Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Pulau Bali merupakan daerah tujuan wisata utama di Indonesia. Dunia pariwisata
Bali sudah mulai dengan adanya kunjungan rombongan wisatawan yang pertama tahun
1924. Para wisatawan datang ke Bali karena tertarik dengan budayanya yang unik dan
adiluhur mempesona. Kedatangan mereka tidak lepas dari promosi pemerintah Belanda
yang sudah memperkenalkan Bali sebagai daerah tujuan wisata. Ketertarikan wisatawan
datang ke Bali disebabkan oleh faktor Budaya, keindahan alam, dan keramahtamahan
penduduknya. Dengan demikian dapat dikatakan salah satu daya tarik Bali untuk
dikunjungi adalah karena Budayanya.
Pulau Bali yang mayoritas penduduknya berAgama Hindu tentu tidak terlepas adari
adanya adat dan upacara keagamaan. Kain juga merupakan elemen yang sering
dipergunakaan saat pelaksanaaan upacara agama itu berlangsung. Ada banyak warna
kain yang dipergunakan misalnya kain berwarna putih, merah, kuning , hitam, atau
campuran warna-warna tersebut. Berbagai macam warna yang digunakan bukanlah
sekedar pemanis upacara agar terlihat lebih semarak melainkan penggunaaan warna
tersebut didasari oleh filosofis Agama Hindu yang berasal dari kitab suci Weda yang
telah diterapkan ke kehidupan sehari hari. Mendengar kata kombinasi warna yang
berhubungan dengan kain. Banyak orang Bali maupun wisatawan asing yang mengingat

Saput Poleng Dalam Kehidupan Umat Hindu di Bali

atau sering melihat saput poleng atau kain yang bercorak hitam putih layaknya papan
catur. Baik di pura maupun di pohon atau bahkan ada umat Hindu yang sering terlihat
menggunakananya. Saput poleng sangat penting dan erat kaitannya dengan upacara atau
kehidupan sehari-hari umat Bali.

1.2 RUMUSAN MASALAH


Apakah penambahan corak bunga atau warna lain seperti merah muda, biru

muda, biru dan yang lainnya pada saput poleng itu diperbolehkan?
Apa makna dari saput poleng itu sendiri?
Bagaimana penggunaan saput poleng itu sendiri dalam upcara keagaaman umat

Hindu atau kehidupan sehari-hari umat Hindu itu sendiri?


Apa nilai filosofis dibalik penggunaan saput poleng itu?

1.3 TUJUAN PENULISAN


Untuk memahami makna filosofis dibalik saput poleng itu.
Mengetahui jenis-jenis saput poleng itu sendiri
Memahami dan mengetahui fungsi dan peranan saput poleng
Untuk dapat membedakan penggunaan saput poleng berdasarkan
jenisnya
1.4 METODE PENULISAN
Wawancara
Bacaan dari buku-buku
Studi kasus (Pengumpulan Foto dan contoh asli di berbagai tempat)
1.5 MANFAAT PENULISAN
A. Manfaat Bagi Penulis
Dapat menambah ilmu dan wawasan penulis.
Dapat mengetahui apa sebenarnya saput poleng itu.
B. Manfaat Bagi Pembaca
Dapat mengetahui membandingkan fungsi saput poleng yang benar
dengan pemahaman fungsi saput poleng di masyarakat.

Saput Poleng Dalam Kehidupan Umat Hindu di Bali

Mengerti dan paham akan fungsi saput poleng itu sendiri.

BAB II
PEMBAHASAN

Saput Poleng Dalam Kehidupan Umat Hindu di Bali

2.1 SAPUT POLENG SECARA UMUM


Saput poleng adalah sebuah kain yang diberi motif hitam dan putih yang
kadang-kadang diselingi warna abu-abu diantara warna hitam dan putih layaknya
papan catur. Kain ini biasanya dililitkan pada : Pohon-pohon tertentu, kulkul
(kentongan), palinggih (tempat suci) yang berfungsi sebagai penjaga, arca
dwaraphala (patung-patung penjagga), juga dipakai para pecalang (penjaga
keamanan desa Pakraman), dan pemakaiannya yang terkait dengan kegiatan Agama
Hindu.dalam kegiatanya yang terkait dengan upacara Agama Hindu, yaitu
pemakaian: saput poleng rwa bhineda, saput poleng sudhamala, dan saput poleng
tridatu . Saput poleng rwabhineda adalah selembar kain dengan pola hias kotakkotak dengan warna hitam dan putih, saput poleng sudhamala dihiasi tiga warna
yaitu: hitam, putih, dan peralihan antara hitam dan putih yakni abu-abu, sedangkan
saput poleng tridatu berwarna hitam, putih dan merah

.
(Saput Poleng Rwabhineda)

Saput Poleng Dalam Kehidupan Umat Hindu di Bali

(Saput Poleng Sudhamala )

(Saput Poleng Tridatu)


