Anda di halaman 1dari 5

MUSIK POPULER MALUKU DAN PERTENTANGAN KELAS

(Suatu Refleksi Singkat)

Falantino Eryk Latupapua, M.A


(Pecinta Musik)

1. Alu-aluan
Seperti telah termaktub dalam judul di atas, tulisan ini bermaksud menyajikan hasil
refleksi penulis tentang salah satu fenomena sosial-budaya, yakni musik populer (dalam
pengertian yang umum; musik rakyat, musik orang banyak) dan pertentangan kelas (sosial).
Sebagaimana layaknya suatu refleksi, fakta-fakta yang disajikan akan dibingkai berdasakan
perpaduan antara pengalaman empiris, teoretis, dan opini penulis. Konsep pertentangan kelas
(sosial) merupakan konsep dasar dari teori Karl Marx tentang relasi sosial dalam bingkai
sosial, ekonomi, dan historis. Meskipun struktur masyarakat dunia berubah seiring dinamisasi
teknologi dalam berbagai bidang kehidupan, dalam pemahaman penulis pandangan Karl
Marx masih cukup relevan digunakan untuk membincangkan berbagai hal, terutama yang
terkait dengan pertentangan dan sejarah perjuangan kelas dalam masyarakat yang tersajikan
dengan jelas dalam sejarah peradaban manusia.
Secara sederhana, tulisan ini bermaksud membicarakan eksistensi musik populer
dalam konteks lokal (Maluku/ Ambon) sebagai produk budaya populer yang tidak bersih
sepenuhnya dari efek-efek terbentuknya kelas-kelas sosial dalam masyarakat. Batasan istilah
musik dalam tulisan ini juga mencakup aspek tekstual (lirik) sebagai bagian vital dari musik
sebagai produk budaya populer. Dengan demikian, pandangan-pandangan empiris mengenai
produksi musik dalam budaya populer di Maluku diharapkan membuka ruang diskusi lebih
jauh demi membangun dan memberdayakan keleluasaan berpikir dan menghasilkan tindakan
apresiatif tertentu.
2. Tinjauan singkat pemikiran Marx
Inti pemikiran Marx selain sejarah pertentangan kelas adalah menentang dogmatisme
dan menjunjung kebebasan berpikir. Dalam bukunya yang terkenal: Communist Manifesto
(1848) ia mencetuskan suatu kalimat yang menjadi sangat populer: sejarah dari berbagai
masyarakat hingga saat ini adalah sejarah tentang pertentangan kelas.
Beberapa inti pemikiran Marx akan disarikan, berikut ini: (1) Marxsisme adalah
protes keras Marx terhadap kapitalisme yang melebarkan kesenjangan antara kaum proletar
dan kaum borjuis: penguasaan alat-alat produksi. Kaum proletar (buruh, pekerja, masyarakat
kelas bawah) dipaksa bekerja berjam-jam dengan upah minim hanya demi melanggengkan
kekuasaan para pemilik modal (kaum kapitalis/ borjuis) dalam mengumpulkan uang. Hasil
keringat kaum proletar-lah yang dinikmati oleh kaum borjuis. Yang kaya semakin kaya, yang
miskin semakin miskin. (2) Marx berpendapat bahwa situasi tersebut akan teratasi bila
kapitalisme diganti dengan komunisme. Secara sederhana komunisme dapat diartikan sebagai
kepemilikan bersama terhadap aset, yang akan berujung pada terciptanya masyarakat tanpa

