PENDAHULUAN
atau sering melihat saput poleng atau kain yang bercorak hitam putih layaknya papan
catur. Baik di pura maupun di pohon atau bahkan ada umat Hindu yang sering terlihat
menggunakananya. Saput poleng sangat penting dan erat kaitannya dengan upacara atau
kehidupan sehari-hari umat Bali.
muda, biru dan yang lainnya pada saput poleng itu diperbolehkan?
Apa makna dari saput poleng itu sendiri?
Bagaimana penggunaan saput poleng itu sendiri dalam upcara keagaaman umat
BAB II
PEMBAHASAN
.
(Saput Poleng Rwabhineda)
tersebut saput poleng juga dikenakan oleh pecalang (penjaga keamana desa
adat/Pakraman), balian usada (pengobat tradisional), Jro Dalang (dalang wayang
kulit) dalam kapasitasnya sebagai pangruwat (penyucian).
Apabila warna poleng itu dilukiskan pada selembar kain maka terbentuklah
saput poleng. Jika warna polengnya terdiri dari warna putih dan warna hitam
terbentuklah saput poleng rwa bhineda. Jika warna polengnya terdiri dari warna
putih, warna hitam, dan warna merah, maka menjadi saput poleng tridatu .
Ada berbagai macam pengelompokan saput poleng yaitu berdasarkan : warna,
ukurannya, hiasannya,hiasan tepi, bahan, dan ukuran kotak-kotaknya sebagai
berikut.
1) Macam-macam saput poleng berdasarkan warnanya:
a. Saput poleng rwabhineda yaitu saput poleng yang berwarna putih
dan hitam.
b. Saput poleng sudhamala yaitu saput poleng yang berwarna putih,
hitam, dan abu-abu.
c. Saput poleng tridatu yaitu saput poleng yang berwarna hitam, putih,
dan merah.
2) Macam-macam saput poleng berdasarkan ukurannya adalah:
a. Lebar sekitar 90 cm x panjang sekitar 20 cm (utuh dalam gulungan
kain).
b. Lebar sekitar 100 cm x panjang sekitar 20 cm (utuh dalam gulungan
kain).
c. Lebar sekitar 90 cm x panjang sekitar 120 cm.
d. Lebar sekitar 100 cm x panjang sekitar 120 cm.
e. Lebar sekitar 50 cm x panjang sekitar 120 cm.
3) Macam-macam saput poleng berdasarkan hiasannya adalah:
a. Saput poleng tanpa hiasan tepi (saput poleng rwabhineda selalu
tanpa hiasan tepi, tidak pernah dijumpai dengan hiasan tepi).
b. Saput poleng dengan hiasan tepi pada salah satu sisi panjangnnya.
4) Macam-macam hiasan tepi saput poleng:
a. Tepi berwarna merah.
b. Tepi berwarna putih dengan pola hiasan Bali.
10
11
12
banyak saput poleng juga menjadi hiasan baik di alat-alat yang mendukung upacara
keagamaan itu maupun yang sama sekali tidakada hubungannya dengan upacara
keagamaan itu sendiri.
Ada beberapa poin mengenai kedudukan dan peranan saput poleng di masyarakat
Bali antara lain:
1. Pemakaian warna-warna dalam Agama Hindu memiliki arti yang sangat
penting yang dimanfaatkan oleh umat Hindu untuk simbol-simbol
keagamaan, yaitu sebagai sarana memusatan pikiran. Secara umum ada
sembilan warna yang digunakan sebagai simbolik Dewata Nawasanga.
Saput poleng sebagai perpaduan dua warna atau tiga warna juga memiliki
kedudukan penting sebagai simbol atau sarana memusatakan pikiran dalam
kaitannya melaksanakan kegiatan pemujaan dalam Agama Hindu. Dikatakan
penting karena dipakai di tempat tertentu dan oleh orang tertentu saja. Tentu
memiliki maksud mempunyai kelebihan khusus atau tugas yang spesial.
2. Kain poleng anyarmemiliki kedudukan yang kurang penting karena dipakai
pada sembarang tempat dan oleh sembarang orang dalam berbagai situassi.
Jadi kain poleng anyar merupakan pelegkap dari saput poleng.
3. Sejarah munculnya saput poleng belum ditemukan secara tertulis namun
masyarakat meyatakan mereka sudah mendapatkan demikian adanya.
Keterangan tertulis yang ada, terutama telah ditemukan rerajahan dengan
huruf Bali yang dilengkapi gambar-gambar saput poleng rwabhineda, paling
tidak telah menunjukan bahwa saput poleng telahdipakai ketika rerajahan
itu dibuat. Sejarah munculnya kain poleng anyar baru beberapa tahun
belakangan ini, yang merupakan kreasi baru untuk memenuhi rasa seni.
13
14
15
16
17
18
19
Pemakaian saput poleng oleh jro dalang mengandung arti bahwa Jro
Dalang melakukan tugasnya untuk melakukan penyucian, yaitu pembebasan
(pengrwatan) dari gangguan roh jahat bagi anak kecil yang lahir pada Wuku
Wayang.
Dengan demikian saput poleng yang pantas digunakan oleh jro dalang
adalah saput poleng sudhamala, sebab kata sudhamala sendiri berarti suci dari
kekotoran (mala).