Pemakaian saput poleng di Bali sangat terikat dengan kegiata upacara Agama
Hindu, misalnya: saput poleng dililitkan pada pohon tertentu, patung-patung yang
berfungsi sebagai penjaga (misalnya patung di jembatan, di depan pintu gerbang, di
perempatan jalan, dipinggir jurang, dll), pembungkus sasabukan (benda magis yang
dipakai untuk mendapatkan kekuatan tubuh), dililitkan pada kulkul (kentongan),
dililitkan pada arub (senjata seperti sabit yang disimpan di pura) dan tombak
upacara, juga dipakai pada palinggih Ratu Ngerurah dan Tunggun Karang
(bangunan suci umat Hindu). Selain dipakai pada alat-alat atau tempat-tempat

Saput Poleng Dalam Kehidupan Umat Hindu di Bali

tersebut saput poleng juga dikenakan oleh pecalang (penjaga keamana desa
adat/Pakraman), balian usada (pengobat tradisional), Jro Dalang (dalang wayang
kulit) dalam kapasitasnya sebagai pangruwat (penyucian).

(Saput Poleng Pada Kulkul)

2.2 BENTUK SAPUT POLENG


Bentuk saput poleng akan mempengaruhi kegunaan dan fungsinya. Umat Hindu
meyakini bahwa warna-warna seperti putih, merah, kuning, hitam, atau
campurandan kombinasi dari warna-warna tersebut, memiliki kedudukanpenting
dalam kehidupan spiritual, sebagian dari warna-warna itu ada yang dipadukan dan
dilukis dalam selembar kain. Misalnya kombinasi antara warna putih, hitam, abuabu, merah, yang dikonfigurasi sedemikian rupa dalam bentuk kotak-kotak maka
menjadi warna poleng.

Saput Poleng Dalam Kehidupan Umat Hindu di Bali

Apabila warna poleng itu dilukiskan pada selembar kain maka terbentuklah
saput poleng. Jika warna polengnya terdiri dari warna putih dan warna hitam
terbentuklah saput poleng rwa bhineda. Jika warna polengnya terdiri dari warna
putih, warna hitam, dan warna merah, maka menjadi saput poleng tridatu .
Ada berbagai macam pengelompokan saput poleng yaitu berdasarkan : warna,
ukurannya, hiasannya,hiasan tepi, bahan, dan ukuran kotak-kotaknya sebagai
berikut.
1) Macam-macam saput poleng berdasarkan warnanya:
a. Saput poleng rwabhineda yaitu saput poleng yang berwarna putih
dan hitam.
b. Saput poleng sudhamala yaitu saput poleng yang berwarna putih,
hitam, dan abu-abu.
c. Saput poleng tridatu yaitu saput poleng yang berwarna hitam, putih,
dan merah.
2) Macam-macam saput poleng berdasarkan ukurannya adalah:
a. Lebar sekitar 90 cm x panjang sekitar 20 cm (utuh dalam gulungan
kain).
b. Lebar sekitar 100 cm x panjang sekitar 20 cm (utuh dalam gulungan
kain).
c. Lebar sekitar 90 cm x panjang sekitar 120 cm.
d. Lebar sekitar 100 cm x panjang sekitar 120 cm.
e. Lebar sekitar 50 cm x panjang sekitar 120 cm.
3) Macam-macam saput poleng berdasarkan hiasannya adalah:
a. Saput poleng tanpa hiasan tepi (saput poleng rwabhineda selalu
tanpa hiasan tepi, tidak pernah dijumpai dengan hiasan tepi).
b. Saput poleng dengan hiasan tepi pada salah satu sisi panjangnnya.
4) Macam-macam hiasan tepi saput poleng:
a. Tepi berwarna merah.
b. Tepi berwarna putih dengan pola hiasan Bali.

Saput Poleng Dalam Kehidupan Umat Hindu di Bali

5) Macam-macam saput poleng berdasarkan hiasannya adalah:


a. Saput poleng songket (tenunan tradisional Bali dengan hiasan serat
logam).
b. Saput poleng yang terbuat dari kain satin.
c. Saput poleng dari bahan tetoron.
d. Sapu poleng dari bahan katun.
6) Macam-macam saput poleng berdasarkan ukuran kotak-kotaknya adalah:
a. Ukuran kotak kecil 1 x 1 cm.
b. Ukuran kotak sedang 3 x 3 cm.
c. Ukuran kotak besar 5 x 5 cm.
Memperhatikan struktur warna dalam saput poleng ternyata tidak
ditemukan suatu pola tetap dalam penyusunan warna awal dan warna akhir
tepinya. Sebuah saput poleng rwabhineda misalnya, pada salah satu sudutnya
terkadang diawali dengan kotak dan berwarna putih atau warna hitam. Demikian
juga pada sudut lainnya diakhiri hitam atau putih warna dan sebaliknya. Pada
saput poleng sudhamala juga dijumpai hal yang sama. Warna awal atau akhir
pada salah satu sudutnyabisa salah satu warna dari warna: putih, abu, atau hitam.
Hal yang sama juga berlaku untuk saput poleng tridatu , salah satu warna dari
putih, hitam atau merah dapat mengawali atau mengakhiri salah satu sudutnya.
Keadaan ini sangat tergantung pada keadaan ketika memotong kain oleh tukang
jahit, yaitu ukuran panjang dan lebar yang dibutuhkan.
Melihat keadaan ini ditekankan di sini sebaiknya dalam membuat
selembar saput poleng disamping menginginkan ukuran yang dikehendaki juga
memperhatikan nilai filosofisnya yaitu menghitung jumlah kotak berwarna putih
agar lebih banyak dari pada jumlah kotak hitam, dengan maksud sebagai
pemakaian simbol Agama Hindu bahwa yang memakai kain ini memiliki

