Anda di halaman 1dari 3

Metafor Formasi Angsa-Angsa Terbang

Sinopsis
Strategi export-led growth telah menumbuhkan persaingan yang
merugikan diantara negara-negara berkembang karena orientasi pada
pertumbuhan ekspor tidak lepas dari tujuan pasar serta comparative advantage
produk ekspor itu sendiri. Banyak negara berkembang diAsia cenderung
bersaing dalam mengekspor terutama karena kesamaan jenis produk ekspor
itu sendiri atau disebut terjebak kedalam fallacy of composition. Banyak
negara berkembang berpotensi mengalami kemerosotan kinerja dan volume
ekspor ketimbang keinginan untuk terus dapat memacu pertumbuhan ekspor
yang tinggi.
Persaingan Dalam Perdagangan Internasional
Dengan meminjam metafor Akamatsu (1935) The Flying Geese
Formation, ekonom Amerika dibidang international trade, Robert Blecker
dan Arslan Razmi banyak menjelaskan bahwa pelaku ekspor seperti negara
berkembang cenderung bersaing dalam menembus pasar negara tujuan
karena kesamaan produk-produk ekspornya. Karena kebanyakan produk ini
adalah hasil manufaktur dengan menerapkan low-technology (teknologi
rendah/padat karya) seperti tekstil, sepatu ataupun elektronik, negaranegara ini ada dalam spektrum formasi paling belakang, yang kemudian
disusul oleh negara-negara pengekspor dengan more sophisticated technology
dan akhirnya dipimpin oleh negara pengekspor produk yang berciri hightechnology seperti dalam Formasi Angsa-Angsa Terbang. Pada intinya,
kesamaan produk-produk ini secara umum menyebabkan kerugian
pertumbuhan ekspor , deindustrialisasi atau mungkin menyebabkan
masuknya industri itu kedalam kategori sunset yang tidak menguntungkan.
Apa yang dapat dilakukan Indonesia guna mencegah kemerosotan
pertumbuhan ekspor non-migasnya dimasa depan? Studi-studi empiris
Blecker banyak menjelaskan bahwa negara pengekspor produk manufaktur
akan terjerumus kedalam zero-sum game jika pasar tujuan tidak dapat
mengabsorpsi seluruh volume produksi ekspor negara-negara ini. Selain itu,
strategi ini juga menyebabkan ketergantungan pada pertumbuhan ekonomi
negara pasar tujuan seperti Uni Eropa (UE) dan Amerika Serikat (AS) sebagai
konsumen.
Tentunya, dengan lingkup metafor technological ladder ini kita dapat
menjelaskan bahwa negara seperti Indonesia akan mengalami persaingan
merugikan dengan kebanyakan negara berkembang seperti ASEAN,
Bangladesh, India dan China. Dengan kata lain, pengembangan ekspor
produk yang tidak komplementer (baca: kompetitif) akan membawa
Indonesia kepada kemerosotan kinerja ekspor manufaktur non-migasnya.

China
China adalah saingan Indonesia jika China tetap menerapkan
kebijakan mercantilisme guna memacu pertumbuhan ekonominya.
Perdagangan yang mengedepankan pertumbuhan ekspor dengan faktor
relatively low wage akan memacu negara ini meninggalkan pesaingpesaingnya. Comparative advantage perdagangan internasional China setelah
krisis finansial Asia pada tahun 1997 tetap mengedepankan pertumbuhan
ekspor sebagai pilar pertumbuhan ekonomi negara ini dibanding menjaga
kestabilan Asia. Jika strategi pertumbuhan ekonomi kebanyakan negaranegara berkembang lainnya termasuk Indonesia memiliki kemiripan yang
sama dengan China dapat dipastikan China akan menyingkirkan (crowd out)
negara berkembang lainnya dan mendominasi pasar ekspor seperti saat ini.
China menggunakan strategi faktor produksi dengan teknologi yang sesuai
serta dibantu dengan menerapkan acuan low wage. China juga ditopang
kebijakan moneter yang mempertahankan nilai tukar yuan pada tataran
tetap artificially undervalued. Perbaikan standar of living masyarakatnya belum
menjadi rujukan kebijakan ekonomi negara tirai bambu ini.
Apa yang dapat Indonesia lakukan menghadapai kenyataan ekonomi
global seperti ini? Berikut ini adalah beberapa rujukan yang dapat kita
renungkan. Strategi menghadapi China adalah dengan menyempurnakan
dan meningkatkan pertumbuhan ekspor Indonesia terhadap China dengan
diversifikasi komposisi komoditas atau produk komplementer selain
mengekspor produk migas dan batubara ke China. Disamping itu, Indonesia
perlu ikut menekan China agar beggar-thy-neighbor policynya dapat
dikendurkan dengan mengajak China melakukan adjustment terhadap mata
uangnya agar terapresiasi secara wajar. Indonesia juga perlu mengintensifkan
menjalin hubungan perdagangan dengan China dengan komposisi produk
yang interdependent dalam industrinya seperti bahan baku (raw material),
components ataupun produk-produk agroindustri.
India
India adalah kompetitor Indonesia menuju pasar negara-negara maju.
India adalah negara pengekspor bahan dasar utama tekstil manufaktur hulu
Indonesia. Oleh karenanya, India menawarkan kesempatan kerjasama
maupun persaingan dengan Indonesia sebagai sesama ekonomi yang
berkembang. India didukung dengan penduduk yang juga besar serta
kemampuan masyarakatnya yang baik dalam lingua franca perdagangan
internasional bahasa Inggris. India juga mengedepankan kemampuan
teknologi software engineering yang menjanjikan dalam era information
technology (IT) kedepan.
Kesimpulan
Oleh karena India juga memosisikan diri sebagai pesaing China
dengan produk berbasis low wage , Indonesia perlu memperhatikan orientasi
kebijakan perdagangan India terhadap partner utama ekonominya dan pada

saat yang sama juga memperhatikan China guna menerapkan kebijakan


ekspor yang berorientasi pertumbuhan tetapi tidak terjebak kedalam fallacy
of composition seperti dijelaskan diatas. (China disinyalir menerapkan childlabor agar tetap kompetitif). Indonesia juga perlu mewaspadai kinerja
industri andalannya serta mempererat hubungan dengan negara pengimpor
produk-produk ini serta memperhatikan arah investasi global negara-negara
ini diseluruh dunia.

Anda mungkin juga menyukai