BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hampir di sepanjang kawasan pesisir Kabupaten Rembang berkembang
berbagai kegiatan masyarakat yang berpotensi bagi pengembangan ekonomi
daerah. Salah satu simpul kegiatan di kawasan pesisir Kabupaten Rembang adalah
Kawasan
Belum tersedianya sarana akomodasi Rest and Resort Area berupa resort
hotel;
2.
3.
Belum adanya area parkir yang representatif aman dan nyaman bagi
pengunjung pantai binangun baik untuk kendaraan roda dua dan roda empat;
4.
Area kios untuk souvenir maupun kuliner berupa oleh oleh khas kabupaten
rembang yang belum tersedia;
5.
Belum tertatanya kawasan pantai yang bersih dan representatif yang mampu
memberikan nuansa pemandangan tersendiri sebagai sajian keindahan alam
yang dapat dinikmati oleh para pengunjung dan para pelintas jalur pantura
Serta fasilitas fasilitas penunjang seperti Mushola, MCK, Ketersediaan Air,
Jaringan listrik serta telekomunikasi
dipercaya
sebagai
instrumen
penggerak
aktivitas
komponennya.
Area di pantai
C.
Dasar Hukum
Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 Tentang : Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah;
Perda Propinsi Jawa Tengah Nomor 14 Tahun 2004 tentang RIPP Porpinsi Jawa
Tengah;
BAB II
GAMBARAN UMUM OBYEK
: Laut Jawa
Sebelah Timur
Sebelah Barat
: Kabupaten Pati
Sebelah Selatan
: Kabupaten Blora
(jumlah kamar 25-40) dan Melati IV (jumlah kamar 41-100), kamar yang
terjual sebanyak 24,79 persen dan 21,23 persen.
TPK selama tahun 2013 di Kabupaten Rembang berkisar antara 24,86
persen (Juli) hingga 36,28 persen (April). TPK dibawah 30 persen juga terjadi
pada bulan September dan Oktober, masing-masing sebesar 29,28 persen dan
28,33 persen. Selebihnya, kamar yang terpakai lebih dari 30 persen.
Kategori hotel melati II, TPK terendah terjadi pada bulan Juli (38,07
persen) dan tertinggi terjadi pada bulan Maret (53,00) persen. TPK pada bulan
Februari dan April termasuk tinggi, yaitu 49,27 persen dan 51,27 persen.
Sedangkan TPK pada bulan lainnya di kisaran 40-49 persen. TPK di hotel melati
III terendah sebesar 17,31 persen pada bulan Juli dan tertinggi sebesar 32,44
persen pada bulan Mei. TPK pada bulan lainnya di kisaran 22-29 persen.
Sementara untuk hotel melati IV, TPK terendah pada bulan Februari (31,05
persen) dan tertinggi pada bulan Desember (14,22 persen).
Selama
tahun 2013,
rata-rata
lama
menginap
tamu
pada
hotel/penginapan adalah 1,41 hari. Jika dilihat menurut bulan, rata-rata lama
menginap tamu paling besar pada bulan November yaitu sebesar 1,53 malam,
sementara yang paling rendah pada bulan Maret sebesar 1,31 malam.
Lancarnya transportasi di jalur pantura menyebabkan tamu tidak memilih
menginap lebih dari 1 malam.
10
11
Sedangkan area yang terletak berdekatan dengan jalan utama dtumbuhi oleh
pohon mangga yang cukup banyak sehingga memberi kesan rindang di area
tersebut.Dalam moment tertentu kawasan ini banyak dikunjungi oleh
masyarakat untuk menikmati pemandangan laut dan sebagai arena rekreasi
keluarga untuk menikmati biota pesisir pantai Binangun. Tampak di kawasan
sepanjang pesisir pantai binangun kondisi pasir tidak dapat digunakan oleh
pengunjung sebagai media untuk bermain pasir seperti halnya kita jumpai di
kawasan pesisir dengan kondisi pasir putih yang nampak rapi terhampar di
sepanjang pesisir pantai. Seperti
rest
area
pantai,
untuk
istirahat
sejenak
menikmati
12
BAB III
RENCANA PENGEMBANGAN OBYEK KERJASAMA
Sebelah Utara
: Pantai
Sebelah Timur
: Tanah warga
Sebelah Barat
: Pantai
13
Adapun Pelaksanaan Pembangunan Rest and Resort area di kawasan Objek wisata
pantai Binangun adalah sebagai berikut:
a. Pembangunan Pintu Gerbang
b. Pembangunan Area Parkir
c. Pembangunan Kios
d. Pembangunan Resort Hotel
e. Pembangunan Restauran
f. Pembangunan Mushola
g. Pembangunan Kolam Renang
h. Pembangunan taman
i.
14
Ukuran
(3 x 9) m
(10 x 8) m
6 x (6 x 15) m
4000m
10x60m
35 m
D=9m
400 m
9 m
Luasan
27 m
800 m
540 m
4000 m
600 m
35 m
63,6 m
200 m
9 m
6.274.6 m
Gambar. Lokasi Obyek (sertipikat Tanah Hak Pakai No.1 Tanggal 19-01-2005)
15
BAB IV
ANALISIS KESESUAIAN REGULASI
16
17
Strategi tersebut diatas didukung oleh peningkatan koordinasi lintas sektor pada
tataran kebijakan, program, dan kegiatan kepariwisataan, terutama di bidang (a)
pelayanan kepabeanan keimigrasian, dan karantina; (b) keamanan dan ketertiban; (c)
prasarana umum yang mencakup jalan, air bersih, listrik, telekomunikasi, dan kesehatan
lingkungan; (d) transportasi darat, laut, dan udara; dan (e) bidang promosi dan kerja sama
luar negeri; serta koordinasi dan kerja sama dengan pemerintah daerah, swasta, dan
masyarakat.
Berdasarkan strategi dan arah kebijakan pembangunan tersebut, fokus prioritas
dan kegiatan prioritas kepariwisataan dalam RPJMN 2010-2014 adalah sebagai berikut:
1. Fokus Prioritas Pengembangan Industri Pariwisata, yang didukung oleh kegiatan
prioritas:
a. Pengembangan Usaha, Industri, dan Investasi Pariwisata; dan
b. Pengembangan Standardisasi Pariwisata.
2. Fokus Prioritas Pengembangan Tujuan Pariwisata yang didukung oleh kegiatan
prioritas:
a. Pengembangan Daya Tarik Pariwisata;
b. Pemberdayaan Masyarakat di Tujuan Pariwisata;
c. Peningkatan PNPM Mandiri Bidang Pariwisata; dan
d. Dukungan Manajemen dan Dukungan Teknis Lainnya Direktorat Jenderal
Pengembangan Tujuan Pariwisata.
3. Fokus Prioritas Pengembangan Pemasaran dan Promosi Pariwisata, yang didukung
oleh kegiatan prioritas:
a. Peningkatan Promosi Pariwisata Dalam dan Luar Negeri;
b. Pengembangan Informasi Pasar Pariwisata;
c. Peningkatan Publikasi Pariwisata;
d. Peningkatan Pertemuan, Perjalanan Insentif, Konferensi, dan Pameran (Meeting,
Incentive Travel, Conference, and Exhibition/MICE); dan
e. Dukungan Manajemen dan Dukungan Teknis Lainnya Direktorat Jenderal
Pemasaran.
4. Fokus Prioritas Pengembangan Sumber Daya Pariwisata, yang didukung oleh kegiatan
prioritas:
a. Pengembangan SDM Kebudayaan dan Pariwisata;
b. Penelitian dan Pengembangan Bidang Kepariwisataan; dan
c. Pengembangan Pendidikan Tinggi Bidang Pariwisata.
18
2) Tinjauan dari Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah No. 5 tahun 2014 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Daerah Provinsi Jawa Tengah
Tahun 2013-2018.
