Anda di halaman 1dari 48

PENGARUH UMUR TERHADAP PERSENTASE KARKAS DAN DAGING

SAPI BALI JANTAN YANG DIPELIHARA SECARA INTENSIF

SKRIPSI

Oleh:

J U M I AT I
I 111 08 280

PROGRAM STUDI PRODUKSI TERNAK


JURUSAN PRODUKSI TERNAK
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013
1

PENGARUH UMUR TERHADAP PERSENTASE KARKAS DAN DAGING


SAPI BALI JANTAN YANG DIPELIHARA SECARA INTENSIF

SKRIPSI

Oleh:

J U M I AT I
I 111 08 280

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana pada Fakultas
Peternakan Universitas Hasanuddin

PROGRAM STUDI PRODUKSI TERNAK


JURUSAN PRODUKSI TERNAK
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013
2

PERNYATAAN KEASLIAN

1. Yang bertanda tangan dibawah ini:


Nama
: Jumiati
NIM
: I 111 08 280
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa:
a. Karya skripsi yang saya tulis adalah asli
b. Apabila sebagian atau seluruhnya dari karya skripsi, terutama dalam Bab
Hasil dan Pembahasan tidak asli atau plagiasi maka bersedia dibatalkan atau
dikenakan sanksi akademik yang berlaku.
2. Demikian pernyataan keaslian ini dibuat untuk dapat dipergunakan sepenuhnya.

Makassar,

Januari 2013

TTD

Jumiati

HALAMAN PENGESAHAN
Judul Penelitian

: Pengaruh Umur Terhadap Persentase Karkas dan


Daging Sapi Bali Jantan yang Dipelihara Secara
Intensif

Nama

: Jumiati
3

No. Pokok

: I 111 08 280

Program Studi

: Produksi Ternak

Jurusan

: Produksi Ternak

Fakultas

: Peternakan

Skripsi ini telah diperiksa dan disetujui oleh:

Pembimbing Utama

Pembimbing Anggota

Prof.Dr.Ir.H. Sjamsuddin Garantjang, M.Sc


NIP. 19510707 1976021 1 001

Prof. Dr. Ir H. Basit Wello, M.Sc


NIP. 19450805 196901 1 001

Dekan Fakultas Peternakan

Prof. Dr. Ir. Syamsuddin Hasan, M.Sc.


NIP. 19520923 197903 1 002

Ketua Jurusan Produksi Ternak

Prof. Dr. Ir. H. Sudirman Baco, M.Sc.


NIP. 19641231 198903 1 025

Tanggal Lulus : 17 Januari 2013


ABSTRAK

Jumiati (I 111 08 280). Pengaruh Umur Terhadap Persentase Karkas dan Daging
Sapi Bali Jantan yang Dipelihara Secara Intensif. Dibimbing oleh Sjamsuddin
Garantjang sebagai Pembimbing Utama dan Basit Wello sebagai pembimbing
anggota.

Suatu penelitian telah dilakukan untuk melihat pengaruh umur terhadap


persentase karkas dan daging sapi Bali jantan yang dipelihara secara intensif.
Penelitian ini menggunakan percobaan rancangan dasar rancangan acak lengkap
(RAL), dengan 3 perlakuan dan 5 ulangan yaitu perlakuan A sapi Bali umur 1,5 - 2
tahun 5 ekor, perlakuan B sapi Bali umur 2 - 2,5 tahun 5 ekor, perlakuan C sapi
Bali umur 2,5 - 3 tahun 5 ekor. Materi utama penelitian ini adalah sapi Bali jantan
berumur 1,5 - 3 tahun sebanyak 15 ekor. Pakan yang digunakan dalam penelitian
ini yaitu silase jagung 80%, dedak padi 35%, molasses 10%, pollar 15%, jagung
25%, biji kapok 10%, cattle mix 3%, urea 2% dan air. Hasil penelitian ini
memberikan kesimpulan bahwa persentase karkas tertinggi terdapat pada kelompok
sapi yang dipelihara dengan umur 2 - 2,5 tahun yaitu: 49,42% dan 83,06%,
sedangkan persentase terendah terdapat pada sapi yang dipelihara dengan umur 1,5 2 tahun yaitu: 44,95% dan 79,12%. Sedangkan persentase daging dari berat
potong dan persentase daging dari berat karkas tertinggi pada kelompok sapi umur 2
- 2,5 tahun yaitu 41,05% dan 83,06% dan terendah pada umur 1,5 - 2 tahun
yaitu 35,56 % dan 79,12%.
Kata Kunci : Persentase Karkas, Persentase Daging, Umur, Sapi Bali

ABSTRACT

Jumiati (I 111 08 280). The Effect of Age Against Percentage Beef Carcasses and
Bali Ram Maintained Intensive. Supervised by Sjamsuddin Garantjang as the
Supervision leader and Basit Wello as the supervision member.

A study was conducted to know the effect of age on the percentage of


carcasses and Bali cattle males reared intensively. Experiment used the factorial
experiment with the simple random design, with 3 treatments and 5 replicates the
treatment A Bali cattle age i.e. 1.5 - 2 years and 5 heads, treatment B Bali cattle
aged 2 - 2.5 years 5 heads, treatment C Bali cattle aged 2.5 - 3 years and 5 heads.
The main material of this study were male Bali cattle aged 1,5 - 3 years as many as
15 heads. Feed used in this study is 80% corn silage, 35% rice bran, molasses 10%,
pollar 15%, corn 25%, 10% kapok seeds, cattle mix 3%, 2% urea and water. The
results of this study lead to the conclusion that the highest percentage of carcasses
are those of cattle that are the ages of 2 - 2.5 years as follows: 49.42% and
83.06%, while the lowest percentage of cattle that are found in the age of 1.5 - 2
years, namely: 44.95% and 79.12%. While the percentage of heavy pieces of meat
and meat percentage of carcass weight was highest in the age group of cattle 2 -
2.5 years is 41.05% and 83.06% and the lowest at age 1.5 - 2 years is 35.56% and
79.12%.

Keywords: Percentage of carcass, meat percentage, Age, Bali Cattle

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Atas berkat dan
rahmat serta karuniaNYa sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini yang
berjudul Pengaruh Umur Terhadap Persentase Karkas dan Daging Sapi Bali
Jantan yang Dipelihara Secara Intensif yang merupakan salah satu syarat untuk
dapat menyelesaikan tugas akhir (skripsi) pada jurusan Produksi Ternak di Fakultas
Peternakan, Universitas Hasanuddin, Makassar.
Pada kesempatan ini penulis banyak mengucapkan terima kasih kepada :
1. Allah Subuhannawwataala atas segala perlindungan, rezki dan rahmatnya
sehingga penulis dapat memijakkan kaki di Universitas Hasanuddin.
2. Prof. Dr. Ir. H. Sjamsuddin Garantjang, M. Sc, selaku pembimbing yang
telah memberikan arahan dan bimbingannya dalam penyusunan skripsi ini.
3. Prof. Dr. Ir. H. Basit Wello, M. S, Selaku pembimbing anggota yang telah
memberikan arahan dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini.
4. Penyusun juga tidak lupa mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya
kepada Ibunda tercinta Tati dan Ayahanda tersayang Muh. Kasim yang
selama ini terus mendukung penulis dalam doa, materi dan curahan kasih
sayangnya juga buat saudaraku Haslindah Kasim yang selalu memberi
semangat dan dukungannya serta doa, serta kepada keluarga besar saya.
5. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Wempie Pakiding,
M.Sc selaku pembimbing akademik yang telah bersedia meluangkan
waktunya kurang lebih 4 tahun memberikan nasehat, wejangan dan arahan
dalam mengambil keputusan akademik.
6. Terima kasih kepada dosen penguji pada seminar proposal dan hasil yang
telah memberikan kritik, saran dan masukan untuk kesempurnaan skripsi ini.

