH H2O
-,142
,209*
Mga
-,091
,197*
Caa
-,099
,176*
Kedalaman Efektif
Bulan Kering
% Lereng
a
Bulan Basah
Curah Hujan
K-dda
-,117
,159*
,116
,149*
N-totala
-,132
,149*
KTKa
-,130
,144*
Elevasi
Pooled within-groups correlations between discriminating variables and standardized canonical discriminant functions
Variables ordered by absolute size of correlation within function.
*. Largest absolute correlation between each variable and any discriminant function
a. This variable not used in the analysis.
27
Berdasarkan struktur matrik (Tabel 8) maka urutan variabel yang
berkontribusi tinggi terhadap kelas produksi tanaman adalah kedalaman efektif
dan kejenuhan Al. Setelah fungsi diskriminan dibuat, kemudian klasifikasi
masing-masing individu sampel dievalusi keanggotaan dalam kelas produksi.
Hasilnya disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9 Hasil prediksi ketepatan kelas produksi berdasarkan karakteristik lahan
Kelas
1 (produksi teraan >80%)
Total
16 (76,2)
21
20
74 (67,9)
15
109
16
60 (75,3)
80
28
Pengembangan Kriteria Kesesuaian Lahan
Kriteria kesesuaian lahan dikembangkan dari korelasi karakteristik lahan
dengan produksi yang telah ditera berdasarkan umur. Tingkat produksi dibagi
menjadi sangat baik, baik, sedang dan buruk. Dengan demikian, tingkat produksi
akan berasosiasi dengan karateristik lahan. Hal tersebut menggambarkan S1
(sangat sesuai) merupakan asosiasi karakteristik lahan dengan tingkat produksi
sangat baik (>80% dari produksi maksimum); S2 (cukup sesuai) merupakan nilai
karakteristik lahan dengan tingkat produksi baik (60% sampai 80% dari produksi
maksimum); S3 (sesuai marjinal) merupakan nilai karakteristik lahan dengan
tingkat produksi sedang (29,67% sampai 60% dari produksi maksimum);
sedangkan kelas kesesuaian lahan N (tidak sesuai) merupakan nilai karakteristik
lahan dengan tingkat produksi buruk (<29,67% dari produksi maksimum).
Tingkat produksi 29,67% dari produksi maksimum merupakan nilai produksi pada
ambang batas ekonomis pengusahaan (break event point) kelapa sawit. Untuk
menghindari adanya ekstrapolasi data, maka perlu diketahui nilai minimum dan
maksimum dari setiap data karaktersitik lahan yang dianalisis dalam boundary
line. Sehingga penyusunan kriteria S1, S2, S3 dan N diwakili oleh populasi data,
bukan data ekstrapolasi. Pengembangan kriteria menggunakan boundary line
sebagai batas garis terluar untuk melakukan analisis antara produksi teraan dengan
faktor pembatas (Walworth et al., 1986). Persamaan hubungan produksi dengan
umur tanaman, produksi teraan dan parameter-parameter karakteristik lahan dalam
penyusunan pengembangan kriteris lahan disajikan pada Tabel 10.
Tabel 10. Rangkuman persamaan hubungan produksi dengan umur tanaman,
peneraan umur tanaman dan parameter-parameter karakteristik lahan
No
1.
2.
3.
4.
Uraian
Hubungan produksi dengan umur tanaman
Peneraan umur tanaman
Hubungan produksi dengan elevasi
Hubungan produksi dengan Curah Hujan
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
Persamaan
y = -0,0708x2 + 1,7503x + 12,2
y=0x
y = -0,0511x + 34,933
y = 0,0201x - 0,2413 dan
y = -0,079x + 42,884
y = -0,0264x2 - 3,4493x + 33,767
y = 20,24ln(x) - 9,8641 dan;
y = -0,8155x2 + 14,967x - 34,089
y = -0,0109x2 + 1,4334x - 11,09 dan;
y = -0,0071x2 + 0,4306x + 34,977
y = -0,0609x2 + 2,7517x + 3,3379 dan;
y = -0,0022x2 - 0,6259x + 53,37
y = 0,0073x2 - 0,4694x + 16,505
y = -0,3237x2 + 5,7701x + 9,8988
y = 2,0728x2 - 8,3388x + 17,747 dan;
y = -3,8117x2 + 37,015x - 51,959
y = 13,827x + 18,657
y = -0,0221x2 + 1,54x + 8,0631
y = -0,2651x + 37,749
y = -2168,4x2 + 529,98x + 2,6744
y = 3,854ln(x) + 16,443
y = 3,6389ln(x) + 34,234
y = -0,015x2 - 0,4086x + 34,107
29
Parameter kualitas lahan yang dikorelasikan dengan tingkat produksi dan
disusun kriteria kesesuaian lahannya untuk setiap karakteristik lahannya adalah
sebagai berikut:
- Temperatur: elevasi
- Ketersediaan air: curah hujan, bulan kering dan bulan basah
- Media perakaran: tekstur (persentase pasir dan liat) dan kedalaman efektif
- Retensi hara: KTK, pH tanah, C-organik dan Kejenuhan basa (KB)
- Toksisitas: kejenuhan Al
- Hara tersedia: N-total, P-tersedia dan K-dd
- Kondisi terrain: lereng
Hubungan Produksi dengan Elevasi
Elevasi bisa digunakan sebagai indikator suhu udara dan tanah. Semakin
tinggi elevasi, semakin rendah suhu udara. Suhu optimal untuk pertumbuhan
kelapa sawit adalah 20oC dengan kelembaban udara 80% dan lama penyinaran 5-7
jam/hr (Pahan, 2008). Hubungan produksi dengan elevasi, sebaran data dan
persamaan disajikan pada Gambar 7. Menunjukkan trend bahwa semakin tinggi
elevasi, semakin rendah produksi (Lubis, 1992), sesuai dengan hasil penelitian
Gambar 8.
40
y = -0,0511x + 34,933
R = 0,6463; n = 189
35
30
25
20
15
10
5
S1
0
0
50
100
150
Elevasi (m dpl)
200
250
30
Tabel 11 Kriteria kesesuaian lahan berdasarkan elevasi
Kelas Kesesuaian Lahan
Karakter Lahan
S1
S2
S3
<149
>149
Tempratur
- Elevasi (m dpl)
31
y = -0,0079x + 42,884
R = 0,852; n = 189
35
30
25
20
15
10
y = 0,0201x - 0,2413
R = 0,7916
40
Produksi Teraan (ton.ha-1)
40
30
25
20
15
10
5
0
0
0
35
1000
2000
3000
Curah Hujan (mm)
-1
4000
(a)
(b)
y = -0,8155x2 + 14,967x - 34,089
R = 0,9959; n = 189
40
Produksi Teraan (ton.ha-1)
Bulan kering
35
30
25
20
15
10
Keterangan:
y = 20,24ln(x) - 9,8641
R = 0,7895; n = 189
S1
0
0
5
Bulan Basah
10
Batas Kiri
Batas Kanan
(c)
Gambar 9 Hubungan produksi teraan dengan (a) curah hujan, (b) bulan basah dan
(c) bulan kering.
32
Tabel 12 Kriteria kesesuaian lahan berdasarkan ketersediaan air
Karakter Lahan
Ketersediaan Air
- Curah Hujan (mm)
- Bulan Kering
- Bulan Basah
S1
1.371 - 1.971
<1,85
6,19 6,28
<1.031
>2.836
>3,74
<5,02
-
N
-
33
sebagai batas tertinggi, sedangkan batas kelas antara S3 adalah <7,46% sebagai
batas terendah dan > 45,33% sebagai batas tertinggi.
Persamaan garis batas terluar dari sebaran data-data hubungan produksi
dengan kedalaman efektif adalah:
y = 0,0073x2 - 0,4694x + 16,505
Berdasarkan proyeksi perpotongan sekat produksi dengan garis batas terluar dari
sebaran data hubungan produksi dengan kedalaman efektif (Gambar 10-c), maka
diperoleh kisaran kedalaman efektif yang menjadi batas kelas antara S1 dan S2,
yaitu 82,29 cm sebagai batas terendah dan 110,90 cm sebagai batas tertinggi.
