Anda di halaman 1dari 7

DARI TAUHID AL-'IBADAH MENUJU TAUHID AL-UMMAH1

Sesungguhnya, umat kamu ini umat yang satu dan Aku Tuhanmu, beribadahlah
hanya kepada-Ku. (QS 21: 92)

Sekali setiap tahun, jauh di suatu tempat di padang pasir Arabia, sekelompok
umat Islam berdesak-desak melempar jumrah di Mina. Ratusan ribu manusia-dengan
pakaian sudah lusuh, rambut penuh debu, dan keringat membasahi tubuh-berkumpul
di sebuah tempat yang kecil. Iring-iringan manusia ini bergerak sejak Jumrah Ula,
Jumrah Wustha, sampai Jumrah Aqabah. Kelihatan jutaan tangan terangkat dan batu-
batu kecil menghambur, sementara angkasa Mina bergemuruh dengan suara takbir.
Dalam lautan manusia yang begitu dahsyat, tangan-tangan pelempar tampak begitu
kecil; tetapi dalam gerakan serentak, tangan-tangan kecil ini membentuk konfigurasi
kekuatan raksasa yang menakjubkan, suatu kesatuan ummah yang berpadu dalam
akidah dan ibadah.
Tidak jauh dari Mina, terletak Arafah, suatu padang pasir yang membentang
lengang sepi dan tanpa warna, selain bukit-bukit batu yang muncul di sana sini. Pada
9 Dzulhijjah, ketika mereka berkumpul di sana, Arafah dipenuhi kemah beraneka
ragam. Hampir sejuta manusia datang ke situ. Pagi-pagi mereka berkeliaran,
sebagian mendaki Jabal Rahmah mengenang perilaku Nabi Muhammad Saw.
sebagian lain berjalan-jalan sekadar menyaksikan pesona konferensi umat manusia
seluruh dunia. Tetapi, ketika matahari mulai tergelincir, azan zhuhur
dikumandangkan, semua manusia menghentikan semua kegiatannya selain tahmid,
tahlil, dan takbir. Mulut-mulut yang semula berbicara dengan berbagai bahasa,
sekarang bergema dengan ucapan yang sama. Pada saat itulah, menurut Rasulullah
Saw., Allah Swt. turun ke langit dunia, membanggakan jamaah haji di hadapan para
malaikat-Nya.
"Hamba-hamba-Ku datang kepada-Ku dengan rambut kusut dan penuh debu dari
sudut-sudut negeri yang jauh, tiba di sini mengharapkan surga-Ku. Sekiranya
dosamu sebanyak bilangan pasir, atau sejumlah butiran hujan, dan gelembung

1
Jalaluddin Rakhmat, “Dari Tauhid al-‘Ibadah Menuju Tauhid Ummah” dalam Islam Alternatif: Menjelajah
Zaman Baru, Yuliani Liputo (ed.), (Bandung: Mizan Pustaka, 2021), 34-42.
lautan, Aku akan mengampuninya. Berangkatlah, hai hamba-Ku, dengan ampunan-
Ku atasmu."
Inilah wukuf di Arafah, inilah inaugurasi jamaah haji, inilah saat paling
mendebarkan dalam seluruh perjalanan mereka yang suci. Tidak jarang, di sela-sela
suara talbiyah, terdengar isak tangis anak manusia yang menyadari dosa-dosanya
yang lalu. Begitu sucinya peristiwa ini, sehingga kalau ada orang mati di Arafah,
hendaknya ia dikuburkan dengan kain ihram yang dipakainya. Kelak di Hari Akhir,
ujar Rasulullah Saw., "Dia akan dibangkitkan dengan pakaian hajinya; dia akan
bangun seraya mengucapkan: labbaik, Allahumma labbaik agar dikiranya dia masih
berada di Arafah."