Provinsi Jawa Tengah memiliki potensi pengembangan wilayah yang cukup besar
karena memiliki wilayah yang luas. Pengembangan tersebut bertujuan untuk memacu
perkembangan sosial ekonomi, mengurangi kesejangan wilayah dan menjaga kelestarian
hidup. Salah satu potensi yang perlu dikembangan adalah kawasan budidaya. Kawasan
Budidaya di Jawa Tengah diperuntukan terdiri atas kawasan peruntukan Hutan Produksi,
Hutan Rakyat, Pertanian, Perkebunan, Peternakan, Perikanan, Pertambangan, Industri,
Pariwisata, Permukiman, serta Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Khusus untuk Kawasan Peruntukan Pariwisata, pengembangannya meliputi
koridor BorobudurPrambanan-Surakarta; koridor Borobudur-Dieng; koridor SemarangDemak-Kudus-Jepara-Pati-Rembang-Blora;
koridor
koridor
Batang-Pekalongan-Pemalang-Tegal-Brebes;
Semarang-Ambarawa-Salatiga;
koridor
Cilacap-Banyumas
19
sebagai simpul utama, ditunjang oleh koridor perkotaan Rembang-Lasem. PKW atau
Pusat Kegiatan Wilayah adalah kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani
kegiatan skala provinsi atau beberapa kabupaten.
Sektor unggulan yang dapat dikembangkan adalah pertambangan minyak dan gas,
pertambangan mineral, perikanan, pariwisata, perhubungan, pertanian, yang ditunjang
oleh kehutanan, perkebunan dan peternakan. Arah pengembangan sektor unggulan
dilakukan dalam wadah kerjasama perbatasan dengan Provinsi Jawa Timur yang disebut
sebagai regionalisasi Ratubangnegoro (Blora-Tuban-Rembang-Bojonegoro). Sedangkan
potensi regional yang dimiliki wilayah pengembangan Banglor adalah: (1) primer berupa
minyak dan gas, garam, perikanan; (2) sekunder berupa furniture, pengolahan ikan; dan
(3) tersier berupa pariwisata.
Potensi unggulan yang dimiliki dan dapat terus dikembangkan yaitu :
a. Kabupaten Rembang : industri unggulan batik, garam; klaster genteng dan batu bata,
garam rakyat, gula tumbu, batik tulis Lasem, bordir dan konveksi di Kecamatan Sedan,
mangga, pengolahan hasil perikanan; serta destinasi wisata Taman Rekreasi Pantai
Kartini dan Wana Wisata Mantingan;
b. Kabupaten Blora : industri unggulan mebel, keramik, batik; klaster pertanian, mineral
dan bahan tambang, pariwisata, handycraft dan mebel, pangan olahan, batik; serta
destinasi wisata Waduk Tempuran dan Wana Wisata Hutan Jati Blora.
Sebagai arahan implementasi sektoral dalam mendukung perwujudan tujuan
pengembangan wilayah di Jawa Tengah, maka ditetapkan program indikatif
pengembangan wilayah. Salah satu strategi yang menyangkut bidang pariwisata adalah
pengembangan ekonomi wilayah berbasis potensi unggulan daerah, terutama pada
daerah-daerah yang memiliki sumber daya alam tinggi tetapi nilai PDRB per kapita nya
rendah. Strategi tersebut diturunkan dalam program pengembangan kawasan
berdasarkan potensi unggulan baik di perdesaan maupun perkotaan, dengan : (1)
pengembangan kawasan agropolitan dan minapolitan secara optimal;
(2)
20
3) Tinjauan dari Peraturan Daerah Kabupaten Rembang No. 10 tahun 2010 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Daerah Kabupaten Rembang
Tahun 2010-2015.
Bertumpu pada perkembangan kondisi umum Kabupaten Rembang, masih
terdapat permasalahan yang muncul dalam proses pembangunan. Salah satu isu
strategisnya adalah belum optimalnya pengelolaan sumberdaya pesisir. Kabupaten
Rembang memiliki garis pantai sepanjang 63,5 km mengandung potensi ekonomi bahari
yang sangat besar dan beragam khususnya sektor kelautan dan perikanan yang dapat
digambarkan dari perkembangan produksi perikanan tangkap dan perikanan budidaya
pantai yang meningkat dari tahun-ke tahun. Sementara keberadaan kawasan hutan
mangrove, terumbu karang dan pulau-pulau kecil serta ditemukannya situs-situs sejarah
maritim di Kabupaten Rembang juga sangat berpeluang untuk dikembangkan menjadi
sektor pariwisata bahari unggulan maupun jasa-jasa lingkungan lainnya.
Dalam
perkembangannya,
sektor
pariwisata
masih
memiliki
potensi
permasalahan, diantaranya masih rendahnya jumlah kunjungan wisata, daya saing dan
daya jual destinasi pariwisata pada pasar regional, nasional maupun global. Masih
rendahnya lama tinggal dan jumlah pengeluaran belanja wisatawan. Hampir semua
wisatawan yang mengunjungi obyek wisata yang telah dikelola pemerintah daerah,
sebagian besar berasal dari lokal kabupaten.
Melihat permasalahan dan potensi pariwisata diatas, maka salah satu arah
kebijakan dalam mendukung pengembangan bidang pariwisata seperti yang termuat
dalam RPJM Kabupaten Rembang Tahun 2010-2015 pada nomor 2 (dua) yaitu
mewujudkan perekonomian daerah yang maju dan berdaya saing.
Pengembangan Pariwisata diarahkan melalui peningkatan obyek wisata,
pelestarian peninggalan budaya, tradisi, serta kesenian, dalam rangka membentuk
karakteristik budaya masyarakat serta daya tarik kunjungan wisata. Langkah-langkah yang
ditempuh dalam mewujudkannya, diantaranya melalui (1) pengembangan obyek wisata
dan daya tarik wisata berbasis keragaman budaya, pesona alam dan keunikan lokal; (2)
peningkatan pelaksanaan standarisasi, akreditasi dan sertifikasi atas sumber daya
manusia di bidang kepariwisataan; (3) pembangunan
ditingkat kabupaten, provinsi, nasional dan internasional; (3) peningkatan kualitas produk
Kajian Potensi KPS-Pembangunan Rest and Resort Area Binangun
21
pariwisata melalui pemanfaatan teknologi, pengembangan kelembagaan, dan saranaprasarana pendukung; dan (4) pengembangan kawasan wisata bahari terpadu untuk
menunjang pengembangan Sea-front city dan wisata kota kuno (heritage tourism).
Di dalam kebijakan umum dan program pembangunan daerah,
Pemerintah
Publik
Yang
Representatif
dan
Bidang pariwisata sendiri masuk ke dalam pilar ke-4 (empat) yaitu tentang
Pengembangan Ekonomi Rakyat (PER). Salah satu langkah PER dalam mendukung bidang
pariwisata adalah melalui pengembangan industri pariwisata terpadu (jalan wisata bahari,
pulau-pulau kecil, BBS I & BBS II, KBT) dan pemeliharan cagar budaya Kabupaten
Rembang. Keberadaan kawasan wisata pantai Binangun masuk dalam BBS (Bonang
Binagun Sluke) II sehingga terdapat kesesuaian antara RJMN Daerah dengan rencana
pembangunan kawasan wisata pantai Binangun.
Program pembangunan daerah Kabupaten Rembang dibagi ke dalam masingmasing urusan, salah satunya adalah kelompok urusan sosial budaya yang didalamnya
terdapat bidang pariwisata. Program-program di bidang pariwisata dalam rangka
pembangunan daerah adalah program pengembangan pemasaran pariwisata, program
pengembangan destinasi pariwisata dan program pengembangan kemitraan.
Berdasarkan uraian beberapa poin dari masing-masing RPJM, Nasional, Provinsi
dan Kabupaten terlihat bahwa fokus di Nasional sampai dengan Kabupaten di bidang
pariwisata secara umum adalah pengembangan klaster pariwisata untuk meningkatkan
daya saing dan daya jual destinasi pariwisata pada pasar regional, nasional maupun global
serta mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sehingga pembangunan
Kawasan Wisata Pantai Binangun merupakan kebijakan yang seiring dengan prioritas
RPJM baik di Tingkat Nasional, Provinsi maupun Kabupaten.
