Anda di halaman 1dari 26

Halaman Judul

MAKALAH ANALISIS ZAT ADITIF


PENETAPAN KADAR PEMANIS ALAMI DAN BUATAN DALAM SUATU SAMPEL
DENGAN METODE KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI

Diusulkan oleh:

Linda Oktaviani I
Sri Wahyuni
Elok Dwi Putri L
Amanda Al Imaturisqi
Rina Novika Dewi
Ani Karlina

(H1A014015)
(H1A014026)
(H1A014029)
(H1A014032)
(H1A014051)
(H1A014054)

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN


PURWOKERTO
2016

KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah, Yang berhak atas segala pujian. Shalawat dan salam semoga
terlimpah kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw, yang terpilih sebagai manusia
sempurna bagi tauladan umat manusia.
Makalah ini berisikan tentang pengertian, jenis, kekurangan dan kelebihan, serta
penetapan kadar pemanis alami dan buatan dalam sampel dengan metode kromatografi cair
kinerja tinggi. Adapun tujuan penulisan makalah ini ditunjukan untuk memenuhi tugas
analisis zat aditif. Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi para pembaca.
Mengingat banyak kelemahan dan ketidaklayakan pada makalah ini, kami mohon
maaf atas segala kekurangnnya semoga Allah memaafkan segala kesalahan, dan menerima
apa yang sudah diusahakan, dan menjadikanya sebagai sebab turunnya hidayah bagi umat
sekalian.

2 Juni 2016

Penyusun

DAFTAR IS

Halaman Judul............................................................................................................ i
KATA PENGANTAR................................................................................................... ii
DAFTAR ISI............................................................................................................. iii
DAFTAR TABEL....................................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR.................................................................................................... v
BAB I

PENDAHULUAN.................................................................................... 1

1.1

Latar Belakang......................................................................................... 1

1.2

Tujuan................................................................................................... 2

BAB II

ISI........................................................................................................ 3

1.1

Landasan Teori......................................................................................... 3

1.1.1.

Pemanis................................................................................................. 3

1.1.2.

Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)......................................................4

2.1

Metodologi Percobaan................................................................................ 7

2.1.1

Penentuan kdarsiklamat dalam sampel dengan Metode HPLC...............................7

2.1.2

Penentuankadar glukosa dan fruktosa pada madu randu dan madu kelengkeng dengan
metode kromatografi cair kinerja tinggi..........................................................8

2.1.3

Hasil dan Pembahasan.............................................................................. 11

BAB III

PENUTUP............................................................................................ 21

3.1

Kesimpulan........................................................................................... 21

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................. 22

DAFTAR TABE

Tabel 1 Hubungan antara laju alir dan waktu retensi dari masing-masing komponen....................13
Tabel 2 Hubungan antara laju alir, suhu dan waktu retensi dari campuran senyawa standar(glukosa dan
fruktosa)....................................................................................................... 14
Tabel 3 Data luas area dari kromatogram campuran glukosa dan fruktosa pada berbagai konsentrasi16
Tabel 4 Validasi Ketepatan dan Ketelitian........................................................................17
Tabel 5 Kadar glukosa dan fruktosa dalam sampel madu......................................................19

DAFTAR GAMBAR
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar

1 Grafik Linearitas konsentrasi terhadap luas area....................................................8


2 Kromatogram Baku Siklamat........................................................................... 9
3 Kromatogram sampel agar agar.........................................................................9
4 Kurva Standar Glukosa.................................................................................12
5 Kurva Standar Fruktosa................................................................................ 13

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dewasa ini penggunaan bahan tambahan makanan (BTM) sangat beragam, dari
pengawet sampai ke pemberi aroma dan pemanis. Penggunaan BTM dalam proses produksi
pangan perlu diwaspadai bersama, baik oleh produsen maupun konsumen, mengingat
penggunaannya mempunyai efek menguntungkan maupun merugikan bagi kesehatan
masyarakat (Donatus, 1990).
Salah satu BTM adalah pemanis buatan. Pemakaian pemanis buatan oleh produsen
makanan olahan baik industri besar maupun yang berskala rumahan (industri kecil) banyak
digunakan karena dapat menghemat biaya produksi. Hal tersebut karena harga pemanis
buatan jauh lebih murah dibandingkan dengan pemanis gula asli. Jumlah pemanis buatan
yang perlu ditambahkan juga jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan pemanis gula. Di
Indonesia, penggunaan pemanis buatan diatur berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia No. III/MenKes/Per/IX/88 tentang bahan tambahan makanan. Peraturan
tersebut menyatakan tentang BTM yang diizinkan, yaitu batas penggunaan secukupnya
yaitu batas penggunaan yang sesuai dengan cara produksi yang baik. Dalam hal tersebut
makalah ini menjelaskan cara Penetapan Kadar Pemanis Alami dan Buatan dalam Suatu
Sampel dengan Metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (HPLC)
Madu dihasilkan oleh lebah madu dengan memanfaatkan bunga tanaman. Madu
memiliki warna, aroma dan rasa yang berbedabeda, tergantung pada jenis tanaman yang
banyak tumbuh di sekitar peternakan lebah madu (Winarno, 1982). Sebagai contoh madu
mangga (rasa yang agak asam), madu bunga timun (rasanya sangat manis), madu
kapuk/randu (rasanya manis, lebih legit dan agak gurih), madu lengkeng (rasa manis, lebih
legit dan aromanya lebih tajam). Selain itu dikenal pula madu buah rambutan, madu
kaliandra dan madu karet (Sarwono, 2001).
Standar mutu madu salah satunya didasarkan pada kandungan gula pereduksi (glukosa
dan fruktosa) total yaitu minimal 60 %. Sedangkan, jenis gula pereduksi yang terdapat pada
madu tidak hanya glukosa dan fruktosa, tetapi juga terdapat maltosa dan dekstrin.
Sementara itu proses produksi madu oleh lebah itu sendiri merupakan proses yang
kompleks, sehingga kemungkinan besar terjadi perbedaan kadar dan komposisi gula
pereduksi di antara berbagai jenis madu yang beredar di masyarakat. Komposisi gula
pereduksi tiap-tiap madu kemungkinan dapat mempengaruhi khasiat madu terutama dalam
proses pengobatan (Purbaya, 2002).
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dipandang perlu dilakukan penelitian untuk
menentukan kadar glukosa dan fruktosa dalam madu dari jenis bunga yang berbeda dengan
metode KCKT(Adnan, 1997). Sehingga kadar glukosa dan fruktosa dari kedua jenis madu
tersebut dapat dibandingkan. Penentuan kadar dilakukan dengan mengatur laju alir eluen
1

