TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
ke sel fotoreseptor retina, yaitu sel batang dan sel kerucut. Fotoreseptor kemudian
mengubah energi cahaya menjadi sinyal listrik untuk ditransmisikan ke sistem
saraf pusat (Sherwood, 2011).
Pada gambar 2.1. jelas terlihat bagian saraf retina yang terdiri dari tiga
lapisan sel yang peka rangsang :
1.
2.
3.
Bila sel batang ataupun sel kerucut terangsang, sinyal akan dijalarkan
melewati lapisan ganglion dan bipolar sebelum mencapai fotoreseptor di semua
bagian retina kecuali di fovea. Di fovea, yaitu cekungan yang terletak tepat di
tengah retina, lapisan ganglion dan bipolar tersisih ke tepi sehingga cahaya
langsung mengenai fotoreseptor (Sherwood, 2011). Fovea terutama berfungsi
untuk penglihatan cepat dan rinci. Fovea sentralis dengan diameter hanya 0,3
milimeter, hampir seluruhnya terdiri atas sel-sel kerucut (Guyton dan Hall, 2010).
Foveola adalah bagian paling tengah pada fovea, di sini fotoreseptornya adalah sel
kerucut, dan bagian retina paling tipis (Riordan-eva dan Witcher, 2010). Daerah
tepat di sekitar fovea, makula lutea juga memiliki konsentrasi sel kerucut yang
tinggi dan ketajaman lumayan. Namun, ketajaman makula lebih rendah daripada
fovea, karena ada lapisan sel ganglion dan bipolar di atasnya.
Fotoreseptor (sel batang dan sel kerucut) terdiri dari 3 bagian, yaitu :
1.
2.
3.
2.
Terdapat empat fotopigmen berbeda, satu di sel batang dan masingmasing satu di ketiga jenis sel kerucut. Keempat fotopigmen ini menyerap
panjang gelombang sinar yang berbeda-beda (Sherwood, 2011). Bahan kimia
yang peka cahaya dalam sel batang disebut rodopsin; tiga bahan kimia peka
cahaya dalam sel kerucut, disebut pigmen warna merah, hijau dan biru,
mempunyai komposisi sedikit berbeda dari rodopsin (Guyton dan Hall, 2010).
Substansi rodopsin pada sel batang merupakan kombinasi dari protein
skotopsin dengan pigmen karotenoid retinal. Retinal tersebut merupakan bentuk
tipe khusus yang disebut 11-cis retinal. Bentuk cis retinal adalah bentuk yang
penting sebab hanya bentuk ini saja yang dapat berikatan dengan skotopsin agar
dapat bersintesis menjadi rodopsin. Prinsip-prinsip fotokimiawi pada siklus
penglihatan rodopsin dan penguraiannya oleh energi cahaya (gambar 2), yang
sama pula dapat diterapkan pada pigmen sel kerucut (Guyton dan Hall, 2010).
Retina mengandung sel batang 30 kali lebih banyak daripada sel kerucut
(100 juta sel batang dibandingkan 3 juta sel kerucut per mata). Sel kerucut lebih
banyak di makula lutea pada bagian tengah retina. Dari titik ini keluar, konsentrasi
sel kerucut berkurang dan konsentrasi sel batang meningkat. Sel batang paling
banyak di perifer. Perbedaan antara sel batang dan sel kerucut adalah sel kerucut
memberi penglihatan warna sedangkan sel batang memberi penglihatan hanya
dalam bayangan abu-abu. Sel kerucut memiliki sensitivitas rendah terhadap
cahaya, dinyalakan hanya oleh sinar terang siang hari, tetapi sel ini memiliki
ketajaman (kemampuan membedakan titik yang berdekatan) tinggi. Manusia
menggunakan sel kerucut untuk penglihatan siang hari, yang berwarna dan tajam.
Sel batang memiliki ketajaman rendah tetapi sensitivitasnya tinggi sehingga sel ini
berespons terhadap sinar temaram malam hari (Sherwood, 2011).
Sel kerucut pada retina merupakan komponen penting untuk melihat
warna. Setiap jenis sel kerucut sensitif terhadap panjang gelombang yang berbeda.