Dengan memperhatikan semua keterangan diatas bahwa posisi Kawasan Wisata
Pantai Binangun secara gepgrafis terletak di kawasan yang sangat strategis karena masuk
Kajian Potensi KPS-Pembangunan Rest and Resort Area Binangun
22
dalam Kawasan BBS II, tepat di pinggi jalan pantura sehingga keberadaannya mudah
dijangkau oleh masyarakat sekitar Rembang maupun luar daerah. Selain itu kawasan
tersebut juga memiliki peluang yang sangat besar untuk berkembang, sehingga tujuan
dibangunnya kawasan wisata pantai Binangun selain sebagai alternatif wisata juga bisa
sebagai Rest and Resort area yang mendukung para pengguna jalan untuk istirahat,
mendapatkan makanan dan minuman cepat saji, serta oleh-oleh khas Rembang.
Harapannya ke depan, keberadaan kawasan tersebut dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat sekitar kawasan dan barang tentu dapat mengurangi pengangguran.
2. Tinjauan Kesesuaian Proyek Kerjasama dengan RTRW Kabupaten
Kegiatan investasi sebagai bentuk pemanfaatan ruang, sebagaimana merujuk
Perda Nomor 14 Tahun 2011 tentang RTRW Kabupaten Rembang Tahun 2011 2013
disebutkan bahwa segala bentuk kegiatan pemanfaatan ruang dan pembangunan
prasarana harus memperoleh ijin pemanfaatan ruang yang mengacu pada RTRW
Kabupaten. RTRW Kabupaten menjadi salah satu pedoman dalam penetapan lokasi dan
fungsi ruang untuk investasi.
Secara rencana umum tujuan penataan ruang wilayah daerah dalam 20 tahun
kedepan adalah untuk mewujudkan penataan ruang wilayah Daerah Rembang sebagai
kawasan pantai unggulan yang didukung pengembangan sektor kelautan dan perikanan,
pertanian, pertambangan dan industri dalam keterpaduan pembangunan wilayah utara
dan selatan serta antar sektor yang berwawasan lingkungan.
Dalam rangka mencapai tujuan penataan ruang Kabupaten Rembang tersebut
ditempuh melalui kebijakan dan strategi antara lain yaitu :
A. Kebijakan pengembangan potensi sektor pertanian di bagian tengah dan
bagianselatan ditempuh dengan strategi meliputi:
mengembangkan kawasan produksi pertanian;
mengembangkan kawasan agropolitan;
mengembangkan produk unggulan perdesaan; dan
mengembangkan prasarana dan sarana kawasan perdesaan.
B. Kebijakan pengembangan potensi sektor perikanan dan kelautan di bagian utara
ditempuh dengan strategi meliputi:
mengembangkan kawasan peruntukan perikanan tangkap;
mengembangkan kawasan peruntukan perikanan budidaya;
Kajian Potensi KPS-Pembangunan Rest and Resort Area Binangun
23
tersebut, telah dijabarkan dalam penetapan kawasan strategis kabupaten yaitu kawasan
strategis dari sudut kepentingan pertumbuhan ekonomi maupun kawasan strategis dari
Kajian Potensi KPS-Pembangunan Rest and Resort Area Binangun
24
25
kelautan
dan
perikanan,
jasa
perumahan
dan
kegiatan
terkait
laut,
pertanian
dan
kehutanan,
industri,
pertambangan
dan
pariwisata.Kawasan wisata pantai Binangun Lasem sebagai bagian dari alokasi ruang
pengembangan KSK BBS I sebagai pusat pengembangan wisata bahari di Kabupaten
Rembang.
26
PotensiKerjasama Investasi
Kesesuaian RTRW :
Rest area
Pusat kuliner makanan ikan laut
Rembang
Hotel dan resort
Outlet penjualan kerajinan khas
daerah
27
Kerjasama Daerah
Untuk menyelenggarakan
tugas, kewajiban serta kewenangan yang dimiliki untuk mengatur dan mengurus rumah
tangganya secara maksimal, Pemerintah harus mencari alternative sumber-sumber
pendanaan lainnya diantaranya melalui kerjasama dengan pihak ketiga.
Sebagai solusi mengatasi kesulitan tersebut, maka pada ketentuan Pasal 363 UU No.
23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Menggantikan UU no 32/2004 tentang
pemerintahan Daerah) telah diatur mengenai perjanjian kerjasama kemitraan antara
Pemerintah (Daerah) dengan Pihak Swasta, dimana pemerintah daerah dalam hal ini
Gubernur/Bupati/Walikota diberikan wewenang untuk menjalin kerjasama dengan pihak
ketiga. Selengkapnya ketentuan Pasal 363 UU No. 23 Tahun 2014 adalah sebagai berikut:
(1) Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, Daerah dapat mengadakan kerja
sama yang didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik
serta saling menguntungkan.
Kajian Potensi KPS-Pembangunan Rest and Resort Area Binangun
28
(2) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh Daerah
dengan:
a.
Daerah lain;
b.
c.
(3) Kerja sama dengan Daerah lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a
dikategorikan menjadi kerja sama wajib dan kerja sama sukarela.
Selanjutnya pada pasal 366 dijelaskan bahwa Kerja sama Daerah dengan pihak
ketiga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 363 ayat (2) huruf b meliputi:
a.
b.
kerja sama dalam pengelolaan aset untuk meningkatkan nilai tambah yang
memberikan pendapatan bagi Daerah;
c.
d.
kerja sama lainnya yang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Kerja sama Daerah dengan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
didahului dengan studi kelayakan yang dilakukan oleh para pihak yang melakukan kerja
sama.
Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2007 Tata Cara pelaksanaan Kerjasama Daerah
PP No 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara pelaksanaan Kerjasama Daerah merupakan
hasil tindaklanjut atas kebijakan UU No. 32 Tahun 2004 (pasal 197: yang berbunyi Tata
cara pelaksanaan ketentuan sebaigaimana dimaksud dalam Pasal 195 dan Pasal 196
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah). Dalam Bab I Pasal 1 PP No 50/2007 ini
disebutkan bahwa kerja sama daerah adalah kesepakatan antara gubernur dengan
gubernur atau gubernur dengan bupati/wali kota atau antara bupati/wali kota dengan
bupati/wali kota yang lain, dan atau gubernur, bupati/wali kota dengan pihak ketiga, yang
dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban.
29
Bila mengacu pada PP No.50/2007, maka ada 11 prinsip kerjasama daerah yang
harus dipatuhi, yaitu: 1). efisiensi[5], b). efektivitas[6]; 3) sinergi[7]; 4) saling
menguntungkan[8]; 5) kesepakatan bersama[9]; 6) itikad baik[10]; 7) mengutamakan
kepentingan nasional dan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia[11]; 8)
persamaan kedudukan[12]; 9) transparansi[13]; 10) keadilan[14]; dan 11) kepastian
hukum[15].
Dalam konsep kerjasama pemerintah daerah, terdapat subjek dan kerjasama. Yang
menjadi Subjek Kerja Sama dalam kerja sama daerah meliputi: a). gubernur; b). bupati; c).
wali kota; dan d). pihak ketiga. Sedangkan yang menjadi Objek Kerja Sama adalah seluruh
urusan pemerintahan yang telah menjadi kewenangan daerah otonom dan dapat berupa
penyediaan pelayanan publik.
Ada 3 point penting dalam konsep kerjasama, yaitu, pertama adanya pihak ketiga,
baik itu Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen atau sebutan lain,
perusahaan swasta yang berbadan hukum, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik
Daerah, Koperasi, Yayasan, dan lembaga di dalam negeri lainnya yang berbadan hukum.
Kedua, adanya badan kerja sama yaitu suatu forum untuk melaksanakan kerja sama yang
keanggotaannya merupakan wakil yang ditunjuk dari daerah yang melakukan kerja sama.