kelas. (3) jika dalam suatu masyarakat tidak tercapai negosiasi komunistik maka kaum
proletar cenderung mengadakan pemberontakan / revolusi.
3. Musik populer Ambon
Istilah musik populer Ambon atau Musik populer Maluku menyaran pada semua
karya musik yang diproduksi oleh orang-orang Maluku yang bergiat dalam bidang musik.
Mengenai sejarah musik pop di Maluku kita tidak bisa menetapkan secara pasti. Akan tetapi,
kita telah mendengar dari cerita-cerita lisan tentang adanya perkumpulan musik(band) yang
eksis pada zaman Belanda hingga masa pascakolonial, yang mengelilingi kampung-kampung
untuk bermain musik dan bernyanyi di dalam pesta dansa. Alat-alat musik yang digunakan
pun diketahui telah cukup modern, yakni instrumen gesek (biola/ viool), instrumen petik, dan
tetabuhan. Lagu-lagu yang dinyanyikan pun pada umumnya lagu-lagu Barat yang populer
pada masanya. Pada masa itu, musisi-musisi pribumi menggunakan musik sebagai sarana
untuk menerobos batasan kelas yang tercipta dalam relasi mereka dengan kaum kolonialis.
Bukan rahasia, kedekatan orang Maluku (terutama masyarakat Kristen) dengan Belanda
terejawantahkan terutama dalam sarana-sarana sosial budaya seperti agama, bahasa, relasirelasi kekuasaan, dan (tentu saja) kesenian/ musik. Dengan kata lain, relasi kekuasaan
penjajah-terjajah, pribumi-Eropa, dan pusat-marjinal, menjadi tidak lagi terlalu senjang
karena mediasi berbagai faktor yang telah disebutkan. Orang Maluku (terutama Kristen)
menggumnakan agama, bahasa, musik, kuliner, dan lain-lain, sebagai media untuk mencapai
kesetarafan kelas, meski hal itu tak pernah sungguh-sungguh berhasil.
Etos bermusik orang Maluku seakan menemukan orgasmus pada masa-masa
keemasan tak lama sesudah kolonialisme Belanda dan Jepang berakhir. Penyanyi dan musisi
terkenal di Indonesia pada era 1950-an hingga 1980-an didominasi oleh banyak orang
Maluku. Kita tentu mengenal Grace Simon, Bob Tutupoli, Broery, Utha, Harvey, Ruth
Sahanaya, hingga Glenn. Sampai pada periode tersebut, orang Maluku kemudian dicitrakan
sebagai pinter nyanyi, gudang penyanyi, dll. Citra hegemonik yang demikian dapat
ditemukan pada berbagai kelas sosial orang Maluku. Hal itu pula yang kemudian menjadi
salah satu magnit yang menarik orang-orang Maluku dari kelompok sosial menengah ke
bawah tetapi merasa punya talenta musik untuk mengekor kesuksesan para musisi yang
berhasil menerobos blantika musik Indonesia.
Sejak awal tahun 1960-an, bermunculan musisi-musisi Maluku yang bermigrasi ke
Jakarta untuk mencoba peruntungan dalam bidang musik. Sebagian besar dari mereka
ternyata tidak cukup mampu menerobos rimba musik Indonesia lalu mengalihkan segmen
pasar mereka ke Maluku (lagi). Maka, kita mengenal grup-grup musik dan penyanyi pada
generasi seperti Andarinyo, Hellas, Hassa, Masnait, Jimmy Titarsole, Lex Trio,
Kelompok seniman ini kemudian menduduki kelas mengah ke bawah dalam
perantauan di ibukota, tetapi beralih menjadi kelas atas (borjuis) jika karya mereka sukses di
pasaran lokal Maluku. Mereka ini kemudian dicitrakan sebagai selebritas oleh sebagian
besar masyarakat Maluku. Hal inilah yang kemudian membentuk semacam mimpi kolektif
generasi sesudah mereka, yang memosisikan karir musik, penyanyi dan selebritas sebagai
harapan ideal karena iming-iming ketenaran dan kapital yang melimpah.
Ketika teknologi studio rekaman dan manajemen industri musik di Maluku mulai
bergerak dan bergeliat pada dekade 90-an, Jakarta tidak lagi sepenuhnya menjadi kiblat para

