Anda di halaman 1dari 4

Hamka, Muhammadiyah dan Integrasi Bangsa1

Hamka merupakan pemikir merdeka. Kualitas patriotisme dan nasionalismenya


sangat tinggi. Keindonesiaan tokoh Muhammadiyah ini berangkat dari
keminangannya.

Demikian Buya Syafii Maarif merangkum sosok Buya Hamka dalam acara
Seminar dan Peletakan Batu Pertama Pesantren Modern Terpadu Prof Dr Hamka di
Padang, 25 Maret 2017. Hamka mewarisi budaya kebebasan berpikir dari Sang
Ayah, Haji Rasul atau Abdul Karim Amrullah, yang membawa Muhammadiyah ke
tanah Minangkabau pada 1925.

Haji Rasul menyerap api peradaban Islam tersebut dari gurunya, ulama terkemuka
kelahiran Minangkabau di Mekkah, Syeikh Ahmad Khatib. Hamka
dalam Ayahku (2019) membuat kesaksian bahwa ayahnya pernah mengingatkan
murid sekaligus menantunya yang bernama Ahmad Rasyid Sutan Mansur.
”Ahmad! Engkau telah aku ajar berpikir bebas, engkau telah kuajar melepaskan
taqlid buta.” Mungkin tak pernah terbayangkan oleh Haji Rasul, kelak menantunya
itu terpilih sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Muhammadiyah pada Kongres
Ke-32 Muhammadiyah di Purwokerto, 1953.

James R Rush dalam Adicerita Hamka: Visi Islam Sang Penulis Besar untuk
Indonesia Modern (2018) menyimpulkan bahwa majalah Pedoman
Masjarakat yang terbit tahun 1936 telah menjadi panggung perjuangan intelektual
Hamka dalam membangun imajinasi ”Indonesia”. Secara teratur majalah ini
menerbitkan artikel pemikiran Soekarno, Hatta, Agus Salim, M Natsir, dan aktivis
nasionalis lainnya. Mereka diberi tempat sebagai tokoh terhormat dan punya
otoritas menyuarakan Indonesia merdeka.

Itulah narasi besar yang menjadi jiwa kebangsaan Hamka pada zaman perjuangan
kemerdekaan. Menurut Rush, Hamka berusaha keras menampilkan sosok Soekarno
sebagai Muslim yang taat dan sesekali menurunkan buah pena Soekarno mengenai
Islam, seperti ”Propaganda Islam di Dalam Pendjara” (9 Maret 1938).

Hamka juga memanfaatkan Pedoman Masjarakat untuk menyadarkan umat Islam


di masa kolonial agar membuka diri, mengatasi ketertinggalan, dan memperluas

1
Kompas.id, tanggal 15 April 2023
paham keagamaan dengan mendayagunakan akal. Hamka bukan tipe ulama fanatik
dan menutup diri dari pergaulan.

Pada masa Orde Baru, ia bersedia menjadi Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia
tahun 1975 setelah Menteri Agama Mukti Ali berhasil meyakinkannya meskipun
beberapa ulama menentang. Ali menilai Hamka merupakan tokoh Muhammadiyah
yang radius perkawanannya luas dan bersahabat dengan para pemuka NU sehingga
menjadi jembatan yang menghubungkan semua golongan.

Hamka tidak bisa menerima jika ada yang berpikiran bahwa Islam merupakan
ancaman terhadap negara. Ia pun gelisah karena menyaksikan berkembangnya
ketidakpercayaan dan kebencian umat Islam terhadap pemerintah. Ia mengkritik
umat Islam yang tersandera cara pandang stigmatik: bahwa segala upaya dan
peraturan pemerintah untuk membangun negara selalu salah. ”Kita kehilangan
pertimbangan,” kata Hamka (Rush, 2018).

Etos Berkemajuan

Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti mengemukakan, Hamka adalah


sosok unik. Ia intelektual, pujangga, dan ulama dengan melahirkan karya-karya
yang luar biasa, seperti Tafsir Al-Azhar dan Tasawuf Modern.

Buah pikirannya mampu mengalirkan energi positif. Pandangan ini disampaikan


Mu’ti dalam diskusi film biopik Buya Hamka karya Sutradara Fajar Bustomi di
Universitas Prof Dr Hamka, awal April.

Tasawuf modern yang diperkenalkan Hamka melalui artikel-artikelnya pada


periode 1930-an telah memberikan pengaruh signifikan terhadap diskursus dan
praktik keberagamaan Muslim perkotaan.

Tasawuf, menurut Hamka, merupakan inti dari Islam yang otentik yang berakar
pada kesalehan Nabi Muhammad. Fokusnya adalah pembentukan akhlak mulia.
Tujuannya menyucikan jiwa dan melatih batin (Beck, 2019).