Suara talbiyah sudah bergema sejak 8 Dzulhijjah, ketika rombongan jamaah
haji meninggalkan Makkah menuju Arafah. Saat itu para penumpang bus, taksi, atau
pejalan kaki sepanjang jalan tidak henti-hentinya berzikir:
Labbaik, Allâhumma labbaik. Labbaika lå syarika laka, labbaik. Innal-hamda wan-
ni'mata laka wal-mulk, lâ syarika lak.
(Kami datang memenuhi panggilan-Mu, kami datang meme- nuhi panggilan-Mu; ya
Allah, kami datang memenuhi panggilan-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu;
sesungguhnya segala pujian, karunia, dan kekuasaan, semua kepunyaan-Mu.)
Jamaah haji dari bermacam-macam bangsa dan bahasa sekarang berzikir
dengan bahasa yang sama. Pakaian mereka pakaian ihram yang sama. Laki-laki
semua memakai pakaian putih, tidak berjahit, dan membuka setengah dada. Tidak
ada beda raja dengan hamba sahaya, pembesar dengan rakyat jelata, sarjana dengan
orang biasa. Semua gelar kebanggaan yang sering digunakan untuk merendahkan
orang, sekarang ditinggalkan; segala pakaian dan kekayaan yang sering ditampakkan
untuk melukai hati kaum fukara, sekarang dilepaskan; seluruh pangkat kebesaran
yang sering ditonjolkan untuk menakut-nakuti orang, kini dilemparkan. Semua sama
di hadapan Allah Rabbul 'Alamin, semua kecil di depan Penguasa Alam Semesta.
Inti Ajaran Islam
Ibadah haji sesungguhnya mengungkapkan inti ajaran Islam: tauhid al-
'ibadah dan tauhid al-ummah, mempersatukan pengabdian dan mempersatukan
ummah. Bayangkan, setiap hari jutaan manusia beribadah dengan cara yang sama
dan membaca bacaan yang sama. Bahkan ketika saudara-saudara kita wukuf di
Arafah, kita pun di sini wukuf pula dengan melakukan ibadah puasa. Ketika mereka
menggemakan takbir di bukit-bukit Mina, di sini kita gemakan takbir yang sama.
Dari kesatuan ibadah inilah lahir kesatuan ummah.
Islam bukan saja mengajarkan bahwa semua manusia adalah sama di hadapan
Allah, tetapi Islam juga mengutuk sikap mental yang melebihkan satu kelompok
manusia atas kelompok yang lain. Merasa mempunyai derajat yang lebih tinggi
daripada orang lain karena keturunan, kekuasaan, pengetahuan, dan kecantikan
dikutuk oleh Islam sebagai takabur. Rasulullah Saw. bersabda,
"Akan dihimpun orang-orang yang sewenang-wenang dan takabur pada hari kiamat
sebagai butir-butir debu. Mereka akan diinjak-injak oleh manusia karena sangat
hinanya di sisi Allah Taala."
Itulah sebabnya, pada suatu hari Rasulullah Saw. marah ketika mendengar
Abu Dzar memanggil Bilal,
"Hai, anak dari perempuan hitam."
Rasulullah Saw. menepuk bahu Abu Dzar seraya berkata,
"Terlalu, terlalu. Tidak ada kelebihan orang putih atas orang hitam, kecuali karena
amal saleh."
Abu Dzar segera menjatuhkan diri ke tanah, diratakannya pipinya dengan
debu, dan dimintanya Bilal menginjak kepalanya sebagai tebusan atas
kesombongannya. Abu Dzar tahu bahwa dalam Islam menyombongkan diri karena
keturunan adalah dosa besar. Sejak itu, Abu Dzar menjadi orang yang sangat rendah
hati. Dipilihnya hidup seperti orang miskin, dan bergaul juga dengan orang-orang
miskin-kelompok yang sering direndahkan oleh masyarakat. Abu Dzar sering
mewakili kepentingan orang-orang lemah. Ketika salah seorang sahabat Abu Dzar
mendirikan rumah yang lebih bagus, dengan tegas Abu Dzar memberi peringatan:
"Engkau angkut bata-bata di atas tengkuk manusia." Dengan itu, Abu Dzar ingin
mengingatkan orang-orang kaya bahwa mereka menjadi kaya karena keringat dan
jerih payah orang-orang miskin. Dengan itu pula, Abu Dzar ingin mengajarkan
bahwa orang kaya sepatutnya memberikan penghormatan mereka kepada orang-
orang miskin.