Batas kelas kedalaman efektif antara S2 dan S3 berada pada kadar 71,88 cm
sebagai batas terendah dan 124,58 cm sebagai batas tertinggi, sedangkan batas
kelas S3 adalah <71,88 cm sebagai batas terendah dan >124,58 cm sebagai batas
tertinggi.
y = -0,0071x2 + 0,4306x + 34,977
R = 0,9768; n = 189
30
25
20
15
10
y = -0,0109x2 + 1,4334x - 11,09
R = 0,9809; n = 189
40
Produksi Teraan (ton.ha-1)
35
35
30
25
20
15
10
y = -0,0609x2 + 2,7517x + 3,3379
R = 0,9657; n = 189
5
0
0
0
20
40
60
80
100
20
40
60
(b)
(a)
y = 0,0073x2 - 0,4694x + 16,505
R = 0,9297; n = 189
40
Produksi Teraan (ton.ha-1)
40
35
30
25
20
15
Keterangan:
10
5
S1
Batas Kiri
0
0
50
100
Kedalaman Efektif (cm)
150
Batas Kanan
(c)
Gambar 10 Hubungan produksi dengan (a) fraksi pasir; (b) fraksi liat dan
(c) kedalaman efektif.
34
Kelas tekstur yang sesuai dengan kelas kesesuaian lahan S1 adalah tekstur
lempung berpasir dan lempung. Tekstur untuk kelas S2 yaitu lempung berdebu,
lempung berliat, lempung liat berdebu dan liat. Tekstur untuk kelas S3 yaitu liat
berpasir, liat berdebu dan lempung liat berpasir. Tekstur untuk kelas N yaitu debu,
pasir berlempung dan pasir.
Kriteria kesesuaian lahan untuk tanaman kelapa sawit berdasarkan masingmasing karakteristik lahan yang berpengaruh terhadap media perakarannya dapat
dilihat pada Tabel 13.
Karakter Lahan
S1
S2
S3
37,46 75,04
27,98 37,46
<27,98
75,04 84,74
>84,74
7,46 11,79
<7,46
36,86 45,33
>45,33
Lempung Berpasir
Lempung Berdebu
Liat Berpasir
Debu
Lempung
Lempung Berliat
Liat Berdebu
Pasir
Lempung Liat
Berlempung
Liat
Berpasir
Pasir
71,88 82,29
<71,88
Media Perakaran
- Pasir (%)
- Liat (%)
- Tekstur
- Kedalaman
11,79 36,86
82,29 110,90
Efektif (cm)
35
%. Sedangkan untuk kejenuhan basa, berkisar antara 8,15% sampai dengan
108,13%.
Berdasarkan sebaran data-data dan garis pembungkus terluar, diperoleh
persamaan batas terluar hubungan produksi dengan nilai kapasitas tukar kation
(KTK) adalah sebagai berikut:
y = -0,3237x2 + 5,7701x + 9,8988
Batas terluar hubungan produksi dengan KTK pada Gambar 11-a, menunjukkan
cenderung semakin tinggi KTK, maka produksinya cenderung meningkat
selanjutnya mulai menurun. Nilai KTK yang menjadi pembatas antara kelas S1
dan S2 adalah 3,85 cmol(+).kg-1, selanjutnya batas antara kelas S2 <3,85
cmol(+).kg-1.
Berdasarkan sebaran data-data hubungan antara produksi dengan nilai pH
diperoleh dua persamaan garis batas terluar, yaitu:
(1) y = 2,0728x2 - 8,3388x + 17,747 dan (2) y = -3,8117x2 + 37,015x - 51,959
Persamaan yang pertama (1) digunakan untuk mencari pembatas kelas yang
terendah, sedangkan persamaan yang kedua (2) untuk mencari pembatas kelas
tertinggi. Persamaan tersebut menunjukkan bahwa kecenderungan peningkatan
pH akan diikuti dengan peningkatan produksi sampai titik optimum, setelah itu
produksi akan menurun seiring dengan peningkatan pH. Berdasarkan proyeksi
perpotongan sekat produksi dengan garis-garis persamaan batas terluar pada
Gambar 11-b, maka diperoleh nilai pH tanah yang menjadi batas kelas S1 dan S2,
yaitu pH 4,95 sebagai batas terendah dan pH 6,52 sebagai batas tertinggi. Batas
kelas antara S2 dan S3 adalah pH 4,33 sebagai batas terendah dan pH 6,99 sebagai
batas tertinggi. Sedangkan batas kelas S3 adalah <4,33 sebagai batas terendah dan
>6,99 sebagai batas tertinggi.
Persamaan garis batas yang membungkus sebaran data-data hubungan
produksi dengan kadar C-organik, yaitu:
y = 13,827x + 18,657
Garis persamaan batas terluar ini berpola linear pada Gambar 11-c menunjukkan
kecenderungan produksi akan meningkat dengan meningkatnya kadar C-organik
sampai titik tertentu. Berdasarkan proyeksi perpotongan sekat produksi dengan
garis persamaan batas terluar, kadar C-organik yang menjadi batas kelas antara S1
dan S2 adalah 1,12% dan batas antara kelas S2 dan S3 adalah 0,63 1,12%,
sedangkan batas kelas S3 adalah <0,63%.
Persamaan hubungan batas terluar dari data hubungan produksi dengan nilai
kejenuhan basa (KB) adalah sebagai berikut:
y = -0,0221x2 + 1,54x + 8,0631
Berdasarkan persamaan garis batas terluar pada Gambar 11-d menunjukkan
kecenderungan semakin tinggi KB, maka produksi relatif meningkat. Nilai KB
batas kelas S1 dan S2 adalah >16,33%, batas kelas S2 dan S3 adalah 9,31
16,32% dan batas kelas S3 <9,31%.
36
35
30
25
20
15
10
5
40
Produksi Teraan (ton.ha-1)
40
35
30
25
20
15
10
5
0
10
15
20
KTK (cmol(+).kg-1)
(a)
40
30
25
20
15
10
5
y = 13,827x + 18,657
R = 0,8859; n = 189
0
0,00
(b)
40
35
pH H2O
35
30
25
20
Keterangan:
15
S1
10
Batas Kiri
Batas Kanan
5
0
1,00
2,00
C-Organik (%)
(c)
3,00
4,00
50
100
150
KB (%)
(d)
Gambar 11 Hubungan produksi dengan (a) KTK; (b) pH; (c) C-organik
dan (d) Kejenuhan Basa.
Kadar KTK dilokasi penelitian tergolong sangat rendah, untuk peningkatan
KTK dapat dilakukan melalui pemberian bahan organik (Djazuli & Pitono, 2009).
Lebih lanjut Herviyanti et al. (2012) menyatakan bahwa tanah-tanah dengan
kandungan bahan organik tinggi dapat meningkatkan KTK tanah dan mampu
mengikat unsur hara. Reaksi tanah (pH) di lokasi penelitian berkisar dari sangat
masam (pH 4,00) sampai netral (pH 7,90). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
tanaman kelapa sawit dapat berproduksi optimal pada pH <5,85 berdasarkan
produksi tertinggi dalam analisis goal seek. Tingkat kemasaman tanah yang tinggi
menyebabkan kejenuhan basa menjadi rendah, namun produksi dapat meningkat
dengan semakin tingginya kejenuhan basa sampai titik tertentu. Tanaman kelapa
sawit dapat menghasilkan produksi yang sangat baik, pada kadar C-organik
>1,23%. Kadar C-organik yang rendah dilokasi penelitian, diduga karena
lambatnya proses dekomposisi tumpukan pelepah dibawah pohon kelapa sawit.
37
Ringkasan kriteria kesesuaian lahan bagi tanaman kelapa sawit berdasarkan
karakteristik yang berpengaruh terhadap sifat retensi hara disajikan pada Tabel 14.
Tabel 14 Kriteria kesesuaian lahan berdasarkan retensi hara
Kelas Kesesuaian Lahan
Karakter Lahan
S1
S2
S3
>3,85
<3,85
4,95 6,52
4,33 4,95
<4,33
6,52 6,99
>6,99
Retensi Hara
- KTK
- pH
- C-organik (%)
>1,12
0,63 1,12
<0,63
>16,32
9,31 16,32
<9,31
40
35
30
25
20
15
10
5
S1
0
-10
40
90
Kejenuhan Al (%)
38
perakaran terganggu yang mengakibatkan tidak efisiennya akar menyerap unsur
hara sehingga dapat menurunkan produktivitas tanaman.
Semakin tinggi kejenuhan Aluminium (Al) suatu tanah maka akan semakin
besar bahaya keracunan tanaman. Muhidin (2004) menyatakan keracunan Al
dapat mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman karena Al dapat
menghambat pembelahan sel, pertumbuhan akar menjadi tidak normal, serta dapat
mereduksi penyerapan hara oleh tanaman.
