Anda di halaman 1dari 16

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Fisiologi Penglihatan Warna


Fungsi utama mata adalah memfokuskan berkas cahaya dari lingkungan

ke sel fotoreseptor retina, yaitu sel batang dan sel kerucut. Fotoreseptor kemudian
mengubah energi cahaya menjadi sinyal listrik untuk ditransmisikan ke sistem
saraf pusat (Sherwood, 2011).
Pada gambar 2.1. jelas terlihat bagian saraf retina yang terdiri dari tiga
lapisan sel yang peka rangsang :
1.

Lapisan paling luar (paling dekat dengan koroid) yang mengandung


sel batang dan sel kerucut,

2.

Lapisan tengah sel bipolar,

3.

Lapisan dalam sel ganglion. Akson-akson sel ganglion menyatu


membentuk saraf optik, yang keluar dari retina tidak tepat di bagian
tengah. Titik di retina tempat saraf optik keluar dan pembuluh darah
berjalan disebut diskus optikus (Sherwood, 2011).

Gambar 2.1. Anatomi Retina (Sherwood, 2011).

Bila sel batang ataupun sel kerucut terangsang, sinyal akan dijalarkan
melewati lapisan ganglion dan bipolar sebelum mencapai fotoreseptor di semua
bagian retina kecuali di fovea. Di fovea, yaitu cekungan yang terletak tepat di
tengah retina, lapisan ganglion dan bipolar tersisih ke tepi sehingga cahaya
langsung mengenai fotoreseptor (Sherwood, 2011). Fovea terutama berfungsi
untuk penglihatan cepat dan rinci. Fovea sentralis dengan diameter hanya 0,3
milimeter, hampir seluruhnya terdiri atas sel-sel kerucut (Guyton dan Hall, 2010).
Foveola adalah bagian paling tengah pada fovea, di sini fotoreseptornya adalah sel
kerucut, dan bagian retina paling tipis (Riordan-eva dan Witcher, 2010). Daerah
tepat di sekitar fovea, makula lutea juga memiliki konsentrasi sel kerucut yang
tinggi dan ketajaman lumayan. Namun, ketajaman makula lebih rendah daripada
fovea, karena ada lapisan sel ganglion dan bipolar di atasnya.
Fotoreseptor (sel batang dan sel kerucut) terdiri dari 3 bagian, yaitu :
1.

Segmen luar (paling dekat dengan koroid), bagian ini mendeteksi


rangsangan cahaya. Segmen ini, berbentuk batang pada sel batang dan
kerucut pada sel kerucut,

2.

Segmen dalam, yang terletak di bagian tengah fotoresetor. Bagian ini


mengandung perangkat metabolik sel,

3.

Terminal sinaps, yang terletak paling dekat dengan bagian interior


mata, menghadap ke sel bipolar. Bagian ini menyalurkan sinyal yang
dihasilkan fotoreseptor karena stimulasi cahaya ke sel-sel selanjutnya
di jalur penglihatan (Sherwood, 2011).

Segmen luar terdiri dari tumpukan lempeng-lempeng membranosa


gepeng yang mengandung banyak molekul fotopigmen peka cahaya. Fotopigmen
mengalami perubahan kimiawi ketika diaktifkan oleh sinar. Perubahan yang
dipicu oleh cahaya dan pengaktifkan fotopigmen ini melalui serangkaian tahap
menyebabkan terbentuknya potensial reseptor yang akhirnya menghasilkan
potensial aksi. Potensial aksi menyalurkan informasi ini ke otak untuk
pemprosesan visual.

Fotopigmen terdiri dari dua komponen :


1.

Opsin yang merupakan suatu protein,

2.

Retinen, suatu turunan vitamin A yang terikat di bagian dalam


molekul opsin. Retinen adalah bagian fotopigmen yang menyerap
cahaya (Sherwood, 2011).