dan suhu kolom dengan menggunakan eluen air deionisasi, kolom Metacarb 87C dan
dideteksi dengan menggunakan detektor indeks bias. Kadar glukosa dan fruktosa yang
diukur adalah kadar dari dua jenis madu yang telah memenuhi ketentuan SII (kadar gula
pereduksi minimal 60 %) yaitu madu kelengkeng dan madu randu. Madu-madu tersebut
berasal dari satu merk tertentu yang beredar di masyarakat(Nur, A, & Kosasih, 1992).
Pada penelitian ini, pemanis buatan yang diteliti adalah siklamat di dalam sampel
agar-agar dengan menggunakan metode kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT)(Day &
Underwood, 1993). Sampel agaragar dipilih mengingat jenis makanan ini merupakan
makanan yang banyak digemari oleh anak-anak. Mengingat siklamat jika dikonsumsi terlalu
sering dan dalam jumlah yang banyak dapat menyebabkan efek merugikan maka menjadi
sangat penting untuk menentukan kadar siklamat dalam sampel makanan tersebut.

1.2 Tujuan
a. Mengetahui kadar glukosa dan fruktosa dengam metode KCKT terhadap dua
jenis madu dari jenis bunga yang berbeda
b. Menetapkan kadar siklamat dalam makanan kemasan metode kromatografi
cair kinerja tinggi (KCKT).

BAB II
ISI
1.1 Landasan Teori
1.1.1.

Pemanis

Zat pemanis merupakan senyawa kimia yang sering ditambahkan dan digunakan
untuk memberikan efek manis terhadap produk olahan pangan, industri, serta makanan dan
minuman kesehatan. Setiap tahunnya penggunaan zat pemanis buatan pada makanan di
dunia semakin meningkat. Hal ini dikarenakan zat pemanis buatan memiliki harga yang
relatif murah bila dibandingkan dengan pemanis alami, dan kalori yang dihasilkan lebih
rendah dari pemanis alami. Akan tetapi, banyak masyarakat yang belum mengetahui batas
atau kadar penggunaan zat pemanis buatan pada makanan, sehingga mereka menggunakan
zat pemanis buatan ini secara berlebihan. Penggunaan zat pemanis buatan secara berlebihan
dapat memberikan dampak negatif terhadap kesehatan manusia. Hal ini dikarenakan
kandungan zat kimia pada pemanis buatan bersifat karsinogenik. Untuk itu, diperlukan
informasi terkait penggunaan zat pemanis alami maupun buatan serta efek sampingnya
terhadap kesehatan manusia.
Dilihat dari sumber pemanis dapat dikelompokkan menjadi pemanis alami dan
pemanis buatan (sintetis). Pemanis alami biasanya berasal dari tanaman. Tanaman penghasil
pemanis yang utama adalah tebu (Saccharum officanarum L) dan bit (Beta vulgaris L).
Bahan pemanis yang dihasilkan dari kedua tanaman tersebut dikenal sebagai gula alam atau
sukrosa. Pemanis sintetis adalah bahan tambahan yang dapat menyebabkan rasa manis pada
pangan, tetapi tidak memiliki nilai gizi (Cahyadi, 2006).
Pemanis adalah bahan pemberi rasa manis pada makanan dan minuman. Pemanis
dibagi menjadi dua, yaitu: Pemanis alami merupakan bahan pemberi rasa manis yang
diperoleh dari bahan-bahan nabati maupun hewani. Pemanis buatan menurut peraturan
menteri kesehatan RI No 722/Menkes/per/ix/1988 tentang bahan tambahan makanan, adalah
bahan tambahan makanan yang dapat menyebabkan rasa manis pada makanan, yang tidak
atau hampir tidak mempunyai nilai gizi (Cahyadi, 2006).
Fungsi pemberian pemanis pada makanan diantaranya :

Meningkatkan cita rasa dan aroma,


Memperbaiki sifat-sifat fisik dan kimia,
Sebagai pengawet,
Mengembangkan jenis minuman dan makanan dengan jumlah kalori terkontrol,
Merupakan sumber kalori bagi tubuh,
Sebagai bahan substitusi pemanis utama (Cahyadi, 2006).

1.1.2.

Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)

Pengertian HPLC
Kromatografi cair berperforma tinggi (high performance liquid chromatography,
HPLC) merupakan salah satu teknik kromatografi untuk zatcair yang biasanya disertai
dengan tekanan tinggi. HPLC digunakan untuk memisahkan molekul berdasarkan
perbedaan afinitasnya terhadap zat padat tertentu. Cairan yang akan dipisahkan merupakan
fasa cair dan zat padatnya merupakan fasa diam (stasioner). Teknik ini sangat berguna untuk
memisahkan beberapa senyawa sekaligus karena setiap senyawa mempunyai afinitas
selektif antara fasa diam tertentu dan fasa gerak tertentu. Dengan bantuan detector serta
integrator kita akan mendapatkan kromatogram. Kromatogram memuat waktu tambat serta
tinggi puncak suatu senyawa.
Jenis- Jenis HPLC
Pemisahan dengan HPLC dapat dilakukan dengan fase normal (jika fase diamnya
lebih polar dibanding dengan fase geraknya) atau fase terbalik (jika fase diamnya kurang
non polar dibanding dengan fase geraknya). Berdasarkan pada kedua pemisahan ini, sering
kali HPLC dikelompokkan menjadi HPLC fase normal dan HPLC fase terbalik.
Selain klasifikasi di atas, HPLC juga dapat dikelompokkan berdasarkan pada sifat fase diam
dan atau berdasarkan pada mekanisme sorpsi solut, dengan jenis-jenis HPLC sebagai
berikut:
1) KromatografiAdsorbsi
Prinsip kromatografi adsorpsi telah diketahui sebagaimana dalam kromatografi
kolom dan kromatografi lapis tipis. Pemisahan kromatografi adsorbsi biasanya
menggunakan fase normal dengan menggunakan fase diam silika gel dan alumina,
meskipun demikian sekitar 90% kromatografi ini memakai silika sebagai fase diamnya.
Pada silika dan alumina terdapat gugus hidroksi yang akan berinteraksi dengan solut. Gugus
silanol pada silika mempunyai reaktifitas yang berbeda, karenanya solut dapat terikat secara
kuat sehingga dapat menyebabkan puncak yang berekor
2) Kromatografi fase terikat
Kebanyakan fase diam kromatografi ini adalah silika yang dimodifikasi secara
kimiawi atau fase terikat. Sejauh ini yang digunakan untuk memodifikasi silika adalah
hidrokarbon-hidrokarbon non-polar seperti dengan oktadesilsilana, oktasilana, atau dengan
fenil. Fase diam yang paling populer digunakan adalah oktadesilsilan (ODS atau C18) dan
kebanyakan pemisahannya adalah fase terbalik. Sebagai fase gerak adalah campuran
metanol atau asetonitril dengan air atau dengan larutan bufer. Untuk solut yang bersifat
asam lemah atau basa lemah, peranan pH sangat krusial karena kalau pH fase gerak tidak
diatur maka solut akan mengalami ionisasi atau protonasi. Terbentuknya spesies yang
terionisasi ini menyebabkan ikatannya dengan fase diam menjadi lebih lemah dibanding jika
solut dalam bentuk spesies yang tidak terionisasi karenanya spesies yang mengalami
ionisasi akan terlelusi lebih cepat.
3) Kromatografi penukar ion
KCKT penukar ion menggunakan fase diam yang dapat menukar kation atau anion
dengan suatu fase gerak. Ada banyak penukar ion yang beredar di pasaran, meskipun
4