Pada sel kerucut mata orang yang normal memiliki tiga jenis pigmen yang dapat
membedakan warna (Wagner, 2013). Ketiga macam pigmen tersebut sensitif
terhadap cahaya. Penglihatan warna yang normal pada manusia ini disebut juga
dengan trikromatik. Sifat absorbsi dari pigmen yang terdapat di dalam ketiga
macam sel kerucut itu menunjukkan bahwa puncak absorbsi pada gelombang
cahaya berturut-turut sebagai berikut :
a)
420 nm: sel kerucut biru atau "S" kerucut untuk panjang gelombang
pendek (short-wavelength light),
b)
530 nm: sel kerucut hijau atau "M" kerucut untuk panjang
gelombang menengah (middle-wavelength light),
c)
560 nm: merah kerucut atau " L" kerucut untuk gelombang panjang
(long-wavelength light) (Deeb dan Motulsky, 2011).
Gambar 2.3. a. Spektrum penyerapan cahaya yang relatif terjadi pada tiga kelas
photopigment kerucut manusia pada penglihatan warna yang normal (trikromatik).
b. Penyerapan cahaya relatif digambarkan terhadap panjang gelombang dalam
nanometer (nm) (Deeb dan Motulsky, 2011).
Penglihatan warna, presepsi berbagai warna, bergantung pada berbagai
rasio stimulasi ketiga tipe sel kerucut terhdap bermacam-macam panjang
gelombang tertentu dari sinar yang sampai ke fotoreseptor retina (Sherwood,
2011). Panjang gelombang ini juga merupakan panjang gelombang untuk puncak
sensitivitas cahaya untuk setiap tipe sel kerucut, yang dapat mulai digunakan
untuk menjelaskan bagaimana retina dapat membedakan warna (Guyton dan Hall,
2010). Misalnya panjang gelombang yang terlihat sebagai biru tidak merangsang
sel kerucut merah atau hijau sama sekali tetapi merangsang sel kerucut biru secara
maksimal (Sherwood, 2011).
Bila panjang gelombang elektromagnetik yang diterima terletak di antara
kedua pigmen sel kerucut, maka akan terjadi penggabungan warna (Ilyas, 2008).
Masukan-masukan warna tersebut di kombinasikan dan diproses pada pusat
penglihatan warna di korteks penglihatan primer pada otak dan inilah yang akan
menghasilkan presepsi warna (Sherwood, 2011).
2.2.
Buta Warna
2.2.1.
Definisi
Buta
warna
adalah
suatu
keadaan
dimana
pasien
mengalami
Etiopatogenesis
Ketiga macam pigmen warna pada retina membuat kita dapat
membedakan warna. Untuk dapat melihat normal, ketiga pigmen sel kerucut harus
bekerja dengan baik. Jika salah satu pigmen mengalami kelainan atau tidak ada,
maka terjadi buta warna (Ilyas, 2008). Kekurangan penglihatan warna terjadi
ketika salah satu atau lebih sel kerucut pada retina kurang berfungsi daripada
keadaan normal, atau tidak berfungsi sama sekali (Jang et al., 2010).
Buta warna merupakan penyakit keturunan yang terekspresi hampir
hanya pada para pria (Indrawan, 2008). Wanita secara genetik hanya sebagai
carrier buta warna yang diturunkan ke anak laki-lakinya (Guyton dan Hall, 2010).
Kelainan ini terjadi akibat defisiensi kongenital terkait-X kromosom pada salah
satu jenis fotoreseptor retina yang spesifik yaitu sel kerucut. Akibat faktor genetik
ini sel kerucut penderita buta warna tidak mampu untuk menangkap spektrum
warna tertentu (Riordan-eva dan Witcher, 2010).
Gen buta warna terkait dengan dengan kromosom X (X-linkedgenes) ini
memungkinkan seorang pria yang memiliki genotif XY untuk terkena buta warna
secara turunan lebih besar dibandingkan wanita yang bergenotif XX untuk terkena
buta warna. Jika hanya terkait pada salah satu kromosom X nya saja, wanita
disebut carrier atau pembawa, yang bisa menurunkan gen buta warna pada anak-
anaknya. Menurut salah satu riset 5-8% pria dan 0,5% wanita dilahirkan buta
warna. Dan 99% penderita buta warna termasuk dikromasi, protanopia, dan
deuteranopia (Situmorang, 2010).