Terdapat empat fotopigmen berbeda, satu di sel batang dan masingmasing satu di ketiga jenis sel kerucut. Keempat fotopigmen ini menyerap
panjang gelombang sinar yang berbeda-beda (Sherwood, 2011). Bahan kimia
yang peka cahaya dalam sel batang disebut rodopsin; tiga bahan kimia peka
cahaya dalam sel kerucut, disebut pigmen warna merah, hijau dan biru,
mempunyai komposisi sedikit berbeda dari rodopsin (Guyton dan Hall, 2010).
Substansi rodopsin pada sel batang merupakan kombinasi dari protein
skotopsin dengan pigmen karotenoid retinal. Retinal tersebut merupakan bentuk
tipe khusus yang disebut 11-cis retinal. Bentuk cis retinal adalah bentuk yang
penting sebab hanya bentuk ini saja yang dapat berikatan dengan skotopsin agar
dapat bersintesis menjadi rodopsin. Prinsip-prinsip fotokimiawi pada siklus
penglihatan rodopsin dan penguraiannya oleh energi cahaya (gambar 2), yang
sama pula dapat diterapkan pada pigmen sel kerucut (Guyton dan Hall, 2010).

Gambar 2.2. Siklus Penglihatan Rodopsin-Retina Pada Sel Batang


(Guyton Dan Hall, 2010)

Retina mengandung sel batang 30 kali lebih banyak daripada sel kerucut
(100 juta sel batang dibandingkan 3 juta sel kerucut per mata). Sel kerucut lebih
banyak di makula lutea pada bagian tengah retina. Dari titik ini keluar, konsentrasi
sel kerucut berkurang dan konsentrasi sel batang meningkat. Sel batang paling
banyak di perifer. Perbedaan antara sel batang dan sel kerucut adalah sel kerucut
memberi penglihatan warna sedangkan sel batang memberi penglihatan hanya
dalam bayangan abu-abu. Sel kerucut memiliki sensitivitas rendah terhadap
cahaya, dinyalakan hanya oleh sinar terang siang hari, tetapi sel ini memiliki
ketajaman (kemampuan membedakan titik yang berdekatan) tinggi. Manusia
menggunakan sel kerucut untuk penglihatan siang hari, yang berwarna dan tajam.
Sel batang memiliki ketajaman rendah tetapi sensitivitasnya tinggi sehingga sel ini
berespons terhadap sinar temaram malam hari (Sherwood, 2011).
Sel kerucut pada retina merupakan komponen penting untuk melihat
warna. Setiap jenis sel kerucut sensitif terhadap panjang gelombang yang berbeda.
Pada sel kerucut mata orang yang normal memiliki tiga jenis pigmen yang dapat
membedakan warna (Wagner, 2013). Ketiga macam pigmen tersebut sensitif
terhadap cahaya. Penglihatan warna yang normal pada manusia ini disebut juga
dengan trikromatik. Sifat absorbsi dari pigmen yang terdapat di dalam ketiga
macam sel kerucut itu menunjukkan bahwa puncak absorbsi pada gelombang
cahaya berturut-turut sebagai berikut :
a)

420 nm: sel kerucut biru atau "S" kerucut untuk panjang gelombang
pendek (short-wavelength light),

b)

530 nm: sel kerucut hijau atau "M" kerucut untuk panjang
gelombang menengah (middle-wavelength light),

c)

560 nm: merah kerucut atau " L" kerucut untuk gelombang panjang
(long-wavelength light) (Deeb dan Motulsky, 2011).