Berdasarkan uraian tersebut, kelapa sawit tergolong tanaman yang toleran
terhadap kejenuhan Al tanah yang tinggi. Hal ini diduga karena penyebaran
perakaran kelapa sawit yang dalam dan melebar sehingga jangkauan akar untuk
menyerap hara cukup luas, dengan demikian asupan hara yang diperoleh dari
dalam tanah dapat mencukupi untuk pertumbuhan dan produksi tanaman. Ishola et
al., (2011) menyatakan bahwa kelapa sawit dewasa memiliki akar yang luas
penyebarannya kira-kira sama dengan luas kanopi tanaman tersebut. Selain itu
PTPN-III, selalu melakukan aplikasi dolomit untuk memenuhi kebutuhan hara Ca
dan Mg tanaman, sehingga pengaruh Al terhadap tanaman dapat dinetralisir oleh
adanya ion CO32- yang dihasilkan dari reaksi kesetimbangan yang baru dari
dolomit yang diaplikasikan.
Tabel 15 Kriteria kesesuaian lahan berdasarkan toksisitas (kejenuhan Al)
Kelas Kesesuaian Lahan
Karakter Lahan
S1
S2
S3
<39,38
39,38 65,14
>65,14
Toksisitas
- Kejenuhan Al (%)
39
Persamaan garis batas terluar dari hubungan produksi dengan kandungan
P-tersedia adalah:
y = 3,854ln(x) + 16,443
Hubungan produksi dengan kandungan P-tersesdia disajikan pada Gambar 13-b.
Berdasarkan proyeksi perpotongan garis sekat produksi dengan garis batas terluar
(Gambar 13-b) diperoleh batas antara kelas S1 dan S2 untuk P-tersedia adalah
>16,77 ppm untuk batas antara kelas S2 dan S3 adalah 2,85 16,77 ppm dan
batas kelas S3 <2,85 ppm.
Persamaan garis batas terluar dari hubungan produksi dengan kandungan
K-dd, yaitu:
y = 3,6389ln(x) + 34,234
Proyeksi perpotongan (Gambar 13-c) menunjukkan garis sekat produksi dengan
garis batas terluar diatas, menunjukkan nilai K-dd yang menjadi batas kelas S1
dan S2 adalah >0,15 cmol(+).kg-1 dan batas antara kelas S2 dan S3 adalah 0,02
0,15 cmol(+).kg-1, sedangkan untuk batas kelas S3 <0,02 cmol(+).kg-1.
30
25
20
15
10
5
S1
0
0,00
35
30
25
20
15
10
5
S1
0
0,05
0,10
0,15
0,20
0,25
-25
75
N-total (%)
175
P-tersdia (ppm)
(b)
(a)
y = 3,6389ln(x) + 34,234
R = 0,2652; n = 189
40
Produksi Teraan (ton.ha-1)
35
y = 3,854ln(x) + 16,443
R = 0,397; n = 189
40
Produksi Teraan (ton.ha-1)
40
35
30
25
20
15
10
5
S1
0
-1,0
0,0
1,0
K-dd (cmol(+).kg-1)
2,0
3,0
(c)
Gambar 13 Hubungan produksi dengan (a) N-total; (b) P-tersedia dan (c) K-dd
275
40
Kriteria kesesuaian lahan untuk kelapa sawit berdasarkan karakteristik lahan
yang terkait dengan ketersediaan hara disajikan pada Tabel 16.
Tabel 16 Kriteria kesesuaian lahan berdasarkan ketersediaan hara
Kelas Kesesuaian Lahan
Karakter Lahan
S1
S2
S3
>0,06
>16,77
2,85 16,77
<2,85
>0,15
0,02 0,15
<0,02
Hara Tersedia
- N-total (%)
- P-tersedia (ppm)
-1
- K-dd (cmol(+) kg )
41
Lereng merupakan salah satu faktor yang penting karena menentukan
pergerakan dari unsur-unsur hara tanah dalam bentuk pengangkutan unsur-unsur
hara yang terlarut oleh aliran permukaan. Lereng yang curam sangat mudah
tererosi, maka kandungan unsur hara dan air rendah dan akibatnya dapat
menurunkan produktivitas tanaman. Pambudi (2010), menyatakan bahwa berat
tandan buah segar (TBS) kelapa sawit menurun masing-masing 0,4 sampai 0,7 kg
untuk setiap kenaikan 1% kemiringan lahan.
40
35
30
25
20
15
10
5
S1
0
0
10
Lereng (%)
15
20
Karakter Lahan
S1
S2
S3
<11,65
>11,65
Kondisi Lereng
- Kemiringan Lereng (%)
42
Berdasarkan proyeksi perpotongan sekat produksi dengan garis batas
terluar dari beberapa karakteristik lahan maka diperoleh kriteria kesesuaian lahan
untuk tanaman kelapa sawit (Tabel 18). Kriteria yang dihasilkan dari penelitian ini
hanya untuk mengevaluasi lahan yang ditanami kelapa sawit atau bisa digunakan
pada kebun kelapa sawit yang sudah menghasilakan. Hal tersebut sejalan dengan
tujuan penelitian yaitu melakukan pengelolaan yang spesifik lokasi sesuai dengan
potensi lahan.
Tabel 18 Hasil pengembangan kriteria kesesuaian lahan kelapa sawit
Kelas Kesesuaian Lahan
Karakteristik lahan
S1
S2
S3
< 149
> 149
1.371 - 1.971
1.031 - 1.371
< 1.031
Tempratur
- Elevasi (m dpl)
Ketersediaan Air
- Curah Hujan (mm)
1.971 - 2.836
> 2.836
- Bulan Kering
2-4
>4
- Bulan Basah
<5
37,4 - 75
27,9 - 37,4
< 27,9
75 - 84,7
> 84,7
< 7,4
Media Perakaran
- Pasir (%)
- Liat (%)
11,8 - 36,8
7,4 - 11,8
36,8 - 45,3
> 45,3
- Tekstur
Lempung Berpasir
Lempung Berdebu
Liat Berpasir
Debu
Lempung Berliat
Liat Berdebu
Pasir Berlempung
Pasir
Lempung
Liat
- Kedalaman Efektif (cm)
82,3 - 110,9
71,9 - 82,3
< 71,9
Retensi Hara
- KTK (cmol(+).kg-1)
- pH
> 3,8
< 3,8
4,9 - 6,5
4,3 - 4,9
< 4,3
6,5 - 6,9
> 6,9
- C-organik (%)
> 1,1
0,6 - 1,1
< 0,6
> 16,3
9,3 - 16,3
< 9,3
< 39,4
39,4 - 65,1
> 65,1
Toksisitas
- Kejenuhan Al (%)
Hara Tersedia
- N-total (%)
> 0,06
- P-tersedia (ppm)
> 16,8
2,8 - 16,8
< 2,8
> 0,1
0,02 - 0,1
< 0,02
< 11,6
> 11,6
-1
- K-dd (cmol(+).kg )
Kondisi Lereng
- Kemiringan Lereng (%)
43
Uji Validasi
Uji validasi dilakukan pada kriteria evaluasi kesesuaian lahan untuk kelapa
sawit yang dikembangkan dalam penelitian ini. Selanjutnya, hasil uji validasi
tersebut dibandingkan dengan hasil evaluasi kesesuaian lahan dengan kriteria
BBSDLP.
Uji Validasi Pengembangan Kriteria
Uji validasi kriteria evaluasi kesesuaian lahan untuk kelapa sawit yang
dikembangkan (Tabel 20) dilakukan di seluruh wilayah penelitian. Data untuk uji
validasi menggunakan 10% (23 titik lokasi) dari populasi total sampel. Populasi
sampel terdiri dari banyak tahun tanam sehingga produksi tanaman kelapa sawit
diseluruh wilayah 8 distrik, data produksi tersebut terlebih dahulu ditera
berdasarkan umur tanaman. Dengan demikian, produksi tanaman tidak
dipengaruhi oleh umur tanaman sehingga dapat ditetapkan kelas kesesuaian
lahannya. Pengambilan sampel untuk validasi menyebar dari produksi sangat baik,
baik, sedang dan buruk.
Kriteria kesesuaian lahan dikatakan valid, apabila hasil penilaian terhadap
suatu sampel dengan menggunakan kriteria karaktersitik lahan sama dengan hasil
penilaian berdasarkan kriteria produksi. Hasil uji validasi Tabel 20, kriteria
kesesuaian lahan mempunyai nilai validasi sebesar 74%. Artinya sebanyak 74%
dari data yang diuji valid atau sesuai dengan kriteria yang dihasilkan.
