Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab utama morbiditas dan
mortalititas di seluruh dunia. Salah satu bentuk dari penyakit kardiovaskular
adalah penyakit jantung koroner (PJK) yang didasari oleh karena penyempitan
arteri koroner akibat proses aterosklerosis dan atau spasme. Data World Health
Organization (WHO) menujukkan pada tahun 1990 angka kematian akibat
penyakit kardiovaskular sebesar 14,4 juta meningkat menjadi 17,5 juta di tahun
2005, dimana 7,6 juta kematian tersebut adalah akibat PJK. Diperkirakan pada
tahun 2015 angka kematian akibat penyakit kardiovaskular tersebut mengalami
peningkatan menjadi 20 juta, yang merupakan 30% dari seluruh penyebab
1,2

kematian di seluruh dunia.


Data dari beberapa Negara di Asia, termasuk Indonesia, juga menunjukkan
terjadinya peningkatan morbiditas dan mortalitas akibat PJK. Hasil survey yang
dilakukan Departemen Kesehatan Republik Indonesia menunjukkan prevalensi
PJK di Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat. Data Riset Kesehatan
Dasar (RISKESDAS) Kementerian Kesehatan tahun 2007 menunjukkan angka
kejadian PJK sebesar 7,2%.3
Manifestasi klinis PJK sangat bervariasi, kadang tidak bergejala
(asimptomatis) maupun dapat bermanifestasi klinik seperti angina pectoris stabil
(APS), sindrom koroner akut (SKA), dan kematian mendadak. Manifestasi klinik
SKA biasanya berupa nyeri dada atau gejala iskemik lainnya yang disertai dengan

perubahan elektrokardiografi (EKG) berupa elevasi segmen ST (ST-elevation


myocard infarct, STEMI) atau tanpa disertai elevasi segmen ST (non-ST elevation
myocard infarct, NSTEMI). Penderita yang mengalami nyeri dada tanpa disertai
peningkatan biomarker jantung dapat didiagnosis dengan unstable angina
pectoris.4
Patomekanisme

utama

aterosklerosis.

ini

Proses

yang

mendasari

berlangsung

menahun

kejadian
dan

SKA

adalah

progresif.

Proses

aterosklerosis merupakan aging process yang dapat diakselerasi oleh beberapa


faktor resiko yang dikenal sebagai faktor resiko kardiovaskular; seperti diabetes,
hipertensi, merokok, dislipidemia, obesitas, kurangnya aktivitas fisisk, defisiensi
estrogen, penyakit ginjal kronik, dan predisposisi genetik.5
Inflamasi vaskular pada PJK merupakan salah satu patomekanisme
terjadinya aterosklerosis, yang merupakan prinsip dasar kejadian kardiovaskular.
Inflamasi berperanan penting dalam setiap tahap aterosklerosis dan terdapat
korelasi tibal balik antara inflamasi dengan disfungsi endotel dalam patogenesis
PJK. Inflamasi berkonstribusi terhadap kejadian disfungsi endotel, sementara itu,
disfungsi endotel dapat menimbulkan inflamasi. Inflamasi dan disfungsi endotel,
keduanya, merupakan suatu proses berkesinambungan dan saling mempengaruhi.6
Sindroma koroner akut (SKA) dalam praktik klinis merupakan salah satu
manifestasi PJK dimana plak aterosklerosis mengalami koyak diiringi dengan
kejadian trombosis yang menyebabakan penyumbatan pembuluh darah. Proses ini
melibatkan berbagai mekanisme seperti disposisi lipid, inflamasi, dan
pembentukan trombus. Berbagai substansi biokimia terlibat dalam aktivitas
inflamasi dan peranan penting inflamasi berkaitan dengan pergeseran mekanisme
hemostasis ke arah thrombosis.7,8

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui beberapa faktor risiko terjadinya


Sindrom Koroner Akut (SKA) pada penyakit jantung koroner (PJK) yang dirawat
di CVCU Cardiac Center RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo pada tahun 2013.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang

tersebut

diatas,

kususnya

mengenai

patomekanisme kejadian SKA adalah aterosklerosis yang merupakan aging


process yang diakselerasi oleh beberapa faktor resiko yang dikenal sebagai
faktor resiko kardiovaskular, maka.permasalahan penelitian ini dirumuskan
sebagai berikut: Faktor risiko apa saja yang berhubungan dengan kejadian
SKA pada penderita PJK yang dirawat di CVCU Cardiac Center RSUP Dr.
Wahidin Sudirohusodo Makassar tahun 2013?
Permasalahan tersebut dibatasi dan diurai menjadi beberapa pertanyaaan
sebagai berikut:
1. Apakah ada hubungan jenis kelamin dengan kejadian SKA pada penderita
PJK yang dirawat di CVCU Cardiac Center RSUP Dr. Wahidin
Sudirohusodo pada tahun 2013?
2. Apakah ada hubungan umur dengan kejadian SKA pada penderita PJK
yang dirawat di CVCU Cardiac Center RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo
pada tahun 2013?
3. Apakah ada hubungan obesitas dengan kejadian SKA pada penderita PJK
yang dirawat di CVCU Cardiac Center RSUP Dr. Wahidin Sudirohuso
pada tahun 2013?
4. Apakah ada hubungan merokok dengan kejadian SKA pada penderita PJK
yang dirawat di CVCU Cardiac Center RSUP Dr. Wahdidin Sudirohusodo
pada tahun 2013?

5. Apakah ada hubungan adanya riwayat keluarga menderita PJK dengan


kejadian SKA pada penderita PJK yang dirawat di CVCU Cardiac Center
RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo pada tahun 2013?
6. Apakah ada hubungan dislipidemia dengan kejadian SKA pada penderita
PJK yang dirawat di CVCU Cardiac Center RSUP Dr. Wahidin
Sudirohusodo pada tahun 2013?
7. Apakah ada hubungan hipertensi dengan kejadian SKA pada penderita
PJK yang dirawat di CVCU Cardiac Center RSUP Dr. Wahidin
Sudirohusodo pada tahun 2013?
8. Apakah ada hubungan diabetes dengan kejadian SKA pada penderita PJK
yang dirawat di CVCU Cardiac Center RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo
pada tahun 2013?

1.3 TUJUAN PENELITIAN


Tujuan umum:
Untuk mengatahui faktor-faktor risiko terjadinya SKA pada penderita PJK
yang dirawat di CVCU Cardiac Center RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo pada
tahun 2013.
Tujuan khusus:
1. Menilai hubungan jenis dengan kejadian SKA pada penderita PJK yang
dirawat di CVCU Cardiac Center RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo pada
tahun 2013.

2. Menilai hubungan umur dengan kejadian SKA pada penderita PJK yang
dirawat di CVCU Cardiac Center RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo pada
tahun 2013.
3. Menilai hubungan obesitas dengan kejadian SKA pada penderita PJK yang
dirawat di CVCU Cardiac Center RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo pada
tahun 2013.
4. Menilai hubungan merokok dengan kejadian SKA pada penderita PJK
yang dirawat di CVCU Cardiac Center RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo
pada tahun 2013.
5. Menilai hubungan

adanya riwayat keluarga menderita PJK dengan

kejadian SKA pada penderita PJK yang dirawat di CVCU Cardiac Center
RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo pada tahun 2013.
6. Menilai hubungan dislipidemia dengan kejadian SKA pada penderita PJK
yang dirawat di CVCU Cardiac Center RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo
pada tahun 2013.
7. Menilai hubungan hipertensi dengan kejadian SKA pada penderita PJK
yang dirawat di CVCU Cardiac Center RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo
pada tahun 2013.
8. Menilai hubungan diabetes dengan kejadian SKA pada penderita PJK yang
dirawat di CVCU Cardiac Center RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo pada
tahun 2013.
1.4 MANFAAT PENELITIAN
Dengan mengetahui gambaran karakteristik penderita SKA yang dirawat di
CVCU Cardiac Center RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo; maka penelitian ini
akan memeberi manfaat dalam beberapa hal, sebagai berikut:

1. Memberi bukti empiris tentang faktor risiko

terjadinya SKA pada

penderita yang dirawat di CVCU Cardiac Center Dr. RSUP Dr. Wahidin
Sudirohusodo.
2. Memberi wawasan baru mengenai faktor risiko yang dapat dieleminer
dalam rangka menurunkan morbiditas dan mortalitasmya.
3. Sebagai data awal bagi peneliti-peneliti yang ingin

mengkaji

patomekanisme terjadinya Sindrom Koroner Akut (SKA) lebih lanjut.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 SINDROM KORONER AKUT (SKA)
2.1.1 Definisi
Penyakit jantung koroner adalah suatu penyakit jantung yang terjadi
akibat penyempitan atau penyumbatan pembuluh darah koroner. Hal ini paling
sering disebabkan oleh lesi aterosklerosis pada arteri koronaria. Akibat
penyempitan atau penyumbatan maka terjadi ketidakseimbangan antara suplai
oleh aliran darah koroner dengan kebutuhan metebolisme miokard.
Ketidakseimbangan ini mengakibatkan manifestasi klinis bila kebutuhan
miokard melebihi kapasitas arteri koroner untuk mengangkut suplai oksigen.9
Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah suatu istilah atau terminologi
yang digunakan untuk menggambarkan spektrum keadaan atau kumpulan
proses penyakit yang meliputi angina pektoris tidak stabil (unstable angina
pectoris / UAP), infark miokard tanpa elevasi segmen ST (non-ST elevation
myocardial infarction / NSTEMI), dan infark miokard dengan elevasi segmen

ST (ST elevation myocardial infarction / STEMI). Alasan rasional menyatukan


semua penyakit itu dalam satu sindrom adalah karena mekanisme patofisiologi
yang sama. Semua disebabkan oleh terlepasnya plak yang merangsang
terjadinya agregasi trombosit dan trombosis, sehingga pada akhirnya akan
menimbulkan stenosis berat atau oklusi pada arteri koroner dengan atau tanpa
emboli sehingga terjadi ketidakseimbangan pasokan dan kebutuhan oksigen
miokard.10,11,12
Pada UAP dan STEMI pembuluh darah terlibat tidak mengalami oklusi
total (parsial), sehingga dibutuhkan stabilisasi plak untuk mencegah progresi,
trombosis, dan vasokonstriksi. UAP dan STEMI merupakan SKA yang
ditandai oleh ketidakseimbangan pasokan dan kebutuhan oksigen miokard.
Penyebab utama stenosis koroner akibat trombus non- oklusif yang terjadi
pada plak aterosklerosis yang mengalami erosi, fisur, dan atau ruptur. Ketiga
jenis kejadian koroner itu sesungguhnya merupakan suatu proses berjenjang
dari fenomena yang ringan sampai yang terberat. Dan jenjang itu terutama
dipengaruhi oleh kolateralisasi, akut tidaknya dan lambatnya iskemia miokard
yang berlangsung.10,13
Sedangkan letak perbedaan antara UAP, NSTEMI, dan STEMI adalah
dari jenis trombus yang menyertainya. UAP dengan trombus mural, NSTEMI
dengan trombus inkomplit/nonklusif, sedangkan pada STEMI dengan trombus
komplit/oklusif. Proses terjadinya trombus dimulai dengan gangguan pada
salah satu Trias Virchow, yaitu antara lain kelainan pada pembuluh darah,
gangguan endotel, dan atau aliran darah terganggu. Selanjutnya proses
koagulasi berlangsung diawali dengan aterosklerosis, inflamasi, terjadi

ruptur/fisura dan akhirnya menimbulkan trombus yang akan menghambat


aliran dalampembuluh darah. Apabila pembuluh darah tersumbat 100%, maka
terjadi infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI). Namun, bila
sumbatan tidak total hanya terjadi UAP atau infark jantung akut tanpa elevasi
segmen ST (NSTEMI).10,13
2.1.2 Epidemiologi
Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab utama morbiditas dan
mortalitas di seluruh dunia. Salah satu bentuk dari penyakit kardiovaskular
adalah PJK yang didasari oleh penyempitan arteri coroner akibat proses
aterosklerosis dan atau spasme. Data WHO menunjukkan pada tahun 1990
angka kematian akibat penyakit kardiovaskular sebesar 14,4 juta meningkat
menjadi 17,5 juta di tahun 2005, di mana 7,6 juta kematian tersebut adalah
akibat PJK. Tahun 2015 angka kematian akibat penyakit kardiovaskular
tersebut akan mengalami peningkatan menjadi 20 juta, yang merupakan 30%
dari seluruh penyebab kematian di seluruh dunia.2
Pada tahun 2000, PJK menyebabkan 850.000 kematian di Amerika
Serikat. Berdasarkan distribusi jenis kelamin, PJK menyebabkan tingginya
angka kematian di Amerika Serikat yaitu sekitar 40% kematian pada laki-laki
dan 41% kematian pada perempuan. Penyakit jantung koroner berpengaruh
pada rata-rata 30% laki-laki dan perempuan berusia di atas 50 tahun, namun
angka tersebut meningkat menjadi 75% di usia 75 tahun. Penyakit jantung
koroner lebih sering ditemukan pada laki-laki disbanding perempuan pada
semua kelompok umur dewasa (20-75 tahun) berdasarkan data National
Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) III yang dilakukan pada
tahun 1988-1994. Data pada tahun 2009 memperlihatkan PJK sebagai satu

dari enam penyebab kematian setiap harinya di AS.Di tahun 2009, 386.324
penduduk Amerika meninggal akibat PJK. Setiap tahunnya diperkirakan
sebesar 635.000 penduduk Amerika mengalami serangan PJK baru dan
280.000

mengalami

serangan

berulang.Data

tersebut

memperkirakan

terdapatnya 150.000 serangan IMA baru setiap tahunnya.14


Di Eropa data dari Inggris pada tahun 2001 memperlihatkan lebih dari
110.000 kematian terjadi setiap tahunnya akibat PJK. Diperkirakan sekitar 2,7
juta orang di Inggris menderita PJK dan menyebabkan 105.000 kematian
setiap tahunnya. Data dari beberapa Negara di Asia, termasuk Indonesia, juga
menunjukkan terjadinya morbiditas dan mortalitas akibat PJK.Hasil survei
yang dilakukan Departemen Kesehatan RI menunjukkan prevalensi PJK di
Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat. Data Riset Kesehatan Dasar
(RISKESDAS) Kemenerian Kesehatan tahun 2007 menunjukkan angka
kejadian PJK sebesar 7,2%. Di Provinsi Jawa Tengah berdasarkan laporan dari
Rumah Sakit dan Puskesmas tahun 2006, kasus PJK sebesar 26,38 per 1.000
penduduk.3
2.1.3 Etiopatogenesis
Penyakit jantung

koroner

disebabkan

karena

ateroma

dan

komplikasinya. Aterosklerosis merupakan 99% penyebab PJK, sedangkan


penyebab PJK lainnya antara lain adalah emboli arteri koronaria, kelainan
jaringan ikat pada arteri koronaria (penyakit kolagen), dan spasme arteri
koronaria oleh karena peninggian tonus dinding vaskuler.9
Aterosklerosis merupakan suatu keadaan dimana fatty plaque
terbentuk pada arteri berukuran besar dan sedang termasuk pembuluh darah
jantung sebagai akibat deposisi kolesterol, lipid, dan sisa sel. Plak dalam arteri

jantung akhirnya menjadi demikian padat sehingga aliran darah ke jantung


terbatas. Aliran darah ke jantung yang terbatas menyebabkan sel miokardium
mengalami iskemia. Kematian sel miokardium akibat iskemia disebut infark
miokard biasanya disebabkan oklusi mendadak dari arteri koroner bila ada
ruptur plak yang kemudian akan mengaktivasi sistem pembekuan. Interaksi
antara ateroma dengan bekuan akan mengisi lumen arteri, sehingga aliran
darah mendadak tertutup. Infark miokard dapat juga disebabkan karena
spasme dinding arteri yang menyebabkan oklusi lumen pembuluh darah.9
Gambar 2.1. Perjalanan proses aterosklerosis (Inisiation, Progression, and
Complication) pada Plak Aterosklerosis.10

Perjalanan proses aterosklerosis mulai dari proses inisiasi, progresi,


hingga komplikasi pada plak aterosklerotik, secara bertahap berjalan dari sejak
usia muda bahkan dikatakan juga sejak usia anak-anak sudah terbentuk
bercak-bercak garis lemak (fatty streaks) pada lapisan permukaan di dalam
pembuluh darah, dan lambat laun pada usia tua dapat berkembang menjadi

