Anda di halaman 1dari 21

KUMPULAN KISAH-KISAH DARI BUKU DALAM DEKAPAN

UKHUWAH
Bagaimanapun, Amr merasa hanya dirinya yang istimewa. Itu tampak dari sikap, kata-kata
dan perlakuan Sang Nabi padanya. Hari itu dia merasa Sang Rasul pastilah mencintainya
melebihi siapapun, mengungguli siapapun. Pikirnya, itu disebabkan bakat lisannya begitu
rupa yang kelak bermanfaat bagi dawah. Terasa sekali. Maka dia beranikan diri meminta
penegasan. Ya Rasulullah, dia berbisik ketika kudanya menjajari tunggangan Sang Nabi,
Siapakah yang paling kau cintai?
Sang Nabi tersenyum, Aisyah katanya.
Maksudku, kata Amr, Dari kalangan laki-laki.
Ayah Aisyah. Rasulullah terus saja tersenyum padanya.
Lalu siapa lagi?
Umar.
Lalu siapa lagi?
Utsman. Dan beliau terus tersenyum.
Setelah itu, kata Amr berkisah di kemudian hari, Aku memnghentikan tayaku.
Aku takut namaku akan disebu paling akhir. Amr tersadar, apalagi sesudah berbincang
dengan Khalid dan Utsman, bahwa Muhammad adalah jenis manusia yang membuat tiap-tiap
jiwa merasa paling dicinta dan paling berharga. Dan itu bukan basa-basi. Muhammad tak
kehilangan kejujuran saat ditanya.
Nabi itu indah dan menakjubkan memang. Tapi yang paling menarik dari dirinya
adalah bahwa berada di dekatmya menjadikan setiap oramg merasa istimewa, merasa
berharga, merasa memesona. Dan itu semua tersaji dalam ketulusan yang utuh.
***
Dalam dekapan ukhuwah kita menghayati pesan Sang Nabi. Jangan kalian saling
membenci, begitu beliau bersabda seperti dicatat Al-Bukhari dalam shahihnya, Jangan
kalian saling mendengki, jangan saling membelakangi karena permusuhan dalam hati...
Tetapi jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara...
***
...Dan Allah yang mempersatukan hati para hamba beriman. Jikapun kau nafkahkan
perbendaharaan bumi seluruhya untuk mngikat hati mereka, takkan bisa kau himpunkan hati
mereka. Tetapi Allah-lah yang telah menyatupadankan mereka...
QS. Al-Anfaal [8]: 63

Tak mudah menghadapi Firaun. Kekuasaannya mutlak, juga pasukan yang kuat dan
taat buta. Apalagi setelah kejayaannya bertubi, kemakmuraan rakyatnya berlimpah, dan
pembudakan Bani Israil makin kokoh, prnyakit sombong Firaun memuncak. Dia mengaku
Tuhan. Dia menyangka sungai Nil mengali di bawah kakinya, atas kuasanya. Dia merasa
memiliki hidup dan mati seluruh rakyatnya.
Tak mudah menyampaikan ebenaran kepada Firaun. Sungguh tak mudah. Terlebih
bagi Musa yang tak bisa tidak punya beban terhutang budi pada keluarga Firaun. Keluarga
tempatmya tumbuh, keluarga yang merawat dan mendidiknya. Apalagi dibanding Firaun
yang fasih, anggun, dan gagah, penamplan Musa tampak kacau dan gagap. Satu lagi; dia
pernah membunuh penduduk di negeri Sang Firaun. Dosa itu terus menghantuinya hingga
kini.
Tak mudah menghadapi Firaun, terlebih bagi seorang seprti musa.
Ketika beban kerasulan diamanahkan padanya, ia mengadu merasa tak mampu.
Lisanku gagap lagi kelu, desahnya. Aku merasa takut mereka akan mendustakanku. Ya,
bagaimana dia akan menyampaikan kebenaran, sementara bicara bukanlah suatu yang mudah
baginya? Bagaimana dia akan dipercaya, padahal menyusun kata adalah kemusykilan yang
memberatkannya? Dan aku memiliki dosa atas mereka, katamya bertambah keluh kesah,
Aku takut mereka membunuhku.
Tetapi Allah Azza wa Jalla telah memlihnya. Dan Allah tak asal pilih. Dan Allah tak
salah tunjuk. Musa memang telah menjalani oerannya dalam takdir yang tak mudah ini sejak
sang ibu melahirkan dan melarungnya di sungai Nil. Tetntu salah satunya kelak bermakna
untuk menguatkan hati Rasul terakhir Muhammad SAW dan menjadi pelajaran berharga bagi
kita. Dan kini, di saat Musa mengeluh ketakberdayaannya, Allah pun menguatkan hatinya
dan mengokohkan tekadnya.
Allah mengaruniakan pada Musa mujizat dan bukti kebenaran. Tongkat yang
dilemparnya berubah menjadi makhluk menakutkan namun agung. Tangganya diangkat, dan
cahaya putih menyilaukan bersinar menerangi semesta di sekitarnya. Sungguh mujizat yang
tak terkalahkan, datang dari Dzat Yang Maha Perkasa lagi Maha Mulia. Tapi degan itu pun,
Musa mesih merasa goyah. Dia merasa masih tak utuh. Dia meminta satu hal lagi. Dan
Harun saudaraku, pintanya, Jadikanlah ia pendamping yang menguatkanku.
Allah mengabulkannya. Musa dan Harun bermesra di jalan-Nya. Memimpin kaum
yang sulit ditata dan mengalahkan Firaun yang perkasa. Mereka bersama dalam duka dan
suka. Mereka seia sekata sejak menghadapi Firaun dalam perdebatan dan pertarungan,
membebaskan Bani Israil dari perudakan, hingga memimpin mereka berhijrah dan
menyakskan tenggelamnya sang tiran. Juga bersama menghadapi saat-saat sulit ketika Bani
Israil semakin rewel, menyembah patung lembu, dan membangkangi Allah. Mereka bermesra
di jalanNya, saling menguatkan untuk merubuhkan kezhaliman. Sling memnguatkan untuk
menegakkan kebenaran.
***

Tanyakan pada Musa tentang makna persahabatan. Tentu dia memiliki seindah-indah
jawaban. Setidaknya dari permohonannya pada Allah, kita tahu bahwa Musa meminta kepada
Allah agar Harun dijadikan penguat disisinya, atas berbagai kelemahan yang dimilikinya. Ya,
mengemban risalah dengan kesulitan-kesulitan diri seperti seorang Musa membuat sahabat
menjadi hajat yang mendesak.
Tapi apa makna sahabat bagi seorang dengan rekam jejak sempurna ketika diangkat
menjadi Rasul seperti Muhammad SAW? Berbeda dengan Musa AS, tak ada yang bisa
menyebut satu pun cacat, aib diri, bahkan hutang budi dari seorang Muhammad. Allah
menjaganya selalu. Dia mushum sejak sebelum diangkat menjadi Nabi. Dia Al-Amin. Dia
risalah terakhir ini diberikan padanya, manusia paling sempurna.
Maka, apa makna sahabat bagi seorang seperti Muhammad?
Allah melihat ke dalam hati para HambaNya, demikian Abdullah ibn Masud
berkata, Dan didapatiNya hati Muhammad SAW adalah yang paling putih. Maka Allah
memilihnyamenjadi Nabi dan utusan yang membawa risalah penutupNya. Lalu Allah melihat
lagi ke dalam hati para hambaNya, maka didapatiNya hati sahabat-sahabat Muhammad
adalah yang paling jernih. Maka Dia pun menjadikan mereka sahabat yang mendukung dan
menolongnya dalam menegakkan risalah.
***
selamat datang duhai orang yang karenanya aku ditegur oleh Rabbku!
Sang Nabi selalu tersenyum ketika melafalkan kalimat ini. Dan orang buta itu juga
tersipu. Ke arah majelis Nabawi itu, Abdullah ibn Ummi Maktum tertatih mendekat. Lalu
Rasulullah akan mengulurkan tangan, menggandenganya, menggenggam jemari lelaki ini
erat-erat, dan mendudukkannya di sebelah beliau.
Teguran Alla pada beliau itu terjadi sudah lama sekali. Tetapi Sang Nabi takkan
pernah melupakannya. Beliau pernah bermasam muka, merasa enggan, dan mengalihkan
wajah dari Abdullah ibn Ummi Maktum. Tak sepenuhnya abai sebenarnya. Hanya saja saat
itu Rasulullah sedang berada di hadapan para pembesar Quraisy, mwmbacakan ayat-ayat
Allah pada mereka. Saat itu, teramat tinggi hasrat sang Nabi agar para pemuka itu menerima
dawah. Karena mereka adalah pemimpin kaumnya, pikir beliau, insyaAllah akan banyak
manusia yang akan mengikuti langkah mereka.
Maka kedatangan Abdullah; yang buta, yang lemah, yang pinggiran dan tanpa kuasa
itu terasa seperti sebuah usikan kecil bagi ambisi beliau. Kehadirannya seolah menjadi citra,
bahw yang mengikuti Muhammad adalah orang-orang dhuafa yang faqir, orang-oramg
terbelakang yang pandir. Itu pasti akan membuat para pemuka Quraisy tak nyaman dan
mungkin enggan. Jadi, beliu bermuka masam dan berpaling. Lalu Allah menegurnya.
Dia bermasam muka dan berpaling. Karena datang seorang buta kepadanya
(QS.Abasa [80]:1-2).