demikian yang paling luas penggunaannya adalah polistiren resin. Kebanyakan pemisahan
kromatografi ion dilakukan dengan menggunakan media air karena sifat ionisasinya. Dalam
beberapa hal digunakan pelarut campuran misalnya air-alkohol dan juga pelarut organik.
Kromatografi penukar ion dengan fase gerak air, retensi puncak dipengaruhi oleh kadar
garam total atau kekuatan ionik serta oleh pH fase gerak. Kenaikan kadar garam dalam fase
gerak menurunkan retensi solut. Hal ini disebabkan oleh penurunan kemampuan ion sampel
bersaing dengan ion fase gerak untuk gugus penukar ion pada resin.
4) Kromatografi Pasangan ion
Kromatografi pasangan ion juga dapat digunakan untuk pemisahan sampel-sampel
ionik dan mengatasi masalah-masalah yang melekat pada metode penukaran ion. Sampel
ionik ditutup dengan ion yang mempunyai muatan yang berlawanan.
5) Kromatografi Eksklusi Ukuran
Kromatografi ini disebut juga dengan kromatografi permiasi gel dan dapat
digunakan untuk memisahkan atau menganalisis senyawa dengan berat molekul > 2000
dalton. Fase diam yang digunakan dapat berupa silika atau polimer yang bersifat porus
sehingga solut dapat melewati porus (lewat diantara partikel), atau berdifusi lewat fase
diam. Molekul solut yang mempunyai BM yang jauh lebih besar, akan terelusi terlebih
dahulu, kemudian molekul-molekul yang ukuran medium, dan terakhir adalah molekul yang
jauh lebih kecil. Hal ini disebabkan solut dengan BM yang besar tidak melewati porus, akan
tetapi lewat diantara partikel fase diam. Dengan demikian, dalam pemisahan dengan
eksklusi ukuran ini tidak terjadi interaksi kimia antara solut dan fase diam seperti tipe
kromatografi yang lain
6) Kromatografi Afinitas
Dalam kasus ini, pemisahan terjadi karena interaksi-interaksi biokimiawi yang
sangat spesifik. Fase diam mengandung gugus-gugus molekul yang hanya dapat menyerap
sampel jika ada kondisi-kondisi yang terkait dengan muatan dan sterik tertentu pada sampel
yang sesuai (sebagaimana dalam interaksi antara antigen dan antibodi).
Kromatografi jenis ini dapat digunakan untuk mengisolasi protein (enzim) dari campuran
yang sangat kompleks.
Prinsip kerja
Pada dasarnya prinsip kerja HPLC sama dengan kromatografi lapis tipis dan
kromatografi kolom, yang membedakan adalah fasa diam yang digunakan pada HPLC
memiliki ukuran yang lebih kecil sehingga luas permukaan besar sehingga keseimbangan
antar fasa menjadi lebih baik dan efisien.
Pada HPLC tekanan yang tinggi menyebabkan fasa gerak dapat bergerak lebih cepat
sehingga difusi menjadi sekecil-kecilnya. Ukuran butir kecil pada fasa diam dan tekanan
yang tinggi pada fasa gerak pada kromatografi kolom cair secara teori akan menghasilkan
pemisahan yang sebaik-baiknya.

Injeksisampel
Injeksi sample seluruhnya dilakukan secara otomatis sehingga tidak bisa mengetahui
yang terjadi pada keadaan tingkat dasar. Karena proses ini meliputi tekanan, tidak sama
halnya dengan kromatografi gas.
Waktu retensi
Waktu yang dibutuhkan oleh senyawa untuk bergerak melalui kolom menuju detektor
disebut sebagai waktu retensi.Waktu retensi diukur berdasarkan waktu dimana sampel
diinjeksikan sampai sampel menunjukkan ketinggian puncak yang maksimum dari senyawa
itu. Senyawa-senyawa yang berbeda memiliki waktu retensi yang berbeda pula. Untuk
beberapa senyawa, waktu retensi akan sangat bervariasi dan bergantung pada:
tekanan yang digunakan (karena itu akan berpengaruh pada laju alir dari pelarut)
kondisi dari fase diam (tidak hanya terbuat dari material apa, tetapi juga pada ukuran
partikel)
komposisi yang tepat dari pelarut
temperatur pada kolom
Detektor
Ada beberapa cara untuk mendeteksi substansi yang telah melewati kolom. Metode
umum yang mudah dipakai untuk menjelaskan yaitu penggunaan serapan ultraviolet.Banyak senyawa-senyawa organik menyerap sinar UV dari beberapa panjang
gelombang Jumlah cahaya yang diserap akan bergantung pada jumlah senyawa
tertentu yang melewati melalui berkas pada waktu itu.

Interpretasi output dari detektor


Output akan direkam sebagai rangkaian puncak-puncak, dimana masing-masing
puncak mewakili satu senyawa dalam campuran yang melalui detektor dan menerap sinar
UV. Sepanjang anda mengontrol kondisi kolom,dapat menggunakan waktu retensi untuk
membantu mengidentifikasi senyawa yang diperoleh.