Dan juga kepada dekan fakultas peternakan Prof. Dr. Ir. Syamsuddin
Hasan, M. Sc, serta para bapak dan ibu dosen, pegawai fakultas peternakan
dan jurusan produksi ternak yang telah membantu baik secara langsung
maupun tidak langsung, penulis mengucapkan terimah kasih.
7. Kepada rekan-rekan sepenelitian Fitriah dan Sri Arwita terima kasih atas
bantuan dan partisipasinya dalam

mengumpulkan artikel/literatur yang

mendukung penelitian penulis


8. Terima kasih kepada sahabat penulis yang selama ini telah membantu,
memberikan semangat dan doa untuk penulis khususnya Bakteri 08
Januarti Salombe S. Pt, Naftika Edeilweys, Erdayanti, Lestari Kemala
Putri, Nurfadilah M, Hafsah, Jernih Amalia Rahman, Indah Yunita,
Feby Ratridini, St. Chadijah, S.Pt, A. Citta Pasamita, Marlina,
Musdalifa S. Pt, Asrullah S. Pt, Junaedi S. Pt, Irvan Amir, Abdul Abid,
Swador Yunson, Ibrahim Hading, A. Paddupa, Rahmat Saputra,
Fatriadi Sukardi, Anjar Wawo, Jihat Akbar dan Asdar, serta semua
pihak yang telah membantu selama penyelesaian skripsi ini.
9. Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada saudara Ahmad
Yahya yang selalu memberi saran-saran, semangat serta dukungannya dalam
penyelesaian skripsi ini.
10. Terima kasih juga kepada PT. Tata Harapan Cemerlang yang telah
membantu penulis dalam penelitian ini.
Penulis menyadari penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.
Untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun

untuk perbaikan kedepan. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih atas saran
yang diberikan dan berharap makalah ini bermamfaat bagi kita semua.
Makassar,

Januari 2013

Penulis

DAFTAR ISI
Halaman

HALAMAN SAMPUL ...........................................................................

HALAMAN JUDUL .............................................................................

ii

HALAMAN KEASLIAN .......................................................................

iii

HALAMAN PENGESAHAN ................................................................

iv

ABSTRAK ................ .............................................................................

ABSTRACT ............................................................................................

vi

KATA PENGANTAR .............................................................................vii


DAFTAR ISI ............. ............................................................................x
DAFTAR TABEL .... .............................................................................

xii

DAFTAR LAMPIRAN ...........................................................................

xiii

PENDAHULUAN ..... .............................................................................

TINJAUAN PUSTAKA
A.
B.
C.
D.
E.
F.

Gambaran Umum Sapi Bali ..........................................................


Sistem Pemeliharaan .....................................................................
Pakan Sapi Bali .............................................................................
Karkas ............. .............................................................................
Persentase Karkas .........................................................................
Persentase Daging .........................................................................

4
6
8
10
11
13

METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian ............................................................
Materi Penelitian .............................................................................
Rancangan Percobaan ........................................................................
Parameter yang Diukur ......................................................................
Prosedur Penelitian ............................................................................
Analisa Data ......................................................................................

16
16
16
17
17
19

HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Persentase Karkas .........................................................................
B. Persentase Daging .........................................................................

20
22

10

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan ........................................................................................
Saran ..................................................................................................

25
25

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................

26

LAMPIRAN ............................................................................................

29

RIWAYAT HIDUP

DAFTAR TABEL
No.

Halaman
Teks

11

1.

Rata-Rata dan Standar Deviasi Persentase Karkas Sapi Bali ..

20

Rata-Rata dan Standar Deviasi Persentase Daging Sapi Bali .

22

DAFTAR LAMPIRAN
No.

Halaman
Teks

1. Analisis Ragam Persentase Karkas .....


2. Analisis Ragam Persentase Daging Dari Berat Potong ...

29
30

12

3. Analisis Ragam Persentase Daging Dari Berat Karkas ...

31

13

PENDAHULUAN
Peternakan sapi di Indonesia terus berkembang seiring
meningkatkan pengetahuan dan teknologi di bidang peternakan.
Tingginya

permintaan

masyarakat

atas

kebutuhan

daging

membuat pemerintah harus melaksanakan swasembada daging.


Data

Dirjen

Peternakan

(2008)

pada

tahun

2006-2007

menyatakan bahwa kebutuhan nasional daging sapi pada tahun


2006 adalah 395,80 ton. Hal ini juga terjadi pada tahun 2007
yaitu

sebanyak

418,20

ton

akibatnya

terjadi

perlambatan

peningkatan produksi daging. Kekurangan daging sapi tersebut


dapat dipenuhi lewat penggemukan sapi bakalan ekspor impor
dan daging beku impor. Hal ini tentu merugikan pemerintah dan
konsumen karena harus mengeluarkan biaya untuk mengimpor
daging (Abidin, 2002).
Daging merupakan salah satu produk utama ternak di
samping telur dan susu yang hampir tidak dapat dipisahkan dari
kehidupan manusia. Permintaan akan daging meningkat seiring
dengan kesadaran masyarakat akan pentingnya gizi yang baik
dan meningkatnya pendapatan masyarakat baik di negara yang
sedang berkembang maupun di negara-negara maju. Salah satu
jenis ternak di Indonesia yang cukup populer untuk menghasilkan
daging adalah sapi Bali. (Hafid, 2005).
Penggemukan

merupakan

usaha

terbaik

dalam

meningkatkan produktivitas dan kualitas karkas sapi, karena


1

pada usaha penggemukan dapat diberikan pakan yang sesuai


dengan kebutuhan, berenergi tinggi dan bermutu baik. Karkas
merupakan

produk

utama

yang

dihasilkan

setelah

ternak

disembelih. Kualitas dan kuantitas karkas yang dihasilkan dari


seekor ternak selain ditentukan oleh faktor on farm seperti :
penggunaan bibit ternak dan teknologi pakan, juga dipengaruhi
oleh faktor of farm terutama penanganan ternak pasca panen
(Hafid H, 2005) .
Nilai ekonomis karkas sapi di pasaran ditentukan oleh
kualitas karkas (carcass quality) dan hasil karkas (carcass yield).
Kualitas karkas ditentukan oleh beberapa faktor yaitu: ukuran
karkas, tingkat kedewasaan, dan skor kepualaman. Ukuran
karkas ditentukanoleh nilai indeks karkas (fleshing index).
Fleshingindex merupakan perbandingan bobot karkas dengan
panjang

karkas,

nilainya

akan

meningkat

seiring

dengan

meningkatnya bobot potong. Hal ini terjadi karena selama


periode

sapi

digemukkan

pertumbuhan

tulang

sebagai

komponen utama karkas relatif lambat sehingga panjang dan


tinggi relatif konstan, sedangkan pertumbuhan daging dan lemak
lebih cepat. Karkas yang baik memiliki kreteria bulat sekali
dengan indeks lebih dari 2,05kg/cm panjang karkas (Hafid,
2006).

Faktor

bangsa

dan

umur

juga

akan

mempengaruhi

besarnya persentase karkas, faktor lain yang mempengaruhi


adalah kondisi hewan, bentuk serta tingkat kegemukan. Salah
satu faktor yang berguna sebagai ciri ternak potong yang baik
ialah kulitnya tipis dan jumlah atau bentuk tulangnya kecil,
sehingga akan mendapatkan jumlah daging yang relatif cukup
banyak . Komponen utama karkas terdiri atas jaringan otot,
tulang dan lemak. Kualitas karkas sangat ditentukan oleh
imbangan ketiga komponen tersebut, (Soeparno, 1992).
Semakin

tinggi

bobot

badan

seekor

ternak,

maka

presentase dari bobot karkasnya akan semakin tinggi pula.