calon musisi lokal, meski mimpi kolektif yang sudah ada tidak lantas menjadi hilang. Mereka
mulai merintis produksi album musik dalam skala kecil dan sedang. Lompatan besar dalam
geliat musik lokal ini terjadi pascakonflik 1999 ketika grup vokal Mainoro mencetak sukses
besar dalam album mereka yang meneriakkan perdamaian dan menyerukan untuk kembali ke
identitas ke-Maluku-an. Sejak itulah, lokomotif musik pop bergerak semakin dinamis melalui
kemunculan musisi-musisi yang mengikutinya. Sebut saja Doddie Latuharhary, Syahilatua
bersaudara, Jochen Amos, Handry Noya, Gerson Rehatta, Mitha, Kamba Ipa, Usman Hitu,
Mona Latumahina, dan lain-lain. Genre musik yang ditawarkan pada umumnya pop dan
dangdut dengan tambahan unsur musikal dan lirik yang bercita-rasa lokal.
Pada sisi yang lain, kelompok musisi yang idealis, radikalis, dan progresif pun
berkembang pesat. Mereka ini kebanyakan mengusung genre pop, jazz, hip-hp, R&B, dan
genre lainnya yang berkiblat pada selera ideal mereka tentang karya musik yang
tendensius, musik untuk mencerdaskan, dan musik sebagai sarana perjuangan. Inilah yang
kemudian menciptakan kesenjangan material dan tematik yang oleh banyak pihak dianggap
sebagai benturan antara ide-ide kreatif dan tendensius dengan selera pasar di sisi lainnya.
3. Kapital dan (atau) kualitas?
Secara gamblang, dalam sejarah perkembangan musik modern selalu ada tarik
menarik antara kelompok yang disebut kaum idealis dengan kaum kapitalis, meski mereka
cenderung mengabaikan dan tak selalu mempersoalkan itu, jarak ideologi antarkeduanya
cukup senjang. Seperti yang dijelaskan oleh Dominic Strinati, kita tentu ingat pada sejarah
musik jazz atau musik gospel yang pada awalnya merupakan musik kaum marjinal, yakni
para budak dan proletar negro di Amerika Serikat. Entitas musik tersebut selalu dianggap
musik kelas bawah, kelas marjinal, kelas proletar, yang beroposisi dengan musik pop,
country, dan lain-lain.
Di Indonesia, kita dapat melihat fenomena serupa dalam perkembangan musik
dangdut yang merupakan perpaduan musik Melayu dengan unsur-unsur Hindustani dan Arab.
Sampai sekitar awal dekade 2000-an, musik dangdut dianggap sebagai musik proletar, musik
kelas bawah, musik emperan pasar dan terminal. Representasi posisi musik dangdut dalam
blantika musik nasional pun selalu hadir pada ruang-ruang yang bukan eksklusif. Hal ini
terlihat pada tren radio dan televisi pada masa itu yang hanya menyediakan ruang terbatas
bagi musik dangdut, bahkan ada stasiun televisi dan radio yang memproklamasikan diri
sebagai radio yang tidak dangdut. Dangdut dianggap sebagai musik rendahan, bukan arus
utama, meskipun kental dengan unsur lokal yang dekat secara sosial-budaya dengan
masyarakat. Sementara itu, musik populer menjadi musik garda depan atau musik arus utama.
Meskipun secara tematik, keduanya menarasikan hal-hal yang sama: cinta (dalam berbagai
pengertian).
Di Maluku, fenomena pengkotakan musik berdasarkan aspek-aspek tersebut juga
nampak secara terbuka. Seperti yang telah disebutkan di atas, terdapat kelompok idealis yang
mengusung kecenderungan produktif yang mengandung ide-ide berat: identitas, cinta yang
filosofis, kultur lokal, dll. Kelompok ini biasanya didominasi oleh kaum terpelajar dan aktivis
lainnya yang cenderung mempertahankan dominasi kultural melalui pengetahuan yang dibagi
dalam ruang-ruang bebas, sosial media, dan lain-lain. Pada sisi yang lain, kelompok musisi
lain adalah mereka yang mendaratkan pilihan produktif pada pemuasan selera pasar, tunduk