Ketiga, adanya Surat Kuasa, yaitu naskah dinas yang dikeluarkan oleh kepala daerah
sebagai alat pemberitahuan dan tanda bukti yang berisi pemberian mandat atas
wewenang dari kepala daerah kepada pejabat yang diberi kuasa untuk bertindak atas
nama kepala daerah untuk menerima naskah kerja sama daerah, menyatakan
persetujuan pemerintah daerah untuk mengikatkan diri pada kerja sama daerah,
dan/atau menyelesaikan hal-hal lain yang diperlukan dalam pembuatan kerja sama
daerah.
Masih menurut PP 50/2007, Kerja sama daerah dituangkan dalam bentuk perjanjian
kerja sama. Perjanjian kerja sama daerah dengan pihak ketiga wajib memperhatikan
prinsip kerja sama dan objek kerja sama. Dalam melakukan kerjasama, terdapat tata cara
kerja sama daerah dilakukan dengan:
1)
Kepala daerah atau salah satu pihak dapat memprakarsai atau menawarkan rencana kerja
sama kepada kepala daerah yang lain dan pihak ketiga mengenai objek tertentu.
30
2)
Apabila para pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a menerima, rencana kerja sama
tersebut dapat ditingkatkan dengan membuat kesepakatan bersama dan menyiapkan
rancangan perjanjian kerja sama.
Pelaksanaan perjanjian kerja sama dapat dilakukan oleh satuan kerja perangkat
daerah. dimana pelaksanaan kerjasama tersebut harus mendapatkan persetujuan DPRD.
Seperti yang disebutkan pada pasal 9 (PP 50/2007) bahwa rencana kerja sama daerah
yang membebani daerah dan masyarakat harus mendapat persetujuan dari Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah dengan ketentuan apabila biaya kerja sama belum
teranggarkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah tahun anggaran berjalan
dan/atau menggunakan dan/atau memanfaatkan aset daerah.
Kerja sama daerah yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan tugas dan fungsi dari
satuan kerja perangkat daerah dan biayanya sudah teranggarkan dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah tahun anggaran berjalan tidak perlu mendapat
persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Untuk mendapatkan persetujuan dari
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terhadap kerja sama daerah yang membebani daerah
dan masyarakat, gubernur/bupati/wali kota menyampaikan surat dengan melampirkan
rancangan perjanjian kerja sama kepala daerah kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah dengan memberikan penjelasan mengenai: tujuan kerja sama; objek yang akan
dikerjasamakan; hak dan kewajiban meliputi:
1.
2.
3.
4.
Adapun hasil kerja sama daerah dapat berupa uang, surat berharga dan aset, atau
nonmaterial berupa keuntungan. Hasil kerja sama daerah yang menjadi hak daerah yang
berupa uang, harus disetor ke kas daerah sebagai pendapatan asli daerah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Hasil kerja sama daerahyang menjadi hak daerah yang
31
berupa barang, harus dicatat sebagai aset pada pemerintah daerah yang terlibat secara
proporsional sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan hal tersebut, jelas bahwa dalam kerangka otonomi daerah, diperlukan
sumber pembiayaan agar pemerintah daerah dapat menyelenggarakan pemerintahan
dan pembangunan dengan kemampuan daerahnya sendiri. Dalam rangka mewujudkan
hal tersebut di atas, Pemerintah Daerah dapat menjalin kerjasama dengan pihak ketiga
(swasta) dalam penyediaan layanan publik di daerah.
Bupati sebagai Kepala Daerah merupakan salah satu subyek kerjasama (dimana
Pelaksanaan perjanjian kerja sama dapat dilakukan oleh satuan kerja perangkat daerah),
tanah yang dimiliki oleh pemerintah daerah merupakan bagian dari obyek kerjasama
(seluruh urusan pemerintahan yang telah menjadi kewenangan daerah otonom dan dapat
berupa penyediaan pelayanan publik), dan pemerintah daerah bisa melakukan kerjasama
dengan pihak ketiga (baik itu dengan Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen
atau sebutan lain, perusahaan swasta yang berbadan hukum, Badan Usaha Milik Negara,
Badan Usaha Milik Daerah, Koperasi, Yayasan, dan lembaga di dalam negeri lainnya yang
berbadan hukum)
Hak Penguasaan Atas Tanah oleh Pemerintah Daerah dan Pengelolaan Barang
Milik Daerah
1. UU No 5 Tahun 60 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria;
2. Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 Tentang : Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah;
3. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun
1999 Tentang Tata Cara Pemberian Dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara Dan Hak
Pengelolaan;
4. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara /
Daerah;
5. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis
Pengelolaan Barang Milik Daerah;
6. UU No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
32
Dalam UUPA tidak disebutkan secara tegas bahwa Pemerintah Daerah mempunyai
Hak Pakai, disini hanya disebutkan bahwa salah satu subyek hak pakai adalah badan
hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Namun
kemudian secara tegas dijabarkan dalam Pasal 39 PP 40 Tahun 1996 bahwa yang dapat
mempunyai Hak Pakai adalah warga negara Indonesia; Badan Hukum yang didirikan
menurut Hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia; Departemen, Lembaga
Pemerintah Non Departemen, dan Pemerintah Daerah, Badan-badan keagamaan dan
social, Orang asing yang berkedudukan di Indonesia, Badan hukum asing yang mempunyai
perwakilan di Indonesia, dan Perwakilan negara asing dan perwakilan badan
Internasional. Jelas disini bahwa Pemerintah Daerah merupakan salah satu subyek Hak
Pakai atas Tanah.
Selain Hak Pakai atas tanah, hak penguasaan atas tanah yang dapat dikuasai oleh
pemerintah daerah adalah hak pengelolaan. UUPA tidak secara tersurat menyebut Hak
Pengelolaan, namun hanya menyebut pengelolaan (sebagaimana Penjelasan Umum
Angka II Nomor 2 UUPA). Istilah Hak Pengelolaan baru muncul dalam Pasal 2 Peraturan
Menteri Agraria No 9 Tahun 1965, dan dalam pasal 5 peraturan ini disebutkan bahwa Hak
pengelolaan dapat diberikan kepada Departemen, Direktorat, dan daerah swatantra
(pemerintah daerah). Sedangkan pengertian Hak Pengelolaan dinyatakan dalam Pasal 1
angka 2 PP 40/1996 yaitu : Hak Pengelolaan adalah hak menguasai negara yang
kewenangan pelaksanaannya sebagaian dilimpahkan kepada pemegangnya. Selanjutnya
secara tegas tersurat dalam Pasal 67 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Pemberian Dan Pembatalan
Hak Atas Tanah Negara Dan Hak Pengelolaan bahwa Hak Pengelolaan dapat diberikan
kepada : a. Instansi Pemerintah termasuk Pemerintah Daerah; b. Badan Usaha Milik
Negara; c. Badan Usaha Milik Daerah; d. PT. Persero; e. Badan Otorita; dan f. Badanbadan hukum Pemerintah lainnya yang ditunjuk pemerintah. Badan-badan
hukum
33
34
beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah; dan b. barang yang berasal
dari perolehan lainnya yang sah. Ayat (2) Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b meliputi: a. barang yang diperoleh dari hibah/sumbangan atau yang sejenis; b.
barang yang diperoleh sebagai pelaksanaan dari perjanjian/kontrak; c. barang yang
diperoleh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau d. barang
yang diperoleh berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Selanjutnya dalam Pasal 5, dinyatakan bahwa Gubernur/Bupati/Walikota adalah
pemegang kekuasaan pengelolaan Barang Milik Daerah yang tanggungjawab dan
wewenangnya diantaranya
menetapkan
Penggunaan,
Pemanfaatan,
atau
sebagian tanah
dan/atau bangunan yang masih digunakan oleh Pengguna Barang, dan selain tanah
dan/atau bangunan.
35
penyelenggaraan
dipindahtangankan.
