P E K E R J A A N
U M U M
BADAN
PENELITIAN
DAN
PENGEMBANGAN
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN JALAN DAN JEMBATAN
Jl. Jend A.H Nasution No. 264 Kotak Pos 2 Ujungberung Telp. (022) 7802251 Fax. 7802726 Bandung 40294 e-mail:pusjal@melsa.net.id
Dipersiapkan untuk Bahan Ajar Perkuliahan Magister Pengelolaan Jaringan Jalan, Kerjasama
Pusbiktek PU Universitas Katolik Parahyangan, Bandung
Daftar Isi
1
2
Pendahuluan .................................................................................................................... 2
Parameter Geoteknik Lereng dan Tebing jalan .......................................................... 3
2.1 Kriteria Keseimbangan Beban Penyebab Keruntuhan Lereng dan Gaya Penahan
Geser ........................................................................................................................... 5
2.2 Horison Perlapisan Tanah dan Batuan terhadap Tipe Keruntuhan Lereng ................. 6
2.2.1 Tipe Keruntuhan Lereng Terkait dengan Pekerjaan Galian dan Timbunan didaerah Perbukitan.................................................................................................. 8
2.2.2 Tipe Keruntuhan Lereng Terkait Perubahan Sistim Drainase Tata Salir.............. 9
2.3 Bentuk dan Model Keruntuhan Lereng ..................................................................... 11
2.3.1 Keruntuhan Geser ............................................................................................... 11
2.3.2 Keruntuhan Amblasan......................................................................................... 11
2.3.3 Keruntuhan Deformasi ........................................................................................ 11
2.3.4 Keruntuhan Rambatan......................................................................................... 11
2.3.5 Erosi dan Penggerusan ........................................................................................ 12
2.3.6 Keruntuhan Lainnya ............................................................................................ 12
Tingkat Stabilitas Lereng daerah Topografi Perbukitan ......................................... 14
3.1 Prinsip Dasar Evaluasi Lereng / Tebing dalam Kondisi Kritis ................................. 14
3.2 Keruntuhan Lereng dan Tebing Jalan ....................................................................... 17
3.2.1 Umum.................................................................................................................. 17
3.2.2 Problem Keruntuhan akibat Pekerjaan Galian Tebing dan Timbunan Lereng
Jalan .................................................................................................................... 17
3.3 Perencanaan Ideal Konstruksi Galian dan Timbunan pada Daerah Topografi
Perpukitan ................................................................................................................. 18
3.3.1 Keseimbangan Batas antara Kuat Geser dan Masa Ketebalan Lapisan Tanah ... 18
3.3.2 Prinsip Penerapan analisa Kuat Geser terhadap Keseimbangan Batas Stabilitas
Lereng ................................................................................................................. 19
Faktor Penyebab Menurunnya Stabilitas Lereng...................................................... 21
4.1 Faktor Utama............................................................................................................. 21
4.2 Faktor Pemicu ........................................................................................................... 22
Prinsip Penerapan Aspek Geoteknik Dalam Perencanaan Tebing Galian dan
Lereng Timbunan Jalan ............................................................................................... 23
5.1 Keseimbangan Stabilitas Lereng Alam terkait dalam Pelaksanaan pekerjaan Galian
dan Timbunan ........................................................................................................... 23
5.2 Keseimbangan Sudut Kemiringan Lereng terkait antara Alam dan Lereng Lereng
Timbunan .................................................................................................................. 24
5.3 Keseimbangan Galian Tebing dan Lereng Timbunan Jalan terkait dengan Bentuk
Morfologi Lereng ...................................................................................................... 26
5.4 Keseimbangan Galian Tebing dan Lereng Timbunan Jalan terkait dengan Bentuk
Konfergensi Morfologi Lereng ................................................................................. 28
Aspek Geoteknik dalam Disain Galian Tebing dan Lereng Timbunan pada daerah
topografi perbukitan. .................................................................................................... 30
6.1 Karakteristik Topografi Lereng Perbukitan .............................................................. 30
6.2 Karakterisitk Propertis Material Tanah / Batuan ...................................................... 32
6.3 Identifikasi Nilai Propertis Karakteristik Material Batuan sebagai material dominan
yang membentuk Stratigrafi Lereng ......................................................................... 32
6.3.1 Pengamatan Lereng yang didominasi oleh Material batuan ............................... 32
Bahan Kuliah Geoteknik untuk Perncanaan Jaringan Jalan, Eddie Sunaryo, 2009
ii
Bahan Kuliah Geoteknik untuk Perncanaan Jaringan Jalan, Eddie Sunaryo, 2009
iii
Abstrak
Dua kondisi topografi didaerah perbukitan, antara bentuk morfologi dan kemiringan lereng
merupakan
indicator
utama
dari
bagian
aspek
geoteknik
yang
mempengaruhi
ketidakmantapan dalam suatu perencanaan jaringan jalan. Aspek geoteknik lainnya yang
mempengaruhi tingkat ketidakmantapan daerah perbukitan umumnya juga dipengaruhi oleh
adanya pola struktur geologi yang berada pada daerah tersebut dan juga dipicu oleh adanya
pola aliran air, baik air permukaan maupun air bawah permukaan yang pada umumnya
dipengaruhi oleh karakteristik dari distribusi tipe dan jenis pola vegetasinya. Ruas jalan yang
melalui daerah perbukitan sering mengalami keruntuhan akibat longsoran terkait dengan
aspek geotekniknya. Oleh karena itu, tingkat kemantapannya perlu dianalisa dengan mengkaji
aspek geoteknik kondisi tersebut. Hasil kajian memberikan suatu gambaran bahwa topografi
perbukitan dan karakteristik vegetasi mempengaruhi tingkat stabilitas disain lereng / tebing
jalan.
Abstract
Two hilly topographic conditions, steepness and convergence, are commonly cited as major
indicators of subsequent hillslope instability within the part of the geotechnical aspects on
influencing the plan programme of road network building. The geotechnical aspects causing
the levels of hillslope instability are commonly influenced by the geological structure
manners on these areas. The instability levels of hillslope are also dependant upon the
characteristics of the distribution of watershed either runoff or seepage which are differing
for the kindness of variety of the vegetation types. The Road segments pass through the
hillslopes commonly avoiding landslides due to the geotechnical aspects. Therefore, the level
of its slope instability needs to be analyzed by investigating its geotechnical aspects. The
investigation results produced the figures that the topography of hillslope conditions and the
characteristic distribution of the vegetation types are influencing the instability level of road
slope design.
Bahan Kuliah Geoteknik untuk Perncanaan Jaringan Jalan, Eddie Sunaryo, 2009
1 Pendahuluan
Kemiringan dan morfologi lereng, seperti bentuk konvergensi pada daerah topografi
pegunungan / perbukitan dapat memberikan gambaran tingkat kemantapan atau tingkat
ketidakmantapannya bilamana lereng dan tebing jalan didisain lebih besar dari kemiringan
lereng atau melawan bentuk morfologi pada umumnya. Bentuk morfologi dan kemiringan
lereng didaerah perbukitan ini diakibatkan oleh process pembentukannya dan sangat
dipengaruhi oleh beberapa factor akibat proses geologi yang berumur jutaan tahun seperti
proses pembentukan gunung api, pelapukan batuan, sedimentasi / transportasi material dan
adanya pola struktur: sesar, jointing, patahan dan lipatan perlapisan tanah / batuan penyusun
lereng.
Dengan demikian proses geologi membentuk topografi perbukitan / pegunungan, baik
kemiringannya maupun morfologi lerengnya. Proses geologi ini menjadikan struktur
perlapisanan tanah / batuan mempunyai variabilitas karakteristik dan tingkat kekompakan
yang berbeda. Oleh sebab itu, maka kemiringan morfologi lereng juga berbeda. Faktor lain
yang mempengaruhi tingkat stabilitas lereng dikarenakan oleh proses pelapukan. Percepatan
pelapukan dipicu akibat proses geologi (chemical processes) dan aktifitas kehidupan
(mechanical processes), seperti perubahan peruntukannya sehingga merubah tatanan
vegetasinya, dan selanjutnya sistim keseimbangan pola aliran menjadi terganggu antara air,
limpasan (runoff) dan air resapan (seepage).
Faktor utama yang mempengaruhi tingkat kemantapan dari suatu lereng atau tebing jalan
yang melalui daerah morfologi perbukitan ini, sangat tergantung dari manajemen pengelolaan
sistim tata lahan (termasuk Vegetasi). Ketidakseriusan dalam pengelolaan hutan akan
berdampak menimbulkan ketidakmantapan lereng / tebing jalan, seperti erosi lereng
permukaan, longsoran dan pendangkalan sungai yang pada musim hujan dapat
mengakibatkan banjir karena sungai tidak mampu menahan air limpasan / banjir.