Area yang berada dibawah puncak sebanding dengan jumlah X yang melalui
detektor, dan area ini dapat dihitung secara otomatis melalui layar komputer.Area dihitung
sebagai bagian yang berwarna hijau dalam gambar (sangat sederhana).

2.1 Metodologi Percobaan


2.1.1

Penentuan kdarsiklamat dalam sampel dengan Metode HPLC

(a) Alat dan Bahan


Alat

Seperangkat alat KCKT (Shimadzu LC- 10) yang dilengkapi dengan


detektor UV SPD-10; ultrasonic batch (Bronson 1510); pompa vakum;
vakum filter 0,45 m; microsiringe 100 l; kolom shim-pack C-18;
alat-alat gelas yang dipakai dalam laboratorium Kimia Analisis, neraca
analitik (Shimadzu AY 220).
Bahan
Baku siklamat, sampel agar-agar, metanol pro KCKT (Merck),
aquabidestilata (Otsuka).

(b) Cara Kerja


1. Pembuatan Berbagai Larutan
a. Fase gerak dibuat dengan mencampurkan metanol dan air dengan
perbandingan 30 : 70 (v/v).
b. Larutan stok siklamat baku: Ditimbang 100 mg baku siklamat
kemudian dilarutkan dalam aquabidestilata sampai volume 100 mL.
c. Pembuatan larutan untuk baku siklamat: dari larutan stoK dipipet
1,0; 2,0; 40; 6,0; 8,0; dan 10,0 mL masing-masing dimasukkan ke
dalam labu takar 10 mL lalu ditepatkan volumenya dengan
aquabidestilata sehingga diperoleh konsentrasi 0,1; 0,2; 0,4; 0,6; 0,8
dan 1 mg/mL.
2. Penentuan Kondisi Analisis Optimum
7

Kondisi analisis optimum dibuat berdasarkan percobaan yang telah


dilakukan, yaitu:
Fase gerak : metanol:air (30:70) v/v
Laju alir : 1 mL/menit
Volume injeksi : 20 L
Detektor : UV 220 nm
3. Validasi Metode Analisis
a. Pembuatan kurva baku: larutan siklamat baku dengan konsentrasi
0,1; 0,2; 0,4; 0,6; 0,8 dan 1 mg/mL disuntikkan ke KCKT sesuai
dengan kondisi yang telah ditetapkan. Dibuat kurva hubungan antara
konsentrasi siklamat dan luas area Luas puncak siklamat.
b. Penentuan batas deteksi (limit of detection / LOD) dan batas
kuantitasi (limit of quantitation / LOQ): LOD dan LOQ dihitung
secara statistik dari persamaan kurva baku.
c. Uji ketelitian: disiapkan lima larutan baku siklamat 0,5 mg/mL dan
disuntikkan ke KCKT, dicatat luas area dan waktu retensi masingmasing puncak untuk kemudian dihitung koefisien variasinya.
d. Uji ketepatan: Uji ketepatan dilakukan dengan metode addisi yaitu
dengan menghitung persentase recovery.
e. Uji recovery dilakukan dengan memasukkan 1,0 mL larutan baku
siklamat 0,5 mg/mL ke dalam 2,0 mL larutan sampel. Kemudian
dilakukandiperlakukan seperti pada perlakuan penetapan kadar
siklamat pada sampel agaragar. Luas area masing-masing dicatat
kemudian dihitung perolehan kembali dengan rumus sebagai
berikut: % recovery = {(Kadar sampel+ baku)-(kadar sampel)}/
Kadar sebenarnya X 100 %
4. Penetapan Kadar Siklamat
Sampel agar-agar diencerkan 5 kali, kemudian diambil 2,0 mL dan
dimasukkan ke dalam labu takar 10 mL. Ditambahkan aquabidestilata
sampai tanda dan disaring. Kemudian diinjeksikan ke KCKT. Luas area
yang diperoleh dicatat untuk menghitung kadar siklamat dalam sampel
agar-agar dengan menggunakan persamaan kurva baku.
2.1.2
Penentuankadar glukosa dan fruktosa pada madu randu dan madu
kelengkeng dengan metode kromatografi cair kinerja tinggi
(a) Alat dan Bahan
Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: Seperangkat alat
KCKT (buatan ICI Instruments) yang dilengkapi dengan detektor indeks bias
(Shodex RI SE-61) serta integrator merek Shimadzu CR6A Chromatopac;
labu ukur 20 mL, 25 mL, 50 mL, pipet volume 1,0 mL, 2,5 mL, 5 mL, 10
mL, 25 mL, 2,5 mL, alat sentrifugasi, kertas saring 0,45 m.
Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : air
deionisasi, larutan standar glukosa 5 % dan larutan standar fruktosa 5
8

%. Sampel penelitian adalah madu randu dan madu kelengkeng yang


telah memenuhi standar SII dari merk yang sama. Tiap jenis madu
digunakan dua buah sampel dan tiap sampel dilakukan pengukuran
sebanyak dua kali.
(b) Cara Kerja
1. Pembuatan Larutan Standar
Larutan standar glukosa dan fruktosa dibuat dengan konsentrasi masingmasing 5 % b/v. Adapun cara pembuatannya adalah sebagai berikut :
a. Masing-masing senyawa (glukosa danfruktosa) ditimbang sebanyak 1
g.
b. b. Senyawa-senyawa tersebut dimasukkan ke dalam labu ukur 20 mL,
kemudian ditambah aquades sampai tanda batas (kadar glukosa dan
fruktosa masing-masing 5 % b/v)
c. Dari konsentrasi tersebut dapat dibuat campuran dengan konsentrasi
masing-masing 1 % ; 0,5 % ; 0,25 % ; dan 0,125 % dengan cara :
Campuran glukosa dan fruktosa 1 %. Ke dalam labu ukur 50
mL, dipipet masingmasing 10,0 mL larutan fruktosa 5 %,
ditambah 10,0 mL larutan glukosa 5 %. Ditambah dengan
aquades sampai tanda batas.
Campuran glukosa dan fruktosa 0,5 %. Ke dalam labu ukur 50
mL, dipipet masingmasing 5,0 mL larutan fruktosa 5 %
ditambah 5 mL larutan glukosa 5 %. Kemudian ditambah
dengan aquades sampai tanda batas.
Campuran glukosa dan fruktosa 0,25 %. Ke dalam labu ukur 50
mL, dipipet masingmasing 2,5 mL larutan fruktosa 5 %
ditambah 5 mL larutan glukosa 5 %. Kemudian ditambah
dengan aquades sampai tanda batas.
Campuran glukosa dan fruktosa 0,125%Campuran glukosa dan
fruktosa 0,25 % pada (c) dipipet 25,0 mL, dimasukkan ke
dalam labu ukur 50 mL. Campuran tersebut ditambah dengan
aquades sampai tanda batas. Masing-masing campuran glukosa
dan fruktosa tersebut disaring dengan kertas saring 0,45 m.
2. Penentuan Kondisi KCKT untuk Pemisahan Glukosa dan Fruktosa
Kondisi analisis untuk penentuan kandungan glukosa dan fruktosa
pada sampel madu adalah pada kondisi pemisahan yang terbaik. Kondisi
tersebut tercapai jika hasil kromatogram masing-masing komponen tidak
tumpang tindih satu dengan yang lain. Kromatogram yang tidak tumpang
tindih tersebut salah satunya dapat dicapai dengan mengatur suhu kolom
dan laju alir dari eluen. Kondisi pemisahan dapat ditentukan pada saat
pengukuran larutan standar, di mana eluen yang digunakan adalah air
deionisasi pada kolom metacarb 87C dan dideteksi dengan menggunakan
detektor indeks bias.
3. Pembuatan Kurva Standar