Dengan adanya penemuan gen pada opsin sel kerucut manusia yang
mengkode panjang gelombang pendek (S), panjang gelombang menengah (M)
dan yang panjang (L), maka dihubungkanlah dengan dua hipotesis yang
menyatakan bahwa: (1) komposisi dan variasi dalam urutan rangkaian asam
amino dari opsin sel kerucut bertanggung jawab untuk perbedaan spektral antara
photopigments (2) perubahan gen pada opsin sel kerucut mendasari kekurangan
penglihatan warna diturunkan (Neitz, 2010).
Pola gen turunan untuk kelainan penglihatan warna, dari merah-hijau
dan biru-kuning untuk manusia, yaitu panjang gelombang yang panjang (L) dan
menengah (M) pada opsin sel kerucut yang diterjemahkan ke X-kromosom di
Xq28, dan gen untuk panjang gelombang pendek (S) pada opsin sel kerucut untuk
autosom, kromosom 7 pada 7q32. Sebutan untuk gen opsin L, M dan S masingmasing adalah OPN1LW (Opsin 1 Long Wave), OPN1MW (Opsin 1 Middle
Wave), dan OPN1SW (Opsin 1 Short Wave) (Neitz, 2010).
Dua gen yang paling sering berhubungan dengan munculnya buta warna
adalah OPN1LW yang mengkode pigmen merah dan OPN1MW yang mengkode
pigmen hijau (Deeb dan Motulsky, 2005). Hal ini dikarenakan OPN1LW dan
OPN1MW hampir identik satu sama lain, keduanya berbagi lebih dari 98%
identitas urutan nukleotida, sedangkan mereka hanya berbagi sekitar 40%
nukleotida dengan OPN1SW. Karena kesamaan OPN1LW dan OPN1MW
mengakibatkan mereka rentan terhadap rekombinasi homolog yang tidak sama,
dan hal ini memiliki keterlibatan yang mendalam untuk fungsi visual (Neitz,
2010).
2.2.3.
2.2.3.1. Monochromacy
Monochromacy adalah keadaan dimana seseorang hanya memiliki sebuah
sel pigmen cones atau tidak berfungsinya semua sel cones (Kurnia, 2009).
Seseorang yang menderita monochromacy disebut monokromat (Indrawan, 2008).
Monochromacy ada dua jenis, yaitu :
a)
b)
2.2.3.2. Dichromacy
Dichromacy adalah jenis buta warna dimana salah satu dari tiga sel
kerucut tidak ada atau tidak berfungsi. Akibatnya, seseorang yang menderita
dikromat akan mengalami gangguan penglihatan terhadap warna-warna tertentu
(Kurnia, 2009). Seseorang yang menderita dichromacy disebut juga dengan
dikromat (Indrawan, 2008). Dichromacy dibagi menjadi 3 bagian berdasarkan sel
pigmen yang rusak, yaitu:
a.
tidak
b.
ketiadaan
photoreseptor
retina
hijau.
Hal
ini
Tritanopia adalah keadaan dimana seseorang tidak memiliki shortwavelength cone yaitu warna biru, akibatnya penderita akan
kesulitan membedakan warna biru dan kuning dari spektrum cahaya
tampak. Tritanopia disebut juga buta warna biru-kuning dan
merupakan tipe dichromacy yang sangat jarang dijumpai. (Kurnia,
2009). Orang yang menderita tritanopia disebut tritanope (Indrawan,
2008).
Protanomalia
mempengaruhi
long-wavelength
(red)
pigment
dalam
hilangnya
penglihatan
terhadap
kecerahan
(Indrawan, 2008).