Meatiness (daging yang mengandung beberapa bagian lemak
intramuskular dan lemak subcutan yang dapat diterima oleh
konsumen)

dipengaruhi

oleh

beberapa

faktor

diantaranya

bangsa, bobot tubuh, umur, tingkat kegemukan, bobot karkas,


homon dan jenis kelamin (Awaluddin, 2006).
Umur sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi bobot
karkas termasuk didalamnya rasio daging dan tulang, kadar dan
distribusi lemak serta kualitas daging, berkaitan erat dengan
pertumbuhan. Daging sapi yang baik adalah daging sapi yang
berumur dua tahun dan daging sapi tersebut lebih baik dibanding
dengan sapi-sapi yan lebih tua. Pertumbuhan yang lebih cepat
terjadi pada waktu ternak masih muda atau sebelum ternak

mencapai dewasa kelamin, pertumbuhannya akan menurun


sampai pada suatu saat dimana tidak terjadi lagi pertumbuhan
tulang dan otot (Wello, 1986).
Penurunan persentase karkas dan daging yang dihasilkan
ternak sapi Bali merupakan salah satu permasalahan yang sering
dihadapi peternak. Diduga umur merupakan salah satu penyebab
penurunan persentase karkas dan daging sehingga dilakukan
penelitian

tentang

bagaimana

pengaruh

umur

terhadap

persentase karkas dan daging sapi Bali jantan yang dipelihara


secara intensif.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui umur
sapi Bali menghasilkan persentase karkas dan daging yang
maksimal dan ekonomis atau optimal pada sapi Bali jantan yang
dipelihara secara intensif dengan umur yang berbeda.

TINJAUAN PUSTAKA
A. Gambaran Umum Sapi Bali

Sapi Bali (Bibos sondaicus) yang ada saat ini diduga


berasal dari hasil domestikasi Banteng liar (Bibos banteng).
Proses domestikasi sapi Bali itu terjadi 3.500 SM di Indonesia
atau Indochina. Banteng liar saat ini biasa ditemukan di Jawa
bagian Barat dan bagian Timur, di Pulau Kalimantan, serta
ditemukan juga di Malaysia. Tempat dimulainya domestikasi sapi
Bali yaitu terjadi di Jawa, menduga asal mula sapi Bali adalah
dari Pulau Bali mengingat tempat ini merupakan pusat distribusi
sapi Bali di Indonesia. Gen asli sapi Bali berasal dari Pulau Bali
yang kemudian menyebar luas ke daerah Asia Tenggara, dengan
kata lain bahwa pusat gen sapi Bali adalah di Pulau Bali, di
samping pusat gen sapi zebu di India dan pusat gen primigenius
di Eropa (Hardjosubroto dan Astuti, 1993).
Sapi Bali merupakan plasma nutfah dan sebagai ternak
potong andalan yang dapat memasok kebutuhan akan daging
sekitar 27% dari total populasi sapi potong Indonesia. Sebagai
ternak potong, pertumbuhan sapi Bali tergantung pada kualitas
nutrien yang terkandung pada tiap bahan pakan yang dimakan.
Pada umumnya, kebutuhan akan nutrien dari ternak sapi adalah
energi berkisar 60 70% total digestible nutrien (TDN), protein
kasar 12%, dan lemak 3 5%. Pemanfaatan hijauan bernilai
hayati tinggi sebagai sumber pakan belum bisa mendukung
kebutuhan sapi Bali akan nutrien. Hal ini disebabkan karena

hijauan bernilai hayati tinggi dan ketersediaannya terbatas pada


musim kemarau (Sastradipradja, 1990).
Sapi Bali mempunyai ciri-ciri fisik yang seragam, dan hanya mengalami
perubahan kecil dibandingkan dengan leluhur liarnya (Banteng). Warna sapi
betina dan anak atau muda biasanya coklat muda dengan garis hitam tipis terdapat
di sepanjang tengah punggung. Warna sapi Bali jantan adalah coklat ketika muda
tetapi kemudian warna ini berubah agak gelap pada umur 12-18 bulan sampai
mendekati hitam pada saat dewasa, kecuali sapi jantan yang dikastrasi akan tetap
berwarna coklat. Pada kedua jenis kelamin terdapat warna putih pada bagian
belakang

paha

(pantat),

bagian

bawah

(perut),

keempat

kaki

bawah

(whitestocking) sampai di atas kuku, bagian dalam telinga, dan pada pinggiran
bibir atas (Hardjosubroto dan Astuti, 1993).
Tiga bangsa sapi lokal yang berpotensi dikembangkan di
Indonesia adalah sapi Ongole (Sumba Ongole dan Peranakan
Ongole), sapi Bali, dan sapi Madura. Bangsa sapi tersebut telah
beradaptasi dengan baik terhadap lingkungan dan cekaman di
wilayah Indonesia. Melalui ketiga bangsa sapi lokal tersebut, sapi
Bali paling tahan terhadap cekaman panas, di samping memiliki
tingkat kesuburan yang baik, kemampuan libido pejantan lebih
unggul, persentase karkas tinggi (56 persen), dan kualitas daging
baik (Anonimus, 2004).
Peternak

menyukai

sapi

Bali

mengingat

beberapa

keunggulan karakteristiknya antara lain : mempunyai fertilitas

tinggi, lebih tahan terhadap kondisi lingkungan yang kurang baik,


cepat beradaptasi apabila dihadapkan dengan lingkungan baru,
cepat berkembang biak, bereaksi positif terhadap perlakuan
pemberian pakan, kandungan lemak karkas rendah, keempukan
daging tidak kalah dengan daging impor. Fertilitas sapi Bali
berkisar 83 - 86 persen, lebih tinggi dibandingkan sapi Eropa
yang 60 persen. Karakteristik reproduktif antara lain : periode
kebuntingan 280-294 hari, rata-rata persentase kebuntingan
86,56 persen, tingkat kematian kelahiran anak sapi hanya 3,65
persen,

persentase

kelahiran

83,4

persen,

dan

interval

penyapihan antara 15,48-16,28 bulan (Wirdahayati, 1995).


Beberapa kelemahan sapi Bali antara lain (Suryana, 2000),
pertumbuhan yang lambat, tekstur daging yang alot dan warna
yang gelap sehingga kurang baik digunakan sebagai steak, slicebeef, sate dan daging asap. Sapi Bali juga dinyatakan peka
terhadap

beberapa

penyakit

seperti

penyakit

Jembrana/Ramadewa, dan Malignant Catarrhal Fever (MCF).


B. Sistem Pemeliharaan
Program penggemukan (finishing) sapi potong menurut
Parakkasi (1999) bertujuan untuk memperbaiki kualitas karkas
dengan jalan membentuk lemak seperlunya. Program finishing
untuk sapi yang belum dewasa bersifat membesarkan sambil

menggemukkan atau memperbaiki kualitas karkas. Sapi potong


yang dipelihara secara intensif pertumbuhannya akan lebih
tinggi dari pada sapi yang dipelihara secara ekstensif sehingga
lebih cepat mencapai bobot potong yang diinginkan (Blakely dan
Bade , 1991) .
Pemeliharaan sapi potong untuk penggemukan dapat
dilakukan dengan menggunakan sistem pemeliharaan intensif,
semi intensif dan ekstensif. Blakely dan Bade (1991) menjelaskan
bahwa sistem pemeliharaan intensif merupakan sistem dimana
sapi

dipelihara

dalam

kandang

dengan

pemberian

pakan

konsentrat berprotein tinggi dan juga dapat ditambah dengan


memberikan hijauan. Sistem pemeliharaan semi intensif adalah
sapi selain dikandangkan juga digembalakan di padang rumput,
sedangkan

sistem

ekstensif

pemeliharaannya

dipadang

penggembalaan dengan pemberian peneduh untuk istirahat sapi.


Parakkasi (1999) menambahkan bahwa sistem intensif biasanya
dilakukan pada daerah yang banyak tersedia limbah pertanian
sedangkan sistem ekstensif diterapkan pada daerah yang
memiliki padang penggembalaan yang luas. Penggunaan lahan
menurut Blakely dan Bade (1991) untuk sistem intensif lebih
efisien dari pada sistem ekstensif sehingga pemeliharaan secara
intensif cocok dipakai didaerah padat penduduk.

