8 Elemen Perkotaan Hamid Shirvani PDF
8 Elemen Perkotaan Hamid Shirvani PDF
Topik-topik bahasan:
(1) Perancangan Kota sebagai perluasan bidang Arsitektur
(2) Perancangan Kota sebagai implementasi Rencana Kota
(3) Nilai-nilai, Kriteria Desain, Proses, dan Metode-Teknik
dalam Perancangan Kota
(4) Daftar Materi kuliah.
Karena kita sudah berada di bidang Arsitektur, maka lebih mudah bila kita
lihat “Perancangan kota” dari kacamata arsitektur. Perancangan kota dapat dilihat
sebagai perluasan bidang arsitektur. Mengapa demikian? Dari satu sisi skala atau
cakupan area, Arsitektur merancang bangunan pada satu persil (atau disebut berskala
mikro), sedangkan cakupan perancangan kota meluas tidak hanya satu persil tapi
suatu kawasan (yang biasanya terdiri dari banyak persil)—dapat disebut juga sebagai
berskala mezo (lihat Gambar I-1). Dengan demikian, perancangan kota berkaitan
dengan penataan lingkungan fisik yang lebih luas daripada hanya satu persil seperti
yang dialami oleh bidang arsitektur. Karena dapat dilihat sebagai ekstensi dari
bidang Arsitektur, maka bidang Perancangan Kota (Urban Design) sering pula
disebut sebagai “Arsitektur Kota”.
Mikro Mezo
b) Masalah lingkungan
Dalam penanganan satu persil, masalah lingkungan kurang terasa, tapi bila
cakupan meluas ke kawasan, maka masalah kelestarian lingkungan menjadi lebih
nyata. Masalah lingkungan timbul akibat interaksi antar guna lahan dalam kawasan,
juga akibat kegiatan sirkulasi lalu lintas, dan sebagainya.
Saat ini, istilah perancangan kota (urban design) mempunyai arti yang
berbeda-beda di negara yang satu dengan di negara yang lain, bahkan juga berbeda-
beda antar pribadi. Minaret Branch (1995: 201) mengatakan bahwa:
Harry Anthony (dalam buku Antoniades, 1986: 326) memberi pengertian bahwa
perancangan kota merupakan pengaturan unsur-unsur fisik lingkungan kota
sedemikian rupa sehingga dapat berfungsi baik, ekonomis untuk dibangun, dan
memberi kenyamanan untuk dilihat dan untuk hidup di dalamnya. Frederick Gutheim
(dalam Antoniades, 1986: 326) menyatakan bahwa perancangan kota (urban design)
merupakan bagian dari perencanaan kota (urban planning) yang menangani aspek
estetika dan yang menetapkan tatanan (order) dan bentuk (form) kota. Selanjutnya,
Dari bahasan tentang perbedaan di atas, dapat ditarik ringkasan tentang perbedaan
perancangan kota dibanding perencanaan kota dan arsitektur, seperti gambar berikut:
Acuan
Lynch, Kevin, 1960, The Image of the City, MIT Press, Cambridge, MA.
Pittas, M., dan Ferebee, A. (editors), 1982, Education for Urban Design, Institute for
Urban Design, Purchase, New York.
Urban Redevelopment Authority, (August) 1996, New Down Town: Ideas for the
City of Tomorrow, Urban Redevelopment Authority, Singapore.
Shirvani, Hamid, 1985, The Urban Design Process, Van Nostrand Reinhold, New
York, hal. 6-8 (“The Domain of Urban Design”).
Steger, Charles W., 1997, “Urban Design”, dalam John M. Levy, Contemporary
Urban Planning, Fourth Edition, Prentice Hall, Upper Saddle River, NJ.,
hal. 141-168.
Beckley, Robert M., 1979, “Urban Design”, dalam Anthony J. Catanese dan James
C. Snyder, Introduction to Urban Planning, McGraw-Hill Book, New
York, hal. 62-103.