Saput Poleng Dalam Kehidupan Umat Hindu di Bali

kesucian, kebenaran, kebijaksanaan dan kebaikan yang lebih banyakdari


kegelapan atau kebodohan. Hal ini terkait dengan tujuan Agama Hindu yaitu
mengangkat derajat umat, dari manusiabiasa menjadi manusiabersifat dewa,
bukan sebaliknya ke derajat yang lebih rendah (dari manawa menjadi madawa,
bukan menjadi danawa).
Jenis-jenis saput poleng yang disebutkan tadi merupakan jenis saput
poleng yang muncul pertama yang dipakai pada kegiatan ritual Agama Hindu.
Dengan demikian kain ini dikatakan memiliki kesakralan, yang selanjutnya
disebut saput poleng tradisional. Tapi sekarang banyak terlihat penggunaan
saput poleng yang tidak sesuai dengan tidak ada hubungan dengan tempattempat sakral. Yang bisa disebut sebagai saput poleng anyar (anyar = baru),
saput poleng ini memiliki beberapa hiasan atau ornamen yang biasanya tampak
dipasaran. Mengenai jenis hiasan kain poleng anyar ini terutama jenis hiasan
kotak-kotaknya telah dijumpai pola tetapyang diterapkan, pola itu aladalah
hiasan tradisional bali yang yang beberapa puluh tahun belakang ini
tenggelam/kurang banyak dimanfaatkan masyarakat. Munculnya kain poleng
anyar ini yang dilengkapi dengan pola hiasan tradisional seperti: patra kuta
mesir, patra karang jahe, patra bungan cincang, dan patra ilut tali.

Saput Poleng Dalam Kehidupan Umat Hindu di Bali

(Saput Poleng Sudhamala Anyar)

2.3 NILAI-NILAI FILOSOFIS SAPUT POLENG


Nilai-nilai filosofis saput poleng dapat di lihat dari lontar-lontar: Wrhaspatitattwa
dan Tattwajnana, yang kemudian dihubungkan denga ajaran Samkya dan
Bhagawadgita serta pandangan para analisis masa kini. Hal ini dimaksudkan untuk
mendapatkan makna filosofis yang menjiwai pemakaian saput poleng di Bali.
1) Nilai-nilai Filosofis saput poleng Menurut Wrhaspatitattwa.
Dari Lontar Wrhaspatitattwa, jika isinya dihubungkan dengan saput poleng
maka dapat dikatakan hal-hal sebagai berikut:
a. Ajaran Centana-Acentana, Siwatattwa-Mayatattwa, widya-awidya,
merupakan rwabhineda asal, yang identik dengan penerapan
rwabhineda pada saput poleng rwabhineda.
b. Tiga unsur triguna, yaitu: satwa, rajah, tamah, merupakan dasar
filosofi yang diterapkan pada saput poleng tridatu . Satwa adalah
kebijaksanaan yang menyelaraskan rajah (kekerasan), dan tamah
Saput Poleng Dalam Kehidupan Umat Hindu di Bali

10

(kemalasan). Warna putih dalam saput poleng tridatu , sebagai


penyeimbang antara warna merah dan warna hitam. Demikian juga
warna-warna pada saput poleng sudhamala, yaitu warna putih dan
hitam yang merupakan pertentangan, yang diselaraskan dengan warna
abu-abu sebagai peralihan dari warna putih dan hitam tersebut.
2) Nilai-nilai Filosofis saput poleng Menurut Tattwajnana.
Dari Lontar Tattwajnana, jika isinya dihubungkan dengan saput poleng maka
dapat dikatakan hal-hal sebagai berikut:
a. Ajaran rwabhineda dari Tattwajnana, yaitu tentang Centana-Acentana,
Purusa-Pradana, kesadaran-ketidaksadaran, merupakan suatu
pertentangan yang sejalan dengan konsep rwabhineda dalam saput
poleng rwabhineda, yaitu simbolik dari warna putih dan warna hitam.
b. Konsep triguna yang ditunjuk oleh ajaran Tattwajnana memiliki
kesamaan dengan nilai filosofis dalam saput poleng tridatu dan saput
poleng sudhamala.
Berdasarkan nilai filosofis dari kedua lontar Wrhaspatitattwa dan
Tattwajnana dapat dismpulkan bahwa :
a. Saput poleng rwabhineda yaitu kain yang berwarna putih dan hitam
dalam kotak-kotak digunakan sebagai simbol dalam masyarakat Hindu
di Bali. Kain ini memiliki makna filosofis yang mewujudkan nilai-nilai
rwabhineda itu sendiri. Hal ini menunjukan adanya pembagian dua.
b. Saput poleng sudhamala yaitu kain poleng berwarna tiga jenis yakni:
putih, hitam, dan abu-abu sebagai peralihan peralihan dari warna hitam
dan putih. Saput poleng sudhamala merupakan cerminan dari
rwabhineda yang diketengahi oleh perantara sebagai penyelaras