Gambar 2.3. a. Spektrum penyerapan cahaya yang relatif terjadi pada tiga kelas
photopigment kerucut manusia pada penglihatan warna yang normal (trikromatik).
b. Penyerapan cahaya relatif digambarkan terhadap panjang gelombang dalam
nanometer (nm) (Deeb dan Motulsky, 2011).
Penglihatan warna, presepsi berbagai warna, bergantung pada berbagai
rasio stimulasi ketiga tipe sel kerucut terhdap bermacam-macam panjang
gelombang tertentu dari sinar yang sampai ke fotoreseptor retina (Sherwood,
2011). Panjang gelombang ini juga merupakan panjang gelombang untuk puncak
sensitivitas cahaya untuk setiap tipe sel kerucut, yang dapat mulai digunakan
untuk menjelaskan bagaimana retina dapat membedakan warna (Guyton dan Hall,
2010). Misalnya panjang gelombang yang terlihat sebagai biru tidak merangsang
sel kerucut merah atau hijau sama sekali tetapi merangsang sel kerucut biru secara
maksimal (Sherwood, 2011).
Bila panjang gelombang elektromagnetik yang diterima terletak di antara
kedua pigmen sel kerucut, maka akan terjadi penggabungan warna (Ilyas, 2008).
Masukan-masukan warna tersebut di kombinasikan dan diproses pada pusat
penglihatan warna di korteks penglihatan primer pada otak dan inilah yang akan
menghasilkan presepsi warna (Sherwood, 2011).

2.2.

Buta Warna

2.2.1.

Definisi
Buta

warna

adalah

suatu

keadaan

dimana

pasien

mengalami

kelemahan/penurunan kemampuan untuk membedakan antara warna-warna


tertentu yang seharusnya dapat dibedakan oleh orang dengan penglihatan yang
normal (Jang et al., 2010).
Istilah buta warna atau colour blind sebenarnya kurang akurat, karena
seorang penderita buta warna tidak buta terhadap seluruh warna. Akan lebih tepat
bila disebut gejala defisiensi daya melihat warna atau colour vision dificiency
(Jubinville, 2014). Buta warna total sangat langka terjadi dan menyebabkan
seseorang untuk melihat benda dalam nuansa abu-abu (Stresing, 2014).
2.2.2.

Etiopatogenesis
Ketiga macam pigmen warna pada retina membuat kita dapat

membedakan warna. Untuk dapat melihat normal, ketiga pigmen sel kerucut harus
bekerja dengan baik. Jika salah satu pigmen mengalami kelainan atau tidak ada,
maka terjadi buta warna (Ilyas, 2008). Kekurangan penglihatan warna terjadi
ketika salah satu atau lebih sel kerucut pada retina kurang berfungsi daripada
keadaan normal, atau tidak berfungsi sama sekali (Jang et al., 2010).
Buta warna merupakan penyakit keturunan yang terekspresi hampir
hanya pada para pria (Indrawan, 2008). Wanita secara genetik hanya sebagai
carrier buta warna yang diturunkan ke anak laki-lakinya (Guyton dan Hall, 2010).
Kelainan ini terjadi akibat defisiensi kongenital terkait-X kromosom pada salah
satu jenis fotoreseptor retina yang spesifik yaitu sel kerucut. Akibat faktor genetik
ini sel kerucut penderita buta warna tidak mampu untuk menangkap spektrum
warna tertentu (Riordan-eva dan Witcher, 2010).
Gen buta warna terkait dengan dengan kromosom X (X-linkedgenes) ini
memungkinkan seorang pria yang memiliki genotif XY untuk terkena buta warna
secara turunan lebih besar dibandingkan wanita yang bergenotif XX untuk terkena
buta warna. Jika hanya terkait pada salah satu kromosom X nya saja, wanita
disebut carrier atau pembawa, yang bisa menurunkan gen buta warna pada anak-

