Pasukan yang berjumlah 12.000 personil itupun kocar-kacir. Dalam kegelapan, masingmasing berusaha mencari perlindungan. Para Sahabat yang ikut beperang dengan ikhlas
karena Allah, mencari perlindungan didorong oleh naluri kemanusiaannya yang alami.
Sedangkan mereka yang baru masuk Islam dan berangkat berperang tanpa tujuan yang jelas
mencari perlindungan karena takut dan berbisik-bisik menunggu kekalahan pasukan Islam
bahkan ada yang berencana membunuh Rasulullah saw. Tidak ada yang tersisa di celah itu
kecuali Rasulullah Saw dan pamannya Abbas, serta sekelompok kecil kalangan Muhajirin
dan Anshar. Pada saat yang sulit dan kritis itu Rasulullah Saw tetap memutuskan untuk tetap
maju sambil berusaha bertahan di atas bagal putihnya.
Di saat yang genting itu Abbas yang memiliki suara yang nyaring dan berat, berteriak,
Hai kaum Anshar, hai orang-orang yang telah berbaiat di bawah pohon! suara teriakan
Abbas itu menggema karena dipantulkan celah lembah yang sempit.
Mendengar teriakan yang menggema itu, pasukan dari golongan Anshar yang kocarkacir itu tersadar. Mereka ingat peristiwa baiat Aqabah kedua yang berlangsung di bawah
sebuah pohon sebelum terjadinya peristiwa Hijrah (kepindahan Rasulullah dari Makkah ke
Madinah). Baiat itu untuk memastikan kesiapan mereka menerima hijrah Rasulullah dan
kaum muslim yang waktu itu mendapat intimidasi yang sangat keras dari kafir Mekkah dan
bahkan rencana pembunuhan pun telah didengungkan untuk mereka.
Saat itu mereka datang ke Mekkah untuk bertemu Rasulullah Saw. Dalam kegelapan
dan dilakukan secara diam-diam karena ancaman kafir Qurais mereka menanti kedatangan
Rasulullah Saw. Kemudian datang Abbas (yang waktu itu belum masuk Islam) menemani
Rasulullah Saw. Dia datang untuk mengawasi dan menjaga keponakannya itu. Sebelum baiat
terjadi, Abbas berkata kepada mereka (yang berjumlah 75 orang), Wahai Kaum Khazraj
sebagaimana yang kalian ketahui, sesungguhnya Muhammad berasal dari golongan kami.
Kami telah menjaganya dari ancaman kaum kami (kafir Qurais) yang juga memiliki
kesamaan pandangan dengan kami tentang dirinya. Dia dimuliakan kaumnya dan disegani di
negerinya. Akan tetapi semuanya dia tolak, kecuali untuk mendatangi kalian dan bergabung
dengan kalian. Jika kalian menganggap diri kalian dapat memenuhi segala hal yang dia
dakwahkan, maka penuhilah itu dengan sempurna dan jagalah dia dari siapa pun yang
menyalahinya . Maka itu semua menjadi tanggung jawab kalian. Jika kalian melihat diri
kalian akan melalaikan dan menelantarkannya setelah kalian keluar bersamanya menuju
tempat kalian (Hijrah dari Mekkah ke Madinah), maka mulai saat ini tinggalkan dia.
Mereka sendiri saat itu berkata kepada Rasulullah Saw, Kami membaiatmu, wahai
Rasulullah. Demi Allah, kami adalah generasi perang dan pemilik medannya. Kami
mewarisinya dengan penuh kebanggaan.
Abbas kembali bertanya pada mereka, Wahai kaum Khazraj, apakah kalian
menyadari makna membaiat laki-laki ini? Sesungguhnya kalian membaiatnya untuk
memerangi manusia baik yang berkulit putih maupun hitam. Jika kalian menyaksikan harta
benda kalian habis diterjang musibah, dan tokoh-tokoh kalian mati terbunuh, apakah kalian
akan menelantarkannya? Maka mulai sekarang, demi Allah, jika kalian melakukannya, itu
adalah kehinaan dunia dan akhirat. Namun, jika kalian melihat bahwa diri kalian akan
memenuhinya dengan segala hal yang telah kalian janjikan kepadanya walau harus
kehilangan harta dan terbunuhnya para pemuka, maka ambillah dia, dan demi Allah hal itu
merupakan kebaikan dunia dan akhirat.
Kaum Khazraj pun menjawab, Sesungguhnya kami akan mengambilnya meski denga
resiko musnahnya harta benda dan terbunuhnya para pemuka. Kemudian mereka berkata
pada Rasulullah, Wahai Rasulullah, apa bagian kami bila kami memenuhi hal itu?
Rasulullah saat itu menjawab dengan suara tenang, Surga.
Seketika itu juga mereka beramai-ramai mengulurkan tanggannya masing-masing lalu
menggenggam tangan beliau dan membaiatnya dengan berkata-kata, Kami membaiat
Rasulullah Saw untuk mendengar dan mentaati dalam keadaan sukar, mudah, senang, benci,
maupun musibah tengah menimpa kami. Kami tidak akan merampas (kekuasaan) dari
pemiliknya serta mengucapkan kebenaran di mana pun kami berada. Kami juga tidak akan
takut di jalan Allah terhadap celaan orang-orang yang suka mencela.
Setelah sadar dan mengingat isi baiat itu, pasukan kaum muslim terutama golongan
Anshar keluar dari perlindungan. Mereka maju dan terus mendesak ke tengah medan perang
sambil menganggap kematian di jalan Allah (syahid) adalah kenikmatan. Walau kehilangan
banyak anggota pasukan, perang itupun akhirnya dimenangkan kuam Muslim. Orang-orang
Hawazin dan Tsakif akhirnya melarikan diri. Harta dan milik mereka, yang meraka
kumpulkan dan dibawa ke medan perang, menjadi Ghanimah bagi pasukan Muslim.