Tak ada yang salah dengan hasrat kuat Sang Nabi agar para pembesar Quraisy itu
segera beriman. Allah memang telah mengamanahi beliau untuk menyeru kepada hidayah.
Dan secara pribadi, Sang Nabi sma sekali tak punya benci, jijik ataupun risih kepada
Abdullah. Beliau hanya merasa kemunculan Abdullah terjadi pada saat yang tidak tepat.
Sebenarnya Abdullah ibn Ummi Maktum yang buta tak bisa melihat masamnya raut
beliau. Dia tal tahu bahwa Sang Nabi berpalng darinya. Tapi Allah menegur NabiNya. Tegas
dan lugas. Dan bahwa beliau tak boleh membeda-bedakan sikap pada manusia disebabkan
kadudukan mereka. Beliau harus adil pada para pemuka kaya itu, juga pada Abdullah yang
papa. Sikap cinta dan kemesraan yang dirasa Abdullah dari beliau harus serupa, atau lebih
tinggi. Karena hakikat batin yang ada diantara keduanyalah yang berbeda. Yakni, bahwa
sikap pada para pembesar Quraisy itu disebut dawah, seruan kepada kebenaran disebabkan
cinta dan rahmatNya. Sementara sikap pada Abdullah ibn Ummi Maktum disebut ukhuwah,
persaudaraan karena kesamaan iman yang menyala dalam dada.
tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya dari dosa?Atau dia ingin
mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya? (QS.Abasa
[80]: 3-4).
***
Di padang Badar yang tandus yang kering, semak durinya yang memerah dan
langitmya yang cerah, sesaat kesunyian mendesing. Dua pasukan telah berhadapan. Tak
imbang memang. Yang pelik, sebagian mereka terikat oleh darah, namun terpisah oleh darah,
namun terpisah oleh aqidah. Dan mereka tahu inilah hari furqan; hari terpisahnya kebenaran
dan kebatilan. Ini hari penentuan akankah kebenaran-kebenaran nereka berlanjut.
Doa itulah yang mencenungkan saya. Ya Allah, lirihnya dengan mata kaca, Jika
Kau biarkan pasukan ini binasa, Kau takkan disembah lagi di bumi! Ya Allah, kecuali jika
Kau memang menghendaki untuk tak lagi di sembah di bumi! Gemetar bahu itu oleh
isaknya, dan selendang di pundaknya pun luruh seiring gigil yang menyesakkan.
Andai boleh lancang, saya menyebutnya doa mengancam. Dan Abu Bakar, lelaki
dengan iman tanpa retak itu punya kalimat yang jauh lebih santun untuk menggambarkan
perasaan saya. Sudahlah Ya Raslullah, bisiknya sambil mengalungkan kembali selendang
Sang Nabi, Demi Allah, Dia takkan pernah mngingkari janjiNya padamu!
Doa itu telah menerbitan sejuta tanya di hati saya. Ringkasnya; mengapa begitu
bunyinya? Tetapi kemudian, saya membaca lagi dengan sama takjubnya pinta Ibrahim, kkasih
Allah itu. Tunjukkan padaku duha Rabbi, bagaimana Kau hidupkan orang yang mati!,
begitu katanya. Saya menangkap getar yang sama. Saya menangkap nada yang serupa. Itu
Iman. Ini Iman yang gelisah. Seperti juga seorang Rasul pejuang yang terkuras upayanya
nyaris melampaui batas ikhtiar manusiawi dalam menegakkan agama.

Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan dengan


aneka ujian sampai-sampai berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya,
Bilakah datangnya pertolongan Allah? (QS. Al-Baqarah [2]:214).
Entah mengapa para peyakin sejati itu justru selalu menyisakan ruang di hatinya
untuk bertanya, atau menagih. Mungkin itu bagian dari sisi manusiawi mereka. Atau mungkin
saja untuk membedakan iman mereka yang suci dari hawa nafsu yang dicarikan pembenaran.
Umtuk membedakan kayakinan mereka yang menghujam dari kepercayaan yang bulat namun
tanpa pijakan.
***
Tatapi kadang iman itu menggelisahkan. Atau setidaknya mengahajatkan ketenangan
mengguyuri hati, dengan terkuaknya keajaiban. Mungkin itu yang dirasakan Ibrahim ketika
dia meminta kepada Rabbnya untuk ditunjukkan bagaimana yang mati dihidupkan. Maka saat
Rabb-nya bertanya, Belum yakinkah engkau akan kuasaKu?, dia menjawab dengan
sepenuh hati, Aku yakin. Hanya saja agar hati ini menjadi tentram.
Abdurrahman ibn Auf dikenal sebagai lelaki yang memasuki surga sambil merangkak.
***
Parade sejarah terhubungnya langit dan bumi itu membentang panjang. Mulai dari
Nuh yang tak jemu-jemu menyeru kaumnya selama 500 tahun. Dengan segala cara. Semunysembunyi maupun terang-terangan. Bersepi maupun ramai. Pribadi ke pribadi maupun jamak.
Lalu Ibrahim yang menebas keberhalaan dengan kapak kecerdasan. Ibrahim yang
membungkam raja pengaku tuhan dengan hujjah tak terbantah. Ibrahim yang menginsyafkan
para penytembah bintang, rembulan, dan matahari dengan bahasa lembut menghanyutkan.
Lalu Musa dengan lika-liku perjakanan hidupnya. Lali Isa dengan pernaik-pernik kisahnya.
Lalu Muhammad SAW.
Salah satu mata rantai dari para pengibar bendera Tauhid di pentas sejarah itu adalah
Yunus AS. Dan kisahnya mengajarkan pada kita, bahwa dalam dekapan ukhuwah, Allah
begitu mencintai orang-orang yang terhubung ke langit ini, hingga talk membiarkan mereka
sedikitpun terlepas dari pelajaran untuk memiliki akhlak dan perilaku mulia. Dalam dekapan
ukhuwah, Allah ingin tiap manusia yang terhubung ke langit menuntaskan tugasnya hingga
paripurna karena bersamaan dengan itu disempurnakan pula didikan Rabbani pada karakter
pribadinya. Jika dia meninggalkannya sebelum tuntas, Allah akan gunakan cara lain untuk
mendidikkan kemuliaan padanya.
Yunus mungkin tercatat sebagai orang yang gagal. Dia meninggalkan kaumnya
dengan marah, sesak hati, dan sempit dada sebelum Allah mengizinkan. Dia pergi. Dan kita
sudah hafal kisah selanjutnya, dia naik kapal, dibuang ke laut, dan ditelan ikan Nun.
Allah ingin mendidik Yunus untuk sabar menghadapi manusia dan teguh membawa
mereka ke jalan taqwa. Allah ingin mendidiknya agar tak mudah menyerah dan mengerahkan