Hasil yang diperoleh, kisaran penyebaran produksi hanya produksi baik
sampai produksi sedang. Hal ini dikarenakan, produksi kelapa sawit di PTPN-III
rata-rata berada pada tingkat produksi baik atau kelas kesesuaian lahan S2
(produksi 60 sampai 80%) dan tingkat produksi sedang atau kelas kesesuaian
lahan S3 (produksi 40 sampai 29,67%).
Beberapa sampel dikatakan tidak valid, dikarenakan terdapat beberapa
faktor diantaranya yaitu:
a. Banyak karakteristik lahan yang mempengaruhi produksi tanaman (ton.ha-1).
Kemungkinan terjadi bias antara produksi dengan karakteristik lahan yang
menjadi kriteria dalam analisis.
b. Tingkat penanganan TBS restan yang berbeda dalam kegiatan panen angkut
dan olah (PAO). Hal tersebut sangat berpengaruh terhadap produksi tanaman
(ton.ha-1).
Perbandingan dengan Kriteria BBSDLP (Departemen Pertanian)
Perbandingan hasil pengembangan kriteria kesesuaian lahan dengan kriteria
BBSDLP (Lampiran 1) terhadap produksi teraan dilakukan menggunakan data (23
titik yang sama pada uji validasi pengembangan kriteria). Kriteria hasil penelitian
belum mencakup seluruh kualitas lahan ataupun karakteristik lahan yang
berpengaruh terhadap produksi kelapa sawit.
Kriteria hasil penelitian mencakup 7 kualitas lahan yang terdiri atas
18 karakteristik lahan, sedangkan kriteria (Lampiran 1) mencakup 12 kualitas
lahan dengan 22 karakteristik lahan. Beberapa data tidak dapat dimasukkan dalam
kriteria hasil penelitian dikarenakan karakteristik lahan yang diperoleh nilainya
cenderung homogen (keragaman data rendah), jumlah data yang diperoleh sangat
sedikit atau karakteristik lahan tersebut tidak dijumpai di lokasi penelitian. Pada
44
lokasi yang sama dilakukan matching untuk masing-masing karakteristik lahan
sesuai kelas lahan disetiap kriteria. Berdasarkan proses matching (Tabel 21),
kriteria kesesuaian lahan kriteria BBSDLP mempunyai nilai sebesar 48% terhadap
produksi teraan. Dengan demikian, sebanyak 48% dari data yang diuji valid. Hasil
validasi perbandingan dengan kriteria BBSDLP lebih kecil dari uji validasi awal
yang mempunyai nilai 74%, sehingga uji validasi pengembangan kriteria lebih
tinggi.
Perbandingan antar Kriteria
Perbandingan antar kriteria dilakukan untuk mengetahui nilai uji validasi
dan membandingkan hasil antara pengembangan kriteria dan kriteria BBSDLP.
Jumlah data yang digunakan dalam tahapan ini ada 3 jenis yaitu (1) 189 sampel,
(2) 23 sampel (yang digunakan dalam uji validasi) dan (3) 212 sampel (total).
Tahapan yang dilakukan adalah, penilaian kelas kesesuaian lahan pada ke
tiga jenis data yang digunakan disetiap parameter karakteristik lahan, sehingga
output yang dihasilkan adalah kelas kesesuaian lahan berdasarkan faktor pembatas
disetiap kriteria. Setelah diperoleh kelas kesesuaian lahan akhir, selanjutnya data
disetiap sampel/titik lokasi dilakukan matching terhadap produksi teraan.
Perbandingan antar kriteria ini juga mempertimbangkan hasil analisis
regresi linier berganda dan diskriminan, hasil analisis tersebut menyatakan bahwa
karakteristik lahan yang berpengaruh ada 6 yaitu; (1) kedalaman efektif (2)
kejenuhan Al, (3) kejenuhan basa, (4) bulan kering, (5) lereng dan (6) P-tersedia.
Berdasarkan 6 karakteristik lahan yang berpengaruh tersebut, dilakukan juga
penilaian kesesuaian lahan dengan prinsip faktor pembatas. Hal ini dilakukan
untuk menguji seberapa berpengaruh hasil analisis regresi linear terhadap kriteria
kesesuaian lahan dalam uji validasi. Hasil dari bahasan ini ditampilkan pada
Tabel 19.
Tabel 19. Perbandingan antar Kriteria Kesesuaian Lahan
No
Pengemb. Kriteria
61,02
74,00
67,51
Kriteria BBSDLP
53,76
48,00
50,88
6 Karakteristik Lhn
78,65
52,48
65,57
72,28
46,72
59,50
Pengemb. Kriteria
4
*)
6 Karakteristik Lhn
*)
*)
Kriteria BBSDLP
Kedalaman efektif, Kejenuhan Al, Kejenuhan Basa, Bulan Kering, % Lereng dan P-tersedia.
45
Berdasarkan Tabel 19 tersebut, pada 189 sampel untuk pengembangan
kriteria mempunyai nilai validasi 61,02% dan kriteria BBSDLP mempunyai nilai
validasi 53,76%. Berdasarkan 6 karakteristik lahan yang berpengaruh, pada
pengembangan kriteria mempunyai nilai validasi 78,65% sedangkan kriteria
BBSDLP mempunyai nilai validasi 72,28%. sehingga nilai pengembangan kriteria
lebih tinggi di banding nilai kriteria BBSDLP.
Pada jumlah sampel 23 yang digunakan sebagai uji validasi diperoleh nilai
validasi 74% untuk pengembangan kriteria dan 48% untuk kriteria BBSDLP,
sedangkan untuk nilai validasi berdasarkan 6 karakteristik lahan yang paling
berpengaruh diperoleh nilai validasi 52,48% untuk pengembangan kriteria dan
46,72 untuk kriteria BBSDLP.
Hasil uji pada keseluruhan sampel sejumlah 212, diperoleh nilai validasi
67,51% untuk pengembangan kriteria dan 50,88% untuk kriteria BBSDLP. Jika
berdasarkan 6 karakteristik lahan yang paling berpengaruh, diperoleh nilai
validasi 65,57% untuk pengembangan kriteria dan 59,50% untuk kriteria
BBSDLP. Berdasarkan uji validasi 189 sampel, 23 sampel dan 212 sampel, nilai
validasi pengembangan kriteria lebih tinggi dibandingkan nilai validasi kriteria
BBSDLP.