Saput Poleng Dalam Kehidupan Umat Hindu di Bali

11

perbedaan dalam rwabhineda. Filosofis yang sama juga tercemin dari


dalam saput poleng tridatu , yaitu kain poleng berwarna tiga yakni:
putih, merah. dan hitam. Warna putih identik dengan kesadaran atau
kebijaksanaan (satwa), warna merah adalah enerjik atau gerak (rajah),
dan warna hitam melambangkan penghambat (tamah). Jika dikaitkan
dengan Dewa Tri Murti, maka warna merah lambang Dewa Brahma
sebagai pencipta, warna hitam sebagai lambang Dewa Wisnu sebagai
pemelihara dan warna putih sebagai melambangkan Dewa Siwa sebagai
pelebur. Tiga dewa ini terkait dengan kehidupan yaitu: lahir, hidup, dan
mati. Dengan demikian dapat dikatakan pembagian dua dalam
rwabhineda kini menjadi pembagian tiga.
3) Dapat ditambahkan apabila kain poleng anyar yang memiliki beragam warna
dan beragam warna dan beragam hiasannya itu dihubungkan dengan ajaran
Wrahaspatitattwa dan Tattwajnana, maka yang dapat diambil sebagai
benang merahnyaadalah unsur keselarasannya, yaitu baik mengenai
keselarasan perpaduan warnanya maupun keselarasan hiasanya. Keselarasan
warna terlihat dari warna tua, warna muda, dan satu lagi di antara dua warna
ini sebagai penyeimbangnya. Hiasannya merupakan pelengkap cetusan rasa
seni yang memang merupakan hiasan tradisional yang muncul kembali.
2.4 KEDUDUKAAN DAN PERANAN SAPUT POLENG
Kedudukan dan peranan saput poleng tentu beragam baik dari jenis saput poleng
dan macam dan ragam bentuknya. Saput poleng sebagaimana yang kita ketahui
umum digunakan saat upacara keagamaan berlangsung. Akan tetapi tidak hanya itu

Saput Poleng Dalam Kehidupan Umat Hindu di Bali

12

banyak saput poleng juga menjadi hiasan baik di alat-alat yang mendukung upacara
keagamaan itu maupun yang sama sekali tidakada hubungannya dengan upacara
keagamaan itu sendiri.
Ada beberapa poin mengenai kedudukan dan peranan saput poleng di masyarakat
Bali antara lain:
1. Pemakaian warna-warna dalam Agama Hindu memiliki arti yang sangat
penting yang dimanfaatkan oleh umat Hindu untuk simbol-simbol
keagamaan, yaitu sebagai sarana memusatan pikiran. Secara umum ada
sembilan warna yang digunakan sebagai simbolik Dewata Nawasanga.
Saput poleng sebagai perpaduan dua warna atau tiga warna juga memiliki
kedudukan penting sebagai simbol atau sarana memusatakan pikiran dalam
kaitannya melaksanakan kegiatan pemujaan dalam Agama Hindu. Dikatakan
penting karena dipakai di tempat tertentu dan oleh orang tertentu saja. Tentu
memiliki maksud mempunyai kelebihan khusus atau tugas yang spesial.
2. Kain poleng anyarmemiliki kedudukan yang kurang penting karena dipakai
pada sembarang tempat dan oleh sembarang orang dalam berbagai situassi.
Jadi kain poleng anyar merupakan pelegkap dari saput poleng.
3. Sejarah munculnya saput poleng belum ditemukan secara tertulis namun
masyarakat meyatakan mereka sudah mendapatkan demikian adanya.
Keterangan tertulis yang ada, terutama telah ditemukan rerajahan dengan
huruf Bali yang dilengkapi gambar-gambar saput poleng rwabhineda, paling
tidak telah menunjukan bahwa saput poleng telahdipakai ketika rerajahan
itu dibuat. Sejarah munculnya kain poleng anyar baru beberapa tahun
belakangan ini, yang merupakan kreasi baru untuk memenuhi rasa seni.

Saput Poleng Dalam Kehidupan Umat Hindu di Bali

13

2.5 PERANAN SAPUT POLENG DALAM KEHIDUPAN UMAT


Telah disebutkan bahwa kedudukan saput polengi penting dalam kegiatan umat
Hindu. Berdasarkan kedudukan itu, maka timbullah peranan bagi yang memakainya.
Peranan pemakaian saput poleng: pecalang, Jro Dalang, balian desa (pengobatan
tradisional), dikenakan pada Palinggih (bangunan suci), pada arca atau patungpatung tertentu, dililitkan pada pohon-pohon tertentu, dililitkan pada kulkul
(kentongan), dan pemakaian lainnya. Berikut inidiuraikan secara deskriptif
pemakian saput poleng dalam beberapa kegiatan saja sebagai sampel, selanjutnya
dari data yang dibuat analisi untuk mengambil suatu kesimpulan.
1) Pemakaian Saput Poleng pada Pecalang

(Pecalang yang mengenakan saput poleng sudhamala)

Sesuai dengan teori struktural fungsional dapat dikatakan bahwa


masyarakat Bali merupakan suatu sistem masyarakat yang kompleks, yang
didalamnya terdapat bagian-bagian sebagai subtansinya. Keadaan
subsistemnya itu sangat terkait satu sama lainnya,artinya apabila salah satu

Saput Poleng Dalam Kehidupan Umat Hindu di Bali

14

subsistemnya terguncang maka akan berpengaruh pada subsistem lainnya.


Dengan demikian keadaan masyarakat sebagai sistemnya yang lebih besar
juga terkena pengaruh tersebut. Satuan terkecil sistem masyarakat bali adalah
Desa Pekraman atau desa adat. Sebagai sembuah sistem kemasyarakatan,
Desa Pekraman terdiri dari berbagai subsistem misalnya: krama/warga
banjar, awig-awig (hukum adat), prajuru/pengurus, paruman/musyawarah,
pecalang/petugas keamanan desa adat, kesinoman/petugas khusus, organisasi
pengairan (subak), organisasi ekonomi pasar, sekaha-sekaha atau kelompok
khusus pekerjaan tertentu, dan institusi lainnya.
Menurut Widnyani dan I Ketut Widya Widia (2001 : 36) dalam Lontar
Purwadigama (Perlu diteliti lagi karena tidak disebutkan slokanya)
disebutkan ada dua jenis pecalang yaitu: pecalang sekala dan pecalang
niskala. Pecalang sekala adalah pecalang yang terlihat secara kasat mata
sedangkan pecalang niskala adalah pecalang yang diyakini ada secara
spiritual, umumnya tidak terlihat secara kasat mata (sloka tersebut masih
perlu diteliti karena tidak ditulis oleh Widnyani dan Widia).
Pecalang sekala dapat dikelompokkan menjadi lima macam yaitu:
1. Pecalang Desa Pekraman atau pecalang banjar pekraman dikenal
dengan nama Jagabhaya Desa, bertugas mengamankan wilayah
Desa Pekraman.
2. Pecalang subak disebut Panglima Toya, bertugas mengamankan
pengaturan pengairan sawah.
3. Pecalang segara disebut Pecalang Bendega, bertugas
mengamankan wilayah nelayan/pantai.
4. Pecalang alas disebut Jagawana, bertugas mengamankan hutan
5. Pecalang tabuh rah disebut juga Sawung Tanggur.

Saput Poleng Dalam Kehidupan Umat Hindu di Bali

15

Pecalang niskala diyakini sebagai kekuatan Tuhan dalam menjaga


keharmonisan dunia, yang berbeda dengan Dewata Nawasanga. Pecalang
niskala antara lain:
1. Pecalang ring Purwa (arah Timur) bernama Sang Jogor Manik
atau disebut juga Bhagawan Penyarikan.
2. Pecalang ring Daksina (arah Selatan) bernama Sang Dorakala
disebut juga Bhagawan Tembang Pengarah.
3. Pecalang ring Pascima (arah Barat) bernama Sang Citrangkara
disebut juga Bhagawan Anglurah.
4. Pecalang ring Utara (arah Utara) disebut Bhagawan Wiswakarma
Dalam lontar yang sama, disebutkan bahwa empat jenis pecalang
niskala tersebut dilengkapi lagi empat pecalang niskala dalam kawasan
diagonal arah mata angin yaitu: ring Ersanya (Timur Laut) Pecalangnya
adalah Bhuta Adiraksa, ring Gneyan (Tenggara) pecalangnya adalah Bhuta
Sariraksa, ring neriti (Barat Daya) pecalangnya adalah Bhuta Astiraksa, dan
ring Wayabya (Barat Laut) pecalangnya adalah Bhuta Panduraksa (Suparta,
2001 : 11).
Ketika para pecalang melaksanakantugasnya, sebagai cirri khasnya
mereka memakai atribut dan busana yang telah ditentukan. Menurut Widnyani
dan I Ketut Widia (2002 : 43-44) dalam Lontar Purwadigama (Perlu diteliti
lagi karena tidak disebutkan slokanya) dinyatakan bahwa seorang pecalang
setidak-tidaknya mengenakan udeng/destar (ikat kepala orang Bali) dengan
bentuk khusus berbeda dengan udeng yang dikenakan patih sebagai pejabat
kerajaan, mawastra akancut nyotot pertiwi (memakai kain/kamben dengan