Larutan standar glukosa dan fruktosa 0,125 % diinjeksikan sebanyak


20 L dengan menggunakan auto syringe injector. Biarkan sampai semua
komponen keluar dan terpisah dari kolom. Waktu retensi untuk masingmasing komponen (glukosa dan fruktosa) dicatat Langkah tersebut diulangi
dengan menginjeksikan 20 L larutan standar glukosa dan fruktosa 0,25 %
kemudian dengan larutan standar 0,5 % dan 1 %. Plot hubungan antara
konsentrasi larutan standar dengan luas puncak dari masing-masing
komponen. Hubungan antara konsentrasi dengan luas puncak dapat dibuat
persamaan regresi liniernya yaitu y = a + bx
4. Validasi Prosedur Analisis
a. Ketepatan
Ketepatan dari metode yang digunakanditentukan dengan
melakukan beberapa kali pengukuran konsentrasi dari senyawa
standar dengan konsentrasi yang sama. Ketepatan dinyatakan
dengan perbandingan antara nilai konsentrasi yang terukur dengan
nilai konsentrasi yang sebenarnya
b. Ketelitian
Prosedurnya sama dengan prosedur ketepatan, kemudian data yang
didapat dihitung simpangan bakunya (SB) dan % koefisien variansi
(KV)
c. Batas Deteksi
Batas deteksi merupakan kadar analit yang memberikan kadar analit
yang memberi signal sebesar signal blanko ditambah 3 kali simpang
blanko.
y = yB + 3 sB
Dari persamaan regresi yang telah dibuat, dapat dihitung batas
deteksi untuk alat dengan mengasumsikan :
yB = a
sB = Sy/x
5. Penentuan Kadar Glukosa dan Fruktosa
a. Analisis Sampel
Masing-masing madu dipipet 0,5 mL dan diencerkan sampai
volumenya tepat 50 mL kemudian disentrifugasi selama 30 menit.
Sampel tersebut disaring dengan kertas saring 0,45 m. Sampel
diinjeksikan sebanyak 20 l pada alat kromatografi dan sistem
dibuat dengan kondisi pemisahan terbaik, semua komponen
dibiarkan terpisah. Hasil yang diperoleh dilakukan uji kualitatif dan
uji kuantitatif (Nur, A, & Kosasih, 1992).
b. Perhitungan kadar Glukosa dan Fruktosa
Kromatogram yang dihasilkan berupa puncak-puncak untuk setiap
senyawa yang dianalisis. Luas area diukur secara otomatis oleh alat
pengolah data. Uji kualitatif untuk komponen glukosa dan fruktosa
dalam sampel dilakukan dengan mencocokkan waktu retensi dari
masing-masing puncak pada kromatogram sampel dengan waktu
retensi senyawa standar. Untuk uji kuantitatif, luas area

10

komponenkomponen yang dianalisis diplot ke dalam persamaan


regresi linier
c. Uji statistik
Untuk menguji ada tidaknya variasi yang nyata pada kadar glukosa
dan fruktosa dari tiap sampel madu, maka akan dilakukan uji
statistik BNT terhadap data hasil analisis (kadar glukosa dan
fruktosa). Uji stastistik dilakukan dengan menggunakan metode uji
F.
2.1.3 Hasil dan Pembahasan
(a) Penentuankadarsiklamat dalam sampel denganMetode HPLC
Penetapan kadar natrium siklamat dalam sampel agar-agar dilakukan dengan
metode KCKT menggunakan fase diam C18 yang non polar dan fase gerak
metanol : aquabidestilata (30:70) yang besifat polar. Sistem ini merupakan sistem
faseCterbalik
Validasi Metode Analisis Siklamat
1. Liniearitas
Linieritas yang juga menunjukkan sensitivitas dapat dilihat dari
persamaan garis lurus hubungan antara konsentrasi siklamat dan luas area
yang diperoleh. Berdasarkan perhitungan statistik diperoleh persamaan
garis y = 0,959x + 0,003 dengan koefisien korelasi (r) 0,999. Nilai (r) bisa
diterimA karena (r) tabel < (r) hitung yaitu 0,917 < 0,9995 dengan derajat
bebas 4 dan taraf kepercayaan 1% sehingga memenuhi uji linearitas serta
menunjukkan bahwa metode ini memiliki sensitivitas yang baik.