Penelitian perencanaan:
• Pengumpulan dan pengolahan data
• Analisis dan pembuatan proyeksi
Perumusan rencana:
• Pembuatan alternatif-alternatif rencana
• Evaluasi dan seleksi alternatif
• Penyusunan dokumen rencana
Istilah “komprehensif” yang arti katanya ialah “menyeluruh”, dalam hal ini diartikan
bahwa dalam penelitian perencanaan semua aspek perkotaan dianalisis. Aspek-aspek
tersebut, menurut PerMendagri No. 2 Tahun 1987 Pasal 22 meliputi antara lain:
1) Aspek fisik dasar
2) Aspek lingkungan hidup
3) Aspek kependudukan dan kebudayaan
4) Aspek penggunaan tanah
Berbagai aspek tersebut di atas juga menjadi kajian dalam perancangan kota. Selain
itu, beberapa masalah yang biasa dihadapi perancangan kota, seperti misalnya: citra
kota (image of the city), juga menjadi bahan masukan bagi proses perencanaan kota
(tahap penelitian perencanaan).
Untuk skala bagian wilayah kota, macam rencana kota yang secara umum
mempengaruhi perancangan kota adalah RDTRK, terutama bagian-bagian rencana
yang berkaitan dengan:
1) macam pemanfaatan ruang kota
2) sistem jaringan fungsi jalan
3) sistem jaringan utilitas
4) kepadatan bangunan lingkungan
5) ketinggian bangunan
6) garis sempadan atau garis pengawasan jalan.
Untuk skala kawasan, bila telah ada RTRK, maka pra rencana teknis yang diatur
dalam RTRK juga menjadi pertimbangan dalam perancangan kawasan.
Disamping rencana kota, terdapat peraturan-peraturan atau kebijaksanaan
Pemerintah Daerah lainnya yang dapat mempengaruhi perancangan kota, yaitu antara
lain: peraturan bangunan, kebijaksanaan pelestarian bangunan bersejarah atau
kawasan bersejarah, dan peraturan Pemerintah tentang cagar budaya.
Acuan
Catanese, A. J., dan Snyder, J. C., 1979, Introduction to Urban Planning, McGraw-
Hill Book Company, New York.
Levy, John M., 1997, Contemporary Urban Planning, Fourth Edition, Prentice-Hall,
Upper Saddle River, NJ.
PerMendagri No. 2 Tahun 1987, “Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun
1987 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kota”, Departemen Dalam
Negeri, Jakarta.
Levy, John M., 1997, Contemporary Urban Planning, Fourth Edition, Prentice-Hall,
Upper Saddle River, NJ.: hal. 102 – 112 (Chapter 8: “The
Comprehensive Plan”).
PerMendagri No. 2 Tahun 1987, “Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun
1987 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kota”, Departemen Dalam
Negeri, Jakarta.
2. Guna Lahan
Pengertian
Guna lahan merupakan kebijakan Pemerintah kota yang bersifat dua
dimensional (dalam bentuk peta) tapi berpengaruh pada rancangan tiga dimensi
(bangunan) di atas lahan tersebut. Guna lahan juga berkaitan dengan sirkulasi dan
perparkiran.
1
Penjelasan tentang kedelapan unsur tersebut diangkat dari Shirvani (1985: 8-46)
Pengertian
Umumnya, peraturan bangunan mengatur ketinggian, sempadan dan coverage
bangunan. Pengalaman beberapa proyek perancangan kota menyarankan untuk
meliputi pula "penampilan dan konfigurasi bangunan", misal berkaitan dengan
warna, bahan bangunan, tekstur, bentuk muka (fasad). Secara tradisional, hal-hal ini
menjadi hak arsitek bersama kliennya. Tapi, sebenarnya hal ini menyangkut
kepentingan masyarakat dan berdampak pada lingkungan kota. Contohnya:
penggunaan kaca pantul cahaya untuk bangunan tinggi, dan pengubahan tampilan
muka bangunan bersejarah.
Solusi lain terhadap isu sirkulasi dapat dilakukan dengan strategi manajemen
lalulintas, serta penyebaran kegiatan antar kawasan di kota (desentralisasi kegiatan
yang menimbulkan lalulintas banyak). Secara umum, kecenderungan penanganan
lalu lintas perkotaan meliputi: (1) peningkatan mobilitas gerak di pusat perdagangan
kota, (2) tidak mendorong penggunaan kendaraan pribadi, (3) mendorong pemakaian
kendaraan umum, dan (4) peningkatan akses ke pusat perdagangan kota.