Keuntungan dari sistem pemeliharaan intensif adalah dapat


menggunakan bahan pakan berasal dari hasil ikutan industri
pertanian dibanding dengan pemeliharaan di dilapangan. Blakely
dan Bade (1991 ) menambahkan bahwa pemeliharaan intensif
pada program finishing dapat menekan jumlah kematian dan
dapat menghasilkan feses yang lebih banyak dari pada sistem
pastura atau ekstensif.
Kekurangan dari sistem ini menurut Parakkasi (1999) yaitu
mudah sekali penyebaran penyakitnya, investasinya juga banyak
dan sering ditemukan permasalahan akan limbah peternakan
yang dihasilkan. Kekurangan yang lain sistem penggemukan
secara intensif antara lain banyak tenaga kerja yang dibutuhkan,
peralatan serta modal yang cukup besar.

C. Pakan Sapi Bali


Menurut Parakkasi (1995) pakan merupakan semua bahan
yang bisa diberikan dan bermanfaat bagi ternak. Pakan yang
diberikan harus berkualitas tinggi yaitu mengandung zat-zat
yang diperlukan oleh tubuh ternak untuk kehidupannya seperti
air, karbohidrat, lemak, protein, mineral dan air

Pakan merupakan sumber zat gizi yang diperlukan untuk hidup pokok dan
pertumbuhan. Karena pakan merupakan sumber zat gizi, ternak sapi tidak saja
perlu pakan dalam jumlah yang cukup (kuantitasnya) namun juga diperlukan
pakan yang berkualitas. Pakan yang baik (berkualitas) banyak mengandung zat
gizi yang diperlukan ternak, sehingga kombinasi pakan yang berkualitas dengan
jumlah (kuantitas) yang cukup akan memberikan peluang kepada ternak yang
dipelihara untuk mendapatkan sejumlah zat gizi untuk keperluan pertumbuhannya. Pakan utama ternak ruminansia adalah hijauan yaitu sekitar 60-70%;
namun demikian karena ketersediaan pakan hijauan sangat terbatas maka
pengembangan peternakan dapat diintegrasikan dengan usaha pertanian sebagai
strategi dalam penyediaan pakan ternak melalui optimalisasi pemanfaatan limbah
pertanian dan limbah agroindustri pertanian (Anonim, 2012).
Pakan

yang

digunakan

pada

pemeliharaan

intensif

biasanya konsentrat penuh atau 60% konsentrat dan 40%


hijauan

(Blakely

dan

Bade,

1991).

Parakkasi

(1995)

menambahkan bahwa rasio pemberian pakan dalam sistem


intensif yaitu 95% konsentrat dan 10-15% hijauan makanan
ternak. Berdasarkan Parakkasi (1999) sapi dewasa (finishsedang) dapat mengkonsumsi pakan bahan kering sebesar1,4 %
bobot badan sedangkan untuk sapi steer sampai 3 % bobot
badan.
Syamsu dkk (2000) menyatakan bahwa limbah pertanian tanaman pangan
memiliki potensi yang cukup besar sebagai sumber pakan ternak ruminansia.

10

Meskipun demikian limbah pertanian seperti jerami mengandung serat kasar yang
tinggi dan palatabilitasnya sangat rendah, sehingga perlu diupayakan peningkatan
kualitas supaya dapat dimanfaatkan secara maksimal pada penggemukan sapi
secara feedlot. Salah satu upaya yang tepat dilakukan untuk memperbaiki kualitas
jerami adalah pengolahan secara fisik, kimia dan biologis.
Pakan komplit merupakan pakan yang cukup mengandung nutrien untuk
ternak dalam tingkat fisiologis tertentu yang dibentuk dan diberikan sebagai satusatunya pakan yang mampu memenuhi kebutuhan hidup pokok dan produksi
tanpa tambahan substansi lain kecuali air (Hartadi, dkk 2005).
Keuntungan dari penggunaan pakan komplit antara lain memberikan
nutrisi yang seimbang bagi ternak, dapat mengontrol keseimbangan hijauan dan
konsentrat, dapat meningkatkan nilai guna limbah pertanian sebagai sumber serat,
meningkatkan konsumsi bahan pakan yang kurang palatabel serta dapat mencegah
seleksi oleh ternak (Susetyo, 2001). Sedangkan menurut Suryadi (2006)
keuntungan pembuatan pakan komplit diantaranya meningkatkan efisiensi dalam
pemberian pakan hijauan dengan palatabilitas rendah setelah dicampur dengan
konsentrat dapat meningkatkan konsumsi, untuk membatasi konsumsi konsentrat,
mudah dalam pencampuran antara hijauan dan konsentrat, memudahkan ternak
menjadi kenyang dan mengurangi debu pada pakan. Hal ini sangat diperlukan
mengingat

ketangguhan

agribisnis

peternakan

adalah

mengutamakan

menggunakan bahan baku lokal yang tersedia didalam negeri dan sedikit mungkin
menggunakan komponen impor (Saragih, 2000).
D. Karkas

11

Karkas sapi adalah bagian tubuh hasil pemotongan setelah dikurangi


darah, kepala, keempat kaki pada bagian bawah (mulai dari carpus dan tarsus),
kulit, saluran pencernaan, usus, urine, jantung, tenggorokan, paru-paru, limpa, hati
dan jaringan-jaringan lemak yang melekat pada bagian tubuh, sedangkan ginjal
sering dimasukkan sebagai karkas. Faktor utama yang diperhatikan untuk menilai
karkas yang dipasarkan adalah; bobot karkas, potongan karkas yang dapat dijual
(cutability) dan kualitas daging (Soeparno 1992).
Bobot karkas merupakan salah satu parameter yang penting dalam sistem
evaluasi karkas.

Sebagai indikator, karkas bukanlah merupakan prediktor

produktivitas karkas yang baik karena adanya variasi tipe bangsa, nutrisi dan jenis
pertumbuhan jaringan, sehingga mengakibatkan penurunan tingkat akurasi.
Untuk

memperkecil

sumber

keragaman

tersebut

bobot

karkas

perlu

dikombinasikan dengan variabel lain seperti tebal lemak punggung atau subkutan
dan luas urat daging mata rusuk (Suryadi, 2006).
Faktor genetik dan lingkungan mempengaruhi komposisi tubuh yang
meliputi distribusi berat dan komposisi kimia komponen karkas.

Faktor

lingkungan dibagi menjadi dua kategori yaitu fisiologi dan nutrisi. Umur, bobot
hidup dan kadar laju pertumbuhan juga dapat mempengaruhi komposisi karkas
(Suryadi, 2006).
Komponen utama karkas yang diharapkan adalah proporsi daging yang
maksimal, proporsi lemak optimal dan proporsi tulang minimal. Pada umumnya
penilaian hasil karkas dilakukan melalui persentase karkas. Semakin tinggi
persentase karkas semakin baik performan karkas. Bobot karkas ada dua macam