10

bercak sclerosis (plak atau kerak pada pembuluh darah) sehingga terjadinya
penyempitan dan penyumbatan pembuluh darah. Kalau terjadi ruptur plak,
atau perdarahan subendotel, mulailah proses trombogenik, yang menyumbat
sebagian atau seluruh pembuluh darah koroner. Pada saat inilah muncul
berbagai presentasi klinis seperti angina atau infark miokard. Proses
ateroskerosis ini dapat stabil, tetapi dapat juga tidak stabil atau progresif.10,12,15
Aterosklerosis berhubungan dengan banyak faktor-faktor resiko,
seperti keluarga, hipertensi, obesitas, merokok, diabetes mellitus, stress, serta
kadar serum kolesterol dan trigliserida yang tinggi.5
Tabel 2.1
Faktor-faktor Resiko Penyakit Jantung Koroner10
Faktor resiko yang tidak dapat
diubah
-

Usia
Jenis kelamin
Genetik

Faktor resiko yang dapat diubah

Hipertensi
Obesitas dan sindroma metabolik
Merokok
Diabetes Melitus
Dislipidemia

2.1.3.1 Angina Pektoris Stabil


Pada penderita APS oleh karena aterosklerosis, korelasi antara
beratnya atau luasnya aterosklerosis dan beratnya gejala klinis angina tidak
kuat. Perbedaan antara suplai aliran darah koroner dan kebutuhan metabolik
miokard merupakan faktor

primer

pada penyakit jantung iskemik.

Ketidakseimbangan ini akan menimbulkan manifestasi klinis iskemia bila

11

kebutuhan miokard melebihi kapasitas arteri koroner untuk mengangkut suplai


oksigen yang cukup. Pada jantung normal dijumpai kelebihan cadangan aliran
darah koroner sehingga iskemia tidak terjadi meskipun kerja sangat
berlebihan. Penyakit aterosklerosis baik pada arteri koroner epikardial atau
pada mikrovaskular koroner dapat menyebabkan ketidakseimbangan antara
suplai dan kebutuhan meskipun pada tingkat kerja sedang.9
2.1.3.2 Sindrom Koroner Akut
Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan salah satu bentuk
manifestasi klinis dari PJK akibat utam dari proses aterotrombosis yang
melibatkan banyak (multifaktorial) serta saling terkait satu sama lain.12
Sindrom koroner akut adalah suatu fase akut UAP yang disertai IMA
gelombang Q (IMA-Q) dengan NSTEMI atau tanpa gelombang Q (IMA-TQ)
dengan STEMI yang terjadi karena adanya trombosis akibat dari ruptur plak
aterosklerosis yang tak stabil (Vulnerable). Meskipun diketahui bahwa factor
inflamasi banyak memegang peranan penting dari aterosklerosis namun
terdapat faktor-faktor lain yang juga berperan yaitu trombosis dan vasospasme
koroner.16
Sindrom koroner akut ini menggambarkan suatu penyakit yang berat,
dengan mortalitas tinggi. Mortalitas tidak tergantung pada besarnya presentase
stenosis (plak) koroner, namun lebih sering ditemukan pada penderita dengan
plak kurang dari 50-70% yang tidak stabil, yakni fibrous cap dinding plak
yang tipis dan mudah erosi atau ruptur.17,18
Ada 3 unsur yang memegang peranan penting terhadap terjadinya SKA yaitu
disrupsi plak, trombosis akut, dan vasokonstriksi.
1. Disrupsi plak
12

Disrupsi plak memegang peranan penting untuk terjadinya SKA.


Resiko terjadinya rupture plak tergantung dari kerentanan atau ketidakstabilan
plak, bukan dari ukuran plak atau derajat penyempitannya.19,20
Ciri-ciri plak yang tidak stabil adalah:
Gumpalan lipid (lipid core) besar menempati >40% volume plak.
Kap (fibrous cap) tipis mengandung sedikit kolagen dan sel otot polos.
Aktivitas dan jumlah sel makrofag, limfosit T, dan sel mast meningkat.
Faktor-faktor resiko yang mempengaruhi instabilitas dan disrupsi plak tersebut
adalah:
a. Faktor eksternal
- Faktor sistemik: faktor hemodinamik dan farmakologi
- Faktor intrinsik dari plak: besarnya plak, lokasi plak, kepadatan lipid
(kolesterol ester) dan ketebalan kap yang menyelimuti plak.
b. Faktor internal
- Aktivitas sel inflamasi
- Infeksi
- Disfungsi endotel
- Proliferasi otot polos
Pada mulanya telah disepakati bahwa terjadinya SKA oleh karena
adanya penutupan yang tiba-tiba dari aliran darah koroner yang aterosklerotik
yang kemudian mengakibatkan kekurangan oksigen di otot jantung dan
akibatnya terjadi jaringan iskemi smpai jaringan nekrosis. Luas tidaknya
jaringan nekrosis yang terjadi mempengaruhi harapan hidup penderita SKA.
Pada saat ini diperkirakan semakin besar ateroma yang ada di pembuluh darah
semakin mudah menyebabkan SKA, akan tetapi ternyata pada penelitian
dibuktikan bahwa justru pada stenosis yang ringan dan sedang lebih banyak
terjadi SKA dan hal ini diduga oleh karena pecahnya ateroma tersebut.21

13

Plak aterosklerosis yang sudah matang terdiri dari bermacam-macam


yaitu: lipid core atau gumpalan lipid, gumpalan lipid ini terdiri dari sel-sel
makrofag yang mengandung lipid di dalamnya, dan lipoprotein yang terjebak
di dalam subendothelial maupun ruang ekstra sel. Di dalam bungkah lipid
tersebut konsistensinya lunak, sel-selnya jarang (hiposeluler) dan juga terdapat
gumpalan kolesterol ester (yang berkonsistensi lunak) dan kristal kolesterol
yang berkonsistensi agak keras. Kemudian gumpalan lipid ini diselimuti oleh
suatu kap yang terdiri dari matriks jaringan ikat.Bila gumpalan lipid tersebut
dominan dengan kap tipis, maka ateroma tersebut disebut sebagai plak yang
tidak stabil.Sebaliknya bila gumpalan lipid lebih padat dengan kap yang kuat
dan tebal disebut plak stabil.Maka bila dicermati, terdapat dua macam plak
yaitu yang stabil dan yang tidak stabil.20
Ruptur plak ditemukan pada 56-95 penderita SKA, tidak smua plak
yang terjadi pada proses aterogenesis menjadi plak yang tidak stabil, hal
tersebut tergantung dari bentuknya kap dan gumpalan lipid yang ada, dan
proses yang mendasarinya, dan hal ini sangat berhubungan dengan tampilan
klinis.21
2. Trombosis akut
Trombosis akut yang terjadi pada plak yang mengalami ruptur
memegang peran penting dalam kejadian SKA. Setelah plak mengalami
rupture, plak akan mengeluarkan zat vasoaktif (kolagen, inti lipid, makrofag,
dan faktor jaringan) ke dalam aliran darah, merangsang adhesi dan agregasi
trombosit serta pembentukan fibrin, membentuk trombus atau proses
trombosis.20,22

14

Disrupsi plak yang tidak stabil akan diikuti pembentukan trombus.