5. Ruang Terbuka
Pengertian
Pengertian "ruang terbuka" (open space) bagi tiap orang mungkin berbeda-
beda, tapi dalam hal ini, ruang terbuka meliputi: lansekap, hardscape (jalan, trotoar,
dan sebagainya), taman, dan ruang rekreasi di kota. Unsur-unsur ruang terbuka
6. Jalan Pedestrian
Pengertian
Pada masa lalu, perancangan pedestrian di kota jarang dilakukan. Ketika
suatu mall dirancang dengan memperhatikan kenyamanan pejalan kaki, maka mall
tersebut berhasil menarik banyak pengunjung. Jalan pedestrian (jalan pejalan kaki) di
samping mempunyai unsur kenyamanan bagi pejalan kaki juga mempunyai andil
bagi keberhasilan pertokoan dan vitalitas kehidupan ruang kota. Sistem pedestrian
yang baik akan mengurangi ketergantungan pada kendaraan bermotor di pusat kota,
menambah pengunjung ke pusat kota, meningkatkan atau mempromosikan sistem
skala manusia, menciptakan kegiatanan usaha yang lebih banyak, dan juga
membantu meningkatkan kualitas udara.
7. Pendukung Kegiatan
Pengertian
Pendukung kegiatan diartikan sebagai semua guna lahan dan kegiatan yang
memperkuat ruang publik perkotaan. Bentuk, lokasi, dan karakteristik suatu kawasan
akan menarik fungsi-fungsi guna lahan, dan kegiatan yang spesifik. Sebaliknya,
suatu kegiatan cenderung memilih lokasi yang paling cocok untuk kegiatan tersebut.
8. Perpapanan-nama / Reklame
9. Preservasi
Pengertian
Preservasi atau perlindungan tidak hanya diberlakukan untuk bangunan
bersejarah, tapi juga untuk bangunan dan tempat yang dianggap perlu dilestarikan.
Preservasi biasanya juga mempertimbangkan faktor ekonomis dan kultural.
Shirvani, Hamid. 1985, The Urban Design Process, Van Nostrand Reinhold, New
York: hal. 5-48 (Chapter 2 "Elements of Urban Physical Form").
Barnett, Jonathan, 1982, An Introduction to Urban Design, Harper & Row, New
York: hal 155-235 (Part Three: "The Elements oa a Design and
Development Policy").
Shirvani, Hamid. 1985, The Urban Design Process, Van Nostrand Reinhold, New
York: hal 5-48 (Chapter 2 "Elements of Urban Physical Form").
Macam proses dalam perancangan kota dipengaruhi oleh macam proses, baik
dalam perancangan arsitektural maupun dalam perencanaan kota. Seperti halnya
dalam perancangan arsitektural, dalam perancangan kota juga dikenal proses
perancangan yang didominasi oleh intuisi (disebut sebagai metode terinternalisasi)
dan juga sebaliknya yang didominasi oleh analisis rasional (disebut sebagai metode
sinoptis). Seperti juga dalam perencanaan kota, dalam perancangan kota dikenal juga
beragam pendekatan yang kesemuanya dapat dikatakan berdasar pemikiran rasional,
antara lain: komprehensif (sama dengan yang disebut di atas sebagai metode
sinopsis), inkremental, pluralistik, dan advokasi. Tiap metode dibahas di bawah ini
dan sebagian besar bersumber dari tulisan Hamid Shirvani (1985: 105-120).
d) Metode Pluralistik
Plural artinya jamak, banyak. Pluralistik berarti sifat yang menyadari adanya
perbedaan atau keragaman. Perancangan yang berdasar pada “paradigma” pluralistik
dijalankan dengan mewadahi keragaman atau perbedaan yang ada dalam masyarakat.
Perancang atau perencana menyadari bahwa pemikirannya belum tentu sama dengan
pendapat masyarakat atau pengguna rancangannya. Proses perancangan pluralistik
mewadahi sepenuhnya partisipasi masyarakat berdasar azas demokrasi. Meskipun
demikian, kelemahan demokrasi terletak pada pengambilan keputusan yang
berdasarkan “kemauan” mayoritas, sehingga ada “kaum pinggiran, minoritas, miskin,
tersingkir” yang tertinggal atau tidak terwadahi pendapat dan kebutuhannya.