12

yaitu bobot karkas segar (fresh carcass weight) atau bobot karkas sebelum
dilayukan dan bobot karkas layu (cold carcass weight) yaitu bobot karkas setelah
dilayukan selama kurang lebih 24 jam (Berg dan Butterfield, 1976).
E. Persentase Karkas
Persentase karkas adalah perbandingan antara berat karkas dengan berat
hidup dikalikan 100%. Menurut Berg dan Butterfield (1976), persentase karkas
dipengaruhi oleh bobot karkas, bobot ternak, kondisi,bangsa ternak, proporsi
bagian-bagian non karkas, ransom yang diberikan dan cara pemotongan.
Bobot karkas merupakan salah satu parameter yang penting dalam system
evaluasi karkas. Sebagai indikator, karkas bukanlah merupakan predictor
produktivitas karkas yang baik karena adanya variasi tipe bangsa, nutrisi dan jenis
pertumbuhan jaringan sehingga mengakibatkan penurunan tingkat akurasi. Untuk
memperkecil sumber keragaman tersebutbobot karkas perlu dikombinasikan
dengan variabel lain seperti tebal lemaksubkutan dan luas urat daging mata rusuk
(loin eye area) dalam memprediks ibobot komponen karkas dan hasil daging
(Priyanto et al., 1993).
Selanjutnya Priyanto et al (1993) melaporkan bahwa bobot setengah
karkas dingin sebagai indikator tunggal tidak berpengaruh nyata terhadap
persentase daging sapi Brahman Cross yang dipotong pada kisaran 350-550 kg.
Pengaruh bobot karkas menjadi nyata apabila dikombinasikan dengan lemak
subkutan dalam memprediksi persentase daging dengan tingkat akurasi yang
relatif tinggi.
Faktor yang Mempengaruhi Persentase Karkas
13

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi peresentase karkas, yang utama


yaitu konformasi tubuh dan derajat kegemukan. Ternak yang gemuk, persentase
karkasnya tinggi dan umumnya berbentuk tebal seperti balok. Sedangkan ternak
yang langsing, badan panjang, leher panjang dan berbentuk segitiga seperti sapi
perah, persentase karkasnya umumnya rendah (Soeparno 1992).
Faktor lain yang berpengaruh terhadap persentase karkas adalah jumlah
pakan yang ada dan air pada saluran pencernaan ternak. Bila jumlahnya cukup
banyak maka persentase karkasnya akan rendah. Kulit yang besar dan juga tebal
akan berpengaruh terhadap persentase karkas (Soeparno 1992).
Menurut Berg dan Butterfield (1978), beberapa faktor yang mempengaruhi
produksi karkas seekor ternak antara lain adalah bangsa, jenis kelamin, umur dan
bobot potong disamping faktor nutrisi. Bangsa yang memiliki bobot potong besar
menghasilkan karkas yang besar. Soeparno (1992) menyatakan bahwa bobot
potong yang semakin meningkat menghasilkan karkas yang semakin meningkat
pula sehingga diharapkan bagian daging menjadi lebih besar. Semakin tinggi
bobot potong menyebabkan bobot karkas segar dan persentase karkas semakin
tinggi. Dalam kaitannya dengan faktor umur, bertambahnya umur ternak yang
sejalan dengan pertambahan bobot hidup maka bobot karkas akan bertambah.
F. Persentase Daging
Daging didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk
hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak
menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya. Daging yang

14

dihasilkan dari seekor ternak sangat ditentukan oleh bangsa atau tipe ternaknya
sendiri, umur, jenis kelamin dan bobot karkas, yang pada gilirannya akan
mempengaruhi persentase masing-masing jenis potongan daging yang dihasilkan
Kualitas daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan setelah pemotongan. Faktor
sebelum pemotongan antara lain genetik (spesies, bangsa, tipe ternak, jenis
kelamin), umur, dan pakan (Soeparno, 1992). Daging juga merupakan
bagian dari karkas setelah tulang-tulangnya dan sebagian
lemaknya (lemak subcutan dan lemak intermusculer) dikeluarkan
(Wello, 1986).
Semakin

tinggi

bobot

badan

seekor

ternak,

maka

presentase dari bobot karkasnya akan semakin tinggi pula.


Meatiness (daging yang mengandung beberapa bagian lemak
intramuskular dan lemak subcutan yang dapat diterima oleh
konsumen)

dipengaruhi

oleh

beberapa

faktor

diantaranya

bangsa, bobot tubuh, umur, tingkat kegemukan, bobot karkas,


homon dan jenis kelamin (Awaluddin, 2006).
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Persentase Daging
a. Bangsa.
Perbedaan kemampuan genetik mencapai dewasa tubuh pada
bangsa

yang berbeda

memungkinkan perbedaan dalam

proporsi potongan daging dan komposisi karkas. Ternak dari


suatu bangsa cenderung tumbuh dan berkembang dalam

15

suatu sifat khas dan menghasilkan karkas dengan sifat


khasnya sendiri, sehingga merupakan sifat khas bangsanya,
sebagai contoh bangsa sapi Angus terkenal dengan sifat
khasnya menyimpan lemak intramusculer. Bangsa sapi masak
dini akan menghasilkan karkas yang beratnya lebih rendah
dibanding dengan bangsa sapi yang masak lambat.
b. Bobot Tubuh
Pertambahan bobot tubuh akan diikuti oleh peningkatan bobot
karkas dan menyebabkan pula produksi karkas meningkat.
Dilaporkan bahwa 75-80% dari keragaman karkas ditentukan
oleh bobot tubuhnya.
c. Tingkat Kegemukan
Tingkat kegemukan berpengaruh terhadap persentase karkas,
dimana pada tingkat kegemukan yang sama persentasenya
tidak berubah dengan meningkatnya bobot tubuh . Juga pada
taraf lemak yang sama persentasenya tidak berubah dengan
meningkatnya bobot tubuh.
d. Makanan
Perbedaan kualitas makanan

tidak

saja

mengakibatkan

perbedaan pertumbuhan secara umum, tetapi juga perbedaan


jaringan- jaringan dan organ tubuh. Karena itu perbedaan
kualitas makanan walaupun pada bangsa dan bobot yang
sama akan meyebabkan perbedaan yang sangat nyata dalam
bentuk komponen karkas.
e. Jenis Kelamin dan Hormon
Sapi betina lebih ringan jika dibanding dengan sapi jantan
pada umur yang sama, dan sebagian pada hewan mamalia

16

perbedaan jenis kelamin meyebabkan perbedaan proporsi


badan. Karkas sapi jantan lebih banyak mengandung lean
kira-kira lemaknya lebih rendah 5-12% dari pada sapi jantan
kebiri pada berat yang sama, sedangkan proporsi tulang
merata hampir sama sehingga sapi jantan memiliki lean lebih
banyak, sedangkan sapi dara lebih berlemak dibanding sapi
jantan kebiri pada berat yang sama. Persentase edible meat
dan

tulang

pada

sapi

jantan

kebiri

lebih

tinggi,

jika

dibandingkan dengan sapi dara dan induk sapi, (Wello, 1986).

17

METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksankan pada bulan April Juni 2012, bertempat di PT.
Tata Hidup Cemerlang Kabupaten Takalar Km. 80.
Materi Penelitian
Bahan utama penelitian ini adalah sapi Bali jantan berumur antara 1,5
3 tahun, sebanyak 15 ekor. Pakan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
pakan dengan komposisi : Silase jagung 80 %, dedak padi 35 %, molases 10 %,
pollar 15 %, jagung 25%, biji kapok 10 %, mineral sapi 3 %, urea 2 % dan air.
Alat alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kandang individu
berhadapan, ember, skop, timbangan sapi, timbangan gantung, pisau jagal, alat
tulis menulis.
Rancangan Percobaan
Metode penelitian yang digunakan adalah metode percobaan yang
dirancang dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri
dari 3 perlakuan yaitu umur ternak yang berbeda dengan

ulangan masing

masing 5 ekor tiap perlakuan. Dengan susunan perlakuan sebagai berikut :


A : Sapi Bali umur 1,5 - 2 tahun 5 ekor
B : Sapi Bali umur 2 - 2,5 tahun 5 ekor
18

C : Sapi Bali umur 2,5 - 3 tahun 5 ekor

Parameter yang diukur


1. Persentase karkas
Persentase bobot karkas yaitu berat dari karkas yang diperoleh melalui
proses penimbangan dibagi bobot hidup dikali 100%. Persentase Karkas
dapat dihitung dengan rumus:
berat karkas
Persentase karkas=
x 100
berat hidup
2. Persentase Daging
Setelah karkas ditimbang kemudian daging dipisahkan
dari tulang dan lemak subcutan dan ditimbang untuk
memperoleh

berat

daging.