Cambuk Keadilan Islam
Setelah Rasulullah Saw. meninggal dunia, asas persamaan dan keadilan ini
dilanjutkan oleh sahabat-sahabatnya. Suatu hari, seorang rakyat kecil berangkat dari
Mesir menuju Madinah. Ditempuhnya jarak yang jauh, hanya untuk mengadukan
halnya kepada Umar bin Khattab. "Ya Amirul Mukminin," ujar tamu dari Mesir ini,
"suatu hari aku bertanding menunggang kuda dengan anak Amr bin Ash, Gubernur
Islam di Mesir. Ia memukulku dengan cambuknya sambil menyombongkan diri, 'Aku
anak orang yang mulia!' Berita ini sampai kepada ayahnya. Karena khawatir aku
datang melapor kepadamu, ayahnya memasukkan aku ke penjara. Aku berhasil
lolos, dan sekarang datang mengadu kepadamu."
Umar segera mengirim surat kepada Gubernur Amr bin Ash. Dimintanya agar
Amr bin Ash dan anaknya datang pada musim haji. Setelah selesai haji, di hadapan
orang banyak, Umar melemparkan cambuk kepada rakyat dari Mesir tadi: "Pukul
anak orang mulia itu." Sekarang anak orang besar itu harus meraung-raung dalam
cambukan keadilan Islam. Umar bahkan menyuruh agar ayahnya dicambuk pula,
"Pukulkan cambuk itu di atas rusuk Amr." Namun, pengadu itu hanya berkata, "Aku
sudah cukup memukul orang yang memukulku." Ketika itu Umar berkata kepada
Amr bin Ash dengan suatu perkataan yang baru digunakan di Eropa pada masa
Revolusi Prancis, dan digunakan di Amerika ketika Declaration of Independence
ditulis: "Wahai Amr bin Ash, mengapa engkau perbudak manusia, padahal mereka
dilahirkan ibunya dalam keadaan merdeka?"
Memperbudak manusia berarti melanggar tauhid al-ummah yang menjadi
batu penyangga ajaran Islam. Memperbudak manusia berarti
mendehumanisasikannya, merendahkan martabatnya, merampas hak-hak asasinya,
dan memperlakukannya sebagai robot tanpa pikiran dan perasaan. Memperbudak
manusia berarti memasung kebebasan untuk menyatakan pendiriannya,
menjalankan keyakinannya, dan mengejar cita-cita hidupnya.
Perusak Tauhid Al-Ummah
Dalam perjalanan sejarah, paling tidak ada tiga hal yang sering merusak
tauhid al-ummah, yang sering menyebabkan sekelompok masyarakat memperbudak
kelompok lain. Ketiga hal itu ialah keturunan, kekuasaan, dan kekayaan.
Kebanggaan karena keturunan tidak hanya telah menimbulkan feodalisme,
tetapi juga imperialisme. Selama berabad-abad orang kulit putih mengira bahwa
mereka adalah manusia istimewa yang ditakdirkan untuk "membudayakan" bangsa-
bangsa kulit berwarna. Gerakan Eugenics, gerakan yang menggunakan topeng
pengetahuan untuk menunjang kelebihan satu ras atas ras lain, sampai sekarang
masih banyak pengikutnya. Paham inilah yang menjerumuskan jutaan manusia ke
dalam belenggu penjajahan dan penindasan. Sebelum Perang Dunia Kedua, di
Jerman, Hitler mengajarkan tentang keunggulan bangsa Aria, dan melempar jutaan
manusia yang tiada berdaya ke dalam kamar-kamar penyiksaan dan kamp-kamp
konsentrasi. Bangsa Jepang pernah menganggap dirinya keturunan Dewa Matahari,
dan "memimpin" orang Timur dengan menyebarkan maut dan penderitaan. Di
Amerika, negara paling maju, seperti kata Martin Luther King. "Orang Negro masih
dengan sedih dipasung dalam belenggu segregasi dan diskriminasi." Sedangkan di
Indonesia, keturunan masih sering dipergunakan untuk melegitimasikan hak-hak
istimewa dan menyingkirkan orang-orang yang tidak dikehendaki.