pada kemauan pemilik modal. Karya-karya mereka cenderung dikemas dalam tema-tema
sederhana yang disampaikan dengan sederhana, dengan bahasa lirik yang tidak terlalu
mengutamakan diksi yang estetis-filosofis atau ideologi tendensius-edukatif-kontemplatif.
Bagi kelompok ini, musik dan lirik harus sepenuhnya menjalankan fungsi fatik.
Fungsi fatik menyaran pada fungsi musik untuk memberikan kesenangan,
menyediakan media pelipur lara dan penawar lelah. Hal ini sepadan dengan kebutuhan kelas
pekerja atau masyarakat proletar. Mereka yang bekerja dalam sistem ekonomi yang
kapitalistik cenderung membutuhkan hiburan berbiaya murah dan aksesibiltas yang ringkas.
Karena itu, lirik, narasi, dan wacana yang disukai adalah yang menyediakan ruang untuk
tertawa lepas, ruang untuk bermimpi, dan menyalurkan hasrat bersenang-senanmg untuk
melepas lelah. Selain itu, musik yang disukai adalah musik yang bisa membuat mereka
bergoyang, tersenyum, menghentakkan kaki pelan, atau mengayunkan kepala. Singkatnya,
tujuan apresiatif kelompok ini semata untuk kesenangan, tidak kurang tidak lebih.
Berkaitan dengan media artikulasi (bahasa), kelompok pertama cenderung memilih
ragam diksi dari bahasa Asing, bahasa Indonesia yang standard, atau bahasa Melayu Ambon
yang diksinya terpilih, filosofis dan sarat nilai. Sementara kelompok kedua lebih sederhana
dalam pemilihan kata dan tema, tanpa bermaksud mengerutkan kening dan merangsang
pendengar untuk berpikir. Kita akan bisa merasakan perbedaan daya hentak dari lagu-lagu
hip-hop dan rap Cidade de Amboino, atau MHC, yang menawarkan ruang kontemplasi
tentang isu-isu mutakhir dengan lagu-lagu cinta sederhana dari Yochen Amos, Doddie, dll.
Produksi teks kelompok kedua (jika itu dilakukan dalam bahasa Melayu Ambon) cenderung
dianggap rendah kualitasnya. Menurut pandangan penulis, hal ini diakibatkan oleh daya
jelajah diksi bahasa Melayu Ambon yang belum terlalu lentur atau luwes sehingga lirik
berbahasa Melayu Ambon cenderung dianggap tidak estetis, tidak ideologis, dan tidak
kontemplatif. Dalam kaitan dengan itu, masalah sikap dan minat terhadap Bahasa Melayu
Ambon dalam ranah estetika lirik lagu masih harus ditinjau lebih jauh. Satu tema yang sama
mungkin diapresiasi secara berbeda, tergantung pada media artikulasinya (bahasanya). Lagulagu Agnes Monika atau Sammy Simorangkir mungkin secara tematik memiliki paralelisme
dengan satu atau dua lagu milik penyanyi Maluku, namun kualitas keduanya dianggap
berbeda jauh. Salah satu penyebab terbesarnya adalah karena kemampuan jelajah estetis lirik
berbehasa Melayu Ambon belum mampu memikat pendengar. Bahasa Indonesia dan Bahasa
Asing sebagai bahasa hegemonik sering dianggap lebih baik dan indah.
Dalam kondisi demikian, terjadi pertentangan kelas yang berlansung terbuka, tetapi
cenderung diam-diam. Terkesan dekat dan akrab, tetapi selalu menciptakan jarak yang cukup
lebar. Kelompok pertama cenderung menempatkan produk musik kelompok lainnya sebagai
karya tidak mendidik, murahan, picisan, mementingkan uang, dan sebagainya. Lalu
sebaliknya, kelompok kedua cenderung menganggap kelompok pertama sebagai kaum yang
terlalu eksklusif, sukar dipahami, bahkan terlalu berat dan tidak cukup terpahami.
Kelompok pertama menyebut diri mereka kualitas. Mereka cenderung ideal dalam tema, ketat
dalam pemilihan kata, dan erat dalam solidaritas komunal. Kelompok yang kedua tidak
pernah menyebut diri mereka kapitalis tetapi bekerja sepenuhnya berdasarkan hukum
ekonomi sederhana: semakin tinggi permintaan; semakin naik penawaran; harga ikut naik.
Mereka ini cenderung menyikapi wacana-wacana material yang beredar dalam masyarakat
dengan sangat cepat, taktis, dan ringkas. Setiap wacana baru dan menggejala adalah peluang