Faktor lain yang perlu diperhitungkan dalam menganalisa kemantapan lereng pada pekerjaan
jalan didaerah pegunungan adalah dengan menganalisa beberapa kemungkinan yang
mengakibatkan tingkat kemantapannya menurun, misalnya: akibat adanya pekerjaan galian
maupun timbunan untuk memenuhi persyaratan standar disain yang disesuaikan dengan
alinyemen horisontal dan vertikal.
Bahan Kuliah Geoteknik untuk Perncanaan Jaringan Jalan, Eddie Sunaryo, 2009
Atas dasar tersebut, maka kemantapan jalan yang dibangun melalui daerah pegunungan /
perbukitan, tinjauan terhadap tingkat kemantapan lereng atau tebing jalannya sangat penting
untuk dianalisa terhadap kemungkinan bentuk keruntuhan / longsoran lereng / tebing yang
terjadi. Selanjutnya, hasil analisa bentuk keruntuhan ini akan memberikan gambaran aspek
geoteknik yang dominan seperti, pengelolaan dan pengamatan tipe dan jenis vegetasi, pola
aliran dan jenis material penyusun lereng. Dengan mengkaji aspek geoteknik tersebut maka
diperoleh masukan untuk menentukan metode penanganan dalam meningkatkan kemantapan
lereng / tebing jalan, misalnya dengan menerapkan metode seperti perlindungan lereng,
perkuatan gaya penahan, manajemen sistim tata-salir dan lainnya yang dapat lebih terfokus.
Hal lain yang juga sering menimbulkan permasalahan adalah dalam membangun jaringan
jalan didaerah dataran, baik dengan timbunan maupun at-grade. Permasalahan yang timbul
dikarenakan jaringan jalan tersebut umumnya melalui daerah endapan aluvial berupa tanah
problematik, seperti: tanah lunak organik, tanah gambut dan tanah ekspansif. Kasus
permasalahan yang terjadi pada timbunan jalan didaerah aluvial juga sangat kompleks,
disamping kejadian longsoran lereng timbunan juga kasus penurunan atau keruntuhan
timbunan dapat terjadi dan akan diuraikan pada volume 2.
Dengan demikian, ruas jalan dalam suatu jaringan jalan perlu dianalisa dan dievaluasi aspek
geotekniknya, baik pada daerah pegunungan / perbukitan maupun pada daerah dataran yeng
berupa endapan aluvial.
dengan kemampuan akselerasi kendaraan dalam melalui daerah tanjakan dan turunan (slope
gradient) untuk mencapai jarak henti yang aman.
Untuk memenuhi ketentuan persyaratan yang ditekankan memenuhi persyaratan standar
alinyemen horisonal dan vertikal, maka ruas jalan yang dibangun memerlukan pekerjaan
galian, urugan atau kombinasi antara galian dan urugan yang diperhitungkan volumenya lebih
kurang sama.
Dengan melihat kenyataan bahwa pembentukan topografi pegunungan itu berkaitan dengan
proses geologi yang terjadi pada jutaan tahun lalu, sehingga jenis tanah / batuan mempunyai
sifat karakteristik yang berbeda, maka tidaklah cukup penentuan alinyemen jalan hanya
berdasarkan keseimbangan volume galian dan timbunan. Dengan demikian, perlu
mempelajari aspek-aspek geoteknik sehingga dapat dicapai umur konstruksinya yang sesuai
dengan umur rencanan disainnya.
Perbedaan sifat-sifat karakteristik tanah dan batuan ini dipengaruhi oleh umur
pembentukannya, material yang terkandung, komposisi butiran yang terkandung, proses
pelapukan, kandungan unsur dan senyawa kimia serta unsur partikel yang terkandung
didalamnya. Beberapa sifat karakteristik yang dominan, baik secara sendiri maupun terdiri
dari beberpa dalam massa tanah / batuan tersebut akan mempengaruhi kekuatan dan
durabilitasnya sehingga tentunya akan mempengaruhi stabilitasnya. Nilai-nilai yang
mencerminkan kondisi tersebut dapat ditunjukan dan dibuktikan dengan mempelajari dan
melakukan pengujian terhadap parameter- parameter geotekniknya untuk digunakan sebagai
parameter disain perencanaan lereng galian dan timbunan.
Demikian pula dengan mempelajari parameter geoteknik tersebut akan membantu dalam
menentukan tingkat kemantapan jalan terhadap kemungkinan terjadinya keruntuhan /
longsoran. Sebagai contoh, misal jaringan jalan direncanakan sesuai dengan persyaratan
alinyemen standar, akan tetapi akan melalui daerah struktur geologi (lineasi patahan) dan
juga melalui batuan yang telah lapuk sempurna serta merupakan daerah sumber air
(akumulasi air), maka perlu dianalisa dan diveluasi tingkat kemantapannya.
Pada Gambar 1 diperlihatkan beberapa permasalahan longsoran yang terjadi didaerah
perbukitan, dimana beberapa tipe longsoran dapat diperlihatkan.
Bahan Kuliah Geoteknik untuk Perncanaan Jaringan Jalan, Eddie Sunaryo, 2009
Bahan Kuliah Geoteknik untuk Perncanaan Jaringan Jalan, Eddie Sunaryo, 2009
Kondisi keseimbangan dari efek perubahan pembebanan tersebut pada lereng disebut disebut
'neutral point' (Hutchinson, 1977). Neutral point adalah rasio perbandingan antara FK baru
terhadap FK lama (FK-1 /FK-0) untuk suatu titik tinjauan keseimbangan. Sebagai gambaran
dapat dijelaskan sebagai berikut bilamana bidang potensial longsornya telah dapat ditentukan:
1.
Pada penambahan pembebanan ditempatkan pada bagian kaki lereng yang berpotensial
longsor, maka akan berfungsi sebagai tambahan beban penahan sehingga FK-1/FK-2
juga meningkat.
2.
Pada penambahan pembebanan ditempatkan pada bagian atas lereng yang berpotensial
longsor, maka akan berfungsi sebagai tambahan beban pemberat sehingga FK-1/FK-0
juga menurun.
Dengan memperhatikan hal tersebut diatas, maka bilamana beban ditempatkan dan tidak
mengakibatkan perubahan faktor keamanan dimana FK-1/FK-0 = 1.0, disebut Neutral Point
atau titik keseimbangan beban dan kuat geser dalam keadaan kritis. Pada kondisi ini, dimana
ada sedikit gangguan maka FK-1/FK-0 < 1.0, artinya salah satu dari bentuk tipe keruntuhan
akan terjadi.
dinyatakan dengan lapisan tanah / batuan yang belum mengalami pelapukan (Grade 1).
Penjelasan detail terkait dengan tingkatan pelapukan tanah / batuan ditunjukkan dalam Table
1 mencakup sifat teknisnya dan Gambar 2 batuan dasarnya (batuan
batuan sedimen dan residual).
residual
Tabel 1.. Kondisi Stratigrafi Lapisan Tanah berdasarkan Tingkat Pelapukan Masa Batuannya
Kondisi
Deskripsi
Lapuk
Sempurna
(Tanah Residual)
Lapuk Kuat
Lapuk Sedang
Agak Lapuk
Segar
Lapisan
Horizon Tanah
Tingkat
Lapisan penutup
Lapisan penutup
Lapuk 100%
Lapuk 80%
Lapuk 100%
Lapuk 80%
Lapuk 50%,
terdapat material
hancuran
Batuan Segar
Batuan Segar
VI
IV
III
II
Gambar 2.. Horison Perlapisan tanah antara Batuan Sedimen dan Volkanik Residual
(McLean dan Gribble)
Bahan Kuliah Geoteknik untuk Perncanaan Jaringan Jalan,
Jalan Eddie Sunaryo, 2009
Berdasarkan penjelasan dari Tabel 1 dan Gambar 2, menujukkan bahwa karakteristik dari
masing masing perlapisan tanah / batuan tersebut mempunyai karakteristik propertis yang
berbeda terkait dengan tingkat pelapukannya sehingga kuat gesernyapun akan berbeda pula
akibat proses geologi.
Selama proses geologi, batuan dasar mengalami pelapukan, atau pembusukan (dekomposisi)
karena faktor-faktor alam seperti hujan dan es. Pelapukan batuan yang membentuk lempung
dan jenis tanah yang lain dapat terjadi dengan tiga cara: kimia, fisika dan biologi. Pelapukan
kimia merupakan pelapukan yang dominan terjadi pada daerah dengan curah hujan tinggi dan
temperatur tinggi seperti di Indonesia, sedangkan pelapukan fisika dikarenakan adanya
gangguan fisik misalnya pekerjaan tanah seperti pemadatan dan pelapukan biologis terjadi
pada tanah organik atau gambut.
Pada pelapukan kimia. Mineral yang terkandung dalam tanah / batuan terurai oleh larutan
unsur-unsur yang terdapat pada air hujan dan masuk ke dalam batuan melalui bidang
diskontinuitas (rekahan-rekahan). Proses ini disebut pelarutan (leaching) dan larutan terbawa
dalam air sungai dan kembali ke lautan, terkumpul menjadi zat-zat kimia.
2.
Longsoran berupa keruntuhan tebing akibat galian pada kaki lereng untuk mendapatkan
tebing galian jalan yang lebih tegak karena keterbatasan daerah milik jalan.
3.
Bahan Kuliah Geoteknik untuk Perncanaan Jaringan Jalan, Eddie Sunaryo, 2009
saluran penyalir dibawah jalan yang tidak berfungsi secara benar) sehingga perlu
dilakukan kajian disain, misalnya dengan mengevaluasi aspek geoteknik (masalah air
permukaan dan air tanah yang berada dalam sistim dan perlu dikendalikan) dalam
penerapan manajemen pelaksanaan pekerjaan. Kondisi demikian akan berakibat
longsoran lereng jalan akibat penjenuhan pada daerah terkonsentrasinya air dibawah
badan jalan.
2.2.2 Tipe Keruntuhan Lereng Terkait Perubahan Sistim Drainase Tata Salir
Disamping ketiga hal diatas, akibat pekerjaan galian dan timbunan pada daerah topgrafi,
terjadi longsoran lereng berupa keruntuhan timbunan akibat kemungkinan tidak berfungsinya
drainase (tata salir) yang masuk kedalam badan jalan.
Keadaan ini dapat terjadi karena tidak tercapainya nilai kepadatan sesuai standar spesifikasi
yang disyaratkan serta kemiringan lereng timbunan yang hampir tegak (Gambar 3) sehingga
stabilitasnya berkurang.
Pada Gambar 3 tersebut, diperlihatkan keruntuhan timbunan yang berfungsi sebagai bendung
dan tidak dipadatkan dengan semestinya serta mempunyai kemiringan lereng dan tinggi
timbunan tidak diperhitungkan terhadap faktor stabilitas. Kondisi ini juga terjadi pada
konstruksi timbunan yang berada pada daerah jenuh air seperti terbendungnya aliran air pada
daerah perbukitan atau timbunan pada daerah pasang surut.
Kondisi demikian akan berakibat menjadikan timbunan jenuh sehingga rentan terhadap
problem keruntuhan berupa longsoran lereng timbunan jalan.
Keruntuhan lereng pada timbunan secara penuh berkaitan dengan system drainase yang tidak
terkendali banyak dijumpai pada daerah yang telah mengalami perubahan ekosistimnya,
misalnya akibat penebangan hutan yang tidak terkendali, juga berubahnya fungsi lahan
dimana banyak dibangun permukiman tanpa dilengkapi dengan sumur sumur resapan.
Akibat yang ditimbulkannya adalah terganggunya keseimbangan tata salir antara air limpasan
dan resapan.
Bahan Kuliah Geoteknik untuk Perncanaan Jaringan Jalan, Eddie Sunaryo, 2009
Galian / pengurangan
beban pada lereng
Gambar 3.. Pendekatan analisa potensial longsoran lereng dikaitkan dengan pelaksanaan
pekerjaan untuk jalan (Finn
(
Krogstad, 1997)
10
Pada pemadatan dalam keadaan kering dan bila mengalami penjenuhan maka akan
terjadi regangan pengembangan dan bila beban maka akan mengalami penurunan.
2.
Pada pemadatan dalam kadar air optimum material akan mengalami britltle dan
berakibat timbul rekahan. Rekahan ini menjadikan tempat masuknya air yang berakibat
terganggunya stabilitas lereng.
11
mengalami gempa atau perubahan kemiringan lereng. Tanah tanah yang berupa butiran dan
tidak tersemen dengan baik (butiran halusnya sangat sedikit) sangat rentan terhadap
keruntuhan ini, Coulter and Migliaccio 1966, Chang 1978; Youd et al. 1984; and Harder
1988.
Debit air permukaan sangat besar dan bergerak langsung mengikuti kemiringan
lerengnya sedangkan bilamana kondisi tanah tidak tersemen sehingga terbawa larut.
2.
Lapisan tanah penyusun lereng mempunyai koefisien permeabilitas besar sehingga lebih
cepat mencari jalan keluar melalui lerengnya.
12
topples. Keruntuhan lereng pada kasus aliran, umunya terjadi akibat lapisan tanah penutup
bergerak terbawa oleh aliran air dan menjadi lumpur serta bergerak kebawah dengan
membawa semua yang ada dipermukaan lereng.
Wedges
13
Runtuhan Batuan
Selanjutnya
dilaporkan bahwa ketebalan tanah yang mengalami keruntuhan tersebut dipengaruhi oleh :
1.
Jenis material,
Tingkat pelapukan dan kondisi batuan atau lapisan tanah yang lebih kompak berada
dibawahnya. Hubungan antara ketebalan tanah dan rasio kemiringan lereng / tebing jalan
Bahan Kuliah Geoteknik untuk Perncanaan Jaringan Jalan, Eddie Sunaryo, 2009
14
diperlihatkan pada Gambar 9. Bila diasumsikan bahwa tebal lapisan tanah yang mengalami
keruntuhan seperti terlihat pada Gambar 9 tersebut,, maka semakin tegak lereng / tebing
galian untuk jalan, maka ketebalan tanah yang mengalami keruntuhan akan menjadi
berkurang.
Gambar 9.. Mode keruntuhan Lereng / Tebing Jalan untuk material tanah
2.
tersebut terlihat
hat bahwa ketebalan lapisan tanahtanh
tanahtanh kritis terhadap longsor
dengan sudut kemiringan lereng / tebing yang sama akan berkurang bila tingkat
kejenuhannya meningkat.
Ketebalan
tanah yang
mengalami
potensial
runtuh (ft)
Tidak Jenuh
Tidak Jenuh
Gambar 10.. Ketebalan Tanah yang mengalami keruntuhan dipengaruhi oleh kemiringan
lereng / tebingnya.
Bahan Kuliah Geoteknik untuk Perncanaan Jaringan Jalan,
Jalan Eddie Sunaryo, 2009
15
Ketebalan tanah yang mengalami keruntuhan tersebut, pada peta topografi dicirikan dengan
bentuk konvergensi dan diperlihatkan pada Gambar 11. Kondisi demikian umumnya terjadi
pada daerah perbukitan dan menyebabkan terjadinya longsoran alam. Dalam Gambar 12
tersebut dapat terlihat bahwa pengaliran air akan terakumulasi pada daerah yang membentuk
cekungan konvergensi. Bentuk topografi dengan pola konvergensi ini mencirikan tempat
berakumulasinya air, baik permukaan maupun bawah permukaan, sehingga perlu
pengendalian
ndalian yaitu dialirkan keluar dari cekungan konvergensi.
Bentuk peta topografi dalam suatu satuan sistim geomorfologi seperti diperlihatkan pada
Gambar 12, menunjukkan bahwa bentuk konvergensi tersebut (Gambar 12.b)
1
dapat
mempengaruhi lereng dibawahnya yang
yang berbentuk devergensi (Gambar 112.a dan 12.c).
Keadaan demikian dimungkinkan karena pada bentuk konvergensi tersebut merupakan
daerah tangkapan air, baik air permukaan maupun bawah permukaan.
. .
Gambar 11.. Bentuk Konvergensi Topografi permukaan mencirikan lokasi ketidakstabilan
ketidakstabilan,
Finn Krogstad 1997
Akumulasi
Gambar 12. Pengaruh bentuk Kovergensi Lereng (sebagai daerah terakumulasinya air)
terhadap Keruntuhan Lereng dalam sistim satuan geomorfologi.
geomorfologi
16
Bahan Kuliah Geoteknik untuk Perncanaan Jaringan Jalan, Eddie Sunaryo, 2009
17
Untuk lereng / tebing dengan kelandaian yang tidak telalu tegak umumnya mengalami
keruntuhan akibat erosi yang mngakibatkan terbentuknya alur alur. Untuk bentuk
keruntuhan demikian, penanganannya relatif mudah dan dapat diatasi dengan cepat, yaitu
dengan pelakukan proteksi / perlindungan permukaan serta pembenahan sistim tata salir
permukaan. Selanjutnya, bilamana tidak segera ditangani, maka akan menjadi masalah yang
cukup serius karena material akan terbawa air dan terakumulasi yang akhirnya dapat
menjadikan longsoran yang besar. Keruntuhan lereng demikian umumnya diakibatkan karena
terganggunya sistim tata salirnya dimana tidak dapat berfungsi sebagai proteksi lereng
permukaan dari proses penjenuhan materialnya.