Gambar 1 Grafik Linearitas konsentrasi terhadap luas area


2. Batas Deteksi (LOD) dan Batas Kuantitasi (LOQ)
LOD dan LOQ ditentukan dengan perhitungan statistik dari kurva baku.
Diperoleh nilai LOD dan LOQ berturut-turut sebesar 6,5 x 10-3 dan 0,022
mg/mL.
11

3. Ketelitian
Berdasarkan uji ketelitian diperoleh nilai koevisien variasi (KV) = 0,31 %.
Menurut (Snyder, K, & G, 1997), nilai KV yang dapat diterima adalah
2%. Dengan nilai KV yang memenuhi persyaratan menunjukkan bahwa
ketelitian metode ini dikatakan baik sehingga keterulangan hasil
pengukuran dapat dipercaya.
4. Ketepatan
Hasil uji ketepatan denganpenentuan perolehan kembali(recovery)
diperoleh nilai perolehan kembali yang tidak berada pada rentang yang
diharapkan sehingga menunjukkan bahwa metode analisis penetapan kadar
siklamat secara KCKT ini belum mampu memberikan hasil yang akurat
karena tidak memberikan % recovery yang dapat diterima (80% - 120%).
Hal tersebut kemungkinan disebabkan karena adanya kesalahan sistematik
yang berkontribusi terhadap ketepatan hasil analisis.Suatu metode
mempunyai ketepatan yang baik apabila nilai perolehan kembali berkisar
antara 80-120% (Gunawan, 1994).
Penetapan Kadar Siklamat dalam Sampel agar-agarAnalisis kualitatif
terhadap siklamat dengan metode KCKT dilakukan untuk mengidentifikasi
kebaradaan siklamat dalam sampel agar-agar sebelum dilakukan penetapan
kadarnya. Identifikasi adanya siklamat dilakukan dengan membandingkan
waktu retensi puncak baku siklamat dan puncak dari sampel. Waktu retensi
adalah selang waktu yang diperlukan oleh linarut (solut) mulai saat injeksi
sampai keluar dari kolom dan sinyalnya ditangkap oleh detektor(Mulya &
Suharman, 1995).

Gambar 2 Kromatogram Baku Siklamat

Gambar 3 Kromatogram sampel agar agar

12

Penetapan kadar siklamat bertujuan untuk mengetahui kadar siklamat


yang terdapat di dalam agar-agar. Dengan menggunakan kurva baku
siklamat yang telah dibuat, luas area puncak siklamat dalam sampel
digunakan untuk menghitung kadar siklamat dalam sampel. Berdasarkan
hasil perhitungan,diperoleh kadar siklamat dalam sampel sebedar 1,99
7,7.10-4 mg/mL ( KV=0,35%).
(b) Penentuankadar glukosa dan fruktosa pada madu randu dan madu
kelengkeng dengan metode kromatografi cair kinerja tinggi
Penelitian ini telah melibatkan pengamatan sifat kromatografi
senyawa senyawa standar secara individual yaitu glukosa dan fruktosa, yang
dilanjutkan dengan pemisahan senyawa-senyawa standar tersebut dalam
campurannya dengan menggunakan metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi.
Kondisi-kondisi pemisahan diperoleh dari pengukuran senyawa-senyawa
glukosa danfruktosa tersebut kemudian diaplikasikan untukpenentuan kadar
senyawa tersebut pada sampel madu randu dan madu kelengkeng. Eluen yang
digunakan adalah air deionisasi, di samping murah juga tidak beracun. Air
deionisasi memiliki sifat kepolaran yang sesuai dengan karbohidrat dan
ternyata dengan eluen tersebut pemisahan glukosa dan fruktosa menghasilkan
resolusi yang baik. Penelitian ini menggunakan detektor indeks bias karena
detektor tersebut sesuai untuk pemisahan komponen-komponen karbohidrat.
a. Kromatografi Campuran senyawa standar
Untuk kromatografi campuran senyawa standar, dipilih beberapa
kondisi yang diharapkan dapat menghasilkan pemisahan glukosa dan
fruktosa dengan resolusi yang baik. Tabel 1. Hubungan antara laju alir
dan waktu retensi dari masing-masing komponen

Tabel 1Hubungan antara laju alir dan waktu retensi dari


masing-masing komponen
Tabel 1 menunjukkan bahwa glukosa muncul sebagai puncak pada
waktu retensi yang lebih cepat daripada fruktosa. Hal ini disebabkan
karena adanya interaksi yang lebih kuat antara fruktosa (yang
mengandung gugus keton) dengan fase diam daripada interaksi antara
glukosa (yang mengandung gugus aldehid) dengan fase diam. Semakin
mirip sifat kepolaran antara senyawa yang dipisahkan dengan fase
diam, maka interaksinya akan semakin kuat, sehingga waktu retensi
dari senyawa tersebut akan semakin lama.
b. Penentuan Kondisi KCKT untuk Pemisahan Glukosa dan Fruktosa
13

Kondisi analisis untuk penentuan kandungan glukosa dan fruktosa pada


sampel madu adalah pada kondisi pemisahan yang terbaik. Kondisi
tersebut tercapai jika hasil kromatogram masing-masing komponen
tidak tumpang tindih satu dengan yang lain. Kromatogram yang tidak
tumpang tindih tersebut salah satunya dapat dicapai dengan mengatur
suhu kolom dan laju alir dari eluen.

Tabel 2 Hubungan antara laju alir, suhu dan waktu


retensi dari campuran senyawa standar(glukosa
dan fruktosa)
Tabel 2 menunjukkan bahwa jika laju alir dipercepat atau suhu kolom
ditingkatkan, maka komponen akan keluar sebagai puncak pada waktu
retensi yang lebih pendek. Sedangkan jika laju alir diperlambat atau
suhu kolom diturunkan, maka komponen akan keluar sebagai puncak
pada waktu retensi yang lebih lama. Penelitian ini dilakukan pada laju
alir 1 mL/menit dengan suhu kolom 80C karena pada saat tersebut
diperoleh pemisahan yang baik. Kedua komponen (glukosa dan
fruktosa) dapat terpisahkan satu dengan yang lain sampai garis alas.
Pada kondisi ini glukosa dan fruktosa muncul pada waktu retensi yang
relatif cepat daripada kondisi-kondisi lainnya sehingga memerlukan
eluen yang tidak terlalu banyak sehingga lebih efisien. Selain itu, pada
kondisi tersebut diperoleh resolusi yang terbaik. Resolusi diartikan
untuk menjelaskan bagaimana dua buah pita / puncak dapat terpisah
satu sama lain. Bila dua puncak kromatogram dari dua senyawa
terpisah sempurna maka dikatakan dua senyawa tersebut terpisah
secara sempurna atau resolusi dua senyawa tersebut sempurna.
Resolusi antara dua puncak merupakan fungsi dari tiga faktor yaitu :
retensi, selektifitas, dan efisiensi kolom. Retensi dan selektifitas
merupakan fungsi sifat kimia fasa gerak dan fasa diam. Retensi dapat
dinyatakan melalui beberapa cara yakni waktu retensi absolut, waktu
retensi terkoreksi atau faktor kapasitas. Selektifitas merupakan ukuran
kemempuan fasa diam untuk membedakan duasenyawa. Efisiensi
kolom merupakan ukuran seberapa luas pita-pita komponen menyebar
dalam perjalanannya sepanjang kolom. Suatu kolom yang lebih efisien
akan menghasilkan puncak yang lebih sempit dari kolom yang kurang
efisien, untuk waktu retensi yang sama. Penelitian yang dikerjakan oleh
14