e) Metode Advokasi
Advokasi berarti “pembelaan” dan penerapannya pada perancangan kota
berarti gerakan yang membela “kaum yang tertindas, terpinggir, minoritas” yang
pendapat dan kebutuhannya tidak dapat terwadahi dalam metode pluralistik maupun
metode komprehensif rasional dan lainnya. Contoh: gerakan perancangan kota
membantu masyarakat sekitar Kali Code, Yogyakarta, dapat dikatakan sebagai
penerapan metode advokasi (lihat Gambar V-2). Dalam hal ini, biasanya, perancang
atau perencana hanya menjadi motivator dan fasilitator saja, sedangkan perancang
atau perencana yang sesungguhnya adalah masyarakat sendiri.
a) Kebijakan (Policies)
Kebijakan merupakan produk yang tidak langsung berkaitan dengan kualitas
desain, tapi lebih berkaitan dengan peraturan tentang perancangan kawasan tertentu.
Misal: peraturan tentang pembatasan guna lahan. Meskipun demikian, kebijakan
tidak selalu berbentuk pembatasan, tapi sering juga berupa insentif bagi penanam
investasi (dalam rangka pemasaran kawasan). Secara keseluruhan, kebijakan
pengembangan kawasan merupakan kerangka tindakan (framework for action) dalam
rangka penataan atau pengembangan suatu kawasan.
b) Rencana (Plan)
Rencana (plan) merupakan produk utama perancangan kota, dan tidak
tergantung pada macam proses yang dipakai, selalu ada rencana yang harus
dihasilkan. Perbedaannya hanyalah pada sifat rencana. Bila dipakai master planning,
maka yang dihasilkan adalah end-state plan (artinya: seperti cetak-biru arsitektural,
yaitu rencana masa depan yang pasti dan rinci). Bila dipakai perencanaan
komprehensif, maka produk rencana mencakup tidak hanya fisik keruangan tapi juga
hal-hal lain yang terkait (komrehensif artinya menyeluruh). Bila dipakai perencanaan
strategis, maka yang dihasilkan hanya terbatas pada solusi terhadap isu-isu strategis
saja (tidak komprehensif, karena mengingat keterbatasan sumberdaya yang ada).
Di bawah ini diberikan contoh-contoh rencana (plan) yang diangkat dari
pustaka:
c) Pedoman (Guidelines)
Kebijakan dan rencana saja tidak cukup untuk menjalankan rancangan kota,
terutama karena menyangkut banyak persil yang mengkait banyak pembuat
keputusan. Dalam hal ini diperlukan pedoman (guidelines) yang harus dipatuhi oleh
siapa pun yang membangun di tiap persil dalam kawasan yang terkena rancangan
kota atau kawasan tersebut. Biasanya pedoman tersebut—meskipun diungkapkan
dalam bahasa rancangan fisik—tapi masih memberi kelonggaran tertentun bagi
arsitek untuk mengembangkan kreasi pada bangunan yang dirancang untuk suatu
persil dalam kawasan yang dirancang tersebut.
Di bawah ini diberikan contoh-contoh pedoman perancangan (design
guidelines):
Gambar V-6:
Pedoman volume maksimum
bangunan (building envelope)
untuk tiap bangunan
sepanjang Sungai San
Antonio, Texas (sumber:
Djunaedi, 1989: 5)
Gambar V-7:
Gambar aksonometrik, bila
Pedoman volume maksimum
d) Program bangunan (building envelope)
diterapkan untuk semua
bangunan sepanjang Sungai
San Antonio, Texas (sumber:
Djunaedi,
38 —Bahan Kuliah Perancangan Kota I—A. Djunaedi 1989: 5)
(2000)
Selain pedoman yang perlu dipatuhi semua pihak yang akan membangun
dalam kawasan tersebut, juga diperlukan program kegiatan yang biasanya merupakan
tugas atau kuajiban lembaga atau Pemerintah. Misal: program penataan kakilima,
program penghijauan kawasan, program pembangunan perabot jalan, dan
sebagainya. Pelaksanaan program ini terkait dengan “siapa saja” pelaku
pembangunan kawasan yang dimaksud. Seringkali program dilaksanakan oleh
investor sendirian atau didukung oleh partisipasi masyarakat.
e) Rancangan
Rancangan kawasan dibuat bilamana kawasan tersebut di bawah satu
kepemilikan atau wewenang, sehingga terdapat kemudahan dalam pengambilan
keputusan dalam perancangan bangunan dan unsur fisik lainnya. Misal: perancangan
taman wisata, perancangan kampus perguruan tinggi.