Sebaliknya, bila topografi lereng mempunyai kelandaian yang cukup tegak, maka
penanganannya akan semakin sulit karena permasalahan yang mengakibatkan keruntuhan
menjadi sangat kompleks karena tidak hanya jenis tanahnya tetapi juga menurunnya FK
secara keseluruhan (terhadap keseimbangan gaya yang bekerja serta erosi lereng akibat air
atau angin).
Oleh karena itu, bilamana pekerjaan lereng / tebing jalan dengan menerapkan prinsip
keseimbangan antara galian dan timbunan tidak didisain secara cermat, artinya tidak
memeperhitungkan aspek geotekniknya dengan benar, maka akan mengalami keruntuhan.
3.3.1 Keseimbangan Batas antara Kuat Geser dan Masa Ketebalan Lapisan
Tanah
Seperti telah diutarakan sebelumnya bahwa stabilitas lereng dikontrol oleh Kekuatan Geser
dalam kemampuannya menahan beban dari berat masa tanah yang berada diatasnya.
Bahan Kuliah Geoteknik untuk Perncanaan Jaringan Jalan, Eddie Sunaryo, 2009
18
Bilamana material tanah dalam kondisi mengalami penjenuhan, maka beban masa tanah yang
harus dipikul menjadi semakin berat karena bertambah dengan berat masa air. Sedangkan
akibat pengaruh jenuh ini, maka Kekuatan Geser yang seharusnya mampu menahan berat
masa tanah tersebut berkurang karena diakibatkan adanya tegangan air pori yang tinggi.
Perlu diketahui tegangan air pori ini akan timbul secara siknifikan bila tanah dalam keadaan
jenuh dan akan semakin naik bila menerima pembebanan lebih dari masa tanah yang juga
dalam keadaan jenuh.
Dengan demikian, kekuatan geser tersebut dipengaruhi oleh nilai kohesifitas tanah yang
bekerja sepanjang bidang kritis yang diperkirakan mengalami keruntuhan. Berdasarkan hasil
studi oleh Taylor (1967), telah dibuktikan bahwa tanah dalam keseimbangan, nilai
kohesifitasnya dikontrol oleh kemiringan lereng dan ketebalan lapisan tanah.
Selanjutnya, Finn Krogstad (1997) mengaskan bahwa ketebalan lapisan tanah tersebut
merupakan pengaruh yang sangat dominan dalam menciptakan stabilitas lereng, karena
dalam keadaan jenuh berat masanya akan meningkat dan berakibat bertambahnya tegangan
air pori, sehingga nilai kohesi juga menjadi berkurang, (Gambar 10).
Keruntuhan tebing / lereng jalan yang bergerak secara progresif dalam satuan lereng alam
dan umumnya mempunyai ketebalan lapisan yang signifikan dan akan mempengaruhi
stabilitas yang lebih luas karena berat masa tanah akan terus bertambah. Untuk itu perlu
ditanggulangi
sedini
mungkin
sebagai
langkah
pencegahan
keruntuhannya
yang
19
geser dalam kondisi tegangan total (total stress) dan tegangan normal effektif (effective
normal stress) pada bidang runtuh seperti ditunjukan pada Gambar 13, diperlihatkan
perbedaan antara parameter kuat geser pada tegangan total (Total Stress) dan tegangan
effektif (effective stress).
Kriteria prinsip dasar yang harus diperhatikan untuk analisa stabilitas lereng adalah
mencakup antara lain: masalah beban yang bekerja (Loads), tegangan air pori (Pore pressure),
Zonasi Gempa (Earthquakes), perbedaan mendasar antara Kuat Geser dalam Puncak, keadaan
kritis and tidak (Peak, critical state and residual strength), perubahan tegangan (Stress
changes in slopes), penentuan Parameter kekuatan geser tanah sebagai factor aspek geoteknik
(Choice of strength parameters) dan penentuan factor Keamanan (Choice of factor of safety).
Gambar 13. Diagram Mohr yang menggambarkan terjadinya hubungan antara Kohesi, Sudut
Geser Dalam Tanah serta Tegangan Normal dalam keadaan bekerjanya Tegangan Total dan
Tegangan Effektif
Dalam Gambar 13 terdebut dapat dilihat bahwa dalam keadaan bekerjanya tegangan total
dan tegangan effektif dan dapat disimpulkan sebagai berikut:
Bahan Kuliah Geoteknik untuk Perncanaan Jaringan Jalan, Eddie Sunaryo, 2009
20
1.
S = c + tan
......................................................................... (Persamaan
2)
Dimana:
c dan = nilai kohesi dan Sudut Geser Dalam tanah
2.
and
= Tegangan Total dan Tegangan Air Pori (total normal stress and pore water
pressure)
21
1.
2.
3.
4.
Faktor Erosi
Erosi yang sangat berpengaruh adalah akibat air permukaan dan bawah permukaan dan
terkonsentrasi pada daerah yang mengalami keruntuhan. Pada daerah perlemahan seperti
daerah kekar dan batuan lapukan sempurna, akan mengurangi ikatan antar masa batuan
sehingga mengurangi nilai kekuatannya. Daerah dimana terakumulasinya material yang erosi
dapat menjadikan hambatan pengaliran air dan menaikkan tegangan air porinya.
2.
Air tanah
Air tanah yang berada pada masa batuan yang lapuk dan / atau teridentifikasi adanya kekar
kekar, maka akan mengakibatkan menurunnya nilai kuat geser yang bekerja pada daerah
kekar kekar sehingga pola ketidak selarasan batuan menurun dan berakibat tingkat stabilitas
lereng menjadi menurun.
3.
Temperatur
Bahan Kuliah Geoteknik untuk Perncanaan Jaringan Jalan, Eddie Sunaryo, 2009
22
4.
Perubahan Tegangan
Bilamana tegangan geser yang tinggi terjadi dalam masa batuan, seperti adanya pengurangan
tegangan horisontal akibat galian, maka akan mengalami kehilangan tegangan (release
stress). Kondisi demikian dapat dipicu bila tinggi tebing galian tidak cukup signifikan
terhadap stabilitasnya,, dalam hal ini sudut lereng galian harus diperhitungkan terhadap tinggi
lereng galiannya untuk mencapai stabilitasnya.
stabilitasnya
Lereng Alam
Gambar 14.. Keseimbangan Galian Tebing dan Lereng Jalan yang perlu direncanakan
dan dipelihara dalam mempertahankan stabilitasnya.
23
Perhitungan Faktor Keamanan (FK) untuk keseimbangan dalam mencapai stabilitas antara
tebing galian dan lereng timbunan jalan disarankan
disarankan untuk mengacu pada persamaan sebagai
berikut:
.................... (Persamaan 4)
Dimana :
qo = Beban dari kondidi dan tipem lahan (hutan dan tumbuhan)
= sudut kemiringan lereng
= Sudut Geser Dalam tanah
C = Kohesi tanah
Cr = kuat geser akar pohon
h = Ketebalan lapisan tanah yang diasumsikan akan runtuh
z = Ketebalan lapisan jenuh air
gw = Berat Isi air
gs = Berat isi tanah dalam keadaan jenuh air
24
Perbedaan tebing galian dan lereng timbunan yang terbentuk merupakan fungsi dari
kemiringan lereng alamnya, dimana semakin curam sudut lerengnya maka akan dijumpai
tebing galian dan lereng timbunan
timbunan yang semakin besar volumenya, artinya tinggi tebing
galian dan lereng timbunan harus diperhitungkan stabilitasnya terhadap stabilitas secara
keseluruhan..
Selanjutnya pada Gambar 15, diperlihatkan hubungan antara volume galian tebing dan lereng
timbunan dikaitkan dengan kemiringan lereng alamnya serta alinyemen jalan yang
disyaratkan.
Sudut Lereng, %
Gambar 16. . Volume Timbunan akan bertambah besar pada penimbunan dengan sudut
lereng timbunan yang semakin tegak.
25
Dari Gambar 16 tersebut dapat diperoleh kejelasan bahwa sudut lereng timbunan yang
terbentuk berupa curva asimtotis, dimana bila sudut lereng maksimum maka volume tanah
yang ditimbun semakin besar.
Kondisi lain yang mempengaruhi sudut lereng timbunan adalah tergantung dari jenis tanah
masing masing, sehingga bilamana sudut lereng alamnya mempunyai kemiringan 40%,
maka volume timbunan yang dapat diterapkan dengan kemiringan lereng 50% adalah 23
m3/m, tetapi bila kemiringan lereng timbunan direncanakan 60% maka volume timbunan
menjadi 18 m3/m. Demikian seterusnya, sehingga makin tegak kemiringan lereng timbunan
yang diterapkan, maka volume timbunan menjadi berkurang secara signifikan.
Yang perlu diperhatikan dalam pekerjaan galian tebing dan timbunan lereng jalan adalah
kejadian seperti diatas jarang termonitor sehingga baru akan disadari bila telah terjadi
longsoran.