anaknya. Menurut salah satu riset 5-8% pria dan 0,5% wanita dilahirkan buta
warna. Dan 99% penderita buta warna termasuk dikromasi, protanopia, dan
deuteranopia (Situmorang, 2010).
Dengan adanya penemuan gen pada opsin sel kerucut manusia yang
mengkode panjang gelombang pendek (S), panjang gelombang menengah (M)
dan yang panjang (L), maka dihubungkanlah dengan dua hipotesis yang
menyatakan bahwa: (1) komposisi dan variasi dalam urutan rangkaian asam
amino dari opsin sel kerucut bertanggung jawab untuk perbedaan spektral antara
photopigments (2) perubahan gen pada opsin sel kerucut mendasari kekurangan
penglihatan warna diturunkan (Neitz, 2010).
Pola gen turunan untuk kelainan penglihatan warna, dari merah-hijau
dan biru-kuning untuk manusia, yaitu panjang gelombang yang panjang (L) dan
menengah (M) pada opsin sel kerucut yang diterjemahkan ke X-kromosom di
Xq28, dan gen untuk panjang gelombang pendek (S) pada opsin sel kerucut untuk
autosom, kromosom 7 pada 7q32. Sebutan untuk gen opsin L, M dan S masingmasing adalah OPN1LW (Opsin 1 Long Wave), OPN1MW (Opsin 1 Middle
Wave), dan OPN1SW (Opsin 1 Short Wave) (Neitz, 2010).
Dua gen yang paling sering berhubungan dengan munculnya buta warna
adalah OPN1LW yang mengkode pigmen merah dan OPN1MW yang mengkode
pigmen hijau (Deeb dan Motulsky, 2005). Hal ini dikarenakan OPN1LW dan
OPN1MW hampir identik satu sama lain, keduanya berbagi lebih dari 98%
identitas urutan nukleotida, sedangkan mereka hanya berbagi sekitar 40%
nukleotida dengan OPN1SW. Karena kesamaan OPN1LW dan OPN1MW
mengakibatkan mereka rentan terhadap rekombinasi homolog yang tidak sama,
dan hal ini memiliki keterlibatan yang mendalam untuk fungsi visual (Neitz,
2010).

2.2.3.

Klasifikasi Buta Warna.


Defek penglihatan warna atau buta warna dapat dikenal dalam bentuk :

2.2.3.1. Monochromacy
Monochromacy adalah keadaan dimana seseorang hanya memiliki sebuah
sel pigmen cones atau tidak berfungsinya semua sel cones (Kurnia, 2009).
Seseorang yang menderita monochromacy disebut monokromat (Indrawan, 2008).
Monochromacy ada dua jenis, yaitu :
a)

Rod monochromacy (typical) adalah jenis buta warna yang sangat


jarang terjadi, yaitu ketidakmampuan dalam membedakan warna
sebagai akibat dari tidak berfungsinya semua sel kerucut retina.
Penderita rod monochromacy tidak dapat membedakan warna
sehingga yang terlihat hanya hitam, putih dan abu-abu,

b)

Cone monochromacy (atypical) adalah tipe monochromacy yang


sangat jarang terjadi yang disebabkan oleh tidak berfungsinya dua
sel kerucut. Penderita nya masih dapat melihat warna tertentu, karena
masih memiliki satu sel kerucut yang berfungsi (Kurnia, 2009).

2.2.3.2. Dichromacy
Dichromacy adalah jenis buta warna dimana salah satu dari tiga sel
kerucut tidak ada atau tidak berfungsi. Akibatnya, seseorang yang menderita
dikromat akan mengalami gangguan penglihatan terhadap warna-warna tertentu
(Kurnia, 2009). Seseorang yang menderita dichromacy disebut juga dengan
dikromat (Indrawan, 2008). Dichromacy dibagi menjadi 3 bagian berdasarkan sel
pigmen yang rusak, yaitu:
a.

Protanopia adalah gangguan penglihatan warna yang disebabkan


tidak adanya photoreseptor retina merah, mengakibatkan

tidak

adanya penglihatan warna merah (Kurnia, 2009). Protanopia hanya


memiliki sel kerucut biru dan hijau saja (Dichromacy tipe ini terjadi
pada 1% dari seluruh pria) (Gambar 2.4.a.) (Deeb dan Motulsky,
2011). Orang yang menderita protanopia disebut protanope
(Indrawan, 2008),

b.

Deutanopia adalah gangguan penglihatan terhadap warna yang


disebabkan

ketiadaan

photoreseptor

retina

hijau.