(Dira, 1995)) menyatakan bahwa pemisahan dan analisis senyawa


mono- dan disakarida pada madu dan bahan sejenisnya dapat dilakukan
dengan teknik KCKT. Dalam penelitian tersebut, sampel madu diambil
secara acak tanpa melihat jenis bunganya. Pada penelitian yang
dilakukan, sampel madu adalah madu yang diambil dari jenis bunga
yang berbeda yaitu randu dan kelengkeng. Kolom yang digunakan
dalam penelitian ini adalah kolom Metacarb 87C dengan eluen air
deionisasi. Kolom tersebut dipilih karena menggunakan eluen air
deionisasi yang relatif murah dan tidak beracun. Penelitian sebelumnya
menggunakan kolom Bondapak-NH2 dan eluen campuran
asetonitril:air (75 : 25) yang mengandung 1,0 x 10-5 M etanolamin.
Eluen yang digunakan pada penelitian tersebut relatif mahal. Selain itu
dalam penelitian ini juga dilihat pengaruh suhu kolom dan laju alir,
sedangkan dalam penelitian sebelumnya hanya dilihat pengaruh laju
alir terhadap pemisahan masing masing komponen.
c. Evaluasi Kuantitatif
Pembuatan Kurva Standar
Kurva standar untuk glukosa dan fruktosa disiapkan dengan
pengukuran luas area kromatogram dari masing-masing senyawa
standar yang diperoleh dengan menyuntikkan larutan standar
campuran pada sistem kromatografi yang bekerja pada kondisi
pemisahan terbaik. Sistem kromatografi tersebut adalah sebagai
berikut :
Kolom : Metacarb 87C
Eluen : Air deionisasi
Laju Alir : 1 mL / menit
Suhu Kolom : 80oC
Detektor : Indeks bias

Tabel 3 Data luas area dari kromatogram campuran


glukosa dan fruktosa pada berbagai konsentrasi

Berdasarkan data pada Tabel 3, maka dapat dihitung persamaan


regresi linier untuk glukosa dan fruktosa. Persamaan regresi linier
untuk glukosa dan fruktosa adalah sebagai berikut :
15

Glukosa : y = -73545,652 + 1116023,791 x (r = 0,9960)


Fruktosa : y = -69966,565 + 990654,539 x (r = 0,9918)
Dari persamaan regresi linier diatas, maka dapat dibuat kurva
standar glukosa dan fruktosa yang disajikan pada Gambar 4. Dan
Gambar 5.

Gambar 4 Kurva Standar Glukosa

Gambar 5 Kurva Standar Fruktosa

Validasi Ketepatan dan Ketelitian


Serangkaian validasi metode analisis perlu dilakukan untuk
menguji kestabilan dan validitas alat. Pengujian ini bertujuan agar
hasil yang diperoleh dari suatu alat memiliki ketepatan dan
ketelitian yang tinggi sehingga dalam mengambil kesimpulan
menjadi tepat. Ketepatan analisis dapat dilihat dari % kesalahan
relatif suatu analisis, dimana % kesalahan relatif untuk glukosa
adalah 1,76 %, sedangkan untuk fruktosa dengan cara yang sama
diperoleh nilai % kesalahan relatif sebesar 2,95 %. Ini berarti data
yang diperoleh berdasarkan hasil pengukuran telah memenuhi
kriteria ketepatan analisis, dimana prosentase kesalahan relatif ( %
e ) 5% (20) . Ketelitian analisis dapat dilihat dari nilai simpangan
baku dan % koefisien variansi. Nilai simpangan baku untuk
glukosa adalah 1,437x10-3 dan untuk fruktosa adalah 4,950x10-4.
16

Sedangkan nilai prosentase koefisien variansi untuk glukosa adalah


0,1412 % dan untuk fruktosa adalah 0,0481%. Hal ini
menunjukkan bahwa data yang diperoleh berdasarkan hasil
pengukuran telah memenuhi kriteria ketelitian analisis, di mana
prosentase koefisien variansi (% KV) _ 5 % (Day & Underwood,
1993).

Tabel 4 Validasi Ketepatan dan Ketelitian

Batas Deteksi
Batas deteksi didefinisikan sebagai kadar analit terendah yang
dapat menghasilkan signal sebesar signal blanko ditambah tiga kali
simpang bakunya. Pengukuran batas deteksi dengan menggunakan
detektor indeks bias untuk glukosa dan fruktosa masing-masing
sebesar 0,104 % dan 0,136 %. Ini berarti bahwa kadar glukosa
terendah yang dapat dideteksi oleh alat KCKT yang digunakan
adalah sebesar 0,104 %. Sedangkan untuk fruktosa, kadar terendah
yang dapat dideteksi oleh alat KCKT adalah 0,136 %.
d. Analisis Kadar Glukosa dan Fruktosa Pada Sampel Madu
Perlakuan Sampel
Sampel madu yaitu madu kelengkeng dan madu randu dipipet
sebanyak 0,5 mL. Sampel diencerkan sampai volumenya 50 mL.
Sampel disentrifugasi selama 30 menit. Tujuan dari sentrifugasi
adalah untuk memisahkan komponen yang larut dalam air dengan
yang tidak larut dalam air. Hasil dari sentrifugasi adalah
terbentuknya dua lapisan. Lapisan atas diambil dan dilakukan
penyaringan dengan kertas saring 0,45 m. Filtrat hasil
penyaringan kemudian diambil 20L dan disuntikkan ke alat
KCKT.
Pola Kromatogram Sampel
Kromatogram-kromatogram sampel madu mempunyai pola yang
sederhana. Pada kondisi kromatografi yang digunakan, senyawa
standar glukosa dan fruktosa keluar sebagai puncak dengan waktu
retensi masing-masing 6,212 menit dan 7,793 menit. Berdasarkan
pola kromatogram sampel yang dianalisis, terlihat bahwa
pemisahan glukosa dan fruktosa dalam sampel madu dapat
dilakukan dengan baik. Pada kromatogram juga terlihat adanya
komponen-komponen lain yang kemungkinan merupakan
sakarida-sakarida lain yang juga menyusun madu seperti sukrosa,
17

maltosa, laktosa dan karbohidrat lainnya. Namun keberadaan


komponen lain tersebut tidak menganggu identifikasi komponen
utama.
Analisis Kuantitatif (Kadar Glukosa dan Fruktosa)
Hasil perhitungan konsentrasi glukosa dan fruktosa dalam sampel
madu disajikan pada Tabel 5 berikut.