Bahan Kuliah Geoteknik untuk Perncanaan Jaringan Jalan, Eddie Sunaryo, 2009
26
1.
2.
Mencoba menganalisa stabilitas tebing galian dan lereng timbunan berdasarkan konsep
konsep dasar yang telah diuraikan
diuraikan sebelumnya, seperti: menggambarkan kemungkinan
babarepa mode keruntuhan lereng, mengevaluasi tingkat stabilitas lereng dengan
mempelajari faktor penyebab,
penyebab baik utama maupun pemicu yang merupakan kriteria dasar
dalam menentukan aspek geoteknik dan diperlukan dalam perencanaan tebing galian dan
lereng timbunan jalan.
Dari uraian diatas, maka dapat diperoleh tiga (3) mode tinjauan yang perlu dievaluasi dalam
menggambarakan penentuan
tuan alinyemen jalan pada daerah topografi perbukitan dan
diperlihatkan pada Gambar 17,, yang menggambarkan tampak potongan, tampak atas dan
tampak depan.
.
Tampak potongan
Tampak Atas
Tampak Depan
Gambar 17. Volume timbunan untuk badan jalan yang diterapkan pada kondisi topografi
perbukitan yang bervariasi.
ariasi. Perbedaan alinyemen jalan mempunyai konsekuensi berbeda
disain kecepatan kendaraannya.
Bahan Kuliah Geoteknik untuk Perncanaan Jaringan Jalan,
Jalan Eddie Sunaryo, 2009
27
Dari Gambar 17 tersebut terlihat bahwa biaya konstruksi terhadap kemungkinan kemiringan
lereng (galian tebing dan / atau lereng timbunan) mengalami longsor juga berkaitan erat
dengan pengoperasian penggunaan alat berat, dimana bila Galian dan Timbunan volumennya
cukup besar maka diperlukan alat berat untuk mengerjakannya. Kondisi sebaliknya
penggunaan alat berat menjadi berkurang bila alinyemen jalan disesuaikan dengan kondisi
topografinya, walaupun biaya pengguna jalan (road user cost) akan naik.
Oleh sebab itu, alinyemen jalan harus didisain dan direncanakan antara ketiga kondisi
eksterm tersebut diatas, tinjauan terhadap alinyemen horizontal dan vertikal, tinjauan
terhadap potongan melintangnya untuk mengevaluasi stabilitas tebing galian dan lereng
timbunan terhadap aspek geotekniknya sehingga biaya konstruksi dan biaya operasi
pengguna jalan dapat berimbang.
Selanjutnya disarankan untuk perencanaan jalan harus disesuaikan dengan persyaratan
alinyemen dan diusahakan tidak menyimpang jauh dari betuk peta topografinya. Faktor lain
yang perlu diperhatikan, dalam menuju perubahan sesuai dengan peta topografinya,
alinyemen jalan harus direncanakan dengan super posisi / super elevasi untuk mengurangi
kecepatan berkendaraan karena perpindahan pergerakan.
Bahan Kuliah Geoteknik untuk Perncanaan Jaringan Jalan, Eddie Sunaryo, 2009
28
Untuk memenuhi kebutuhan diatas, dimana kendaraan berat dapat dioperasikan, maka perlu
diterapkan diasin galian tebing dan lereng timbunan yang dapat mengakomodasi, yaitu
dengan merencanakan tebing galian yang cukup tinggi dan lereng timbunan yang cukup
dalam agar diperoleh ruang gerak bebas yang cukup besar untuk badan jalan walaupun akan
menjumpai konsekuensi perlu analisa stabilitas lereng. Dalam hal ini aspek geoteknik sangat
diperlukan karena dengan menggunakan parameter kuat geser geoteknik akan dapat dianalisa
stabilitas lerengnya dan tidak menutup kemungkinan diperlukan konstruksi bangunan
perkuatan / penahan.
Hal utama yang perlu diperhatikan yaitu bahwa daerah konvergen ini umumnya tidak cukup
stabil / mantap, karena merupakan daerah berakumulasinya air (permukaan dan bawah
permukaan), berkumpulnya material bawaan (sedimen) dan potensial keruntuhan lereng
terjadi didaerah ini. Untuk itu, konstruksi tebing galian dan lereng timbunan yang
direncanakan akan dibuat di daerah konfergen ini, perlu mempertimbangkan hal hal sebagai
berikut untuk menghitung volume timbunan yang diperlukan pada daerah konfergen
diperhitungkan terhadap:
1.
2.
3.
4.
Atas dasar ketentuan diatas maka volume timbunan untuk mengakomodasi lebar jalan
didaerah konfergen topografi pegunungan, diperoleh berbagai macam pilihan alinyemen jalan
tergantung dari parameter kecepatan berkendaraan untuk memenuhi kriteria aman, nyaman
dan ekonomis bagi pengguna jalan serta dikolaborasikan dengan perencanaan stabilitas lereng
dengan menerapkan parameter geoteknik yang mendominasi atau yang mempengaruhinya,
misalnya jenis tanah / batuan, sistim tata-salir, geologi struktur dan lain sebagainya.
Selanjutnya dapat disimpulkan bahwa timbunan jalan di daerah topografi konfergen ini lebar
dan panjang timbunan yang dapat direncanakan sangat tergantung dari radius putar yang
diperlukan untuk kendaraan dapat melewatinya dan stabilitas lereng galian / timbunan atau
mengikuti morfologi lerengnya dengan menerapkan analisa stabilitas lereng menggunakan
parameter geoteknik yang benar.
Bahan Kuliah Geoteknik untuk Perncanaan Jaringan Jalan, Eddie Sunaryo, 2009
29
Kondisi sisitim tata salir, air permukaan (run off), bawah permukaan groundwater dan
rembesan (seepage)
2.
3.
4.
sifat
karakteristik
material
baik
saat
ditemui
maupun
kejadian lapangan lainnya yang mempengaruhi stabilitas lereng, termasuk hal hal
sebagai beriktu:
a. effek dari gempa, akibat gempa maka terjadi pergeseran yang dapat diamati
adanya retakan retakan. Bila ditelusuri maka akan diperoleh bidang
perlemahannya yang dicirikan sebagai bidang gelincir (Gambar 18, adanya
Longsoran yang merupakan dampak dari efek terjadinya gempa).
Bahan Kuliah Geoteknik untuk Perncanaan Jaringan Jalan, Eddie Sunaryo, 2009
30
b. berada pada daerah patahan yang besar atau sesar mendatar (Gambar 19,
patahan horisontal) dan berdampak menimbulkan longsoran besar).
31
2.
3.
4.
Penggunaan material yang berasal dari galian tebing dan akan digunakan sebagai
timbunan, perlu dianalisa kemungkinannnya sebagai timbunan dengan memperhitungkan
beberapa disain pemadatan:
a. Kecepatan dan metode pemadatannya
b. Penentuan kadar air optimum dan nilai kepadatannya dilapangan sebagai
deisain parameter kepadatan dilapangan.
5.
Masalah stabilitas bila ditempatkan didaerah seperti pada lokasi konfergen, dimana
lapisan tanahnya sangat kompresibel karena berada pada lembah yang dalam.
Bahan Kuliah Geoteknik untuk Perncanaan Jaringan Jalan, Eddie Sunaryo, 2009
32
1.
mengidentifikasi adanya patahan lokal sebagai akibat effek yang diaibatkan dari patahan
regionalnya, yaitu dengan mengamati batuan muda yang berada dipermukaan.
2.
meneliti beberapa komposisi dan geometri (arah dan kemiringannya / strike and dip
direction) dari adanya kekar / rekahan (joint), patahan (Fault), lipatan (Fold), sesar (shear
zones) dan perlapisan batuan (bedding).
2.
33
Hal utama yang perlu diketahui adalah, sebelum melakukan serangkaian laboratorium test,
hasil pemboran yang berupa inti batuan telah di kalsaifikasi dan dibuat stratigrafinya.
Laboratorium test yang disarankan sesuai dengan tujuan dan jenis testnya di perlihatkan pada
Table 3 yaitu meliputi : kekuatan (strength), Deformasi (Deformability), dan karakterisasi
(Characterization)
Tabel 2. Tujuan dan Jenis Test Lapangan (in-situ test) untuk lereng yang terdiri dari sebagian
besar material batuan
Summary of Purpose and Type of Field Test Rock
Bahan Kuliah Geoteknik untuk Perncanaan Jaringan Jalan, Eddie Sunaryo, 2009
34
Bahan Kuliah Geoteknik untuk Perncanaan Jaringan Jalan, Eddie Sunaryo, 2009
35
perhatian adalah pengaruh akibat gempa baik dari tektonik maupun gunung api, Sukamto &
Pubo-Hadiwijoyo, (1997).