Hal

ini

menimbulkan kesulitan dalam membedakan warna merah dan hijau


(red-green hue discrimination) (Kurnia, 2009). Pada Deuteranopia
hanya memiliki sel kerucut biru dan merah saja, tetapi tidak ada sel
kerucut hijau yang fungsional (terjadi pada 1 % dari laki-laki putih)
(Gambar 2.4.b.) (Deeb dan Motulsky, 2011). Orang yang menderita
deuteranopia disebut deuteranope (Indrawan, 2008),
c.

Tritanopia adalah keadaan dimana seseorang tidak memiliki shortwavelength cone yaitu warna biru, akibatnya penderita akan
kesulitan membedakan warna biru dan kuning dari spektrum cahaya
tampak. Tritanopia disebut juga buta warna biru-kuning dan
merupakan tipe dichromacy yang sangat jarang dijumpai. (Kurnia,
2009). Orang yang menderita tritanopia disebut tritanope (Indrawan,
2008).

2.2.3.3. Anomalous Trichromacy


Penderita anomalous trichromacy memiliki tiga sel kerucut yang lengkap,
tetapi terjadi kerusakan mekanisme sensitivitas terhadap salah satu dari tiga sel
reseptor warna tersebut (Kurnia, 2009). Seseorang yang mengalami anomalous
trichromacy disebut anomali trikromat (Indrawan, 2008). Anomalous trichromacy
terdiri dari 3, yaitu :
a.

Protanomalia

mempengaruhi

long-wavelength

(red)

pigment

kerucut, menyebabkan lemahnya sensitifitas terhadap cahaya merah.


Seseorang dengan protanomaly cenderung untuk melihat warna
merah, jingga, kuning, dan kuning-hijau menjadi warna kehijauan,
tetapi semua warna ini juga tampak lebih pucat dari biasanya. Warna
ungu dan ungu muda tampak seperti nuansa biru karena komponen
kemerahan berkurang (Wagner, 2013). (protanomalia terjadi pada 1
% dari laki-laki putih) (Gambar 2.4.c.) (Deeb dan Motulsky, 2011).

Seseorang yang menderita protanomalia disebut protanomalous


(Indrawan, 2008),
b.

Deuteranomalia disebabkan oleh kelainan pada bentuk pigmen


middle-wavelength (green). Sama halnya dengan protanomaly,
deuteranomaly tidak mampu melihat perbedaan kecil pada nilai
warna dalam area spektrum untuk warna merah, jingga, kuning, dan
hijau. Penderita salah dalam menafsirkan warna dalam region
tersebut karena warnanya lebih mendekati warna merah. Perbedaan
antara keduanya yaitu penderita deuteranomalia tidak memiliki
masalah

dalam

hilangnya

penglihatan

terhadap

kecerahan

(brigthness) (Kurnia, 2009). Deuteranomalia terjadi pada 5% dari


laki-laki berkulit putih (Gambar 2.4.d.) (Deeb dan Motulsky, 2011).
Seseorang yang menderita deuteranomalia disebut deuteranomalous
(Indrawan, 2008),
c.

Tritanomalia adalah tipe anomolous trichromacy yang sangat jarang


terjadi, baik pada pria maupun wanita. Pada tritanomaly, kelainan
terdapat pada short-wavelength pigment (blue). Pigmen biru ini
bergeser ke area hijau dari spektrum warna. Tidak seperti
protanomalia dan deuteranomalia, tritanomalia diwariskan oleh
kromosom 7. Inilah alasan mengapa penderita tritanomalia sangat
jarang ditemui (Kurnia, 2009). Orang-orang ini mengalami kesulitan
membedakan hijau, cyan, dan biru. Mereka juga mungkin mengalami
kesulitan membedakan

kuning dari ungu

dan juga sering

kebingungan dengan warna merah jambu, jingga, dan coklat (Wagner,


2013). Seseorang yang menderita tritanomalia disebut tritanomalous

(Indrawan, 2008).

Gambar 2.4. a. Protanopia b. Deutanopia c. Protanomalia d. Deuteranomalia


(Deeb dan Motulsky, 2011).
2.2.4.