46
Tabel 20 Uji Validasi berdasarkan Pengembangan Kriteria Kesesuaian Lahan
Kelas Kesesuaian Lahan
berdasarkan masing-masing karakteristik lahan
N
o
Ked. Efektif
KTK
pH H2 O
C-organik
KB
Lereng
Drainase
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
Liat
KAMBT 2
KATOR 4
KSPTH 3
KBANG 1
KBANG 2
KSDDP 6
KSSUT 11
KSMTI 5
KRBTN 19
KSBAR 6
KDSHU 3
Pasir
13
Berdasarkan
Produksi
Teraan
Bulan Basah
KSKAR 12
KSKAR 18
KSBAR 7
KGPAR 6
KGPAR 3
KGMNO 10
KBDSL 2
KGMNO 13
KBDSL 14
KSSUT 6
KSBAR 4
KANAU 3
Hasil Uji
Validasi
Bulan Kering
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Produksi
Teraan
(ton.ha-1 )
Curah Hujan
Kode Lokasi
Elevasi
U
r
u
t
Berdasarkan
seluruh
karakteristik
lahan
33,63
29,98
29,03
25,92
25,19
25,03
24,89
24,11
23,11
22,87
22,39
21,85
S1
S1
S1
S2
S2
S2
S2
S2
S2
S2
S2
S2
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S2
S1
S1
S1
S1
S1
S2
S2
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S2
S1
S2
S1
S1
S1
S2
S1
S3
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S2
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S2
S1
S1
S2
S3
S1
S2
S1
S2
S2
S1
S2
S2
S1
S2
S2
S1
S1
S2
S2
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S2
S2
S1
S2
S2
S3
S2
S2
S2
S2
S2
S2
0
0
1
1
1
0
1
1
1
1
1
1
21,75
S2
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S3
S1
S1
S1
S2
S3
21,42
20,71
20,05
19,78
19,40
16,85
16,31
14,25
11,84
6,45
S2
S3
S2
S3
S3
S3
S3
S3
S3
N
S1
S1
S2
S2
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S2
S2
S1
S2
S1
S1
S1
S1
S1
S3
S1
S1
S1
S1
S1
S2
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S2
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S3
S3
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S3
S3
S3
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S2
S1
S1
S1
S1
S2
S3
S1
S1
S1
S1
S1
S2
S2
S3
S1
S1
S2
S1
S1
S3
S1
S2
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S2
S2
S2
S3
S1
S3
S3
S3
S3
S3
S2
S2
S3
S3
S3
S3
S3
S3
0
1
1
0
1
1
1
1
1
0
46
47
Tabel 21 Hasil Perbandingan terhadap Kriteria BBSDLP
Kelas Kesesuaian Lahan
berdasarkan masing-masing karakteristik lahan
sesuai kriteria BBSDLP
KTK
KB
pH H2 O
C-organik
Lereng
33,63
29,98
29,03
25,92
25,19
25,03
24,89
24,11
23,11
22,87
22,39
21,85
21,75
21,42
20,71
20,05
19,78
19,40
16,85
16,31
14,25
11,84
6,45
Berdasarkan
Produksi
T eraan
Ked. Efektif
KSKAR 12
KSKAR 18
KSBAR 7
KGPAR 6
KGPAR 3
KGMNO 10
KBDSL 2
KGMNO 13
KBDSL 14
KSSUT 6
KSBAR 4
KANAU 3
KAMBT 2
KAT OR 4
KSPT H 3
KBANG 1
KBANG 2
KSDDP 6
KSSUT 11
KSMT I 5
KRBT N 19
KSBAR 6
KDSHU 3
Produksi
T eraan
(ton.ha-1 )
Drainase
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
Kode Lokasi
Bulan Kering
U
r
u
t
Curah Hujan
N
o
Berdasarkan
seluruh
karakteristik
lahan
S1
S1
S1
S2
S2
S2
S2
S2
S2
S2
S2
S2
S2
S2
S3
S2
S3
S3
S3
S3
S3
S3
N
S2
S2
S2
S3
S3
S3
S1
S3
S1
S1
S2
S2
S1
S2
S3
S1
S1
S2
S1
S2
S3
S2
S2
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S3
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S2
S1
S2
S2
S2
S1
S1
S2
S1
S1
S1
S1
S1
S2
S1
S1
S2
S2
S1
S1
S2
S2
S2
S2
S1
S2
S2
S3
S2
S2
S2
S2
S2
S2
S2
S2
S2
S2
S2
S2
S2
S2
S2
S2
S2
S2
S2
S2
S2
S2
S2
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S2
S1
S2
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S2
S1
S1
S2
S3
S1
S2
S1
S2
S2
S1
S2
S2
S1
S1
S1
S1
S1
S3
S1
S1
S3
S2
S1
S1
S2
S2
S1
S1
S2
S1
S2
S2
S2
S2
S2
S2
S1
S2
S2
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S2
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S2
S1
S2
S2
S2
S3
S3
S3
S2
S3
S2
S2
S2
S2
S2
S2
S3
S2
S2
S2
S2
S3
S3
S2
S3
Hasil Uji
Validasi
0
0
0
0
0
0
1
0
1
1
1
1
1
1
1
1
0
0
0
1
1
0
0
48
Analisis Spasial Perbandingan Pengembangan Kriteria Kesesuaian Lahan
dengan Kriteria BBSDLP Komoditi Kelapa Sawit
Untuk meminimaslisasi kesalahan hasil perbandingan antara
pengembangan kriteria dan kriteria BBSDLP, maka dilakukan pemetaan sesuai
hasil masing-masing kriteria berdasarkan hasil uji validasi. Uji validasi
pengembangan kriteria terhadap produksi mempunyai nilai 74% dan penilaian
kriteria terhadap kriteria BBSDLP terhadap produksi mempunyai nilai 48%.
Proses pemetaan ini dilakukan di dua Distrik, yaitu Distrik Labuhan Batu-I
dan Distrik Labuhan Batu-II sebagai lokasi sampling yang secara spasial berada
dalam 1 hamparan yang sama seluas 44.464,14 ha yang diwakili oleh 64 titik
sampel.
Pada umumnya pemetaan ini menggunakan satuan lahan, peta satuan lahan
disusun berdasarkan urutan komponen-komponen: satuan bentuk lahan,
ketinggian tempat (m dpl), pengaruhnya terhadap curah hujan, relief dan lereng,
serta jenis tanah. Pada bahasan ini, untuk memberikan informasi yang spesifik
lokasi maka data yang digunakan adalah informasi hasil matching dari sampel
disetiap titik lokasi. Proses yang dilakukan adalah, setelah memperoleh kelas
lahan dari hasil validasi dan matching pada masing-masing kriteria, selanjutnya
dilakukan pemrosesan data di software pemetaan (Arc GIS 9.3) dengan metode
interpolasi Inverse Distance Weighted (IDW) (Prahasta, 2001).
Interpolasi IDW menerapkan asumsi bahwa hal-hal/titik yang berdekatan
satu sama lain hampir sama. Untuk memprediksi nilai setiap lokasi yang tidak
terukur, IDW menggunakan nilai yang terukur sekitar lokasi yang akan diprediksi.
Nilai-nilai yang diukur paling dekat dengan lokasi prediksi akan lebih
berpengaruh dari pada nilai prediksi yang lebih jauh (Booth et al., 2011). Dengan
demikian, IDW mengasumsikan bahwa setiap titik diukur memiliki pengaruh
lokal dan meminimalisisr faktor jarak (Ormsby, 2004).
Berdasarkan proses dan analisis pemetaan, menunjukkan hasil sebagai berikut :
a. Hasil Pemetaan berdasarkan Pengembangan Kriteria Kesesuaian Lahan
Berdasarkan hasil interpolasi dengan IDW (Gambar 15), diperoleh kelas
lahan S1 seluas 1.412,50 ha (4,59%) yang hanya terdapat di kebun Bukit Tujuh.
Kelas lahan S2 seluas 23.905,54 ha (50,44%) yang tersebar di 8 (delapan)
kebun di wilayah Distrik Labuhan Batu-I dan Distrik Labuhan Batu-II. Kelas
lahan S3, seluas 14.538,99 ha (34,06%) yang terdapat di 6 (enam) kebun yaitu
3 (tiga) kebun di wilayah Distrik Labuhan Batu-I dan 3 (tiga) kebun di wilayah
Distrik Labuhan Batu-II. Kelas lahan N, seluas 4.607,11 ha (10,91%) yang
terdapat di 6 (enam) kebun yaitu 3 (tiga) kebun di wilayah Distrik Labuhan
Batu-I dan 3 (tiga) kebun di wilayah Distrik Labuhan Batu-II. Secara rinci,
hasil kelas lahan dan luas ditampilkan pada (Tabel 22).
b. Hasil Pemetaan berdasarkan Pengembangan Kriteria BBSDLP
Hasil pemetaan kriteria kesesuaian lahan sesuai kriteria BBSDLP (Gambar
16) dengan metode interpolasi IDW menunjukkan hanya terdapat 2 kelas
lahan yaitu S2 dan S3 dengan rincian sebagai berikut; kelas lahan S2 seluas
27.667,91 ha (63%) yang terdapat di 6 (enam) kebun yaitu 2 (dua) kebun di
wilayah Distrik Labuhan Batu-I dan 4 (empat) kebun di wilayah Distrik
49
Labuhan Batu-II. Kelas lahan S3, seluas 16.796,23 ha (37%) yang terdapat di 7
(tujuh) kebun yaitu 4 (empat) kebun di wilayah Distrik Labuhan Batu-I dan 3
(tiga) kebun di wilayah Distrik Labuhan Batu-II. Secara detail, hasil kelas
lahan dan luas ditampilkan pada (Tabel 23).
50
Perbandingan Luas Hasil Pemetaan Kelas Kesesuaian Lahan berdasarkan
setiap Kriteria
Pembandingan setiap kriteria berdasarkan kelas kesesuaian lahan bertujuan
untuk menilai tingkat validasi hasil pengembangan kriteria dan kriteria yang
sudah ada (BBSDLP) terhadap produksi teraan. Hasil pemetaan menunjukkan ada
2 kelas lahan yang sama disetiap kriteria, yaitu kelas lahan S2 dan kelas lahan S3
dengan luasan yang berbeda (Tabel 24).
Tabel 24 Perbandingan Kelas Lahan sesuai Kriteria BBSDLP dan Pengembangan
Kriteria
No
Kelas
Kesesuaian Lahan
Pengembangan
Kriteria
Kriteria BBSDLP
Luas (Ha)
27.667,91
16.796,23
Jumlah
44.464,14
Luas (Ha)
0
1.412,50
4,59
63,00
23.905,54
50,44
37,00
14.538,99
34,06
4.607,11
10,91
100
44.464,14
100
53
Saran
Kriteria kesesuaian lahan yang dihasilkan bersifat spesifik lokasi, yaitu untuk
wilayan Sumatera Utara. Pengembangan kriteria dapat dilakukan diwilayah
lain, dengan menggunakan metode yang sama.
