Anda di halaman 1dari 7

Nama

: Prapbowo Ignatha Dharma


Kelas : Informatika B3 / 3
NIM : 151080200163

Tawadhu dalam pandangan Islam secara umum dan


Muhammadiyah

Secara Umum, Tawadhu merupakan lawan dari kesombongan Tawadhu karena


Allah subhanahu wataala ada dua makna:

1. Pertama, merendahkan diri terhadap agama Allah, sehingga tidak tinggi hati
dan sombong terhadap agama ini maupun untuk menunaikan hukumhukumnya.

2. Kedua, merendahkan diri terhadap hamba-hamba


Allah subhanahu
wawtaala karena Allah subhanahu wataala, bukan karena takut terhadap
mereka, ataupun mengharap sesuatu yang ada pada mereka, namun sematamata hanya karena Allah subhanahu wataala. Kedua makna ini benar.

Apabila seseorang merendahkan diri karena Allah azza wajalla, maka Allah azza
wajalla akan mengangkatnya di dunia dan di akhirat. Hal ini merupakan sesuatu
yang dapat disaksikan dalam kehidupan ini. Seseorang yang merendahkan diri akan
menempati kedudukan yang tinggi di hadapan manusia, akan disebut-sebut
kebaikannya, dan akan dicintai oleh manusia. (Syarh Riyadhish Shalihin, 1/365)

Tawadhu adalah ketundukan kepada kebenaran dan menerimanya dari siapapun


datangnya baik ketika suka atau dalam keadaan marah. Artinya, janganlah kamu
memandang dirimu berada di atas semua orang. Atau engkau menganggap semua
orang membutuhkan dirimu. Lawan dari sifat tawadhu adalah takabbur (sombong),
sifat yang sangat dibenci Allah dan Rasul-Nya.

Kesombongan adalah menolak kebenaran dan menganggap


remeh orang lain. (Shahih, HR. Muslim no. 91 dari hadits
Abdullah bin Masud radhiyallahu anhu)
Jika anda mengangkat kepala di hadapan kebenaran baik dalam rangka
menolaknya, atau mengingkarinya berarti anda belum tawadhu dan anda memiliki
benih sifat sombong.

Tahukah anda apa yang diperbuat Allah subhanahu wa taala terhadap Iblis yang
terkutuk? Dan apa yang diperbuat Allah kepada Firaun dan tentara-tentaranya?
Kepada Qarun dengan semua anak buah dan hartanya? Dan kepada seluruh
penentang para Rasul Allah? Mereka semua dibinasakan Allah subhanahu wa taala
karena tidak memiliki sikap tawadhu dan sebaliknya justru menyombongkan
dirinya.

Menerima dan tunduk di hadapan kebenaran sebagai perwujudan tawadhu adalah


sifat terpuji yang akan mengangkat derajat seseorang bahkan mengangkat derajat
suatu kaum dan akan menyelamatkan mereka di dunia dan akhirat. Allah subhanahu
wa taala berfirman:

Negeri akhirat itu Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak


menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di muka bumi dan
kesudahan yang baik bagi orang-orang yang bertakwa. (AlQashash: 83)
Fudhail bin Iyadh rahimahullah (seorang ulama generasi tabiin) ditanya tentang
tawadhu, beliau menjawab: Ketundukan kepada kebenaran dan memasrahkan diri
kepadanya serta menerima dari siapapun yang mengucapkannya. (Madarijus
Salikin, 2/329).

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

Tidak akan berkurang harta yang dishadaqahkan dan Allah


tidak akan menambah bagi seorang hamba yang pemaaf

melainkan kemuliaan dan tidaklah seseorang merendahkan diri


karena Allah melainkan akan Allah angkat derajatnya. (Shahih,
HR. Muslim no. 556 dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu
anhu)
Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitab Madarijus Salikin (2/333) berkata:
Barangsiapa yang angkuh untuk tunduk kepada kebenaran walaupun datang dari
anak kecil atau orang yang dimarahinya atau yang dimusuhinya maka kesombongan
orang tersebut hanyalah kesombongan kepada Allah karena Allah adalah Al-Haq,
ucapannya haq, agamanya haq. Al-Haq datangnya dari Allah dan kepada-Nya akan
kembali. Barangsiapa menyombongkan diri untuk menerima kebenaran berarti dia
menolak segala yang datang dari Allah dan menyombongkan diri di hadapan-Nya.

Dalam pembahasan masalah akhlak, kita selalu terkait dan bersandar kepada firman
Allah subhanahu wa taala:

Sungguh telah ada bagi kalian pada diri Rasul teladan


yang baik. (Al-Ahzab: 21)
Dalam hal ini banyak ayat yang memerintahkan kepada beliau untuk tawadhu,
tentu juga perintah tersebut untuk umatnya dalam rangka meneladani beliau. Allah
subhanahu wa taala berfirman:

Dan
rendahkanlah
dirimu
terhadap
orang-orang
yang
mengikutimu yaitu orang-orang yang beriman. (Asy-Syuara:
215).
Tak sedikit pun Rasulullah shallallahu alaihi wasallam membuka peluang bagi
seseorang untuk bersikap sombong. Bahkan beliau shallallahu alaihi
wasallamsenantiasa memerintahkan untuk tawadhu. Iyadh bin Himar radhiyallahu
anhumenyampaikan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

Sesungguhnya Allah mewahyukan kepadaku agar kalian


bersikap tawadhu hingga tidak seorang pun menyombongkan

diri atas yang lain dan tak seorang pun berbuat melampaui
batas terhadap yang lainnya. (HR. Muslim no. 2865)
Demikianlah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengingatkan kepada kita
bahwa tawadhu itu sebagai sebab tersebarnya persatuan dan persamaan derajat,
keadilan dan kebaikan di tengah-tengah manusia sebagaimana sifat sombong akan
melahirkan keangkuhan yang mengakibatkan memperlakukan orang lain dengan
kesombongan.