Tabel 5 Kadar glukosa dan fruktosa dalam sampel


madu
Keterangan :
R1 = Madu randu (sampel 1)
R2 = Madu randu (sampel 2)
K1 = Madu kelengkeng ( sampel 1)
K2 = Madu kelengkeng (sampel 2)
Hasil pada Tabel 5 terlihat bahwa pada semua sampel madu, kadar fruktosa lebih
tinggi daripada glukosa. Jika dilihat dari nilai rata-rata kadar glukosa, maka kadar
glukosa pada madu kelengkeng lebih tinggi daripada madu randu. Sedangkan nilai ratarata kadar fruktosa pada madu randu lebih tinggi daripada kadar fruktosa pada madu
kelengkeng. Ini berarti bahwa madu randu memiliki rasa yang lebih manis daripada
madu kelengkeng karena fruktosa memiliki kemanisan 2,5 kali dari glukosa. Pada
ketentuan SII ditetapkan bahwa kadar gula pereduksi (glukosa dan fruktosa) total
minimal 60 %. Tabel 5 menunjukkan bahwa sampel madu yang dianalisis telah
memenuhi ketentuan SII, dimana kadar gula pereduksi total pada madu randu sebesar
68,12 % dan pada madu kelengkeng sebesar 68,12 %. Pada madu palsu, madu tersebut
tidak memenuhi ketentuan SII, seperti kadar air yang cukup tinggi, kadar sukrosa yang
melebihi ketentuan atau total gula pereduksi yang kurang dari 60 %. Hal ini disebabkan
karena pada madu palsu sering dilakukan pengenceran atau ditambah dengan
komponen lain seperti pemanis buatan, gula pasir, dan pewarna makanan. Pada
beberapa kasus madu palsu, kadar total gula pereduksi (glukosa dan fruktosa) masih
18

dapat memenuhi ketentuan SII. Ini disebabkan karena jika proses penyimpanan madu
cukup lama, maka sukrosa yang terdapat pada madu akan mengalami peruraian
membentuk glukosa dan fruktosa.Penelitian yang dilakukan oleh (Dira, 1995),
menunjukkan bahwa kadar total glukosa dan fruktosa pada madu diperoleh sekitar 79
%, dimana kadar fruktosa lebih besar daripada kadar glukosa. Penelitian tersebut juga
melihat kadar sukrosa dari masing-masing sampel. Namun, kadar sukrosa jauh lebih
rendah daripada glukosa dan fruktosa. Pada beberapa madu yang diduga palsu, ternyata
kadar sukrosa lebih tinggi daripada kadar glukosa dan fruktosa.

19

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan, maka dapat
disimpulkan sebagai berikut :
1. Pemisahan dan analisis kadar glukosa dan fruktosa pada madu randu dan madu
kelengkeng dapat dilakukan menggunakan teknik KCKT. Kolom yang
digunakan adalah kolom metacarb 87C dengan eluen air deionisasi. Kondisi
operasional yang terbaik diperoleh pada suhu kolom 80C dan laju alir 1
mL/menit dengan menggunakan detektor indeks bias.
2. Kadar glukosa pada madu randu adalah sebesar 27,31 % dan pada madu
kelengkeng sebesar 28,09 %. Sedangkan kadar fruktosa pada madu randu
sebesar 40,99 % dan pada madu kelengkeng sebesar 40,03 %.
3. Kadar glukosa dan fruktosa dari tiap-tiap sampel madu telah memenuhi syarat
mutu madu nasional (SII) dimana kadar gula pereduksi total pada madu randu
sebesar 68,12 % dan pada madu kelengkeng sebesar 68,12 %.
4. Berdasarkan hasil penelitian dengan menggunakan metode KCKT pada sampel
agar-agar yang beredar di Pasar Wage Purwokerto maka disimpulkan bahwa di
dalam sampel yang diteliti mengandung siklamat dengan kadar rata-rata 1,99
mg/mL.

20

DAFTAR PUSTAKA
Adnan. (1997). Teknik Kromatografi untuk Analisis Bahan Makanan. Yogyakarta: Andi.
Cahyadi. (2006). Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan. Jakarta: Bumi Aksara.
Day, R. A., & Underwood, A. L. (1993). Quantitative Analysis. New Delhi: Prantice-Hall of India
Private Limited.
Dira, S. I. (1995). , Kromatografi Cair Kinerja Tinggi Beberapa Senyawa Mono- dan Disakarida Serta
Penerapannya Untuk Analis Madu dan Bahan Jenis Lainnya. Bandung: Universitas
Padjajaran.
Donatus, L. A. (1990). Toksikologi Pangan (ke 1 ed.). Yogyakarta: Lab.Farmakologi dan Toksikologi
Fakultas Farmasi UGM.
Gunawan, I. A. (1994). Metode Validasi Pada Analisis Kimia, Pendidikan Kelanjutan Apoteker.
Surabaya: Fakultas Farmasi Universitas Airlangga.
Mulya, M., & Suharman. (1995). Analisis Instrumental. Surabaya: Airlangga University Press.
Nur, M., A, J. H., & Kosasih. (1992). Teknik Laboratorium. Bogor: IPB.
Purbaya, J. (2002). Mengenal dan Memanfaatkan Khasiat Madu Alami . Bandung: Ponir Jaya.
Sarwono. (2001). Kiat Mengatasi Permasalahan Praktis Lebah Madu. Tangerang: Agromedia Pustaka.
Snyder, L., K, J., & G, J. (1997). Practical HPLC Method Development Second Edition. New York
USA: John and Wiley & Sons.
Winarno, F. G. (1982). Madu Teknologi, Khasiat dan Analisa. Bogor: Ghalia Indonesia.

21

Anda mungkin juga menyukai