beberapa tingkat lagi daya upaya. Tapi Yunus dibakar perasaan. Dia meninggalkan kaumnya.
Maka Allah menyempurnakan pendidikan langit untuknya agar bersabar dengan sebuah
musibah. Ditelan ikan. Hidup dalam kegelapan. Saat itulah dia insyaf kembali dengan doa
yang kita kenang hingga kini, Tiada ilah selain Engkau, Maha Suci Engkau, sungguh au ini
termasuk orang yang aniaya.
***
Malam berlalu,
Tapi tak mampu kupejam mata dirundung rindu kepada mereka
Yang wajahnya mengingatkanku akan surga
Wahai fajar terbitlah segera,
Agar sempat kukatakan pada mereka
aku mencintai kalian karena Allah
-Umar ibn Al-KhaththabPada suatu hari, tiga orang berjumpa di salah satu sudut Madinah. Kisahnya jadi
canda. Tapi begini keadaannya: yang pertama menebar kepedulian, yang kedua membagi
kebijaksanaan, dan yang ketiga memberi damai dan pemahaman serta pemaknaaan. Itulah
Umar ibn Al-Khathtab berjumpa dengan Hudzaifah ibn Al-Yaman dan Ali ibn Abi Thalib.
Bagaimana keadaanmu pagi ini, wahai Hudzaifah? tanya Umar.
Wahai Amirul Mukminin, jawabnya, Pagi ini aku mencintai fitnah, membenci
yang al-haq, shalat tanpa berwudhu, dan aku memiliki sesuatu di muka bumi yang tidak
dimiliki oleh Allah di langit.
Demi Allah, kata Umar, Engkau membuatku marah!
Apa yang membuatmy marah, wahai Amirul Mukminin? timpal Ali ibn Abi
Thalib.
tidakkah engkau dengar apa yang dikatakan Hudzaifah? Hudzaifah terdiam, dan
tersenyum pada Ali.
Wahai Amirul Mukminin, kata Ali, Sungguh benar Hudzaifah, dan aku pun
seperti dirinya. Adapun kecintaannya pada fitnah, maksudnya adalah harta dan anak-anak,
sebagaimana firman Allah:
Sesungguhnya hartau dan anak-anakmu hanyalah fitnah cobaan(QS. AtTaghaabun [64]: 15).

Adapun kebenciannya pada al-haq, maksudnya adalah dia membenci kematian.


Shalatnya yang tanpa wudhu itu adalah shalawat kepada Nabi Muhammad SAW. Adapun
yang dimilikinya di bumi dan tidak dimiliki Allah di langit adalah istri dan anak. Bukankah
Allah tidak meiliki keduanya?
***
Suatu hari, Abu Bakar Ash-Shiddiq berkunjung dan menanyakan kabarnya.
Handzalah telah menjadi munafiq! katanya sendu.
Subhanallah, hardik Abu Bakar, Apa yang engkau ucapkan?
Aku sering bersama Rasulullah, kata Hudzalah, Beliau mengingatkan tentang
surga dan neraka seolah-olah aku melihatnya dengan mata kepala. Namun ketika keluar dari
sisi beliau, lalu bercengkrama dengan anak-anak serta sibuk dengan pekerjaan, aku pun
banyak melupakannya. Semua bayangan tentang Allah, surga dan neraka tak tersisa.
Demi Allah! Sesungguhnya kami juga merasakan hal seperti itu! sahut Abu Bakar
membenarkan.
Mereka kemudian mendatangi Rasulullah dan menanyakan urusannya. Dengan penuh
semangat sekaligus kegelisahan mereka mengadukan keadaan dirinya yang serba salah.
Alangkah dekatnya Allah, alangkah jelas gambaran surga di hadapan dan bentangan neraka di
seputaran saat mereka bersama beliau. Dan celakanya semua rasa yang nikmat dan indah itu
hilang ketika mereka ditelan kesibukan dan rutinitas harian.
Rasulullah tersenyum.
Demi Dzat yang jiwaku di TanganNya, demikian sabda beliau, Seandainya kalian
selalu dalam keadaan sebagaimana ketika kalian ada di sisiku dan dalam keadaan berzikir,
niscaya malaikat akan mnjabat tngan kalian di tempat-tempat tidur, dan di jalan-jalan kalian.
Akan tetapi sesaat demi sesaat, wahai Hudzhalah! Sesaat demi sesaat wahai Hanzhalah,
sesaat demi sesat!
Janganlah kalian saling membenci, begitu beliau bersabda seperti dikisahkan Abu
Hurairah dalam Riwayat Al-Bukhari, Jangan saling menipu, janganlah kalian saling dengki,
jangan saling mmutuskan hubungan, dan janganlah sebagian menyerobot akad dagang
sebagian yang lain.
Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara, lanjut beliau, Seorang Muslim
itu saudara Muslim yang lain. Tidak boleh menzhaliminya, tidak boleh membiarkannya dan
tidak boleh menghinaannya. Takwa itu di sini. Di sini. Di sini. Beliau menunjuk dadanya
tiga kali. Cukuplah seseorang dianggap jahat karena melecehkan saudara Muslimnya. Setiap
Muslim atas Muslim yang lain haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya.
***

Tamparan di wajah Muawiyah itu diberikan oleh Uqail ibn Abi Thalib.
Inilah yang dikisahkan Imam As-Suyuthi dalam Tarikh Khulafa. Adalah Uqail yang
suatu hari didesak kebutuhan, mendatangi saudara kandungny, Ali ibn Abi Thalib. Aku iji,
kata Uqail, Adalah seorang yang memerlukan bantuan dan engkau telah mengetahui
kefakiranku.
Ali mengangguk. Ingin sekali dia membantu. Sayang, tak ada apapun di tangannya,
tidak juga di rumahnya. Bersabarlah, ujarnya, Hingga gajiku dibayarkan dari Baitul Maal
bersama dengan kaum Muslimin lainnya. Saat itulah akan aku berikan padamu apa yang
kamu minta.
Uqail tak sabar. Dia terus mendesak.
Baik, kata Ali sambil memanggil salah satu pembantu dekatnya. Bawalah Uqail
ini, kata Ali padanya, Kejajaran kios yang ada di padar. Suruh dia mengambil apapun yang
ada di sana!
Subhanallah! kata Uqail, Apakah engkau menginginkanku menjadi pencuri?
Apa bedanya itu dengan engkau yang mendesakku untuk mengambil harta kaum
Muslimin lalu memberikannya padamu?
Kalau begitu aku akan menemui Muawiyah!
Terserah engkau!
Saat itu, ketegangan antara Muawiyah di Syam dan Ali di Iraq terkait
kepemimpinan kaum Muslimin sedang tinggi-tingginya. Setiap hal bisa menjadi lada
perebuta pengaruh di antara kedua belah pihak. Tak mendapat apa yang dia mau dari Ali,
Uqail pun menemui Muawiyah dan mengajukan permintaan harta kepadanya. Tanpa pikir
panjang, Muawiyah memberikan padanya seratur ribu dirham.
Naiklah ke mimbar, kata Muawiyah pada Uqail setelah itu, Dan sampaikanlah
kepada khalayak seperti apa tanggapan Ali atas pintamu dan seperti apa perlakuanku
padamu!
Maka Uqail pun naik ke mimbar. Dia memuji Allah, dan bershalawat atas Rasulullah.
Amma badu. Katanya, Wahai hadirin yang mulia. Akan aku kabarkan kepada kalian
bahwa aku menginginkan Ali mengkhianati agamanya dengan memenuhi hajatku. Tetapi dia
lebih memilih agamanya dibandingkan aku, saudara kandungnya. Adapun Muawiyah,
kuminta dia melakukan hal yang sama, dan dia telah memilih mengutamakanku, saudara dari
saingannya, daripada agamanya!
Muawiyah terbelalak. Kata-kata Uqail itu sungguh bukan yang diharapkannya. Tapi
seperti biasa, dengan cepat dia menguasai diri. Dan tersenyum.