Diagnosis
Para peneliti menyimpulkan bahwa skrining untuk buta warna dapat
dimulai pada usia 4 tahun. Pengujian pada usia dini sangat penting karena anakanak dengan buta warna sering melakukan hal buruk pada tes atau tugas yang
menampilkan warna-warna. Anak-anak dengan buta warna membutuhkan
berbagai jenis rencana pelajaran yang tidak memerlukan kemampuan untuk
melihat warna dengan benar. Pemeriksaan harus dimulai sejak dini karena label
anak tidak pintar adalah stigma besar bagi anak dan menyebabkan kecemasan
yang signifikan bagi orang tua dan keluarga (Thai News Service Group, 2014).
Tes buta warna saat ini juga sangat dibutuhkan bagi dunia industri,
pendidikan, maupun pemerintahan. Hal ini disebabkan oleh ketergantungan
manusia dalam pekerjaan atau pendidikan yang erat sekali berhubungan dengan
warna (Agusta et al., 2012).
Pemeriksaan buta warna ini dilakukan sebagian besar untuk tiga tujuan :
pertama untuk skrining apakah cacat bawaan atau yang diperoleh, yang kedua
untuk mendiagnosis jenis dan tingkat keparahan cacat dan yang ketiga untuk
menilai dampak dari cacat pada profesi atau pekerjaan tertentu. Secara umum, tes
yang efektif adalah test yang tepat, mudah, dan biaya yang dibutuhkan untuk
mendiagnosa kelainan penglihatan warna yang akurat (Heidary et al., 2013).
Diagnosis buta warna dibuat berdasarkan anamnesis, dan pemeriksaan
penunjang. Anamnesis yang sesuai adalah terdapat riwayat buta warna di dalam
keluarga atau terdapat riwayat trauma kranial yang menyebabkan kelainan saraf
atau makula (Riordan-eva dan Witcher, 2010). Banyak tes untuk pemeriksaan
penunjang yang digunakan secara klinis untuk mendiagnosa kelainan penglihatan
warna, tes ini berkisar dari yang sederhana dengan buku Ishihara dan tes penilaian
yang lebih kompleks termasuk tes Farnsworth-Munsell 100-Hue (FM 100-Hue),
D-15 Farnsworth-Munsell (D-15), dan anomaloscope untuk diagnosis yang lebih
tepat dan akurat (Heidary et al., 2013).
Pada penelitian ini pemeriksaan dilakukan dengan test ishihara yang
paling populer dan digunakan secara luas untuk tujuan skrining. Penggunaan buku
ishihara juga dikarenakan tes ini harus dilakukan secara cepat, tepat, mudah dan
murah untuk menilai jenis dan tingkat keparahan cacat penglihatan warna
(Heidary et al., 2013). Metode ini dikembangkan menjadi Tes Buta Warna
Ishihara oleh Dr. Shinobu Ishihara. Tes ini pertama kali dipublikasi pada tahun
1917 di Jepang dan terus digunakan di seluruh dunia (Widianingsih et al., 2010).
Test Ishihara didasarkan pada penggunaan kartu bertitik-titik yang
mempunyai bermacam-macam warna dan ukuran yang disusun dengan
menyatukan titik-titik yang berbeda tersebut (Guyton dan Hall, 2010). Warnawarnanya dibuat sedemikian rupa membentuk pola titik-titik berbeda yang
disusun hingga membentuk lingkaran. Untuk orang yang defisiensi warna, semua
titik dalam satu atau lebih dari lempeng akan muncul mirip atau sama
"isokromatik". Untuk seseorang tanpa kekurangan warna, beberapa titik akan
muncul cukup berbeda dari titik-titik lain untuk membentuk sosok yang berbeda
pada masing-masing piring "Pseudoisochromatic" (Wagner, 2013).
Buku ishihara dapat mendiagnosa defek penglihatan warna dengan
klasifikasi, yaitu: orang dengan penglihatan normal/trikromat, buta warna Merah-
warna
hijau
(deuteranopia/deuteranomalia)]
dan
buta
warna
Manajemen
Deteksi dini cacat visi warna merah-hijau yang parah pada usia sekolah
Lensa kontak dan kacamata specially tinted, yang dapat membantu uji
warna namun tidak memperbaiki penglihatan warna.