Trombus yang terbentuk mengakibatkan oklusi atau suboklusi pembuluh
koroner dengan manifestasi klinis UAP atau sindroma koroner lainnya pada
>90% penderita STEMI, 1% pada penderita APS dan sekitar 35-75% pada
penderita UAP dan NSTEMI.23
Pada UAP terjadi erosi atau fisur pada plak aterosklerosis yang relatif
kecil dan menimbulkan oklusi trombus yang transien. Trombus biasanya labil
dan menyebabkan oklusi sementara yang berlangsung antara 10-20
menit.Pada NSTEMI kerusakan plak lebih berat dan menimbulkan oklusi
trombus yang lebih persisten dan berlangsung lebih dari 1 jam. Pada sekitar
25% penderita NSTEMI terjadi oklusi trombus yang berlangsung >1 jam,
tetapi bagian distal dari penyumbatan terjadi kolateral.20
Trombolisis spontan, resolusi vasokonstriksi dan kolateral memegang
peranan penting dalam mencegah terjadinya NSTEMI. Pada STEMI disrupsi
plak terjadi pada daerah yang lebih besar dan menyebabkan terbentuknya
trombus yang menetap yang menyebabkan perfusi miokard terhenti secara
tiba-tiba yang berlangsung >1 jam dan menyebabkan nekrosis miokard
transmural.20
Lipid core mengandung bahan-bahan yang bersifat sangat trombogenik
karena mengandung banyak faktor jaringan yang diproduksi oleh makrofag.
Faktor jaringan adalah suatu protein prokoagulan yang akan mengaktifkan
kaskade pembekuan ekstrinsik sehingga paling kuat sifat trombogenik. Faktor
jaringan akan membentuk kompleks dengan faktor

VIIa dan akan

mengaktifkan faktor IX yang selanjutnya terjadi mata rantai pembentukan


trombus.23

15

Ada 3 faktor utama yang menentukan respon trombus pada plak yang
i.
ii.

mengalami disrupsi yaitu:


Sifat dan besar komponen plak (local thrombogenic substrate)
Derajat penyempitan dan irregularitas permukaan plak (local flow

disturbance)
iii.
Keseimbangan trombosis-trombolitik saat terjadinya plak disrupsi.
3. Vasokonstriksi
Vasokonstriksi pembuluh darah koroner ikut berperan

pada

patogenesis SKA. Ini terjadi sebagai respon terhadap disrupsi plak khususnya
trombus yang kaya platelet dari lesi itu sendiri. Endotel berfungsi mengatur
tonus vaskuler dengan melepaskan factor relaksasi yaitu nitrit oxide (NO)
yang dikenal dengan Endothelium Derived Relaxing Factor (EDRF),
prostasiklin, dan factor kontraksi seperti endothelin-1, tromboxan A2,
prostaglandin H2. Trombus kaya platelet yang mengalami disrupsi, terjadi
platelet dependent vasokonstriksi yang diperantarai serotonin dan tromboxan
A2 sehingga menginduksi vasokonstriksi pada daerah ruptur plak atau
mikrosirkulasi.20
Proses terjadinya Aterotrombosis
Trombosis adalah pembentukan klot platelet atau fibrin di dalam
pembuluh darah yang dapat menyumbat pembuluh darah vena atau arteri.
Trombosis merupakan hasil perubahan dari satu atau lebih komponen
hemostasis yang meliputi faktor koagulasi, protein plasma, aliran darah,
permukaan vaskular, dan konstituen selular terutama trombosit dan sel
endotel. Perubahan tersebut dapat menyebabkan trombosis pada pembuluh
darah vena, arteri, atau perifer. Pada pembuluh darah vena yang terpenting

16

adalah stasis dan hiperkoagulabilitas, sedangkan pada trombosis arteri faktor


yang paling penting adalah kelainan pada pembuluh darah. Trombosis arteri
merupakan komplikasi dari aterosklerosis yang terjadi karena adanya plak
aterosklerosis yang pecah.24
Aterosklerosis tanpa adanya trombosis merupakan penyakit progresif
yang berjalan lambat. Perubahan yang tiba-tiba menjadi kondisi yang
membahayakan jiwa terjadi akibat erosi permukaan endotel atau koyaknya
plak sehingga terjadi trombosis. Sekarang ini dipahami bahwa trombosis
mendasari

komplikasi

akut

dari

aterosklerosis.

Munculnya

proses

aterosklerosis dan trombosis yang saling tergantung dan terintegrasi


memunculkan istilah aterotrombosis.24
Aterotrombosis ditandai dengan

adanya

peningkatan

status

proinflamasi, aktivasi trombosit, dan hiperkoagulasi. Menurut AHA, plak


aterosklerosis dan perkembangannya dapat dibagi 5 tipe yang dapat
dihubungkan dengan tampilan klinisnya.25, 26
1. Lesi awal (tipe 1) berkembang bila monosit melekat pada permukaan
endotel dan bermigrasi dari lumen untuk berakumulasi pada intima.
2. Lesi tipe 2 adalah fatty streak yang terdiri dari akumulasi lipid intaseluler
yang terisi foam cell.
3. Lesi tipe 3 seperti lesi tipe 2 disertai kelompok-kelompok kecil lipid
ekstraseluler. Meskipun lesi tipe 1 sampai 3 merupakan precursor lesi yang
lebih berat, namun belum menimbulkan gejala klinis.
4. Lesi tipe 4 seperti lesi tipe 2 disertai sel-sel otot polos terlihat dalam lesi
di bawah endotel, dan kelompok-kelompok lipid ekstraseluler bersatu
membentuk lipid core, lesi ini disebut atheroma.
5. Lesi tipe 5a seperti tipe 4 dengan kapsul fibrous yang tipis, disebut juga
fibroateroma. Lesi tipe 5b, ateroma dengan kalsifikasi berat di dalam lipid

17

core atau lesinya. Lesi 5c adalah fibrous atheroma atau pembentukan


trombus mural dengan komponen lipid yang minimal. Lesi tipe 4 dan 5a
biasanya asimptomatik namun bias juga angina stabil, sedangkan lesi tipe
5b dan 5c biasanya dengan angina stabil.
6. Lesi tipe 6 merupakan lesi yang berkomplikasi dengan thrombosis dengan
tampilan klinis SKA. Lesi tipe 4 dan 5 disebut plak tidak stabil yang bisa
langsung menjadi lesi tipe 6.
Berbagai penelitian yang dilakukan untuk memahami patofisiologi
aterosklerosis akhirnya menghasilkan hipotesis the response-to-injury, yang
pertama kali memaparkan bahwa paparan terhadap endotel merupakan awal
proses aterosklerosis. Kemudian diketahui bahwa disfungsi endotel dan
inflamasi merupakan dasar terjadinya aterosklerosis, yang disebabkan oleh
banyak faktor di antaranya kadar LDL yang tinggi, radikal bebas akibat rokok,
hipertensi, DM, pengaruh genetik, hiperhomosisteinemia, ataupun infeksi
mikroorganisme.25
2.1.4 Diagnosis
Diagnosis adanya suatu SKA harus ditegakkan secara cepat dan tepat,
yang didasarkan pada tiga kriteria, yaitu: gejala klinis nyeri dada spesifik,
gambaran elektrokardiogram (EKG), dan evaluasi biokimia dari enzim
jantung. Kriteria World Health Organization (WHO) diagnosis IMA dapat
ditentukan antara lain dengan: 2 dari 3 kriteria yang harus dipenuhi, yaitu (1)
Riwayat nyeri dada khas infark dengan atau tanpa penjalaran dengan durasi
lebih dari 30 menit, (2) Perubahan EKG, berupa gambaran ST elevasi atau
non-ST elevasi dengan atau tanpa gelombang Q patologis, (3) Peningkatan
biomarker jantung (paling sedikit 1,5 kali nilai normal), terutama CKMB dan

18

Troponin T/I mulai meningkat pada 3 jam dari mulai nyeri dada khas infark
dan menetap 7-10 hari setelah IMA. Troponin T/I mempunyai sensitivitas dan
spesifisitas tinggi sebagai petanda kerusakan sel miokard dan prognosis.12,13,27
Tabel 2.2
Spektrum Klinis Sindrom Koroner Akut10
Jenis

Nyeri Dada

EKG

Enzim Jantung

APTS

Angina pada
waktu istirahat
aktivitas ringan
(CCS III-IV).
Crescendo
angina. Hilang
dengan nitrat
Angina lebih berat
dan lebih lama
(>30 menit).
Tidak membaik
dengan pemberian
nitrat, perlu
opium.
Angina lebih berat
dan lebih lama
(>30 menit).
Tidak membaik
dengan pemberian
nitrat, perlu
opium.

Depresi segmen
ST, inversi
gelombang T,
tidak ada
gelombang Q

Tidak meningkat

Depresi segmen
ST, inversi
gelombang T

Meningkat minimal
2 kali nilai batas
normal.

Hiperakut
selevasi segmen
ST, gelombang Q
patologis, inversi
gelombang T

Meningkat minimal
2 kali nilai batas
normal.