Hari ini sebuah tempelak nyaris memelantingkan harga dirinya. Rasanya seperti
ditusuk sembilu tepat di ulu hati. Tapi dia tahu, Ali memang seorang yang mulia. Dan hari
ini Uqail telah membawakan Ali, sosok terpuji itu, untuk menjadi cermin bening baginya.
Dia terlalu dibakar hasrat untuk mengalahkan Ali. Sedang Ali telah mengalahlan dirinya
dengan kejernihan dan kekuatannya menjaga amanah. Muawiyah merasa retak dan buram.
Tak sedikitpun ada kebencian pribadi darinya pada menantu Rasulullah itu. Mereka
sama-sama penulis wahyu. Mereka sama-sama menjadi saksi peristiwa agung bersama Sang
Rasul di perempat terakhir tugas kenabian beliau. Jika kini mereka berhadapan, mungkin
keadaanya justru mencerminkan apa yang dikatakan Ali saat menggambarkan kejayaannya
dalam berbagai perang bersama Sang Nabi. Muawiyah ingat kata-kata itu. Aku adlah lakilaki, kata Ali, Yang ditakdirkan Allah berdiri di satu titik untuk mengayunkan pedang. Dan
tertakdir pula, dihadapanku berdiri seorang laki-laki yang hendak menjulurkan leher.
Pertentangan sekaligus persaudaraan, pertikaian sekaligus hubungan antara kakak ipar
dan menantu Rasulullah ini memang pelik.
***
Dan kita tetap belajar banyak dari seorang Muawiyah.
Seperti hari yang dikisahkan oleh Abu Nuaom dalam Hilyatul Auliya itu. Majelis
Muawiyah sedang ramai dihadiri orang-orang yang telah berdamai berkat kelapangan hati
Al-Hasan ibn Ali. Ali ibn Abi Thalib sendiri yang telah wafat, ditikam seorang Khawrij
yang dendam dan zalim, Abdurrahman ibn Muljam. Di majelis Muawiyah hari itu hadir
sosok istimewa. Orang itu, Dhirar ibn Dhamrah Al-Kinani, adalah lelaki yang selalu berada di
dekat Ali ibn Abi Thalib ketuka Ali dan Muawiyah bersiteru di Siffin.
Dan hari ini Muawiyah sekali lagi hendak bercermin.
Wahai Dhirar, ucap Muawiyah, Sifatkanlah padaku tentang Ali!
Apakah engkau akan memaafkanku nanti, hai Amirul Mukminin, jika ada hal yang
tak berkenan di hatimu?
Baiklah, aku tidak akan marah kepadamu.
Maka Dhirar bangkit dari duduknya dan berkata, Kalau sudah semestinya aku
sifatkan, maka Ali itu demi Allah adalah jauh pandangannya dan teguh cita-citanya. Katakatanya pemutus, hukumnya adil, ilmu terpancar dari sekitarnya, dan hikmat terus berbicara
dari liku-likunya.
Dia, lanjut Dhirar sambil setengah menerawang, Senantiasa membelakangi dunia
dan kemewahannya, selalu menyambut kedatangan malam dan kegelapannya. Dia, demi
Allah, adalah, adalah kaya dalam ibadatnya, jauh pemikirannya, mengangkat kedua tangan

seraya berkata-kata memberi nasehat kepada dirinya. Pakaian yang kasar itulah yang selalu
dipakainya, dan makanan yang rendah itulah yang senantiasa diasupnya.
Dhirar menghela nafas.
Ali tidaklah berbeda dengan salah seorang di antara kami. Dia akan mengajak
duduk bersamanya bila kami datang, dan selalu mengulurkan bantuan bila kami menadah
tangan. Meskipun dia terlalu akrab dengan kami, namun tidak pernah berkata-kata dengan
kami melainkan dengan penuh kehebatan. Jika dia tersenyum, maka senyumannya upama
mutiara yang berkilauan. Dia selalu menghormati ahli agama, suka mendampingkan diri
kepada orang miskin. Orang yang kuat tidak brharap akan terbebas dari kesalahannya, dan
orang yang lemah tidak putus asa dari keadilannya.
Aku bersaksi, lanjut Dhirar dengan telunjuk teracung dan mata berkitat, Bahwa
aku telah melihatnya dalam keadaan yang sunggu mengharukan. Ketika itu, malam telah
menabiri alam dega kegelapannya, dan bintang-bintang menyiramkan sekitaran dengan
cahayanya. Adapun dia msih tetap duduk di mihrab tempat sembahyangnya, tangannya terus
menggengga janggutnya, dia kelihatan sangat gelisah seperti gelisahnya orang yang
menanggung perkara yang besar. Dan dia menangis, seperti ratapan seorang yang patah hati.
Telingaku masih terngiang-ngiang akan suaranya hingga kini. Dia mengatakan, Rabbi!
Rabbi! Ya Rabbi!
Ali, kata Dhirar, Terus bermunajat kepada Allah dengan mengadukan hal yang
berbagai macam. Setelah itu, dia berkata pula kepada dunia, Hai Dunia! Menjauhlah dariku!
Mengapa engkau datang kepadaku? Tak adakah orang lain utnuk kau perdayakan? Adakah
engkau sangat menginginkanku? Engkau tak mungki mendapat kesempatan untuk
mengesankanku! Tipulah orang lain! Aku tak memiliki urusan denganmu! Aku telah
ceraikanmu tiga kali, yang sesudahnya tak ada rujuk lagi. Kehidupanmu singkat, kegunaanmu
kecil, kedudukanmu hina, dan bahayamu musdah berlaku! Ah... sayang! Sangat sedikit bekal
di tangan, jalan begitu panjang, perjalanan masih jauh, dan tujuan sukar dicapai!
Dhirar ibn Dhamrah pun duduk. Dia meratap.
Mendengar ratapan itu, tangis Muawiyah makin tak tertahan. Dia terisak-isak, dan air
matanya menetes, mengalir ke atas janggutnya. Dia segera mengelapnya dengan ujung
pakaiannya. Orang-orang yang ada di majelisnya turut terharu dan menangis.
Demi Allah, kata Muawiyah di sela isaknya, Memang benarlah apa yang engka
katakan tentang ayah si Hasan itu, moga-moga Allah merahmatinya. Tetapi bagaimana
engkau dapat dirimu dengan kehilangannya, hai Dhirar?
Kesedihanku atas kehilangannya umpama kesedihan seorang ibu yang anaknya
disembelih di hadapan matanya sendiri. Air matanya tidak akan mengerig, dan pilu hatinya
tidak akan terlwnyap.