Ghanimah (harta rampasan perang) Hunain itu jumlahnya terbilang besar. Rasulullah
Saw. seperti biasa dengan sifat dermawan, arif dan kegeniusan sikap politisnya membagikan
ghanimah itu. Dalam pembagian itu, Orang-orang muallaf yang dulunya memiliki
pemusuhan yang keras terhadap kaum muslimin seperti Abu Sufyan, Muawiyah, Suhail bin
Amru dan yang lainnya mendapat bagian yang jauh lebih banyak daripada kaum Anshar.
Kaum Anshar yang belum paham akan hikmah di balik cara pembagian dan
pendistribusian ghanimah itu membicarakan apa yang telah dilakukan Rasulullah Saw.
tersebut. Sebagian mereka berkata diantara mereka, Demi Allah, Rasulullah telah berpihak
pada kaumnya! perkataan itu berpengaruh dalam jiwa mereka. Mereka merasa Rasulullah
pilih kasih dan tidak adil. Rasulullah dan para mualaf itu memang sama-sama dari suku
Quraisy. Bahkan pemimpin Anshar, Saad bin Ubadah berucap sama. Rasulullah yang
mendengarnya kemudian bertanya pada Saad, Dimanakah posisimu dalam hal ini hai Saad?
Saad menjawab, Wahai Rasulullah, aku bukan siapa-siapa melainkan bagian dari kaumku.
Rasulullah lalu berkata, Kalau begitu kumpulkan kaummu (kaum Anshar) untukku di tempat
penginapan unta!
Saad kemudian mengumpulkan kaumAnshar, lalu Rasulullah berbicara kepada
mereka, Wahai masyarakat Anshar, ucapan-ucapan kalian telah sampai kepadaku. Kalian
telah menemukan hal yang baru dalam diri kalian karena aku. Bukankah aku telah
mendatangi kalian yang saat itu dalam keadaan sesat, lalu Allah memberikan kalian hidayah;
dan dalam keadaan saling bermusuhan, lalu Allah melunakkan di antara hati kalian. Mereka
menjawab, Memang benar, Allah dan Rasul-Nya telah memberikan keamanan dan
keutamaan. Rasulullah berkata lagi, Mengapa kalian tidak memenuhiku, hai orang-orang
Anshar? Mereka menjawab, Dengan apa kami harus memenuhimu, wahai Rasulullah?
Padahal hanya milik Allah dan Rasul-nya segala keamanan dan keutamaan.
Kemudian Rasulullah berkata kepada mereka, Apa pun demi Allah, seandainya
kalian menghendaki, sungguh pasti kalian akan mengatakan dan membenarkan dengan
sungguh-sungguh: Engkau datang (hijrah) kepada kami dalam keadaan didustakan (oleh
kaum Qurais di Makkah), lalu kami membenarkanmu; dalam keadaan terlunta-lunta lalu kami
menolongmu; dalam keadaan terusir lalu kami menolongmu; dan dalam keadaan kekurangan
lalu kami memberi kecukupan kepadamu. Hai kaum Anshar, apakah kalian menemukan pada
diri kalian kecenderungan pada dunia, padahal aku telah melunakkan suatu kaum agar
mereka masuk Islam. Sedangkan kepada kalian, aku telah mewakilkan keIslaman kalian.
Apakah kalian tidak ridha wahai masyarakat Anshar terhadap orang yang kembali dengan
kambing-kambing dan unta-unta, sementara kalian kembali bersama Rasulullah ke tempat
kalian? Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada ditangan-Nya, seandainya tidak ada hijrah,
pasti aku menjadi salah satu di antara kaum Anshar. Seandainya orang-orang berjalan ke
suatu bukit dan orang-orang Anshar ke bukit yang lain, pasti aku berjalan di bukit kaum
Anshar. Ya Allah, sayangilah kaum Anshar juga anak-anak dan cucu-cucu mereka. Belum
selesai ucapan Rasulullah itu, kaum Anshar menangis sejadi-jadinya hingga air mata mereka
membasahi janggut-janggut mereka. Mereka berkata, Kami ridha dengan Rasul sebagai
bagian (kami).
Dari peristiwa sejarah di atas tergambar pada kita bagaimana kecintaan para sahabat
Anshar terhadap Rasulullah Saw. Mereka lebih mencintai Rasulullah dibanding yang lain.
Bahkan ketika diberi pilihan apakah memilih harta rampasan perang yang bejumlah sangat
banyak, atau hanya mendapat bagian sekedarnya namun dengan Rasulullah tetap berada
diantara mereka, mereka memilih pilihan yang kedua.
Bagaimana dengan kita? Sudah maksimalkah pengobanan sebagai wujud cinta kita
kepada beliau? Beliau telah tiada dan hanya meninggalkan Al Quran dan As Sunnah sebagai
panduan syariat dalam menjalani kehidupan ini. Inginkah kita menerapkan syariat itu tidak
hanya dalam hubungan kita dengan Allah (ibadah mahdoh), tetapi juga dalam penyelesaian
berbagai masalah: kriminal (qishas) perekonomian jual beli (muamalah), pendidikan,
pergaulan sosial sehari-hari, pengurusan pemerintahan dan lain-lain.
Semoga kedepannya, apa yang kita serahkan, yang kita korbankan untuk risalah,
syariat Islam yang beliau bawa, lebih maksimal lagi. Semoga.