Diagnosis
Para peneliti menyimpulkan bahwa skrining untuk buta warna dapat

dimulai pada usia 4 tahun. Pengujian pada usia dini sangat penting karena anakanak dengan buta warna sering melakukan hal buruk pada tes atau tugas yang
menampilkan warna-warna. Anak-anak dengan buta warna membutuhkan
berbagai jenis rencana pelajaran yang tidak memerlukan kemampuan untuk
melihat warna dengan benar. Pemeriksaan harus dimulai sejak dini karena label
anak tidak pintar adalah stigma besar bagi anak dan menyebabkan kecemasan
yang signifikan bagi orang tua dan keluarga (Thai News Service Group, 2014).
Tes buta warna saat ini juga sangat dibutuhkan bagi dunia industri,
pendidikan, maupun pemerintahan. Hal ini disebabkan oleh ketergantungan
manusia dalam pekerjaan atau pendidikan yang erat sekali berhubungan dengan
warna (Agusta et al., 2012).
Pemeriksaan buta warna ini dilakukan sebagian besar untuk tiga tujuan :
pertama untuk skrining apakah cacat bawaan atau yang diperoleh, yang kedua

untuk mendiagnosis jenis dan tingkat keparahan cacat dan yang ketiga untuk
menilai dampak dari cacat pada profesi atau pekerjaan tertentu. Secara umum, tes
yang efektif adalah test yang tepat, mudah, dan biaya yang dibutuhkan untuk
mendiagnosa kelainan penglihatan warna yang akurat (Heidary et al., 2013).
Diagnosis buta warna dibuat berdasarkan anamnesis, dan pemeriksaan
penunjang. Anamnesis yang sesuai adalah terdapat riwayat buta warna di dalam
keluarga atau terdapat riwayat trauma kranial yang menyebabkan kelainan saraf
atau makula (Riordan-eva dan Witcher, 2010). Banyak tes untuk pemeriksaan
penunjang yang digunakan secara klinis untuk mendiagnosa kelainan penglihatan
warna, tes ini berkisar dari yang sederhana dengan buku Ishihara dan tes penilaian
yang lebih kompleks termasuk tes Farnsworth-Munsell 100-Hue (FM 100-Hue),
D-15 Farnsworth-Munsell (D-15), dan anomaloscope untuk diagnosis yang lebih
tepat dan akurat (Heidary et al., 2013).
Pada penelitian ini pemeriksaan dilakukan dengan test ishihara yang
paling populer dan digunakan secara luas untuk tujuan skrining. Penggunaan buku
ishihara juga dikarenakan tes ini harus dilakukan secara cepat, tepat, mudah dan
murah untuk menilai jenis dan tingkat keparahan cacat penglihatan warna
(Heidary et al., 2013). Metode ini dikembangkan menjadi Tes Buta Warna
Ishihara oleh Dr. Shinobu Ishihara. Tes ini pertama kali dipublikasi pada tahun
1917 di Jepang dan terus digunakan di seluruh dunia (Widianingsih et al., 2010).
Test Ishihara didasarkan pada penggunaan kartu bertitik-titik yang
mempunyai bermacam-macam warna dan ukuran yang disusun dengan
menyatukan titik-titik yang berbeda tersebut (Guyton dan Hall, 2010). Warnawarnanya dibuat sedemikian rupa membentuk pola titik-titik berbeda yang
disusun hingga membentuk lingkaran. Untuk orang yang defisiensi warna, semua
titik dalam satu atau lebih dari lempeng akan muncul mirip atau sama
"isokromatik". Untuk seseorang tanpa kekurangan warna, beberapa titik akan
muncul cukup berbeda dari titik-titik lain untuk membentuk sosok yang berbeda
pada masing-masing piring "Pseudoisochromatic" (Wagner, 2013).
Buku ishihara dapat mendiagnosa defek penglihatan warna dengan
klasifikasi, yaitu: orang dengan penglihatan normal/trikromat, buta warna Merah-