Persentase

daging

dapat

dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :


1. Persentase daging=

berat daging
x 100
berat hidup

2. Persentase daging=

berat daging
x 100
berat karkas

Prosedur Penelitian
Manajemen pemeliharaan sapi Bali di PT. Tata

Hidup Cemerlang

dilakukan dengan sistem pemeliharaan intensif dan 15 ekor ternak ditempatkan

19

dalam kandang individu. Sebelum dilakukan penimbangan pertama maka terlebih


dahulu dilakukan pembiasaan

pakan selama 5 hari setelah itu dilakukan

penimbangan untuk mengetahui bobot badan awal sapi yang akan diteliti,
penimbangan berikutnya dilakukan setiap dua minggu sebanyak 4 kali
penimbangan dan penelitian berlangsung selama 2 bulan.
Pemberian pakan konsentrat dan silase dilakukan 3 kali sehari yaitu pada
pagi jam 08.00 WITA, siang jam 13.00 WITA dan sore jam 16.00 WITA.
Sebelum pemberian pakan, konsentrat dan silase dicampur terlebih dahulu dan
ditimbang setelah dicampur lalu diberikan pada ternak dimana pemberian pakan
berdasarkan berat badan yaitu 10 % dan air minum secara adlibitum. Dengan
perbandingan antara konsentrat dan silase jagung 20 : 80.
Secara kronologis proses pemotongan hewan dan penerapan perlakuan
adalah sebagai berikut:
1. Pemeriksaan kesehatan ternak sebelum dilakukan perlakuan untuk melihat
kelayakan sapi untuk dipotong (pemeriksaan antemortem).
2. Penimbangan bobot badan awal sapi sebelum perlakuan
pemuasaan.
3. Penimbangan sapi sebelum pemotongan untuk mendapatkan data bobot
sapi sebelum dipotong. Penyembelihan sapi dilakukan secara tradisional
dengan cara mengikat keempat kaki sapi dan membantingnya. Setelah
rebah, selanjutnya disembelih.
4. Proses penyembelihan sapi dilakukan secara halal menurut ajaran agama
Islam dengan menggunakan pisau tajam memutuskan vena jugularis, arteri
carotis, oesophagus dan trachea.
5. Selanjutnya dilakukan pengulitan, eviscerasi (pengeluaran
jeroan) dan pengkarkasan (dressing).
20

6. Peresentase karkas dapat diukur yaitu berat karkas yang


diperoleh melalui proses penimbangan di bagi bobot hidup
dikali 100%.
7. Setelah karkas ditimbang kemudian daging dipisahkan dari
tulang

dan

lemak

subcutan

dan

ditimbang

untuk

memperoleh berat daging.


Analisa Data
Data yang diperoleh dianalisis ragam berdasarkan Rancangan Acak
Lengkap

(RAL ) dengan 3 perlakuan dan 5 ulangan. Apabila perlakuan

berpengaruh nyata maka diuji lebih lanjut dengan menggunakan uji Beda Nyata
Terkecil (BNT) ( Gasperz, 1991). Model matematika yang digunakan yaitu :
Yij = + i + ij
dimana:
Yij
= Hasil presentase ke-ij

= Rata-rata pengamatan (nilai tengah populasi)


i
= Pengaruh perlakuan ke-ij
ij
= Galat percobaan dari perlakuan ke-i pada pengamatan ke-j

HASIL DAN PEMBAHASAN

21

A. Persentase Karkas
Hasil penelitian terhadap rata-rata persentase karkas sapi Bali yang
dipelihara secara intensif pada umur yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Rata-Rata dan Standar Deviasi Persentase Karkas Sapi Bali.
Perlakuan

Parameter

Persentase Karkas

44,950,21a

49,420,76b

46,700,54c

Sumber: Data hasil penelitian, 2012.


Keterangan: A = Umur sapi 1,5 - 2 tahun
B = Umur sapi 2 - 2,5 tahun
C = Umur sapi 2,5 - 3tahun
Pada tabel 1 menunujukkan rata-rata persentase karkas sapi Bali yang
dipelihara secara intensif yaitu berkisar antara 44,95% - 49,42%, dengan
persentase tertinggi terdapat pada perlakuan B dan yang terendah terdapat pada
perlakuan A. Hal ini disebabkan karena semakin tinggi umur ternak sapi maka
pertambahan berat badan akan semakin meningkat. Pada umumnya, peningkatan
berat badan sapi menunjukan hubungan yang berbanding lurus dengan persentase
karkas sapi dimana semakin berat bobot hidup sapi maka persentase karkas akan
semakin meningkat. Hal ini sesuai dengan pendapat Usmiati dan Setiyanto (2008)
yang menyatakan bahwa komponen utama karkas terdiri atas jaringan otot
(daging), dan tulang dimana kecepatan pertumbuhan tulang dan daging sapi akan
terjadi pada umur 1 3 tahun dan berhenti pada umur 3 tahun. Kecepatan
pertumbuhan inilah yang akan mempengaruhi berat badan sapi dimana terdapat
hubungan antara berat hidup, berat karkas dan persentase karkas. Semakin tinggi
berat hidup maka semakin tinggi berat karkasnya.

22

Pada perlakuan C terjadi penurunan persentase karkas . Hal ini disebabkan


karena pada perlakuan C, umur sapi bali sudah berada pada puncak pertumbuhan
yaitu 2,5 - 3 tahun sehingga pertumbuhan tulang dan daging menjadi lambat dan
pertambahan berat badan hanya disebabkan karena adanya pertumbuhan lemak
dibawa kulit (subcutan) dan lemak pada perut (abdomen). Hal ini sesuai dengan
pendapat Manurung (2008) yang menyatakan, pertambahan bobot ternak muda
akan meningkat trus dengan laju pertambahan yang tinggi sampai dicapai pubertas
dan akhirnya tidak terjadi peningkatan bobot badan setelah mencapai kedewasaan.
Jika berat badan masih meningkat, itu hanya disebabkan penimbunan lemak
dibawah kulit (subcutan) dan lemak pada perut (abdomen) bukan pertumbuhan
tulang dan daging.
Berdasarkan hasil analisis ragam (Lampiran 1) menunjukan umur sapi
memberikan pengaruh yang nyata terhadap persentase karkas (P < 0,01). Uji beda
nyata terkecil (BNT) yang dilakukan diketahui semua perlakuan menunjukan
perbedaan dimana perlakuan A berbeda dengan perlakuan B dan berbeda dengan
perlakuan C. Hal ini disebabkan karena pertumbuhan sapi Bali yang
dikelompokkan berdasarkan umur yang berbeda memiliki kecepatan pertumbuhan
yang berbeda pula. Hal ini sesuai dengan pendapat Manurung (2008) yang
menyatakan bahwa di bawah kondisi lingkungan yang terkendali,
bobot

ternak

muda

akan

meningkat

terus

dengan

laju

pertambahan bobot badan yang tinggi sampai dicapainya


pubertas. Setelah pubertas dicapai bobot badan meningkat terus
dengan laju pertambahan bobot badan yang semakin menurun,

23

dan akhirnya tidak terjadi peningkatan bobot badan setelah


dicapai kedewasaan.
Menurut Wello (1999), umur sebagai salah satu faktor yang
mempengaruhi bobot karkas termasuk didalamnya adalah rasio
daging dan tulang, kadar dan distribusi lemak serta kualitas
dagingnya, berkaitan erat dengan pertumbuhan. Pertumbuhan
dalam bobot persatuan waktu dan perubahan dalam bentuk dan
komposisi tubuh disebabkan laju pertumbuhan yang berbeda.
B. Persentase Daging
Hasil penelitian terhadap rata-rata Persentase Daging dari Berat Potong
dan Persentase Daging dari Berat Karkas sapi Bali yang dipelihara secara intensif
pada umur yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Rata-Rata dan Standar Deviasi Persentase Daging Sapi Bali.
Perlakuan
Parameter
Persentase Daging dari
Berat Potong