Tasawuf modern menuntut bagaimana nilai-nilai moralitas Islam dan kesalehan


berdampak positif di ruang publik. Dawam Rahardjo menilai Hamka telah berjasa
mengubah arah Islam Indonesia dari legalisme ke arah moralitas dan spiritualitas.

Sungguh tepat Julia Howell menobatkan putra Haji Rasul ini sebagai tokoh
terpenting yang memopulerkan tasawuf di kalangan elite Indonesia dalam derap
modernisasi.
Pemikiran Hamka ikut mewarnai pergumulan intelektualisme di lingkungan
Muhammadiyah meskipun ia tidak pernah menjadi pemimpin puncak di organisasi
ini. Hasil Muktamar Ke-43 Muhammadiyah tahun 1995 di Aceh mendorong
organisasi untuk lebih apresiatif dengan tasawuf modern.

Tasawuf gaya baru ini menerima syariat dan menolak doktrin panteisme
(manunggaling kawula-gusti). Perkembangan ini menandai era spiritualisasi
syariah di Muhammadiyah, meminjam bahasa Abdul Munir Mulkhan. Model
berislam yang mengedepankan karakter rendah hati (tawadhu), toleran (tasamuh),
welas asih, dan tidak terjebak pola pikir hitam-putih yang diametral.

Oleh karena itu, sedari awal gerakan dakwah Muhammadiyah mengembangkan


etos kemajuan. Tujuan Muhammadiyah, sebagaimana termaktub dalam Statuten
Muhammadiyah (1914), adalah ”memajukan dan menggembirakan pengajaran dan
pelajaran agama di Hindia Nederland”. Produk-produk pemikiran Muhammadiyah,
seperti Dakwah Kultural, Negara Pancasila sebagai Negara Perjanjian dan
Kesaksian, dan Risalah Islam Berkemajuan, mencerminkan proses pembaruan
yang berkesinambungan dalam rangka mencari solusi dan memajukan kehidupan.

Pembaruan berarti menemukan kembali esensi agama dan bukan ancaman terhadap
otentisitas ajaran Islam (Tanfidz Keputusan Muktamar Ke-48 Muhammadiyah
Tahun 2022). Menurut H Fachrudin, pemimpin Soewara Moehammadijah tahun
1915, Islam adalah nyawa kemajuan.

Memperkuat Integrasi

Di antara isu-isu strategis kebangsaan yang menjadi pokok-pokok pikiran dalam


Muktamar Muhammadiyah di Surakarta 2022, ada upaya memperkuat integrasi
nasional, pemajuan demokrasi, dan suksesi kepemimpinan 2024.

Organisasi ini menilai negara belum memiliki platform yang simultan dan
berjangka panjang untuk mengelola perbedaan suku dan kemajemukan golongan
sehingga pengejawantahan Bhinneka Tunggal Ika masih parsial. Regimentasi
paham keagamaan di institusi negara menggerus prinsip tata kelola pemerintahan
yang baik dan pelayanan publik prima.

Isu radikalisme dan intoleransi hendaknya tidak dijadikan alat politik untuk
memukul kelompok-kelompok yang berbeda. Muhammadiyah mendorong negara
hadir sebagai integrator bangsa dan mengayomi semua golongan tanpa
diskriminasi. Indonesia merdeka yang berdiri tegak hingga hari ini diikat oleh
kehendak kebangsaan yang menjunjung tinggi kebinekaan, kesetaraan, dan
demokrasi.

Seruan untuk memperkuat integrasi bangsa tersebut semakin strategis seiring


dengan meningkatnya tensi politik nasional menjelang pesta demokrasi tahun
depan. Adanya gejala kelompok-kelompok tertentu mengawetkan bahkan
mereproduksi limbo polarisasi politik perlu diwaspadai.

Musuh bersama kita adalah permusuhan dan perpecahan politik yang akan
mengoyak keutuhan Indonesia. Pembelaan Muhammadiyah terhadap
kemajemukan, penguatan integrasi bangsa, dan pemajuan demokrasi
mencerminkan akhlak berbangsa dalam bingkai moralitas dan keadaban publik.

Menjaga rumah Indonesia agar tidak retak haruslah menjadi fondasi komitmen
semua komponen bangsa, terutama para elite politik Republik ini. Agenda suksesi
kepemimpinan nasional bukan ajang arisan kekuasaan atas nama demokrasi
prosedural dan pertarungan politik zero sum game, melainkan sejatinya bagaimana
kita memastikan gerak menuju kemajuan negeri berjalan berkelanjutan dalam
koridor konstitusi.

Fajar Riza Ul Haq, Ketua Lembaga Kajian dan Kemitraan Strategis (LKKS) PP
Muhammadiyah

Anda mungkin juga menyukai