untuk menghasilkan karya yang menguntungkan secara kapital. Misalnya: Se Paleng Bae
(), Cinta di Jembatan Merah Putih, Terminal Transit Passo, Cinta di Lampu Lima, dll.
Selalu ada upaya untuk mencari benang merah antara isu-isu terkini pada masyarakat dengan
produksi musikal dan tekstual. Semakin referensial karya mereka, semakin laku, semakin
banyak keuntungan finansial maupun pencitraan.
4. Di mana sebaiknya kita berada?
Situasi empiris ini secara otomatis membagi segmen penikmat musik menjadi dua
arus utama, sesuai dengan kelas atau kelompok tersebut di atas, selain ada sekelompok
penikmat yang berdiam di tengah-tengah dua kelompok tersebut, dan cenderung
memosisikan diri sebagai omni-listener: pendengar semuanya.
Untuk menjawab pertanyaan, di mana sebaiknya kita berada?, kita perlu mengerti
hakikat musik sebagai suatu bentuk ekspresi yang bebas dan merdeka. Dengan kata lain,
setiap musisi punya hak untuk berkarya, setiap produk musik punya hak yang sama untuk
hidup dan diapresiasi oleh pendengar. Namun, sebagai bentuk tanggungjawab terhadap
ideologi masing-masing, para seniman sebaiknya terus membangun kesadaran untuk
menciptakan karya musik secara maksimal, baik dari segi lirik, pemilihan instrumen,
aransemen, aspek audio-visual, promosi, bahkan performansi pentas.
Kelompok idealis hendaknya terus membangun kesadaran untuk menciptakan karya
yang semakin idealis, kelompok lainnya juga mesti terus memaksimalkan daya jelajah diksi
dan daya jelajah musikal. Jika satu kelompok dipaksa untuk tunduk di bawah dominasi
kelompok yang lain, maka akan timbul semacam gejolak (atau pemberontakan, menurut
Marx) yang tentu membawa dampak yang tidak signifikan bagi sistem produksi material dan
ideal.
Hal lain yang patut diingat adalah persoalan tren dan kecenderungan. Pada suatu
waktu, musisi yang awalnya idealis bisa saja memutuskan untuk bergerak mengikuti selera
pasar, dengan mencoba mempertahankan gaya yang tetap idealis. Demikian pula, kelompok
yang disebut kapitalis punya peluang untuk mengalami perubahan kesadaran yang sama. Kita
tentu belum lupa dengan kelompok musik Letto yang dikomandani oleh Noe, putra dari
seniman dan budayawan Emha Ainun Nadjib, yang selalu memosisikan dirinya sebagai
budayawan yang berada di seberang kapitalisme. Ketika Letto menemukan momentum untuk
menjadi terkenal dengan lagu-lagunya yang puitis dan cerdas, banyak pihak melayangkan
kritik terhadap Emha yang dinilai tak konsisten dalam berprinsip. Akibatnya, secara perlahanlahan, Letto mengalami masa surut dan terpinggirkan dari pasar musik Indonesia meski
sesungguhnya karya mereka dinilai bisa mencerdaskan pendengar.
Pada akhirnya, prinsip kekaryaan musisi dapat saja relatif. Di mana kita berdiri akan
menentukan bagaimana produk kita diterima oleh masyarakat. Satu hal yang pasti, setiap
musisi, sebagaimana nada-nada itu bebas dan merdeka, harus menjunjung tinggi prinsip
kekaryaan secara ebas dan merdeka pula, dan secara bersamaan juga memupuk kerelaan
untuk memberi ruang berkarya bagi musisi lain, demi memberi alternatif yang beragam bagi
masyarakat. (***)

Anda mungkin juga menyukai