(2)
tugas
pemerintahan
negara/daerah
tidak
dapat
dengan cara dijual, dipertukarkan, dihibahkan, atau disertakan sebagai modal Pemerintah
setelah mendapat persetujuan DPR/DPRD. Kemudian pasal 46 (1) Persetujuan DPR
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) dilakukan untuk:
a. pemindahtanganan tanah dan/atau bangunan.
b. tanah dan/ atau bangunan sebagaimana dimaksud pada huruf a ayat ini tidak termasuk
tanah dan/atau bangunan yang:
1) sudah tidak sesuai dengan tata ruang wilayah atau penataan kota;
2) harus dihapuskan karena anggaran untuk bangunan pengganti sudah disediakan
dalam dokumen pelaksanaan anggaran;
3) diperuntukkan bagi pegawai negeri;
4) diperuntukkan bagi kepentingan umum;
5) dikuasai negara berdasarkan keputusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan
hukum tetap dan/ atau berdasarkan ketentuan perundang-undangan, yang jika status
kepemilikannya dipertahankan tidak layak secara ekonomis.
36
Sedangkan Kepariwisataan
adalah
37
serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan
negara
serta
dan/atau
jasa
bagi
pemenuhan
penyelenggaraan pariwisata.
Kepariwisataan bertujuan untuk: meningkatkan pertumbuhan ekonomi;
meningkatkan
kesejahteraan
rakyat;
menghapus
kemiskinan;
mengatasi
38
Daerah
untuk
mendorong
penanaman
modal
di
bidang
pariwisata;
dan/atau
d.
berperan
dalam
proses
pembangunankepariwisataan.
Kewenangan
Kabupaten
dalam
penyelenggaraan
Kepariwisataan
39
Terkait lokasi obyek kerjasama yang berada di Kawasan BBS Zona I dimana
rencana pengembangannya adalah sebagai kawasan yang mensinergikan
beberapa sektor unggulan baik Perikanan kelautan, pariwisata maupun
perkebunan serta tetap mempertahankan wisata ziarah dengan melengkapinya
dengan wisata rekreasi pantai dan wisata budaya. Sebagai salah satu bagian
kawasan yang peruntukannya adalah untuk pariwisata maka sebagaimana
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.41/Prt/M/2007 Tentang Pedoman Kriteria
Teknis Kawasan Budi Daya, dinyatakan bahwa kawasan peruntukan pariwisata
adalah kawasan yang diperuntukan bagi kegiatan pariwisata atau segala sesuatu
yang berhubungan dengan wisata termasuk pengusahaan obyek dan daya tarik
wisata serta usaha-usaha yang terkait di bidang tersebut.
Selanjutnya menurut Permen PU No.41/Prt/M/2007 ini dijelaskan bahwa
Jenis obyek wisata yang diusahakan dan dikembangkan di kawasan peruntukan
pariwisata dapat berupa wisata alam ataupun wisata sejarah dan konservasi
budaya.
sebagai berikut:
a) Fungsi utama Kawasan peruntukan pariwisata memiliki fungsi antara lain:
1. Memperkenalkan, mendayagunakan, dan melestarikan nilai-nilai
sejarah/budaya lokal dan keindahan alam;
2. Mendukung upaya penyediaan lapangan kerja yang pada gilirannya dapat
meningkatkan pendapatan masyarakat di wilayah yang bersangkutan.
Adapun
ketentuan/kriteria
teknis
Kawasan
Peruntukan
Pariwisata
40
Prasarana:
Jenis prasarana yang tersedia antara lain jalan, air bersih, listrik dan
telepon;
Mempunyai nilai pencapaian dan kemudahan hubungan yang tinggi dan
mudah dicapai dengan kendaraan bermotor;
Memperhatikan resiko bahaya dan bencana;
Perancangan sempadan pantau yang memperhatikan tinggi gelombang
laut;
Sarana:
41
b.
Sarana dan prasarana : jalan, air bersih telepon, listrik, hotel/penginapan, rumah
makan, kantor pengelola, tempat rekreasi dan hiburan, WC umum, mushola, dan
angkutan umum.
c.
d.
e.
42
Usaha Pariwisata adalah usaha yang menyediakan barang dan/atau jasa bagi
pemenuhan kebutuhan wisatawan dan penyelenggaraan pariwisata.
Usaha Penyediaan Akomodasi adalah usaha yang menyediakan pelayanan
penginapan yang dapat dilengkapi dengan pelayanan pariwisata lainnya.
Usaha Hotel adalah usaha penyediaan akomodasi berupa kamar-kamar di dalam
suatu bangunan, yang dapat dilengkapi dengan jasa pelayanan makan dan minum,
kegiatan hiburan dan/atau fasilitas lainnya secara harian dengan tujuan
memperoleh keuntungan.
Standar Usaha Hotel adalah rumusan kualifikasi usaha hotel dan atau
penggolongan kelas usaha hotel yang mencakup aspek produk, pelayanan dan
pengelolaan usaha hotel.
Sertifikat Usaha Hotel adalah bukti tertulis yang diberikan oleh lembaga sertifikasi
usaha pariwisata kepada pengusaha hotel yang telah memenuhi standar usaha
hotel.
Sertifikasi Usaha Hotel adalah proses pemberian sertifikat kepada usaha hotel
untuk mendukung peningkatan mutu produk, pelayanan dan pengelolaan usaha
hotel melalui penilaian kesesuaian standar usaha hotel.
Hotel Bintang adalah hotel yang telah memenuhi kriteria penilaian penggolongan
kelas hotel bintang satu, dua, tiga, empat, dan bintang lima.
Hotel Nonbintang adalah hotel yang tidak memenuhi kriteria penilaian
penggolongan kelas hotel sebagai hotel bintang satu.
Pengusaha Hotel adalah orang atau sekelompok orang yang membentuk badan
usaha Indonesia berbadan hukum yang melakukan kegiatan usaha hotel.
Selanjutnya dalam Pasal 4 dinyatakan bahwa :
1. Setiap Usaha Hotel wajib memiliki Sertifikat dan memenuhi persyaratan Standar
Usaha Hotel.
2. Usaha Hotel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup:
a. Hotel Bintang; dan
b. Hotel Nonbintang.
3. Hotel Bintang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, memiliki
penggolongan kelas hotel terdiri atas:
a. hotel bintang satu;
b. hotel bintang dua;
c. hotel bintang tiga;
d. hotel bintang empat; dan
Kajian Potensi KPS-Pembangunan Rest and Resort Area Binangun
43
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa obyek kerjasama berupa tanah
dengan sertifikat Hak Pakai No. 1 Tanggal 19 Januari 2005 yang peruntukannya dalam
sertipikat tersebut adalah untuk rest stop area (dan berada di Kawasan BBS Zona I
dimana rencana pengembangannya adalah sebagai kawasan yang mensinergikan
beberapa sektor unggulan baik Perikanan kelautan, pariwisata maupun perkebunan serta
tetap mempertahankan wisata ziarah dengan melengkapinya dengan wisata rekreasi
pantai dan wisata budaya), dapat dibangun rest and resort area. Lokasinya yang berada
di tepi pantai agar dalam pembangunannya tetap berpedoman pada peraturan
perundangan dan pedoman teknis yang berlaku yang antara lain mengatur mengenai
koefisien dasar bangunan, koefisien Lantai Bangunan, Koefisien dasar Hijau, Garis
sempadan Pantai, garis sempadan bangunan serta memenuhi criteria sertifikasi usaha
Hotel Bintang 3.
44
BAB V
ANALISIS BIAYA DAN MANFAAT
Dalam suatu proyek pembangunan aspek yang perlu dikaji terlebih dahulu dalam
mempertimbangkan kelayakan dari suatu proyek adalah aspek manfaat (benefit) dan
biaya (cost) disamping aspek teknis dan finansial. Aspek ini penting untuk dikaji terlebih
dahulu guna memperoleh gambaran atas manfaat yang akan diperoleh dari pelaksanaan
proyek itu sendiri.
Metode Analisis Biaya Manfaat (Benefit Cost Analisys) ini dipilih untuk mengukur
manfaat yang diperoleh dari suatu proyek dibandingkan dengan biaya yang nantinya akan
dikeluarkan. Rencana Pengembangan Rest and Resort area Binangun yang nantinya akan
dilaksanakan melalui mekanisme KPS, menuntut diperlukannya analisis Biaya Manfaat,
untuk mengukur manfaat dari sisi Pemerintah dan keuntungan dari sisi Swasta,
meskipun manfaat yang akan diperoleh Pemerintah biasanya tidak dapat atau sulit
diukur.
45
Jenis
Pekerjaan
Biaya
Pembangunan
Resort Hotel
(40 Unit)
Biaya
Pembangunan
Restauran
Biaya
Pembangunan
Kios souvenir
1.
Pekerjaan Fisik
8.000.000.000
1.000.000.000
1.000.000.000
Biaya
Pembangunan
Fasilitas
Penunjang
lainnya
2.000.000.000
2.
Biaya
152.000.000
23.200.000
23.200.000
46.400.000
103.200.000
19.000.000
19.000.000
38.000.000
28.800.000
15.500.000
15.000.000
31.000.000
8.284.000.000
1.057.700.000
1.057.700.000
2.115.400.000
Perencanaan
3.
Biaya
Pengawasan
4.
Biaya
Administrasi
Proyek
Jumlah
Total
5.2.
12.514.800.000
46
47
(souvenir)
maupun
industri
pengolahan
ikan,
mengurangi
48
sisanya 10% menyatakan tidak masalah akan dikelola oleh siapa yang terpenting
pengelolaannya baik dan profesional. Alasan kenapa sebagian besar menyatakan
lebih baik dikelola oleh pemerintah dan swasta karena hal tersebut yang lebih baik
dilakukan bila memang pemerintah kesulitan soal pendanaan.
Selanjutnya menurut responden, semuanya (100%) menyatakan bahwa
pembangunan Rest and Resort
49
Purchasing Index untuk jasa akomodasi di Rembang dan sekitarnya atau Jawa
Tengah. Dari pertimbangan tersebut maka ditetapkan Tariff sewa Hotel adalah
sebesar Rp. 565.000,- pada awal operasi. Dan akan meningkat sebesar 5%
setiap tahunnya. Adapun Benchmark tarif dapat dilihat pada tabel 5.2 berikut:
Tabel 5.2
Tarif Sewa Kamar Hotel Bintang Tiga Pembanding
HOTEL
Quest Semarang
Pandanaran
grasia
Fave Solo
De Solo
Omah Sinten Herritage Solo
D'Omah Jogja
Arjuna Jogja
Duta Garden Jogja
Rata-Rata
BINTANG
3
3
3
3
3
3
3
3
3
TARIF(RP)
450.000
710000
480000
450000
480000
550000
880000
480000
650000
565000
Uraian
Asumsi
Bobot
1.
Keterangan
10%
- Restoran
25%
- Sewa Kios
40%
40%
- Energi
10%
5%
- Tenaga Kerja
10%
Rp.100,/m2/hari
10%
- Other Income
2.
Beban Tidak Langsung (Indirect Expenses)
50
Tabel 5.4
Hasil Perhitungan Kelayakan Investasi
Pembangunan Rest and Resort Area Binangun dengan masa kontrak 10 Tahun
No.
Uraian
Hasil
Keterangan
Perhitungan
1
Payback Period
6.160.802.972
> 0 ; layak
20.2%
1.16
> 1 ; layak
51
4. Payback Period
Merupakan periode pengembalian atau jangka waktu pengembalian modal yaitu
jangka waktu yang diperlukan untuk mengembalikan modal suatu investasi, yang
dihitung dari aliran kas bersih. Aliran kas bersih adalah selisih pendapatan terhadap
pengeluaran pertahun. Metode ini digunakan dengan mengacu pada asumsi bahwa
komponen manfaat dan komponen biaya yang dihasilkan dari suatu analisis
kuantitatif pada dasarnya merepresentasikan
kondisi
cashflow.
Proyek
dikategorikan sebagai proyek yang layak jika masa pemulihan modal lebih pendek
daripada usia ekonomis proyek.
Area
Dengan Nilai NPV, IRR, BCR dan payback period sebagaimana tersebut di atas, maka
dapat disimpulkan bahwa pembangunan Rest and Resort Area Binangun LAYAK untuk
dilaksanakan.
52
BAB VI
ANALISIS SKEMA KPS
Untuk menjual suatu produk wisata perlu mempertimbangkan unsur manfaat dan
kepuasan. Manfaat dan kepuasan itu ditentukan oleh dua faktor, yaitu tourism resources
dan tourism services. Tourism resources (daya tarik suatu obyek) saja tidaklah cukup jika
tidak didukung dengan tourism services yang memadai dan sesuai dengan kebutuhan
wisatawan.
sarana dan fasilitas pariwisata seperti penginapan dan restoran, maupun transportasi dan
travel agent. Sarana dan prasarana wisata merupakan pelengkap daerah tujuan
wisata yang diperlukan untuk melayani kebutuhan wisatawan dalam menikmati
perjalanan wisatanya.
Dalam mengelola obyek wisata yang dimiliki daerah, Pemerintah seringkali
dihadapkan dengan keterbatasan dana untuk pemeliharaan maupun pengembangannya,
selain kemampuan mengelola obyek wisata yang kurang profesional.
Aset dimaksud
adalah berupa tanah yang berstatus Hak Pakai dengan sertifikat no 1 Tanggal 19 Januari
2005 yang peruntukannya adalah rest stop area. Selain itu dengan mendasarkan pada
Peraturan Pemerintah No 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik
Negara/Daerah pada Pasal 27 disebutkan bahwa Bentuk Pemanfaatan Barang Milik
Negara/Daerah berupa: a. Sewa; b. Pinjam Pakai; c. Kerja Sama Pemanfaatan; d. Bangun
Guna Serah atau Bangun Serah Guna; atau e. Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka Pemerintah daerah dapat melakukan
pemanfaatan aset daerah khususnya aset berupa benda tak bergerak berupa tanah atau
bangunan/gedung, terutama yang belum didayagunakan secara optimal, melalui
Kajian Potensi KPS-Pembangunan Rest and Resort Area Binangun
53
penggunausahaan yaitu pendayagunaan aset daerah (tanah dan atau bangunan) oleh
pihak ketiga (perusahaan swasta) dengan menggunakan kelima skema di atas (Sewa,
Pinjam Pakai, Kerja Sama Pemanfaatan, Bangun Guna Serah atau Bangun Serah Guna
(BOT/BTO), dan Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur) atau bentuk-bentuk lainnya yang
kini sangat bervariasi modelnya yang merupakan pengembangan dari kelima skema
tersebut.
Perlu disadari bahwa keberhasilan pemilihan dan pelaksanaan skema KPS dalam
penyediaan infrastruktur sangatlah dipengaruhi oleh kapabilitas dari sektor privat/swasta
yang dapat dilihat dari kesiapan pada hal-hal teknis (konstruksi dan pemeliharaan) sampai
manajemen (keuangan,sumberdaya, dll) serta hubungan antara tiga pihak yang menjadi
elemen penting dalam interaksi dari sebuah kerjasama pemerintah swasta, yaitu
pemerintah (sebagai regulator), pihak swasta (sebagai pelaksana proyek), dan masyarakat
(sebagai penerima manfaat atas kerjasama pemerintah-swasta). Manfaat yang akan
dirasakan oleh masyarakat sebagai penerima manfaat dari kerjasama antara pemerintah
dan swasta, sangat bergantung pada hasil kesepakatan antara pemerintah dan swasta.