Saput Poleng Dalam Kehidupan Umat Hindu di Bali

16

ujung menyentuh tanah), mekampuh poleng (memakai saput poleng),


ayungkalit keris (menyelipkan keris di pinggang), dan mesumpang waribang
(menyelipkan bunga kembang sepatu/pucuk rejuna yang berwarna merah di
telinganya). Pada kehidupan nyata masyarakat Hindu di Bali, secara umum
para pecalang sudah mengikuti yang telah digariskan dalam lontar tersebut,
kadang-kadang ditambah lagi beberapa perlengkapan sesuai dengan kemajuan
jaman sekarang, misalnya dilengkapi peluit/sempritan, pentungan, alat
komunikasi radio (handy talky), dan sebagainya.
Pecalang sebaiknya mampu nyelem-putihang gumi, dalam arti mampu
menjaga dan mengarahkan masyarakat dari kekacauan menuju kedamaian
seperti yang dicita-citakan bersama. Pemakaian saput poleng yang paling
umum dikenakan adalah saput poleng sudhamala dengan hiasan tepi di bagian
bawahnya. Hiasan tepi tersebut mengandung makna bahwa pecalang adalah
seorang manusia biasa yang masih memiliki batas-batas kemampuan manusia.
Saput poleng tidatu yang berwarna putih, hitam, san merah merupakan
simbolik bahwa manusia masih dipengaruhi tri guna, yaitu satwa, rajah, dan
tamah. Pemakaian saput poleng sebagai simbol kepecalangan (petugas
keamanan adat) mengandung makna kekuatan, keangkeran, kemampuan
sebagai penjaga kewibawaan dalam mengemban tugas, juga kebijaksanaan,
kenetralan (tidak memihak).

2) Saput Poleng pada Palinggih

Saput Poleng Dalam Kehidupan Umat Hindu di Bali

17

(Saput Poleng pada Palinggih)

Palinggih adalah bangunan suci yang dimiliki umat Hindu yang


merupakan tempat pemujaan Tuhan atau manifestasiNya. Pada waktu-waktu
tertentu, yaitu pada hari yang disucikan, umat Hindu melakukan pemujaandi
depan Palinggih tersebut. Selain berbagai sajian yang dihaturkan juga
digunakan berbagai macam atribut dan kelengkapan upacara yang selalu
menyertai pelaksanaan pemujaan itu, misalnya kain dengan warna-warna
tertentu misalnya: warna putih, merah, kuning, hitam atau yang merupakan
gabungan warna-warna tersebut, kober (sejenis bendera), pajeng (paying
besar), umbul-umbul, dan lain sebagainya.Setiap atribut yang digunakan
mengandung arti tersendiri sesuai dengan fungsi Palinggih tersebut. Saput
poleng yang dikenakan di Palinggih ini mencerminkan tugas keamanan.
Warna poleng rwabhineda, yaitu putih dan hitam merupakan ciri rwabhineda
yang merupakan simbolik dari aman dan kacau, baik dan buruk, artinya
Saput Poleng Dalam Kehidupan Umat Hindu di Bali

18

pemakaiannya tahu akan dua keadaan tersebut yang selanjutnya diharapkan


keamanan dan kebaikanitu dapat dipilah dan dipilih kemudian ditegakkan
untuk memperoleh kehidupan yang harmonis.
Jika saput poleng yang digunakan adalah saput poleng sudhamala, yaitu yang
berwarna putih, abu-abu, dan hitam, maka dari cerminan tiga warna itu
diharapkan kekuatan Tuhan atau manifestasiNya yang dipuja di sana
mengetahui baik dan buruk, aman dan kacau, sebagai rwabhineda.
Selanjutnya berdasarkan pengetahuan rwabhineda itu diharapkan Beliau
menjembati keduanya supaya memberikan kehidupan yang dinamis bagi
manusia. Warna abu-abu merupakan peralihan dari hitam dan putih, sebagai
penghubungnya, yang mengandung makna mengubah kekacauan menjadi
keamanan yang dinamis untuk kepentingan hidup manusia. Ditambahkan
bahwa sebaiknya tidak menggunakan saput poleng tridatu pada palinggihpalinggih, karena poleng tridatu merupakan cerminan tri guna yang hanya
dimiliki manusia atau mahluk lain yang tingkatnya lebih rendah.
3) Pemakaian Saput Poleng pada Jro Dalang

Saput Poleng Dalam Kehidupan Umat Hindu di Bali

19

(Saput Poleng pada Jro Dalang)

Pemakaian saput poleng oleh jro dalang mengandung arti bahwa Jro
Dalang melakukan tugasnya untuk melakukan penyucian, yaitu pembebasan
(pengrwatan) dari gangguan roh jahat bagi anak kecil yang lahir pada Wuku
Wayang.
Dengan demikian saput poleng yang pantas digunakan oleh jro dalang
adalah saput poleng sudhamala, sebab kata sudhamala sendiri berarti suci dari
kekotoran (mala).
4) Saput Poleng pada Arca
Seni arca di Bali sudah menjadi kekaguman para turis, hal ini terlihat
dari respon masyarakat yang memajang berbagai bentuk arcaatau patung di
sepanjang jalan raya yang sering dilalui turis. Tujuan pemajangan itu tiada lain
untuk menarik minat pembeli. Pulai Bali yang dikenal dengan nama Pulau
Seribu Pura, memiliki banyak pura, dan semua pura memiliki arca
didalamnya. Bagi umat Hindu arca merupakan salah satu sarana yang dipakai
untuk memusatkan pikiran kepada Tuhan atau salah satu manifestasiNya. Hal
ini dilakukan oleh kebanyakan Bhakta (Penyembah) yang tingkat