Dhirar ibn Dhamrah Al-Kinani, masih dengan air mata dan keharuannya bangkit dari
majelis itu dan pergi meninggalkan Muawiyah bersama para sahabatnya. Mereka juga masih
menangis.
***
Injaklah kepalaku ini hai Bilal! Demi Allah, kumohon injaklah!
Abu Dzar Al-Ghiffari meletakkan kepalanya di tanah berdebu. Dilumurkannya pasir
ke wajahnya dan dia menunggu penuh harap terompah Bilal ibn Rabah segera mendarat di
pelipisnya.
Kumohon Bilal Saudaraku, rintihnya, Injaklah wajahku, Demi mAllah aku
berharap dengannya Allah akan mengampuniku dan menghapus sifat jahiliyah di wajahlu.
Abu Dzar ingin sekali menangis. Isi hatinya bergumul campur aduk. Dia menyesal. Dia sedih.
Dia takut. Dia marah pada dirinya sendiri. Dia merasa begitu lemah berhadapan dengan hawa
nafsunya. Maka dengan kepala bersaput debu yang disujudkan dan wajah belepotan pasir
disurukkan, dia mengerang lagi, Kumohon injaklah kepalaku!
Sayang, Bilal terus menggeleng dengan mata berkaca-kaca.
Peristiwa itu memang berawal dari kekesalan Abu Dzar pada Bilal. Dia merasa Bilal
tak mengerjakan sebuah amanah dengan utuh, bahkan seakan membuat alasan untuk
membenarkan dirinya sendiri. Abu Dzar kecewa dan, sayang, dia tak dapat menahan diri.
Dari lisannya terlontak kata-kata kasar. Abu Dzar sempat berteriak melenging, Hai anak
budak hitam!
Rasulullah yang mendengar hardikan Abu Dzar pada Bilal ni memerah wajahnya.
Dengan bergegas bagai petir menyambar, beliau menghampiri dan menegur Abu Dzar.
Engkau! sabdanya dengan telunjuk mengarah ke wajah Abu Dzar, Sungguh dalam dirimu
masih terdapat jahiliyah!
Maka Abu Dzar yang dikejutkan hakikat dan disergap rasa bersalah itu serta-merta
bersujud dan memoho Bilal menginjak kepalanya. Berulang-ulang dia memohon. Tapi Bilal
tetap tegak mematung. Dia marah, tapi juga haru. Aku memaafkan Abu Dzar, Ya
Rasulullah, kata Bilal. Dan biarlah urusan ini tersimpan di sisi Allah, menjadi kebaikan
bagiku kelak.
Hati Abu Dzar rasanya perih mendengar itu. Alangkah lebih ringan andai semua bisa
ditebusnya di dunia. Alangkah tak nyaman menelusuri sisa umur dengan rasa bersalah yang
tak terlupakan. Demikianlah Abu Dzar, sahabat Rasulullah yang mulia.
Orang yang seagung Abu Dzar tak pernah diragukan imannya. Dia llaki yang disebut
Sang Nabi memiliki lisan paling jujr, dan tutur paling benar disegenap kolong langit ini.
Dialah sang Ashdaqu Lahjatan.

Tapi dia juga orang yang hidup dalam sunyi. Dia orang yang sendirian dalam
kehidupan, kematian, dan kebangkitannya. Semoga Allah menyayangi Abu Dzar, begitu
sabda Rasulullah saat Abu dzar terseok-seok menyusul rombongan Sang Nabi di perang
tabuk dengan keledainya yang lamban. Dia berangkat sendirian. Dia mati sendirian. Dan dia
dibangkitkan sendirian.
***
Itulah yang dipusingkan oleh Khalifah Umar ibn Al-Khathtab.
Yang ini bukan tentang Ab Dzar. Adalah Sad ibn Abi Waqqash, gubernur di Kufah,
yang berulangkali dipermasalahkan oelh penduduk kota itu. Umar tahu, bukan Sad yang
salah. Ini kota baru di wilayah Iraq dengan penduduk yang dulu ditaklukkan Islam melalui
Sad ibn Abi Waqqash. Dalam hati mereka mungkin memang ada ketidaksukaan terhadap
Sad ibn Abi Waqqash. Maka kepadannya, mereka bsising, ribut, onar, mencari gara-gara, dan
membuat kisruh.
Sad orang yang shalih, ahli ibadah, penuh ketaqwaan, dan doanya mustajabah. Dia
juga amanah dan tak pernah khianat. Dia prajurit ulung, penunggang kuda yang tangkas,
pemanah yang jitu, dan panglima yang brilian. Umar tahu semua itu. Tapi Sad bukan orang
bisa bersabar atas keberisikan rakyatknya. Dia juga bukan orang yang suka mengalah meski
untuk melunakkan hati mereka.
Pernah, dia membangun tembok dan gerbang tinggi untuk menutupi ruang kerjanya
dari gemuruh pasar dan hiruk-pikuk penduduk yang dirasanya menggangu. Umar harus
mengutus Musa Al-Asyari untuk membakar dan menghancurkan dinding itu. Demi Allah hi
Sad, kata Umar dalam teguran tertulisnya, Dengarkanlah kaum Muslimin meski engkau
tak menyukai apa yang mereka katakan!
Pernah juga ada seorang wanita yang bersengketa dalam masalah tanah dengan Sad
ibn Abi Waqqash. Wanita itu mmang curang dan khianat. Maka Sad mendoakannya. Ya
Rabbi, katanya, Jika dia benar, maka ridhailah dia, berkahilah hartanya, dan ampunilah
aku. Tapi jika dia curang dan khianat, maka binasakanlah dia dan musnahkanlah milikmiliknya. Beberapa hari kemudian wanita itu terpelosok ke dalam sebuah lubang di
tanahnya dan seekor ular mematuknya. Dalam sekarat dia berteriak, Celakalah aku, aku
terkena bala karena doa Sad ibn Abi Waqqash!
Allahu Akbar! Semua hal ini adalah keutamaan Sad ibn Abi Waqqash. Semua ini
menunjukkan kemuliaan dan ketaqwaannya dengan doa-doa yang selalu diijabah. Itulah
memang yang pernah dia minta kepada Sang Nabi saat beliau SAW menawarinya untuk
didoakan. doakanlah aku Ya Rasulullah, kata Sad, Agar doa-doaku sendiri mustajabah!
Sebuah permintaan yang cerdas dan menakjubkan. Ketika itu Sang Nabi menjawab,
Bantulah aku hai Sad dengan memperbaiki makananmu. Dan Sad yang penuh taqwa itu
benar-benar menjadi orang yang selalu terijabah doanya.
***

Suatu hari di pembaringan, ketuka darah yang mengalir dari luka di perutnya makin
bersimbah, Umar ibn Abi Khathtab menyampaikan wasiat kepada keenam calon
penggantinya. Diantara keenam calon penggantinya. Diantara wasiat itu ada kaliamat yang
dikhususkan tentang Sad ibn Abi Waqqash di mana tak seorang lain pun diberi wasiat
demikian. Jika Sad ibn Abi Waqqash yang terpilih, kata Umar patah-patah, Maka itu
adalah hal yang baik. Sungguh aku dulu memecatnya bukan karena kesalahan ataupun
adanya sifat khianat pada dirinya.
***
Anak berusia awal belasan dengan rmbut panjang dikepang hingga dada itu
dihadapkan pada Al-Hajjaj. Tanpa rasa takut dia mendekat. Melihat Al-Hajjaj dduk di atas
panggung kehormatan yang tinggi dan megah, dia memperhatikannya dnegan takjub.
Ditelusurinya detail panggung yang gemerlapan itu dengan matanya berkejap-kejap. Lalu
membaca sebuah ayat.
Apakah kamu mendirikan pada tiap-tiap tanah yan g tinggi bangunan megah untuk
bermain-main? Dan kamu membuat benteng-benteng dengan maksud supaya kamu kekal di
dunia? Dan apabila kamu menyiksa, maka kamu sebagai orang-orang kejam dan bengis.
Maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku (QS. Asy-Syuaraa [26]: 128-131).
Al-Hajjaj yang sedang duduk bertelekan di atas kursinya segera menggeser pijakan
dan mencondongkan tubuh ke depan. Hai anak kecil, tegurnya, Sungguh kulihat engkau
memiliki kecerdasan dan kepandaian. Apakah kamu menghafal Al-Quran?
Dalam bahasa arab kata hafudzah bisa berarti menghafal, bisa juga berarti menjaga.
Maka anak itu dengan mata berbinar menjawab, Apakah engkau takut bahwa Al-Quran
akan hilang sehingga aku harus menjaganya? Sedangkan Allah sendiri telah berjanji untuk
menjaganya.
Apakah kamu sudah mengumpulkan keseluruhan Al-Quran? tanya Al-Hajjaj
memperjelas apakah anak ini suah menghafal keseluruhan isi Al-Quran.
Memangnya dulunya ia terpisah-pisah sehingga aku harus mengumpulkannya?
Apakah kamu sudah menyempurnahakannua? lagi-lagi Al-Hajjaj bertanya apakah si
anak telah mengkhatamkan hafalan Al-Qurannya.
Bukankah Allah menyempurmakannya dengan sempurna?
Maksudku, kata Hajjaj mulai kesal, Apakah sudah menghafalkannya dibelakang
punggungmu? Dibelakang punggung adalah kiasan untuk hafal di luar kepala, tapi juga
bisa berarti mengabaikan.
Aku berlindung kepada Allah, kata si bocah, Agar tidak menjadikan Al-Quran di
belakang punggungku!