4) Saput Poleng pada Arca
Seni arca di Bali sudah menjadi kekaguman para turis, hal ini terlihat
dari respon masyarakat yang memajang berbagai bentuk arcaatau patung di
sepanjang jalan raya yang sering dilalui turis. Tujuan pemajangan itu tiada lain
untuk menarik minat pembeli. Pulai Bali yang dikenal dengan nama Pulau
Seribu Pura, memiliki banyak pura, dan semua pura memiliki arca
didalamnya. Bagi umat Hindu arca merupakan salah satu sarana yang dipakai
untuk memusatkan pikiran kepada Tuhan atau salah satu manifestasiNya. Hal
ini dilakukan oleh kebanyakan Bhakta (Penyembah) yang tingkat
20
kerohaniannya masih rendah. Berbeda dengan Bhakta yang telah tinggi tingkat
kerohaniannya, merenka tidak lagi memerlukan sarana untuk memusatka
pikiran pada pujaann yaitu Sang Hyang Widhi (Tuhan).
Ada beberapa arca yang dihiasi saput poleng. Arca-arca tersebut diantaranya:
Arca di persimpangan jalan, arca-arca penjaga pintu (dwarapala), arca-arca di
ujung jembatan, arca yang dipasang di ulun pangkung (di hulu jurang), dan
arca-arca di tempat lainnya. Berdasarkan tabiatnya arca-arca dibedakan
menjadi dua jenis yaitu arca raudra dan arca santa (tenang, damai)
Menurut mangku sira (11 Juni 2004) pemakaian saput poleng pada arca
di catur/perempatan (persimpangan jalan) merupakan simbol pertemuan
antara akasa dan pertiwi yaitu pertemuan antara langin dan bumi , yang
keduanya adalah refleksi dari rwabhineda. Langit atau akasa merupakan
simbol tempatnya Dewata atau dunianya Tuhan yang disucikan, sedangkan
pertiwi atau bumi adalah dunianya manusia. Melalui arca atau catuspata
sering dilakukan pemujaan kepada Tuhan sebagai sarana yang
menghubungkan antara bumi dan langit. Bumi sebagai tempat manusia
merupaka wilayanh yang profan, wilayah biasa, sedangkan catuspata sebagai
pusatnya pemukiman atau pusatnya wilayah desat adat merupakan jalan
terdekat untuk berhubungan dengan langit yaitu wilayah yang suci (sakral).
Jadi bumi dihubungkan dengan dengan langit dengan catuspata melalui
arcanya yang menjulang tingg. Bumi atau pertiwi yang diyakinisebagai
wilayah profan dan lagit atau akasa sebagai wilayah sacral dihubungkan
dengan cataspata sebagai madyaing bhuana (pusatnya dunia).
Pertemuan antara akasa-pertiwi, sacral-profan, atau suci-leteh (bersihkotor), sebagai konsep rwabhineda, diungkapkan dengan saput poleng yang
21
dililitkan pada arca di tengah perempatan agung ini. Apabila yang dililitkan
saput poleng rwabhineda, itu menyimbolkan akasa-pertiwi, sedangkan
apabila yang dililitkan saput poleng sudhamala hal itu berarti adanya
rwabhineda yang dihubungkan dengan penengah atau perantara. Dengan
demikian adanya rwabhineda janganlah dianggap pertentangan yang ekstrim,
namun yang perlu diartikan sebagai perbedaan yang akan membuat segala
sesuatu menjadi dinamis.
Arca dwarapala umumnya berbentuk raksana dengan senjata gada pada
salah satu tangannya. Gada adalah sejenis alat pemukul yang mirip pemukul
kasti untuk alat pukul jarak pendek. Sikap badanya digambarkan berdiri siap
memukul. Sehubungan dengan saput poleng yang dililitkan pada arca
dwarapala ini memiliki makna yang sama dengan saput poleng yang dipakai
oleh para pecalang, yaitu para penjaga atau kekuatan penjaga yang
diharapkan umat hindu telah mencerminkan kemampuan dwarapala untuk
nyelem-putihang keadaan (maksudnya membuat keadaan menjadi jelas,
hitam atau putih, kacau atau aman, buruk atau baik).
Arca penjaga yang mengenakan saut poleng di depan pura, merupakan
simbol rwabhineda antara di jeroan dan di jaba (wilayah pura dalam dan pura
luar). Artinya ada perbedaan nilai kesucian antara dua tempat tersebut. Jeroan
adalah wilayah yang telah dibatasi oleh tembok penyengker (tembok keliling)
yang pembangunanya telah mengalami penyucian melalui upacara pelaspasan
dan upacara-upacara lainnya untuk menghadirkan para dewa. Jadi area ini
dapat dikatakan sebgai area tempat persemayaman Tuhan, sebagai kawasan
suci yang pingit, yaitu tempat sacral. Sedangkan di luar jeroan ini diluar
22
23
24
Dengan demikian dapat dikataka ajaran Ketuhanan dalam Agama Hindu tidak
saja diterapkan dalam kehidupan umat terkait dengan hubungannya dengan Tuhan
(parhyangan), juga diterapkan dalam kehidupan umat dalam hubungannya dengan
lingkungan alam (palemahan) dalam hal ini untuk melestarikan tanaman/pohon.
Pelaksanaan suatu kegiatan yang didasari keyakinan yang tinggi, apalagi keyakinan
berdasarkan Ketuhanan, menjadikan kegiatan itu mencapai hasil yang lebih
memuaskan
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
1. Saput poleng memiliki berbagai macam jenis, baik dari bentuk,
warna, ukuran dan kombinasi warna yang digunakan.
2. Penggunaan saput poleng berbeda-beda tergantung kebutuhan dan
kegunaannya.
3. Saput poleng dapat digunakan di arca atau pura (manusia dengan
Tuhan), dapat digunakan oleh manusia itu sendiri (manusia dengan
manusia), dan ke pohon atau alam sekitar (manusa dengan
lingkungannya)
3.2 SARAN-SARAN
25
26