Di bawah ini ditampilkan beberapa contoh rancangan (design) kawasan atau
bagian dari kawasan dalam kegiatan perancangan kota:
Gambar V-8:
Usulan rancangan akhir (final
design) pengembangan Taman
Sari, Yogyakarta (sumber:
Adishakti, 1988: 89)
Acuan
Adishakti, Laretna T., 1988, Safeguarding and conserving Taman Sari, Yogyakarta,
Indonesia, Master’s Thesis, the University of Wisconsin-Milwaukee,
Milwaukee.
Shirvani, Hamid. 1985, The Urban Design Process, Van Nostrand Reinhold, New
York: hal. 105-120 dan 141-156 (Chapter 5 "Design method/process" &
Chapter 7 “Products”).
Steele, James (ed.), 1992, Architecture for A Changing World, The Aga Khan Award
for Architecture, London.
Pada prakteknya, dua cara tersebut dipandang tidak memuaskan. Cara pertama
dipandang "terlalu kaku". Beberapa orang berpendapat tidak menjadi masalah bila
dalam permukiman ada toko, ada bengkel dan sebagainya; asal tidak mengganggu.
Cara kedua juga dikritik orang, karena sulitnya menentukan tingkat dominasi. Berapa
tingkat dominasinya? apakah lebih dari 50 % ? apakah itu 75 % ? Apakah satu
industri kulit di antara seratus ribu rumah tidak menjadi masalah, karena industri
tersebut hanya satu yang berarti tidak dominan? (meskipun industri tersebut
menimbulkan polusi bau kemana-mana?).
Untuk beberapa peruntukan yang penting, seperti industri, hotel, diperlukan
AMDAL (Analisa Mengenai Dampak Lingkungan), yang dapat menjadi alat kendali
lain di samping rencana pemanfaatan ruang. Tetapi, peruntukan yang "kecil-kecil",
seperti bengkel, warung, tidak diharuskan mendapat kajian AMDAL; dan yang
"kecil-kecil" ini bila terjadi dalam jumlah banyak di suatu tempat juga akan dapat
"mewarnai" suatu zona (yang kebetulan direncanakan untuk peruntukan lain).
Permasalahan lain menyangkut pengendalian guna lahan perkotaan berkaitan
dengan bangunan temporer. Di negara tropis, penduduk golongan berpenghasilan
tingkat bawah dapat saja memulai bangunan rumahnya dengan wujud bangunan
temporer (bahan bambu, ijuk, lantai tanah, dan sebagainya). Bangunan seperti ini,
pada praktek umumnya, lepas dari pengawasan IMB. Padahal, sedikit demi sedikit
bangunan tersebut dibuat permanen, yang akhirnya perlu dikaji kesesuaian guna
lahannya. Apakah bila guna lahannya melanggar aturan, bangunan yang telah
bertahun-tahun tersebut harus dibongkar (tanpa menimbulkan masalah sosial?).
Permasalahan pengendalian pemanfaatan ruang kota dalam praktek nyatanya
menjadi tantangan yang berat bagi para pelaksana rencana kota. Dalam hal ini,
diperlukan penelitian yang mendalam untuk mendapatkan model-model
pengendalian yang sesuai dengan kondisi kota yang berbeda-beda di negara kita. Hal
ini menjadi tantangan bagi dunia perguruan tinggi yang perlu bekerja sama dengan
para praktisi pengendalian pelaksanaan rencana kota. Para praktisi banyak
R1
R2
R1
C1
C1
C2
R1
Zoning atau pemintakatan ini meskipun banyak dipakai juga banyak dikritik antara
lain (menurut Petterson, 1979: 29-30) karena:
1) sulit diterapkan pada daerah atau kawasan yang sudah terlanjur terbangun dengan
cukup padat;
2) zoning seringkali menyebabkan harga lahan naik dratis setelah ditetapkan
menjadi katagori zona yang lebih menguntungkan untuk dunia usaha;
3) sulit untuk menjembatani penggunaan saat ini dan rencana penggunaan lahan
jangka panjang (rencana kota jangka panjang); zoning hanya dapat dikaitkan
dengan tahap rencana yang terpendek/terdekat.