54
DAFTAR PUSTAKA
Adiwiganda, R. 2005. Pertemuan Teknis Kelapa Sawit. Pusat Penelitian Kelapa
Sawit, Medan.
Amisnaipa, Susila AD, Situmoreng R, Purnomo DW. 2009. Penentuan kebutuhan
pupuk kalium untuk budidaya tomat menggunakan irigasi tetes dan mulsa
polyethylen. J. Agron. Indonesia. 37(2):115-122.
Anonim. 2013. Laporan Kinerja PT. Perkebunan Nusantara III. Medan Sumatera
Utara. Medan.
Breure CJ, Mendez. 1990. The determination of bunch yield components in the
development of inflorescens in oil palm (Elaeis guineensis Jacq). Exp.
Agric. 26: 99-115.
Booth B, Mitchell A. 2001. Getting Started with ArcGis. Esri.
Chan KW. 2005. Best-developed practices and sustainable development of the oil
palm industry. J. Oil Palm Res. 17:124-135.
Corley RHV, Thinker PB. 2003. The Oil Palm. 4th ed. United Kingdom (UK).
Blackwell Science Ltd.
Corley RHV. 2009. How much palm oil do we need?. Environ Sci Policy 12: 134139.
[DITJENBUN] Direktorat Jenderal Perkebunan. 2012. Statistik Perkebunan
Kelapa Sawit 2011-2013. Kementerian Pertanian Jakarta.(ID).
[DITJENBUN] Direktorat Jenderal Perkebunan. 2011. Luas areal dan produksi
Indonesia. http://ditjenbun.deptan.go.id [12Agustus 2013].
Djaenudin D, Marwan M, Subagyo H, Mulyani A, Suharta N. 2000. Kriteria
Kesesuaian Lahan untuk Komoditas Pertanian. Pusat Penelitian Tanah
dan Agroklimat. Bogor.
Djaenudin D, Marwan H, Subagjo H, Hidayat A. 2003. Petunjuk Teknis Evaluasi
Lahan Untuk Komoditas Pertanian. Balai Penelitian Tanah.
Puslitbangtanak. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.
Djazuli M, Pitono J. 2009. Pengaruh jenis dan taraf pupuk organik terhadap
produksi dan mutu purwoceng. J. Littri 15:40-45.
Erningpraja L, Wahyono T, Akmal M, Ratnawati dan Kurniawan A. 2006.
Strategi mengembalikan kejayaan kelapa sawit Indonesia dengan
barometer Malaysia. Jurnal Penelitian Kelapa Sawit 14(1):47-67. Medan.
Escano, C.R., C.A. Jones, and G uehara, 1981. Nutrient diagnosis in com grown
on Hydric Dyatrandepts: I. Optimum nutrient tissue concentrations. Soil
Sci. Soc.Am. J. 45: 1135-1139.
[FAO] Food and Agricultural Organization. 2012. Major Food And Agricultural
Commodities And Producers-Countries by Commodity.
http://www.fao.org.
[FAO] Food and Agriculture Organization. 1986. Guidelines: Land Evaluation for
Rainfed Agriculture. Rome (IT): Soils Bulletin No. 52.
Goh KJ, Hardter R. 2003. General oil palm nutrition dalam: International
Planters Conference on management for Enchanced Profitability in
Plantations. Kuala Lumpur. Kuala Lumpur. 24-26 October 1994.
Ghozali I. 2005. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Semarang
(ID): BP Universitas Diponegoro.
55
Hasibuan, (2005). Peranan Pemerintah Daerah dalam Pengembangan Perkebunan
Kelapa Sawit Rakyat. Prosiding Seminar Nasional Perkebunan. Jakarta
Hidayat A, Mulyani A. 2002. Lahan Kering Untuk Pertanian. Dalam: Buku
Teknologi Pengelolaan Lahan Kering. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor. hal: 1-34.
Hermantoro, Purnawan RW. 2009. Prediksi produksi kelapa sawit berdasarkan
kualitas lahan menggunakan model artificial neural network (ANN).
Jurnal Agroteknose, vol (IV) no.2.
Herviyanti, Fachri A, Riza S, Darmawan, Gusnidar, Amrizal S. 2012. Pengaruh
pemberian bahan humat dan pupuk P pada Ultisol. J. Solum 19(1):15-24.
Irianto G, Sosiawan H, Karama S. 1998. Strategi pembangunan pertanian lahan
kering untuk mengantisipasi persaingan global. Dalam: Prosiding
Pembahasan dan Komunikasi Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat.
Makalah Utama. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor. Hlm 7792.
Ishola TA, Yahya A, Shariff ARM, Abd Aziz S. 2011. A new concept of variable
rate
technology
fertilizer
applicator
for
oil
palm.
Int.J.Agron.Plant.Prod.Vol 2 (5): 181-186.
Lubis AU. 1992. Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) di Indonesia. Pusat
Penelitian Perkebunan Marihat Bandar Kuala. Pematang Siantar.
Sumut. 435 hal.
Muhidin. 2004. Uji cepat toleransi tanaman kedelai terhadap cekaman
Alumunium. J. Agroland. 11 (1):18-24.
Mulyani A, Agus F, Abdurachman A. 2003. Kesesuaian lahan untuk kelapa sawit
di Indonesia. Lokakarya Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi. Balai
Penelitian Tanah. Bogor.
Ormsby T. 2004. Getting To Know ArcGis Dekstop: Updated for ArcGis 9. Esri
Press, Redlands California.
Pahan I. 2008. Panduan Kelapa Sawit. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.
Pambudi DT, Hernawan B. 2010. Hubungan Beberapa Karakteristik Fisik Lahan
dan Produksi Kelapa Sawit. Jurnal Akta Agrosia. Vol.13 no.1 Jan-Jun
2010:35-39.
Purnama H. 2011. Hubungan Karakteristik Lahan dengan produktivitas Duku
(Lansium domesticum corr) di Provinsi Jambi [Tesis]. Program
Pascasarjana. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
[PPT] Pusat Penelitian Tanah. 1983. Kriteria Sifat Kimia Tanah. Bogor (ID):
Departemen Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Prahasta, E. 2001. Sistem Informasi Geografis. Informatika, Bandung.
Rahmawaty, Villanueva TR, Carandang MG, Lapitan RL, Bantayan NC,
Alcantara AJ. 2012. Land suitability for oil palm in Besitang watershed,
North Sumatra Indonesia. Science Journal of Agriculture Research and
Management. 124.
Rathfon RA, Burger JA. 1991. The Diagnosis and Recommendation
Integrated System. Soil Sci. Soc. Am. J. 55: 1026-1031.
Sarief ES. 1985. Kesuburan dan Pemupukan Tanah Pertanian. Bandung (ID):
Pustaka Buana.
Sumner ME, Farina MPW. 1986. Phosphorus interactions with other nutrients and
lime in field cropping systems. Adv. Soil Sci. 5:201-236.
56
Sugiyono I, Harahap Y, Winarna AD, Koedadiri A, Purba P. 2003. Penilaian
Kesesuaian Lahan Kelapa Sawit. Pusat Penelitian Kelapa Sawit Medan.
Sutandi A, Barus B. 2007. Permodelan kesesuaian lahan tanaman kunyit. J. Tanah
Lingk. 9(1): 20-26.
Schmidt FA, Ferguson JHA. 1951. Rainfall Types Based on Wet and Dry Period
Ratios for Indonesia with Western New Guinea. Verh. No. 42. Djawatan
Meteorologi dan Geofisika. Kementrian Perhubungan. Jakarta.
Sys C, Rants V, Debeveye EJ, Beenmaert. 1993. Land Valuation Part III. Crop
Requrement. Brussels-Belgium.
Tisdale SL, Nelson WL. 1975. Soil Fertility and Fertilizers. New York (US):
Macmillan Co.
Thompson LM, Troeh FR. 1973. Soils and Soil Fertility. McGraw-Hill Publ.
Company New Delhi. p 1-108.
Utama E. 2005. SIG menggunakan ArcGis 2nd Edition. Comlabs ITB, Bandung.
Walworth JL, Letzsch WS, Sumner ME. 1986. Use of boundary lines in
establishing diagnosis norms. Soil. Sci. Am. J. 50:123-128.