NSTEMI

STEMI

2.1.4.1 Anamnesis
Nyeri dada tipikal (angina) merpakan gejala radikal pasien SKA.
Seorang dokter harus mampu mengenal nyeri dada angina dan mampu
membedakan nyeri dada lainnya karena gejala ini merupakan petanda awal
dalam pengelolaan pasien SKA.10
Sifat nyeri pengelolaan pasien SKA:10,27
a) Lokasi : substernal, retrosternal, dan precordial.

19

b) Sifat nyeri : rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih beban berat,
seperti ditusuk-tusuk, rasa diperas, dan dipelintir.
c) Penjalaran : ke leher, lengan kiri, mandibular, gigi, punggung/interskapula,
dan dapat juga ke lengan kanan.
d) Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat atau obat nitrat.
e) Faktor pencetus : latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan sesudah
makan.
f) Gejala yang menyertai : mual, muntah, sulit bernafas, keringat dingin, dan
lemas.
g) Hati-hati pada pasien diabetes mellitus, kerap pasien tidak mengeluh nyeri
dada akibat neuropati diabetik.
Berat ringannya nyeri bervariasi. Sulit untuk membedakan antara gejala
UAP/NSTEMI dan STEMI.10
2.1.4.2 Pemeriksaan Fisik
Tujuan dari pemeriksaan fisik adalah untuk mengidentifikasi faktor
pencetus dan kondisi lain sebagai konsekuensi dari SKA. Keadaan disfungsi
ventrikel kiri (hipotensi, ronkhi, dan gallop S3) menunjukkan prognosis yang
buruk. Adanya bruit di karotis atau penyakit vaskuler perifer menunjukkan
bahwa pasien memiliki kemungkinan juga penyakit jantung.10,28
2.1.4.3 Elektrokardiografi
Gambaran EKG abnormal terdapat pada penderita IMA dengan
ditemukannya elevasi segmen ST dan adanya gelombang Q. Namun demikian,
elevasi segmen ST dapat juga ditemukan di perikarditis, repolarisasi cepat
yang normal, dan aneurisma ventrikel kiri. EKG merupakan langkah diagnosis
awal yang membedakan kedua kelompok sindrom koroner akut yang
mempunyai pendekatan terapi berbeda. Jika terjadi elevasi segmen ST, artinya
terjadi infark miokard yang merupakan indikasi untuk reperfusi segera.12,29
20

Pedoman American College of Cardiology / American Heart


Association (ACC/AHA) menggunakan terminology infark miokard dengan
peningkatan segmen ST dan tanpa peningkatan segmen ST, menggantikan
terminologi infark miokard gelombang Q yang kuran bermanfaat dalam
perencanaan pelaksanaan segera.10,36

Gambar 2.2. Spektrum Sindrom Koroner Akut.10

EKG memberi bantuan untuk diagnosis dan prognosis. Rekaman yang


dilakukan saat sedang nyeri dada sangat bermanfaat. Gambaran diagnosis dari
EKG adalah:11
1. STEMI ST elevasi 2 mm minimal pada 2 sadapan prekardial yang
berdampingan atau 1 mm pada sadapan ektremitas, LBBB baru atau
diduga baru: ada evolusi EKG pada EKG serial.
2. NSTEMI normal, ST depresi 0,05 mV, T inverted simetris: ada
evolusi EKG pada EKG serial.
3. UAP normal atau transient.

21

Serial EKG harus dibuat jika ditemukan adanya perubahan segmen ST.
Namun EKG yang normal pun tidak menyingkirkan diagnosis UAP/STEMI.11
2.1.4.4 Biomarker Jantung
Kerusakan miokardium dikenali keberadaannya antara lain dengan
menggunakan tes enzim jantung, seperti Creatinin-Kinase (CK), Creatinin
Kinase MB (CKMB), dan laktat dehidrogenase (LDH). Kadar serum CK dan
dan CKMB merupakan indicator penting dari nekrosis miokard. Keterbatasan
utama dari kedua petanda tersebut adalah relatif rendahnya spesifikasi dan
sensitivitas saat awal (< 6 jam) setelah onset serangan. Resiko yang lebih
buruk pada pasien tanpa elevasi segmen ST lebih besar pada pasien dengan
peningkatan nilai CKMB. Peningkatan kadar CKMB sangat berkaitan erat
dengan kematian pasien dengan SKA tanpa elevasi segmen ST, dan naiknya
resiko dimulai dengan peningkatan kadar CKMB diatas normal. Meskipun
demikian nilai normal CKMB tidak menyingkirkan adanya kerusakan ringan
miokard dan adanya resiko terjadinya perubahan penderita. Troponin khusus
jantung merupakan petanda biokimia primer untuk SKA. Sudah diketahui
bahwa kadar troponin, negatif saat < 6 jam dan harus diulang saat 6-12 jam
setelah onset nyeri dada.10,12,13
Tabel 2.3
Enzim dan Biomarker Jantung pada Sindrom Koroner Akut.13
Enzim
CK-MB
GOT
LDH
Troponin T
Troponin I

Meningkat
6 jam
6-8 jam
24 jam
3 jam
3 jam

Puncak
24 jam
36-48 jam
48-72 jam
12-24 jam
12-24 jam

Normal
36-48 jam
48-96 jam
7-10 hari
7-10 hari
7.14Ari

22

2.1.5 Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan SKA adalah mengembalikan aliran darah
koroner dengan trombolitik / PTCA primer untuk menyelamatkan jantung dari
infark miokard, membatasi luasnya infark miokard, dan mempertahankan
fungsi jantung. Penderita SKA perlu penangan segera mulai sejak diluar
rumah sakit sampai di rumah sakit. Pengenalan SKA dalam keadaan dini
merupakan kemampuan yang harus dimiliki dokter atau tenaga medis karena
akan memperbaiki prognosis pasien. Tenggang waktu antara mulai keluhan diagnosis

dini sampai dengan mulai terapi reperfusi akan sangat

mempengaruhi prognosis. Terapi IMA harus dimulai sedini mungkin,


reperfusi/ rekanalisasi sudah harus terlaksana sebelum 4-6 jam.32
Dalam menangani SKA dapat dibagi menjadi 2 fase, yaitu:32
1. Fase sebelum masuk rumah sakit (prehospital stage), yang kemungkinan
tanpa komplikasi atau sudah ada komplikasi, harus diperhatikan dengan
seksama.
2. Fase masuk rumah sakit (hospital stage) yang dimulai di Instalasi Gawat
Darurat (IGD) dengan tujuan terapi untuk: pencegahan terjadinya IMA,
pembatasan luasnya infark, dan pemeliharaan fungsi jantung (miokard).
Kemudian dilanjutkan perawatan di ruang intensif kardiovaskular, dengan
lebih lanjut memperhatikan sasaran terapi berupa: (1) pencapaian secara
komplit dan cepat reperfusi aliran darah daerah infark; dan (2)
menurunkan

resiko

medikamentosa.
ACC / AHA

berulangnya

IMA

dengan

berbagai

terapi

merekomendasikan, terapi awal untuk SKA ialah

pemberian aspirin, klopidogrel, dan heparin atau low molecular weigh heparin
(LMWH), penyekat beta dan nitrat. Lalu dilakukan penilaian resiko dengan

23

melihat melihat keadaan klinis, EKG, dan laboratorium. Untuk pasien dengan
resiko tinggi seperti perhubungan segmen ST, troponin positif, TIMI risk
score lebih dari 3, perlu diberikan obat GP IIb/IIa inhibitor. Dianjurkan
strategi invasif untuk pasien yang mempunyai resiko tinggi dan strategi
konservatif untuk pasien dengan resiko pasien. Untuk penderita IMA
direkomendasikan penggunaan fibrinolitik/trombolitik disamping pemakaian
obat-obat sebagaimana pada penderita UAP/NSTEMI. Sedangkan penggunaan
jangka panjang digunakan formula terapi berupa aspirin, penyekat beta, ACEinhibitor, dan statin.13,30
Penanganan SKA oklusi total yang terjadi lebih dari 4-6 jam pada
arteri koroner akan menyebabkan nekrosis miokard yang irreversibel, dengan
gambaran Q-MI. Namun, dengan terapi reperfusi yang cepat dan adekuat
dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas.30