Hijau (red-green deficiency) [buta warna merah (protanopia/protanomalia) dan


buta

warna

hijau

(deuteranopia/deuteranomalia)]

dan

buta

warna

total/akromatopsia. Kelainan tritanomaly tidak dapat dilihat disini. Tes Ishihara


digunakan untuk mendiagnosis defek penglihatan warna kongenital, untuk
mengetahui penyebab yang didapat (saraf, kelainan macula, trauma kranial) perlu
dilakukan pemeriksaan lebih lanjut (Riordan-eva dan Witcher, 2010).
Tes Ishihara ini mempunyai kelemahan yaitu berupa media tes. Media
yang digunakan adalah lembaran kertas bagi Ishihara. Media tes ini sendiri hanya
dapat dilakukan pada ruangan bercahaya putih dengan intensitas penerangan yang
cukup, sehingga melakukan tes buta warna ini tidak bisa di sembarang
tempat/ruangan dengan bercahaya redup dan menggunakan cahaya kemerahan
atau lampu pijar. Hal ini merupakan salah satu dari kelemahan tes konvensional,
karena jika penerangan ruangan tidak sesuai dengan ketentuan standar, maka
warna pada media tes pun akan berubah. Tes Ishihara pun mempunyai kelemahan
berupa pemudaran warna, mudah robek, dan bisa saja salah satu dari lembaran tes
terselip ataupun hilang (Agusta et al., 2012).
Tahapan dalam pemeriksaan buta warna dengan metode ishihara, yaitu :
1. Menggunakan buku Ishihara 14 plate
2. Dalam pemeriksaan buta warna hal-hal yang perlu diperhatikan, yaitu:
a. Ruangan pemeriksaan harus cukup pencahayaannya
Tes Ishihara didesain agar dapat dilihat dengan jelas dengan cahaya
ruangan. Sinar matahari langsung atau penggunaan cahaya lampu
mengakibatkan ketidaksesuaian hasil karena perubahan pada
bayangan warna yang nampak. Namun, bila mudah nyaman hanya
dengan menggunakan cahaya lampu, maka dapat ditambahakan
cahaya lampu tersebut sampai menghasilkan efek cahaya seperti
cahaya alami. Kartu diletakkan pada jarak 75 cm dari pasien
sehingga bidang kertasnya pada sudut yang tepat dengan garis
penglihatan.

b. Angka-angka yang terlihat pada kartu disebutkan, dan setiap


jawaban diberikan dalam waktu tidak lebih dari 3 detik
(Widianingsih et al. 2010).
3. Penjelasan pada tiap lembar gambar :
No.1. Setiap subjek, baik dengan penglihatan warna normal atau cacat
penglihatan warna akan membaca dengan benar angka "12". Plate ini
digunakan terutama untuk penjelasan awal dari proses tes untuk mata
pelajaran.
No.2. Subyek

normal akan membaca "8" dan mereka dengan

defisiensi warna merah-hijau melihat angka "3".


No.3. Subyek normal akan membaca "5" dan mereka dengan defisiensi
warna merah-hijau melihat angka "2".
No.4. Subyek normal akan membaca "29" dan mereka dengan
defisiensi warna merah-hijau melihat angka "70".
No.5. Subyek normal akan membaca "74" dan mereka dengan
defisiensi warna merah-hijau melihat angka "21".
No.6-7. Dengan baik dipahami oleh subyek normal, tapi tidak atau
sulit untuk dibaca bagi mereka dengan defisiensi merah-hijau.
No.8. Subjek normal dengan jelas melihat angka "2" untuk tetapi tidak
jelas bagi mereka dengan defisiensi merah-hijau.
No.9. Subyek normal bisa sukar membacanya, tapi kebanyakan dari
mereka dengan kekurangan merah-hijau melihat angka "2" di
dalamnya.
No.10. Subyek normal biasanya dapat membaca angka "16", tapi
kebanyakan dari mereka dengan kekurangan merah-hijau tidak bisa,
No.11. Dalam menelusuri garis berkelok-kelok antara dua x tersebut,
orang yang normal melihat garis hijau kebiruan, namun sebagian besar
dari mereka dengan kekurangan penglihatan warna tidak dapat
mengikuti garis atau mengikuti garis yang berbeda dari yang normal.
No.12. Subyek normal dan orang-orang dengan kekurangan merahhijau ringan melihat angka-angka "35" tapi protanopia dan