Berdasarkan kondisi tersebut maka pengamatan karakteristik propertis material pembentuk
lereng (batuan dan tanah) menjadi sangat penting. Umumnya (utamanya di daerah tropis),
jenis tanah dibedakan sebagai dua kondisi: tanah vulkanik dan tanah problematik.
volkanik pada beberapa daerah menghasilkan tanah yang berbeda dengan daerah lain yang
tidak terdapat kegiatan volkanik. Tanah volkanik ini dibedakan menjadi tanah residual dan
tanah transported.
Tanah volkanik residual di Indonesia terbagi dalam dua kelompok (Wesley, 1973):
1.
Tanah yang sedikit mengalami pelapukan pada daerah dataran tinggi mempunyai warna
abu-abu gelap sampai hitam, terdapat di dekat permukaan karena kandungan organiknya
tinggi dan di bawah ini sampai kedalaman 50 m berupa lempung berwarna coklat
kekuningan. Tanah ini dikenal sebagai andosol dan mineral-mineral lempung utamanya
adalah allophone.
2.
Tanah yang sudah merupakan material dengan pelapukan yang tinggi dan terdapat pada
daerah dataran rendah, dikenal sebagai latosol yang merupakan lempung berwarna merah
dan umumnya hanya mencapai kedalaman 10 m dan mengandung mineral lempung
utama halloysite.
Bahan Kuliah Geoteknik untuk Perncanaan Jaringan Jalan, Eddie Sunaryo, 2009
36
2)
3)
4)
debu vulkanik;
5)
Dari lima jenis tanah yang tertransportasi tersebut di atas, di Indonesia hanya dapat
ditemukan 3 jenis, dan karakteristiknya diuraikan dibawah ini.
Bahan Kuliah Geoteknik untuk Perncanaan Jaringan Jalan, Eddie Sunaryo, 2009
37
1.
Debu Vulkanik
Tanah debu vulkanik kebanyakan terdapat pada pulau-pulau bergunung api di Indonesia.
Debu vulkanik yang pada umumnya terdiri dari partikel-partikel berukuran lanau bercampur
dengan partikel berukuran debris dan banyak terdapat pada daerah perbukitan yang telah
terlapukan membentuk tanah volkanik residual.
2.
Tanah Koluvial
Deposit-deposit tanah, yang tertransportasi karena gravitasi, disebut deposit koluvial. Ciri
khas sedimen yang tertransportasi karena gravitasi adalah adanya beberapa pengurangan
akibat tumbukan, membentuk partikel-partikel yang menyudut dan cenderung terpilah buruk
dan biasanya luas.
Pada daerah topografi lereng perbukitan, banyak dijumpai keruntuhan / longsoran seperti,
aliran lumpur (mudflows) dan longsoran deposit (avalanches deposit) merupakan jenis tanah
ini. Tanah yang terdiri dari tanah berbutir halus sampai bongkah dan kemudian terlapukan
membentuk tanah residual yang baru.
3.
Tanah yang terendapkan oleh air termasuk aluvial dan endapan laut. Endapan ini banyak
terdapat pada dataran aluvial, pantai dan dataran pantai pulau-pulau besar seperti Jawa,
Sumatera, Kalimantan dan Papua Barat. Bagian atas endapan ini pada umumnya berumur
Holosen dan lapisan ini biasanya terdapat di atas lapisan yang lebih keras/kaku yang berumur
lebih tua yaitu Pleistosen.
Muatan dasar (bed-load) utama dari partikel-partikel besar yang mengalami pengikisan
disertai dengan mineral-mineral halus lempung yang mengambang (suspended-load), lanau,
dan partikel-partikel organik yang terjadi akibat dari aksi kimia air. Ketika sedimentasi terjadi
pada lingkungan air tawar, maka terbentuk endapan lakustrin. Jika elektrolit rendah berarti
tingkat sedimentasi juga rendah, dan akan terjadi pemilahan yang tinggi pada partikelpartikelnya. Kandungan lanau dan partikel-partikel sedimen lempung yang lebih besar akan
keluar dari larutan (suspension) dengan sendirinya, sementara partikel-partikel yang lebih
kecil akan berkumpul.
Bahan Kuliah Geoteknik untuk Perncanaan Jaringan Jalan, Eddie Sunaryo, 2009
38
Tanah Ekspansif
Tanah Lunak
Tanah yang mempunyai nilai kuat geser sangat kecil dan kompressibilitas sangat tinggi.
Tanah lunak ini biasanya terdiri dari tanah kohesif yang bercampur dengan material organik
dan gambut. Umumnya dijumpai pada daerah dataran rendah dan merupakan endapan
sedimen lokal atau endapan yang berasal dari pembusukan tumbuhan dan material endapan
pantai / danau. Ketebalan tanah lunak ini dapat mencapai 30 sampai dengan 40 meter.
Didaerah perbukitan dibeberapa tempat juga dijumpai, misalnya pada daerah konfergen,
sehingga dapat diidentifikasi sebagai daerah yang labil. Maka dalam analisa karena
perbedaan karakteristiknya telah disepakati bahwa tanah lunak organik dipisahkan dengan
tanah gambut.
3.
Tanah / batuan yang tidak stabil (serpih, batulumpur, batu lempung, napal)
Sebagai material lereng banyak dijumpai rekahan, sifat mengembang yang juga besar dan
kuat geser yang kecil sehingga bila digunakan sebagai material timbunan mempunyai sifatsifat kembang susut besar, daya dukung kecil dan sulit dipadatkan.
39
40
Untuk mengetahui material properties batuan dapat diperoleh dari pengujian lapangan atau
laboratorium, seperti uraian pada butir 6.3.3, dan detailnya pada Tabel 2,3 dan 4 yang antara
lain meliputi:
1.
2.
seismic velocity; untuk menentukan tahanan jenis batuan sehingga dapat dikorelasikan
ke tipe dan jenis batuannya, kekuatannya, serta sifat teknis lainnya.
3.
4.
kekuatan geser
41
Tabel 4. Uraian Penjelasan Tipe dan Mode Keruntuhan Tebing Galian dan Timbunan Jalan
a.Keruntuhan Blok dalam satu
bidang perlemahan (Single Blok /
single sliding plane)
b.Keruntuhan Blok bertangga
dalam bidang lapisan yang
berkaitanbidang perlemahan
c.Keruntuhan Beruntun blok
dengan banyak bidang
perlemahan
d.Keruntuhan Baji dengan dua
bidang perlemahan
Orientasi dan dimensi (bentuk dan ukurannya) dari struktur geologi yang dijumpai.
Bahan Kuliah Geoteknik untuk Perncanaan Jaringan Jalan, Eddie Sunaryo, 2009
42
2.
Kuat geser dari massa batuan dengan kondisi adanya pengaruh ketidak selarasan yang
dijumpai pada struktur geologi.
2.
3.
Ruang kosong dan material pengisinya yang terdapat antara blok masa batuan
4.
Biaya penyiapan contoh relatif mahal, karena disamping permasalahan saat mengambil
contoh batuan yang akan diuji juga diperlukan jumlah yang cukup besar sebagai
persyaratan agar dapat mewakili.
2.
Tidak semua laboratorium dilengkapi dengan pengujian (test) untuk batuan, karena
menyiapkan contoh tidak terganggu (undisturbed sample) serta memerlukan alat
laboratorium yang mempunyai kapasitas pembebanan besar sehingga dapat mengukur
kuat geser batuan.
3.
Tidak semua laboratorium yang dilengkapi dengan laboratorium batuan ini telah
memeperoleh akreditasi dan sertifikasi.
4.
5.
Pedoman teknis atau standar uji untuk pengujian batuan juga masih tidak selengkap
laboratorium tanah
Bahan Kuliah Geoteknik untuk Perncanaan Jaringan Jalan, Eddie Sunaryo, 2009
43
7.1.4.2 Penerapan Rock Mass Classification sebagai Data Kelayakan untuk analisa
stabilitas batuan
Berdasarkan hambatan tersebut diatas, maka perlu dilakukan penilaian awal dari stabilitas
lereng batuan. Metode yang telah dikenal untuk keperluan ini adalah dengan menerapkan
kajian terhadap masa batuan menggunakan metode Rock Mass Classification System, dan
ada dua (2) cara yang dapat diacu Norwegian Q - System dan RMR System.
Metode tesebut diterapkan berdasarkan penilaian kondisi terhadap pengamatan visual
dilapangan dan pengukuran dip strike / direction serta detail dari penerapannya dapat
dijelaskan oleh Hoek and Bray (1981) dan telah dipresentasikan oleh Eddie Sunaryo (1994).
Secara garis besar dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.
Norwegian Q System
Metode ini diterapkan untuk menilai kualitas dari masa batuan ditinjau secara pengamatan
visual dengan mengukur tujuh (5) parameter yang dipresentasikan dalam formula sebagai
berikut:
Q = (RQD / Jn) x (Jr / Ja) x Jw / SRF ................................................................(Persamaan 5).