24

Gambar 2.3. Skema pembentukan trombus dan target farmakologis obat-obat


penghambat pembentukan trombus.35

2.2 DISLIPIDEMIA
2.2.1 Definisi
Dislipidemia adalah kelainan metabolisme lipid yang ditandai oleh
peningkatan atau penurunan fraksi lipid dalam plasma. Kelainan fraksi lipid
yang utama adalah kelainan kadar kolesterol total, Low Density Lipoprotein
(LDL), trigliserida, dan penurunan High Density Lipoprotein (HDL). Adult
Treatment Panel (ATP) III memberi batasan dislipidemia aterogenik adalah
peningkatan trigliserida, small dense LDL, dan penurunan HDL.32,33
Klasifikasi dislipidemia dapat berdasarkan atas penyebabnya, yaitu
primer yang tidak jelas sebabnya dan sekunder yang mempunyai penyakit
dasar seperti pada sindrom nefrotik, diabetes mellitus, hipotiroidisme, dan
lain-lain. Selain itu, dislipidemia dapat juga dibagi berdasarkan profil lipid
yang menonjol, seperti hiperkolesterolemia, hipertrigliserida, isolated low

25

HDL-cholesterol, dan dislipidemia campuran. Bentuk yang terakhir ini yang


paling banyak ditemukan.38
2.2.2 Metabolisme Lipid dan Lipoprotein
Di dalam darah ditemukan tiga jenis lipid, yaitu kolesterol, trigliserida,
dan fosfolipid. Oleh karena sifat lipid yang susah larut dalam air, maka perlu
dibuat bentuk terlarut. Untuk itu dibutuhkan suatu zat pelarut, yaitu suatu
protein yang dikenal dengan apoprotein atau apolipoprotein. Senyawa lipid
dengan apoprotein ini dikenal dengan nama lipoprotein. Setiap jenis
lipoprotein mempunyai Apo tersendiri. Setiap lipoprotein akan terdiri atas
kolesterol (bebas atau ester), trigliserida, fosfolipid, dan apoprotein.
Lipoprotein berbentuk sferik dan mempunyai inti trigliserid dan kolesterol
ester dan dikelilingi oleh fosfolipid dan sedikit kolesterol bebas. Apoprotein
ditemukan pada permukaan protein. Setiap lipoprotein berbeda dalam ukuran,
densitas, komposisi lemak, dan komposisi apoprotein. Dengan menggunakan
ultrasentrifusi, pada manusia dapat dibedakan 6 jenis lipoprotein, yaitu High
Density Lipoprotein (HDL), Low Density Lipoprotein (LDL), Intermediate
density Lipoprotein (IDL), Very Low Density Lipoprotein (VLDL),
kilomikron, dan lipoprotein a kecil (Lp(a)).38
Metabolisme lipoprotein dapat dibagi atas tiga jalur, jalur metabolisme
eksogen, jalur metabolisme endogen, dan jalur reverse cholesterol transport.
Kedua jalur metabolisme kolesterol LDL dan trigliserida, sedangkan jalur
reverse cholesterol transport khusus mengenai metabolisme kolesterol HDL.38
2.2.3 Faktor Resiko
Untuk mencegah kadar kolesterol yang tinggi di dalam darah, upaya
yang bisa dilakukan adalah dengan meminimalisasi faktor resiko. Faktor
resiko kolesterol dibagi dua, yakni faktor resiko yang bisa diubah dan tidak

26

bisa diubah. Faktor resiko yang tidak bisa diubah antara lain usia. Biasanya
semakin bertambah usia, kadar kolesterol pun semakin tinggi. Selain itu, jenis
kelamin juga merupakan salah satu faktor. Biasanya wanita memiliki resiko
terkena kolesterol tinggi ketika masa menopause karena di masa akhir ini
kadar LDL dalam tubuh wanita cenderung meningkat. Faktor genetik juga bisa
menjadi faktor resiko yang mempengaruhi tingginya kadar HDL atau LDL
seseorang.37
Sementara itu, faktor resiko yang bisa diubah antara lain faktor gaya
hidup, seperti obesitas, kandungan gizi pada makanan yang kurang
diperhatikan saat dikonsumsi, kurang aktivitas yang bisa memicu naiknya
kadar kolesterol, dan merokok. Semua faktor ini dapat membantu
pembentukan penumpukan lemak pada dinding arteri. Untuk itu, pengecekan
secara berkala terhadap kolesterol perlu dilakukan untuk mengetahui kadar
kolesterol.37
Lebih dari separuh angka kejadian penyakit jantung koroner di
Amerika Serikat disebabkan oleh kelainan metabolisme lemak plasma dan
lipoprotein. Peningkatan lipoprotein merefleksikan pola hidup tidak sehat,
obesitas, diet tinggi lemak pada individu dengan kelainan metabolisme lemak
yang berasal dari defek tingkat genetik.37
2.2.4 Kadar Kolesterol
Profil lemak pada umumnya diperiksa setelah subyek atau penderita
berpuasa 6-8 jam. Untuk kepentingan klinis, National Cholesterol Education
Program-Adult Treatment Panel III telah membuat klasifikasi pada tahun
2001.38,32
Tabel 2.4
Klasifikasi Kadar Lipoprotein Menurut NCEP-ATP III10

27

Kadar Lipoprotein (mg/dl)


Interpretasi
Kolesterol Total
<200
Yang diinginkan
200-239
Batas Tinggi
240
Tinggi
Kolesterol LDL
<100
Optimal
100-129
Mendekati Optimal
130_159
Batas Tinggi
160-189
Tinggi
190
Sangat Tinggi
Kolesterol HDL
<40
Rendah
60
Tinggi
Trigliserida
<150
Normal
150-199
Batas Tinggi
200-499
Tinggi
500
Sangat Tinggi
2.2.5

Penatalaksanaan
Pilar utama pengelolaan dislipidemia adalah upaya non-farmakologi

yang meliputi modifikasi diet, latihan jasmani, serta pengelolaan berat badan.
Tujuan utama terapi diet disini adalah menurunkan resiko penyakit
kardiovaskular (PKV) dengan mengurangi asupan lemak jenuh dan kolesterol
serta mengembalikan keseimbangan kalori, sekaligus memperbaiki nutrisi.
Perbaikan

keseimbangan

kalori

biasanya

memerlukan

peningkatan

penggunaan energi melalui kegiatan jasmani serta pembatasan asupan kalori.33


Secara umum pengobatan dibagi non-farmakologis (perubahan gaya
hidup) dan farmakologis. Terapi non-farmakologis adalah terapi gaya hidup,
yaitu:32
1. Diet rendah lemak, rendah kolesterol, dan tinggi serat.

28

2. Penyesuaian berat badan ideal sesuai Body Mass Index.


3. Peningkatan aktivitas fisik.
Terapi gaya hidup esensial diterapkan sebagai terapi awal. Terapi
farmakologis dapat diberikan jika setelah 3 bulan terapi gaya hidup tidak
menurunkan kadar LDL. Semua penderita resiko tinggi sedang dengan faktor
resiko gaya hidup (obesitas, inaktivitas, kadar trigliserida tinggi, HDL-C
rendah, sindrom metabolik) adalah kandidat terapi gaya hidup tanpa
melibatkan kadar LDL.32
Obat terapi farmakologis terutama HMG CoA reductase inhibitor
(statin). Pada penderita resiko tinggi atau resiko sedang sangat dianjurkan
pemberian intensif untuk menurunkan kadar LDL 30-40% dari kadar semula.
Target LDL adalah <70 mg/dl. Pada penderita resiko tinggi jika kadar LDL
>100 mg/dl maka terapi gaya hidup dan terapi farmakologis dilakukan secara
simultan. Jika kadar LDL awal < 100 mg/dl pada resiko tinggi dengan
menggunakan obat penurun LDL, maka target <70 mg/dl adalah opsional.
Apabila pada resiko tinggi didapatkan kadar trigliserida tinggi atau kadar
HDL-C rendah, dapat diberikan kombinasi obat penurun LDL dengan fibrat
atau asam nikotinat. Pada penderita resiko sedang, pengobatan awal adalah
terapi gaya hidup jika kadar LDL >130 mg/dl. Apabila kadar LDL menetap
baru dilakukan terapi farmakologis. Apabila kadar LDL normal atau <130
mg/dl tetapi faktor resiko gaya hidup, maka terapi gaya hidup harus dimulai.
Pada penderita dengan resiko tinggi-sedang dengan kadar LDL awal 100-129