Hal ini membuat pemerintah harus berhati-hati dalam membuat kesepakatan dengan
pihak swasta. Pemerintah harus menyaring pihak swasta yang akan terlibat dan pihak
swasta tersebut harus memenuhi persyaratan minimum yang telah ditentukan agar
pelaksanaan proyek dapat berjalan lancar dan tidak berdampak buruk. Di pihak swasta
juga ada beberapa pertimbangan penting yang harus dilakukan mengingat investasi pihak
swasta tetap berorientasi bisnis. Pihak swasta tentu juga melakukan seleksi terhadap
proyek-proyek KPS yang ada, termasuk kelayakan proyek (fisik dan pembiayaan),
dukungan pemerintah, sampai stabilitas politik dan ekonomi di daerah bersangkutan.
Sampai disini jelas bahwa keberhasilan pelaksanaan proyek KPS dalam jangka
panjang akan sangat dipengaruhi oleh interaksi antara pihak pemerintah dengan pihak
swasta sebagai mitra kerjasama. Masing-masing pihak baik pemerintah maupun swasta
harus dapat memahami dan memenuhi pertimbangan-pertimbangan setiap mitra dalam
kerjasama ini agar proyek kerjasama tetap menguntungkan bagi seluruh pihak. Pada
prinsipnya, pertimbangan yang perlu dilakukan adalah apabila dengan dikontrakkan
pemerintah bisa menghemat pengeluaran dan memperoleh hasil yang lebih berkualitas,
maka pengontrakan kerja adalah lebih baik.
Kajian Potensi KPS-Pembangunan Rest and Resort Area Binangun
54
Beberapa Kriteria ataupun pertimbangan yang dapat dijadikan referensi bagi kedua
belah Pihak (Pemerintah ataupun Swasta) untuk bekerjasama diantaranya adalah :
1. Kepemilikan aset.
Kepemilikan aset merupakan hak atas kepemilikan terhadap aset yang dikerjasamakan,
apakah aset itu berada ditangan pemerintah atau swasta, selama jangka waktu tertentu.
Semakin besar keterlibatan pihak swasta dalam kepemilikan aset maka akan semakin
menarik minat mereka bekerjasama/berinvestasi. Kepemilikan aset dapat dibedakan
apakah menjadi milik pemerintah, milik swasta, atau milik pemerintah dan swasta
(kepemilikan bersama).
2. Operasional dan pengelolaan aset
Operasional dan pengelolaan aset merupakan kriteria yang mengindentifikasikan
pendelegasian tanggung jawab untuk mengelola aset yang dikerjasamakan selama kurun
waktu tertentu. Pihak yang mengelola berpeluang untuk memperoleh pendapatan dari
aset kerjasama. Operasional dan kepemilikan aset dapat dibedakan menjadi tanggung
jawab pemerintah, swasta, atau tanggung jawab bersama.
3. Investasi modal atau penanam modal
Investasi modal merupakan kriteria berkaitan dengan siapa yang akan menanamkan
modal tersebut pada aset yang akan dikerjasamakan. Investasi modal dapat dibedakan
menjadi investasi pemerintah, swasta, atau investasi dengan modal bersama.
4. Risiko-risiko yang akan terjadi
Risiko komersial merupakan kriteria yang berhubungan siapa yang akan dibebani dengan
risiko-risiko komersial tersebut yang nanti akan muncul selama pembangunan dan
pengelolaan aset yang dikerjasamakan. Risiko komersial yang akan terjadi dapat
dibebankan kepada pemerintah, swasta, atau menjadi beban bersama.
5. Durasi kerjasama
Durasi kerjasama merupakan kriteria yang berkaitan dengan jangka waktu kerjasama
yang disepakati. Semakin lama jangka waktu kerjasama akan memberikan peluang yang
lebih besar bagi pengembalian. Durasi kerjasama dapat dibedakan menjadi jangka
pendek, jangka menengah, atau jangka panjang.
55
56
Sewa
Pertimbangan
Pinjam
Pakai
Kerjasama
Pemanfaatan
BOT/BTO
Kerjasama
Penyediaan
Infrastruktur
Rencana
Kerjasama
Pembangunan Rest
and Resort Area
Jenis Obyek
Aset/barang milik
daerah berupa Tanah
Hak Pakai
Nilai Ekonomi
Payback period
Tujuan
Kerjasama
Meningkatkan
dayaguna dan hasil dari
aset yang
dikerjasamakan
Mendorong
pertumbuhan sektor
swasta dan
Meningkatkan
pertumbuhan ekonomi
daerah
Efektifitas kinerja
layanan, transfer
teknologi dan
manajemen
Factor
penyebab
munculnya
inisiasi
kerjasama
Pemasukan ke
Kas Daerah
PAD
Perpanjangan
Kontrak
Penyediaan Layanan
dengan biaya murah
APBD
untuk penyediaan
bangunan dan fasilitas
Kesimpulan
Skema
terpilih
57
Selain itu, hal pokok yang harus dipedomani demi keselamatan dan keamanan atas
kepemilikan aset milik daerah yang notabebe adalah aset milik rakyat adalah sebagai
berikut:
1. Bahwa hutang piutang pihak investor, sebelum maupun setelah terjadi BOT/BTO
tidak boleh berakibat terjadi pemindah tanganan kekayaan pemerintah daerah
kepada pihak lain baik pemindah tanganan sementara (hak sewa, hak pemakaian
dan hak guna usaha) maupun pemindahan hak secara
permanen (hak
kepemilikan).
2. Penambahan dan perubahan-perubahan besaran dana sepenuhnya menjadi
tanggung jawab investor. Perubahan besarnya hutang dan kewajiban lainnya,
merupakan tanggung jawab dan resiko investor sepenuhnya dan tidak melibatkan
pemerintah sebagai pemilik aset/kewenangan.
3. Besarnya investasi yang dikeluarkan untuk biaya konstruksi, biaya operasi,
maupun biaya pemeliharaan harus diadakan/ disediakan oleh investor, tanpa
menjaminkan aset tetap yang menjadi milik Pemerintah.
58
4. Pihak swasta yang terlibat boleh lebih dari 1 perusahaan, namun posisi dalam unit
usaha, hak dan kewajiban masing-masing harus diatur dalam perjanjian dengan
jelas.
59
BAB VII
KESIMPULAN
Dari Analisis Kesesuaian rencana KPS Pembangunan Rest and Resort Area Binangun
dengan Dokumen RPJM (Nasional, Propinsi dan Kabupaten) diketahui bahwa fokus
pembangunan pariwisata dari tingkat Nasional sampai dengan Kabupaten secara
umum adalah pengembangan klaster pariwisata untuk meningkatkan daya saing dan
daya jual destinasi pariwisata pada pasar regional, nasional maupun global serta
mendukung
peningkatan
kesejahteraan
masyarakat.
Sehingga
Rencana
60
sebagai alternatif wisata juga memfasilitasi para pengguna jalan untuk istirahat,
mendapatkan makanan dan minuman cepat saji, serta oleh-oleh khas Rembang.
Dari Analisis Kesesuaian rencana KPS Rest and Resort Area Binangun dengan RTRW
Kabupaten diketahui bahwa pengembangan fasilitas kawasan perkotaan PKLp
Perkotaan Lasem sebagai pusat pemerintahan Kecamatan Lasem, pusat permukiman,
pusat pengembangan perdagangan dan jasa, perikanan dan kelautan, perhubungan
laut, pertanian dan kehutanan, industri, pertambangan dan pariwisata.
Lokasi
Pembangunan Rest and Resort Area Binangun termasuk dalam rencana kawasan
strategis kabupaten (KSK BBS I) pada RTRW Kabupaten Rembang Tahun 2011-2031
dengan Konsep pengembangan pariwisata di Kawasan Pantai Bonang - Binangun
adalah mempertahankan wisata ziarah dengan melengkapinya dengan wisata
rekreasi pantai dan wisata budaya.