Umat manusia harus menundukkan kepala dan merenungkan kembali sabda
Rasulullah Saw:
"Tidak ada kelebihan orang kulit putih atas orang kulit hitam, kecuali karena amal
saleh."
Setelah keturunan, kekuasaan sering dipakai untuk menindas orang lain.
Sering, lantaran mempunyai wewenang, orang bertindak sewenang-wenang. Allah
Swt. mengingatkan kita tentang Fir'aun yang menyeret ribuan budak belian untuk
membangun piramida, kuburan para raja. Fir'aun memberikan hak istimewa kepada
suatu kelompok masyarakat untuk menindas kelompok lain.
Sesungguhnya hanya Fir'aun berbuat sombong di bumi, dipecah-pecahnya
masyarakat menjadi bermacam-macam golongan, sebagian menindas golongan
yang lain; membunuh laki-lakinya dan membiarkan perempuannya. Sesungguhnya
ia termasuk orang yang berbuat kerusakan. (QS 28: 4)
Dewasa ini masih banyak kita lihat Fir'aun kecil yang tertawa gembira di atas
penderitaan orang lain; Fir'aun-Fir'aun kecil yang menggunakan wewenang untuk
berbuat sewenang-wenang. Hari ini, suara Umar bin Khattab kepada Amr bin Ash
terdengar nyaring kembali: "Mengapa engkau perbudak manusia, padahal mereka
dilahirkan ibunya dalam keadaan merdeka?"
Selain kekuasaan, kekayaan sering dijadikan sebagai alat untuk menindas
orang lain. Allah Swt. berfirman,
Sesungguhnya manusia itu sewenang-wenang bila ia merasa dirinya berkecukupan.
(QS 96: 6-7)
Banyak orang kaya mengira bahwa dengan uangnya ia dapat berbuat apa pun.
Karena jumlah pencari kerja begitu banyak, terkadang kita tidak segan-segan
mengupah mereka dengan upah yang tak akan mencukupi kehidupannya. Tenaga
mereka kita peras supaya keuntungan kita bertambah. Karena kaya, kita sering
memperbudak pembantu kita, yang bukan saja harus bekerja dari pagi sampai sore,
tetapi juga harus siap dicaci maki kalau berbuat kesalahan. Karena kita kaya, sering
kita palingkan muka dari kaum fuqara' dan memilih bergaul hanya dengan orang
kaya; mengucapkan kata-kata halus kepada sahabat-sahabat kita, dan kata-kata kasar
buat sopir dan tukang kebun kita. Marilah kita resapi kembali ucapan Abu Dzar:
"Engkau angkut bata-bata di atas tengkuk orang lain."
Hikmah Kisah Ibrahim a.s.
Ibrahim a.s. mengajarkan kepada kita tauhid al-'ibadah dengan doanya:
"Sesungguhnya shalatku, pengorbananku, hidup dan matiku kepunyaan Allah
Rabbul 'Alamin. Tidak ada syarikat bagi-Nya dan aku diperintah untuk itu, serta aku
termasuk orang yang pertama berserah diri." (QS 6: 162-163)
Untuk melenyapkan perbudakan, kita memerlukan manusia-manusia yang
mencontoh Ibrahim a.s. dan keluarganya. Dalam Al-Quran, Ibrahim a.s.