29

mg/dl atau sedang dalam pengobatan, maka target LDL ,100 mg/dl adalah
opsional.32

BAB III
KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS
3.1 Kerangka Konsep

Diabete
Umur
Jenis
Kelamin
meroko
k
Obesit
as

ATERO
SKLEROS
IS

SKA
(SINDROM
KORONER
AKUT)

Hipertens
i
Dislipide
mi
Riw.
Keluarga
30

3.2 Hipotesis Nol


1. Jenis kelamin berhubungan dengan kejadian SKA pada penderita PJK
yang dirawat di CVCU Cardiac Center RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo
pada tahun 2013.
2. Umur berhubungan dengan kejadian SKA pada penderita PJK yang
dirawat di CVCU Cardiac Center RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo pada
tahun 2013.
3. Obesitas berhubungan dengan kejadian SKA pada penderita PJK yang
dirawat di CVCU Cardiac Center RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo pada
tahun 2013.
4. Merokok berhubungan dengan kejadian SKA pada penderita PJK yang
dirawat di CVCU Cardiac Center RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo pada
tahun 2013.
5. Adanya riwayat keluarga PJK berhubungan dengan kejadian SKA pada
penderita PJK yang dirawat di CVCU Cardiac Center RSUP Dr. Wahidin
Sudirohusodo pada tahun 2013.
6. Dislipidemia berhungan dengan kejadian SKA pada penderita PJK yang
dirawat di CVCU Cardiac Center RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo pada
tahun 2013.

31

7. Hipertensi berhubungan dengan kejadian SKA pada penderita PJK yang


dirawat di CVCU Cardiac Center RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo pada
tahun 2013.
8. Diabetes berhubungan dengan kejadian SKA pada penderita PJK yang
dirawat di CVCU Cardiac Center RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo pada
tahun 2013.

32

BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian analitik yang menganalisis faktorfaktor risiko kardiovaskuler dengan kejadian SKA pada PJK dari data sekunder
yang tercatat pada medical record penderita PJK yang dirawat di ICCU RSUP Dr.
Wahidin Sudirohusodo pada tahun 2013.
4.2 Waktu dan Tempat Penelitian
4.2.1 Waktu Penelitian
Penelitian ini direncanakan dimulai pada bulan pebruari tahun 2014
hingga semua data sekunder dari medical record penderita PJK yang dirawat di
ICCU RSWS 2013 telah memenuhi target besar sampel yang telah ditentukan.
4.2.2 Tempat Penelitian
Bertempat di ICCU dan bagian medical record RSWS Makassar.
4.3 Populasi dan Sampel
4.3.1 Populasi
Semua penderita PJK yang dirawat di ICCU RSWS selama priode tahun 2013.
4.3.2

Sampel

33

Semua penderita PJK yang dirawat di ICCU RSUP Dr. Wahidin


Sudirohusodo 2013 yang memenuhi kriteria sampel dan dikelompokkan menjadi
SKA dan bukan SKA secara matching berdasarkan kelompok umur.
4.4 Kriteria Sampel
Kriteria inklusi: semua penderita sindrom koroner akut (SKA) yang dirawat pada
ruangan ICCU RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar selama periode 1
Januari - 31 Desember 2013 dan memiliki medical record.
Kriteria ekslusi: bila data yang diperlukan dalam medical record tidak lengkap.
4.5 Jenis Data dan Instrumen Penelitian
4.5.1 Jenis Data
Jenis data dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari
bagian Rekam Medik RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar.
4.5.2

Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian

adalah lembar isian menyangkut karakteristik

demografi (umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan dan pekerjaan) penderita dan
data tentang diagnosis (SKA dan bukan SKA), tinggi badan, berat badan,
kesimpulan hasil rekaman EKG, hasil pemeriksaan profil lemak darah, hasil
pemeriksaan kadar GDP, dan hasil anamnesis tentang riwayat merokok.
4.6 Klasifikasi variabel dan definisi operasional
4.6.1 Klasifikasi variabel
Variabel dependen: Sindroma Koroner Akut (SKA)
Variabel antara: aterosklerosis
Variabel independen: jenis kelamin, obesitas, dislipidemia, hipertensi,
riwayat merokok, dan diabetes.

34

4.6.2

Varibel kendali: umur (matching pada kedua kelompok)


Definisi Operasional
Jenis kelamin adalah jenis kelamin yang tercatat dalam medical record
(MR)
Umur adalah umur yang dikelompokkan dalam kelompok beresiko dan
tidak. Kelompok umur yang beresiko adalah yang diatas 45 tahun
sedangkan yang tidak beresiko adalah kelompok umur dibawah usia 45
tahun.
Obesitas adalah obesitas yang ditentukan berdasarkan perhitungan IMT
dari tinggi badan (meter) dan berat badan (kg) yang tercatat dalam MR
pasien yang dinyatakan obes bila IMT 25 kg/m2.
Dislipidemia adalah kelainan metabolisme lemak yang ditandai dengan
abnormalitas minimal profil lemak (HDL rendah, LDL tinggi, TG tinggi
atau kolesterol total yang tinggi) dari data yang tercatat pada MR.
Hipertensi adalah hasil diagnosis tim dokter yang menangani penderita
atau berdasarkan catatan anamnesis tentang adanya riwayat hipertensi, dan
atau hasil pemeriksaan tekanan darah yang tercatat dalam MR pasien.
Diabetes adalah hasil diagnosis tim dokter yang menangani penderita atau
hasil pemeriksaan GDP yang tercatat dalam MR pasien.
SKA adalah sindroma koroner akut hasil diagnosis tim dokter yang tercatat
dalam MR atau yang ditetapkan berdasarkan hasil pemeriksaan penderita

yang tercatat dalam MR.


4.7 Manajemen Penelitian
4.7.1 Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan setelah meminta izin kepada pihak
pemerintah dan RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar. Kemudian, nomor
rekam medik dalam periode 1 januari 31 Desember 2013 dikumpulkan di bagian

35

Rekam Medik RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar. Setelah itu, dilakukan
pengamatan dan pencatatan langsung ke dalam tabel yang telah disediakan.
4.7.2

Rencana Pengolahan dan Analisa Data


Data yang diperoleh akan diolah dengan menggunakan program SPSS.

Adapun uji statistik yang digunakan adalah uji statistik deskriptif untuk masingmasing variabel, uji X2 untuk mengetahui hubungan masing-masing faktor risiko
dengan kejadian SKA pada PJK dan uji regresi logistik ganda untuk menentukan
besarnya konstribusi masing-masing faktor. Batas kemaknaan yang digunakan
adalah = 5% .
4.7.3

Penyajian Data
Hasil penelitian ini akan disajikan dalam bentuk tabel atau grafik yang

disertai narasi.
4.8 Etika Penelitian
Hal-hal yang terkait etika dalam penelitian ini adalah:
1. Sebelum melakukan penelitian maka peneliti akan meminta izin pada
beberapa instansi yang terkait, antara lain Sub Bagian Kesatuan Bangsa
Pemerintah Daerah TK.1 Sulsel, Kepala RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo
Makassar, Bagian Rekam Medik RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo
Makassar, dan Kepala Instalansi ICCU RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo
Makassar.
2. Berusaha menjaga kerahasiaan identitas pasien yang terdapat dalam rekam
medik, sehingga diharapkan tidak ada pihak yang merasa dirugikan atas
penelitian yang dilakukan.

36

DAFTAR PUSTAKA
1. Purba J, Safri Z, Hassa R. 2012. Hubungan Kadar High Sensitivity CReactive Protein dengan Derajat Stenosis Arteri Koroner pada Pasien Angina
Pektoris

Stabil

(Abstract).

Diunduh

tgl.