Widiatmaka, Sutandi A, Daras U, Hikmat M, Krisnohasi A. 2014. Establishing
land suitability criteria for cashew (Anacardium occidentale L.). Apllied
and environmental soil science J (July vol. 2014)
Wigena IGP, Sudrajat, Sitorus SRP, Siregar H. 2009. Karakterisasi tanah dan
iklim serta kesesuaiannya untuk kebun kelapa sawit plasma di Sei Pagar,
Kabupaten Kampar, Riau. Jurnal Tanah dan Iklim no. 30.
Wijaya T. 2010. Analisis Multivariat: Teknik Olah Data untuk Skripsi, Tesis, dan
Disertasi Menggunakan SPSS. Yogyakarta (ID): Universitas Atma Jaya.
White RE. 2006 Principles and Practice of Soil Science. Fourth edition. Oxford:
Blackwell Science.
Yahya Z, Husin A, Talib J, Othman J, Ahmed OH, Jalloh MB. 2010. Oil palm
(Elaeis guineensis Jacq.) roots response to mechanization in Bernam
series soil. American Journal of Applied Science 7 (3): 343-348.
57
Lampiran 1 Kriteria kesesuaian lahan kelapa sawit
Kriteria Kesesuaian Lahan Kelapa Sawit (Elaeis guinensis Jacq.)
Persyaratan penggunaan/
karakteristik lahan
S2
S3
25 28
22 - 25
20 - 22
< 20
28 - 32
32 - 35
> 35
1.450 - 1.700
1.250 - 1.450
< 1.250
2.500 - 3.500
3.500 - 4.000
> 4.000
<2
2-3
3-4
>4
baik. sedang
agak terhambat
terhambat.
agak cepat
agak kasar
Kasar
< 15
15 - 35
35 - 55
> 55
> 100
75 - 100
50 - 75
< 50
Ketebalan (cm)
< 60
60 - 140
140 - 200
> 200
< 140
140 - 200
200 - 400
> 400
Fibrik
Temperatur (tc)
Temperatur rerata (C)
1.700 - 2.500
Gambut:
Kematangan
saprik+
saprik.
hemik.
hemik+
fibrik+
> 16
16
> 20
20
5.0 - 6.5
4.2 - 5.0
< 4.2
6.5 - 7.0
> 7.0
pH H2O
C-organik (%)
> 0.8
0.8
<2
2-3
3-4
>4
> 125
100 - 125
60 - 100
< 60
Toksisitas (xc)
Salinitas (dS/m)
Sodisitas (xn)
Alkalinitas/ESP (%)
Bahaya sulfidik (xs)
Kedalaman sulfidik (cm)
Bahaya erosi (eh)
Lereng (%)
<8
8 - 16
16 - 30
> 30
sangat rendah
rendah - sedang
berat
sangat berat
F0
F1
F2
> F2
<5
5 - 15
15 - 40
> 40
<5
5 - 15
15 - 25
Bahaya erosi
Bahaya banjir (fh)
Genangan
Penyiapan lahan (lp)
Sumber: http://bbsdlp.litbang.deptan.go.id/kriteria/kelapa%20sawit
58
Lampiran 2 Hasil Analisis Regresi Berganda Metode Stepwise dari Hubungan
Karakteristik Lahan dengan Produksi Teraan (ton.ha-1)
Model Summaryi
Change Statistics
R Square
Adjusted R
Square
Std. Error of
the Estimate
R Square
Change
Model
.443a
.196
.192
3.93948
.196
F Change
49.247
df1
1
df2
202
.000
.517b
.267
.260
3.77011
.071
19.557
201
.000
.573
.328
.318
3.61843
.061
18.205
200
.000
.601d
.361
.348
3.53879
.032
10.102
199
.002
.621
.386
.371
3.47682
.025
8.157
198
.005
.631f
.398
.380
3.45140
.012
3.928
197
.049
.641g
.411
.390
3.42428
.012
4.133
196
.043
.651h
.424
.400
3.39439
.013
4.467
195
.036
Sig. F Change
59
ANOVAi
Model
1
Sum of Squares
Regression
df
Mean Square
764.284
764.284
Residual
3134.935
202
15.519
Total
3899.219
203
Regression
1042.262
521.131
Residual
2856.957
201
14.214
Total
3899.219
203
Regression
1280.615
426.872
Residual
2618.604
200
13.093
Total
3899.219
203
Regression
1407.129
351.782
Residual
2492.090
199
12.523
Total
3899.219
203
Regression
1505.737
301.147
Residual
2393.482
198
12.088
Total
3899.219
203
Regression
1552.525
258.754
Residual
2346.694
197
11.912
Total
3899.219
203
Regression
1600.982
228.712
Residual
2298.237
196
11.726
Total
3899.219
203
Regression
1652.446
206.556
Residual
2246.773
195
11.522
Total
3899.219
203
Sig.
49.247
.000a
36.664
.000b
32.603
.000c
28.091
.000d
24.912
.000e
21.722
.000f
19.505
.000g
17.927
.000h
60
Coefficientsa
Model
Unstandardized Coefficients
B
(Constant)
Kedalaman Efektif
Sig.
Beta
Lower Bound
1.942
.000
7.018
.000
.102
.182
4.078
.000
3.923
11.270
Correlations
Zero-order
Partial
Collinearity Statistics
Part
Tolerance
VIF
11.972
.020
1.863
.443
.443
.443
1.000
1.000
Kedalaman Efektif
.137
.019
.428
7.084
.000
.099
Kejenuhan Al
.054
.012
.267
4.422
.000
.030
.175
.443
.447
.428
.997
1.003
.078
.290
.298
.267
.997
9.214
1.828
5.041
.000
5.610
12.818
1.003
Kedalaman Efektif
.133
.019
.414
7.118
.000
.096
Kejenuhan Al
.062
.012
.308
5.240
.000
.039
.169
.443
.450
.412
.994
1.006
.085
.290
.347
.304
.971
% Lereng
-.384
.090
-.251
-4.267
.000
1.030
-.561
-.206
-.222
-.289
-.247
.971
(Constant)
10.382
1.825
5.689
1.030
.000
6.784
13.981
Kedalaman Efektif
.134
.018
.417
Kejenuhan Al
.047
.012
.235
7.332
.000
.098
.170
.443
.461
.416
.993
1.007
3.802
.000
.023
.072
.290
.260
.215
.838
-.432
.089
1.193
-.282
-4.839
.000
-.608
-.256
-.222
-.324
-.274
.943
-1.007
.317
1.060
-.199
-3.178
.002
-1.632
-.382
-.228
-.220
-.180
.822
7.768
2.013
1.216
3.859
.000
3.799
11.738
Kedalaman Efektif
.133
.018
Kejenuhan Al
.085
.018
.415
7.428
.000
.098
.168
.443
.467
.414
.993
1.007
.425
4.720
.000
.050
.121
.290
.318
.263
.383
-.463
2.614
.088
-.303
-5.240
.000
-.637
-.289
-.222
-.349
-.292
.929
1.077
-1.020
.311
-.201
-3.277
.001
-1.634
-.406
-.228
-.227
-.182
.822
1.216
.045
.016
.246
2.856
.005
.014
.076
-.138
.199
.159
.416
2.401
7.081
2.028
3.492
.001
3.082
11.081
Kedalaman Efektif
.122
.019
.381
6.554
.000
.085
.159
.443
.423
.362
.905
1.105
Kejenuhan Al
.095
.019
.475
5.114
.000
.059
.132
.290
.342
.283
.355
2.821
% Lereng
-.463
.088
-.303
-5.275
.000
-.636
-.290
-.222
-.352
-.292
.929
1.077
Bulan Kering
-.827
.324
-.163
-2.551
.011
-1.466
-.188
-.228
-.179
-.141
.748
1.338
KB
.054
.016
.295
3.311
.001
.022
.086
-.138
.230
.183
.385
2.597
Elevasi
.013
.006
.124
1.982
.049
.000
.026
.227
.140
.110
.783
1.277
(Constant)
(Constant)
% Lereng
Bulan Kering
KB
(Constant)
.443
4.312
Upper Bound
4.192
.142
Bulan Kering
7.597
(Constant)
% Lereng
5
Std. Error
8.142
Standardized
Coefficients
60
61
Model
Unstandardized Coefficients
B
(Constant)
Std. Error
6.948
2.013
Kedalaman Efektif
.119
.019
Kejenuhan Al
.097
.019
% Lereng
-.457
Bulan Kering
Standardized
Coefficients
Sig.