digambarkan sebagai orang yang menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah,
sehingga perintah apa pun ia lakukan, walaupun bertentangan dengan pikiran dan
perasaannya. Ketika Isma'il lahir, Allah menyuruh Ibrahim mengasingkan Ummu
Isma'il dan anaknya di sebuah lembah gersang. Tatkala Ibrahim meninggalkan
mereka dengan sebuah ghariba atau wadah air, Ummu Isma'il bertanya, "Mau ke
mana engkau, Ibrahim? Engkau tinggalkan kami di lembah yang tiada siapa pun dan
apa pun?" Ibrahim tidak menjawab. Ketika Ummu Ismail bertanya, "Kepada siapa
engkau titipkan kami di sini?" Ibrahim menjawab, "Kepada Allah" Ummu Isma'il
menjawab dengan penuh keimanan, "Kalau begitu, aku rela karena Allah."
Ketika Ibrahim a.s. diperintah untuk menyembelih Ismail, dimintanya pendapat
anaknya, walaupun ia sudah siap melakukannya. "Bagaimana pendapatmu?"
Isma'il menjawab seperti jawaban ibunya dulu. "Lakukan apa yang diperintahkan
oleh Allah, Insya Allah, aku akan bersabar" (QS 37: 102).
Inilah tauhid al-'ibadah, hanya menghambakan diri kepada Allah. Dan hanya
dengan inilah, tauhid al ummah dapat diwujudkan. Pasrahkan diri sepenuhnya pada
ketentuan Allah Swt. walau pun pikiran dan perasaan memberikan anjuran yang lain.
Seorang ilmuwan atau profesional yang tauhid al-'ibadah ialah bila suatu saat
digoda untuk memanipulasi data dan angka, ia selalu ingat bahwa Allah
menyuruhnya berlaku jujur. Ketika pikirannya menyatakan bahwa orang lain pun
begitu dan perasaannya menawarkan harga diri dan kesenangan, ia membisikkan
dalam hatinya ucapan Ummu Isma'il dan anaknya: "Aku ridha dengan ketentuan
Allah. Engkau akan mendapatkan aku, insya Allah, sebagai orang yang sabar."
Tauhid al-'ibadah bagi seorang pedagang ialah bila suatu waktu ia
menghadapi pilihan yang berat: di depannya membentang keuntungan besar,
walaupun ia tahu bahwa keuntungan itu mengakibatkan orang lain terampas haknya.
Ia tahu bahwa bisnisnya merugikan uang negara. Tetapi pikirannya membisikkan
kesempatan, dan perasaannya meniupkan kegembiraan. Maka pada saat itu ia
meninggalkan bisnisnya, dan berkata dalam hatinya, "Aku ridha dengan ketentuan
Allah. Engkau akan mendapatkan aku, insya Allah, sebagai orang yang sabar."
Tauhid al-'ibadah bagi seorang pejabat ialah bila ia memperoleh kesempatan
untuk memperkaya diri dengan wewenangnya, ia ingat bahwa jabatan adalah amanat
Allah dan amanat rakyat. Ia urungkan niatnya, walaupun pikiran dan perasaannya
menganjurkannya. La mengucapkan, "Aku ridha dengan ketentuan Allah. Engkau
akan dapatkan aku, insya Allah, sebagai orang yang sabar."
Tauhid al-'ibadah bagi seorang pemuda yang mulai memilih hidup dengan
bimbingan agama, walaupun kawan-kawannya mengejeknya sebagai Muslim
fanatik atau kampungan, dan harus kehilangan banyak kesenangan di masa
mudanya, maka ia bisikkan kembali ucapan Ummu Isma'il dan putranya: "Aku ridha
dengan ketentuan Allah. Engkau akan mendapatkan aku, insya Allah, sebagai orang
yang sabar."
Hanya dengan tauhid al-'ibadah semacam itulah, kita akan berhasil
menegakkan suatu masyarakat yang lepas dari segala penindasan dan penjajahan,
suatu masyarakat adil dan makmur yang menjadi tujuan pembangunan Indonesia.
Masyarakat yang ditegakkan di atas keadilan sosial yang merata bagi seluruh
rakyat Indonesia.[]

Anda mungkin juga menyukai