Saput Poleng Dalam Kehidupan Umat Hindu di Bali

20

kerohaniannya masih rendah. Berbeda dengan Bhakta yang telah tinggi tingkat
kerohaniannya, merenka tidak lagi memerlukan sarana untuk memusatka
pikiran pada pujaann yaitu Sang Hyang Widhi (Tuhan).
Ada beberapa arca yang dihiasi saput poleng. Arca-arca tersebut diantaranya:
Arca di persimpangan jalan, arca-arca penjaga pintu (dwarapala), arca-arca di
ujung jembatan, arca yang dipasang di ulun pangkung (di hulu jurang), dan
arca-arca di tempat lainnya. Berdasarkan tabiatnya arca-arca dibedakan
menjadi dua jenis yaitu arca raudra dan arca santa (tenang, damai)
Menurut mangku sira (11 Juni 2004) pemakaian saput poleng pada arca
di catur/perempatan (persimpangan jalan) merupakan simbol pertemuan
antara akasa dan pertiwi yaitu pertemuan antara langin dan bumi , yang
keduanya adalah refleksi dari rwabhineda. Langit atau akasa merupakan
simbol tempatnya Dewata atau dunianya Tuhan yang disucikan, sedangkan
pertiwi atau bumi adalah dunianya manusia. Melalui arca atau catuspata
sering dilakukan pemujaan kepada Tuhan sebagai sarana yang
menghubungkan antara bumi dan langit. Bumi sebagai tempat manusia
merupaka wilayanh yang profan, wilayah biasa, sedangkan catuspata sebagai
pusatnya pemukiman atau pusatnya wilayah desat adat merupakan jalan
terdekat untuk berhubungan dengan langit yaitu wilayah yang suci (sakral).
Jadi bumi dihubungkan dengan dengan langit dengan catuspata melalui
arcanya yang menjulang tingg. Bumi atau pertiwi yang diyakinisebagai
wilayah profan dan lagit atau akasa sebagai wilayah sacral dihubungkan
dengan cataspata sebagai madyaing bhuana (pusatnya dunia).
Pertemuan antara akasa-pertiwi, sacral-profan, atau suci-leteh (bersihkotor), sebagai konsep rwabhineda, diungkapkan dengan saput poleng yang

Saput Poleng Dalam Kehidupan Umat Hindu di Bali

21

dililitkan pada arca di tengah perempatan agung ini. Apabila yang dililitkan
saput poleng rwabhineda, itu menyimbolkan akasa-pertiwi, sedangkan
apabila yang dililitkan saput poleng sudhamala hal itu berarti adanya
rwabhineda yang dihubungkan dengan penengah atau perantara. Dengan
demikian adanya rwabhineda janganlah dianggap pertentangan yang ekstrim,
namun yang perlu diartikan sebagai perbedaan yang akan membuat segala
sesuatu menjadi dinamis.
Arca dwarapala umumnya berbentuk raksana dengan senjata gada pada
salah satu tangannya. Gada adalah sejenis alat pemukul yang mirip pemukul
kasti untuk alat pukul jarak pendek. Sikap badanya digambarkan berdiri siap
memukul. Sehubungan dengan saput poleng yang dililitkan pada arca
dwarapala ini memiliki makna yang sama dengan saput poleng yang dipakai
oleh para pecalang, yaitu para penjaga atau kekuatan penjaga yang
diharapkan umat hindu telah mencerminkan kemampuan dwarapala untuk
nyelem-putihang keadaan (maksudnya membuat keadaan menjadi jelas,
hitam atau putih, kacau atau aman, buruk atau baik).
Arca penjaga yang mengenakan saut poleng di depan pura, merupakan
simbol rwabhineda antara di jeroan dan di jaba (wilayah pura dalam dan pura
luar). Artinya ada perbedaan nilai kesucian antara dua tempat tersebut. Jeroan
adalah wilayah yang telah dibatasi oleh tembok penyengker (tembok keliling)
yang pembangunanya telah mengalami penyucian melalui upacara pelaspasan
dan upacara-upacara lainnya untuk menghadirkan para dewa. Jadi area ini
dapat dikatakan sebgai area tempat persemayaman Tuhan, sebagai kawasan
suci yang pingit, yaitu tempat sacral. Sedangkan di luar jeroan ini diluar

Saput Poleng Dalam Kehidupan Umat Hindu di Bali

22

tembok penyengker adalah kawasan yang dihuni manusia, merupakan wilayah


kegiatan manusai sehari-hari, yakni jaba sisi sebagai wilayah profan.
Jadi pemakaian saput poleng pada arca-arca ini menyiratkan fungsi
penjagaan, yaitu untuk menjaga dua hal yang bertentangan yaitu menjaga
kesucian dari kekotoran, menjaga kebaikan dari keburukan, termasuk menjaga
kesakralan dari keprofanan.