Dimana:
Q
= Rock Quality Design, bernilai antara : 10 s/d 100, biasanya dapat diambil dari nilai
bor inti (core drilling)
Jr
Jw
Jn
Ja
= Joint Alteration Number (tergantung dari : rekahan kontak atau ada material pengisi
dan Sudut Geser Dalam Batuan)
Bahan Kuliah Geoteknik untuk Perncanaan Jaringan Jalan, Eddie Sunaryo, 2009
44
Selanjutnya, Rock Mass Rating dapat dihitung dengan persamaan yang disarankan oleh
Bienewski (1976, 1989) sebagai berikut:
RMR = 9 log Q + 44 ...............(Persamaan 6)
2.
RMR system disarankan oleh Bieniewski (1989) dan diuji coba untuk menilai kondisi
kemungkinan dapat diterapkan terowongan pada perbukitan batuan di Pennsylvania oleh
Wyllie (1992). Metode RMR system ini memungkinkan untuk mengukur parameter batuan
sebagai berikut:
1.
2.
Melakukan karakterisasi tipe dan jenis rekahan dari hasil peta (geology) dan hasil
pemboran dan kondisi muka air tanahnya.
Dari dua cara diatas dalam menentukan RMR batuan, maka sebagai keuntungannya, dapat
dikorelasikan untuk mendapatkan modulus elastisitas dari batuan tersebut, yaitu :
1.
Bieniewski (1989)
2.
Bila 20 < RMR < 80 .... maka: Modulus Elastisitas (Em) = 10 (RMR 10)/40, menurut
Serafin dan Pareira (1983).
Bahan Kuliah Geoteknik untuk Perncanaan Jaringan Jalan, Eddie Sunaryo, 2009
45
46
Bidang gelincir
Gambar 21.. Tipe Keruntuhan Lereng Timbunan Jalan pada topografi Pegunungan yang
didominasi oleh material tanah
Sepertihalnya pada lereng Batuan, berbagai jenis Longsoran (Keruntuhan Tebing / Lereng)
Le
juga terjadi pada lereng tanah. Sebagai ilustrasi diperlihatkan kemungkinan kemungkinan
bentuk keruntuhan dan diperlihatkan Gambar 22 sebagai longsoran material debris, Gambar
23 sebagai longsoran rayapan (slump), Gambar 24 sebagai Longsoran Lereng / tebing berupa
runtuhan Rangkak (Creep) dam Gambar 25. Sebagai longsoran lahar/ aliran lumpur.
47
48
7.2.2 Aspek Geoteknik sebagai Persyaratan Desain Tebing Galian dan Lereng
Timbunan
Berbeda dengan lereng batuan, maka untuk lereng tanah diperlukan peninjauan aspek
geoteknik yang berkaitan dengan kekuatan gesernya yang sangat dipengaruhi oleh sifat sifat
karakteristik propertisnya.
Untuk memperoleh parameter geoteknik sebagai persyaratan
persyaratan aspek geoteknik yang harus
diperoleh dalam analisa
nalisa stabilitas lerengnya harus memeprehatikan factor factor sebagai
berikut:
1.
Meninjau tiga (3) kondisi keadaan: untuk keperluan disain, pada saat pembebanan
bekerja dan pada masa pelayanannya.
pelayanann
2.
Menganalisa stabilitas lerengnya berdasarkan dalam tiap kondisi diatas meliputi empat
(4) tahapan:
a. Selama dan akhir konstruksi pelaksanaan
b. Kondisi bekerjanya pengaruh lingkungan (air, cuaca dsb)
c. Sistim bekerjanya tata salir
d. Beban gempa
49
2.
Bahan Kuliah Geoteknik untuk Perncanaan Jaringan Jalan, Eddie Sunaryo, 2009
50
Gambar 26. Sistim Pengujian Kuat Geser : UU-test, CU-test dan CD-test (EM 1110-2-1802)
7.3 Hal Utama Aspek Geoteknik untuk Analisa Tebing dan Lereng jalan
7.3.1 Mengakomodasi Informasi Yang Mempengaruhi Penentuan Aspek
Geoteknik
7.3.1.1 Informasi Umum
Besar volume dan arah kemiringan serta kelinggian lereng yang akan di disain sebagai tebing
galian dan / atau lereng timbunan perlu dikaji dengan mempertimbangkan faktor stabilitas
Bahan Kuliah Geoteknik untuk Perncanaan Jaringan Jalan, Eddie Sunaryo, 2009
51
lereng dan perubahan FK (factor keamanan) serta factor factor pemicu terjadinya
keruntuhan.
7.3.1.2 Infromasi Khusus
Informasi khusus dapat diperoleh baik berdasarkan data sekunder maupun data primer,
seperti :
1.
Mengkaji peta peta dan informasi lapangan dari berbagai sumber dan mempelajari bentuk
dan pola peta topografinya dengan mengidentifikasi pola peta ketinggian (countour) yang
berbentuk konvergen.
2.
Penentuan titik titk penyelidikan untuk memperoleh parameter geoteknik baik secara
langsung dilapangan maupun melalui serangkaian pengujian laboratorium. Contoh kajian
dalam menentukan titik titik penyelidikan diperlihatkan dalam Gambar 27.
4.
Menentukan Stratigrafi Lapisan Tanah dan Asumsi Bidang Keruntuhan pada Lereng
Topografi Alam
Dari hasil pemboran dapat diperoleh informasi masing masing jenis perlapisan tanah /
batuan, sehingga dengan didukung dari hasil pengujian laboratorium serta lapangan seperti
Duch Cone Penetrometr, Vane Shear test serta Pressure Meter, dapat digambarkan Stratigrafi
perlapisan Tanah / batuan. Selanjutnya dengan mengamati jenis lapisan tanah / batuan dan
ditunjang dari pengamatan instrumentasi yang dipasang, seperti pisometer (piezometer) dan
inclinometer, maka akan diperoleh bidang keruntuhannya.
Dari data pisometer diperoleh distribusi tekanan air pori pada kedalaman tertentu yang
dikehendaki serta dari inclinometer akan diperoleh bidang gelincir yang ditenggarai adanya
Bahan Kuliah Geoteknik untuk Perncanaan Jaringan Jalan, Eddie Sunaryo, 2009
52
pembengkokan pada cassing inclinometer tersebut. Adapun hasil evaluasi dalam menentukan
stratigrafi lapisan tanah diperlihatkan pada Gamabar 28.
Keuntungan diperoleh dengan mengevaluasi lereng alamnya setelah pada pengamatan
lapangan terlihat adanya masalah ketidakstabilan lereng yaitu dengan ditemukannya rekahan
rekahan yang mencirikan adanya longsoran.
BM1
PIEZOMETER (pz)
1/2L
BM2
L
pz
1/2L
JALAN RAYA
pz
JALAN RAYA
BM3
TITIK BOR
BM4
Bahan Kuliah Geoteknik untuk Perncanaan Jaringan Jalan, Eddie Sunaryo, 2009
53
Casing
Casing
DETAIL A
Tanah
Lapisan Keras
Gambar 28. Lapisan Stratigrafi dan Perkiraan Bidang gelincir yang terjadi
kenyataannya disain galian tebing dan / atau lereng timbunan jalan berkaitan erat dengan
persyaratan Alinyemen jalan sehingga pekerjaan galian tebing dan / lereng timbunan tidak
bisa terelakkan.
Bahan Kuliah Geoteknik untuk Perncanaan Jaringan Jalan, Eddie Sunaryo, 2009
54
Stabilitas Tebing Galian dan Lereng Timbunan sangat tergantung dari stratigrafi horison
perlapisan tanah, dimana dapat dibagi menjadi enam (enam) tingkatan dari batuan fresh
(level 1 : Batuan segar (Fresh Rock)) dan batuan yang telah mengalami pelapukan
sempurna (level 6 : Batuan Lapuk sempurna (completelly Weathered)).
2.
Perencanaan lereng jalan (tebing galian dan lereng timbunan serta ruas jalan yang
melalui lereng alam) perlu dianalisa stabilitasnya dengan memperhitungkan aspek
geoteknik, selain dengan menerapkan prinsip keseimbangan galian dan timbunan dan
konvergensi morfologi lerengnya.
3.
Stabilitas tebing galian dan lereng timbunan jalan antara material batuan dan tanah
dianalisa dan dievaluasi dengan pendekatan berbeda karena stabilitas lereng batuan
dikontrol oleh pola ketidakselarasan atau discontinuity patern struktur geologinya,
sedangkan stabilitas lereng tanah dikontrol oleh kuat geser yang bekerja pada bidang
gelincir dalam menahan beban berat tanah diatasnya.
4.