Dari Analisis Kesesuaian rencana KPS Pembangunan Rest and Resort Area Binangun
dengan Regulasi yang mengaturnya dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam kerangka
otonomi daerah, diperlukan sumber pembiayaan agar pemerintah daerah dapat
menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan dengan kemampuan daerahnya
sendiri. Dalam rangka mewujudkan hal tersebut di atas, Pemerintah Daerah dapat
menjalin kerjasama dengan pihak ketiga (swasta) dalam penyediaan layanan publik di
daerah.
perjanjian kerja sama dapat dilakukan oleh satuan kerja perangkat daerah), tanah
yang dimiliki oleh daerah merupakan bagian dari obyek kerjasama (seluruh urusan
pemerintahan yang telah menjadi kewenangan daerah otonom dan dapat berupa
penyediaan pelayanan publik), dan pemerintah daerah bisa melakukan kerjasama
dengan pihak ketiga (baik itu dengan Departemen/Lembaga Pemerintah Non
Departemen atau sebutan lain, perusahaan swasta yang berbadan hukum, Badan
Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Koperasi, Yayasan, dan lembaga di
dalam negeri lainnya yang berbadan hukum). Tanah yang dimiliki oleh Pemerintah
Daerah (Barang Milik Daerah) yang berstatus Hak Pakai maupun Hak pengelolaan
keduanya dapat dijadikan sebagai obyek kerjasama pemerintah dengan Pihak Ketiga
sepanjang sesuai dengan peruntukannya dan persyaratan sebagaimana ditetapkan
dalam keputusan pemberiannya serta memperhatikan RTRW Kabupaten. Kepala
Kajian Potensi KPS-Pembangunan Rest and Resort Area Binangun
61
satuan kerja perangkat daerah adalah Pengguna Barang Milik Daerah yang
berwenang dan bertanggungjawab salah satunya mengajukan usul Pemanfaatan
Barang Milik Daerah berupa tanah dan/atau bangunan yang tidak memerlukan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Barang Milik Daerah selain
tanah dan/atau bangunan. Berbeda dengan Tanah Hak Pengelolaan yang dapat
diusulkan Hak guna Bangunan dan Hak Pakai diatasnya, pada tanah Hak Pakai tidak
dapat diusulkan hak atas tanah diatasnya. Sehingga, apabila kerjasama pemerintah
dengan pihak ketiga dilakukan diatas tanah Hak Pakai maka pengaturannya harus
dituangkan secara jelas dalam perjanjian kerjasama dengan berprinsip bahwa
kerjasama pemerintah dengan pihak ketiga tidak menyebabkan hilangnya atau
berpindahtangannya Hak pakai tanah pemerintah tersebut kepada pihak lain. Selain
itu, Pemerintah Daerah berwenang dalam penyelenggaraan dan pengelolaan
kepariwisataan di wilayahnya serta mendorong penanaman modal(baik PMDN,
PMDA, maupun investasi melalui KPS) namun harus tetap mengacu pada Rencana
Induk Kepariwisataan dan RPJP baik Nasional, Propinsi dan Kabupaten/Kota.
Obyek kerjasama yang berupa tanah hak pakai Pemerintah Kabupaten Rembang
dengan sertifikat Hak Pakai No. 1 Tanggal 19 Januari 2005 yang peruntukannya dalam
sertipikat tersebut adalah untuk rest stop area serta berada di Kawasan BBS Zona I
dimana rencana pengembangannya adalah sebagai kawasan yang mensinergikan
beberapa sektor unggulan baik Perikanan kelautan, pariwisata maupun perkebunan
serta tetap mempertahankan wisata ziarah dengan melengkapinya dengan wisata
rekreasi pantai dan wisata budaya (sebagaimana dijabarkan dalam RTRW), layak
untuk dibangun rest maupun resort area. Lokasinya yang berada di tepi pantai agar
dalam pembangunannya tetap berpedoman pada peraturan perundangan dan
pedoman teknis yang berlaku yang antara lain mengatur mengenai koefisien dasar
bangunan, koefisien Lantai Bangunan, Koefisien Dasar Hijau, Garis sempadan Pantai,
Garis Sempadan Bangunan serta memenuhi kriteria sertifikasi usaha Hotel Bintang 3.
Dari Analisis Manfaat terhadap rencana KPS Rest and Resort Area Binangun
diketahui bahwa Manfaat langsungnya adalah mendatangkan keuntungan bagi
investor sekaligus menambah Pendapatan Asli Daerah melalui Pajak Hotel dan
Restaurat, retribusi Kios serta kontribusi-kontribusi lainnya mengingat proyek ini
62
Dengan Demikian
wisatawan yang berkunjung akan merasa nyaman untuk singgah, menginap dan
berbelanja.
pengunjung sehingga akan membuat mereka berkunjung lagi di lain waktu, tidak
hanya di Rest and Resort area Binangun tapi mungkin juga di obyek-obyek wisata
lainnya di Kabupaten Rembang.
Selain itu berdasarkan hasil survey dan wawancara diperoleh hasil bahwa 70% dari
responden menyatakan sangat setuju dan 30% menyatakan setuju apabila kawasan
ini akan dikembangkan. Mereka berpendapat bahwa dengan adanya pembangunan
kawasan pantai Binangun ini maka akan meningkatkan pendapatan para pedagang,
memunculkan industri-industri kerajinan (souvenir) maupun industri pengolahan
ikan, mengurangi penyalahgunaan kawasan ini yang selama ini mangkrak.
Dari
pertanyaan kuisioner, apakah pembangunan Rest and Resort Area Binangun akan
lebih efektif dikelola oleh pemerintah atau swasta atau kolaborasi keduanya, 20%
menyatakan akan lebih baik jika dikelola oleh pemerintah, 60% menyatakan akan
lebih baik jika dikelola oleh pemerintah dan swasta sedangkan sisanya 10%
menyatakan tidak masalah akan dikelola oleh siapa yang terpenting pengelolaannya
baik dan profesional. Alasan kenapa sebagian besar menyatakan lebih baik dikelola
oleh pemerintah dan swasta karena hal tersebut yang lebih baik dilakukan bila
memang pemerintah kesulitan soal pendanaan. Selanjutnya menurut responden,
semuanya (100%) menyatakan bahwa pembangunan Rest and Resort Area Binangun
akan memiliki dampak bagi lingkungan, Peningkatan PAD, penyerapan tenaga kerja
Kajian Potensi KPS-Pembangunan Rest and Resort Area Binangun
63
lokal, membuka lapangan kerja baru, peningkatan layanan publik, peningkatan arus
lalu lintas, peningkatan pendapat masyarakat dan perubahan gaya hidup.
Dari
Dari Analisis Biaya terhadap rencana KPS Rest and resort area Binangun diperoleh
biaya investasi untuk Pembangunan Rest and Resort Area Binangun adalah sebesar
Rp.12.514.400.000,-. Dengan masa kontrak kerjasama 10 Tahun diperoleh Nilai NPV
sebesar Rp. 6.160.802.972,- (>0=Layak); IRR sebesar 20.2% (>12%=Layak), B/C Ratio
sebesar 1.16 (>1=Layak) serta Payback Period 7 Tahun dan telah memperoleh
keuntungan sebesar Rp. 339.145.559,- pada tahun tersebut.
Dengan demikian
proyek KPS pembangunan Rest and Resort Area Binangun dapat dikatakan LAYAK.
Dari analisis Pemilihan Skema KPS Rest and Resort Area Binangun diperoleh
kesimpulan bahwa Skema BOT/BTO merupakan skema terbaik yang dapat diterapkan
bagi pembangunan Rest and Resort Area Binangun, hal ini mengingat dan
mempertimbangkan
adanya
transfer
teknologi,
Keahlian
dan
manajemen
pengelolaan dari swasta kepada pemerintah daerah pada akhir masa kontrak
sehingga kemudian pada saat Rest and Resort Area tersebut dilanjutkan
pengelolaannya oleh pemerintah Kabupaten akan diperoleh penyediaan layanan
publik (Rest area)) yang murah dan berkelanjutan. Selain itu, Penentuan lamanya
masa kontrak kerjasama harus mempertimbangkan kepentingan para pihak,
khususnya investor agar diberi kemudahan dan jaminan agar penerimaannya sudah
mampu menutup investasi dan memperoleh keuntungan dalam batas-batas
kewajaran.
64
LAMPIRAN
65