35,561,26a

41,050,56b

38,310,19c

Persentase Daging dari


Berat Karkas
79,122,93a
83,060,97b
Sumber: Data hasil penelitian, 2012.
Keterangan: A = Umur sapi 1,5 - 2 tahun
B = Umur sapi 2 - 2,5 tahun
C = Umur sapi 2,5 - 3tahun

82,030,56b

Pada table 2 menunjukkan rata-rata persentase daging dari


berat potong yaitu berkisar antara 35,56 % 41,05% ,
sedangkan rata-rata untuk persentase daging dari berat karkas
yaitu berkisar antara 79,12% - 83,06%. Dengan persentase
tertinggi

terdapat

pada

perlakuan

dan

terendah

pada
24

perlakuan A. Hal ini disebabkan karena umur ternak pada saat pertumbuhan
memiliki laju pertumbuhan yang sangat baik dan mampu merespon pakan yang
tersedia dibandingkan dengan sapi yang berusia dibawah 1 tahun. Parakkasi
(1999) menerangkan bahwa pertumbuhan hewan muda sebagian besar disebabkan
oleh perumbuhan otot, tulang belulang dan organ-organ vital.
Analisis ragam (Lampiran 2) menunjuan umur sapi Bali memberikan
pengaruh yang nyata terhadap persentase daging (P< 0,01) dimana berdasarkan uji
beda nyata terecil (BNT) yang telah dilakukan diketahui perlakuan A berbeda
dengan perlakuan B dan berbeda dengan perlakuan C. Hal ini disebabkan karena
pertumbuhan sapi Bali dikelompokan berdasarkan umur yang berbeda. Hal ini
sesuai dengan pendapat Soeparno (1992) yang menyatakan bahwa pada saat sapi
berumur kurang lebih 2 tahun pertumbuhan daging relative berjalan lambat karena
zat gizi yang didapat dari pakan digunakan secara bersamaan untuk pertumbuhan
tulang dan daging dan akan mencapai puncaknya pada saat ternak sapi berumur 22,5 tahun karena pada umur tersebut pertumbuhan tulangnya sudah masimal.
Analisis ragam (Lampiran 3) menunjukan umur sapi Bali juga
memberikan pengaruh yang nyata terhadap persentase daging (P < 0,01) dimana
berdasarkan uji beda nyata terkecil (BNT) yang dilkukan diketahui perlakuan A
berbeda terhadap perlakuan B dan C tetapi perlakuan B tidak berbeda dengan
perlakuan C. Hal ini disebabkan karena umur ternak pada usia 2
tahun memiliki laju pertumbuhan daging yang sangat baik dan
mampu merespon pakan yang tersedia dibandingkan dengan
sapi

yang

berusia

dibawah

tahun.

Bambang

(2005)

menyatakan bahwa ternak pada umur 1 tahun membutuhkan


25

lebih sedikit makanan dibandingkan yang lebih tua untuk setiap


unit pertumbuhan bobot badannya. Salah satu faktornya antara
lain

pertambahan

bobot

badan

hewan

muda

sebagian

disebabkan oleh pertumbuhan tulang-tulang dan organ-organ


vital, sedangkan ternak umur 2 tahun mengalami pertumbuhan
jaringan otot (daging) yang maksimal hingga memcapai dewasa
tubuh.

Pada

disebabkan

hewan
karena

yang

usia

pebertas

perletakan

(deposit)

bobot

badannya

lemak.

Lemak

mengandung sedikit air dan lebih banyak energi dibandingkan


dengan unit jaringan tubuh lainnya dan jika telah mencapai
kedewasaan dan pertumbuhannya telah terhenti tetapi mereka
mengalami

perubahan

maka

perubahan

tersebut

karena

penimbunan lemak bukan pertumbuhan murni. Proses pertumbuhan


pada semua jenis hewan terkadang berlansung cepat, lambat dan bahkan terhenti
jauh sebelum hewan tersebut mencapai dalam ukuran besar tubuh karena dapat
dipengaruhi oleh faktor genetis ataupun lingkungan.

26

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan diketahui persentase karkas tertinggi
terdapat pada kelompok sapi yang dipelihara dengan umur 2 - 2,5 tahun yaitu:
49,42% dan 83,06%, sedangkan persentase terendah terdapat pada sapi yang
dipelihara dengan umur 1,5 - 2 tahun yaitu: 44,95% dan 79,12%. Sedangkan
persentase daging dari berat potong dan persentase daging dari berat karkas
tertinggi pada kelompok sapi umur 2 - 2,5 tahun yaitu 41,05% dan 83,06% dan
terendah pada umur 1,5 - 2 tahun yaitu 35,56 % dan 79,12%.
Saran
Untuk melakukan penggemukan sapi, umur merupakan salah satu factor
yang sangat mempengaruhi peningkatan bobot badan, persentase karkas dan
persentase daging, dimana umur yang baik untuk melakukan penggemukan yaitu
umur 2 - 2,5 tahun.

27

DAFTAR PUSTAKA
Abidin.Z. 2002. Penggemukan Sapi Potong. Agro Media Pustaka. Jakarta

Anonim , 2012 http://uripsantoso.wordpress.com/2010/01/17/beternak-sapi-bali-3/


Diakses tanggal 10 Februari 2012

Anonimus. 2004. Pengembangan Sistem Manajemen Breeding Sapi Bali. Laporan


Akhir Penelitian. Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya. Malang.
Awaluddin, 2006. Korelasi Antara Berat Femur Dengan Berat Edible Meat
Kualitas III. J.Agrisains 7(3) : 177-182.
Bambang S. Y. 2005. Sapi Potong. Penebar Swadaya. Jakarta.
Berg RT, Butterfield RM. 1976. New Conceptsof Cattle Growth. Sydney. Sydney
University Press.
Berg, R. T., B. B. Anderson and T. Liboriussen. 1978. Growth of Bovine tissue
III. Genetic influenceson pattern of fat growth and distribution in
young bulls. J. Anim Prod.
Blakely, J. dan D.H. Bade. 1991. Ilmu PeternakanEdisi Keempat. Gadjah Mada
University Press,Yogyakarta.
Gaspersz, V. 1991. Metode Rancangan Percobaan. Armico Bandung.

28

Hafid, H. 2005. Pertumbuhan dan perkembangan potongan komersial karkas sapi


brahman crosspada jenis kelamin yang berbeda. Bull. Penelitian Seri
Hayati 8(2).
Hafid, H, 2006. Penanganan Ternak SebelumPemotongan dan Kualitas Daging
Sapi.Prosiding Seminar Nasional Peternakan.Forum Kerjasama Delapan
Perguruan TinggiDitjen Dikti dengan Universitas NusaCendana Kupang,
NTT.
Hardjosubroto, J. dan J.M. Astuti. 1993. Buku Pintar Peternakan.
Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
Hartadi, H., S. Reksohadiprodjo dan A.D. Tillman. 2005. Tabel Komposisi Pakan
untuk Indonesia. Gajah Mada University Press, Yokyakarta.
Manurung L. 2008. Analisi ekonomi uji ransum berbasis pelepah
daun sawit, lumpur sawit dan jerami padi fermentasi dengan
phanerochate Chysosporium Pada Sapi Peranakan Ongole.
Departemen Peternakan fakultas pertanian Universitas
Sumatra Utara Medan. Skripsi.
Saragih, B. 2000. Kebijakan pengembangan agribisnis di Indonesia berbasiskan
bahan bakulokal. Bull. Peternakan edisi Tambahan hlm. 6 11.
Sastradipradja, D. 1990. Potensi Internal Sapi Bali Sebgai Salah Satu Sumber
Plasma Nutfah Untuk Menunjang Pembangunan Peternakan sapi Potong
dan Ternak Kerja Secara Nasional. Proc.Seminar Nasional Sapi Bali.
Universitas Udayana. Denpasar.
Soeparno. 1992. Ilmu dan Teknologi Daging. Gajah Mada University Press.
Yogyakarta
Suryadi, U. 2006. Pengaruh bobot potong terhadapkualitas dan hasil karkas sapi
Brahman Cross.J. Pengembangan Peternakan Tropis. 31 (1):21 27.
Suryana. A. 2000. Harapan dan Tantangan bagiSubsektor Peternakan dalam
meningkatkanKetahanan Pangan Nasional. Pros. SeminarNasional
Peternakan dan Veteriner. Bogor, 18 19 September 2000. Puslitbang
Peternakan,Bogor. hlm. 21 28.
Susetyo. 2001. Hijauan Pakan Ternak. Direktorat Peternakan Rakyat, Direktorat
Jendral
Peternakan Departemen Pertanian. Jakarta .Jurnal Ilmu-Ilmu
Peternakan. Volume VIII (4):291- 301.
Syamsu. J.A., L.A. Sofyan, K. Mudikdjo, dan E. Gumbira Said. 2000. Daya
dukung

29

limbah pertanian sebagai sumber pakan ternak ruminansia di Indonesia.


Wartazoa, 13 (1) : 30 37.
Usmiati, S dan Setiyanto H. 2008. Penampilan karkas dan komponen karkas
ternak ruminansia. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen
Pertanian. Bogor
Parakkasi, A.1995. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. Penerbit
Universitas Indonesia, Jakarta.
Parakkasi, A.1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. Penerbit
Universitas
Indonesia, Jakarta.
Priyanto, R, E. R. Johnson, & D. G. Taylor, 1993. Prediction of Carcass
Composition in Heavy Weight Grass Fed and Gain Fed Beef Cattle.
Animal Production, 57 : 65-72.
Wello, B. 1986. Produksi Sapi Potong. Lembaga Penerbitan Universitas
Hasanuddin Ujung Pandang.
Wello. B. 1999. Katabilitas Edible Meat Karkas Belakang Sapi Brahman Cross
Dengan Lama Penggemukan yang Berbeda. Fakultas Peternakan
Universitas Hasanuddin, Makassar.
Wirdahayati, R.B. dan A. Bamuallim. 1995. Parameterfenotipik dan genetik sifat
produksi dan reproduksisapi Bali pada Proyek Pembibitan dan
Pengembangansapi Bali (P3Bali) di Bali. Thesis Fakultas PascaSarjana,
Institut Pertanian Bogor, Bogor.

30

LAMPIRAN
Lampiran 1. Analisis Ragam Persentase Karkas
Descriptive Statistics
Dependent Variable:Berat Karkas
perlakuan

Mean

Std. Deviation

44.9480

.20921

49.4260

.75520

46.7020

.54403

Total

47.0253

1.97404

15

Tests of Between-Subjects Effects


Dependent Variable:Berat Karkas
Source

Type III Sum of


Squares

Df
a

Mean Square

Corrected Model
Intercept
perlakuan
Error

50.915
33170.730
50.915

2
1
2

25.458
33170.730
25.458

3.640

12

.303

Total

33225.285

15

54.556

14

Corrected Total

F
83.920
1.093E5
83.920

Sig.
.000
.000
.000

a. R Squared = .933 (Adjusted R Squared = .922)

31

Multiple Comparisons
Dependent Variable:Berat Karkas
(I) perlakuan (J) perlakuan
LSD

A
B
C

Mean
Std. Error
Difference (I-J)

95% Confidence Interval

Sig.

Lower Bound Upper Bound

-4.4780

.34834

.000

-5.2370

-3.7190

-1.7540

.34834

.000

-2.5130

-.9950

4.4780

.34834

.000

3.7190

5.2370

2.7240*

.34834

.000

1.9650

3.4830

.34834

.000

.9950

2.5130

.34834

.000

-3.4830

-1.9650

1.7540

-2.7240

Based on observed means.


The error term is Mean Square(Error) = .303.
*. The mean difference is significant at the .05 level.

Lampiran 2. Analisis Ragam Persentase Daging Dari Berat Potong


Descriptive Statistics
Dependent Variable:Berat_Potong
Perlakuan

Mean

Std. Deviation

A
B
C
Total

35.5580
41.0480
38.3060
38.3040

N
1.25625
.55405
.19034
2.43539

5
5
5
15

Tests of Between-Subjects Effects


Dependent Variable:Berat_Potong
Source

Type III Sum of


Squares

Df

Mean Square

Corrected Model
Intercept
Perlakuan
Error

75.350a
22007.946
75.350

2
1
2

37.675
22007.946
37.675

7.685

12

.640

Total

22090.982

15

83.036

14

Corrected Total

F
58.825
3.436E4
58.825

Sig.
.000
.000
.000

a. R Squared = .907 (Adjusted R Squared = .892)

32

Multiple Comparisons
Berat_Potong
LSD
(I)
(J)
Perlaku Perlaku Mean Difference
an
an
(I-J)
A

Std. Error

Sig.

Lower Bound

Upper Bound

.50614

.000

-6.5928

-4.3872

.50614

.000

-3.8508

-1.6452

5.4900

.50614

.000

4.3872

6.5928

2.7420*

.50614

.000

1.6392

3.8448

.50614

.000

1.6452

3.8508

.50614

.000

-3.8448

-1.6392

-5.4900

C
B

95% Confidence Interval

-2.7480

2.7480

-2.7420

Based on observed means.


The error term is Mean Square(Error) = .640.
*. The mean difference is significant at the .05 level.

Lampian 3. Analisis Ragam Persentase Daging dari Berat Karkas


Descriptive Statistics
Dependent Variable:Berat_Daging
Perlaku
an

Mean

A
B
C
Total

79.1160
83.0580
82.0280
81.4007

Std. Deviation

2.93092
.96601
.55468
2.40720

5
5
5
15

Tests of Between-Subjects Effects


Dependent Variable:Berat_Daging
Source

Type III Sum of


Squares

df

Mean Square

Corrected Model
Intercept
Perlakuan
Error

41.800a
99391.028
41.800

2
1
2

20.900
99391.028
20.900

39.324

12

3.277

Total

99472.152

15

81.124

14

Corrected Total

F
6.378
3.033E4
6.378

Sig.
.013
.000
.013

a. R Squared = .515 (Adjusted R Squared = .434)

33

Multiple Comparisons
Berat_Daging
LSD
(I)
(J)
Perlaku Perlaku Mean Difference
an
an
(I-J)
A
B
C

95% Confidence Interval


Std. Error

Sig.

Lower Bound

Upper Bound

-3.9420

1.14491

.005

-6.4365

-1.4475

-2.9120*

1.14491

.026

-5.4065

-.4175

3.9420

1.14491

.005

1.4475

6.4365

1.0300

1.14491

.386

-1.4645

3.5245

2.9120*

1.14491

.026

.4175

5.4065

-1.0300

1.14491

.386

-3.5245

1.4645

Based on observed means.


The error term is Mean Square(Error) = 3.277.
*. The mean difference is significant at the .05 level.

34

RIWAYAT HIDUP
Jumiati, lahir pada tanggal 2 Februari 1990 di desa
Panreng Kecamatan Baranti Kabupaten Sidrap. Penulis
adalah anak

kedua dari dua bersaudara. Anak dari pasangan suami istri


Muh. Kasim dan Tati. Penulis mengawali pendidikan di SD
Negeri 12 Benteng pada tahun 1996 sampai tahun 2002.

Pada tahun yang sama, melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 1 Pancarijang


Rappang, lulus pada tahun 2005. Kemudian melanjutkan pendidikan di
SPP/SNAKMA Rappang, lulus SMA pada tahun 2008. Pada tahun 2008
melanjutkan pendidikan ke Universitas Hasanuddin Fakultas Peternakan Jurusan
Produksi Ternak.

35

Anda mungkin juga menyukai