Karakteristik bentuk dan tipe longsoran yang terjadi juga berbeda antara batuan dan
tanah, dimana pada batuan keruntuhan terjadi akibat hilangnya / berkurangnya stabilitas
ikatan masa batuan akibat adanya perubahan discontinuity pattern, seperti kekar,
perlapisan, patahan dan joint joint penghubung masa batuan, sedangkan pada lereng
tanah tidak demikian, umumnya terjadi karena perubahan morfologi (konvergensi) dan
sistim keseimbangan lingkungan seperti air permukaaan dan air tanah.
8.2 Saran
1.
Pemisahan desain tebing galian antara batuan dan tanah dianalisa secara terpisah
walaupun menurut geologi tanah adalah bagian dari batuan yang telah mengalami
lapukan sempurna.
Bahan Kuliah Geoteknik untuk Perncanaan Jaringan Jalan, Eddie Sunaryo, 2009
55
2.
Longsoran lereng pada batuan disarankan untuk ditangani dengan membuat sudut tebing
gailannya dibuat berlawanan dengan kemiringan orientasi dari discontinuitu pattern
yang utama.
3.
Daftar Referensi
Bishop, A. W. 1955. The Use of the Slip Circle in the Stability Analysis of Slopes,
Geotechnique, Vol 5, No. 1, pp 7-17.
Bjerrum, L. 1973. Problems of Soil Mechanics and Construction on Soft Clays and
Structurally Unstable Soils (Collapsible, Expansive and Others). Proceedings of the Eighth
International Conference on Soil
Brunsden D., "Mass movement, in Processes in Geomorphology", ed. C. Embleton and J.
Thornes, Edward Arnold, London, 1979, pp. 130-186.
Brunsden, D., "Landslides and the International Decade for Natural Disaster Reduction: do
we have anything to offer. Landslides Hazard Mitigation", Royal Academy of Engineering,
June 1993, London, 1995, pp 8-18.
Casagrande, A. 1936. Characteristics of Cohesionless Soils Affecting the Stability of Slopes
and Earth Fills, Originally published in Journal of the Boston Society of Civil Engineers,
reprinted in Contributions to Soil Mechanics 1925-1940, Boston Society of Civil Engineers,
pp 257-276.
Bahan Kuliah Geoteknik untuk Perncanaan Jaringan Jalan, Eddie Sunaryo, 2009
56
Celestino, T. B., and Duncan, J. M. 1981. Simplified Search for Non-Circular Slip
Surfaces, Proceedings, Tenth International Conference on Soil Mechanics and Foundation
Engineering, International Society for Soil Mechanics and Foundation Engineering,
Stockholm, A.A. Balkema, Rotterdam, Holland, Vol 3, pp 391-394.
Chang, K. T. 1978. An Analysis of Damage of Slope Sliding by Earthquake on the Paiho
Main Dam and its Earthquake Strengthening, Tseng-hua Design Section, Department of
Earthquake-Resistant Design and Flood Control Command of Miyna Reservoir, Peoples
Republic of China.
Cook J. R. and Woodbridge M.E: Highway Slopes in Java. IBRD Road Research
Development Project, Bandung. TRL Report to Ministry of Works, Indonesia, 1997.
Cook J.R. , Beaven P.J & Rachlan A. Indonesian slope inventory studies. Proc. 7th, Conf.
REAAA, Singapore, 1992.
Cook J.R. and Younger J.S. The impact of the characteristics of Indonesian soils on
construction. Proc. 13th Int. Conf. SMFE, New Delhi, 1994.
Cook J.RGuidelines on Indonesian Slope Design. IBRD Road Research Development,
Project, Bandung. TRL Report to Ministry of Works, Indonesia, 1997.
Crozier, M.J., "Landslides - Causes, consequences and environment", Croom Helm, London,
1986, pp 252.
Department of the Army EM 1110-1-2908, Engineering and Design of ROCK
FOUNDATIONS, U.S. Army Corps of Engineers, Washington, DC 20314-1000, November
1994
Department of The Army EM 1110-2-1902, Engineering and Design of SLOPE STABILITY,
U.S. Army Corps of Engineers, CECW-EW Washington, DC 20314-1000, October 2003.
Duncan, J. M., and Wright, S. G. 1980. The Accuracy of Equilibrium Methods of Slope
Stability Analysis, Engineering Geology, Vol 16, No. 1/2, pp 5-17. Duncan, Wright, and
Wong 1990.
Bahan Kuliah Geoteknik untuk Perncanaan Jaringan Jalan, Eddie Sunaryo, 2009
57
Duncan, J. M., Buchignani, A. L., and DeWet, M. 1987. An Engineering Manual for Slope
Stability Studies, Department of Civil Engineering, Geotechnical Engineering, Virginia
Polytechnic Institute and State University, Blacksburg, VA.Duncan, Horz, and Yang 1989
Duncan, J. M., Wright, S. G., and Wong, K. S. 1990. Slope Stability During Rapid
Drawdown, H. Bolton Seed Symposium, Vol. 2, University of California at Berkeley, pp
253-272. Edris, Munger, and Brown 1992.
Eddie Sunaryo; Aspek Geoteknik dalam Perencanaan Lereng galian dan Timbunan, Makalah
Ilmiah Badan Litbang PU, Jakarta, 2006.
Eddie Sunaryo; Kriteria penilaian kondisi aspek properties batuan untuk Analisa Stabilitas
tebing Batuan, Journal Puslitbang Jalan dan jembatan, Bandung, 1996
Eddie Sunaryo; Thesis S-2 Highway Engineering Disain of Rockslope Engineering,
Strathclyde University, Galsgow UK, 1994.
Edris, E. V., Jr. and Wright, S. G. 1992. Users Guide: UTEXAS3 Slope Stability Package:
Volume IV Users Manual, Instruction Report GL-87-1, U.S. Army Engineer Waterways
Experiment Station, Vicksburg, MS, Fellenius 1936.
Edris, E. V., Jr., Munger, D., and Brown, R. 1992. Users Guide: UTEXAS3 Slope Stability
Package: Volume III Example Problems, Instruction Report GL-87-1, U.S. Army Engineer
Waterways Experiment Station, Vicksburg, MS, Edris and Wright 1992.
Fellenius, W. Calculation of the Stability of Earth Dams, Transactions, 2nd International
Congress on Large Darns, 1936.
Fredlund, D. G. Negative Pore Water Pressures in Slope Stability, Proceedings, Symposio
Suramericano de Deslizamientos, Paipa, Columbia, pp 429-439, 1995.
Fredlund, D. G. The Stability of Slopes with Negative Pore-Water Pressures. Proceedings,
Ian Boyd Donald Symposium on Modern Developments in Geomechanics, Monash
University, Melbourne, Australia, pp 99-116, 1995..
Fredlund, International Commission on Large Dams, Washington, DC, pp 445-459, 1989.
Bahan Kuliah Geoteknik untuk Perncanaan Jaringan Jalan, Eddie Sunaryo, 2009
58
Goodman G.E., Introduction to Rock Mechanics, John Willey and Sons Inc., London New
York, 1989, pp 19-49, 293-334.
Hoek, F. and Bray, J.W.: Rock Slope Engineering, E & FN Spon, Institution of Minning and
Metallurgy, London, 1981, pp 18-80, 150-270.
Hutchinson, J.N. , "Engineering in a landscape." Inaugural Lecture, 9 October 1979, Imperial
College of Science and Technology, University of London, London, England. 1983.
Hutchinson, J.N., "Assessment of the effectiveness of corrective measures in relation to
geological conditions and types of slope movement." General Report to Theme 3.
Symposium on Landslides and other Mass Movements, Prague, September 1977. Bulletin,
International Association of Engineering Geology, No. 16, 1977, pp. 131-155. Reprinted
(1978) in Norwegian Geotechnical Institute Publication, No. 124, pp. 1-25.
Hutchinson, J.N.,"An influence line approach to the stabilisation of slopes by cuts and fills."
Canadian Geot. J., 21, 2, 1984, pp 363-370.
Popescu, M., "A suggested method for reporting landslide causes." Bull IAEG, No. 50, Oct.
1994, pp 71-74.
Popescu, M., "Landslides in overconsolidated clays as encountered in Eastern Europe",
Proceedings 4th International Symposium on Landslides, Toronto, Vol. 1, 1984, pp 83-106.
Terzaghi, K., "Mechanisms of landslides", Geological Society of America, Berkely Volume,
1950, pp 83-123.
Varnes, D.J. "Slope movements and types and processes." In: Landslides Analysis and
Control, Transportation Research Board Special Report 176, 1978, pp 11-33.
Working Party on World Landslide Inventory, "A suggested method for reporting a
landslide", Bulletin EEG, No. 41, 1990, pp 5-12.
Working Party on World Landslide Inventory, "A suggested method for a landslide
summary", Bulletin IAEG, No. 43, 1991, pp 101-110.
Bahan Kuliah Geoteknik untuk Perncanaan Jaringan Jalan, Eddie Sunaryo, 2009
59