2.6 SAPUT POLENG PADA POHON

(Saput Poleng Pada Tanaman)


Kehidupan masyarakat Hindu di Bali sangat tergantung pada ketiga hal pokok
yang terkait dengan parhayangan, pawongan dan palemahan. Umat Hindu meyakini
adanya satu Tuhan, selalu berhubungan denganNya melalui pemujaan yang
dilaksanakan di tempat suci yang disebut parhyangan. Hidup manusia tidak dapat

Saput Poleng Dalam Kehidupan Umat Hindu di Bali

23

dilepskan dari kehidupan social, yaitu hubungannya dengan manusia lainny,


pelaksanaan ini dicetuskan dalam konsep pawongan. Akhirnya alam lingkungan
sebagai tempat hidup dan tempat mendapatkan pemenuhan akan sumber daya alam
menjadi penting. Pengelolaan lingkungan ini rupanya diwujudkan dalam konsep
palemahan. Inilah sebabnya desa Pakraman sebagai satuan terkecil masyarakat
Hindu di Bali mengambil konsep tri hita karana sebagai inti desa pakraman itu.
Salah satu kearifan tradisional yang ada di Profinsi Bali adalah memelihara alam
yang dikaitkan dengan ajaran Agama Hindu,misalnya perayaan hari suci Tumpek
Kandang (upacara terkait binatang peliharaan atau binatang ternak), Tumpek
Pengateg atau tumpek bubuh (upacara yang terkait dengan pemeliharaan pohon),
upacara Biukukung (upacara pada tanaman padi yang mulai berbunga), dan upacaraupacara lainnya.
Selain upacara-upacara diatas banyak ditemukan phon tertentu yang dililit
dengan saput poleng. Dibawah pohon tersebut dilengkapi semacam palinggih
sebagai tempat pemujaan. Menilai pemakaian saput poleng pada pohon sebagai
upaya pengendalian sosialagar masyarakat tidak melakukan penebangan pohon
secara semena-mena.Disadari atau tidak oleh masyarakat apabila mereka melihat
sebuah pohon besar dililit dengan saput poleng, jangankan menebang pohonya
memetik daunnya saja mereka tidak berani, tanpa didahului permintaan ijin secara
sekala dan niskala. Secara sekala berarti meminta ijin secara nyata kepada pemilik
atau orang yang menjaga pohon itu kemudian diikuti oleh persembahyangan pada
palinggih yang ada dibawah pohon itu untuk meminta ijin secara niskala.
Persembahyangan tersebut dimaksudkan sebagai ungkapan terimakasih kepada
Tuhan kenena berkat anugrahNya pohon itu tumbuh sehingga memberikan manfaat
bagi manusia.

Saput Poleng Dalam Kehidupan Umat Hindu di Bali

24

Dengan demikian dapat dikataka ajaran Ketuhanan dalam Agama Hindu tidak
saja diterapkan dalam kehidupan umat terkait dengan hubungannya dengan Tuhan
(parhyangan), juga diterapkan dalam kehidupan umat dalam hubungannya dengan
lingkungan alam (palemahan) dalam hal ini untuk melestarikan tanaman/pohon.
Pelaksanaan suatu kegiatan yang didasari keyakinan yang tinggi, apalagi keyakinan
berdasarkan Ketuhanan, menjadikan kegiatan itu mencapai hasil yang lebih
memuaskan

BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
1. Saput poleng memiliki berbagai macam jenis, baik dari bentuk,
warna, ukuran dan kombinasi warna yang digunakan.
2. Penggunaan saput poleng berbeda-beda tergantung kebutuhan dan
kegunaannya.
3. Saput poleng dapat digunakan di arca atau pura (manusia dengan
Tuhan), dapat digunakan oleh manusia itu sendiri (manusia dengan
manusia), dan ke pohon atau alam sekitar (manusa dengan
lingkungannya)
3.2 SARAN-SARAN

Saput Poleng Dalam Kehidupan Umat Hindu di Bali

25

1. Sebaiknya filosofi tentang jumlah kotak putih yang lebih banyak


dalam setiap jenis saput poleng perlu disosialisasikan terutama ke
pembuat/tukang jahit yang membuatnya.
2. Sebaiknya penggunaan saput poleng anyar hanya digunakan ke halhal yang tidak berbau Upacara Keagamaan yaitu sebagai penutup
tiang rumah, hiasan dinding atau penutup meja.
3. Sebaiknya penelitian terhadap lontar-lontar yang menyangkut tentang
asal usul saput poleng lebih diperdalam agar didapatkan sejarah yang
jelas bagaimana awalnya saput poleng itu muncul

Saput Poleng Dalam Kehidupan Umat Hindu di Bali

26

Anda mungkin juga menyukai