Celakalah kamu! gertak Al-Hajjaj, Jadi aku harus mengatakan apa?


kecelakaan justru bagimu dan orag-orang yang bersamamu. Katakan saja Apakah
kamu sudah memenuhi hatimu dengan Al-Quran?
Bacalah beberapa ayat dari Al-Quran! pinta Al-Hajjaj.
Aku berlindung kepada Allah dari godaan syaithan yang terkutuk. Dengan nama
Allah yng Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Ketika datang pertolongan Allah dan
kemenangan. Da kamu melihat manusia akan KELUAR dari Agama Allah dengan
berbondong-bondong!
Kurang ajar kamu! Mereka masuk agama Allah, bukan keluar!
Dulunya mereka memang masuk, tapi sekarang mereka keluar.
Mengapa?
Karena kejathatan dan kezhalimanmu kepada mereka!
Celakalah kamu! Tahukah dengan siapa kamu sedang berbicara?
Alhamdulillah tsumma audzubillah, dengan syaithan Tsaqif yang bernama AlHajjaj!
Begitulah. Antara Al-Hajjaj dengan bocah itu terus terjadi tanya jawab yang makin lama
makin panas dan membuat Al-Hajjaj habis kesabaran. Tiap kali ditanya, si anak menjawab
dengan kalimat yang cerdas dan menghujam. Setelah merasa lelah dengannya. Al-Hajjaj
berpaling pada para pembesar yang ada disisinya. Bagaimana pendapat kalian tentang bocah
ini?
Tumpahkan saja darahnya! seru mereka. Sungguh dia telah membangkang kepada
pemimpin dan keluar dari jamaah!
Wahai Al-Hajjaj, panggil si anak kecil, Teman-teman Firaun jauh lebih bak
daripada kawan-kawanmu, kesal pada Musa yang gagah dan dewasa, maka mereka
mengatakan pada sang tiran seperti termaktub di ayat ke-36 Surat Asy-Syuaraa, Beri
tangguhlah dia dan saudaranya Harun. Sementara kaawan-kawanmu ini justru mengatakan
tentang seorang anaqk kecil yang lemah, Tumpahkanlah darahnya! Demi Allah, akan ada
hujjah di hadapanNya, Raja dari sekalian Raja. Dia Yang akan membinasakan semua
penguasa zalim dan menghinakan orang-orang yang sombong!
***
Hari itu, di bukit Shafa.

Wahai Bani Fihr, wahai Bani Ady, wahai semua orang Quraisy! lelaki berwajah
santun itu mmanggil kaumnya dari ketinggian. Teriakannya keras, namun merasuk dada dan
enak didengar. Tatapannya teduh dan senyumnya mengembang menyaksikan para pemuka
Makkah berkeliling di sekitarnya. Mereka menanti apa yang keluar dari lisan Al-Amin, Sang
Penuh Amanah, yang hari itu terlihat berseri, rapi dan wangi.
Apa pendapat kalian sekiranya kukabarkan bahwa di balik bukit ini ada sepasukan
berkuda bersenjata lengkap mengepung, siap menyerbu Makkah dan melumatkannya?
Berebut jawaban itu seakan, Kami belum pernah mendengar ada kedustaan keluar
dari lisanmu. Benar. Kami tidak pernah menyesap darimu kecuali kejujuran. Engkau adalah
Al-Amin!
Ia tersenyum sebelum melanjutkan, Sesungguhnya aku adalah pembawa peringatan
dari sisi Allah sebelum datangnya azab yang besar...
Kalimat itu belum terselesaikan ketika tiba-tiba seorang lelaki berkulit putih, bermata
juling, dan berpakaian sutra dengan sikap badan menantang maju ke depan, mengacungkan
telunjuknya ke wajah sang Rasul sambil berteriak, Tabban laka Ya Muhammad!!! Alihaadza
jamatanaa?!! Binasalah engkau Muhammad!!! Apakah untuk urusan seremeh ini kami
semua kau kumpulkan?!!
Yang belum mengenal lelaki juling dan pincang itu pun bisik pada orang
disebelahnya, siapa dia?
Itu pamannya. Abu Lahab.
Saat itulah turun ayat Allah membalas perkataan Tabban laka Ya Muhammad yang
diucapkan Abu Lahab. Tabbat yadaa Abi Lahaabiw wa Tabb! Binasalah kedua tangan Abu
Lahab dan benar-benar binasa! Abu Lahab. Nama yang abadi di dalam Al-Quran sebagai
penebar duri yang menyakiti dawah.
***
Apa jadinya bila landak berkumpul sesama landak, dan mereka serupa dalam kerjakerja menebar duri? Di temgah kaumnya Bani Hasyim, Abu Lahab tak mandapat tempat
lantaran permusuhan yang dilancarkannya pada Rasulullah. Dia tak dianggap keluarga lagi
oleh Abu Thalib, sang pemimpin kaum. Bani Hasyim hampir keseluruhan, meski belum
beriman pada Rasulullah, sepakat untuk menjaga dan melindungi kemanakan mereka yang
berakhlak mulia ini apapun resikonya.
Adapun di tengah-tengah Quraisy pada umumnya yang memusuhi Rasululah, Abu
Lahab juga bukan sosok yang dihormati. Dia memang memusuhi Muhammad habis-habisan.
Bahkan dia tega membatalkan ikatan pernikahan kedua putranya, Utbah an Utaibah, dengan
Ruqayyah dan Ummu Kultsum puti Rasulullah. Itu adalah penimpaan aib besar bagi keluarga
mempelai perempuan dalam tradisi Arab.

Namun dengan permusuhan sengitnya pada Sang Nabi ini, dia juga tak mendapat
tempat utama di tengah para pemuka Quraisy. Namanya tak diperhitungkan dibanding AlWalid ibn Al-Mughirah, Al-Ash ibn Wail, An-Nadhr ibn Harits, Uqbah ibn Abi Muaith, Abu
Jahal ibn Hisyam, Utbah ibn Rabiah, Abu Sufyan ibn Harb, Umayyah ibn Khalaf, dan AlAkhnas ibn Syariq. Sungguh tragis.
dan dia juga tidak terlalu disukai. Abu Jahl pernah mengejeknya sebagai paman tak
berbudi yang tega memusuhi dan menyakiti keponakan sendiri. Tetapi dia malah bersumpah,
Demi Allah selama aku bernafas, takkan kubiarkan Muhammad menghina Latta dan Uzza,
atau memecah belah diantara kita! Mendengar itu, orang-orang tertawa.
Dan mereka lebih menertawakan tatala Perang Badar dia tidak ikut. Dia sayang
nyawa. Dia punya jalan untuk menghindar. Adalah Al-Ash ibn Hisyam ibn Al-Mughirah yang
berhutang padanya empat ribu dirham sebab bangkrut dalam dagang. Maka Abu Lahab
memaksa Al-Ash ibn Hisyam untuk mewakilinya dalam perang ini dengan iming-iming
dibebaskan dari hutang.
Satu-satunya yang seia sekata dengan dirinya hanyalah Ummu Jamil, isrinya.
Binasalah kedua tangan Abu Lahab, dan benar-benar binasa. Tiada berfaidah
baginya harta dan segala yang diusahakannya. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang
bergejolak. Dan begitu pula istrinya si pembawa kayu bakar. Yang lehernya ada tali dari
sabut (QS. Al-Lahab[111]:1-5).
Karena surat ini membuat Ummu Jamil beranggapan bahwa rasulullah menyindirnya
dengan syair. Khsusnya, setelah tersebar surat ini dengan kandungannya yang berisi ancaman,
hinaan, dan pelukisan yang bruk terhadap Ummu Jamil. Lukisan yang merendahkan seorang
wanita yang ujub dan suka membanggakan diri, suka menggunggulkan kemuliaan leluhur dan
nasabnya. Kemudian dia dlukiskan dengan gambaran ini, Pembawa kayu bakar yang
dilehernya ada tali dari ijuk. Semuanya dikemukakan dengan menggunakan uslub yang
sudah demikian msyhur di kalangan bangsa Arab.
Saya mendapatkan kabar, tulis Ibnu Ishaq dalam Sirah-nya Bahwa Ummu Jamil
pembawa kayu bakar itu ketika mendengar Al-Quran yang membicarakan diri dan suaminya,
maka datanglah dia kepada Rasulullah. Ketika itu beliau sedang duduk di masjid, di sisi
Kabah, bersama Abu Bakar Ash-Shiddiq. Ummu Jamil datang dengan membawa segenggam
batu. Matanya menyala. Wajahnya murka.
Ketika dia berhenti di hadapan Rasulullah dan Abu Bakar, Allah menutup matanya
dari memandang Sang Nabi. Di tempat itu, dia hanya melihat Abu Bakar.
Hai Abu Bakar, hardiknya, Mana sahabatmu itu? Aku telah mendengar bahwa dia
menyindirku. Demi Allah, kalau aku menjumpainya niscaya kupukul mulutmya dengan batu
ini. Ketahuilah, demi Allah, sesungguhnya aku juga seorang penyair! setelah dia bersyair,
dengan bersungut-sungut Ummu Jamil pun berlalu. Abu Bakar takjub dan berkata, Wahai
Rasulullah, apakah dia tidak melihatmu?