16-10-13,

repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/33026/6/Abstract.pd
2. World Health Organization (WHO). 2012. Global Burden of Coronary Heart
Disease. [Accessed on December 2013]. Available from: http://www.who.int
3. Badan Penelitian dan Pengembangan Kemenkes Republik Indonesia. 2007.
Hipertensi. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS). [Accessed on December
2013]. Available from: http://www.riskesdas.litbang.depkes.co.id

37

4. Katz R, Purcell H. 2006. General concepts of ACS. In Clinical Practice Series:


Acute Coronary Syndromes. Elsevier Churchill Livingstone; 10-14.
5. Barton M. 2013. Prevention and Endothelial Therapy of Coronary Artery
Disease. Curr.Opin.Pharmacol. 2013;13:226-241.
6. Li JJ. 2006. Inflammation in Hypertension : primary evidence. Chin.Med.J.
2006;119(14):1215-1221.
7. Esmon CT. 2004. Crosstalk between Inflammation and Thrombosis.
Maturitas 61:122-131.
8. Tedgui A. 2005. The role of inflammation in atherothrombosis : Implications
for clinical practice. Vasc.Med. 10:45-53.
9. Rourke RA, Schlant, Douglas JS. 2001. Diagnosis and Management of
Patients with Chronic Ischemic Heart Disease. In: Fuster V, Alexander RW,
Rourke RA, Eds. Hursts the heart 10 th Ed. Mcgraw-Hill. Newyork: 1207-36.
10. Tim Penyusun. Departemen Kesehatan. 2006. Pharmaceutical Care untuk
Pasien Penyakit Jantung Koroner: Fokus Sindrom Koroner Akut. Jakarta:
Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Dirjen Bina Kefarmasian dan
Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI. Hal 1-101.
11. Madjid, Abdul. 2007. Penyakit Jantung Koroner: Patifisiologi, Pencegahan,
dan

Pengobatan

Terkini.

USU.

Hal

1-10.

Available

from:

http://repository.usu.ac.id/bitstream/1234/705/1/08E0024.pdf
12. Nawawi RA, Fitriani, dkk. 2005. Nilai Troponin T(cTnT) Penderita Sindrom
Koroner

Akut

(SKA).

Hal

123-4.

Available

from:

http://journal.unair.ac.id/filrPDF/IJCPML-12-3-05.pdf
13. Anderson, Jeffrey L. ACC/AHA. 2007. Guidelines for The Management of
Patient with Unstable Angina/Non-ST Elevation Myocardial Infarction a
Report of The American College of Cardiology/American Heart Association
Task Force on Practice Guidelines. In: Circulation.p.148-205.

38

14. Go AS, Mozaffarian D, Roger VL, Benjamin EJ, Berry JD, et al. 2013. Heart
Disease and Stroke Statistics. Update: a report from the American Heart
Association. Circulation. 2013;127:6-245.
15. Brown, Carolt T. 2006. Penyakit Aterosklerotik Koroner. Dalam: Price,
Sylvia A, Wilson, Lorrine M. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit Vol 1. Ed 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran, EGC. Hal 576-88.
16. Libby P. 2006. Inflammation and Cardiovascular Disease Mechanisms.
Am.J.Clin.Nutr. 83(suppl): 456S-60S.
17. Littrell KA, Kern KB. 2002. Acute Ischemic Syndromes. Adjunctive Therapy.
Cardiology Clin. 20(1).
18. Schulman SP, Fessler HE. 2001. Management of Acute Coronary Syndromes.
Am. J Respir Crit Care Med, Vol 164, p 917-22.
19. Hansson G. 2005. Inflammation , Atherosclerosis, and Coronary Artery
Disease. N Engl. J Med. 352: 1685-95.
20. Ismail D. 2001. Paofisiologi Sindroma Koroner Akut. Dalam: Bawazier LA,
Alwi I, Syam Af, dkk. Editors. Prosiding Simposium Pendekatan Holistik
Penyakit Kardiovaskular, Jakarta: Pusat Informasi dan Penertiban Bagian Ilmu
Penyakit Dalam FKUI, hal 22-31.
21. Garlichs C, Eskaf, raaz, et al. 2001. Patient with acute coronary syndromes
express enhanced CD40 ligand/CD154 on platelets. Heart 86: 649-55.
22. Pastrkamp G, Falk E. 2000. Atherosclerotic plaque rupture: an Overview. J
Clin Basic Cardiol, 3: 81-86.
23. Libby P, Theroux P. 2005. Pathophysiology of Coronary Artery Disease.
Circulation. III: 3481-88.
24. Corti R, Fuster V, Badimon JJ. Pathogenic concepts of acute coronary
syndromes. J Am Coll Cardiol. 2003;41:7-14.
25. Pearson TA, Mensah GA, Alexander RW, et al. 2003. Markers of
Inflammation and Cardiovascular Disease Application to Clinical and Public
Health Practice A stamen for Healthcare profesionals from the centers for

39

disease control and prevention and the American Hearth Association.


Circulation. 107: 499-511
26. Tarigan, Elias. Hubungan Kadar Troponin T dengan gambaran klinis
Penderita Sindrom Koroner Akut. Medan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2003. Hal. 6-8. Available
from: http://library.usu.ac.id/download/fk/pnydalam-elias%20tarigan.pdf
27. Atman, E.M., Braunwald E. ST-Segment Elevation Myocardial Infarction. In:
Kasper, Dennis L. eds. Harrisons Principles of Internal Medicine. 16th
edition. USA: McGraw-Hill Companies. 2007. Hal.1449-55
28. Reeder Guy S., Gersh Bernard J. Modern Management of Acute Myocardial
Infarction. In: Curr Probl Cardiol, Volume 25 no.10 October 2000. P.683-700
29. Thygesen K., Alpert JS, White HD, Universal Difinition of Myocardial
Infarction on Behalf of the Joint ESC/ACCF/AHA/WHF Task Force for the
Redefenition of Myocardial Infarction. In Circulation. 2007;116. P.2634-44.
Available from: www.circ.ahajournals.org
30. Widiyanti, Ratna. Sindrom Koroner Akut: Diagnosis dan Tatalaksana, 2010.
Available

from:

http://www.exomedindonesia.com/referensi-

kedokteran/artikel-ilmiah-kedokteran/jantung-dan-pembuluh-darahcardiovaskuler/2010/10/28/sindrom-koroner-akut-diagosis-tatalaksana
31. Wasid HA. Konsep Baru Penanganansindrom coroner Akut. SMF
kardiovaskuler RSUP Prof. DR. Margono Soekarjo, Purwokerto. Available
from: http://www.tempo.co.id/medika/arsip/02203/pus-3.html
32. Rahmawansa, Sany. Dislipidemia sebagai factor Risiko Utama Penyakit
Jantung Koroner. Dalam: Cermin Kedokteran 169/vol.36 no.3. Hal 181-4.
Available from: http://www.kalbe.co.id
33. Anwar, Bahri. Dislipidemia sebagai factor Risiko Penyakit Jantung Koroner,
Medan : Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2004. Hal 1-9.

40

34. Miller, M. Dyslipidemia and Cardiovasculer Risk: The Importance of Early


Prevention. From the center for Preventive Cardiology, Division of
Cardiology, University of Maryland Medical Center, Baltimore, MD 21201,
USA. Available from: http://www.qjmed.oxfordjournals.org
35. Myrtha, Risalina. Patofisiologi Sindrom Koroner Akut. Dalam: Cermin Dunia
Kedokteran-129. Vol 39 no.4. Jakarta: Cermin Dunia Kedokteran. 2012. Hal
261-4
36. Bertrand ME, Simoons ML. Fox KAA Wallentin LC et al. Management of
Acute Coronary Syndrome In Patients Presenting Without Persistent ST
Segmen Elevation. European Heart Journal 2002; 23; 1406 -1432, 1809
1840.
37. Anonim. Hubungan Sindrom Koroner Akut (SKA) dengan Dislipidemia.
Available from : http://prematuredoctor.blogspot.com/2009/11/downloadarca.html
38. John MF, Adam. Dislipidemia. Dalam: Sudoyo, Aru W., dkk. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid III, Edisi IV. Jakarta-Balai Penerbit Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI. 2006. Hal. 1948-53
39. Suryanti, Eny. Perbedaan Rerata Kadar Kolesterol antara Penderita Angina
Pektoris Tidak Stabil, Infark Miokard tan ST-Elevasi, dan Infark Miokard
dengan ST-Elevasi pada Serangan Akut. Fakultas Kedokteran Muhammadiyah
Surakarta.

2010.

Available

from:

http://etd.eprints.ums.ac.id/9092/I/J50006012.pdf

41

Anda mungkin juga menyukai