Beta
Lower Bound
Upper Bound
Correlations
Zero-order
Partial
Collinearity Statistics
Part
Tolerance
VIF
3.451
.001
2.977
10.918
.370
6.403
.000
.082
.155
.443
.416
.351
.898
1.113
.482
5.229
.000
.060
.133
.290
.350
.287
.354
2.825
.087
-.299
-5.248
.000
-.629
-.285
-.222
-.351
-.288
.928
1.078
-.677
.330
-.133
-2.051
.042
-1.328
-.026
-.228
-.145
-.112
.710
1.408
KB
.045
.017
.246
2.688
.008
.012
.078
-.138
.189
.147
.359
2.788
Elevasi
.015
.007
.143
2.277
.024
.002
.028
.227
.161
.125
.766
1.306
P-tersedia
.011
.005
.125
2.033
.043
.000
.022
.091
.144
.111
.796
1.257
(Constant)
6.928
1.996
3.471
.001
2.992
10.864
Kedalaman Efektif
.115
.018
.358
6.214
.000
.078
.151
.443
.407
.338
.889
1.124
Kejenuhan Al
.098
.018
.488
5.339
.000
.062
.134
.290
.357
.290
.354
2.828
% Lereng
-.455
.086
-.298
-5.273
.000
-.626
-.285
-.222
-.353
-.287
.928
1.078
Bulan Kering
-.597
.329
-.118
-1.812
.072
-1.246
.053
-.228
-.129
-.099
.701
1.427
KB
.068
.020
.371
3.425
.001
.029
.107
-.138
.238
.186
.252
3.961
Elevasi
.017
.007
.162
2.579
.011
.004
.030
.227
.182
.140
.750
1.334
P-tersedia
.012
.005
.132
2.162
.032
.001
.022
.091
.153
.118
.793
1.260
-.424
.201
-.170
-2.113
.036
-.819
-.028
-.193
-.150
-.115
.455
2.196
Ca
62
Collinearity Diagnosticsa
Model Dimension
1
2
Eigenvalue
Condition Index
Variance Proportions
(Constant)
Kedalaman Efektif
Kejenuhan Al
% Lereng
Bulan Kering
KB
Elevasi
1.990
1.000
.01
.01
.010
14.013
.99
.99
2.531
1.000
.00
.00
.06
.459
2.349
.01
.01
.94
.010
15.804
.99
.99
.00
3.208
1.000
.00
.00
.03
.03
.476
2.596
.00
.00
.96
.06
.306
3.235
.01
.01
.00
.89
.010
17.961
.99
.98
.00
.02
3.628
1.000
.00
.00
.02
.02
.02
.797
2.133
.00
.00
.26
.02
.28
.380
3.089
.00
.00
.41
.61
.09
.185
4.430
.02
.03
.31
.32
.60
.010
19.196
.98
.97
.00
.02
.01
4.375
1.000
.00
.00
.00
.01
.01
.00
.907
2.196
.00
.00
.13
.03
.14
.01
.413
3.254
.00
.00
.12
.37
.30
.02
.248
4.203
.00
.01
.00
.58
.51
.06
.047
9.606
.03
.13
.68
.00
.03
.81
.009
21.971
.96
.86
.06
.01
.01
.10
5.130
1.000
.00
.00
.00
.01
.01
.00
.01
.916
2.366
.00
.00
.11
.02
.14
.01
.00
.416
3.510
.00
.00
.13
.27
.31
.01
.01
.331
3.938
.00
.00
.01
.51
.14
.00
.21
.164
5.592
.00
.00
.05
.18
.27
.16
.42
.033
12.386
.07
.20
.64
.00
.12
.72
.36
.009
23.794
.93
.80
.06
.01
.01
.09
.00
P-tersedia
Ca
63
Model Dimension
7
Eigenvalue
Condition Index
Variance
Proportions
Model
Dimension
Eigenvalue
Condition Index
Variance
Proportions
Model
Dimension
Eigenvalue
5.653
1.000
.00
.00
.00
.01
.01
.00
.00
.01
.956
2.431
.00
.00
.11
.02
.08
.01
.00
.03
.544
3.223
.00
.00
.01
.02
.31
.00
.00
.35
.359
3.970
.00
.00
.09
.69
.01
.00
.00
.17
.319
4.210
.00
.00
.07
.12
.14
.00
.31
.11
.127
6.679
.01
.01
.02
.13
.33
.24
.33
.32
.033
13.006
.07
.20
.64
.00
.12
.66
.35
.00
.009
24.985
.92
.80
.06
.01
.01
.08
.00
.00
6.338
1.000
.00
.00
.00
.01
.00
.00
.00
.01
.00
1.087
2.415
.00
.00
.10
.02
.04
.00
.01
.02
.02
.548
3.401
.00
.00
.01
.02
.34
.00
.00
.30
.00
.368
4.152
.00
.00
.07
.51
.04
.00
.00
.30
.02
.326
4.412
.00
.00
.02
.28
.15
.00
.25
.10
.01
.200
5.630
.00
.00
.18
.09
.09
.01
.17
.12
.40
.096
8.124
.02
.02
.03
.06
.22
.18
.24
.16
.36
.029
14.823
.06
.18
.55
.00
.11
.76
.33
.00
.17
.009
26.462
.92
.79
.05
.01
.01
.05
.00
.00
.00
64
Lampiran 3Perbandingan Kriteria Kesesuaian Lahan Kelapa Sawit
Kriteria Kesesuaian Lahan Kelapa Sawit
Kelas Kesesuaian Lahan
Karakteristik lahan
Tempratur
- Elevasi (m dpl)
Ketersediaan Air
- Curah Hujan (mm)
S1
Pengemb. Kriteria
BBSDLP
< 149
S2
Pengemb. Kriteria
BBSDLP
> 149
S3
Pengemb. Kriteria
BBSDLP
N
Pengemb. Kriteria
BBSDLP
1.371 - 1.971
1.700 - 2.500
1.031 - 1.371
1.971 - 2.836
1.450 - 1.700
2.500 - 3.500
< 1.031
> 2.836
1.250 - 1.450
3.500 - 4.000
< 1.250
> 4.000
<2
2-4
2-3
>4
3-4
>4
agak kasar
sedang
halus,
agak halus,
sedang
halus
agak halus
agak kasar
sedang
kasar
Kasar
82,3 - 110,9
> 100
sedang
agak halus
agak halus
halus
71,9 - 82,3
75 - 100
< 71,9
50 - 75
< 50
> 3,8
4,9 - 6,5
> 16
5,0 - 6,5
- C-organik (%)
- Kejenuhan Basa (%)
Kondisi Lereng
- Kemiringan Lereng (%)
> 1,1
> 16,3
> 0,8
> 20
< 3,8
4,3 - 4,9
6,5 - 6,9
0,6 - 1,1
9,3 - 16,3
16
4,2 - 5,0
6,5 - 7,0
0,8
20
< 4,3
> 6,9
< 0,6
< 9,3
< 11,6
<8
> 11,6
8 - 16
- Bulan Kering
Media Perakaran
- Tekstur
< 4,2
> 7,0
16 - 30
> 30
65
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada 28 April 1981 di Surabaya, Jawa Timur sebagai
anak kedua dari pasangan Bapak Oerip Sihono dan Ibu Siti Suhartatik. Tahun
1999 penulis lulus dari SMU Negeri-1 Nganjuk, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur.
Pada tahun 2000 penulis diterima menjadi mahasiswa Program Sarjana (Strata 1)
di Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Jember Jawa Timur dan
lulus Sarjana pada 2004.
Pada 24 Juni 2006 penulis menikah dengan Fifin Chahyani Rochmatin
Nurdiyana. S.Sos. M.Si putri dari Bapak H. M. Mashuri dan Ibu
Hj. Chumriyiniswatin. Penulis mempunyai tiga orang anak bernama Keisha
Najasyi Rasyifa Mimboro, Pasha Mahaizis Al-Makki Mimboro dan Muhammad
Mahesha Al-Ghaniy Mimboro.
Tahun 2012 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Program Pascasarjana
untuk program Magister Sains (S-2) pada program studi Ilmu Tanah. Selama
mengikuti pendidikan dan penelitian pada program pascasarjana IPB, penulis
mendapat beasiswa dari PT. Perkebunan Nusantara-III, Medan.
Dari tahun 2005 sampai dengan saat ini penulis bekerja di PT. Perkebunan
Nusantara-III, Medan dengan jabatan terakhir sebagai Staf Bagian Tanaman
(3.01). Selain itu penulis juga adalah anggota Himpunan Ilmu Tanah Indonesia
(HITI) dan berpartisipasi dalam berbagai kegiatan perkebunan kelapa sawit.