protanomalia kuat akan membaca "5" saja, dan deuteranopia dan


deuteranomalia kuat "3" saja.
No.13. Subyek normal dan orang-orang dengan kekurangan merahhijau ringan melihat angka-angka "96" tapi protanopia dan
protanomalia kuat akan membaca "6" saja, dan deuteranopia dan
deuteranomalia kuat "9" saja.
No.14. Dalam menelusuri garis berkelok-kelok antara dua x itu, jejak
yang normal yaitu sepanjang garis ungu dan merah. Dalam protanopia
dan protanomalia kuat hanya garis ungu ditelusuri, dan dalam hal
protanomalia ringan kedua baris adalah ditelusuri tetapi garis ungu
adalah lebih mudah untuk mengikuti. Dalam deuteranopia dan
deuteranomalia kuat hanya garis merah ditelusuri dan dalam hal
deuteranmalia ringan kedua baris adalah ditelusuri tetapi garis merah
lebih mudah untuk mengikuti (Ishihara, 1994).
2.2.5.

Manajemen
Deteksi dini cacat visi warna merah-hijau yang parah pada usia sekolah

menengah harus dikomunikasikan kepada orang tua dan anak-anak yang


terkena dampak karena temuan ini mungkin relevan untuk pilihan pekerjaan
tertentu. Konseling genetik juga diperlukan

untuk mengurangi resiko dan

mengevaluasi kemungkinan resiko terkena buta warna yang terdiri dari:


evaluasi untuk mengkonfirmasi, mendiagnosa, atau mengecualikan kondisi
genetik pasien, sindrom malformasi, atau cacat lahir terisolasi seperti peran
hereditas, komunikasi risiko genetik, dan penyediaan atau rujukan untuk
dukungan psikososial (Deeb dan Motulsky, 2011).
Tidak ada obat untuk penyakit buta warna yang herediter. Meskipun
sebagian besar buta warna tidak dapat disembuhkan atau diobati, penderita
dapat mempelajari cara-cara sederhana untuk mengelola kesulitan anda melihat
perbedaan warna. Beberapa kasus buta warna dapat menunjukkan penyakit lain
yang akan membutuhkan pengobatan (Stresing, 2010).

Kebanyakan orang dengan buta warna belajar untuk membedakan


antara warna. Beberapa cara yang dapat digunakan sebagai alat bantu
penglihatan warna dalam beberapa kasus, yaitu :

Lensa kontak dan kacamata specially tinted, yang dapat membantu uji
warna namun tidak memperbaiki penglihatan warna.

Kacamata yang memblokade glare, karena orang dengan masalah


penglihatan warna masih dapat membedakan sedikit warna saat tidak
terlalu terang (Kartika et al., 2014).
Lensa kontak bernama Chromagen , yang dirancang oleh David

Harris dari Liverpool Laser Treatment Centre. Ia menjelaskan bahwa lapisan


pigmen di tengah lensa akan dipilih sesuai dengan setiap pasien, nantinya akan
mengeset otak untuk melihat warna berbeda. Biasanya pigmen yang dibutuhkan
hanya pada satu lensa agar otak membuat gambar yang benar dari gambar yang
diterima oleh kedua mata. Meskipun tidak untuk mengubah cacat di retina,
memungkinkan penderita untuk melihat warna yang lebih hidup. Uji klinis pada
275 orang meningkatkan penglihatan warna mereka di 96,7% dari subyek
(Roger, 1997).

Anda mungkin juga menyukai