Macam-macam Tawadhu

Telah dibahas oleh para ulama sifat tawadhu ini dalam karya-karya mereka, baik
dalam bentuk penggabungan dengan pembahasan yang lain atau menyendirikan
pembahasannya. Di antara mereka ada yang membagi tawadhu menjadi dua :

1. Tawadhu yang terpuji yaitu ke-tawadhu-an seseorang kepada Allah dan


tidak mengangkat diri di hadapan hamba-hamba Allah.
2. Tawadhu yang dibenci yaitu tawadhu-nya seseorang kepada pemilik dunia
karena menginginkan dunia yang ada di sisinya. (Bahjatun Nazhirin, 1/657).

Tawadhu Dalam Pandangan Muhammadiyah

Tawadhu dalam pandangan Muhammadiyah, selalu menjadikan Nabi Muhammad


SAW
sebagai
suri
tauladan.
Sikap
tawadhu
yang
dicontohkan
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tak hanya sebatas perintah semata,
kisah-kisah dalam kehidupan Rasulullahshallallahu alaihi wasallam banyak
melukiskan ketawadhuan beliau. Beliaushallallahu alaihi wasallam adalah seorang
manusia yang paling mulia di hadapan Allah subhanahu wawtala. Meski demikian,
beliau menolak panggilan yang berlebihan bagi beliau. Begitulah yang dikisahkan
oleh Anas bin Malikradhiyallahu anhu tatkala orang-orang berkata kepada
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, Wahai orang yang terbaik di antara kami,
anak orang yang terbaik di antara kami! Wahai junjungan kami, anak junjungan
kami! Beliaushallallahu alaihi wasallam pun berkata:





Wahai manusia, hati-hatilah dengan ucapan kalian, jangan
sampai kalian dijerumuskan oleh syaitan. Sesungguhnya aku
tidak ingin kalian mengangkatku di atas kedudukan yang
diberikan oleh Allah taala bagiku. Aku ini Muhammad bin
Abdillah, hamba-Nya dan utusan-Nya. (HR. An-Nasa`i dalam
Amalul Yaum wal Lailah, dikatakan dalam Ash-Shahihul Musnad
fi Asy-Syamail Muhammadiyah no. 786: hadits shahih menurut
syarat Muslim)
Anas bin Malik radhiyallahu anhu mengisahkan:






Rasulullah shallallahu alaihi wasallam biasa mengunjungi
orang-orang Anshar, lalu mengucapkan salam pada anak-anak
mereka, mengusap kepala mereka dan mendoakannya. (HR An.
Nasa`i, dikatakan dalam Ash-Shahihul Musnad fi Asy-Syamail
Muhammadiyah no. 796: hadits hasan)
Ketawadhuan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ini menjadi gambaran nyata
yang diteladani oleh para shahabat. Anas bin Malik radhiyallahu anhupernah

melewati
anak-anak,
lalu
beliau
mengucapkan
Beliau shallallahu alaihi wasallam mengatakan:

salam

pada

mereka.



Nabi shallallahu alaihi wasallam biasa melakukan hal itu.
(HR. Al-Bukhari no. 6247 dan Muslim no. 2168)

Memberikan salam kepada anak-anak ini dilakukan oleh Nabi shallallahu alaihi
wasallam dan diikuti pula oleh para shahabat beliau radhiyallahu anhum. Hal ini
merupakan sikap tawadhu dan akhlak yang baik, serta termasuk pendidikan dan
pengajaran yang baik, serta bimbingan dan pengarahan kepada anak-anak, karena
anak-anak apabila diberi salam, mereka akan terbiasa dengan hal ini dan menjadi
sesuatu yang tertanam dalam jiwa mereka.(Syarh Riyadhish Shalihin, 1/366-367)
Pernah pula Abu Rifaah Tamim bin Usaid radhiyallahu anhu menuturkan sebuah
peristiwa yang memberikan gambaran ketawadhuan Nabi shallallahu alaihi
wasallam serta kasih sayang dan kecintaan beliau terhadap kaum muslimin:

Aku pernah datang kepada Rasulullah shallallahu alaihi


wasallam ketika beliau berkhutbah. Lalu aku berkata, Wahai
Rasulullah, seorang yang asing datang padamu untuk bertanya
tentang agamanya, dia tidak mengetahui tentang agamanya.
Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pun mendatangiku,
kemudian diambilkan sebuah kursi lalu beliau duduk di atasnya.
Mulailah beliau mengajarkan padaku apa yang diajarkan oleh
Allah. Kemudian beliau kembali melanjutkan khutbahnya hingga
selesai. (HR. Muslim no. 876)

Demikianlah juga kisah ketawadhu-an dari para shahabatnya radhiyallahu anhum


ajmain, dan para ulama dan orang shaleh yang mengikuti mereka hingga hari akhir.
Sungguh banyak figur teladan yang dapat dijadikan panutan. Tinggallah kembali
pada diri ayah dan ibu. Jalan manakah kiranya yang hendak mereka pilihkan bagi
buah hatinya? Mengajarkan kerendahan hati hingga mendapati kebahagiaan di dua
negeri, ataukah menanamkan benih kesombongan hingga menuai kehinaan di dunia
dan akhirat?

Anda mungkin juga menyukai