Dia tidak melihatku, jawab Sang Nabi, Sesungguhnya Allah telah menutup
penglihatannya dariku. Tidakkah engkau heran bagaimana Allah menjaga namaku dari
mereka hai Abu Bakar? Mereka mengolok-ngolok Mudzammam si tercela, padahal au adalah
Muhammad sang terpuji.
Kematian Abu Lahab terjadi tak lama sesudah Perang Badar.
Begini kisahnya. Dahulu aku adalah pembantu Abbas ibn Abdil Muthalib, tutur
Abu Rafi. Ketika itu banyak anggota keluarganya telah masuk Islam. Hanya saja Abbas
sendiri merahasiakan keislamannya.
Saat Perang Badar, lanjut Abu Rafi, Abu Lahab tidak ikut serta. Dia seorang
pengecut yang memilih mewakilkan diri pada seorang yang berhutang padanya. Ketika telah
ada kabar tentang kekalahan pasuka Quraisy, maka Allah membuatnya rendah dan hina
sementara kami merasa mulia dan perkasa. Adapun aku sendiri adalah seorang yang lemah
yang bertugas membuat anak panah. Aku merautnya sambil duduk di batu pembaas sumur
Zamzam.
Demi Allah, saat aku sedang duduk sambil merauti anak panahku dan di sisiku ada
Ummu Fadhl, istri Abbas yang juga sedang duduk-duduk dan kami berbincang gembira
tentang kemenangan Rasulullah, tiba-tiba Abu Lahab datang. Dia berjalan sambil menyeret
kakinya yang pincang tak berdaya, hingga dia ikut duduk di batu pembatas Zamzam.
Punggungnya yang bersandardar ke punggungku.
Ini dia Abu Sofyan ibn Harits ibn Abdil Muthalib telah datang, kata orang-orang.
Kemarilah putra saudaraku, ujar Abu Lahab, Demi Allah, kabar apakah yang
engkau bawa?
Abu Sufyan ibn Harits lalu duduk di samping Abu Lahab sementara orang-orang
mengerubungi mereka.
Wahai keponakanku, beritahukanlah kepadaku bagaimana urusan orang-orang?
Selagi kami berhadapan dengan segolongan orang, Abu Sufyan bercerita, Justru
kami menyerahkan pundak-pundak kami kepada mereka. Mereka menyerang kami
sekehendak hati dan menawan kami sesukanya. Demi Allah, seklipun begitu aku tidak
mencela siapapun. Kami harus berhadapan dengan orang perkasa, berseliweran di antara
langit dan bumi. Demi Allah, kuda-kuda itu tidak meninggalkan jejak sedikitpum dan tidak
menginjak apapun.
Kemudian aku, lamjut Abu Rafi, Bangkit dari batu pembatas Zamzam sembari
berkata, Demi Allah, itu adalah para malaikat!
Abu Lahab mengangkat tangannya tinggi-tinggi, lalu menghantamkannya ke
mukaku keras-keras. Aku hendak melawannya, namun dia membanting tubuhku ke tanah,

kemudian menindihku sambil melancarkan pukulan bertubi-tubi. Dia teris menghajarku


padahal aku adalah orang yang sangat lemah, melihat itu, Ummu Fadhl bangkit memungut
tiang pembatas Zamzam lalu memukulkannya keras-keras ke kepala Abu Lahab sampai
menimbulkan luka menganga. Lelaki itu menjerit dengan suara yang sungguh jelek.
Beraninya engkau menyiksa budak ini, pekik Ummu Fadhl, Selagi tuannya tidak
di tempat!
Setelah itu Abu Lahab beranjak pergi sambil menundukkan muka. Demi Allah, Abu
Lahab hanya mampu bertahan hidup tujuh hari setelah itu. Itu pun Allah menimpakan
penyakit di sekujur tubuhnya, berupa luka bernanah yang memborok. Adapun bangsa Arab
sangat jijik pada penyakit semacam ini. Maka sanak keluarganya tidak mau mengurusinya.
Bajkan setelah meninggal pun jasadnya ditrlantarkan selama tiga hari. Mereka tidak berani
untuk mendekatinya dan tak berupaya untuk menguburnya.
Tetapi tentu saja keluarga besarnya khawatir dicemooh kabilah-kabilah lain akibat
tindakan ini. Maka mereka pun menggali lubang di dekat jenazah sambil menutup hidung dan
muka karena jijik. Lalu mereka mendorong tubuhnya masuk ke dalam lubangnya dengan
galah-galah. Setelah itu, mereka menimbun lubangnya dengan cara melemparkan batu besar
maupun kerikil dari kejauhan.
***
Ketika Abdullah ibn Ubay meninggal, demikian Umar bercerita, Rasulullah
SAW dimintai kesediaan untuk menshalatkan jenazahnya. Ketika yang memohon adalah
kawan-kawan Abdullah ibn Ubay yang munafik, Rasulullah hanya diam. Mungkin beliau
menanti izin dari Allah. Namun, ketika putra si mayyit, Abdullah ibn Abdillah datang,
beliau SAW segera meyanggupi.
Pada saat itu beliau sudah berdiri untuk memulai shalat jenazah, lanjut Umar, Aku
menghalangi beliau dan berdiri tepat di depannya. Aku berkata, Wahai Rasululullah, apakah
engkau akan shalat untuk jenazah musuhmu, yaitu Abdullah ibn Ubay ibn Salul, yang
pernah berkata, Jika kita kembali ke Madinah, orang mulia pasti mengeluarkan orang yang
hina!? Ingatlah bahwa dia juga yang memfitnah dan menyebarkan berita dusta tentang
Aisyah dan keluargamu tercinta! Ingatlah bahwa dia yang menghasut Anshar untuk tak
menolong kaum Muhajirin agar mereka pergi. Ingatlah bahwa dia yang mengolok-ngolok
Allah, Kitab, dan RasulNya, serta mendirikan Masjid Dhirar! Ingatlah bahwa dia yang
membocorkan rahasia kepada musuh dan membelot lari ketika berperang!
Umar geram menyebut segala kejahatan Abdullah ibn Ubay. Banyak sekali,
berangkai-rangkai tanpa putus. Sampai-sampai nafasnya memburu tak teratur.
Mendengar Umar, Rasulullah SAW hanya tersenyum. Beliau tetap hendak memulai
takbir. Ketika Umar bersikukuh menyatakan keberatannya, beliau berkata, Mundurlah hai
Umar! Aku telah diberi pilihan, dan aku sudah menetapkan pilihanku. Allah menyatakan
untukku:

Kamu memohonkan ampun bagi mereka atau tidak kamu mohonkan ampun bagi
mereka adalah sama saja. Kendatipun kamu memohonkan ampun bagi mereka sebanyak
tujuh puluh kali, namun Allah sekali-kali tidak akan memberikan ampun kepada mereka
(QS. At-Taubah [9]: 80).
Hai Umar, lanjut Rasulullah, Seandainya aku tahu bahwa jika aku memohon
ampun lebih dari tujuh puluh kali untuknya, maka Allah akan mengampuni Abdullah ibn
Ubay, niscaya pasti kulakukan.
Setelah peristiwa ini, kata Umar melanjutkan cerita, Aku sangat terkejut atas
sikap dan kelancanganku kepada Rasulullah SAW alam kejadian itu, padahal Allah dan
RasulNya lebih mengetahui hakikat masalahnya.
***
Siapakah Abdullah ibn Ubay?
Inilah kisah tentangnya pada suatu hari di tahun keenam hijriah. Saat itu, Sang Nabi
dan para sahabat baru pulang dari Perang Bani Musthaliq dan singgah di Muraisi, sebuah
oase yang ditumbuhi banyak pohon kurma. Di tempat ini terdapat mata air milik Bani
Musthaliq. Di sinilah Rasulullah dan rombongannya mengambil air dan mengisi perbekalan
mereka untuk pulang ke Madinah.
Adalah Umar ibn Al-Khaththab menyewa Jahjah ibn Masud Al-Ghifari utnuk
mengurus kudanya. Jahjah yang merasa mendapat amanah segera menghambur ke mata air.
Dia ikut berdesak-desakan. Tak berapa lama, dia sudah saling serobot air dengan Sinan bin
Wabar Al-Juhani dari kabilah Juhainah. Kabilah ini adalah kaum yang ,enjadi sekutu Bani
Aus ibn Khazraj, orang Madinah. Jahjah dan Sinan berebut air dan berkelahi.
Sinan berteriak memanggil b antuan, Wahai orang-orang Anshar!
Jahjah pun berseru meminta pertolongan, Wahai orang-orang MuhajirinQ
Abdullah ibn Ubay ibn Salul yang mendapat pertengkaran ini naik ;pitam. Apakah
para Jalabib Quraisy itu telah bersikap demikian?! serunya murka. Apakah mereka telah
terlepas dari kita dan merasa lebih banyak dari kita di negeri kita sendiri? Demi Allah, kita
tidak membekali diri kita dan para hina dina Quraisy itu melainkan sebagaimana dikatakan
oleh orang-orang terdahulu. Gemukkanlah anjingmu, maka ia pasti memakanmu. Dia
mendengus kesal.
Oleh karena itu, demi Allah, lanjutnya, Bila kita telah kembali ke Madinah, maka
benar-benar orang yang mulia akan mengusir orang yang hina dari dalamnya.
Kemudian Abdullah ibn Ubay ibn Salul berpaling kepda orang-orang yang ada
disekitarnya dan kepada setiap yang hadir dari kaumnya. Inilah yang telah kalian perbuat
terhadap diri kalian, semburnya. Kalian menyediakan negeri kalian. Demi Allah, sekiranya

kalian tidak memberikan sarana-sarana dan bantuan kalian kepada mereka, maka mereka
pasti akan beralih kepada negeri lain, bukan ke negeri kalian!
Zaid ibn Arqam, seorang bocah yang mendengar hal itu segera menuju ke tempat
Rasulullah berada. Dia mengabarkan semua peristiwa yang disaksikannya dan setiap kata
yang didengarnya. Umar Al-Khaththab yang ada di sisi Sang Nabi berkata kepada beliau,
Perintahkanlah kepada Abbad ibn Bisyr agar membunuhnya Ya Rasulullah!
Lalu bagaimana, wahai Umar, jawab Sang Nabi, Bila orang-orang berkata bahwa
Muhammad telah membunuh sahabatnya? Tidak, tapi sekarang serukanlah agar semua
pasukan segera bertolak pulang.
Dalam perjalan, Abdullah ibn Ubay ibn Salul segera menjajarkan kendaraannya di
sisi Sang Nabi. Dia telah mendengar bahwa Zaid ibn Arqam melaporkan perkataannya tadi
kepada Rasulullah. Abdullah ibn Ubay bersumpah dengan nama Allah bahwa dia tidak
pernah mengatakan seperti yang dilaporakan Zaid. Apalagi dia trmasuk orang-orang yang
dihormati dan tinggi kedudukannya di tengah kaumnya.
Wahai Rasulullah, demikian beberapa orang dari kalangan Anshar di dekat Sang
Nabi mohon izin bicara, mungkin Zaid ibn Arqam si bocah itu telah salah dalam
menyampaikan berita, dan dia tidak menyimpan dengan baik perkataan Abdullah ibn Ubay.
Abdullah ibn Ubay melirik pada mereka. Dia tahu, mereka mengatakan hal itu
sebagai rasa hormat kepadanya dan sebagai pembelaan. Tapi hatinya sakit. Kata-kata mereka
justru terasa sebagai hnaan.
Sang Nabi hanya diam. Sunyi di sepanjang jalan.
Setelah Abdullah ibn Ubay dan kawan-kawannya memisahkan diri dan berkendara
agak di belakang. Usaid ibn Hudhair pemuka Anshar, menjumpai Rasulullah dan
mengucapkan salam penghormatan kepada beliau dengan salam kenabian. Wahai Nabi
Allah, ujarnya, Sesungguhnya engkau telah bertolak pulang pada waktu yang sangat aneh.
Tidak seperti biasanya engkau melakukan perjalanan seperti ini.
Belumkah sampai kepadamu kabar tentang sahabat kalian itu?
Teman yang mana?
Abdullah ibn Ubay.
Apa yang dikatakannya Ya Rasulullah?
Dia, kata Sang Nabi sambil memandang Usaid dengan teduh, Menyangka bahwa
sesungguhnya bila dia kembali ke Madinah, maka orang yang lebih mulia akan mengusir
orang yang lebih hina darinya.

Dia benar Ya Rasulullah, kata Usaid. Demi Allah dia benar. Dan engkau, wahai
Nabi, demi Allah, pasti akan mengeluarkannya dari Madinah bila engkau mengkhendaki.
Demi Allah, dialah yang lebih hina dan lemah. Andalah yang lebih kuat dan perkasa!
Wajah Usaid ibn Hudhair memerah. Dia tak rela Nabinya dihinakan. Tetapi kemudian
dia berusaha tenang kembali. Setelah menarik nafas dalam-dalam, ditatapnya wajah Sang
Nabi. Beliau SAW tersenyum padanya dan menganggukkan kepala.
Wahai Rasulullah, kata Usaid dengan nada iba, Kumoho bersikap lembutlah
kepada Abdullah ibn Ubay. Karena demi Allah, kami telah dilimpahi nikmat dengan
diutusnya engkau kepada kami. Adapun dia, tepat sebelum kedatanganmu kepda kami, maka
kaumnya telah menata permata pada sebuah mahkota untuk dipakaikan ke atas kepalanya
sebagai penguasa. Sungguh, kurasa dia memandang kedatanganmu telah menghapus haknya
menjadi raja.
Kini kita tahu Abdullah ibn Ubay adalah orang yang terluka.
***
Ada banyak hal yang pernah kita minta
Tapi Allah tiada alpa menyediakan untuk kita
Seperti nafas sejuk, air segar, hangat mentari.
Dan kicau urung yang mendamai hati
Jika demikian, atas doa-doa yang kita panjatkan
Bersiaplah untuk diijabah lebih dari apa yang kita mohonkan

Anda mungkin juga menyukai