1. Pertama, merendahkan diri terhadap agama Allah, sehingga tidak tinggi hati
dan sombong terhadap agama ini maupun untuk menunaikan hukumhukumnya.
Apabila seseorang merendahkan diri karena Allah azza wajalla, maka Allah azza
wajalla akan mengangkatnya di dunia dan di akhirat. Hal ini merupakan sesuatu
yang dapat disaksikan dalam kehidupan ini. Seseorang yang merendahkan diri akan
menempati kedudukan yang tinggi di hadapan manusia, akan disebut-sebut
kebaikannya, dan akan dicintai oleh manusia. (Syarh Riyadhish Shalihin, 1/365)
Tahukah anda apa yang diperbuat Allah subhanahu wa taala terhadap Iblis yang
terkutuk? Dan apa yang diperbuat Allah kepada Firaun dan tentara-tentaranya?
Kepada Qarun dengan semua anak buah dan hartanya? Dan kepada seluruh
penentang para Rasul Allah? Mereka semua dibinasakan Allah subhanahu wa taala
karena tidak memiliki sikap tawadhu dan sebaliknya justru menyombongkan
dirinya.
Dalam pembahasan masalah akhlak, kita selalu terkait dan bersandar kepada firman
Allah subhanahu wa taala:
Dan
rendahkanlah
dirimu
terhadap
orang-orang
yang
mengikutimu yaitu orang-orang yang beriman. (Asy-Syuara:
215).
Tak sedikit pun Rasulullah shallallahu alaihi wasallam membuka peluang bagi
seseorang untuk bersikap sombong. Bahkan beliau shallallahu alaihi
wasallamsenantiasa memerintahkan untuk tawadhu. Iyadh bin Himar radhiyallahu
anhumenyampaikan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
diri atas yang lain dan tak seorang pun berbuat melampaui
batas terhadap yang lainnya. (HR. Muslim no. 2865)
Demikianlah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengingatkan kepada kita
bahwa tawadhu itu sebagai sebab tersebarnya persatuan dan persamaan derajat,
keadilan dan kebaikan di tengah-tengah manusia sebagaimana sifat sombong akan
melahirkan keangkuhan yang mengakibatkan memperlakukan orang lain dengan
kesombongan.
Macam-macam Tawadhu
Telah dibahas oleh para ulama sifat tawadhu ini dalam karya-karya mereka, baik
dalam bentuk penggabungan dengan pembahasan yang lain atau menyendirikan
pembahasannya. Di antara mereka ada yang membagi tawadhu menjadi dua :
Wahai manusia, hati-hatilah dengan ucapan kalian, jangan
sampai kalian dijerumuskan oleh syaitan. Sesungguhnya aku
tidak ingin kalian mengangkatku di atas kedudukan yang
diberikan oleh Allah taala bagiku. Aku ini Muhammad bin
Abdillah, hamba-Nya dan utusan-Nya. (HR. An-Nasa`i dalam
Amalul Yaum wal Lailah, dikatakan dalam Ash-Shahihul Musnad
fi Asy-Syamail Muhammadiyah no. 786: hadits shahih menurut
syarat Muslim)
Anas bin Malik radhiyallahu anhu mengisahkan:
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam biasa mengunjungi
orang-orang Anshar, lalu mengucapkan salam pada anak-anak
mereka, mengusap kepala mereka dan mendoakannya. (HR An.
Nasa`i, dikatakan dalam Ash-Shahihul Musnad fi Asy-Syamail
Muhammadiyah no. 796: hadits hasan)
Ketawadhuan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ini menjadi gambaran nyata
yang diteladani oleh para shahabat. Anas bin Malik radhiyallahu anhupernah
melewati
anak-anak,
lalu
beliau
mengucapkan
Beliau shallallahu alaihi wasallam mengatakan:
salam
pada
mereka.
Nabi shallallahu alaihi wasallam biasa melakukan hal itu.
(HR. Al-Bukhari no. 6247 dan Muslim no. 2168)
Memberikan salam kepada anak-anak ini dilakukan oleh Nabi shallallahu alaihi
wasallam dan diikuti pula oleh para shahabat beliau radhiyallahu anhum. Hal ini
merupakan sikap tawadhu dan akhlak yang baik, serta termasuk pendidikan dan
pengajaran yang baik, serta bimbingan dan pengarahan kepada anak-anak, karena
anak-anak apabila diberi salam, mereka akan terbiasa dengan hal ini dan menjadi
sesuatu yang tertanam dalam jiwa mereka.(Syarh Riyadhish Shalihin, 1/366-367)
Pernah pula Abu Rifaah Tamim bin Usaid radhiyallahu anhu menuturkan sebuah
peristiwa yang memberikan gambaran ketawadhuan Nabi shallallahu alaihi
wasallam serta kasih sayang dan kecintaan beliau terhadap kaum muslimin: